Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
6, No. 7, Juli 2021
�
PEMBUATAN AKTA NOTARIS DI LUAR WILAYAH JABATANNYA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS
Sendy Melinda, Gunawan Djajaputra
Universitas Tarumanagara (UNTAR) Jakarta,
Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Keberadaan jabatan
Notaris dilandasi oleh adanya kebutuhan masyarakat dalam membuat akta autentik
sebagai suatu alat bukti yang mengikat. Peran Notaris dalam memberikan pelayanan kepentingan dikehendaki oleh aturan hukum dengan tujuan
untuk melayani dan membantu masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik. Penelitan dari identifikasi masalah di atas bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai akibat hukum terhadap
Akta yang dibuat di luar wilayah jabatan notaris terhadap kekuatan pembuktian akta, baik secara
formil maupun materiil. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai tanggung jawab notaris sebagai
Pejabat umum (Negara) terkait pembuatan Akta Notaris di luar wilayah jabatannya. Penelitian di bidang hukum ini dilakukan
dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, untuk menganalisis akibat hukum pembuatan akta notaris di luar wilayah jabatannya. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa
akibat hukum terhadap akta yang dibuat di luar wilayah jabatan notaris terhadap kekuatan pembuktian akta, baik secara formil
maupun materiil menyebabkan akta notaris batal demi hukum atau tidak
sah dan hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan
dan tanggung jawab notaris sebagai Pejabat Umum (Negara) terkait pembuatan Akta Notaris di luar wilayah jabatannya adalah pertanggungjawaban perdata dan administrasi. Pertanggungjawaban perdata dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum berupa penggantian
biaya, ganti rugi dan bunga, dan pertanggung jawaban administrasi dapat diberi sanksi berupa
peringatan tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian
dengan tidak hormat.
Kata Kunci: akibat hukum; tanggung jawab; akta autentik
Abstract
The existence of Notary education
is based on the current existence of the community making authentic deed into a
tool of proof that it. Notary's role in providing service is determined by the
rule of law with the aim to serve and the mother of the community who need a
certain stationery. Research from know the above problems want to know and
succumb to the legal consequences of the Deed that shady notary position
territory against the power of proof of the deed, either directly or
materially. To know and berdern about the notary
responsibility of officials in the general (State) related to the creation of
Notarial Deed outside the sub-district. This research in the field of law is
conducted by normative juridical research method that is analytically patterned,
analysis for the legal consequences of notarial deed outside its postal area.
The results of this study relented that the legal consequences of the deed that
makes the territory outside the notary position about the power of proof of the
deed, either formil or materiel deed causes the
notary null and void and only the force of proof of the deed of hand and notary
responsibility as a Public Official (State) related to the deed of Notarial
Deed outside the territory of his office Civil liability is qualified so
against the law in exchange for costs , indemnification and interest, and
administrative liability can indemnify the administration what the warning
between, a temporary warning, and the thing that is done respectfully or
respectfully with respect.
Keywords: legal
consequences; liability; authentic deed
Pendahuluan
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang semakin pesat, tentu akan berdampak pada kebutuhan terhadap
suatu legalitas formal, baik dalam hal hubungan antar warga negara maupun hubungan
dengan lembaga Pemerintah. Keberadaan jabatan Notaris dilandasi oleh adanya
kebutuhan masyarakat dalam membuat akta autentik sebagai suatu alat bukti yang
mengikat. Peran Notaris dalam memberikan pelayanan kepentingan umum tersebut
adalah dalam rangka memberikan pelayanan dalam pembuatan akta dan tugas-tugas
lain yang memerlukan jasa Notaris. Hal ini disebabkan karena akta yang
diterbitkan oleh Notaris memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat.
Akta adalah surat yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
perikatan, yang sejak semula dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dan
ditandatangani oleh pembuatnya (Asikin & SH, 2019).�
Digolongkan ke dalam pengertian akta, surat tersebut
harus ditandatangani. Keharusan ini diatur dalam ketentuan Pasal 1869
KUHPerdata yang menyatakan bahwa, �seandainya pembuatan akta autentik dilakukan
oleh pejabat yang tidak berwenang tetapi akta tersebut ditandatangani oleh para
pihak, akta tersebut mempunyai kekuatan alat bukti tertulis. Tiket, resi, dan surat
lainnya yang tidak ditandatangani oleh si pembuat adalah tidak termasuk akta (Fakhriah, 2011).
Notaris mempunyai peran serta dalam menjalankan profesi hukum yang tidak dapat
dilepaskan dari persoalan-persoalan mendasar yang berkaitan dengan fungsi serta
peranan hukum itu sendiri. Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum merupakan
suatu jabatan terhormat yang diberikan oleh Negara melalui Undang-Undang kepada
orang yang memenuhi syarat untuk menduduki jabatan sebagai notaris.
Notaris adalah pejabat negara yang
bersifat netral, sehingga jabatan tersebut tidak dapat ditempatkan di lembaga
eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, sehingga apabila
ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara tersebut maka Notaris tidak
lagi dapat dianggap netral. Notaris diharapkan mampu untuk memberikan
penyuluhan hukum kepada masyarakat dalam bidang kenotariatan, selain itu
seorang Notaris juga dilarang memihak kliennya, karena tugas Notaris adalah untuk
mencegah terjadinya masalah.� Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau
berdasarkan undang-undang lainnya (Ilham, 2015).
Pejabat umum adalah orang yang
menjalankan sebagian fungsi publik dari negara, khususnya di bidang hukum
perdata. Definisi yang diberikan oleh UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang
yang dijalankan oleh Notaris. Seorang Notaris melaksanakan tugas jabatannya
semata-mata bukan hanya untuk kepentingan diri pribadi Notaris itu sendiri,
akan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat umum. Notaris memiliki tugas
sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik dan
kewenangan lainnya yang diatur oleh Undang-Undang Jabatan Notaris. Di dalam
menjalankan tugas jabatannya, notaris memiliki kewenangan, kewajiban dan
larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 UUJN.
Kewenangan Notaris sebagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN adalah membuat Akta autentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta,
menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Akta autentik adalah suatu akta yang
bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat.
Akta Notaris sebagai akta autentik dibuat menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan oleh UUJN. Apabila suatu akta merupakan akta autentik, maka akta
tersebut akan mempunyai 3 (tiga) fungsi terhadap para pihak yang membuatnya
yaitu:
1. sebagai
bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu;
2. sebagai
bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi
tujuan dan keinginan para pihak;
3. sebagai
bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali jika ditentukan
sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian
adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Selain memenuhi syarat yang telah
ditentukan undang-undang agar suatu akta menjadi autentik, seorang Notaris
dalam melaksanakan tugasnya tersebut wajib melaksanakan tugasnya dengan penuh
disiplin, profesional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang
tertuang dalam awal dan akhir akta yang menjadi tanggung jawab Notaris adalah ungkapan
yang mencerminkan keadaan yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta (Aswadi, 2019).� Untuk menilai autentik tidaknya suatu akta
tidaklah cukup hanya apabila akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat
saja, tetapi juga cara membuatnya harus menurut ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Undang-Undang. Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada
wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya, atau tidak memenuhi syarat
tidaklah dianggap sebagai akta autentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta
di bawah tangan apabila ditandatangani�
oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Agus, 2013).
Selain memiliki kewenangan dan kewajiban
dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris juga memiliki larangan-larangan
yang diatur UUJN. Salah satu larangan yang tidak boleh dilanggar adalah bahwa
Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya (Fariz, 2012).� Di dalam praktik, tentu saja ada Notaris yang
melanggar larangan dengan menjalankan jabatannya diluar wilayah jabatannya.
Sebagai contoh atau ilustrasi misalnya dalam praktik sebagai berikut:
�Perusahaan saya yang berdomisili di
Jakarta Selatan akan melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), memerlukan
notaris untuk ikut hadir menyaksikan RUPS tersebut untuk dibuatkan berita
acara. Bisakah notaris rekanan kami yang berkedudukan di kabupaten Tangerang
hadir untuk menyaksikan RUPS tersebut?� (Harris, 2021).
Merujuk pada ilustrasi di atas, sangat
dimungkinkan terjadi pelanggaran terhadap larangan bagi notaris sebagaimana
diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a�
UUJN. Pelanggaran terhadap pasal tersebut selain berdampak sanksi bagi
pejabat notaris, tentu menimbulkan implikasi yuridis terkait kekuatan
pembuktian akta tersebut karena dibuat diluar wilayah jabatannya.
Adapun manfaat yang diharapkan untuk dicapai dari hasil penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Manfaat
teoritis secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
memberikan kontribusi dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang
hukum, khususnya pada bidang hukum kenotariatan, hasil penelitian diharapkan
dapat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan mengenai analisis yuridis
pembuatan Akta
2.
Notaris
di luar wilayah jabatannya. Manfaat Praktis, penelitian ini juga memiliki
manfaat praktis. Adapun penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada :
a.
Notaris,
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pandangan baru dan
memberikan pemahaman mengenai akibat hukum terhadap pembuatan Akta Notaris di
luar wilayah jabatannya.
b.
Kalangan
akademis, diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan ide baru
untuk membuat dan meneliti lebih lanjut sehingga suatu saat dapat menghasilkan
suatu konsep dan pandangan baru terkait analisis yuridis pembuatan Akta Notaris
di luar wilayah jabatannya.
c. Masyarakat, diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangan pemikiran kepada masyarakat dalam bidang hukum kenotariatan khususnya
dalam hal akibat hukum pembuatan Akta Notaris di luar wilayah jabatannya.
Penelitan dari identifikasi masalah di atas bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai akibat hukum terhadap
Akta yang dibuat di luar wilayah jabatan notaris terhadap kekuatan pembuktian akta, baik secara
formil maupun materiil. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai tanggung jawab notaris sebagai
Pejabat umum (Negara) terkait pembuatan Akta Notaris di luar wilayah jabatannya.
Metode Penelitian
Jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
tersebut dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder seperti
peraturan perundang-undangan di bidang kenotariatan, buku-buku dan
artikel-artikel yang mempunyai korelasi dan relevansi dengan permasalahan yang
akan diteliti, serta teori-teori hukum dan pendapat para sarjana. Dalam hal ini
dilakukan penelitian terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder:
(a) Bahan-bahan hukum
primer yang mengikat berupa
norma dasar Pancasila,
Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. (b) Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang berupa buku-buku, karya tulis hukum
atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media masa,
internet dengan menyebut nama situsnya, serta artikel-artikel yang relevan dengan topik penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Praktik pembuatan
akta notaris di luar wilayah jabatannya, dimana permasalahan tersebut muncul
berkaitan dengan adanya larangan bagi seorang notaris untuk menjalankan
jabatannya di luar wilayah jabatannya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
17 ayat (1) huruf a UUJN.
1. Akibat
Hukum Terhadap Akta yang dibuat di Luar Wilayah Jabatan Notaris
Praktik pembuatan
akta oleh notaris seringkali menimbulkan permasalahan-permasalah yang dapat
berdampak negatif, baik terhadap aktanya maupun terhadap pembuatnya
(Notarisnya) (Setiadewi & Wijaya, 2020). Sering
ditemui dalam praktik pembuatan akta oleh Notaris, permasalahan-permasalahan
yang sering timbul adalah sebagai berikut:
a. Pembuatan
Akta Notaris diluar wilayah Jabatan Notaris;
b. Akta
notaris yang waktu penandatanganannya tidak dilakukan secara bersamaan oleh penghadap;
c. Pelanggaran
Jabatan Notaris dengan tidak menjaga martabat dan nama baik sebagai pejabat
umum.
Permasalahan
yang menjadi bahan utama pembahasan dalam penelitian ini
adalah permasalahan pada poin ke-1, yaitu�
pembuatan Akta Notaris diluar wilayah Jabatan Notaris. Bagaimana akibat
hukum terhadap akta yang dibuat diluar wilayah jabatan Notaris terhadap
kekuatan pembuktian baik secara formil maupun secara materil. Tentu saja,
kekuatan pembuktian suatu akta digantungkan pada autentik atau tidak autentiknya
suatu akta (Otentisitas Suatu Akta Autentik). Akta notaris sebagai sebuah akta autentik
memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan akan
pembuktian tertulis, berupa akta autentik makin meningkat sejalan dengan
berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum yang merupakan salah satu prinsip
dari negara hukum. Akta notaris merupakan alat pembuktian yang sempurna,
terkuat dan penuh sehingga selain dapat menjamin kepastian hukum, akta notaris
tersebut juga dapat menghindarkan terjadinya sengketa. Menuangkan suatu
perbuatan, perjanjian, ketetapan dalam bentuk akta notaris dianggap lebih baik
dibandingkan dengan menuangkannya dalam surat di bawah tangan, walaupun
ditandatangani di atas materai, yang juga diperkuat oleh tanda tangan para
saksi.
Namun, di dalam
praktek, seringkali timbul sengketa akibat keberadaan sebuah akta notaris.
Bahkan, pada kasus-kasus tertentu dapat menyeret notaris yang membuat akta
kedalam kasus pidana dan dapat pula notaris tersebut menjadi tersangka dalam
perkara pidana. Bahwa pada awalnya tidak dimaksudkan untuk membuat suatu alat
bukti dalam setiap perbuatan hukum, namun karena seringkali menimbulkan suatu
sumber perselisihan bagi para pihak yang mempersoalkan terkait sah atau
tidaknya suatu akta notaris.
Persoalan sah
atau tidaknya suatu akta notaris digantungkan pada bentuk dan tata cara
dibuatnya suatu akta. Hal ini dimaksudkan bahwa suatu akta notaris merupakan
suatu akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan oleh UUJN. Bahwa pada awalnya dalam setiap perbuatan
hukum, setiap orang tidak melulu hanya mencari suatu hubungan hukum biasa dalam
setiap transaksi yang dilakukan, namun karena pesatnya perkembangan zaman
menuntut kepada setiap orang untuk membuktikan setiap perbuatan hukumnya baik
dihadapan pihak-pihak maupun khalayak ramai (publik), sehingga terjadi suatu
perubahan penting terkait perubahan pandangan dari bukti-bukti lisan menjadi
bukti-bukti tulisan. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang
rumit di dalam hukum adat yang mengandalkan kesaksian pihak-pihak (mengandalkan
kejujuran pihak-pihak), sehingga berubah menjadi sistem pembuktian tulisan
dalam sistem hukum barat, yang pembuktiannya digantungkan pada otentisitas
suatu akta yang telah dibuat (mengandalkan otentisitas bukti tertulis).
Hal ini, notaris
sebagai sebuah instansi yang dimaksudkan untuk menghadirkan alat-alat
pembuktian tertulis dan mempunyai sifat autentik dengan akta yang dibuatnya,
memiliki peran penting dalam sistem pembuktian serta dapat mendorong masyarakat
untuk lebih menggunakan bukti-bukti tertulis dibandingkan dengan bukti-bukti
tidak tertulis (bukti tutur atau bersifat lisan semata). Di dalam sistem
pembuktian yang berlaku dalam hukum acara perdata, bukti tulisan ditempatkan sebagai
bukti utama dan pertama dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya sebab akta
merupakan tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Telah
ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 1867 KUH Perdata, bahwa pembuktian dengan
tulisan dapat dilakukan dengan tulisan autentik atau dengan tulisan di bawah
tangan. Artinya di hadapan hukum, tidak semua tulisan dapat dijadikan alat
bukti. Suatu akta autentik dapat dikatakan memiliki kekuatan yang sempurna
apabila akta tersebut dibuat oleh pejabat yang diangkat oleh pihak yang
berwenang.
Dijelaskan lebih
jauh oleh ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, bahwa yang dimaksud dengan, �Akta autentik
adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh
atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu
dibuat.� Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata ini, sebuah akta dapat
dikatakan autentik apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, yaitu:
a. Akta
dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat
Umum.
b. Dibuat
dan diresmikan dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; dan
c. Pejabat umum
yang dimaksud harus berwenang untuk membuat akta tersebut.
Syarat pertama,
akta dibuat oleh atau dihadapan Seorang Pejabat Umum. Kata �di hadapan�
menunjukkan bahwa akta tersebut dibuat atas permintaan seseorang, sedangkan
akta yang dibuat �oleh� pejabat umum karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan,
keputusan dan lain sebagainya (berita acara rapat, protes wesel, dan lain-lain).
Apakah yang dimaksud dengan Pejabat Umum (openbaar ambtenaar)? Seseorang
yang menjadi pejabat umum apabila ia diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah
dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu.
Oleh karena itu, ikut serta melaksanakan kewibawaan (gezag) dari
Pemerintah. Pejabat umum tidak sama dengan pegawai negeri, meskipun pegawai
negeri mempunyai tugas untuk melayani umum, akan tetapi mereka bukan pejabat
umum seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Jadi, hanya pejabat umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berhak membuat akta autentik,
yang bisa saja merupakan pegawai negeri, misalnya pegawai catatan sipil. Antara
pegawai negeri dan pemerintah ada hubungan kedinasan (dienstbetrekking)
yang diatur dalam peraturan dan perundang-undangan mengenai Pegawai
Negeri.� Hal ini tidak berlaku bagi
notaris, yang meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, peraturan
tersebut tidak berlaku bagi mereka. Jadi, dapat dikatakan bahwa notaris adalah
orang swasta biasa, namun memiliki wewenang dan kewajiban yang penting yang
tidak dijumpai pada orang swasta biasa. Pasal 50 UUJN, notaris wajib menjunjung
tinggi martabat jabatannya. Lingkup akta autentik tersebut harus dikehendaki
oleh para pihak atau pihak yang berkepentingan dan apabila oleh
perundang-undangan (algemeine verordening) hal-hal tersebut diatas harus
dinyatakan dalam akta autentik. Otentisitas dari akta notaris bukan karena
penetapan undang-undang, akan tetapi karena dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat umum. Dalam hal ini, otentisitas akta notaris bersumber dari Pasal 1
UUJN,� dimana notaris dijadikan sebagai
pejabat umum sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut
memperoleh sifat akta autentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH
Perdata.
Syarat kedua,
akta dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum. Syarat kedua ini, harus
dipenuhi oleh sebuah akta autentik dan menjadi syarat formil pembuatan serta
secara resmi. Agar memenuhi syarat sebagai akta autentik, akta harus dibuat
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (vorm), yaitu harus
memenuhi ketentuan undang-undang. Dalam hal akta notaris, maka harus memenuhi
ketentuan yang tercantum dalam UUJN. Ketentuan mengenai sifat dan bentuk akta
notaris diatur oleh UUJN. Menurut Pasal 38 UUJN, akta antara lain harus dibuat
dihadapan dan oleh
pejabat umum, dihadiri oleh saksi-saksi, disertai pembacaan oleh notaris dan
sesudahnya langsung ditandatangani dan seterusnya. Tindakan-tindakan yang
diharuskan oleh undang-undang ini harus disebutkan dalam akta. Undang-undang
mengharuskan bahwa akta-akta partij harus ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan. Apabila ketentuan ini tidak dilaksanakan, akta tersebut dapat
kehilangan otentisitasnya. Masyarakat menganggap pembubuhan tanda tangan
merupakan tindakan yang penting, dengan anggapan bahwa penandatanganan berarti
terikat terhadap apa yang telah ditulisnya atau di bawah mana ia membubuhi
sidik jarinya. Penandatanganan adalah suatu fakta hukum. Suatu pernyataan kemauan
dari pembuat tanda tangan (penanda tangan) bahwa ia dengan membubuhi tanda
tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum
dianggap sebagai tulisannya sendiri.�
Syarat ketiga, pejabat
umum yang dimaksud harus berwenang untuk membuat akta tersebut. bahwa
pejabatnya harus berwenang untuk maksud itu di tempat akta tersebut dibuat.
Berwenang dalam ini khususnya menyangkut:
a. Jabatannya
dan jenis akta yang dibuatnya.
b. Hari dan
tanggal pembuatan akta
c. Tempat
dimana akta dibuat
Seseorang
dianggap memiliki kewenangan atau berwenang, apabila telah memenuhi persyaratan
yang ditentukan dalam undang-undang. Bagi seorang notaris, ia harus diangkat
oleh Menteri Hukum dan HAM dengan surat keputusan. Seorang notaris meskipun
sudah diangkat, tetapi apabila belum disumpah maka dapat dikatakan telah cakap
sebagai notaris, tetapi belum berwenang untuk�
membuat akta autentik. Demikian juga dengan seorang notaris yang sedang
cuti. Bagi seorang notaris yang sedang diskor sebagai notaris dinyatakan tidak
cakap (onbekwaam). Yang dimaksud �tidak cakap� mencakup seluruh
kemampuan bertindak sebagai notaris, artinya sedang tidak �tidak berwenang�
hanya dalam beberapa hal atau keadaan, misalnya bila berada di daerah yang
tidak termasuk dalam wilayah kedudukannya. Bila seorang notaris berada di luar
wilayah kedudukannya dan ternyata membuat sebuah akta, maka ia
bersalah membuat pemalsuan material (materiele vervalsing).
Selanjutnya,
seorang notaris harus berwenang pada saat tanggal akta dibuat. Pada suatu
waktu, dapat saja terjadi apabila Notaris yang sudah diangkat, tetapi belum
disumpah dan seorang notaris yang sedang bercuti, maka menjadi tidak berwenang
membuat akta autentik sampai penyumpahannya dilaksanakan, cutinya berakhir atau
cuti dihentikan atas permintaan sendiri. Notaris yang telah diangkat oleh
Menteri CQ Kakanwil (Provinsi-gewest). Pada zaman penjajahan
Belanda, tidak ada pembagian wilayah provinsi untuk daerah
diluar Jawa (sehingga namanya disebut residentie). Selain batas wilayah
ini, berlaku pula ketentuan kode etik bagi kalangan notaris sehingga terdapat
pembatasan wilayah kerja notaris. Selanjutnya dapat diuraikan bahwa Notaris
dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus memiliki beberapa kewenangan,
sehingga akta yang dibuatnya berlaku sebagai sebuah akta autentik, antara lain:
Pertama, Notaris
harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat. Tidak semua pejabat
umum dapat membuat semua akta. Sebagai pejabat umum, notaris memiliki
kewenangan yang bersifat umum (regel), sedangkan pejabat lain yang
dimaksud oleh undang-undang bersifat pengecualian. Notaris hanya berwenang
membuat akta-akta yang telah ditugaskan atau dikhususkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Pengecualian wewenang yang ditugaskan kepada notaris,
antara lain sebagai berikut: (1) Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281
KUH Perdata); (2) Berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik
(Pasal 1227 KUHPerdata); (3) Berita acara tentang penawaran pembayaran tunai
dan konsinyasi (Pasal 1405 dan 1406 KUH Perdata); (4) Akta protes wesel dan cek
(Pasal 143 dan 218 KUHD); dan Akta catatan sipil (Pasal 4 KUH Perdata).
Kedua, Notaris
harus berwenang sepanjang mengenai orang, untuk kepentingan siapa akta tersebut
dibuat. Notaris tidak berwenang untuk kepentingan setiap orang dengan maksud
untuk menghindari terjadinya tindakan yang memihak dan penyalahgunaan wewenang.
Pasal 52 UUJN memberikan pengecualian kepada notaris bahwa notaris tidak
diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami atau orang lain yang
mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, baik karena perkawinan maupun
karena hubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan kesamping sampai dengan
derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri perantaraan kuasa, kecuali
suami/istri atau orang tersebut menjadi penghadap dalam penjualan di muka umum,
atau pemborongan umum atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh
notaris bersangkutan. Bila notaris tidak menaati ketentuan tersebut, akta
notaris yang dibuatnya hanya berlaku sebagai alat pembuktian yang sama seperti
surat di bawah tangan. Pasal 53 UUJN menetapkan bahwa akta notaris tidak boleh
memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan suatu hak atau keuntungan bagi
notaris, istri/suami notaris, saksi atau istri/suami saksi serta orang-orang
yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris atau saksi, baik dalam
garis lurus ke atas atau bawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan
sampai derajat ketiga.
Ketiga, Notaris
harus berwenang sepanjang mengenai tempat. Wilayah hukum notaris sudah
ditentukan sesuai pengangkatannya sehingga notaris tidak diperkenankan membuat
akta di luar wilayah wewenangnya. Larangan bagi notaris untuk tidak menjalankan
jabatannya di luar wilayah yang sudah diatur dalam Pasal 17 huruf a UUJN.
Apabila notaris membuat akta di luar wilayah kerjanya, maka akta tersebut
dianggap tidak sah. Dalam hal ini, notaris dianggap tidak berwenang untuk
menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya secara teratur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) UUJN.
Keempat, Notaris
harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan. Notaris tidak boleh membuat
akta selama ia masih dalam status cuti atau dipecat dari jabatannya. Pasal 25
UUJN mewajibkan notaris untuk menunjuk seorang notaris pengganti selama
menjalankan cuti. Artinya, notaris tidak diperkenankan untuk menjalankan
jabatannya selama cuti. Notaris juga tidak boleh membuat akta sebelum ia
diambil sumpahnya untuk memangku jabatan sebagai notaris. Kewajiban untuk
disumpah terlebih dahulu tercantum pada Pasal 4 ayat (1) UUJN.
Apabila salah
satu persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka akta yang
dibuatnya adalah tidak autentik� dan
hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan, apabila akta
itu ditandatangani oleh para penghadap. Persyaratan tersebut juga berlaku untuk
akta-akta yang diharuskan oleh undang-undang dibuat dalam akta notaris.
Perbuatan, perjanjian, atau ketetapan yang dinyatakan dalam akta tersebut
dianggap tidak sah.
Persoalan
kemudian muncul, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 1869 KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa akta tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik,
apabila pejabat umum yang membuatnya tidak berwenang atau tidak cakap sebagai
pejabat umum atau bentuk akta tersebut tidak memenuhi persyaratan yang
dinyatakan dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 1869 KUH Perdata
ini, yang menjadi persoalan adalah terkait dengan apakah akta tersebut dapat
dikatakan sebagai suatu akta autentik yang terkait dengan persoalan sah atau
tidaknya suatu akta dalam sistem pembuktian. Akta yang dibuat dihadapan notaris
disebut akta notarial, atau akta autentik, atau authentik. Di dalam hukum, autentik
itu berarti sah, maksudnya akta tersebut secara formal memiliki legalitas yang
kuat karena sesuai dengan norma hukum yang berlaku dan dihadapan hukum diakui
sebagai alat bukti yang sempurna.
Persoalannya, di
dalam praktik sehari-hari, masyarakat atau orang-orang untuk kepentingan yang
lebih praktis dan mudah seringkali membuat perjanjian yang ditulis sendiri oleh
para pihak, tidak dibuat di hadapan notaris. Tulisan yang demikian disebut akta
di bawah tangan (�onderhands�).
Sistem
pembuktian, akta autentik memiliki ciri-ciri khusus sehingga apabila
dibandingkan dengan akta (surat) dibawah tangan, akta autentik memiliki nilai
pembuktian sempurna. Ciri-ciri dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Suatu
tulisan yang sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti
dari keadaan sebagaimana yang ditulis dan dinyatakan oleh pejabat yang
berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani
oleh pejabat yang bersangkutan;
b. Suatu
tulisan yang harus dianggap berasal dari pejabat yang berwenang, sampai ada
bukti sebaliknya;
c. Memenuhi
ketentuan yang mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat
mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta, nama dan kedudukan/jabatan pejabat
yang membuatnya);
d. Pejabat
yang bersangkutan diangkat oleh negara, mempunyai sifat dan pekerjaan yang
mandiri (onafhankelijk independence) serta tidak memihak (onpartijdig
impatial) dalam menjalankan jabatannya;
e. Pernyataan
dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat merupakan� hubungan hukum dalam bidang hukum privat.
Akta notaris
pada hakikatnya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta autentik, namun tidak menutup
kemungkinan akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan karena tidak dipenuhinya syarat-syarat yang sudah ditentukan menurut
hukum. Batasan mengenai akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian dibawah
tangan diatur dalam Pasal 1869 KUHPerdata, yaitu:
a. tidak
berwenangnya pejabat umum yang membuat akta tersebut, atau
b. tidak
mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
c. cacat
dalam bentuknya, meskipun demikian akta seperti itu tetap mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh
para pihak.
UUJN mengatur
secara tegas ketentuan dalam pasal-pasal tertentu apabila dilanggar maka akan
menjadikan akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan. Ketentuan tersebut antara lain:
a. Pasal 16
ayat (1) huruf m UUJN, yaitu tidak membacakan akta dihadapan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu
juga oleh penghadap, saksi dan notaris;
b. Pasal 16
ayat (7) dan ayat (8) UUJN, yaitu jika notaris pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat
bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap
membaca sendiri, mengetahui dan memahami isi akta. Dalam setiap pembuatan akta,
notaris wajib membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi kecuali peraturan perundang-undangan menentukan
lain. Pembacaan akta tidak wajib dilakukan jika penghadap menghendaki agar akta
tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami
isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta
pada setiap halaman minuta akta diparaf penghadap, saksi dan notaris.
c. Pasal 39
UUJN, yaitu tidak dipenuhi ketentuan bahwa
a. Penghadap
paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan
perbuatan hukum.
b. Penghadap
harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang
saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan
cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap
lainnya.
d. Pasal 40
UUJN, yaitu tidak dipenuhi ketentuan bahwa setiap akta yang dibacakan oleh
notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit
berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti
Bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf
serta tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus
ke atas atau ke bawah tanpa derajat pembatasan dan garis kesamping sampai
dengan derajat ketiga dengan notaris atau para pihak.
e. Melanggar
ketentuan Pasal 52 UUJN, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami,
atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, baik
karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai
dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam
suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
Ketentuan yang
diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m, Pasal 16 ayat (7) dan Pasal 16 ayat (8)
UUJN, termasuk kedalam cacat bentuk akta notaris, karena pembacaan akta oleh
notaris di hadapan para pihak dan saksi merupakan suatu kewajiban untuk
menjelaskan bahwa akta yang dibuat tersebut sesuai dengan keinginan para pihak
yang bersangkutan. Pada bagian akhir akta notaris harus mencantumkan keterangan
baik telah dilakukan pembacaan akta maupun tidak dilakukan pembacaan akta
karena kehendak para pihak. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi aspek formal,
yaitu segi bentuk akta. Ketentuan Pasal 39 dan 40 UUJN, berkaitan dengan aspek
subjektif sahnya akta notaris, yaitu cakap bertindak untuk melakukan suatu
perbuatan hukum. Pelanggaran terhadap pasal tersebut termasuk kedalam tidak
mampunya pejabat umum yang bersangkutan untuk memahami batasan umum dewasa untuk
melakukan suatu perbuatan hukum. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 52 UUJN,
termasuk kedalam tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, sehingga
terdapat penghalang bagi notaris untuk menjalankan kewenangannya.
Menentukan akta
notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dapat
dilihat dan ditentukan dari:
a. Isi
dalam pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika notaris
melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.
b. Jika
tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, maka termasuk
kedalam akta batal demi hukum.
Akta notaris
sebagai akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna jika memenuhi
seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta. Tidak terpenuhinya
salah satu atau lebih prosedur pembuatan akta yang dapat dibuktikan, maka akta
tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Akta yang mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada
hakim. Hal ini sejalan dengan asas praduga sah dalam menilai akta notaris, asas
ini dapat dipergunakan untuk menilai akta notaris, yaitu akta notaris harus
dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah. Untuk
menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan gugatan ke
pengadilan umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan sampai dengan ada
keputusan hukum tetap, maka akta notaris tetap sah dan mengikat para pihak atau
siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut.
2. Tanggung Jawab Notaris sebagai Pejabat
Umum (Negara) Terkait Pembuatan Akta Notaris di Luar Wilayah Jabatannya
Di dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) diatur mengenai tempat kedudukan dan
wilayah kerja Notaris. Menurut UUJN melaksanakan tugas dan jabatan notaris
telah ditentukan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris. Tempat kedudukan
mempunyai pengertian yang berbeda dengan wilayah jabatan notaris. Notaris tidak
berwenang menjalankan tugas jabatannya di luar kedudukannya secara
berturut-turut dan di luar wilayah jabatannya, sementara notaris yang dikenal
sebagai pejabat pembuat akta tanah tidak berwenang dalam menjalankan tugas
jabatannya di luar dari tempat kedudukannya. Melalui penjelasan ini bahwa telah
jelas yang dimaksud dengan tempat kedudukan mempunyai pengertian yang berbeda
dengan wilayah jabatan notaris.
Kedudukan
seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat hingga sekarang
dirasakan masih dihormati. Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang
pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasehat yang diandalkan. Segala
sesuatu yang disampaikan dan yang telah ditetapkannya adalah benar, notaris
adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum (Kusuma, 2019). Banyak
masyarakat mempercayai notaris yang menjabat di tempat kedudukannya untuk
membantu masyarakat dalam mencegah terjadinya suatu masalah dalam pembuatan
akta autentik.
Tempat kedudukan
notaris diatur dalam Bab IV bagian pertama Pasal 18 UUJN, menjelaskan bahwa
notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota. Kedudukan
notaris di daerah kabupaten atau kota sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi dan daerah provinsi dibagi
atas kabupaten dan kota. Bahwa pada tempat kedudukan notaris yang dimaksud
disini adalah notaris wajib membuka hanya 1 (satu) kantor di daerah kabupaten
atau kota. Kebutuhan notaris pada satu daerah kabupaten atau kota akan
disesuaikan dengan formasi yang ditentukan pada daerah kabupaten atau kota
berdasarkan keputusan menteri (Pasal 22 UUJN). Formasi jabatan notaris yang
dimaksud ditetapkan berdasarkan kegiatan dunia usaha, jumlah penduduk dan
rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris setiap bulan.
Ketentuan
notaris mengenai tempat kedudukan jabatan notaris yang diatur dalam UUJN,
memiliki aturan, dimana walaupun notaris dipandang sebagai jabatan yang bebas
tetapi memiliki batasan. Batasan sesuai dengan UUJN� mengenai tempat kedudukan notaris dalam Pasal
19 UUJN, yaitu:
a. Notaris
wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya.
b. Tempat
kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akta tanah wajib mengikuti tempat
kedudukan notaris.
c. Notaris
tidak berwenang secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatan di luar
tempat kedudukannya.
d. Notaris
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat dikenai sanksi
berupa:
1) Peringatan
tertulis;
2) Pemberhentian
sementara;
3) Pemberhentian
dengan hormat; atau
4) Pemberhentian
dengan tidak hormat.
Pasal ini menjelaskan
bahwa Notaris di tempat kedudukannya harus memiliki satu kantor saja dan tidak
berwenang secara berturut-turut menjalankan jabatannya di luar tempat
kedudukannya, sementara notaris sebagai pejabat pembuat akta tanah wajib
mengikuti tempat kedudukan notaris tersebut.
Notaris yang
dikenal sebagai pejabat pembuat akta tanah wajib mengikuti tempat kedudukannya
pada saat menjalankan tugas jabatannya. Notaris dan pejabat pembuat akta tanah
memiliki perbedaan dalam menjalankan tugas jabatannya. Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya dibenarkan dilakukan di luar dari kedudukannya
selama itu masih wilayah jabatan notaris tersebut sementara pejabat pembuat
akta tanah harus menjalankan tugas jabatannya di tempat kedudukannya. Selain
memiliki tempat kedudukan, Notaris memiliki wilayah kerjanya sendiri.
Notaris
merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik sejauh
pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.
akta yang dibuat dihadapan notaris merupakan bukti autentik, bukti paling
sempurna, dengan segala akibatnya (Purwaningsih, 2015). Akta
tersebut dikatakan sebagai akta autentik apabila dilakukannya pembuatan,
pembacaan dan penandatanganan akta oleh pejabat yang telah ditentukan. Notaris
mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat
kedudukannya. Keterkaitan antara tempat kedudukan notaris dengan wilayah kerja
satu provinsi dari tempat kedudukannya, artinya notaris dapat saja membuat akta
di luar tempat kedudukannya selama sepanjang masih berada pada provinsi yang
sama, tetapi akta yang dibuat di luar kedudukannya tidak boleh dilakukan secara
teratur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa akta yang dibuat di luar
kedudukannya secara teratur akan melanggar ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUJN.
Oleh karenanya, notaris tidak hanya dapat membuat akta untuk masyarakat yang
datang ke tempat kedudukan notaris, notaris dapat juga membuatkan akta dengan
datang ke kota atau kabupaten lain dalam provinsi yang sama, dimana pada akhir
akta notaris wajib mencantumkan kota atau kabupaten akta dibuat dan
diselesaikan.
Ketentuan
notaris mengenai wilayah jabatan notaris yang diatur dalam UUJN memiliki
ketentuan mengenai batasan wilayah jabatan notaris sesuai dengan undang-undang
jabatan notaris mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris terdapat
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UUJN, dimana Notaris dilarang menjalankan
jabatan di luar wilayah jabatannya. Ketentuan ini menjelaskan bahwa Notaris
dalam menjalankan jabatannya harus di daerah provinsi dimana dia diangkat,
dilantik atau disumpah. Notaris dapat bertanggungjawab apabila dapat dibuktikan
bahwa notaris tersebut bersalah (Adjie, 2011).� Kesalahan-kesalahan tersebut dilakukan dalam
melakukan suatu jabatan. Definisi kesalahan secara umum dapat ditemukan dalam
bidang hukum pidana. Kesalahan dalam hukum pidana harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Mampu
bertanggung jawab;
b. Sengaja
atau alpa; dan
c. Tidak
ada alasan pemaaf.
Kemampuan
bertanggung jawab merupakan keadaan normalitas psikis dan kematangan atau
kecerdasan seseorang yang membawa kepada tiga kemampuan, yaitu:
a. Mampu
untuk mengerti nilai dan akibat-akibatnya sendiri;
b. Mampu
untuk menyadari bahwa perbuatan itu menurut pandangan masyarakat tidak
diperbolehkan; dan
c. Mampu
untuk menentukan niat dalam melakukan perbuatan itu.
Pada dasarnya
hukum memberikan beban tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan notaris,
namun demikian tidak berarti setiap kerugian terhadap pihak ketiga seluruhnya
menjadi tanggung jawab notaris. Hukum sendiri memberikan batas-batas tanggung
jawab notaris sehingga tidak semua kerugian pihak ketiga merupakan tanggung
jawab notaris. Batasan tanggung jawab notaris dapat diminta sepanjang notaris tersebut
masih berwenang dalam melaksanakan tugas jabatan sebagai notaris atau
kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam menjalankan tugas jabatan sebagai
notaris dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap notaris dapat
dijatuhkan sepanjang notaris masih berwenang untuk melaksanakan tugas jabatan
sebagai notaris (Sjaifurrachman, 2011).� Sanksi dalam hukum keperdataan merupakan
tindakan hukum untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan
undang-undang. Sanksi selalu melekat pada aturan-aturan hukum yang
dikualifikasikan sebagai aturan hukum yang memaksa, pelanggaran terhadap suatu
kewajiban yang tercantum dalam aturan hukum mengakibatkan terjadinya ketidak
aturan.
Hakikat sanksi
selain sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan
penyadaran kepada pihak yang melanggarnya agar bertindak sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku. Sanksi yang ditujukan terhadap notaris untuk memberikan
kesadaran bagi notaris agar melaksanakan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku, selain itu untuk melindungi masyarakat dari tindakan notaris yang
dapat merugikan masyarakat. UUJN berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat
memaksa atau merupakan suatu aturan hukum yang imperatif untuk ditegakan
terhadap notaris yang telah melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas
jabatannya. Sanksi terhadap notaris yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris ada dua macam, yaitu sanksi perdata dan sanksi administratif (Abildanwa, 2016).
Tanggung jawab
yang dimiliki oleh Notaris menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan
kesalahan (based on fault of liability), dalam pembuatan akta autentik,
Notaris harus bertanggung jawab apabila atas akta yang dibuatnya terdapat
kesalahan atau pelanggaran yang disengaja oleh Notaris. Sebaliknya apabila
unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para pihak penghadap, maka
sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan. Notaris bersangkutan
tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa
yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan
palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak (Borman, 2019).� Tanggung jawab Notaris sebagai Pejabat Umum
meliputi tanggung jawab profesi Notaris itu sendiri yang berhubungan dengan
akta, diantaranya tanggung jawab secara perdata, administrasi dan pidana.
Pertama,
tanggung jawab Notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya. Dalam hal ini
adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Pendapat umum dianut bahwa dikatakan
telah terjadi wanprestasi apabila didahului dengan adanya perjanjian, sedangkan
jika tidak kaitannya dengan perjanjian maka bentuk pelanggaranya termasuk
perbuatan melanggar hukum. Bentuk perjanjian yang terjadi antara notaris dan
pihak yang memohon untuk dibuatkan aktanya dapat berupa inspannings verbintenis yaitu
suatu perikatan dimana debitur hanya berjanji akan berusaha untuk mencapai
suatu hasil tertentu. Prestasi untuk memberikan informasi yang cukup, bertindak
berdasarkan prinsip kecermatan dan kehati-hatian termasuk prestasi atau
kewajiban yang timbul dari bentuk perjanjian ini, konsekuensinya dengan tidak
terpenuhinya kewajiban ini akan menimbulkan suatu wanprestasi dari pihak notaris,
seorang notaris yang telah membuat akta cacat hukum yang berakibat akta
tersebut dibatalkan atau dinyatakan sebagai akta dibawah tangan, telah
melalaikan kewajibannya untuk memberikan informasi yang cukup kepada pihak yang
memohon untuk dibuatkan akta. Di dalam bentuk perjanjian ini, yang ditekankan
adalah usaha maksimal dari seorang notaris untuk mencapai hasil tertentu,
sehingga apabila notaris telah melakukan usaha semaksimal mungkin namun tujuan
tidak tercapai, maka notaris tersebut tidak dapat dikatakan telah melakukan
wanprestasi. Bentuk perjanjian lain antara notaris dan pihak yang memohon
dibuatkan aktanya adalah resultaat verbintenis, yaitu suatu perikatan dimana suatu
hasil tertentu diperjanjikan. Kewajiban yang ditimbulkan dari
perikatan ini adalah kewajiban menghasilkan, sehingga notaris harus menanggung
atau menjamin bahwa akta yang dibuat menurut bentuk yang ditentukan adalah sah,
agar dikemudian hari akta tersebut dapat digunakan untuk mendalilkan haknya,
meneguhkan haknya bahkan membantah hak orang lain (Alhaqi, 2019).� Selain tanggung jawab notaris dalam konstruksi
wanprestasi yang didasarkan perjanjian, notaris juga dapat dimintakan
pertanggung jawaban dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan
melawan hukum ini termasuk juga perbuatan yang secara langsung melanggar
peraturan lain yaitu kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat (Susilo, 2013).� Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat
aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan
kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan
perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian.
Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan melawan
hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.
Kedua, Tanggung
jawab Notaris secara administrasi atas akta yang dibuatnya. Sanksi administrasi
berdasarkan
Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan ada 5 (lima) jenis sanksi
administrasi yang diberikan apabila seorang Notaris melanggar ketentuan, yaitu:
a. Peringatan lisan; b. Peringatan tertulis; c. Pemberhentian sementara; d.
Pemberhentian dengan hormat; dan e. Pemberhentian dengan tidak hormat.
Ketiga, Tanggung
jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya. Pidana dalam hal ini
adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang Notaris dalam kapasitasnya
sebagai Pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks individu
sebagai warga negara pada umumnya.
Sebagai bentuk
petanggung jawaban
notaris, terdapat sanksi yang dapat diberikan kepada notaris sesuai dengan
kesalahan yang telah diperbuat. Sanksi tersebut sebagai penyadaran bahwa
notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan
mengenai pelaksanaan tugas jabatan notaris sebagaimana tercantum dalam UUJN dan
untuk mengembalikan tindakan notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk
tertib sesuai dengan UUJN. Selain itu, pemberian sanksi terhadap notaris
sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari tindakan notaris yang dapat
merugikan. Notaris yang melakukan pelanggaran dapat dikenai sanksi berupa
sanksi perdata, administrasi dan kode etik jabatan notaris. Sanksi-sanksi
tersebut telah diatur dalam UUJN dan kode etik jabatan notaris, namun tidak
mengatur adanya sanksi pidana terhadap notaris. Oleh karena UUJN dan kode etik
jabatan notaris tidak mengatur sanksi pidana, maka apabila terjadi pelanggaran
pidana yang dilakukan oleh notaris dapat dikenakan sanksi pidana yang terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sanksi perdata
dapat pula dijatuhkan kepada notaris berupa penggantian biaya, ganti rugi dan
bunga. Tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris perlu
didasari oleh hubungan hukum antara notaris dan para penghadap. Untuk
menentukan hubungan hukum antara notaris dan para penghadap harus dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata, bahwa akta autentik menjadi mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan dengan alasan tidak berwenangnya pejabat
umum yang bersangkutan, atau tidak mampunyai pejabat umum
yang bersangkutan, atau cacat dalam bentuknya, atau karena akta notaris
dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum.
Berkaitan dengan Akta yang dibuat oleh Notaris�
diluar wilayah jabatannya dapat meminta pertanggungjawaban kepada
Notaris yang membuatnya. Ketentuan notaris mengenai wilayah jabatan notaris
yang diatur dalam UUJN memiliki ketentuan mengenai batasan wilayah jabatan
notaris sesuai dengan undang-undang jabatan notaris mengenai tempat kedudukan
dan wilayah jabatan notaris terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UUJN,
dimana Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa Notaris dalam menjalankan jabatannya harus di
daerah provinsi dimana dia diangkat, dilantik atau disumpah.
Selanjutnya
terkait dengan
Akta yang dibuat oleh Notaris diluar wilayah jabatannya tidaklah cacat dalam
bentuknya tapi melanggar tata cara pembuatannya karena akta dibuat diluar
wilayah jabatannya melanggar larangan yang diatur dalam ketentuan Pasal 17 ayat
(1) huruf a UUJN. Hal ini apabila benar-benar dilakukan Notaris maka Notaris
dapat dimintai pertanggungjawaban dan diberi sanksi karena Notaris tidak
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN, dimana
Notaris harus memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Namun demikian, untuk dapat meminta
pertanggungjawaban notaris secara perdata, maka pihak-pihak terlebih dahulu
harus membuktikan bahwa akta yang dibuat oleh Notaris tersebut tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta dibawah tangan. Akta notaris tidak dapat dinilai atau dinyatakan secara
langsung secara sepihak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan atau batal demi hukum oleh para pihak yang namanya tercantum dalam akta
atau oleh orang lain yang berkepentingan dengan akta tersebut.
Penilaian akta
tersebut harus melalui prosedur gugatan ke pengadilan umum. Gugatan tersebut
harus dilakukan oleh pihak-pihak dalam akta yang mengalami kerugian langsung
akibat dari akta tersebut agar tidak terjadi penilaian sepihak atas akta yang
dibuat oleh Notaris� diluar wilayah
jabatannya. Pihak-pihak yang dirugikan tersebut wajib membuktikan bahwa benar
bahwa akta yang dibuat oleh Notaris dilakukan diluar wilayah jabatannya
sehingga tidak memenuhi aspek formil dari suatu akta autentik dan membuktikan
kerugiannya. Jika pengadilan memutuskan akta tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau batal demi hukum, maka atas putusan
pengadilan tersebut Notaris yang bersangkutan dapat dituntut biaya, ganti rugi
dan bunga atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 1365 KUHPerdata.
Selain
pertanggungjawaban secara perdata, notaris yang bersangkutan dapat pula
dimintai pertanggungjawaban secara administrasi dengan sanksi berupa peringatan
tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau
pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana diatur dalam Pasal 85 UUJN karena
telah melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf b UUJN, dimana Notaris tidak
menjalankan kewajibannya dalam memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya, dan dalam hal ini
kewenangan penjatuhan sanksi administrasi tersebut ada pada� majelis pengawas notaris. Sementara itu,
notaris yang bersangkutan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana
karena pelanggaran terhadap larangan menurut ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf
a UUJN dan larangan tidak melaksanakan kewajiban notaris menurut ketentuan
Pasal 16 ayat (1) huruf b UUJN bukanlah suatu tindak pidana. Namun demikian
notaris yang bersangkutan tidak lepas dari pertanggung jawaban secara
perdata, administrasi maupun kode etik profesi notaris.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat
diketahui bahwa akibat hukum terhadap akta yang dibuat di luar wilayah jabatan
notaris terhadap kekuatan pembuktian akta, baik secara formil maupun materiil
menyebabkan akta notaris batal demi hukum atau tidak sah dan hanya memiliki
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, hal ini terjadi karena tidak
terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan menurut hukum (undang-undang). Salah
satu batasan mengenai akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian dibawah
tangan menurut Pasal 1869 KUHPerdata, karena tidak berwenangnya pejabat umum
yang membuat akta tersebut, maksudnya tidak berwenang karena dibuat diluar
wilayah jabatannya dan tanggung jawab notaris sebagai Pejabat Umum (Negara)
terkait pembuatan Akta Notaris di luar wilayah jabatannya adalah
pertanggungjawaban perdata dan administrasi. Pertanggungjawaban perdata
dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum berupa penggantian biaya,
ganti rugi dan bunga, pertanggung jawaban administrasi dapat diberi sanksi
berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan
hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat.
Abildanwa, Taufiqurrohman. (2016). Mediasi
Penal Sebagai Upaya Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia Berbasis
Nilai-Nilai Keseimbangan. Jurnal Pembaharuan Hukum, 3(1),
138�148. Google
Scholar
Adjie, Habib. (2011). Kebatalan Dan
Pembatalan Akta Notaris. Refika Aditama. Google
Scholar
Agus, Dede. (2013). Kedudukan Konvensi Ilo
Sebagai Sumber Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan Indonesia. Jurnal Hukum
Internasional, 7. Google
Scholar
Alhaqi, Hadi Nuskah. (2019). Otentisitas
Suatu Akta Notaris Tanpa Adanya Dokumen Pendukung Akta. Indonesian Notary,
1(003). Google
Scholar
Asikin, H. Zainal, & Sh, S. U. (2019). Hukum
Acara Perdata Di Indonesia. Prenada Media. Google
Scholar
Aswadi, Hajral. (2019). Analisis
Kekuatan Hukum Covernote Menurut Kaidah Hukum Di Indonesia Dikaitkan Dengan
Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak. Uns (Sebelas Maret University). Google
Scholar
Borman, M. Syahrul. (2019). Kedudukan
Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Perspektf Undang-Undang Jabatan Notaris. Jurnal
Hukum Dan Kenotariatan, 3(1), 74�83. Google
Scholar
Fakhriah, Efa Laela. (2011). Bukti
Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata, Edisi Ke 2. Alumni, Jakarta.
Google
Scholar
Fariz, Helmy Rasyad. (2012). Tanggung
Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang Tidak Memenuhi Ketentuan Pasal 16 Ayat
(1) Huruf L Dan Ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris. Diponegoro University. Google
Scholar
Harris, Fairus. (2021). Kekuatan
Pembuktian Akta Notaris Yang Dibuat Di Luar Wilayah Jabatan Notaris.
Retrieved From Https://Blog.Bplawyers.Co.Id/Kekuatan-Pembuktian-Akta-Notaris-Yang-Dibuat-Di-Luar-Wilayah-Jabatan-Notaris/.
Google
Scholar
Ilham, Syofyana. (2015). Kedudukan Saksi
Instrumenter Pada Akta Notaris Dalam Kaitannya Dengan Ketentuan Pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Serta Perlindungan Hukumnya. Upt.
Perpustakaan Unand. Google
Scholar
Kusuma, Ageng Marta. (2019). Tinjauan
Hukum Tentang Hak Ingkar Notaris Sebagai Saksi Di Persidangan Dalam Jabatan
Notaris. Uns (Sebelas Maret University). Google
Scholar
Purwaningsih, Endang. (2015). Bentuk
Pelanggaran Hukum Notaris Di Wilayah Provinsi Banten Dan Penegakan Hukumnya. Mimbar
Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 27(1), 14�28. Google
Scholar
Setiadewi, Kadek, & Wijaya, I. Made
Hendra. (2020). Legalitas Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Sebagai Akta
Otentik. Jurnal Komunikasi Hukum (Jkh), 6(1), 126�134. Google
Scholar
Sjaifurrachman, Habib Adjie. (2011). Aspek
Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta. Mandar Maju, Bandung. Google
Scholar
Susilo, Agus Budi. (2013). Reformulasi
Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Atau Pejabat Pemerintahan Dalam Konteks
Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Jurnal Hukum Dan Peradilan,
2(2), 291�308. Google
Scholar
Sendy Melinda, Gunawan Djajaputra
(2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |