How to cite:
Chaniago, R. H., & Suwarso, R. C. (2021). Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) Selama Mewabahnya Pandemi Covid-19 Di Indonesia. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia. 6(8). http://dx.doi.org/10.36418/ syntax-literate.v6i8.3740
E-ISSN:
2548-1398
Published by:
Ridwan Institute
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia pISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
ANALISIS DISKURSUS KEBIJAKAN PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA
BESAR (PSBB) SELAMA MEWABAHNYA PANDEMI COVID-19 DI
INDONESIA
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
Universitas Indonesia (UI) Depok Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected], reni.suwarso@yahoo.com
Abstrak
Jurnal ini berisikan pembahasan tentang kemunculan diskursus selama penerapan
kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia. Adapun,
kebijakan tersebut secara konkret merupakan bagian dari salah satu upaya
penanganan terhadap pandemi Covid-19 di Indonesia sejak pertama kali
diidentifikasi pada awal bulan Maret tahun 2020. Penelitian ini menggunakan
analisis konten dengan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang menekankan pada kata-kata dan nilai yang ada di
dalamnya. Salah satu model analisis yang digunakan untuk mengkaji konten ialah
analisis diskursus (discourse analysis). Kemudian, untuk memperoleh data yang
terkait dengan fokus pembahasan, jurnal ini menggunakan data sekunder yang
merujuk pada sumber-sumber literatur dan publikasi, baik yang bersifat tertulis
maupun daring. Adapun, hasil penelitian dari jurnal ini kemudian menunjukkan
bahwa diskursus dalam kebijakan PSBB di Indonesia selama mewabahnya pandemi
Covid-19 adalah ditandai dengan adanya perbedaan posisi subjek, antagonisme
serta hegemonisasi yang dilakukan oleh kelompok yang mendukung kebijakan
PSBB dengan kelompok yang kontra terhadapnya. Dalam hal ini, perbedaan yang
dimaksud kemudian terkait dengan adanya perbedaan argumen mengenai
penanganan pandemi yang terbaik untuk Indonesia dimana kelompok pro
beranggapan bahwa hal tersebut dapat diwujudkan melalui upaya-upaya yang
berfokus pada penyelamatan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Sedangkan
kelompok yang kontra justru menyampaikan argumen yang lebih menghendaki
agar fokus penanganan terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia adalah pada
penyelamatan kesehatan masyarakat.
Kata Kunci: diskursus; kebijakan PSBB; covid-19; pihak pro-PSBB; pihak kontra
PSBB
Abstract
This journal contains a discussion of the emergence of discourse during the
implementation of the Large-Scale Social Restrictions (PSBB) policy in Indonesia.
Meanwhile, this policy is concretely part of an effort to deal with the Covid-19
pandemic in Indonesia since it was first identified in early March 2020. Then, to
obtain data related to the focus of the discussion, this journal uses secondary data
which refers to literary sources and publications, both written and online.
Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Mewabahnya Pandemi COVID-19 di Indonesia
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4045
Meanwhile, the results of research from this journal then show that the discourse in
PSBB policies in Indonesia during the outbreak of the Covid-19 pandemic was
marked by differences in subject positions, antagonism and hegemonization carried
out by groups that supported PSBB policies with groups that opposed it. In this
context, the difference in question is about then related to the different arguments
regarding the best handling of a pandemic for Indonesia where the pro groups
think that this can be realized through efforts that focus on saving the economy and
public health. Meanwhile, the contra group delivered arguments that wanted the
focus of handling the COVID-19 pandemic in Indonesia to be on saving public
health.
Keywords: discourse; PSBB policy; covid-19; pro-PSBB actors; contra-PSBB actors
Pendahuluan
Kemunculan virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-
CoV-2) atau yang dikenal dengan istilah Coronavirus Disease (COVID-19) adalah virus
yang pertama kali muncul pada Desember 2019 di kota Wuhan, provinsi Hubei,
Tiongkok. Adapun menurut temuan pada 18-29 Desember 2019, diketahui ada lima
pasien yang awalnya didiagnosis mengalami sindrom gangguan pernafasan akut (Acute
Respiratory Distress Syndrome/ARDS). Selanjutnya, pada 31 Desember 2019 hingga 3
Januari 2020, kasus dari sindrom pernafasan akut ini meningkat dengan pesat. Pada
awalnya, kasus yang dilaporkan sebanyak 44 kasus, kemudian menyebar ke banyak
provinsi lain di Tiongkok dan negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, dan Thailand
dalam waktu kurang dari satu bulan. Sampel virus yang diteliti menunjukkan adanya
varian dari dari Coronavirus. Varian baru itu untuk sementara waktu dinamakan 2019
novel coronavirus (2019-nCoV). Pada 11 Februari 2020, WHO (World Health
Organization) mengganti nama varian 2019-nCoV menjadi Coronavirus Disease
(COVID-19) dan virus yang menyebabkan penyakit tersebut dinamakan virus Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) (Susilo et al., 2020).
Menurut temuan pada 16 Februari 2021, kasus COVID-19 terkonfirmasi di seluruh
dunia sebesar 108,579,352 kasus. Sedangkan jumlah kasus kematian akibat COVID-19
di tanggal yang sama mencapai 2,396,408 kasus (Spiteri et al., 2020).
Adapun kasus COVID-19 di Indonesia muncul pertama kali di Kota Depok pada 2
Maret 2020 yang diketahui dari 2 orang terkonfirmasi terinfeksi COVID-19. Pasien itu
diketahui terinfeksi ketika hadir pada salah satu acara di Jakarta. Pasien diketahui
melakukan kontak dengan Warga Negara Asing (WNA) asal Jepang yang berdomisili di
Malaysia. Setelah mengikuti acara tersebut, pasien mengeluh adanya gejala batuk, sesak
nafas, serta demam (Putri, 2020). Walaupun kasus pertama COVID-19 di Indonesia
muncul pada Maret 2020, tetapi ada kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia
dalam merespon munculnya COVID-19 di awal tahun 2020. Indonesia menerapkan
pembatasan berpergian dan mengevakuasi 238 warga Indonesia dari Wuhan sejak 27
Januari 2020. Selanjutnya, Indonesia juga menyediakan Rumah Sakit Rujukan COVID-
19 sebesar 100 unit pada 3 Maret 2020. Jumlah unit RS Rujukan itu ditingkatkan hingga
227 pada 8 Maret 2020 sebagai antisipasi peningkatan pasien. Selain menyediakan
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
4046 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
rumah sakit rujukan, pemerintah Indonesia mensosialisasikan social distancing dengan
memberikan informasi kepada masyarakat terkait protokol kesehatan selama wabah
COVID-19. Protokol kesehatan yang dimaksud, antara lain: memakai masker, selalu
mencuci tangan/memakai hand sanitizer, jaga jarak dan menghindari kerumunan,
menjaga daya tahan tubuh, mengonsumsi gizi seimbang, tetap waspada terutama jika
memiliki penyakit komorbid/penyakit bawaan atau kelompok rentan lain, serta
mengadopsi perilaku hidup bersih dan sehat (Putri, 2020).
Dalam perkembangannya, muncul diskursus mengenai opsi kebijakan apa yang
dapat dilakukan Indonesia sebagai kebijakan penanganan mewabahnya pandemi
COVID-19 karena kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia kala itu masih dianggap
tidak jelas dan kurang efektif dalam penanganan wabah pandemi tersebut. Hal tersebut
dapat dilihat dari adanya kebijakan pemberian insentif fiskal kepada sektor pariwisata
supaya bisa meningkatkan kunjungan wisatawan luar negeri dan juga insentif sebesar 72
miliar untuk influencer supaya turut membantu mempromosikan sektor pariwisata.
Kebijakan tersebut dianggap tidak efektif dalam penanganan dampak wabah virus
COVID-19, selain disebabkan pemborosan anggaran karena pada akhirnya selama
masih mewabahnya COVID-19 para wisatawan asing tidak banyak yang berlibur,
ditambah juga bisa meningkatkan risiko penyebaran virus COVID-19 yang
kemungkinan dapat ditularkan oleh wisatawan dari luar negeri (Supriyatna & Djailani,
2020). Ketidakjelasan dan kurang efektifnya Indonesia dalam penanganan COVID-19
dapat dilihat dari tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan daerah. Misalnya
yang terjadi antara pemerintah pusat dan Kabupaten Natuna terkait kebijakan
meliburkan sekolah yang diedarkan oleh pemerintah Kabupaten Natuna. Kebijakan itu
kemudian dicabut oleh pemerintah pusat melalui surat edaran Dirjen Otonomi Daerah.
Selain itu permasalahan antara pemerintah pusat dan Walikota Depok akibat
pengungkapan identitas pribadi pasien pertama COVID-19 yang turut merugikan pasien
bersangkutan. Hal tersebut menunjukkan belum satu pintu terkait penginformasian
kepada publik yang pemerintah terkait COVID-19. Selain itu, hal tersebut diiringi juga
tatkala respons dari Gubernur Jawa Barat (Ridwan Kamil) dan DKI Jakarta (Anies
Baswedan) terhadap pernyataan Presiden terkait masuknya COVID-19 di Indonesia
yang kemudian mengumumkan siaga I dan kegentingan untuk melakukan prosedur-
prosedur yang diperlukan untuk menangkal COVID-19 (Chadijah, 2020).
Kondisi tidak jelas dan tidak efektifnya Indonesia dalam penanggulangan pandemi
COVID-19 memunculkan desakan untuk dikeluarkannya kebijakan yang lebih tegas dan
efektif. Pemerintah Indonesia kemudian dihadapkan dengan munculnya opsi karantina
wilayah/lockdown yang muncul dari tokoh-tokoh dan organisasi masyarakat. Misalnya
dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Pengurus Besar Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) yang merekomendasikan pengambilan
opsi karantina wilayah di daerah yang telah terjangkit COVID-19 (Bernie, 2020). Pada
akhirnya, dengan melalui berbagai pertimbanngan, pemerintah Indonesia memutuskan
untuk menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 31 Maret
2020. Dasar hukum PSBB adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Mewabahnya Pandemi COVID-19 di Indonesia
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4047
Karantina Kesehatan. Melalui PSBB, pemerintah pusat mengomandoi penanganan
COVID-19 sehingga visi pemerinta pusat dan daerah sama. PSBB diharapkan dapat
menyelesaikan ketidakjelasan wewenang pemerintah pusat dan daerah mengenai
penanganan COVID-19. Selain itu, dengan memperhatikan kondisi ekonomi
masyarakat, kebijakan PSBB diharapkan bisa menjadi solusi untuk mengurangi
penyebaran Covid-19 sekaligus meminimalisir gangguan terhadap aktivitas ekonomi
masyarakat.
Dengan merujuk pada hal-hal tersebut maka penelitian ini diharapkan dapat
memperlihatkan diskursus yang muncul selama penerapan kebijakan PSBB dalam
upaya penanganan COVID-19 di Indonesia. Hal ini didasari dari keberadaan kebijakan
PSBB sendiri tidak menyebabkan diskursus mengenai kebijakan yang paling tepat
dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia selesai, namun kemudian
memunculkan kelompok yang menentang terhadap kebijakan itu. Publik menjadi
terbelah dalam penyikapan penanganan atas COVID-19, sebagian menyatakan
pemerintah harus mengambil kebijakan karantina wilayah/lockdown sebagaimana yang
dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok, Malaysia, dan sebagainya. Sedangkan sebagian
lainnya menyatakan tidak perlu melakukan karantina wilayah/lockdown dan cukup
melakukan social distancing atau jaga jarak seperti di Korea Selatan, Jepang, dan
sebagainya (Edie, Agus, & Safira, 2020).
Lebih lanjut, menurut temuan Chan Sun & Wah (2020), kebijakan publik terkait
dengan penanganan pandemi COVID-19 di negara manapun tidak lepas dari adanya
diskursus. Penelitian ini dengan negara Mauritius sebagai studi kasusnya menunjukkan
bahwa sebagian besar masyarakat merespon pemerintahnya dalam implementasi strategi
pencegahan, strategi manajemen wabah, dan strategi komunikasi terkait COVID-19.
Adapun, Menurut Nurhayati & Suwarno (2020), diskursus terkait COVID-19 tidak
sama sekali netral, tetapi sarat dengan makna linguistik yang memiliki hubungan
kontekstual dengan kekuasaan. Selain itu, menurut temuan Eriyanto & Ali (2020)
dengan menggunakan metode discourse network analysis (DNA), kemudian memetakan
aktor-aktor di dalam diskursus terkait kebijakan dalam penanganan COVID-19 di
Indonesia.
Kemudian, untuk menjelaskan terkait bagaimana diskursus yang terbangun dalam
kebijakan PSBB dalam upaya penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Penelitian
ini akan menggunakan teori diskursus yang digagas oleh Laclau dan Mouffe. Menurut
Laclau dan Mouffe dalam (Howarth, Norval, & Stavrakakis, 2000), diskursus adalah
konstruksi sosial yang mana setiap pelaku memberi makna pada suatu objek atau
praktik. Misalnya pandangan dan pemaknaan yang berbeda antara pemerintah dan
oposisi mengenai penerapan kebijakan PSBB. Makna yang kemudian terbentuk melalui
objek atau tindakan terjadi di dalam sistem konstruksi khusus yang disebut sebagai
arena diskursif. Arena diskursif adalah arena yang bersifat tanpa batas dan dan dinamis
(Howarth et al., 2000). Arena diskursif bisa terjadi karena pemaknaan itu bersifat tidak
pasti (kontingen), tidak tetap, parsial, relasional, dan tidak pernah mutlak. Dalam hal ini,
Laclau dan Mouffe dalam (Howarth et al., 2000) kemudian menjelaskan tiga konsep
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
4048 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
dalam teori diskursus: subject position dan political subjectivity, antagonisme, dan
hegemoni. Subject position merupakan penempatan subjek dalam arena diskursif.
Dalam kasus ini misalnya ada kelompok yang pro dan kontra terhadap penerapan
kebijakan PSBB. Sedangkan political subjectivity adalah sudut pandang individu yang
terkait dengan peristiwa politik, gagasan, calon kandidat, partai, teori negara, nilai,
maupun institusi. Political subjectivity kemudian dapat menekankan bagaimana subjek
bertindak. Laclau berpendapat bahwa tindakan subjek tersebut muncul akibat arena
diskursif yang memiliki ketidakpastian di dalamnya (terdapat ruang perdebatan) (Balch
& Brown, 1982). Dalam kasus penelitian ini, tindakan subjek diinisiasi oleh pertanyaan
apakah penerapan kebijakan PSBB adalah kebijakan yang terbaik dalam rangka
penyelamatan ekonomi dan penyelamatan kesehatan masyarakat di masa pandemik
Covid-19 di Indonesia. Perdebatan dalam menjawab hal tersebut menunjukkan bahwa
adanya krisis dalam memaknai cara terbaik untuk penyelamatan ekonomi dan
penyelamatan kesehatan masyarakat di masa pandemik Covid-19 di Indonesia. Krisis
tersebut kemudian memunculkan identitas baru, yaitu kelompok yang pro dan kontra
terhadap penerapan kebijakan PSBB.
Lebih lanjut, Laclau dan Mouffe dalam (Howarth et al., 2000) menjelaskan bahwa
antagonisme direpresentasikan dari sebagai perselisihan antar agen sosial/subjek yang
memiliki identitas yang jelas. Antagonisme secara lebih lanjut mengacu pada dua pihak
yang bermusuhan dengan kepentingan untuk menghabisi satu sama lain (Hanif, 2007).
Hal tersebut menunjukkan bahwa antagonisme merupakan ancaman terhadap identitas
lainnya. Subjek/agen yang saling berantagonis akan bersaing untuk mencapai hegemoni
dalam arena diskursif yang tanpa batas dan dinamis. Hegemoni adalah suatu hubungan
yang tercipta bukan melalui dominasi kekerasan tetapi atas dasar persetujuan terhadap
cara-cara kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni bekerja secara dua arah, yaitu
top-down, ketika rezim opresif melakukan hegemonisasi, dan bottom-up pada saat
adanya resistensi terhadap penindasan atau tekanan rezim (Hutagalung, 2004).
Praktik untuk mencapai hegemoni mensyaratkan dua kemungkinan kondisi lebih lanjut,
yaitu keberadaan kekuatan-kekuatan antagonis dan ketidakstabilan batas-batas politik
yang memecah mereka. Tujuan utama tercapainya hegemoni adalah membangun dan
menstabilkan apa yang disebut Laclau dan Mouffe sebagai nodal point/titik simpul
(Howarth, 1998).
Adapun, terkait dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk
mengetahui sebab-sebab munculnya diskursus, perkembangan dari diskursus serta peran
para aktor dalam dalam mengkonstruksi diskursus penerapan kebijakan PSBB dalam
upaya penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Kemudian, pentingnya penelitian
ini adalah untuk memberikan gambaran sebab-sebab serta mampu menjelaskan
bagaimana peran-peran aktor dalam mengkonstruksi diskursus penerapan kebijakan
PSBB dalam upaya penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia sehingga diharapkan
dapat membantu para pemangku kebijakan dalam memahami diskursus penerapan
kebijakan PSBB dalam upaya evaluasi kebijakan yang berhubungan dengan penanganan
pandemi di Indonesia ke depannya. Sedangkan terkait dengan aspek kebaharuan yang
Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Mewabahnya Pandemi COVID-19 di Indonesia
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4049
membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian lain terdahulu adalah terletak
pada aspek variabel penelitian karena lebih berfokus untuk melihat bagaimana diskursus
yang muncul dalam konteks penerapan kebijakan PSBB selama mewabahnya pandemi
Covid-19 di Indonesia, sedangkan penelitian-penelitian lain yang dilakukan sejauh ini
belum ada yang memiliki fokus serupa. Bahkan, aspek kebaharuan lainnya dari
penelitian ini juga terletak juga pada ruang lingkup atau konteks penelitian yang bersifat
kontemporer (masih berlangsung hingga kini).
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode kualitatif dengan analisis
konten. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang menekankan pada
kata-kata dan nilai yang ada di dalamnya. Salah satu model analisis yang digunakan
untuk mengkaji konten ialah analisis diskursus (discourse analysis). Analisis diskursus
merupakan analisis terhadap ucapan dan bentuk lain dari diskursus/wacana yang
menekankan bagaimana pemaknaan terhadap realitas terjadi melalui suatu bahasa
karena dianggap mengatur dan memproduksi dunia sosial (Bryman, 2016). Diskursus
yang dianalisis berasal dari sumber yang ada atau melalui data yang diperoleh tanpa
melalui penelitian secara langsung (Hamad, 2007). Adapun data yang dirujuk adalah
data sekunder, yaitu data yang didapat dari sumber yang sudah tersedia atau data yang
didapat dengan tidak melalui penelitian langsung. Data-data sekunder dirujuk berupa
jurnal, dokumen, pernyataan kebijakan, konferensi pers, artikel surat kabar terkait
dengan penerapan kebijakan PSBB di Indonesia.
Hasil dan Pembahasan
A. Kebijakan Penanganan COVID-19 di Indonesia
Pada 31 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dengan
konferensi pers bahwa pemerintah pusat memilih PSBB sebagai kebijakan yang
dipilih dalam merespon kedaruratan kesehatan yang muncul akibat COVID-19.
Landasan hukum yang digunakan adalah Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan. PSBB diartikan pembatasan sedemikian rupa kegiatan
penduduk di wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19. Melalui pembatasan
tersebut, diharapkan mencegah penyebaran COVID-19 (Ristyawati, 2020).
Secara lebih spesifik, PSBB diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam
Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Permenkes No.
9/2020) dan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (PP No. 21/2020). Dua aturan
itu memberi penegasan pada langkah diperlukan dalam mencegah meluasnya
COVID-19.
Selanjutnya, aturan dalam kebijakan PSBB menurut Herdiana (2020), dapat
dilihat beberapa poin penting. Pertama, dengan mengacu Pasal 1 Ayat (1)
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
4050 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
Permenkes No. 9/2020 yang berbunyiPembatasan kegiatan tertentu penduduk
dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-
19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (COVID-I9)”, maka dapat disimpulkan bahwa PSBB bukan kebijakan
berbasis penghentian aktivitas seperti lockdown, tetapi kebijakan berbasis
pembatasan kegiatan di suatu wilayah. Kedua, proses dan prosedur untuk
menerapkan PSBB di suatu wilayah harus memenuhi suatu kriteria. Apabila
mengacu pada Pasal 2 Permenkes No. 9/2020, maka syarat yang harus dipenuhi
untuk suatu wilayah dapat menerapkan PSBB adalah adanya jumlah kasus dan/atau
kematian akibat penyakit yang meningkat dan menyebar secara cepat dan signifikan
di suatu wilayah, serta memiliki kaitan epidemiologis terhadap kejadian yang serupa
di wilayah maupun negara lain. Ketiga, menurut Pasal 3 Permenkes No. 9/2020,
kewenangan penetapan PSBB di suatu wilayah dipegang oleh Menteri Kesehatan
dengan mempertimbangkan permintaan dari kepala daerah seperti
Gubernur/Bupati/Walikota. Kepala daerah itu wajib menunjukkan data-data terkait
peningkatan, penyebaran, dan penyelidikan transmisi lokal kasus COVID-19 sesuai
yang diatur pada pasal selanjutnya. Selain kepala daerah, menurut Pasal 5
Permenkes No. 9/2020, Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan
Corona Virus Disease 2019 (GTPP COVID-19) juga dapat mengajukan permohonan
PSBB di suatu wilayah tertentu. Keempat, menurut Pasal 13 Permenkes No. 9/2020,
kegiatan yang dibatasi selama pemberlakuan PSBB, yaitu: sekolah, tempat kerja,
keagamaan, fasilitas umum, sosial budaya, moda transportasi, aspek pertahanan dan
keamanan. Secara lebih lanjut, semua pihak mulai dari pemangku kebijakan hingga
masyarakat umum harus patuh dengan pembatasan kegiatan yang ditetapkan.
Sedangkan aktivitas diluar hal yang dibatasi harus dilakukan dengan prinsip
pembatasan sosial yang diatur.
PSBB dalam penerapannya tidak mempunyai implikasi hukum yang jelas. Hal
itu dilihat dari penerapannya yang lebih berbentuk himbauan ke masyarakat serta
minimnya sanksi atau upaya hukum lanjutan dalam PP No. 21/2020. Hanya saja,
kebijakan PSBB pada penerapannya tidak terlalu mengganggu aspek ekonomi dan
daya beli masyarakat. Kebijakan PSBB dalam penerapannya membatasi kegiatan
melalui peliburan sekolah, pembatasan jam kerja melalui model Work From Home
(WFH), serta membatasi kegiatan keagamaan dan masyarakat di fasilitas umum.
Walaupun PSBB memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat dalam aktivitas
keekonomian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi belum mengatur
pergerakan masyarakat dalam mencegah penyebaran COVID-19. Hal itu
dikarenakan penerapannya yang berbentuk himbauan tidak memiliki daya paksa
kuat dalam mengatur pergerakan masyarakat. Pada akhirnya, pemerintah hanya
dapat menyerukan sosial distancing, namun penyebaran COVID-19 terus meningkat
hingga setiap hari (Permadi & Sudirga, 2020). Hal tersebut kemudian memunculkan
diskursus apakah PSBB adalah kebijakan terbaik bagi Indonesia di masa pandemi
Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Mewabahnya Pandemi COVID-19 di Indonesia
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4051
COVID-19 terutama dalam mencapai penyelamatan ekonomi dan juga kesehatan
masyarakat.
Kebijakan PSBB menurut Permenkes No. 9/2020 dilaksakan selama masa
inkubasi virus terpanjang (14 hari) dan dapat diperpanjang selama 14 hari jika
diketahui terdapat bukti munculnya kasus baru. Dalam perkembangannya, kebijakan
PSBB dilaksanakan dibanyak daerah secara bertahap-tahap. Misalnya di DKI
Jakarta, penerapan PSBB sudah dilakukan sejak 10 April 2020 dan masih terus
berlanjut (Prayoga, 2021). PSBB di DKI Jakarta diprediksi terus diperpanjang
sampai kondisi dinyatakan aman untuk melakukan aktivitas secara normal kembali.
Pemerintah pusat dalam perkembangan penerapan kebijakan PSBB sudah
melakukan beberapa kali penyesuaian kebijakan, seperti Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 (KMK
HK.01.07/MENKES/328/2020) yang isinya terkait upaya mitigasi dan penyiapan
tempat kerja untuk dapat optimal beradaptasi dengan mengubah pola hidup
menyesuaikan dengan situasi COVID-19 (New Normal) sehingga dapat melanjutkan
roda perekonomian. Selanjutnya, penyesuaian dan instruksi tambahan lainnya diatur
dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 1 dan 2 Tahun 2021
dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk wilayah di
pulau Jawa dan Bali. Tambahan lagi, melalui Inmendagri No. 3 Tahun 2021
kemudian menginstruksikan pemberlakuan PPKM skala mikro ditingkat desa,
kelurahan, Rukun Warga (RW), dan Rukun Tetangga (RT). Adapun di samping itu,
kebijakan penanganan terhadap pandemi COVID-19 yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia juga dapat dilihat secara lebih komprehensif melalui gambar
berikut di bawah ini.
Gambar 1
Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Penanganan COVID-19.
Sumber: (Yulianti, Meutia, Sujadmiko, & Wahyudi, 2020)
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
4052 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
B. Subject Position Dan Political Subjectivity Dalam Diskursus Kebijakan PSBB Di
Indonesia
Dalam menjelaskan diskursus yang muncul pada konteks kebijakan PSBB,
setidaknya terdapat subject position yaitu subjek yang terlibat dalam arena diskursif
yang dapat diidentifikasi, yaitu kelompok yang memiliki posisi mendukung (pro)
dan kelompok yang memiliki posisi sebaliknya (kontra) terhadap penerapan
kebijakan PSBB. Terlebih, political subjectivity dalam diskursus kebijakan PSBB
terlihat dari tindakan subjek, dalam hal ini pihak yang pro dan kontra terhadap
PSBB yang terlibat dalam perdebatan mengenai opsi kebijakan penanganan
pandemi COVID-19 terbaik yang mampu menyelamatkan ekonomi diiringi dengan
penyelamatan kesehatan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
kebijakan PSBB sebagai opsi yang pada dasarnya dipilih untuk bisa mencapai
penyelamatan ekonomi diiringi dengan penyelamatan kesehatan masyarakat masih
belum mampu menyelesaikan perdebatan mengenai kebijakan penanganan COVID-
19 yang pada akhirnya masih membuka ruang diskursus mengenai opsi kebijakan
terbaik dalam penanganan COVID-19.
Adapun, (Eriyanto & Ali, 2020) melalui penelitiannya kemudian
mengidentifikasi bahwa terdapat aktor-aktor yang dapat dikelompokkan ke pro dan
kontra terhadap penerapan kebijakan PSBB. Secara garis besar, kelompok yang pro
terhadap kebijakan PSBB terdiri dari pejabat pemerintah pusat, Kementerian
Kesehatan, pengusaha/UKM, serta tokoh masyarakat/agamawan, sedangkan
kelompok yang kontra terdiri dari ahli kebijakan publik, ahli epidemiologi, politisi,
dan organisasi sipil. Sedangkan, kelompok yang kontra terhadap PSBB beralasan
bahwa kebijakan PSBB yang diambil oleh pemerintah dianggap tidak efektif dalam
membatasi aktivitas masyarakat. Kondisi tersebut tercermin dari jumlah kasus yang
terus meningkat sejak Maret 2020 hingga mencapai 1 juta lebih pasien penderita
COVID-19. Selain itu juga jumlah kasus terkonfirmasi harian di Indonesia bahkan
mencapai rekor tertingginya pada 30 Januari 2021, yaitu 14.518 kasus menurut data
yang dirangkum John Hopkins University (Dong, Du, & Gardner, 2020). Menurut
temuan dari (Sri Sulasih, 2020) memperlihatkan bahwa adanya hubungan antara
peningkatan kasus dan tidakefektifan penerapan PSBB yang diperlihatkan
banyaknya masyarakat yang masih melanggar aturan dengan berbagai alasan.
Masyarakat merasa tidak takut dengan sanksi yang diberikan akibat dari penerapan
sanksi terhadap pelanggar PSBB belum efektif dan diterapkan secara maksimal.
Aparat seringkali tidak menindak tegas bagi pelanggar aturan PSBB akibat tidak
adanya instruksi yang menjelaskan sanksi yang keras serta hanya berbentuk
imbauan. Minimnya instruksi sanksi yang keras tersebut yang membuat masyarakat
sering meremehkan dan banyak yang melanggar.
Lebih lanjut, bagi kelompok yang pro terhadap PSBB beralasan bahwa
kebijakan PSBB adalah kebijakan yang paling masuk akal untuk kondisi Indonesia
saat ini. Argumen yang dilontarkan bahwa pemilihan opsi kebijakan penanganan
COVID-19 yang lebih ketat seperti karantina lokal atau lockdown yang sukses dan
Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Mewabahnya Pandemi COVID-19 di Indonesia
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4053
terbukti efektif di beberapa negara, tidak menjamin akan sukses dan efektif di
Indonesia. Hal itu didasari pada karantina lokal/lockdown membutuhkan disiplin
masyarakat dan kesiapan sumber daya ekonomi (seperti pangan dan anggaran) yang
cukup (Eriyanto & Ali, 2020). Pertimbangan lain yang kemudian menjadi alasan
mengapa memilih opsi kebijakan PSBB menurut Ketua Tim Pakar GTPP COVID-
19, Wiku Adisasmito adalah keputusan lockdown bisa berbahaya terhadap
perekonomian dan mempunyai implikasi ekonomi, sosial, dan keamanan yang
belum mampu pemerintah Indonesia ambil sebagai opsi kebijakan yang dipilih. Ia
mencontohkan banyak masyarakat yang hidupnya bergantung dari upah harian,
sehingga jika lockdown diterapkan maka upah harian masyarakat dapat tersendat.
Maka dari itu, penerapan kebijakan berkonsep jaga jarak atau social distancing
dianggap paling baik pada masa sekarang ini (Harirah & Rizaldi, 2020).
C. Antagonisme Dan Pertarungan Hegemoni Dalam Diskursus Kebijakan PSBB
Di Indonesia
Menurut Laclau dan Mouffe dalam (Howarth et al., 2000), antagonisme adalah
perselisihan antar agen sosial/subjek yang memiliki identitas yang jelas. Kelompok
yang berantagonis ini kemudian bersaing untuk mencapai hegemoni yang dapat
menstabilkan nodal point (titik simpul) yang menjadi titik acuan dalam diskursus
(Howarth et al., 2000). Dalam diskursus kebijakan PSBB di Indonesia, titik simpul
dari diskursus ini adalah kebijakan yang terbaik untuk mencapai kebaikan bersama
dalam penyelamatan ekonomi dan kesehatan masyarakat di masa pandemi.
Sedangkan pertarungan hegemoni yang terjadi terkait kebijakan PSBB sebagai yang
tepat atau tidak tepat sebagai penanganan pandemi COVID-19. Adapun, salah satu
hal yang kemudian dapat dirujuk untuk menjelaskan dimensi antagonisme dan
pertarungan hegemoni dalam penerapan kebijakan PSBB di Indonesia selama
mewabahnya pandemi COVID-19 setidaknya dapat dilihat sejak munculnya
polemik tatkala Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur
Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar
dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Pergub DKI Jakarta
No.33/2020). Pasalnya, pergub tersebut dalam perkembangannya kemudian seolah
kontraproduktif dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan
melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 (Permenhub No.
18/2020) karena terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur perihal izin terhadap
angkutan sepeda motor berbasis aplikasi untuk mengangkut penumpang dimana hal
tersebut secara jelas telah dilarang dalam ketentuan yang diatur dalam pergub.
Sedangkan, ketentuan dalam permenhub justru memuat ketentuan yang berlaku
sebaliknya. Bahkan, hal itu menjadi kian kompleks tatkala merujuk pada Permenkes
No. 9/2020 justru telah memuat ketentuan yang jelas mengenai larangan bagi para
pengemudi ojek online untuk mengangkut penumpang. Dalam hal ini, adanya
polemik tersebut juga turut disampaikan oleh Doni Monardo selaku Ketua GTPP
COVID-19 yang kemudian menganggap bahwa dikeluarkannya Permenhub No.
18/2020 tersebut telah menyebabkan munculnya ketidakjelasan mengenai regulasi
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
4054 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
yang dapat dijadikan sebagai rujukan. Meskipun, pihak Kementerian Perhubungan
kemudian menyampaikan bahwa Permenhub tersebut hanya merupakan ketentuan
yang bersifat umum dan tidak berlaku secara khusus hanya untuk wilayah DKI
Jakarta semata.
Akan tetapi, adanya polemik tersebut nyatanya juga turut ditandai dengan
kemunculan polemik-polemik lainnya sebagai implikasi dari adanya pertentangan
ketentuan yang diatur dalam Permenhub No. 18/2020 dengan regulasi-regulasi
lainnya, seperti Pergub DKI Jakarta 33/2020 dan Permenkes No. 9/2020. Polemik-
polemik yang dimaksud diantaranya dapat dilihat tatkala Kementerian Perhubungan
kemudian menolak untuk menghentikan operasional Kereta Rel Listrik (KRL) yang
sempat diajukan oleh GTPP COVID-19 di lima wilayah Jabodetabek pada tanggal
15-28 April 2020. Adapun, Kementerian Perhubungan kala itu kemudian lebih
memilih untuk memberlakukan pembatasan operasional KRL Commuter Line
Jabodetabek yang sebagaimana diatur dalam Perdirjen No. Hk.205/A.107/DJKA/20
tentang Pedoman Pembatasan Jumlah Penumpang Di Sarana Perkeretaapian Dalam
Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Selain
itu, polemik lainnya yang juga muncul ke permukaan adalah di saat pemerintah
hendak mengeluarkan kebijakan larangan mudik menjelang bulan Ramadhan.
Apalagi, publik kala itu juga sempat diwarnai dengan kemunculan diskursus
mengenai mudik dan pulang kampung hingga inkonsistensi pemerintah dalam
memberlakukan aturan yang terkait dengan pelaksanaan larangan mudik. Hal itu
setidaknya dapat dilihat saat pemerintah merevisi Permenhub Nomor 25 Tahun 2020
tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H Dalam
Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19 pada tanggal 7 Mei 2020 dengan lebih
melonggarkan aturan mengenai larangan mudik tersebut (Nastain & Kholit, 2020).
Lebih lanjut dalam melihat dimensi antagonisme dan pertarungan hegemoni
selama diterapkannya kebijakan PSBB, setidaknya dapat turut dilihat tatkala
kalangan yang pro terhadap kebijakan tersebut kemudian menilai bahwa PSBB
merupakan opsi kebijakan yang terbaik dalam mencapai penyelamatan ekonomi
sekaligus penyelamatan kesehatan masyarakat. Dari kelompok pejabat pemerintah
pusat seperti Presiden Jokowi menyatakan bahwa pengambilan opsi lockdown dapat
mengganggu perekonomian. Presiden menilai dengan penerapan PSBB, aktivitas
perekonomian bisa tetap berjalan walaupun ada hal yang dibatasi untuk mencegah
penyebaran COVID-19. Presiden juga menekankan masyarakat untuk selalu jaga
jarak aman dengan menerapkan social distancing dan physical distancing
(Ihsanuddin, 2020). Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly menyatakan bahwa
pemerintah sudah mengkaji berbagai opsi, pemerintah melihat bahwa opsi kebijakan
penanganan COVID-19 dengan lockdown tidak selalu efektif seperti yang terjadi di
India dan Italia, diketahui bahwa opsi kebijakan tanpa lockdown juga bisa efektif
seperti di negara Jepang, Taiwan, dan Hong Kong (Maharani, 2020).
Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P)
Kementerian Kesehatan, Achmad Yurianto menjelaskan sebab-sebab lockdown
Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Mewabahnya Pandemi COVID-19 di Indonesia
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4055
bukan solusi tepat dalam menangani tersebarnya COVID-19, antara lain: 1.)
Indonesia adalah negara kepulauan. Pemerintah tidak yakin bahwa daerah-daerah
mampu secara mandiri menghadapi lockdown dan juga apakah lockdown dapat
diyakini menghentikan penularan virus COVID-19. Dikhawatirkan pengambilan
opsi kebijakan lockdown hanya membuat permasalahan menjadi lebih rumit; 2.)
Situasi dan kondisi yang berbeda. Hal itu didasari bahwa lockdown bukan tren yang
wajib diikuti tapi berkaitan dengan manajemen yang ditinjau dari situasi dan kondisi
masing-masing negara, sehingga metode yang sukses di suatu negara tidak
menjamin hal yang sama di negara lain; 3.) Keputusan pembatasan pertemuan
banyak orang dianggap lebih tepat karena tidak mengurangi produktivitas (Majid,
2021). Bahkan, dari kelompok tokoh masyarakat/agamawan seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mendukung penerapan kebijakan PSBB dalam mengatasi
penyebaran virus COVID-19. Seperti yang dikatakan Wakil Ketua Umum MUI,
Zainut Tauhid. Zainut melihat tujuan kebijakan PSBB, selain untuk memutus rantai
penyebaran COVID-19, tapi dapat juga menjaga daya beli masyarakat. Maka dari
itu, Zainut kemudian mengajak tokoh-tokoh muslim dan agama lain untuk
mendukung kebijakan PSBB yang dibuat oleh pemerintah (Maharani, 2020).
Sedangkan kalangan pengusaha/bisnis menyatakan kesiapannya dalam
mendukung pemberlakuan PSBB. Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang
Indonesia (KADIN) bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani.
Pemberlakuan PSBB tidak akan mengubah drastis produktivitas dikalangan
pengusaha dan masyarakat, karena pemerintah sudah menerapkan anjuran bekerja,
belajar, dan ibadah di rumah (Zuhriyah, 2020). Menurut Himpunan Pengusaha
Pribumi Indonesia (HIPPI) mengharapkan pemerintah menjalankan PSBB secara
tegas sehingga pandemi COVID-19 cepat berakhir (CNBC Indonesia, 2020).
Pasalnya, kelompok yang kontra terhadap kebijakan PSBB melihat perlunya adanya
kebijakan yang lebih mementingkan kesehatan masyarakat terlebih dahulu
dibandingkan ekonomi. Ahli Kebijakan Publik, Agus Pambagio menyarankan
pemerintah Indonesia untuk menjalankan opsi karantina wilayah/lockdown. Opsi
tersebut dianggap lebih mampu menangani secara cepat penyebaran virus COVID-
19, ditambah pula dengan pemerintah yang terbagi fokusnya bersamaan dengan
penyelamatan ekonomi justru akan mengakibatkan lebih banyak merugikan
ekonomi kedepannya jika tidak melakukan opsi karantina wilayah/lockdown (Al
Hikam, 2020). Terlebih, kalangan ahli epidemiologi dan kesehatan ikut menyerukan
supaya pemerintah menerapkan kebijakan yang lebih ketat dalam penanganan
COVID-19. Pandu Riono, ahli epidemiologi Universitas Indonesia menyarankan
untuk meningkatkan social distancing terutama di daerah-daerah yang termasuk
dalam kawasan darurat COVID-19. Masyarakat harus tinggal di dalam rumah dan
hanya diperbolehkan keluar apabila ada keperluan mendesak. Negara kemudian
wajib secara tegas melarang kegiatan-kegiatan yang memungkinkan adanya
pengumpulan massa di satu titik, terlepas apa pun alasannya, termasuk juga yang
terkait dengan keagamaan. Selain itu juga melakukan pembatasan masuknya orang
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
4056 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
asing ke Indonesia dan juga melakukan karantina 14 hari bagi WNI yang kembali
dari negara terdampak COVID-19. Kondisi tersebut jika dilakukan oleh pemerintah,
maka pada dasarnya Indonesia sudah melakukan karantina wilayah/lockdown
(Damarjati, 2020).
Lebih lanjut, desakan pemilihan opsi kebijakan penanganan COVID-19 yang
lebih ketat juga datang dari kalangan politisi. Politisi Partai Demokrat, H. Irwan
menyampaikan bahwa penerapan PSBB tidak akan signifikan dalam menekan
jumlah kasus COVID-19 di Indonesia. Sedangkan daerah yang masuk ke dalam
zona merah (daerah dengan kasus COVID-19 yang tinggi) semakin banyak, tetapi
penerapan PSBB dianggap lamban. Menurutnya, akan banyak masyarakat baik yang
terinfeksi hingga meninggal akibat COVID-19 yang belum dapat dideteksi oleh
pemerintah (Driantama, 2021). Ucapan itu serupa dengan rekomendasi kebijakan
yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono
pada 20 Maret 2020. Dengan lebih berfokus pada keselamatan masyarakat, Partai
Demokrat meminta pemerintah melakukan lockdown berjangka pendek, dengan
berfokus pada kota-kota dengan penyebaran infeksi Covid-19 yang tinggi sampai
dianggap aman untuk dibuka kembali. Selain itu melakukan pembatasan pergerakan
manusia dengan menutup arus masuk dan keluar manusia dalam suatu wilayah
dengan tetap memperhatikan kelancaran arus barang, terutama yang terkait bahan
pokok (Ibrahim, 2020). Sedangkan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sendiri
dalam orasi kebangsaan yang disampaikan oleh Sohibul Iman pada 22 April 2020
menyatakan bahwa pemerintah perlu belajar ke negara-negara yang sudah lebih dulu
menangani pandemi COVID-19. Pemerintah perlu belajar bagaimana negara lain
memformulasikan kebijakan penanganan COVID-19. Menurutnya, pemerintah
dapat mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan untuk meniru cara Tiongkok
dan Eropa melalui lockdown total/parsial, atau seperti di Korea Selatan dan
Singapura melalui massive and rapid testing, atau seperti Vietnam dengan direct-
contact tracing dan social distancing yang bermodel komando militer yang ketat
dan disiplin. PKS menilai bahwa langkah pemerintah dengan menerapkan kebijakan
PSBB justru sebagai bentuk lepas tangan dengan berbagi tanggung jawabnya
dengan daerah. Hal itu menyebabkan penanganan penyebaran COVID-19 menjadi
terkesan sangat lambat, kurang koordinatif, dan kurang integratif (Nastain & Kholit,
2020).
Kelompok organisasi masyarakat sipil dibawah naungan Koalisi Masyarakat
Sipil yang terdiri dari AMAR, Amnesty Internasional Indonesia, Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Indonesia, Asia Justice and Rights (AJAR), ICW, Jurnalis
Bencana dan Krisis (JBK), Kios Ojo Keos, Koalisi Warga Lapor COVID-19,
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat,
Lokataru, Migrant Care, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Protection
Internasional, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Transparency
International Indonesia (TII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),
Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Mewabahnya Pandemi COVID-19 di Indonesia
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4057
WatchDoc, Yayasan Perlindungan Insani, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) juga mengecam pemerintah akibat lebih mementingkan
ekonomi dibandingkan keselamatan kesehatan masyarakat. Mereka menyatakan
bahwa pemerintah mengakui pandemi COVID-19 sebagai darurat bencana bukan
alam, akan tetapi enggan menerapkan karantina wilayah. Penetapan kebijakan PSBB
dilihat sebagai upaya lepas tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan
ekonomi dan sosial masyarakat. Kebutuhan pokok masyarakat pada akhirnya
ditanggung oleh pemerintah daerah. Hal itu disebabkan karena karantina wilayah
bila mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan, maka pemerintah wajib
bertanggung jawab memberikan kebutuhan pokok warga. Selain itu mereka juga
mengecam pemerintah yang memaksakan aktivitas ekonomi ditengah pandemi
sementara protokol kesehatan di tempat kerja tidak dijadikan perhatian oleh
pemerintah. Hal tersebut diperlihatkan dari tidak adanya pengawasan terhadap
tempat-tempat kerja disebabkan Kementerian Tenaga Kerja menerapkan kerja dari
rumah. Hal tersebut menimbulkan puluhan karyawan PT Freeport Indonesia serta
karyawan PT HM Sampoerna terjangkit COVID-19. Kondisi tersebut
menggambarkan kepentingan ekonomi lebih didahulukan dibanding pemenuhan hak
kesehatan publik. Ditambah juga penyelenggaraan akses terhadap tes polymerase
chain reaction (PCR) juga minim padahal pemerintah berhasrat menghidupkan
aktivitas ekonomi (Bhagaskoro, Pasopati, Utungga, & Syarifuddin, 2016).
Tabel 1
Antagonisme Dalam Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) Selama Mewabahnya Pandemi Covid-19 di Indonesia.
No.
Kelompok yang Pro PSBB
Kelompok yang Kontra PSBB
1
Fokus Utama: Penyelamatan
Ekonomi beriringan dengan
Kesehatan Masyarakat
Fokus Utama: Penyelamatan Kesehatan
Masyarakat
2
Aktor: Pejabat pemerintah pusat,
Kementerian Kesehatan, pelaku usaha
/ UKM, serta tokoh publik/agamawan
Aktor: ahli kebijakan publik, ahli
epidemiologi, politisi, dan organisasi
sipil.
3
Kebijakan PSBB paling tepat karena
tidak mengurangi produktivitas
Kebijakan PSBB membuat masyarakat
rentan terpapar virus COVID-19
4
Opsi kebijakan selain PSBB, seperti
karantina wilayah/lockdown belum
menjamin efektifitas penanganan
penyebaran COVID-19
Opsi kebijakan selain PSBB seperti
karantina wilayah/lockdown paling
efektif dalam penanganan penyebaran
COVID-19
5
Lebih menekankan peran masyarakat
dalam melakukan social distancing,
physical distancing, dan gaya hidup
sehat
Menekankan peran dari pemerintah
dalam penanganan pandemi COVID-19
secara lebih ketat
Sumber: Diolah Penulis
Adapun tabel di atas kemudian memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan
fokus utama, aktor, serta pertentangan yang muncul dalam diskursus kebijakan
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
4058 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
PSBB di Indonesia. Kelompok pro terhadap PSBB terdiri dari pejabat pemerintah
pusat, Kementerian Kesehatan, pengusaha/UKM, serta tokoh publik/agamawan.
Didalam kelompok tersebut dapat terlihat bahwa pemerintah (pejabat pemerintah
pusat dan Kementerian Kesehatan) yang didukung oleh kelompok pengusaha/UKM,
serta tokoh masyarakat/agamawan menjadi kelompok yang terlibat dalam
pertentangan yang terjadi terkait opsi kebijakan penanganan COVID-19 yang lain
seperti karantina wilayah/lockdown. Jika mengacu pada bagaimana hegemoni
bekerja, pemerintah kemudian menjadi pihak yang ingin melakukan hegemonisasi
terhadap pikiran masyarakat terkait PSBB sebagai opsi kebijakan penanganan
pandemi COVID-19 yang paling baik. Pemerintah mencoba berargumen bahwa
kebijakan PSBB adalah kebijakan yang terbaik karena tidak mengganggu
produktivitas, tidak menghalangi aktivitas keekonomian, opsi karantina/lockdown
setelah melalui pertimbangan matang ternyata belum menjamin secara efektif
menekan penyebaran COVID-19, dan lebih menekankan kepada masyarakat dalam
melakukan social distancing, physical distancing, dan gaya hidup sehat. Di samping
itu, resistensi kemudian muncul terhadap upaya hegemonisasi tersebut, baik dari ahli
kebijakan publik, ahli epidemiologi, politisi, dan organisasi sipil menyampaikan
argumen tandingan bahwa kebijakan PSBB tidak efektif dalam menekan jumlah
pasien COVID-19 karena minimnya pengawasan serta penindakan terhadap
pelanggar membuat masyarakat semakin rentan terpapar virus. Hal tersebut dalam
dilihat dalam statistik berikut ini:
Gambar 2
Jumlah Kasus Baru COVID-19 Di Indonesia (Per Maret 2020 Februari 2021)
Sumber: Diolah dari (Hertina, Hendiarto, & Wijaya, 2021)
Dengan merujuk pada grafik tersebut dapat terlihat bahwa jumlah kasus baru
penderita COVID-19 yang terjadi sejak bulan Maret 2020 hingga Januari 2021 terus
mengalami peningkatan. Pada bulan Februari 2021 terdapat penurunan jumlah kasus
baru, namun setelah ditelusuri bahwa penurunan tersebut terjadi karena adanya
kontribusi dari jumlah tes yang rendah pada bulan tersebut (Egeham, 2021).
Argumen dari kelompok ini memperlihatkan kebijakan PSBB pada dasarnya
merupakan bentuk lepas tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan
Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Mewabahnya Pandemi COVID-19 di Indonesia
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4059
ekonomi dan sosial masyarakat yang diamanatkan dalam UU Kekarantinaan
Kesehatan kepada pemerintah daerah. Kelompok ini juga berargumen bahwa opsi
karantina wilayah/lockdown yang dilakukan secara tepat pada wilayah tertentu
dan/atau melalui kontrol pemerintah yang ketat akan lebih efektif dibandingkan
PSBB. Selain itu, argumen lain yang muncul adalah bahwa dengan membagi fokus
penyelamatan kesehatan bersamaan dengan ekonomi dianggap bisa lebih banyak
merugikan ekonomi kedepannya. Kelompok ini pada akhirnya menekankan peran
pemerintah yang lebih besar supaya mampu mengontrol penyebaran virus dengan
penanganan yang lebih ketat dan tegas.
Dalam perkembangan penerapan kebijakan PSBB, pemerintah mulanya
menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 bertahan di 2,3%
(Burhanuddin, Massi, Thahir, Razak, & Surungan, 2020), Namun berdasarkan
laporan Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun
2020 terjatuh pada -2,07% (Mulyadi, 2017). Selain itu, upaya pemerintah dalam
penyelamatan ekonomi dan kesehatan masyarakat juga tidak berjalan secara
seimbang. Hal itu terlihat dari pengumuman paket fiskal yang diberikan oleh
pemerintah sebesar Rp 405 triliun (US$ 20.3 miliar) yang bertujuan untuk
merangsang ekonomi dan lapangan kerja. Hanya sekitar US$ 3,8 miliar yang
dialokasikan untuk sektor kesehatan untuk keperluan pembelian peralatan dan
perlengkapan medis, serta insentif dan perlindungan bagi tenaga medis. Sedangkan
US$ 5 miliar dialokasikan untuk insentif pajak, US$ 7,5 miliar untuk restrukturisasi
debit / kredit dan bantuan biaya bagi UKM, dan US $ 5,5 miliar untuk perlindungan
sosial berupa bantuan transfer tunai bulanan dan paket bantuan sosial untuk orang
miskin (Pareira, 2021). Sehingga pada akhirnya upaya pemerintah melalui kebijakan
PSBB dalam menyelamatkan ekonomi bersamaan dengan kesehatan masyarakat
tidak berhasil jika dilihat dari semakin meningkatnya jumlah kasus baru COVID-19
yang terjadi serta performa pertumbuhan ekonomi yang gagal mencapai target.
Pemerintah yang kemudian gagal mencapai fokus penyelamatan ekonomi serta
kesehatan masyarakat kemudian berdampak terhadap posisi pemerintah dalam
diskursus penerapan kebijakan PSBB, pemerintah kemudian mengakomodasi
pandangan untuk memfokuskan kesehatan. Hal ini kemudian terlihat tatkala
Presiden Jokowi kemudian menyampaikan bahwa fokus utama pemerintah dalam
penanganan pandemi COVID-19 adalah kesehatan dan keselamatan masyarakat,
sedangkan ekonomi akan mengikuti jika penanganan kesehatan juga baik (SARI,
n.d.). Selain itu pemerintah kemudian juga memperkenalkan konsep micro-
lockdown yang merupakan bagian dari kebijakan PPKM Mikro (Dinia, 2021).
PPKM Mikro dalam Inmendagri No. 3 Tahun 2021 kemudian membagi zonasi
pengendalian COVID-19 hingga tingkat RT yang mana memungkinkan adanya
karantina wilayah pada tingkat RT yang mengalami tingkat penyebaran COVID-19
yang sangat tinggi.
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
4060 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
Kesimpulan
Kebijakan PSBB dipilih sebagai opsi kebijakan terbaik dalam penanganan
pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia. Selain digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan tidak jelasan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam
penanganan COVID-19, PSBB juga diharapkan bisa menjadi kebijakan yang mampu
menekan penyebaran virus COVID-19 bersamaan dengan tetap berjalannya aktivitas
ekonomi masyarakat. Namun, dalam perkembangannya, muncul resistensi dari sebagian
kelompok masyarakat terhadap kebijakan PSBB yang kemudian menimbulkan
diskursus terkait apakah PSBB adalah kebijakan yang paling tepat dalam penanganan
COVID-19 di Indonesia. Dalam hal ini, perbedaan posisi subjek dan antagonisme dalam
diskursus tersebut terlihat dari kelompok yang mendukung kebijakan PSBB, terdiri dari
pejabat pemerintah pusat dan Kementerian Kesehatan yang kemudian mendapat
dukungan dari kelompok pengusaha dan tokoh masyarakat/agamawan mencoba
melakukan hegemonisasi terhadap pikiran masyarakat dengan menyampaikan argumen
bahwa penanganan pandemi yang terbaik untuk Indonesia saat ini adalah yang berfokus
pada penyelamatan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Sedangkan, kelompok yang
kontra terhadap pemahaman tersebut seperti ahli kebijakan publik, ahli epidemiologi,
politisi, dan organisasi sipil kemudian melakukan resistensi melalui penyampaian
argumen tandingan yang intinya menginginkan fokus dari penanganan pandemi
COVID-19 adalah pada penyelamatan kesehatan masyarakat. Adapun dalam
pertarungan mencapai hegemoni dalam diskursus tersebut, kemudian pemerintah
melakukan akomodasi terhadap tuntutan-tuntutan kelompok yang berseberangan dengan
mengadopsi fokus penanganan kebijakan COVID-19 yang berfokus pada kesehatan dan
mulai memperkenalkan konsep micro-lockdown yang merupakan bagian dari kebijakan
PPKM skala mikro yang memungkinkan karantina wilayah pada tingkatan RT.
Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Mewabahnya Pandemi COVID-19 di Indonesia
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4061
BIBLIOGRAFI
Al Hikam, Herdi Alif. (2020). Dilema Lockdown: Keselamatan Masyarakat atau
Perekonomian? Google Scholar
Balch, George, & Brown, Steven R. (1982). Political Subjectivity: Applications of Q
Methodology in Political Science. In Journal of Marketing Research (Vol. 19).
Google Scholar
Bernie, Mohammad. (2020). Desakan Lockdown yang Terus Menguat untuk Tangani
Corona COVID-19 - Tirto.ID. Google Scholar
Bhagaskoro, S., Pasopati, S., Utungga, Rommel, & Syarifuddin, S. (2016). Relasi
Lokalitas Dan Pembangunan Infrastruktur Indonesia Tahun 2005-2015. Prosiding
Seminar Nasional Indocompac. Google Scholar
Bryman, Alan. (2016). Social Research Methods (5th ed.). London: Oxford University
Press. Google Scholar
Burhanuddin, Andi Iqbal, Massi, Muh Nasrum, Thahir, Hasanuddin, Razak, Amran, &
Surungan, Tasrief. (2020). Merajut Asa Di Tengah Pandemi Covid-19 (Pandangan
Akademisi UNHAS). Deepublish. Google Scholar
Chadijah, Siti. (2020). Harmonisasi Kewenangan Penanganan Pandemi Covid-19
Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum; Vol
8 No 6 (2020). Google Scholar
Chan Sun, Marie, & Wah, Claude. (2020). Lessons to be learnt from the COVID-19
public health response in Mauritius. Public Health in Practice, 1, 100023. Google
Scholar
CNBC Indonesia. (2020). HIPPI: Pemerintah Harus Tegas Terapkan Aturan & Sanksi
PSBB. Google Scholar
Damarjati, Danu. (2020). Darurat Corona, RI Perlu Terapkan Kondisi “Seperti
Lockdown.” Google Scholar
Dinia, Sebwinda. (2021). Analisis Hukum Islam Terhadap Implementasi Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan
Transaksi Elektronik Dalam Jual Beli Elektronik (Studi Di Desa Dwi Warga
Tunggal Jaya, Kab. Tulang Bawang). Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung. Google Scholar
Dong, Ensheng, Du, Hongru, & Gardner, Lauren. (2020). An interactive web-based
dashboard to track COVID-19 in real time. The Lancet Infectious Diseases, 20(5),
533534. Google Scholar
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
4062 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
Driantama, Genita. (2021). Studi Komparatif Efektivitas Kebijakan Penanganan
Pandemi COVID-19 Antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia.
Universitas Bakrie. Google Scholar
Edie, Haryoto, Agus, Pambagio, & Safira, Wasiat. (2020). Kebijakan Publik
Penanggulangan Covid-19. Jakarta: Penerbit RMBooks. Google Scholar
Egeham, Lizsa. (2021). Satgas Covid-19 Sebut Jumlah Kasus Harian Turun Drastis
Karena Testing Rendah. Google Scholar
Eriyanto, & Ali, Denny Januar. (2020). Discourse network of a public issue debate: A
study on covid-19 cases in indonesia. Jurnal Komunikasi: Malaysian Journal of
Communication, 36(3), 209227. Google Scholar
Hamad, Ibnu. (2007). Lebih Dekat dengan Analisis Wacana. Mediator: Jurnal
Komunikasi, 8(2), 325344. Google Scholar
Hanif, Hasrul. (2007). Antagonisme Sosial, Diskonsensus, dan Rantai Ekuivalensi:
Menegaskan Kembali Urgensi Model Demokrasi Agonistik. Jurnal Ilmu Sosial
Dan Ilmu Politik, 11(1), 119136. Google Scholar
Harirah, Zulfa, & Rizaldi, Annas. (2020). Merespon Nalar Kebijakan Negara Dalam
Menangani Pandemi Covid 19 Di Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan
Publik Indonesia, 7(1). Google Scholar
Herdiana, Dian. (2020). Implementasi Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(Psbb) Sebagai Upaya Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Decision: Jurnal Administrasi Publik; Vol 2 No 2 (2020): Decision : Jurnal
Administrasi PublikDO - 10.23969/Decision.V2i2.2978 . Google Scholar
Hertina, Dede, Hendiarto, R. Susanto, & Wijaya, John Henry. (2021). Pemulihan
Keuangan Keluarga Ketika Pandemi Covid-19 Melalui Pelatihan Personal
Financial Health Check Up. Jurnal PADMA: Pengabdian Dharma Masyarakat,
1(2). Google Scholar
Howarth, David R. (1998). Discourse Theory And Political Analysis. In Elinor
Scarbrough & Eric Tanenbaum (Eds.), Research Strategies in the Social Sciences
(pp. 268293). Google Scholar
Howarth, David R., Norval, Aletta J., & Stavrakakis, Yannis. (2000). Discourse theory
and political analysis : identities, hegemonies and social change / ed. by David
Howarth, Aletta J. Norval and Yannis Stavrakakis. Theoria: A Journal of Social
and Political Theory, 135138. Google Scholar
Hutagalung, Daniel. (2004). Hegemoni, Kekuasan dan Ideologi. Jurnal Pemikiran
Sosial, Politik Dan Hak Asasi Manusia, 12((Oktober-Desember)), 117. Google
Scholar
Analisis Diskursus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Selama
Mewabahnya Pandemi COVID-19 di Indonesia
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4063
Ibrahim, Gibran Maulana. (2020). Ketum Demokrat AHY Serukan Lockdown Jangka
Pendek demi Perangi Corona. Google Scholar
Ihsanuddin. (2020). Jokowi Akhirnya Blak-blakan soal Alasan Tak Mau Lockdown.
Google Scolar
Maharani, Tsarina. (2020). Menurut Yasonna, Ini Alasan Pemerintah Tak Pilih Opsi
Lockdown Atasi Corona. Google Scholar
Majid, Abi Ibnu. (2021). Interelation Institusional Collaboration Dalam
Penaggulangan Bencana Covid 19 Di Kota Malang. Google Scholar
Mulyadi, Dudung. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Hasil Agribisnis Tanaman
Pangan dan Hortikultura serta Implikasinya Terhadap Kesempatan Kerja dan
Kesejahteraan Rumah Tangga Petani di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Ekonomi,
19(1), 1848. Google Scholar
Nastain, Mohammad, & Kholit, Noviar Jamaal. (2020). Tumpang Tindih Kebijakan
Penanganan COVID-19. In Nurudin, Didik Haryadi Santoso, & Fajar Junaedi
(Eds.), Diskursus Covid-19 Dalam Perspektif Komunikasi. Yogyakarta:
MBRIDGE Press & Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI).
Google Scholar
Nurhayati, & Suwarno, Peter. (2020). The Discourse of Covids-19 Pandemic Policies in
Indonesia. Journal of Linguistics and Education, 10(2), 97109. Google Scholar
Pareira, Samuel Pablo Ignasius. (2021). Indonesia’s COVID-19 Mismanagement : A
2020 Policy Kaleidoscope. CSIS Commentaries, (January), 27. Google Scholar
Permadi, Putu Lantika, & Sudirga, I. Made. (2020). Problematika Penerapan Sistem
Karantina Wilayah Dan PSBB Dalam Penanggulangan Covid-19. Jurnal Kertha
Semaya, 8(9), 13551365. Google Scholar
Prayoga, Ricky. (2021). DKI perpanjang PSBB hingga 8 Maret 2021. Google Scholar
Putri, Ririn Noviyanti. (2020). Indonesia dalam Menghadapi Pandemi Covid-19. Jurnal
Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 20(2), 705. Google Scholar
Ristyawati, Aprista. (2020). Efektifitas Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Masa Pandemi Corona Virus 2019 oleh Pemerintah Sesuai Amanat UUD
NRI Tahun 1945. Administrative Law and Governance Journal, 3(2), 240249.
Google Scholar
Sari, Ricci Novita. (N.D.). Analisis Semiotik Formasi Politik Ala Jokowi Di Media
Sosial Youtube Channel Cnn Indonesia Oleh Rocky Gerung. Google Scholar
Spiteri, Gianfranco, Fielding, James, Diercke, Michaela, Campese, Christine, Enouf,
Vincent, Gaymard, Alexandre, Bella, Antonino, Sognamiglio, Paola, Moros, Maria
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja Suwarso
4064 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
José Sierra, & Riutort, Antonio Nicolau. (2020). First cases of coronavirus disease
2019 (COVID-19) in the WHO European Region, 24 January to 21 February 2020.
Eurosurveillance, 25(9), 2000178. Google Scholar
Sri Sulasih, Endang. (2020). Ketidakefektifan Penerapan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Binamulia Hukum, 9(1), 6782.
Google Scholar
Supriyatna, Iwan, & Djailani, Mohammad Fadil. (2020). Jokowi Guyur Rp 72 Miliar
untuk Influencer, Pengamat: Pemborosan!. Google Scholar
Susilo, Adityo, Rumende, Cleopas Martin, Pitoyo, Ceva Wicaksono, Santoso, Widayat
Djoko, Yulianti, Mira, Herikurniawan, Herikurniawan, Sinto, Robert, Singh,
Gurmeet, Nainggolan, Leonard, & Nelwan, Erni Juwita. (2020). Coronavirus
Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(1),
4567. Google Scholar
Yulianti, Devi, Meutia, Intan Fitri, Sujadmiko, Bayu, & Wahyudi. (2020). Indonesia
Crisis Response To Covid-19 Pandemic : From Various Level of Government and
Network Actions To Policy. Journal of Public Administration, Finance and Law
INDONESIA’, (17), 3448. Google Scholar
Zuhriyah, Dewi Aminatuz. (2020). Pengusaha Minta Kejelasan Mekanisme Pelaksanaan
PSBB - Ekonomi Bisnis.com. Google Scholar
Copyright holder:
Robin Hernandez Chaniago, Reni Chandriachsja (2021)
First publication right:
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
This article is licensed under: