Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849 e-ISSN : 2548-1398

Vol. 3, No 3 Maret 2018


image


PELAYANAN PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU DI INDONESIA

Munandar Nugraha Saputra

Universitas Nasional Jakarta

Email: [email protected]


Abstrak

Penelitian ini mendeskripsikan pelayanan publik oleh penyelenggara pemilu sejak dilaksanakannya pemilu pertama di negeri ini, dengan mempelajari berbagai dokumen terkait sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi dokumen. Dinamika dan perkembangan paradigma dalam ilmu administrasi publik memberikan perhatian khusus terhadap kajian pelayanan publik, terutama, yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga negara. Pada tahun 1990-an, muncul konsep paradigma New Publik Service (NPS), dimana masyarakat diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government). Masyarakat sebagai warga negara, bukan sekedar “pelanggan”, dalam istilah paradigma New Publik Management (NPM) yang muncul ditahun 1980-an. Jauh sebelumnya, ada paradigma Old Publik Administration (OPA) sejak tahun 1850an, dimana pelayanan publik berjalan sangat birokratis, hierarkis, tertutup dan partisipasi masyarakat sangat terbatas. Diluar perkembangan paradigma tersebut, pelayanan publik dalam pelaksanaan pemilu oleh Lembaga Penyelenggara Pemilu, justru sudah mengadopsi konsep NPS sejak awal pemilu dilaksanakan di negeri ini, pemilu tahun 1955. Partisipasi rakyat dalam pemilu adalah bagian penting untuk melegitimasi hasil pemilu. Penyelenggara pemilu memandang, rakyat tidak hanya sebagai pemilik pemerintahan, tetapi sebagai pemegang kedaulatan. Dalam dinamika dan perkembangan konsep paradigma ilmu administrasi di atas, tentu hal ini merupakan lompatan yang luar biasa, jauh melampaui kajian keilmuan dari zamannya. Pelayanan publik dalam pelaksanaan pemilu merupakan pelayanan yang sangat mendasar bagi keberlangsungan sistem demokrasi di negeri ini. Setidaknya ada dua pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara pemilu. Pertama, pelayanan kepada masyarakat secara umum yang terbagi dua, yaitu menjamin hak memilih dan dipilih (hak konstitusional). Penyelenggara pemilu wajib melayani setiap masyarakat yang memenuhi persyaratan untuk dapat menggunakan hak pilih-nya, dan hak dipilih-nya (sebagai anggota legislatif, kepala daerah dan Presiden/wakil presiden) dalam pemilu. Kedua, pelayanan kepada partai politik, pelayanan ini diberikan sejak awal tahapan pelaksanan pemilu, mulai dari pendaftaran partai politik, verifikasi partai, masa kampanye, pemungutan suara hingga rekapitulasi suara dari masing-masing partai yang hasilnya dikonversi menjadi kursi di DPRD, DPD RI, DPR RI dan terpilihnya Presiden/wakil presiden. Penelitian ini akan fokus membahas pelayanan hak pilih rakyat dalam pemilihan umum oleh penyelenggara pemilu.

Kata Kunci: Pelayanan Publik, Pemilu


119

Pendahuluan

Paradigma administrasi publik terus berkembang sesuai dengan tantangan zamannya. Berawal dari Benua Eropa dan Amerika, kemudian menjadi “trend dunia” dan diadopsi banyak negara-negara baru, yang baru memerdekakan diri dari penjajahan atau pun dimerdekakan sebagai negara persemakmuran.

Berawal dari daratan Eropa (Wina), L. Van Stein (1855) sebagai penggagas Ilmu Administrasi, mengembangkan ilmu Administrasi yang menekankan pada pendekatan hukum. Kemudian di Amerika, ada Thomas W. Wilson (1856–1924) sebagai pengembang ilmu administrasi, yang menekankan pada pendekatan manajemen. Wilson dalam Bukunya “The Study Of Administration” menjelaskan empat hal konsep. Pertama, Dikotomi Politik-Administrasi. Kedua, Prinsip-prinsip Administrasi. Ketiga, Analisis perbandingan organisasi politik dan privat melalui skema politik. Dan keempat, Capaian manajemen melalui pemberian pelatihan-pelatihan pada karyawan negeri dan kemudian mengevaluasinya. Tulisan Wilson tersebut, dikenal sebagai tonggak awal ilmu Administrasi dikenal sebagai era Old Public Administration (OPA).

Pada tahun 1980-an, berkembang konsep New Public Management (NPM) khususnya di New Zealand, Australia, Inggris dan Amerika. Krisis kesejahteraan adalah pemicunya. Kemudian, karena promosi dari Bank Dunia, IMF, Sekretariat Negara Persemakmuran (lembaga-lembaga internasional) dan para konsultan manajemen, konsep ini menjadi populer di tahun 1990-an. NPM mengoptimalkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat menjadi lebih efisiensi, ekonomis dan efektif. Konsep ini mendorong pemisahan antara pembuat kebijakan dan yang mengimplementasikan kebijakan, membuka partisipasi swasta dengan kontrak kerja, pasar internal, sub- kontrak dan metode lainnya. NPM membantu meningkatkan kinerja organisasi pada sektor publik dengan strategi yang digunakan sektor privat.

Pelajaran penting dari NPM adalah, pengembangan manajemen birokrasi perlu dilandaskan pada kebutuhan dan mekanisme pasar. Pemerintah harus melayani masyarakat selayaknya pelanggan, yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Disini, NPM ingin menciptakan budaya organisasi yang kreatif, inovatif dan fleksibel. Dengan demikian aspek proses lebih diutamakan dari pada input atau hasil (Rosenbloom & Kravchuck, 2005).

Kemudian, pada tahun 1990-an, muncul konsep New Publik Service (NPS). NPS menjadi babak baru dari reformasi administrasi publik, terutama di Selandia Baru, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi ini dijalankan sejak masa Perdana Menteri Margaret Thatcher yang didukung dengan karya intelektual Emmanuel Savas, “Privatization” dan Normann Flynn, “Public Sector Management”. Di Amerika Serikat, Gerakan tersebut didukung oleh David Osborne dan Ted Gaebler, dalam karyanya “Reinventing Government”. Kedua gerakan tersebut menjadi inspirasi diberbagai negara dalam mereformasi administrasi publiknya. Dalam konsep NPS, pemerintah merupakan representasi dari warga negara. Karena itu dalam konsepnya, warga negara adalah pemilik pemerintahan (owners of government).

Dari catatan di atas, perkembangan paradigma administrasi publik terbagi dalam tiga fase. Pertama, Paradigma Old Public Administration (1885-1980). Kedua, Paradigma New Public Management (1980-1990) dan Ketiga, Paradigma New Public Service (1990 - sekarang). Sebagai disiplin ilmu yang berkembang dari dialektika intelektual dan pergulatan aktualisasi pelayanan publik yang menuntut perubahan- perubahan sesuai dengan perkembangan zamannya, tentu masing-masing dari pembabakan tersebut telah dilaksanakan sejak konsep itu dipublikasikan.

Paradigma-paradigma yang berorientasi pada pelayanan publik tersebut dengan sendirinya mendorong muculnya konsep-konsep penunjang yang kemudian menjadi teori baru pelayanan publik. Diantaranya adalah, menurut Lenvine (1990:188) bagi negara demokratis, konsep pelayanan publik setidaknya memiliki tiga indikator yaitu: Responsivitas, Responsibilitas, dan Akuntabilitas. Hardiyansyah (2011), menekankan bahwa terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik. Pertama, organisasi pemberi pelayanan yaitu Pemerintah/lembaga negara. Kedua, masyarakat yang memerlukan pelayanan. Ketiga, kepuasan pelanggan.

Dalam konteks tulisan ini, referensi dari teori dan konsep tersebut akan diarahkan pada UU tentang pelayanan publik. Definisi dalam UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang- undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Hal ini penjadi penting, mengingat lembaga penyelenggara pemilu adalah lembaga negara yang tentunya kait mengait dengan peraturan dan standar pelayanan publik dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fokus pelayanan publik oleh lembaga penyelenggara pemilu untuk menegakkan demokrasi di negeri ini, tentunya sangat relevan dengan paradigma NPS. Menurut J.V. Denhardt & R.B. Denhardt dalam bukunya yang berjudul “The New Public Service: Serving, not Steering”, menyatakan bahwa New Public Service lebih diarahkan pada democracy, pride and citizenship, dari pada market, competition, dan customers seperti sektor privat.


Metodologi Penelitian

Sesuai dengan tujuannya, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi dokumen, yaitu dengan mempelajari UU pemilu dari waktu ke waktu yang berpengaruh terhadap kelembagaan penyelenggara pemilu. Ada beberapa keuntungan dari studi dokumen dalam penelitian kualitatif, seperti yang dikemukakan Nasution (2003; 85), yaitu:

  1. Bahan dokumenter itu telah ada, telah tersedia, dan siap pakai.

  2. Penggunaan bahan ini tidak meminta biaya, hanya memerlukan waktu untuk mempelajarinya.

  3. Banyak yang dapat ditimba pengetahuan dari bahan itu bila dianalisis dengan cermat, yang berguna bagi penelitian yang dijalankan.

  4. Dapat memberikan latar belakang yang lebih luas mengenai pokok penelitian.

  5. Dapat dijadikan bahan triangulasi untuk mengecek kesesuaian data.

  6. Merupakan bahan utama dalam penelitian historis.


Hasil dan Pembahasan

Demokrasi dan pemilu adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling melegitimasi. Tidak ada demokrasi tanpa partai politik, dan tidak akan terselenggara demokrasi tanpa penyelenggara pemilu. Pertanyaannya, pelayanan publik yang seperti apa yang diberikan oleh penyelenggara pemilu terhadap rakyat? Bagaimana urgensi pelayanan publik dalam proses demokrasi oleh penyelenggara pemilu? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penting kita pahami bagaimana sejarah dan dinamika perkembangan lembaga penyelenggara pemilu yang terus mengalami transformasi dan perubahan-perubahan karena dinamika politik di eranya masing- masing. Tentu hal itu berdampak pada struktur organisasi dan pelayanan publik oleh penyelenggara pemilu.

Sejarah Penyelenggara Pemilu

  1. Masa Pemerintahan Presiden Soekarno (Pemilu 1955)

    Secara konstitusional, penyelenggaraan pemilu pada tahun 1955 berdasarkan UU NO 7 TAHUN 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante Dan Anggota DPR. Mengapa ada Pemilihan Anggota Konstituante? Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Belanda melakukan agresi militer untuk kembali menjajah dan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, hingga puncaknya dalam perjanjian Konfrensi Meja Bundar 1949, Belanda mengakui Indonesia merdeka dengan bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Dasar hukum RIS adalah UUD Sementara 1950, menggantikan UUD 1945 yang menjadi awal dasar negara Indonesia merdeka. Pemilihan Anggota Konstituante pada pemilu 1955, dimaksudkan untuk membentuk UUD baru. Hingga kemudian sejarah mencatat lahir dekrit Presiden 1959, dan konstitusi Indonesia kembali pada UUD 1945.

    Pada UU NO 7 TAHUN 1953 ini, struktur nasional lembaga penyelenggara pemilu bernama Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), PPI diangkat dan diperhentikan oleh Presiden untuk masa empat tahun. Di provinsi, ada Panitia Pemilihan (PP), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman untuk masa empat tahun. Dan di Kab/Kota, Panitia Pemilihan Kab/Kota (PPK), Bupati/Walikota, karena jabatannya menjadi anggota merangkap Ketua PPK. Anggota yang lain, diangkat dan diperhentikan atas nama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) oleh Gubernur.

    Pada tingkat Kecamatan, ada Panitia Pemungutan Suara (PPS), Camat karena jabatannya menjadi anggota merangkap Ketua PPS. Anggota yang lain, diangkat dan diperhentikan atas nama Mendagri oleh PPK. Dan di Kelurahan/Desa, ada Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih), Lurah/Kepala desa karena jabatannya, menjadi anggota merangkap Ketua Pantarlih. Anggota yang lain, diangkat dan diperhentikan atas nama Mendagri oleh Camat. Pengangkatan PPK, PPS dan Pantarlih itu berlaku untuk waktu yang ditentukan oleh Mendagri. Untuk pemungutan suara di luar negeri, Kepala Perwakilan Republik Indonesia membentuk sebuah panitia di tempat kedudukan perwakilannya yang disebut Panitia Pemilihan Luar Negeri dengan tugas menyelenggarakan pekerjaan-pekerjaan administrasi pemilihan.

    Aspek pelayanan publik pada pemilu 1955 ini dilaksanakan oleh Pantarlih, dengan ketentuan pemilih dalam pemilu adalah WNI yang berumur genap 18 tahun atau yang sudah kawin. Seorang tidak diperkenankan menjalankan hak pilih, apabila tidak

    terdaftar dalam daftar pemilih, dengan putusan pengadilan sedang dalam keadaan dipecat dari hak pilih, dan nyata-nyata terganggu ingatannya.

    Bahkan, karena fundamentalnya hak pilih rakyat, UU ini juga menjamin khusus untuk angkatan perang dengan ketentuan dari Pasal 3 ayat (1) Pemerintah mengadakan ketentuan-ketentuan khusus untuk memungkinkan pelaksanaan hak pilih bagi anggota Angkatan Perang dan Polisi, yang ketika pemungutan suara sedang dalam menjalankan tugas di luar tempat kedudukannya dengan pemungutan suara susulan. (2) Pemungutan suara susulan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada pasal 6, Pendaftaran pemilih yang berada di luar negeri, dilakukan pada Kantor Perwakilan Republik Indonesia menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

    UU ini membagi waktu penetapan Daftar Pemilih menjadi dua tahap, yaitu Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPT). Pada waktu yang ditentukan, DPS diumumkan selama 30 hari. Dalam jangka waktu yang tersebut, dapat diajukan usul-usul perubahan, baik mengenai diri pengusul sendiri maupun diri orang lain. Setelah waktu tersebut berakhir, Pantarlih menyusun daftar pemilih “perubahan” kepada PPS untuk disahkan. Sesudah daftar pemilih disahkan, sampai 30 hari sebelum hari permulaan pencalonan, disusun daftar pemilih tambahan yang ketentuan-ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Dengan ketentuan yang ada, pemilu 1955 memiliki tingkat partisipasi warga yang cukup tinggi. Suara sah saat pemilu mencapai 88 persen dari 43 juta pemilih. Sedangkan pemilih yang suaranya tidak sah atau tidak datang (golput) hanya sebesar 12,34 persen.


  2. Masa Pemerintahan Presiden Soeharto (ORDE BARU)

    1. Pemilu Tahun 1971 dan 1977

      Pemilu 1971 dan pemilu 1977 berdasarkan pada UU NO 15 Tahun 1969 Tentang Pemilu Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Pada UU ini, tidak lagi memilih anggota Konstituante. Secara tingkatan, struktur organisasi penyelenggara pemilu 1971 dan pemilu 1977 tidak berbeda dengan pemilu sebelumnya, akan tetapi terdapat perubahan dalam penyebutan nama dari beberapa struktur dan perubahan pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara pemilu tersebut.

      PPI diketuai oleh Mendagri, anggota-anggota PPI dipilih dan diberhentikan oleh Presiden atas usul dari Mendagri. Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPDT I) diketuai oleh Gubernur, anggota-anggota PPDT I diangkat dan diberhentikan oleh Mendagri, atas usul Gubernur. Panitia Pemilihan Daerah tingkat II (PPDT II) diketuai oleh Bupati/Walikota, anggota-anggota PPDT II diangkat dan diberhentikan oleh Mendagri, atas usul Gubernur. Panitia Pemungutan Suara (PPS) diketuai oleh Camat, anggota- anggota PPS diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul camat. Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih) diketuai oleh Lurah/Kepala Desa, anggota-anggota Pantarlih diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul camat.

      Pada UU tersebut, pendaftaran pemilih masih dilakukan oleh Pantarlih yang berada di tingkat desa/kelurahan. Akan tetapi, karena ada perubahan UU, maka ada beberapa perubahan terkait dengan syarat dan ketentuan-ketentuan pemilih. Diantaranya adalah:

      1. Mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), atau apapun yang termasuk dengan organisasi partai tersebut dan terlibat secara langsung maupun tidak dari tragedi G.330S/PKI, tidak diberikan hak memilih dan dipilih.

      2. Pemilih yang berada diluar negeri dapat mendaftar dan melakukan pemilihan ditempat kedudukan Kepala Perwakilan RI yang bersangkutan.

      3. Pantarlih mengumumkan daftar nama-nama pemilih, untuk kemungkinan usul penyempurnaannya dari penduduk dalam daerah pendaftaran tersebut.

      4. Anggota ABRI tidak menggunakan hak memilih.

      5. Untuk dapat menggunakan hak memilih, harus terdaftar dalam daftar pemilih. Dengan syarat, bukan bekas anggota PKI atau organisasi terlarang lainnya; berumur 17 tahun atau sudah kawin; nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; tidak sedang menjalani pidana penjara yang dikenakan ancaman pidana sekurang- kurangnya lima tahun; dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan yang tetap.

      6. Pemerintah memberitahukan kepada Lembaga Pemilihan Umum nama-nama orang bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya atau yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30.S./PKI" atau organisasi terlarang lainnya.

      7. Menteri Kehakiman memberitahukan kepada lembaga Pemilihan Umum tiap-tiap keputusan Pengadilan yang mengakibatkan seseorang dicabut hak pilihnya.

      Poin penting dari kerja-kerja Pantarlih dalam mendata warga yang berhak menjadi pemilih adalah, mensosialisasikan dan mendorong pemilih yang sudah terdaftar untuk berpartisipasi dalam pemilu, karena partisipasi pemilih dalam pemilu akan berdampak pada sejauh mana legitimasi hasil pemilu itu. Sehingga “golput” menjadi perhatian khusus bagi penyelenggara pemilu. Partisipasi pemilih pada Pemilu tahun 1971 berjumlah 58.558.776 dari total penduduk Indonesia adalah berjumlah 77.654.492. Sedangkan pada pemilu tahun 1977, dari 70.378.750 daftar pemilih, suara yang syah sebanyak 63.998.344 atau 90,93% pemilih yang berpartisipasi.


    2. Pemilu 1982 – Pemilu 1997

      Jelang pemilu 1982, ditetapkannya UU NO 2 Tahun 1980. Poin penting dari perubahan UU ini adalah masuknya unsur partai politik dalam struktur PPI dan adanya unsur Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Dengan struktur, Panwaslak Pemilu Pusat, Panwaslak Pemilu Daerah Tingkat I, Panwaslak Pemilu Daerah Tingkat II dan Panwaslak Pemilu Kecamatan, masing-masing berturut-turut mulai dari Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap sebagai Anggota diisi oleh pihak Pemerintah serta beberapa orang Anggota dari unsur Pemerintah, PPP, PDI, Golkar dan ABRI. UU ini berlaku hingga pemilu 1997.

      Dalam pelaksanaan UU ini, terkait dengan pendaftaran pemilih oleh pantarlih, tidak ada perubahan dasar hukum. akan tetapi, dalam fase ini juga cukup dinamis fluktuasi jumlah golput dalam setiap pemilu. Berikut data partisipasi pemilih dalam pemilu 1982 – 1997:

      1. Pada Pemilu tahun 1982, partisipasi politik sampai 96,5 persen dan jumlah golput mencapai 3,5 persen. Sementara untuk suara yang sah dalam perhitungan tahun 1982 mencapai 75 Juta lebih.

      2. Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen.

      3. Pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1 persen dan jumlah golput mencapai 4,9 persen. Sementara untuk suara yang sah tahun 1992 mencapai 97 Juta lebih suara, dari total pemilih terdaftar 105.565.697 orang.

      4. Untuk Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 93,6 persen dan jumlah golput mulai meningkat hingga 6,4 persen. di tahun ini jumlah suara yang sah hampir 113 Juta suara.


  3. Masa Reformasi

Secara konstitusional, di fase reformasi posisi penyelenggara pemilu menjadi lebih “kuat” karena keberadaannya diatur dalan UUD 1945 hasil amandemen, BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, Pasal 22E ayat (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dan ayat

(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan UU. Pada era reformasi terjadi perubahan yang luar biasa pada keorganisasian penyelenggara pemilu karena terjadi perubahan UU dari pemilu ke pemilu. Sangat dinamis.


  1. Pemilu 1999

    Pemilu tahun 1999 berdasarkan pada UU NO 3 Tahun 1999. Penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang terdiri dari unsur partai peserta pemilu maupun Pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden. KPU, menyusun rencana dan strategi pelaksanaan Pemilu, sehingga pelaksaannya sesuai dengan UU. KPU juga berwenang menetapkan Partai Politik yang akan menjadi peserta Pemilu. Dalam UU ini, PPI dan perangkat dibawahnya menjadi Pelaksanaan teknis.

    Pada UU ini terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam struktur penyelenggara pemilu, khususnya ditingkat kelurahan/desa. Yang awalnya bernama Pantarlih, berubah menjadi Panitia Pemungutan Suara (PPS). PPS bertugas melakukan pendaftaran pemilih, akan tetapi tugas itu didistribusikan pada struktur yang dibentuk PPS, yaitu panitia pendaftaran pemilih.

    Selanjutnya, pada BAB VI tentang PENDAFTARAN PEMILIH Pasal 32 diatur bahwa, Pemberian suara merupakan hak warga negara yang berhak memilih. Pendaftaran pemilih di tempat yang ditentukan, dilakukan secara aktif oleh pemilih dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti diri lainnya yang sah. Untuk Desa/Kelurahan/UPT yang secara geografis sulit dijangkau oleh pemilih dan atau kondisi masyarakatnya masih sulit berprakarsa untuk mendaftarkan diri, PPS berkewajiban aktif melakukan pendaftaran pemilih yang bersangkutan. Penentuan jadwal waktu dimulai dan berakhirnya pendaftaran pemilih ditentukan oleh KPU.

    Dari penjelasan di atas, pelayanan pendaftaran pemilih terbagi menjadi dua pola. Pertama partisipasi aktif dari pemilih dan kedua kewajiban pantarlih untuk “menjemput bola”. Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pada era reformasi. Pada periode ini tingkat partisipasi pemilihan umum sebanyak 92,6 %. Jumlah suara sah ketika itu adalah 105.786.661 suara.


  2. Pemilu 2004

    Struktur penyelenggara Pemilu 2004 berdasarkan pada UU NO 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Susunan personalia kelembagaan, calon anggota KPU diusulkan oleh Presiden untuk mendapat persetujuan DPR dan ditetapkan sebagai anggota KPU. Calon anggota KPU Provinsi diusulkan oleh gubernur untuk mendapat persetujuan KPU. Calon anggota KPU Kab/Kota diusulkan oleh bupati/walikota untuk mendapat persetujuan KPU Provinsi. Calon anggota yang diusulkan tersebut, sebanyak 2 (dua) kali jumlah anggota yang diperlukan. Masa keanggotaan 5 (lima) tahun sejak pengucapan sumpah/janji. Pada struktur yang setara dengan PPS dibentuk PPLN dan di KPPS dibentuk KPPSLN untuk melayani hak pilih WNI yang tinggal di luar negeri.

    Untuk mengawasi pelaksanaan pemilu, KPU membentuk Pengawas Pemilu, struktur panitia pengawas hanya sampai di tingkat kecamatan dan bersifat ad hoc. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) membentuk Panwaslu Provinsi, Panwaslu Provinsi membentuk Panwaslu Kab/Kota, Panwaslu Kab/Kota membentuk Panwaslu Kecamatan.

    Pada UU ini, pendaftaran pemilih masih menjadi tugas dari PPS dan penekanan pada PPLN dengan kewenangan mengangkat petugas pencatat dan pendaftar pemilih. Secara teknis pelayanan, petugas pencatat dan pendaftar dituntut untuk lebih aktif dalam mendata pemilih. Hal itu diatur dalam BAB VI PENDAFTARAN PEMILIH Pasal 53, bahwa Pendaftaran pemilih dilakukan oleh petugas dengan mendatangi kediaman pemilih dan/atau dapat dilakukan secara aktif oleh pemilih. Pendaftaran pemilih bagi WNI di luar negeri, dilakukan secara aktif oleh pemilih dengan mendaftarkan diri ke PPLN setempat dan/atau dapat dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih. Pendaftaran pemilih selesai dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum hari pemungutan suara. Tata cara pelaksanaan pendaftaran pemilih ditetapkan oleh KPU.

    Sayangnya, peningkatan kualitas pelayanan pendataan pemilih ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat partisipasi pemilih pada pemilu 2004 ini. Pemilu 2004 adalah pemilu kedua dalam era reformasi dan pemilu pertama yang memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Karena presiden terpilih sedikitnya harus mendapatkan suara 50% plus 1, maka terjadi dua putaran dalam pemilihan presiden. Sehingga dalam pemilu 2004, terjadi tiga kali pemungutan suara. Yang pertama untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD (pemilihan legislatif - pileg).

    Angka partisipasi memilih pada pemilu 2004 sangat memprihatinkan dalam sejarah pemilu kita, yakni pada pileg turun hingga 84,1 persen dan jumlah golput meningkat hingga 15,9 persen. Pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2 persen dan jumlah Golput 21,8 persen, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6 persen dan jumlah golput 23,4 persen.


  3. Pemilu 2009

    Pemilu tahun 2009 terdapat UU NO 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dalam UU ini struktur organisasi KPU tidak berubah. Akan tetapi, struktur pengawas pemilu, pada tingkat pusat berubah menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu memiliki struktur hingga tingkat kelurahan/desa dengan sebutan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) dan terdapat Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPLN).

    Kemudian, ada mekanisme Badan Kehormatan KPU dan Badan Kehormatan Bawaslu yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, sebagai mekanisme penegakan etik jika terdapat pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh KPU atau Bawaslu. Pada UU ini juga diatur, dalam hal membentuk KPU dan Bawaslu, harus memperhatikan kuota perempuan 30%.

    UU ini mengatur, untuk mengangkat dan memberhentikan KPU, Presiden membentuk Tim Seleksi (Timsel). Timsel mengajukan 21 nama calon kepada DPR. DPR menetapkan 7 peringkat teratas sebagai anggota KPU terpilih, untuk disahkan oleh Presiden. Selanjutnya, untuk membentuk KPU Provinsi, KPU membentuk Timsel. Untuk membentuk KPU Kab/Kota, KPU Provinsi membentuk Timsel dan melakukan uji kelayakan. Kemudian menetapkan 5 anggota terpilih.

    Sekalipun Bawaslu sudah bersifat permanen di tingkat pusat dan memiliki perangkat hingga di kelurahan/desa, secara keorganisasian, Bawaslu masih dibawah bayang-bayang KPU. Karena untuk pengangkatannya, KPU yang membentuk timsel dan diajukan kepada DPR. DPR menetapkan 5 nama peringkat teratas untuk disahkan Presiden. Untuk membentuk Panwaslu Provinsi, calon diusulkan oleh KPU Provinsi, selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Bawaslu. Untuk membentuk Panwaslu Kab/Kota, calon anggota diusulkan oleh KPU Kab/Kota kepada Panwaslu Provinsi untuk kemudian ditetapkan. Untuk menyusun Panwaslu Kecamatan, calon anggota diusulkan oleh KPU Kab/Kota dan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kab/Kota. Hanya pada level Kelurahan/Desa, anggota PPL dipilih dan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kecamatan.

    Pada UU ini, pelayanan publik terhadap pemilih masih dilaksanakan oleh PPS/PPLN dengan membentuk petugas pendata. Jika sebelumnya bernama pantarlih, kini berubah menjadi Petugas Pemuktahiran Data Pemilih (PPDP). UU ini juga mensistematisir langkah-langkah PPS dalam menetapkan data pemilih. Mengumumkan daftar pemilih sementara, melakukan perbaikan data pemilih atas dasar masukan dari masyarakat, mengumumkan daftar pemilih hasil perbaikan, serta menetapkan daftar pemilih tetap dan menyampaikan daftar pemilih kepada PPK/KPU.

    Data partisipasi memilih pada pemilu 2009 ini terjadi kebalikan dari pemilu 2004, jika sebelumnya menurun dari tiga tahapan yang ada, pada pemilu 2009 meningkat dari dua tahapan. Pada saat pileg tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 70,9 persen dan jumlah golput semakin meningkat yaitu 29,1 persen. Sedangkan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih meningkat menjadi 71,7 persen dan jumlah golput mencapai 28,3 persen. Pilpres 2009 hanya satu putaran dan terpilih presiden dengan suara 50% plus satu, karena kandidat presiden/wakil presden yang ada dua pasang calon.


  4. Pemilu 2014

    Di pemilu 2014, lahir UU NO 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu. Pada UU ini, struktur Bawaslu, bersifat permanen pada tingkat pusat dan Provinsi, sedangkan untuk kab/kota masih bersifat ad hoc dengan sebutan panwaslu. Jika pada UU sebelumnya ada “mekanisme – ad hoc” Badan Kehormatan KPU dan Badan

    Kehormatan Bawaslu, pada UU ini “mekanisme” tersebut dilembagakan menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.

    Terkait dengan pembentukan KPU dan Bawaslu, di UU ini sudah memiliki mekanisme sendiri, melalui skema timsel. Presiden membentuk Tim Seleksi (Timsel), untuk menyeleksi bakal calon (balon) anggota KPU dan Bawaslu secara bersamaan, Kemudian hasilnya disampaikan kepada DPR. DPR memilih 7 nama anggota KPU terpilih dan 5 nama anggota Bawaslu terpilih untuk ditetapkan oleh Presiden.

    Untuk membentuk KPU dan Bawaslu Provinsi, KPU dan Bawaslu membentuk timsel. Untuk membentuk KPU dan Panwaslu Kab/kota, KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi membentuk timsel. Begitu juga untuk membentuk PPK dan Panwaslu Kecamatan, KPU Kab/kota dan Panwaslu Kab/kota membentuk timsel dan mengesahkan. Bedanya ditingkat kelurahan/desa, untuk membentuk PPS dibentuk oleh KPU kab/kota, untuk membentuk PPL, dilakukan oleh Panwaslu Kecamatan. Anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPLN) dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu atas usul kepala perwakilan Republik Indonesia.

    DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara. DKPP dibentuk paling lama 2 (dua) bulan sejak anggota KPU dan anggota Bawaslu mengucapkan sumpah/janji. DKPP menyusun dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota KPU dan anggota Bawaslu yang bersifat mengikat serta wajib dipatuhi. Kode etik ditetapkan dengan peraturan DKPP. DKPP bersidang untuk melakukan pemeriksaan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan Penyelenggara Pemilu.

    Pada UU ini, pelayanan publik terhadap pemilih masih dilaksanakan oleh PPS/PPLN dengan ketentuan yang sama, tidak berubah. Pada pemilu 2014 ini, jumlah pemilih untuk Pileg sebanyak 189.227.784. Sedangkan pemilih yang hadir ke TPS dan menggunakan suaranya sebanyak 136.801.359. Jika diprosentase pemilih yang menggunakan hak suaranya sebanyak 72 persen.

    Pada pileg tercatat ada 124.972.491 suara sah. Adapun daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu Legislatif 2014 mencatatkan 185.826.024. KPU menyatakan, partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif 2014 mencapai 75,11 persen. Dengan angka partisipasi itu, 24,89 persen pemilih tak menggunakan hak pilihnya.

    Pada pilpres, capres Prabowo Subianto memperoleh 62.576.444 suara atau 46,85 persen, sedangkan pasangan nomor urut 2 capres Joko Widodo memperoleh 70.997.833 suara atau 53,15 persen dari total suara sah 133.574.277. Adapun total pemilih yang tercatat dalam DPT pilpres sebanyak 190.307.134 orang. Jumlah ini meningkat

    2.454.142 orang dari DPT pileg. Penurunan tingkat partisipasi di pilpres terjadi secara persentase, meski terjadi peningkatan dari sisi jumlah suara.


  5. Pemilu 2019

Pada pemilu tahun 2019 nanti, kita akan menggunakan UU terbaru, yaitu UU NO 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Menariknya, jika pada pemilu 2009 dan pemilu 2014 terdapat UU tentang penyelenggara pemilu, dimana hanya Bawaslu dan Bawaslu Provinsi yang bersifat permanen, dalam UU ini sekalipun tidak diatur tersendiri dalam UU tentang penyelenggara pemilu, tetapi struktur Bawaslu kab/kota sudah permanen. Posisi Bawaslu secara kelembagaan sudah sama dengan KPU. Bawaslu juga punya pengawas TPS sebagai mitra KPPS.

KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD secara langsung oleh rakyat.

Penyusunan personil dengan mekanisme timsel masih sama dengan UU sebelumnya. Bedanya, Untuk Pengangkatan dan Pemberhentian KPU Provinsi dan KPU Kab/kota, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/kota, dilakukan secara terpusat oleh KPU dan Bawaslu. Jika kita pahami perubahan struktur lembaga penyelenggara pemilu dan komposisi personalianya dari waktu ke waktu, maka kita akan masuk pada kesimpulan bahwa bangsa ini telah berupaya meningkatkan kompetensi dan independensi lembaga penyelenggara pemilu dari waktu ke waktu untuk mendorong terciptanya demokrasi yang substantif.

Terkait dengan pelayanan publik kepada pemilih, pada UU ini, pelayanan publik terhadap pemilih masih dilaksanakan oleh PPS/PPLN dengan membentuk Petugas

Pemuktahiran Data Pemilih dengan menggunakan istilah yang terdahulu, yaitu Pantarlih. UU ini juga mensistematisir langkah-langkah PPS dalam menetapkan data pemilih. Mengumumkan daftar pemilih sementara, melakukan perbaikan data pemilih atas dasar masukan dari masyarakat, mengumumkan daftar pemilih hasil perbaikan, serta menetapkan daftar pemilih tetap dan menyampaikan daftar pemilih kepada PPK/KPU. Pantarlih memberikan kepada pemilih tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih.

UU ini menegaskan tentang unsur pantarlih, yaitu perangkat desa/kelurahan/ RW/RT/warga masyarakat. Tentu hal ini untuk memastikan tugas-tugas pantarlih dapat berjalan efektif.

Seperti apa gambaran partisipasi pemilih pada pemilu 2019 mendatang? Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menyerahkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) kepada KPU. Ada 196,5 juta orang yang dipastikan memiliki hak memilih dalam Pemilu 2019. Data pemilih 2019 tersebut terdiri atas pemilih laki-laki 98.657.761 orang dan perempuan 97.887.875 orang. Sementara itu, daerah dengan pemilih terbanyak antara lain Jawa Barat dengan 33.138.630 pemilih. Disusul Jawa Timur dengan 31.312.285 pemilih, Jawa tengah 27.555.487 pemilih, Sumatera Utara 10.763.893 pemilih, dan DKI Jakarta dengan 7.925.279 pemilih.

Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Falkrulloh mengatakan, ada penambahan data pemilih sebanyak 7 juta dari data yang sekarang ada, di mana data pemilih saat ini 189 juta jiwa. Kalau yang pemilih kita DP4-nya ada 196.545.636. Berarti sampai ke 2019 bertambah 7 juta pemilih baru, yang belum terekam datanya dalam e-KTP. Dengan tambahan ini, artinya masih ada 13 juta penduduk yang memiliki hak pilih namun belum melakukan perekaman. Karena sebelumnya ada 6 juta sekian yang juga belum melakukan perekaman.

Kesimpulan

Pelayanan publik oleh penyelenggara pemilu adalah pelayanan yang sangat fundamental bagi keberlangsungan demokrasi dan pemerintahan di negeri ini, karena pelayanan yang diberikan tidak hanya terkait dengan hak konstitusional warga negara (untuk memilih atau dipilih sebagai anggota legislatif, kepala daerah dan Presiden/wakil presiden), tetapi juga terkait dengan penyelenggaraan sistem demokrasi dan keberlangsungan pemerintahan.

Dari sejarah dan perkembangan lembaga penyelenggara pemilu tersebut di atas, terjadi transformasi pada lima poin. Pertama, kelembagaan. Tidak hanya KPU, Bawaslu dan DKPP (kini), bersifat permanen. Kedua, komposisi keanggotaan. Semula dari parpol dan pemerintah serta melibatkan MA dalam pengawasan, kini diisi oleh unsur masyarakat profesional. Ketiga, skema rekruitmen. Semula rekomendasi dari Pemerintah dan Pemda untuk KPU, serta rekomendasi dari KPU untuk Bawaslu, kini ada skema timsel tersendiri dan mandiri. Keempat, kewenangan. Bawaslu, semula hanya mengawasi dan merekomendasi, kini dapat "meng-eksekusi" pelanggaran pemilu. DKPP, semula hanya "mekanisme", kini lembaga. Kelima, struktur kerja Bawaslu, semula hanya ditingkat kecamatan, kini hingga di TPS.

Pastinya, pendataan pemilih oleh pantarlih semakin baik dengan memastikan petugasnya terdiri dari unsur masyarakat setempat dan pemberian kartu pemilih dari pemilih yang terdaftar. Dari proses transformasi tersebut, secara sadar bangsa ini terus meningkatkan kompetensi dan independensi lembaga penyelenggara pemilu untuk mendorong terciptanya demokrasi yang substantif. Keberadaan penyelenggara pemilu menjadi kunci terpilihnya Pemerintah dan DPR yang sah. Proses yang dilakukannya mendorong terbentuknya negara yang stabil, efektif dan efisien. Sekalipun ada kekecewaan dari kontestan yang kalah, hal itu dapat terkondisikan secara alami.

Bahkan pelayanan publik penyelenggara pemilu dapat mendorong terciptanya akuntabilitas publik pemerintah dan DPR. Rakyat dapat menghukum peserta pemilu (tidak dipilih kembali), jika dianggap ingkar janji politik. Hasil pemilu kita juga dapat menjamin keterwakilan setiap kelompok di parlemen. Hal yang paling utama, pelayanan publik oleh penyelenggara pemilu dapat menjembatani hak konstitusi setiap warga negara.

Dinamika dan perkembangan paradigma dalam ilmu administrasi publik memberikan perhatian khusus terhadap kajian pelayanan publik, terutama, yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga negara. Pada tahun 1990-an, muncul konsep paradigma New Publik Service (NPS). Dalam NPS, masyarakat diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government). Perspektif ini mengedepankan posisi masyarakat sebagai warga negara. Bukan sekedar pelanggan dari pelayanan publik, (meminjam istilah paradigma New Publik Management - NPM) yang muncul ditahun 1980-an. Jauh sebelumnya, ada paradigma Old Publik Administration (OPA) sejak 1850an, dimana pelayanan publik berjalan sangat birokratis, hierarkis, tertutup dan partisipasi masyarakat sangat terbatas.

Diluar perkembangan paradigma tersebut, pelayanan publik dalam pelaksanaan pemilu oleh Lembaga Penyelenggara Pemilu, justru sudah mengadopsi konsep NPS sejak awal pemilu dilaksanakan di negeri ini, pemilu tahun 1955. Partisipasi rakyat dalam pemilu adalah bagian penting untuk melegitimasi hasil pemilu. Penyelenggara pemilu memandang, rakyat tidak hanya sebagai pemilik pemerintahan, tetapi sebagai pemegang kedaulatan. Dalam dinamika dan perkembangan konsep paradigma ilmu administrasi di atas, tentu hal ini merupakan lompatan yang luar biasa, jauh melampaui kajian keilmuan dari zamannya. Harus kita syukuri, bahwa keberlangsungan demokrasi di negeri ini adalah juga sumbangsih besar dari rakyat yang ikut mensukseskan pemilu, dengan partisipasinya. Dan partisipasinya dapat tersalurkan justru dengan kehadiran lembaga penyelenggara pemilu yang memberikan pelayanan publik dalam penyelenggaraan pemilu.

BIBLIOGRAFI


Agus, E. 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogjakarta; Gadjah Mada University Press.

Basuki, Sulistyo. 2010. Metode Penelitian. Jakarta: Penaku. Dewi, Citra.

Gerald E. Caiden. 1982. Public Administration (Second Edition). California: Pacific Palisasdes, Palisades.

Hardiyansyah. 2011. Kualitas Pelayanan Publik: Konsep, Dimensi, Indikator dan Implementasinya. Yogyakarta: Gava Media.

Henry, Nicholas. 1995. Public administration and public affairs (Sixth Edition). Englewood Cliffs, New Jersey

J.V. Denhardt & R.B. Denhardt (2007). The New Public Service: Serving, not Steering,

New York

Pasalong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik, Bandung: Alfabeta.

Purwanto, Agus Erwan. 2005. Pelayanan Publik Partisipatif, mewujudkan good governance melalui pelayanan publik, Gadjah mada university press, Yogyakarta.

Ketetapan MPR RI Nomor: III/MPR/1998 tahun 1998 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Soeharto Selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Risalah Sidang BPUPKI – PPKI 28 Mei 1945- 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Undang-undang Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Undang-undang Nomor 4 tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Undang-undang Nomor 2 tahun 1980 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975

Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.

Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.

UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.

Undang-undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. https://wiwiksunaryatipujilestari.wordpress.com/2015/03/26/teknik-pengumpulan-data/ http://www.diskusilepas.com/2014/05/paradigma-pelayanan-publik.html

https://www.kaskus.co.id/thread/537df80f8c07e789328b457e/kenali-sejarah-bangsamu- pemilu-di-indonesia-dari-masa-ke-masa-1955-2014/

http://kepustakaan-

residen.pnri.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=20&from_box=list

&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status= http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2017/10/PEMILU-1977-1997/MzQz

https://www.merdeka.com/politik/ini-tingkat-partisipasi-pemilih-dari-pemilu-1955- 2014.html

https://www.rumahpemilu.com/public/doc/2013_02_25_11_42_48_Hasil%20Pemilu%2 0Tahun%201999.pdf

http://www.kpu.go.id/koleksigambar/Partisipasi_Pemilih_pada_Pemilu_2014_Studi_Pe njajakan.pdf

https://nasional.kompas.com/read/2014/07/23/16270771/Ternyata.Tingkat.Partisipasi.da lam.Pilpres.Menurun.Dibandingkan.Pileg.


https://nasional.sindonews.com/read/1266242/12/jumlah-pemilih-pemilu-2019- mencapai-1965-juta-orang-1513405202