Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849 e-ISSN : 2548-1398
Vol. 3, No 3 Maret 2018
Universitas Swadaya Gunung Jati Email: [email protected]
Kekerasan Dalam rumah tangga (selanjutnya disebut KDRT) merupakan fenomena yang umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. KDRT banyak terjadi karena berbagai faktor, apakah itu perbedaan sudut pandang, atau masalah ekonomi, dan lain sebagainya. Pada umumnya KDRT ini terjadi pada pasangan wanita. Secara konsepsi budaya, di Indonesia sendiri memiliki cara pandang budaya patriarki. Budaya yang lebih mengunggulkan nasab laki-laki dan laki-laki sebagai penentu kebijakan dalam rumah tangga. Namun demikian, dalam masalah kekerasan, Pemerintah sendiri sudah berupaya untuk mengurangi angka KDRT dengan kebijakan UU no 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun sepertinya upaya ini belum maksimal karena angka kekerasan cenderung. Latar belakang diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 2004 tersebut adalah sebagai bentuk antisipasi pemerintah dalam menekan angka kekerasan pada perempuan. Persoalan Rumah Tangga merupakan ranah privat, sehingga Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga sering tidak terekpose kepada pihak keluar, akibatnya kurang tertangani karena orang atau pihak terkait tidak mengetahui bahwa telah terjadi kekerasan. Selain karena faktor privat, ada faktor lain yang menyebabkan masalah kekerasan tersebut tidak sampai tertangani yaitu kuatnya budaya patriarki pada masyarakat Indonesia.
Manusia sebenarnya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk yang sadar. Potensi yang dimiliki tersebut menjadi manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak dan pemikiran. Melalui kemampuan berpikir manusia dapat belajar dari pengalaman dan memiliki ilmu pengetahuan. Melalui kehendaknya juga manusia dapat mengarahkan prilakunya agar menjadi positif dan baik. Sarana lain dalam meningkatkan pengalaman dan ilmu pengetahuan manusia adalah melalui pengalaman logika. Sementara mengenai sarana dalam memperbaiki prilaku adalah melalui etika dan
108
estetika. Bertumpu pada masalah logika, maka manusia merupakan makhluk berpikir yang akan senantiasa mencari kebenaran melalui cara berpikir yang sistematis dan komprehensif. (Soekanto, 1985:5) Bertumpu pada teori dasar kemampuan manusia tersebut, maka pada pada dasarnya manusia memiliki nilai-nilai dan kaedah-kaedah yang melekat pada kehidupa masyarakat. Namun, tidak jarang juga nilai-nilai idealis tersebut tidak sesuai dengan kondisi atau kenyataan dilapangan. Hal tersebut menyebabkan timbulnya pertentangan antara harapan dan kenyataan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kant, yakni tentang perbedaan antara apa yang ada (Fakta das sein) dan apa yang seharusnya (fakta das sollen). (Theo, 1995:45)
Di dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya manusia harus diperlakukan secara sama dan seimbang, tanpa perlu melihat latar belakang atau jenis kelamin. Karena manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan berbagai macam keistimewaan, salah satunya adalah hak memiliki kebebasan. Menurut JJ Rosseau, dalam keadaan alamiah, manusia itu bebas dan berdaulat atau otonom, artinya ia tidak taat kepada siapapun. Kebebasan adalah hak milik setiap manusia sejak pertama ia dilahirkan dan menghirup udara yang memberinya kehidupan, tidak ada hukum manusia satupun yang dapat merampas hak nya itu. Sebab hak nya itu didapatkannya dari hukum alam. Oleh karenanya, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan manusia menerima keharusan. Pertama, jika keharusan itu dari luar dirinya, maka pastilah berasal dari Tuhan sendiri atau dari sesama manusia. Sebab, tidak sesuatu hal pun yang lain yang kedudukannya lebih rendah daripada manusia dapat memaksakan keharusan baginya. Jika keharusan itu dari luar dirinya, maka pastilah berasal dari sesama manusia yang secara politis terorganisir dalam suatu Negara, atau berasal dari tuntutan hidup bersama masyarakat atau Negara. Immanuel Kant menyatakan bahwa kewajiban itu berasal dari diri sendiri. Ini dapat terjadi karena setiap individu memiliki kehendak baik, yaitu kehendak berbuat atas dasar motivasi kewajiban. Kewajiban ini perlu untuk berbuat sesuai hukum yang berlaku. (Sumaryono, 1987: 69)
Adanya hak manusia untuk mendapatkan kebebasan secara penuh akan hilang ketika ia berbenturan kepentingan dengan orang lain atau terikat kewajiban, entah kebebasan itu akan hilang sedikit atau banyak atau bahkan hilang seluruhnya. Suatu contoh misalnya dalam masyarakat kita, hilangnya kebebasan seorang laki-laki atau perempuan ketika ia terikat dalam suatu perkawinan. Perkawinan membuat dua
kepentingan menjadi satu, menyelaraskan antara keduanya sehingga dapat menghasilkan hasil atau keadaan yang positif bagi kedua belah pihak. Yang menjadi permasalahan adalah, tidak setiap perkawinan dapat memadukan dua kepentingan berhasil dengan baik.
Banyak sekali penyebab mengapa perkawinan bisa gagal. Salah satu sebabnya adalah kuatnya budaya patriarki di Indonesia yang mengakibatkan terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Indonesia sendiri menganut system budaya patriarki, yaitu menarik garis keturunan dari pihak laki-laki. Hal ini mempunyai banyak implikasi baik positif maupun negatif. Apabila kita runut, terjadinya kesewenang-wenangan terhadap perempuan, memang terjadi karena budaya patriarki tersebut. Hal tersebut sudah sangat lama terjadi, dan salah satu tandanya adalah perbedaan yang diberikan sangat jelas terhadap laki - laki dan perempuan.
Pada zaman dulu, laki-laki mempunyai peluang untuk melanjutkan pendidikan, sementara perempuan tidak mempunyai kesempatan dan hanya diam dirumah karena nasibnya sudah ditentukan. Cara pandang tersebut didasari oleh adanya pemahaman bahwa seorang perempuan seberapa pun tingginya pendidikan akan tetap menjadi ibu yang hanya mengurusi rumah tangganya. Walaupun ada perubahan di zaman RA Kartini, dimana beliau sudah memperjuangkan kepentingan kaum perempuan agar perempuan dapat mengapresiasikan diri dan mensejajarkan diri dengan laki-laki, dengan tetap tidak melupakan kodratnya sebagai seorang ibu atau lainnya. Kuatnya budaya Patriarki juga terlihat pada salah satu pasal dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam sebuah perkawinan, seorang suami diperbolehkan untuk mempunya pasangan istri lebih dari satu (poligami) namun dalam keterangan tersebut dilanjutkan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat tersebut diantaranya adalah seorang istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri misalnya dikarenakan sang istri sakit berat atau mendapat cacat badan, atau hal lain seperti tidak dapat memberikan keturunan.
Secara tegas istri dituntut untuk dapat melakukan pelayanan secara sempurna terhadap suami. Jika istri mendapat cacat badan atau sakit berat maka fungsi pelayanannya menjadi tidak maksimal. Jika istri tidak dapat memberikan keturunan anak, maka fungsi reproduksi terganggu dan istri lagi-lagi dianggap tidak mampu melayani suaminya dengan baik. Tentu hal tersebut bertentangan dengan ketentuan
yang menyatakan bahwa suami istri haruslah saling setia dan menerima kelebihan serta kekurangan masing-masing. Laki – laki dapat beristri lebih dari satu apabila terjadi hal- hal seperti yang penulis uraikan di atas, namun di dalam UU ini tidak diatur, bagaimana jika lelaki yang berada di dalam posisi sakit atau tidak dapat memberikan keturunan? Kuatnya budaya patriarki dan sifat perempuan yang terbisaa menerima dan pasrah, membuat seorang perempuan terkadang tidak memiliki posisi tawar di dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga.
Akibatnya, banyak terjadi kasus KDRT yang dilakukan seorang suami terhadap istri. Di Akhir tahun 2016, Komnas Perempuan Indonesia mencatat adanya 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan. (BBC.com) Dimana didalam ranah personal/rumah tangga, kekerasan yang tertinggi yaitu kekerasan terhadap istri 5.784 kasus, kekerasan dalam pacaran atau KDP mencapai 2.171 kasus, kasus kekerasan anak perempuan 1.799 kasus, yang lainnya adalah kekerasan yang dilakukan mantan suami, pacar serta terhadap pekerja rumah tangga. Meninjau lebih lanjut data tersebut maka, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang sangat memprihatinkan.
Tinggi kasus kekerasan terhadap perempuan menandakan bahwa hal ini haruslah mendapat perhatian serius. Data ini merupakan peristiwa kekerasan yang berhasil dilaporkan, namun ternyata lebih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan ke aparat berwenang oleh korban karena berbagai macam alasan. Karena itulah, penulis ingin membahas mengapa KDRT banyak terjadi, apa penyebabnya dan bagaimana cara pencegahannya dilihat dari sudut sosiologi hukum.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metodologinya. Metode kualitatif merupakan metode yang diperoleh melalui data-data yang sudah terkumpul dan diinventarisir seseuai dengan kebutuhan masalah penelitian. Pengumpulan data sendiri dilakukan dengan pendekatan studi literatur. Studi literatur sendiri adalah pendekatan penelitian yang bisa bilang wajib, mengingat studi literatur sendiri dibutuhkan untuk pengumpulan data ilmiah di luar kegiatan pengumpulan data primer. Studi literatur peneliti lakukan dengan mengumpulkan sumber literatur seperti buku, majalah, paper, hingga karya tulis yang bersinggungan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Data yang diperoleh kemudian penulis analisis menggunakan
analisis deskriptif. Analisis ini dilakukan dengan memberi gambaran atas hasil penelitian. Hasil-hasil tersebut penulis gambarkan guna mencari kesimpulan penelitian.
Manusia hidup di dalam masyarakat. Selama manusia hidup bersama sebagai sekumpulan individu-individu, tentunya manusia haruslah menaati aturan-aturan atau norma-norma yang dianut masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia merupakan makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, Ia membutuhkan manusia lain dalam menjalani kehidupannya. Karena itu sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia dituntuk untuk saling bekerja sama dalam bentuk interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan bentuk kontrak sosial yang satu sama lain membutuhkan, karena itu dalam menjalaninya membutuhkan kerjasama. Dua jenis laki-laki dan perempuan telah Tuhan ciptakan, agar manusia saling membantu dalam memenuhi kebutuhannya. Mereka diberikan anugerah untuk saling memberi dan menerima dalam masalah kasih dan sayang atau kongkritnya perkawinan yang syah.
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan social yang dinamis, menyangkut hubungan antara satu individu dengan individu lain, ataupun antara satu kelompok dengan kelompok lain. Kontak social tidak mungkin akan terjadi apabila terjadi dua hal, diantaranya :
Adanya Kontak Sosial
Adanya Komunikasi
Di dalam kasus KDRT tentunya yang terjadi adalah kontak sosial yang negatif. Mengapa negatif.? Karena kekerasan terjadi dalam ruang domestik dan tidak dikehendaki oleh satu pihak lainnya. Tentunya kontak sosial negatif tersebut merugikan pihak lain khususnya yang menjadi korban yang dalam hal ini adalah perempuan. Kontak sosial yang terjadi diantara suami dan istri yang hidup di dalam satu rumah tangga, oleh sosiologi disebut juga sebagai pertentangan atau pertikaian. Dalam kontak sosial, mesti akan bertemu dengan masalah ataupun pertikaian, dimana pertikaian akan melibatkan dua orang atau kelompok, mereka berusaha untuk mencapai kepentingannya dengan jalan melawan pihak yang menjadi ancaman atau hambatannya. Akar-akar masalah dari terjadinya pertentangan antara lain:
Adanya dua kepribadian yang dijadikan satu di dalam suatu ikatan pernikahan tentunya bukan tanpa masalah. Dua orang yang berbeda latar belakang, budaya, status social dan lain sebagainya tentu akan saling bergesekan cepat atau lambat. Perbedaan kepribadian merupakan satu alasan awal terjadinya pertikaian, ditambah lagi adanya perbedaan budaya dan pola asuh yang tentunya berbeda apabila mereka berasal dari wilayah yang tidak sama.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, salah satu faktor dari penyebab terjadinya KDRT adalah kuatnya budaya patriarki yang dipercayai oleh masyarakat. Mengapa demikian? Sebab, laki-laki yang merasa sejak awal mempunyai banyak keistimewaan dibandingkan perempuan, akhirnya mengakibatkan adanya perasaan berkuasa yang berlebihan pada diri laki-laki. Ketika perasaan lebih berkuasa tersebut tidak didampingi dengan perasaan welas asih terhadap perempuan, maka yang akan terjadi adalah
kesewenang-wenangan yang berujung pada terjadinya kekerasan. Tidak ada pola yang jelas untuk menggambarkan atau meramalkan karakteristik perempuan yang menjadi korban KDRT. Begitupun juga dengan karakteristik laki-laki, tidak ada ciri khusus yang menjadi pelaku KDRT. Namun begitu terjadi KDRT di Indonesia merupakan fenomena yang bisa saja terjadi diberbagai kondisi atau budaya, artinya masalah tersebut merupakan fenomena lintas kelas, lintas suku dan lintas agama.
Menurut data LBH APIK Jakarta, bahwa perempuan yang mengalami kekerasan dari suami memiliki latar belakang yang sangat beragam. Namun demikian, kaum perempuan dari kelas sosial menengah maupun atas lebih mengetahui bagaimana cara mendapatkan pengaduan KDRT. Selain itu, kanyataan yang ada menjelaskan meski perempuan bekerja mencari nafkah, tidak berarti bahwa ia telah mandiri secara emosional dan social dari pasangan hidupnya. Cukup banyak perempuan bekerja yang ternyata mengalami ketergantungan secara sosial dan emosional pada pasangan hidupnya sehingga tidak dapat melepaskan diri dari kekerasan yang dialaminya. Sedangkan umumnya menjadi subyek kekerasan, pada dasarnya memiliki beberapa karakteristik umum, yaitu:
Menolak mengakui bahwa ia sedang dalam atau melakukan kekerasan, serta cenderung mengurangi, menghilangkan detail penting, berbohong mengenai frekuensi dan keparahan tindak kekerasannya.
Tidak mampu berefleksi dan melihat kesalahan dan kekurangan diri, sibuk menyalahkan pihak-pihak lain di luar dirinya, terutama istri atau pasangan hidup yang menjadi korban kekerasannya. Dengan sendirinya hampir semua pelaku juga tidak merasa bertanggung jawab atas perbuatannya maupun akibat dari tindakannya.
Melihat prilaku yang ditampilkannya sebagai suatu hal yang wajar, seharusnya, tidak perlu dipertanyakan, benar dan sesuai. Tindakannya merupakan konsekwensi wajar dari tidak ditaatinya kemauannya, atau tidak terpenuhinya keinginannya.
Menginternalisasi peran tradisional (eksesif) laki-laki yang harus menjadi kepala keluarga, dalam arti, harus didengar, ditaati dan diikuti kata-kata nya. Ia bereaksi sangat cemas sekaligus marah bila pasangan atau anak menyatakan pandangan berbeda. Ia kemudian melakukan langkah–langkah apapun, termasuk cara–cara
kekerasan untuk mengendalikan mereka. Cukup banyak pelaku kekerasan yang menganggap istri dan anak adalahhak milik yang dapat diperlakukan sesuai dengan kemauannya.
Hampir semua bentuk emosi negative dipahami dan diekspresikan dalam bentuk kemarahan. Kecemasan akan terlihat kelemahannya ditutupi dengan perilaku agresif dan kemarahan.
Menurut teori sosiologi, pembentukan kepribadian individu dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan, organisme biologis, lingkungan alam dan lingkungan sosial individu tersebut. Laki-laki yang tinggal bersama ibu nya yang merupakan single parents mungkin akan berprilaku baik terhadap perempuan karena melihat perjuangan ibu nya dalam membesarkan dia. Namun sebaliknya, lakillaki yang dari kecil hanya tinggal bersama ayahnya karena misalnya ibunya meninggalkan dia, akan membentuk kepribadian laki-laki tersebut menjadi keras dan akan membentuk pemikiran negatif di kepalanya tentang seorang perempuan.
Dari uraian penulis di atas, dapat terlihat bahwa laki–laki yang melakukan kekerasan terhadap istrinya adalah laki–laki yang tidak memiliki rasa percaya diri, entah karena istrinya memiliki karir atau kehidupan yang lebih cemerlang dibanding dirinya atau karena alasan lain. Selain itu perempuan yang menjadi korban kekerasan pun, pada intinya sudah terikat terlalu dalam dengan budaya bahwa perempuan di bawah laki-laki, bahwa ketika terjadi pertengkaran rumah tangga, semuanya terjadi karena kesalahan perempuan. Pola pikir yang benar-benar harus diubah.
Maraknya kasus KDRT, membuat Pemerintah menaruh perhatian lebih serius dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, karena selama ini persoalan kekerasan hanya mengacu pada satu kodifikasi hukum pidana Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP adalah peninggalan colonial Belanda yang diadopsi sebagai suatu Undang-Undang.
Dengan latar masalah tersebut, sudah tentu banyak kepentingan perempuan yang tidak terakomodir di dalamnya. Indonesia belum memiliki perangkat hukum lain, sehingga semua persoalan KDRT masih dialami kaum perempuan, karena mengacu pada Kitab Undang–Undang Hukum Pidana ( KUHP ), mulai dari persoalan pelecehan seksual, KDRT, perkosaan, perdagangan perempuan sampai dengan persoalan aborsi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 memberikan satu harapan baru bagi
masyarakat khususnya perempuan. Walaupun tidak selalu obyek kekerasan tersebut adalah perempuan, namun mau tidak mau harus diakui bahwa korban kekerasan tersebut didominasi oleh perempuan dengan adanya berbagai macam latar belakang. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, KDRT terbagi menjadi 4 hal :
Kekerasan Fisik
Kekerasan Psikis
Kekerasan Ekonomi, dan
Kekerasan Seksual
Dengan adanya Undang-Undang ini, pemerintah berupaya mengurangi tindak atau kasus KDRT yang biasa dialami oleh perempuan. Upaya ini diharapkan sebagai bentuk perlindungan dan antisipasi terhadap maraknya kasus kekerasan atau KDRT. Melalui UU penulis harapkan agar masalah tersebut dapat diselesaikan dan berimplikasi pada kerukukan hidup baik di keluarga maupun masyarakat.
Namun didalam implementasi dan praktiknya, ternyata Undang-Undang tersebut belum maksimal. Artinya KDRT masih cukup banyak terjadi di masyarakat kita. Karena jika mengacu pada angka kasus KDRT masih cenderung meningkat. Undang-Undang ini ternyata belum dapat menekan angka kekerasan karena persoalan rumah tangga selama ini dipercaya sebagai persoalan domestik yang terjadi dibalik sekat. Sehingga banyak orang yang tidak ikut campur bahkan menganggap itu adalah ranah pribadi. Ketidaktahuan dan ketidakpedulian ini pada akhirnya menambah korban-korban kekerasan di dalam rumah tangga, khususnya perempuan.
KDRT yang umumnya terjadi pada perempuan, merupakan fenomena yang banyak terjadi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang diharapkan dapat menekan maraknya kasus kekerasan ternyata belum maksimal. KDRT masih sering terjadi dan angka kejadian kasus tersebut masih cenderung banyak. Banyak hal yang menjadi faktor penyebab kasus KDRT itu terjadi, namun apapun alasannya KDRT harus tetap direspon sebagai masalah yang perlu ditanggulangi. Sulitnya akses informasi KDRT dikarenakan masalah tersebut berada pada area domestik keluarga. Sehingga sulit sekali untuk terekspos kepada pihak luar. Terkadang banyak orang tidak tahu bahwa terjadi kekerasan di dalam keluarga. Selain itu, budaya patriarki yang kuat juga
menyebabkan banyak perempuan menjadi obyek kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Eugenius Sumaryono. 1987. Filsafat Hukum Sebuah Pengantar Singkat. Ctk.Pertama, Universitas Atmajaya. Yogyakarta.
Gillian, Gillin. 1954. Cultural Sociology, a revision of An Introduction to Sociology.
cetakan ke-3. The Macmillan Company: New York.
Kimball Young, Raymond, W. Mack. 1959. Sociology and Social Life. American Book Company: New York.
Komnas Perempuan. 2004. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia.
ctk.Pertama. Ameepro: Jakarta.
Leopold von Wiese, Howard Becjer. 1932. Systematic Sociology. John R. Wiley Sons: New York.
Sistem Peradilan Pidana Terpadu Yang Berkeadilan Gender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
Soerjono Soekanto. 1974. Faktor – Faktor Dasar Interaksi Sosial dan Kepatuhan Pada Hukum – Hukum Nasional. Rajawali: Jakarta.
. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar, ctk.Pertama. Rajawali: Jakarta. Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum. ctk.Ketiga. Kanisius: Yogyakarta.
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga