Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 6, No. 7, Juli 2021
KETENTUAN PERUSAHAAN PERS WAJIB BERBADAN HUKUM PERSEROAN
TERBATAS (PT) MERUPAKAN DOKTRIN HUKUM YANG BERBASIS HUKUM POSITIF
Yusuf Ms
Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum (STIH) IBLAM Jakarta, Indonesia
Email:� [email protected]
Abstrak
Salah satu
tuntutan reformasi 1998, adanya kebebasan pers, atau pendirian perusahaan pers
tidak perlu menggunakan ijin dari pemerintah, karena hal itu akan menghambat
nilai-nilai demokrasi. Lahirnya Pasal 9 ayat(1) dan (2) UU No 40 Tahun
1999� tentang Pers,� yang memberikan kebebasan setiap warga negara
dan negara untuk mendirikan perusahaan pers berbadan hukum Indonesia. Oleh
karenanya, DP mengeluarkan Peraturan No 4/DP/III/2008 tentang Standarisasi
Perusahaan Pers Jo.Surat Edaran No 1/SE DP/I/2014 tentang pelaksanaan UU pers
dan Standarisasi perusahaan pers. Peraturan DP dimohonkan diuji materi ke MK,
oleh salah seorang pimpinan penerbitan yang pada akhirnya ditolak karena tidak memenuhi
aspek spesifikasi permohonan. Guna
mendapatkan kesimpulan yang memadai, tulisan ini menggunakan metode penulisan
yuridis normative-empiris, karena selain mengumpulkan buku ilmu hukum, jurnal
dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tema itu. Untuk mendapatkan
gambaran lengkap, Tulisan ini juga memasukkan� Putusan MK. No. 51 Tahun 2018 atas permohonan
dari seorang Direkur Swara Resi yang beralmat di Mekarsari Depok untuk
dianalisa beserta bahan lainnya. Hasil dari penelitihan itu mendapatkan jawaban,
Peraturan DP No 4/DP/III/2008 Jo. SE No 01/SE DP/I/2014 merupakan sebuah
doktrin hukum yang dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)� No 51/PU-XVI/2018� yang�
pokok intinya menolak permohonan pemohon sehingga menjadi hukum positif.
Dengan ditolaknya permohonan uji materi Peraturan DP dan� SE DP, dapat disimpulkan, Dewan Pers sebagai
lembaga negara dapat membuat peraturan perundang-undangan yang dikuatkan oleh
Putusan MK, sehingga peraturan tersebut sebagai hukum positif yang mengikat kesemua
warga negara Indonesia yang akan membuat usaha pers,� yakni Perseroan Terbatas (PT) jika hal itu
dimaknai sebagai usaha pers yang bersifat komersial.
Kata Kunci:�� Ketentuan Dewan Pers Perusahaan Wajib
Berbadan Hukum; Pengujian Peraturan DP ke Mahkamah Konstitusi
(MK)
Abstract
One of the demands for the 1998 reform, the existence of
press freedom, or the establishment of a press company does not need to use a
permit from the government, because it will obstruct democratic values. The
birth of Article 9 paragraphs (1) and (2) of Law No. 40 of 1999 concerning the
Press, which gives freedom for every citizen and state to establish a press
company with an Indonesian legal entity. Likewise Article 15 paragraph (1-7)
which gives the role and function of the Press Council as a State institution
has the right to make laws and regulations related to its main duties and
functions. . Therefore, the DP issued Regulation No. 4
/ DP / III / 2008 concerning Standardization of Press Companies Jo .. Circular Letter No. 1 / SE DP / I / 2014 concerning the
implementation of the Press Law and Standardization of press companies. It is
requested that the DP regulations be tested for material to the Constitutional
Court, by one of the publishing leaders who in the end was rejected because
they did not meet the specification aspects of the petition. In addition, DP
regulations are considered to be general in nature or apply to every citizen
and country that will establish a press company must be an Indonesian legal
entity. In order to get an adequate conclusion, this paper uses the juridical
normative - empirical writing method, because in addition to collecting books,
journals and statutory regulations, it also analyzes the Constitutional Court
Decision. No. 51 of 2018 at the request of a Swara Resi Director who has mercy in Mekarsari
Depok. The results of the research got the answer, DP Regulation No 4 / DP /
III / 2008 Jo. SE No. 01 / SE DP / I / 2014 is a legal doctrine that is
strengthened by the Constitutional Court Decision No. 51 / PU-XVI / 2018 which
basically rejects the petition of the applicant. With the rejection of the
application for judicial review of the DP and SE DP Regulations, it can be
concluded that the Press Council as a state institution can make laws and regulations
that are strengthened by the Constitutional Court Decision, so that these
regulations are positive laws that bind all Indonesian citizens who will make
press efforts, namely Terbtas Company (PT) if it is
interpreted as a commercial press business.
Keywords:� Provisions
for the Company Press Council; which must be a legal entity; examination of DP
regulations to the Constitutional Court (MK)
Pendahuluan
Salah
satu ciri negara demokrasi, antara lain memberikan ruang kebebasan terhadap
proses hukum di pengadilan, sehingga keputusan hukum dilahirkan
lewat proses yang independent tanpa ada pengaruh dan intervensi dari pemerintah
atau kelompok di luar pengadilan. Selain itu masyarakat juga punya kebebasan
untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat lewat berbagai saluran
salah satunya pers (Manan & Harijanti, 2016).
Isyarat
Indonesia sebagai negara demokrasi Pancasila yang terus berproses itu juga
dapat dibaca dalam alinia ke empat pembukaan UUD 1945 yang� dikonkritkan dalam Pasal 1 Undang-undang 1945 (Budiardjo, 2010).
Pembukaan
adalah landasan filosofis, sementara pasal-pasal dalam UUD 1945 merupakan
konkritisasi terhadap filsafat yang terkandung dalam pembukaan itu (Bo�a, 2020).
Pasal 1 ayat (2) disebutkan, kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-undang. Pengertian dari kalimat itu antara lain, semua yang
dilakukan oleh pemerintah, perlu persetujuan raknyat lewat UU.
Penentuan
kelembagaan pers di Indonesiapun juga ditentukan lewat UU No 40 Tahun 1999
tentang Pers. Pasal 9 menyebutkan:
1) �
Setiap waga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
2) Setiap
perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.�
Dengan
demikian, negara memberikan hak kepada masyarakat untuk mendirikan perusahaan
pers, dan negara-pun juga dapat mendirikan perusahaan pers. Oleh karenanya,
baik masyarakat maupun negara dalam mendirikan perusahaan pers diatur oleh
peraturan perundang-undangan guna meneguhkan, Indonesia sebagai negara hukum.
Hadirnya
UU No 40 Tahun 1999, salah satu buah reformasi tahun 1998, dimana sebagian
besar masyarakat menginginkan kebebasan pers dan pembuatan perusahaan pers,
karena di masa Orde Lama dan Orde Baru, pembuatan perusahaan pers� tidak semudah dibanding paska tahun 1999.
Oleh
karenanya, Pasal 9 ayat 1 dan 2 sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat pers
yang telah lama menginginkan kebebasan dalam mendirikan perusahan pers. Namun keinginan
kebebasan itu ternyata tidak mudah. Banyak pihak yang menginginkan pendirian
perusahaan pers dapat
dilakukan melalui badan usaha Comanditaire
Venootshap/perseroan komanditer (CV), Yayasan, Koperasi, Perseroan Terbatas
(PT), dan Perusahaan Umum (Perum) serta Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Dewan
Pers (DP) hanya menerima verifikasi perusahaan pers� yang berbadan hukum PT jika hal itu untuk
kepentingan publik.
Bella
Resseina dkk menganalisis
bahwa CV adalah lembaga usaha yang juga Lembaga berbadan hukum karena disahkan
oleh otoritas hukum Cq Menkum Ham, meskipun pihak ketiga hanya diperbolehkan
berhubungan dengan sekutu aktif, karena dinilai mempunyai tanggungjawab yang
besar, yakni jika ada kerugian dalam berusaha, peserta aktif ikut bertanggung
jawab atas kerugian itu.
Sementara
sekutu pasif tidak dibebankan untuk menangung kerugian dari usahanya yang
dijalankan pengurus komanditer, karena�
ia tidak melakukan hubungan dengan pihak ketiga. Sekutu komanditer pasif
hanyalah mempercayakan modalnya kepada orang yang dipercaya yakni pengurus
komanditer.
Oleh
Ida Bagus Abhimantara, CV adalah sebagai lembaga usaha, tetapi tidak berbadan
hukum, sehingga CV tidak dapat dijadikan sebagai penjamin utang kepada pihak
ketiga atau tidak dapat bertindak lebih luas dalam menjalankan usahanya, karena
tidak ditemukan unsur subeyktif dalam pasal 1320 BW (Abhimantara, 2019).
Setelah
lahirnya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, banyak usaha pers dengan badan
hukum� atau badan usaha CV, Yayasan dan
PT karena salahsatu tuntutan reformasi mencabut ijin usaha pers dari Pemerintah
Cq Departemen Penerangan.
Dengan
dicabutnya ijin
tersebut, perusahaan pers tumbuh besar bagaikan �bak jamur tumbuh dimusim
penghujan�. Dimana semua pihak rame-rame mendirikan perusahaan pers melalui CV, Yayasan, Koperasi
dan PT karena mereka menilai Lembaga itu masih dalam bingkai Pasal 9 ayat (2)
UU Pers.
Pasal
9 ayat (2) yang menyangkut soal �lembaga�, oleh Dewan Pers dimaknai lembaga
hukum Indonesia berbentuk Perseraon Terbatas (PT) jika hal itu sebagai usaha
pers untuk kepentingan umum. Hal
itu merupakan doktrin atau pendapat ahli berbasis hukum. Namun karena sudah
mendapat pengakuan dari MK (lihat putusan No 51 Tahun 2018) maka doktrin
tersebut kini sudah menjadi hukum positif.
Doktrin
adalah pendapat seorang ahli hukum yang dapat dijadikan pijakan atau dalil oleh
hakim untuk memutuskan sesuatu dan dapat diikuti oleh hakim berikutnya. Sedang
hukum positif, hukum yang dibuat oleh lembaga perwalian rakyat/DPR bersama pemerintah,
dan kemudian dilaksanakan untuk menciptakan kepastian, keteraturan dan
keadilan. Namun banyak orang tidak puas, karena UU yang dihasilkan oleh lembaga
resmi dinilai banyak cacat, seperti koruptif dan mengandung pesanan terhadap
pasal-pasal yang menguntungkan para pengusaha. Para ahli hukum berfikir agar
para hakim tidak melaksanakan atau menggunakan hukum positif semata, jika ingin
mendapat keadilan substantif. Tokoh hukum progresif,
Satjipto Rahardjo yang menggagas, hukum progersif sebagai perlawan hukum positif
yang statis dan tidak kreatif.
�Hukum
progresif merupakan kegiatan aksi, bukan hanya pada tataran
pelaksanaan peraturan. Orang masih dapat membantu mencari keadilan di luar dari
mekanisme peraturan yang tersedia. Itulah gunanya para ahli hukum mereformasi
dari hukum yang status qua, menjadi lebih kreatif dan bermartabat untuk
manusia� (Faizal, 2016).
Animo
masyarakat pers mendirikan perusahaan pers cukup antusias, sementara aturan
dari Dewan Pers (DP) relatif
ketat, sehingga menimbulkan konflik kepentingan. DP� membuat tafsir Pasal 9 ayat (2) UU Pers,
yakni hanya badan hukum PT yang dapat digunakan untuk usaha pers.
Sementara
masyarakat pers masih ada yang menyakini, badan hukum seperti CV, Firna,
Koperasi dan yayasan sebagai yang diatur melalui Undang-undang Hukum Dagang
(WvK) sampai saat ini sebagai hukum positif, terbuka juga untuk usaha bidang
pers. Ketentuan
itulah yang membuat salah satu pemilik media web atau online dan media cetak di
Lampung melakukan permohonan uji materi ke MK untuk membatalkan Peraturan yang
dibuat DP khususnya peraturan No. 4/Peraturan DP/III/2008 tentang standari sasi
perusahaan pers Jo. Surat Edaran No 01/DP/ I/2014 karena� dinilai telah melanggar konstitusi khususnya
Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4), Pasal
27 ayat (2) dan Pasal 28D dan pasal 28F UUD 1945. Atas permohonan itu, MK
Mengeluarkan Keputusan No 51/PUU-XIV/2018 yang pada intinya menolak gugatan
oleh salah seorang pemlik perusahaan yang bergerak dibidang penerbitan, yang
tidak menyebut perusahaan pers, sehingga dinilai layak untuk dijadikan studi
kasus dalam membahas masalah kelembagaan pers.
Metode Penelitian
Perbedaan
penafsiran tentang frasa lembaga berbadan hukum Indonesia dalam Pasal 9 ayat
(2), oleh DP dengan penggugat, dapat didekati melalui metode penelitan hukum.
Penelitian hukum mempunyai banyak ragam dan sifat seperti ekploratif,
diskrptif, longitudinal dan berdasarkan
bidang ilmu hukum yang ingin diteliti. Penelitian ini menggunakan metode yuridis
normative-empiris. Metode yuridis normative merupakan prosedur penelitian
ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya (Wulansari, 2017).
Sementara penelitian normatif, menurut Purnadi Purbacaraka dan Surdjono
Sukanto, �gigevens van het recht�
yakni data hukum yang sudah tersedia atau juga hukum positif, yakni penelitilah kepustakaan, berupa
buku-buku dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai hukum positif. Kata
lain dari metode normatif juga disebut metode doktrilenial (Soerdjono Soekanto, 1985).
Sedang metode penelian empiris, penelitian yang menggambarakan adanya konflik
atau tidak dalam masyarakat atau adanya putusan hukum atas konflik hukum yang
di bawa ke pengadilan hingga mendapatkan putusan final.
Terjadinya
permohonan oleh salah satu pimpinan perusahaan penerbitan, menjadikan konflik
hukum antara DP dengan penggugat. Oleh karenanya, metode penulisannya
menggunakan gabungan yuridis normative-empiris, sehingga penulis tidak hanya
sekedar mengumpulkan data primer, berupa buku, jurnal, undang-undang dan
peraturan Dewan Pers (DP). Tetapi juga meneliti putusan (MK). No 51 Tahun 2018.
Pada titik tersebut masih ada ruang untuk dianalisis, mengapa DP membuat aturan
badan hukum harus berbentuk PT dan Apa dampak dari peraturan itu terhadap
anggota masyarakat yang mempunyai usaha pers di luar badan hukum PT setelah
keluarnya Putusan MK No 51/PUU-XVI/2018. Semua bahan dikumpulkan, kemudian
disatukan dalam tautan narasi, kemudian dianalisis untuk mendapatkan gambaran,
peraturan DP yang dikuatkan oleh putusan MK itu awalnya merupakan doktrin hukum
tetapi dikuatkan MK sehingga sebagai peneguhan hukum positif, yang sekaligus
belum mengakomodir hukum progesif yang saat ini sedang tumbuh diberbagai
diskursus para ahli hukum di Indonesia.
Hasil dan Pembahasan
Sejak
500 tahun sebelum masehi, orang -orang Germania sudah mendiskusikan soal hukum.
Hukum sangat dibutuhkan oleh masyarakat setempat karena tanpa ada aturan atau
hukum niscaya kehidupan di masayarakat sering terjadi chaos, atau akan terjadi
penindasan satu dengan kelompok lainnya.
Isilah
�Franka Salis, atau lex salica� sudah sering diucapkan oleh para tokoh
masyarakat Eropa khususnya Germania, karena adanya hukum diyakini dapat membuat
keteraturan hidup dalam masyarakat. Oleh L. J. Van Apeldoorn disebutkan, tujuan
hukum antara lain untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai, hukum
menghendaki perdamain, keteraturan, kepastian dan baru akan muncul keadilan (LJ van Apeldorn, 2011).
Dua
bentuk keadilan dalam literatur Arestoteles, keadilan distributif dan keadilan
comutatif. Distributif memberikan bagian kepada seseorang sesuai dengan jasa
yang dikerjakan atau sesuai dengan tanggungjawab yang dipikul. Sedang keadilan
comutatif, keadilan sama rata dari masing-masing anggota masyarakat, misalnya,
pemberian jumlah pagu kredit kepada pedagang kecil, masing-masig diberi jumlah
pagu pinjaman yang sama, tanpa mempertimbangkan jasa dari masing-masing
anggota.� Arestoteles menjelaskan soal
dua bentuk keadilan, sehingga ada yang berpikir esensi hukum bagi Arestoteles
adalah keadilan.
Tujuan
hukum yang lain dapat dikutip dari pemikiran Mochtar Kusumaadmadja (Shidarta, 2020).
Mochtar menyamakan fungsi hukum dan tujuan hukum. Jika seseorang ingin
melakukan usaha dibidang jasa dan perdagangan misalnya, maka dibutuhkan
kepastian dalam pengurusan ijin, maupun tempat untuk usaha itu.
Hukum
dapat mengatur prosedur dan jumlah biaya yang�
harus dibayarkan kepada negara untuk mendapat ijin usaha dan tepat
usahanya. Sementara jika seseorang akan melindungi harta dan kekayaannya,
dibutuhkan situasi yang tertib dan damai. Tidak terjadi caus atau penjarahan,
maka hukum dapat mengatur ketertiban agar orang tidak mudah melanggar aturan
karena akan ada
sanksi tegas yakni administrasi hingga penjara. Maka hal itu oleh Mochtar
disebutnya fungsi hukum tak jauh beda dengan tujuan hukum.
Kemudian
bagaimana dengan tujuan hukum untuk�
mencari keadilan? dalam teori hukum positif keadilan akan diperoleh jika
semua itu di dasarkan pada hukum dan pasal-pasal yang telah disusun oleh para
pembuat undang-undang yakni DPR dan pemerintah. Namun dalam perkembangannya,
para ahli hukum kini mulai mengkritisi, keadilan tidak akan diperoleh hanya
melalui pengadilan yang hanya mendasarkan pada pasal-pasal dalam hukum itu.
Tuntutan
sebagian masyarakat agar para hakim mengadili suatu tuntutan tidak hanya
sekedar meligitimasi tuntutan penuntut umum, tetapi juga seorang� hakim wajib�
menggali keadilan yang tidak hanya di dalam pasal-pasal namun juga di
dalam norma masyarakat dan keyakinan dalam hakim itu sendiri.
Hakim
adalah independent, dimana putusannya tidak dapat diintervensi oleh seseorang,
atau kekuasaan mana-pun. Kekuasaan kehakiman yang independen, atau merdeka salah
satu syarat� tumbuh dan berkembangannya
demokrasi di suatu Negara (Supraptiningsih, 2019).
Indonesia juga menganut sistem peradilan yang independent. Pasal 24 ayat (1)
UUD RI menyebutkan: �Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan�.
Dengan
demikian jelaslah, Indonesia menganut sistem demokrasi karena salah satu ciri
utamanya, sistem peradilan terbuka dan tidak dapat diinentervensi oleh siapapun
termasuk oleh kekuasaan. Hal itu berbeda dengan negara sosialis komunis dan
totaliter dimana kekuasaan pengadilan dibayang-bayangi oleh campur tangan
kekuasaan, atau para hakim tinggal melegmitasi dari kemauan kekuasaan. Guna
meneguhkan sistem peradilan yang fair, DPR bersama pemerintah membuat UU� No 48 Tahun 2009 tentang� kekuasaan kehakiman. Dimana salah satu
poinnya memberikan kebebesan hakim untuk memutus suatu kasus, termasuk kasus
sengeketa peraturan Perundang-undangan, diputus secara indepenen agar nilai keadilan dapat
dirasakan oleh para pencari keadilan. Pasal 28 UU kehakiman Tahun 2004� menyebutkan:
�Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (2) Dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa�.
Pasal
tersebut merupakan terjemahan dari Pasal 24 UUD tentang kemerdekaan seorang
hakim, yang juga di konkritkan lagi pada Pasal 1 UU kehamkiman. Hakim wajib
menggali hukum dan keadilan di dalam masyarakat.
Hakim
juga diharuskan untuk tidak tunduk pada pasal-pasal yang disodorkan oleh
penunut umum, (Kejaksaan Agung) namun seorang hakim diberi kekuasaan
seluas-luasnya untuk mempertimbangkan nilai keadilan yang akan dijatuhkan dalam
suatu putusan. Hal itu berarti kekuasaan kehakiman independent dan terbuka,
bebas dari intervensi manapun.
1.
Dewan
Pers Sebagai Lembaga Negara
Pengertian lembaga negara
dalam Kamus KBBI online �disebutkan, �Asal mula yang akan menjadikan
sesuatu�. Lembaga juga dapat dimaknai bentuk atau acuan (Kemendikbud, 2019). Apapun Namanya, pada intinya sebuah lembaga mempunyai tugas dan fungsi untuk
melaksanakan sesuatu atas perintah Undang-undang
maupun peraturan di bawahnya. Jemly Asshiddiqie,� menyebutkan, dalam bahasa Belanda dikenal, staat
sorgaan, bahasa Inggis, dimaknai political institution, dan di
Indonesia lebih dikenal lembaga-lembaga negara, badan negara,
atau organ negara yang juga dapat disebut sebagai dewan merujuk ke kata lembaga
(Akbar, 2013).
Dalam hukum ketatanegaraan Indonesia, lembaga negara dapat di klasifikasi
menjadi tiga klaster, yakni lembaga tinggi negara, lembaga negara dan lembaga
negara yang dibuat di bawah Undang-undang.
Lembaga tinggi negara
dalam pembentukannya sudah termaktub dalam UUD 1945 seperti Badan Pemeriksaan
Keuangan (BPK) terdapat dalam Pasal 23 E ayat 1 menyebutkan, �Untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan saatu Badan
Pemeriksaan Keuangan yang� bebas dan
mandiri.� Dengan demikian, BPK lembaga independent yang tak dapat diientervensi
oleh lembaga lainnya untuk melakukan pengawasan pengelolaan keuangan negara,
dan lembaga itu atas perintah dari UUD 1945.
Lembaga atas perintah UUD
juga dapat ditemukan dalam Pasal� 7A ayat
(3-5) UUD 1945 tentang keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dapat mengadili
pemberhentian Presiden atas usulan 2/3 dari Anggota Dewan. Sementara lembaga
yang dibuat oleh Undang-undang antara lain Dewan pers (DP)� dibuat lewat UU No 40 Tahun 1999 pada Bab V
tentang �Dewan Pers. Pasal 15 ayat (1-7)
memberi tugas dan fungsi Dewan Pers, sebagai tindak lanjut dari tugas
pemerintah.
Sedang lembaga yang
dibuat bukan dari UUD dan UU dapat juga dibuat oleh Presiden seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Penanggulangan Bencana dan badan
lainnya. Pada
intinya, Dewan Pers lembaga dibuat atas perintah UU pers. Dengan demikian,
lembaga atau dewan yang dibuat oleh staat sorgaan, atau oleh pemerintah bersama
DPR dapat membuat peraturan lanjutan terkait dengan tugas pokoknya sebagai
penjaga demokrasi dibidang pers.
2.
Dewan
Pers Berhak Membuat Peraturan
Berhakkah Dewan Pers membuat
peraturan? Sebagai lembaga yang dibuat oleh Undang-undang dan mempunyai fungsi
dan tugas utamanya, dibenakan untuk membuat peraturan terkait dengan tugas
pokok yang dimandatkan oleh Undang-Undang itu.
Undang-undang ada penjelasan, dan
jika dalam suatu pasal dimungkinkan untuk ditindak lanjuti, biasanya diatur
lebih lanjut melalui peraturan pemerintah. Khusus dalam UU No 40 Tahun
1999� tentang Pers, sampai saat ini tidak
lahir peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut dari UU itu. Oleh karenanya,
DP membuat peraturan dimaksudkan bukan sebagai pengganti peraturan pemerintah
tetapi lebih menegaskan fungsinya sebagai penata perusahaan pers dan ikut
meningkatkan kualitas
wartawan. Zaid Afif menyebutkan, dalam ketatanegaraan Indonesia, dibenakan lembaga
negara membuat peraturan lebih lanjut terkait dengan tugas pokoknya. UUD 1945
bersifat singkat dan supel, hanya terdiri dari 37 pasal ditambah 4 pasal Aturan
Peralihan dan 2 ayat aturan tambahan.
Oleh karenanya, agar sistem UUD tidak
ketinggalan zaman, dan jangan sampai�
membuat Undang-Undang Dasar yang lekas usang,� ketatanegaraan Indonesia� dimungkinkan lembaga negara membuat.
Peraturan Perudang-undangan salah satu bentuk
kebijaksanaan tertulis yang bersifat�
pengaturan (relegen) (Afif, 2018).
Pembuatan peraturan
perundang-undangan itu dari MPR hingga Direktorat Jenderal/Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPDN) pada lingkup nasional dan lingkup kepala
daerah tingkat I dan tingkat II. Dengan demikian, legalitas lembaga yang
dimiliki karena dibuat oleh UU, DP sesuai dengan kewenangannya mengeluarkan
Surat Keputusan No 4/Peraturan DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.
Salah satu poinnya antara lain, perusahaan pers
badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan
media cetak media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya
yang secara khusus menyelenggarakan,
menyiarkan atau menyampaikan informasi secara tegas. Peraturan itu
kemudian ditindak lanjuti, himbauan Dewan Pers kepada seluruh media yang akan
mendaftarkan perusahannya,
khususnya pers yang bersifat umum dan komersial diwajibkan menggunakan
Perseroan Terbatas. (PT) Artinya jika perusahaan pers akan melakukan
pendaftaran ke DP tidak dibenarkan dan diterima jika lembaganya bukan PT
seperti CV, Koperasi dan Yayasan.
Bagir Manan, menyebutkan, kemerdekaan
pers setelah pasca reformasi 1998 tidak dimaksudkan membuat usaha pers
sebebas-bebasnya tanpa ada batasan. Setelah adanya UU No 4 Tahun 1999 usaha
penerbitan tidak lagi membutuhkan Surat ijin Usaha Penerbitan (SIUP), namun di
media yang menggunakan sarana gelombang seperti TV dan radio masih menggunakan
ijin karena keterbatasan frekuensi milik negara untuk kepentingan publik. Di
luar TV, Radio dan SIUP bermuncullah usaha yang bergerak dibidang pers lewat
web dan lain-lainnya. Sehingga banyaknya sarana pers yang berbentuk web itu diperlukan
penataan dibidang kelembagaan pers (Manan & Harijanti, 2016).
Tahun 2020 jumlah perusahan pers
berbasis media siber, sudah terdata dan mendaftar ke Dewan pers lebih
dari 1.561 perusahaan pers. Tahun 2014 jumlah media siber hanya 211 perusahaan
pers. Jumlah perusahaan pers yang belum mendaftar dan belum di data
(ferifikasi) oleh Dewan Pers, tentunya lebih besar dari jumlah itu, karena
untuk mendaftarkan perusahaan ke� DP� selain melalui online, juga persyaratan yang
cukup ketat, seperti Nomor Waib Pajak (NPWP), berbadan hukum (PT), memuat
penaggungjawab dan alamat secretariat�
perusahaan pers itu (Fuqoha, Firdausi, & Sanjaya, 2019).
Data Pers Nasonal 2014 juga menyampaikan, sejumlah 567 media cetak, 1.166
stasiun radio, dan� 394 stasiun televisi.
Jumlah perusahaan pers baik dari rado, televisi dan media cetak mengalami
kenaikan dari tahun sebelumnya (Fuqoha et al., 2019).
3.
Study Kasus Putusan MK No
51 Tahun 2018
Mahkamah Kosntitusis (MK) telah
mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir (final and binding)� atas
pengujian UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap UUD RI 1945 yang diajukan
oleh Nama Ferdinan Holomoan Lumban Tobing SE dengan Jabatan Direktur CV Swara
Resi Perusahaan Penerbit. Alamat Jl. Apel Blok U Nomor 1 Mekarsari Permai
Cimanggis Depok 16952. Adapun Duduk Perkaranya dapat diresume sebagai berikut:
Pemohon telah mendaftarkan gugatannya ke MK dan diterima dan dicacat pada
permohnan No 51/PUU-XVI/2018. Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya
atas Pasal 1 ayat (2) Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (3) UU Pers yang oleh
pemohon dinilai mengurangi hak�
konstitusionalnya untuk melakukan usaha sesuai Paal 33 ayat (4) dan
Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 D dan F. UUD 1945.
Dewan Pers secara khusus mengeluarkan
Surat Edaran
(SE) No 01/SE-DP/!/2014 tentang Pelaksanaan UU Pers dan Standar Perusahaan Pers
yang diedarkan ke seluruh wilayah nasonal pusat dan daerah, akibatnya,
perusahaan penerbitan dilarang melakukan peliputan jurnalistik yang dilindungi
hukum khususunya dalam kebebasan pers termasuk untuk mencari atau mendapatkan
iklan dan kegiatan yang terkait dengan pers. Bahkan DP juga memberikan� sanksi pidan terhadap perusahaan pers yang
tidak berbadan hukum.
Terhadap keberatan pemohon, MK dalam
pertimbangannya, pemohon tidak secara sepesifik mencantumkan sebagai Direktur
CW Swara Resi Perusahaan Penerbitan Pers, tetapi hanya sebagai Direktur� CV Swara Resi yang bergerak dalam bidang
Penerbitan, sesuai akta notaris yang dibuat pada 28 November 2002.
MK dalam pertimbangannya juga menyampaikan, wadah untuk
menyelenggarakan perusahaanpers�
berdasarkan Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 9 ayat (2) UU Pers, perusahaan
pers berbentuk badan hukum� Indonesia.
Ketentuan tersebut dikuatkan oleh Surat� Edaran
DP No 01/SE-DP/I/2014 tentang�
Pelaksanaan UU Pers dan Standar Perusahaan Pers yang menyatakan, perusahaan
pers harus berbadan hukum Indonesia�
berbentuk PT atau badan hukum lainnya yaitu Yayasan atau koperasi.
Dengan demikian setiap orang ingin mendirikan perusahaan pers harus menyebut secara
khusus dan tidak dapat dicampur dengan usaha lainnya, selain dibidang pers.
Ketentuan itu berlaku secara umum,
yakni setiap orang warga negara Indonesia tanpa kecuali yang ingin mendirikan
perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia, aquo, sehingga MK menilai tidak
melanggar terhadap Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Setelah MK mempertimbangkan
secara rinci dan wajar, dalam Amar Putusannya menyebutkan: Mengadili,
menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. Putusan itu dibacakan oleh
Ketua Anwar Usman, dan empat anggota, Aswanto, rief Hidayat, Manahan MP
Sitompul, Suhartoyo, pada hari Kamis, tanggal 25 Oktober 2018.
Dalam Putusan MK� dapat disarikan, pertama, pemohon� mempunyai legal standing dan� hak konstitusional sebagai pemohon, namun� tidak secara spesifik� menyebutkan sebagai Direktur Perusahaan� Swara Resi, Penerbitan yang bergerak dibidang
Pers, Kedua, SE No 01/SE-DP/I/2014 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (2) UU 40
Tahun 1999 tentang pers yang belaku secara umum terhadap setiap orang warga
negara Indonesia ingin bergerak dibidang pers secara khusus dalam akta
pendiriannya menyebutkan hal itu,�
Ketiga, MK menilai peraturan dari DP yang dimohnan, tidak bertentangan Pasal
28 J UUD 1945.
Kesimpulan
Dari
uraian
tema Perusahan Pers wajib berbadan
hukum� Indonesia, utamanya menggunakan
Perseroan Terbatas (PT) jika usaha itu dimaknai sebagai usaha komersial, dapat
disimpulkan:
Pertama,
Indonesia termasuk salah satu negara yang mengembangkan demokrasi yang ditandai
dengan independensi
lembaga pengadilan dan kebebasan pers. Kebebasan pers sesuai amanat reformasi
telah dituangkan melalui UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 9 ayat (1) dan
(2) menyebutkan, Setiap warga negara
Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Setiap perusahaan pers
harus berbentuk badan hukum Indonesia. Saat orde lama dan orde baru berkuasa,
tidak semua warga negara bebas mendirikan perusahaan pers karena ada ijin
penerbitan (SIUP) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Adanya Pasal 9 ayat (1) dan
(2), surat ijin penerbitan tidak diperlukan lagi, sehingga perusahaan pers
berkembang cukup pesat hingga ribuan perusahaan pers pasca reformasi itu. Pasal
15 UU Pers mengatur peran dan fungsi Dewan Pers. Untuk mengatur perusahaan pers
yang cukup banyak,� DP mengeluarkan
Peraturan No.4/DP/III/2008
tentang Standarisasi Perusahaan Jo Surat Edaran DP No 01/SE DP/I/2014
Pelaksanaan UU Pers dan Standarsasi Perusahaan Pers.
Kedua, Peraturan DP yang
dimaksudkan menata perusahaan pers dan melindungi pekerja jurnalistik agar
dapat bekerja secara profesional dan mendapatkan perlindungan kesejahteraan,
dilakukan uji materi dari salah seorang pimpinan perusahaan penerbit.
Ketiga,
dari permohonan uji materi ke MK terhadap Pasal 9, ayat (1) dan (2) Pasal 15 UU
Pers Jo Peraturan DP No 4/DP/III/2008 Jo SE No 01/SE DP/1/2014, oleh seorang
direkur perbitan, ditolak oleh MK karena dinilai permohonanya tidak spesifik
sebagai perusahaan per. Selain Dewan Pers, sebuah lembaga yang mempunyai
kewenangan untuk membuat Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya.
BIBLIOGRAFI
Abhimantara, Ida Bagus. (2019).
Kedudukan Persekutuan Komanditer (Commanditaire Venootschap) Sebagai Corporate
Guarantee. Notaire, 2(3), 359�372. Google Scholar
Afif, Zaid. (2018). Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan
Pancasila dan UUD NKRI. Dialog, 7 (September), 1�15. Google Scholar
Akbar, Patrialis. (2013). Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun
1945. Penerbit Sinar Grafika. Google Scholar
Bo�a, Fais Yonas. (2020). Peranan Mahkamah Konstitusi Dalam Menjaga
Tegaknya Cita Hukum (Rechts Idee) Pancasila Dalam Bernegara. Arena Hukum,
13(1), 97�116. Google Scholar
Budiardjo, Miriam. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet.
IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Google Scholar
Faizal, Liky. (2016). Problematika Hukum Progresif Di Indonesia. Ijtimaiyya:
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 9(2), 1�24. Google Scholar
Fuqoha, Fuqoha, Firdausi, Indrianti Azhar, & Sanjaya, Arga Eka.
(2019). Perlindungan Hukum Terhadap Intervensi Pemberitaan Dalam Kerangka
Kemerdekaan Pers Nasional. Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, 3(1),
75. Google Scholar
Kemendikbud. (2019). KBBI - Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Google Scholar
LJ van Apeldorn. (2011). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya
Paramita Jakarta. Google Scholar
Manan, Bagir, & Harijanti, Susi Dwi. (2016). Artikel Kehormatan:
Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Padjadjaran Journal of Law, 3(3),
448�467. Google Scholar
Shidarta, Shidarta. (2020). Bernard Arief Sidharta: Dari Pengembanan Hukum
Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Undang: Jurnal Hukum,
3(2), 441�476. Google Scholar
Soerdjono Soekanto, Sri Mamudji. (1985). Penelitian Hukum Normatif.
CV Rajawali. Google Scholar
Supraptiningsih, Umi. (2019). Peradilan Satu Atap Sebagai Perwujudan
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka. Al-Ihkam: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial,
2(2), 291�310. Google Scholar
Wulansari, R. R. Catharina Dewi. (2017). The Role of The Government in The
Recognition of Customary Rights to Achieve Economic Development of Customary
Law Communities. Journal of Indonesian Adat Law (JIAL), 1(1),
109�145. Google Scholar
Copyright
holder: Yusuf Ms (2021) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article
is licensed under: |