Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
6, No.
8, Agustus 2021
�
KAJIAN YURIDIS KOMPARATIF PENYEDIA PINJAMAN NON-BANK BAGI USAHA MIKRO
DI INDONESIA
Nadialista Kurniawan, Risyad Arhamullah
Universitas Pelita Harapan Banten, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Kehadiran Fintech P2P Lending menjadi sebuah
alternatif pembiayaan non-bank selain Lembaga Keuangan Mikro yang telah hadir jauh
lebih dulu dan diakui keberadaannya secara hukum sejak tahun 2013. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis secara yuridis-normatif mengenai
implementasi Financial Technology Peer to Peer Lending (P2P) sebagai
alternatif penyedia pinjaman non-bank bagi usaha mikro di Indonesia dan
menganalisis komparasi antara Financial Technology Peer to Peer Lending (P2P)
dengan Lembaga Keuangan Mikro dalam peraturan perundang-undangan yang digunakan
sebagai landasan hukum dilihat dari pendekatan sisi politik hukum di Indonesia,
yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut yang dapat dilakukan secara
empiris di masa mendatang bagi perkembangan hukum di Indonesia. Metode
penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif yaitu menelaah bahan hukum
utama dengan menelaah dan melakukan perbandingan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan Fintech P2P Lending
dan Lembaga Keuangan Mikro. Hasil penelitian menujukkan bahwa kewenangan otoritas
jasa keuangan sebagai otoritas yang melakukan pengaturan dan pengawasan dalam
sektor jasa keuangan terwujud dalam Peraturan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi dan Pasal 28 Undang Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, selaras dengan politik hukum
Indonesia dan tujuan daripada hukum itu sendiri. Kekosongan hukum (rechtvacuum) mengenai Tingkat Suku Bunga Pinjaman Fintech P2P Lending semestinya
segera ditangani demi terciptanya perlindungan hukum bagi konsumen jasa keuangan
serta menjaga stabilitas moneter dan keuangan di Indonesia.
Kata Kunci:�� Peer-to-Peer (P2P) lending; lembaga keuangan
mikro; usaha mikro; pinjaman; non-bank; teknologi finansial
Abstract
The
presence of Fintech P2P Lending becomes an alternative to non-bank financing in
addition to MicroFinance Institutions that have been present much earlier and
recognized as legally recognized since 2013. The purpose of this research is to
analyze juridically-normatively the implementation of Financial Technology Peer
to Peer Lending (P2P) as an alternative non-bank loan provider for
micro-businesses in Indonesia and analyze the comparison between Financial
Technology Peer to Peer Lending (P2P) and MicroFinance Institutions in the laws
and regulations used as legal foundations seen from the political approach of
law in Indonesia, which can be used for further research that can be done
empirically in the future for legal developments in Indonesia. This research
method is juridical-normative research that examines the main legal materials
by reviewing and comparing applicable laws and regulations in Indonesia,
especially those related to Fintech P2P Lending and MicroFinance Institutions.
The results of the study showed that theauthority of financial services as an
authority that conducts regulation and supervision in the financial services
sector is realized in Regulation No. 77 / POJK.01 / 2016 on Technology-Based
Lending Services and Article 28 of Law No. 1 of 2013 on MicroFinance
Institutions, in line with Indonesian legal politics and the purpose of the law
itself. The legal vacuum(rechtvacuum)regarding the P2P Lending Fintech Lending
Rate should be addressed immediately for the creation of legal protection for
financial services consumers and maintaining monetary and financial stability
in Indonesia.
Keywords: Peer-to-Peer (P2P) lending; microfinance institutions; micro enterprise; loans; non-bank; financial technology
Pendahuluan
Menurut (Hadad, 2017) Fintech
merupakan sebuah inovasi berhasil mentransformasi suatu sistem atau pasar yang
telah ada sebelumnya, dengan memperkenalkan kepraktisan, kemudahan akses,
kenyamanan, dan biaya yang ekonomis, dikenal sebagai Inovasi Disruptif (Disruptive Innovation). Fintech yang
mulai eksis dan lebih dikenal oleh masyarakat yaitu dengan jenis Peer to Peer Lending (selanjutnya
disebut Fintech P2P Lending),
bergerak dalam bidang peminjaman uang dengan menargetkan nasabah peminjam pada
sektor usaha mikro yang seringkali tidak memiliki persyaratan yang bankable. Sebelum kehadiran Fintech P2P Lending, Lembaga Keuangan
Mikro telah terlebih dahulu hadir menjadi solusi sebagai penyedia pinjaman bagi
sektor usaha mikro di Indonesia, yang mana keduanya diatur dan diawasi oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Salus Populi Suprema Lex Esto, merupakan adagium hukum yang
pertama diucapkan oleh Cicero seorang filsuf berkebangsaan Italia yang bermakna
"Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi". Salus Populi Suprema Lex Esto juga kita temukan dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada alinea keempat yang mana
disebutkan keselamatan dan kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama bernegara
artinya negara harus menjamin, melindungi segenap bangsa Indonesia, termasuk
dalam berbagai sisi bidang usaha yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan
tingkat hidup rakyat Indonesia, salah satunya dalam bidang Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu unit usaha yang memiliki peran penting
dalam perkembangan dan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Dengan adanya sektor
UMKM, pengangguran akibat angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja
menjadi berkurang (Kurniawan, 2021).
Pasal 6 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah menyatakan bahwa usaha mikro sebuah usaha produktif
dengan kriteria kekayan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,- atau memiliki
total omzet paling banyak Rp. 300.000.000,- per tahun. Sebagian besar sektor
usaha mikro dan kecil dimulai oleh orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan
yang rendah, pengalaman kerja yang minim, dan para korban PHK dan tergolong
sektor ekonomi informal. Tentunya, dengan keterbatasan sumber daya baik secara
ekonomi maupun pengetahuan, lembaga keuangan formal seperti perbankan sulit
memberikan fasilitas keuangan kepada mereka, sehingga sumber daya dan
kesuksesan mereka sangat bergantung pada kapital sosial kelompok dan jaringan
dengan penguasa wilayah. Implikasinya adalah peningkatan kompetensi wirausaha
mikro dan kecil harus dipusatkan pada pembentukan, pengembangan dan peningkatan
sejumlah kecil rantai hubungan yang berkualitas (Fornoni, Arribas, & Vila, 2012) terutama pada penyediaan lembaga
pembiayaan atau pemberian kredit modal usaha bagi usaha mikro dan kecil, yang
seharusnya difasilitasi negara untuk kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dilansir dari Katadata.co.id,
menurut Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menilai Indonesia dapat
keluar dari jebakan kelas menengah dengan pertumbuhan ekonomi yang saat ini
masih stagnan di kisaran 5% dengan mendorong Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) untuk naik kelas. Lebih lanjut, dikatakan bahwa pada 2017 yang lalu,
98,7% usaha di Indonesia merupakan usaha mikro yang menyerap 89,17% tenaga
kerja domestik di Indonesia. Jumlahnya yang sangat banyak dan besarnya peran
dalam menyediakan pekerjaan bagi mereka yang kurang berpendidikan, membuat
peran usaha mikro bagi terutama bagi penyerapan tenaga kerja sangat penting
bagi perekonomian Indonesia (Budimanta, 2020).
Maka pada 2013, Indonesia melakukan sebuah inovasi dalam
memfasilitasi dan mendorong perkembangan sektor usaha mikro melalui pembentukan
Lembaga Keuangan Mikro yaitu lembaga keuangan yang khusus non-bank yang
didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat,
baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota
dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan (Haikal, Zarfinal, & Maiyestati, 2021). Memang, lembaga perbankan telah ada
sebelumnya, tetapi sulitnya untuk mendapatkan fasilitas kredit dari perbankan
karena kebanyakan usaha mereka tidak teradministrasi dengan baik, sehingga
Lembaga Keuangan Mikro sebagai lembaga keuangan non-bank ini telah meningkatkan
kredit usaha mikro sejak tahun 2013 yang terus mengalami peningkatan (Hanifah & Rahadi, 2020).
Penetrasi teknologi digital di Indonesia yang sangat cepat
beberapa dekade terakhir mengubah hampir semua aspek kehidupan, salah satunya
dalam industri keuangan baik lembaga bank maupun lembaga non-bank di Indonesia
yang ditandai dengan hadirnya financial
technology (fintech). Melihat perkembangan layanan keuangan digital atau financial technology (fintech) yang
begitu cepat dan beragam di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016, tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) atau yang biasa
disebut peer to peer lending (P2P
lending). Per tanggal 30 April 2020, total jumlah penyelenggara fintech p2p
lending terdaftar dan berizin adalah sebanyak 161 perusahaan Otoritas Jasa
Keuangan (2020) Beberapa dari fintech
tersebut berfokus pada misi misi untuk berdayakan usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM) khususnya oleh perempuan.
Fintech P2P Lending menjadi sebuah solusi dan alternatif
bagi usaha mikro di Indonesia untuk mendapatkan pembiayan secara cepat dan
mudah, karena umumnya prosesnya terbilang tidak sulit dan tidak membutuhkan
banyak data atau diperlukan audit terlebih dahulu seperti lembaga perbankan. Fintech P2P Lending merupakan pilihan
pinjaman bagi pelaku usaha mikro yang rata-rata unbankable. Aturan meminjam pada Fintech P2P Lending yang lebih longgar bisa jadi menjadi salah satu
alasan masyarakat memilih kredit online ini dibandingkan bank atau Lembaga
Keuangan Mikro yang bersifat non-bank. Pada akhirnya, Fintech P2P Lending menjadi pelengkap peran lembaga keuangan bank
dan non-bank untuk menyalurkan dana ke usaha mikro. Namun, di sisi lain,
kemudahan ini diiringi dengan tingkat bunga yang jauh lebih tinggi dari lembaga
keuangan non-bank lainnya, karena belum ada pengaturan mengenai tingkat suku
bunga bagi Fintech P2P Lending dalam
pemberian pembiayaan di Indonesia. Maka, berdasarkan hal-hal yang telah
dipaparkan diatas, peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian bersifat
normatif-yuridis berjudul �Kajian Yuridis
Komparatif Penyedia Pinjaman Non-Bank Bagi Usaha Mikro Di Indonesia� dalam
pendekatan politik hukum Indonesia.
Penelitian ini menggunakan studi komparasi yang belum pernah
dilakukan atau belum pernah dipublikasikan sebelumnya, yang mana penelitian yang
dilakukan sebelumnya terbatas hanya pada Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan
terhadap Financial Techonology (Santi, Budiharto, & Saptono, 2017), Peran Lembaga Keuangan Mikro
terhadap Eksistensi Usaha Mikro (Damayanti, 2019) dan Peranan Peer to Peer Lending Dalam Menyalurkan Pendanaan pada Usaha Kecil
dan Menengah (Aprita, 2021).
Jurnal dengan judul �Pengawasan
Otoritas Jasa Keuangan terhadap Financial Techonology� (Santi et al., 2017) sebatas
membatas hubungan hukum para pihak yang terlibat dalam Financial Technology dan mengetahui pelaksanaan pengawasan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap Financial Technology berdasarkan POJK No.77/POJK.01/2016 dan tidak
membahas tentang pengaturan dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia.
Sedangkan penelitian dalam Jurnal dengan judul �Peran Lembaga Keuangan Mikro terhadap Eksistensi Usaha Mikro� (Damayanti, 2019), sebatas hanya membahas tentang
peran lembaga keuangan mikro bagi perkembangan usaha mikro di Daerah Istimewa
Yogyakarta dan tidak membahas tentang Financial
Technology Peer-to-Peer Lending. Selain itu jurnal dengan judul �Peranan Peer to Peer Lending Dalam
Menyalurkan Pendanaan pada Usaha Kecil dan Menengah� (Aprita, 2021), membahas tentang permasalahan
pendanaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah yang pendanaannya dapat
dilakukan oleh Financial Technology
Peer-to-Peer Lending secara umum, berfokus pada peran penting pemerintah
dalam melakukan sosialisasi kehadiran Financial
Technology Peer-to-Peer Lending bagi sektor usaha tersebut di Indonesia.
Penelitian-penelitian sebelumnya tidak ada yang membahas
tentang Financial Technology Peer-to-Peer
Lending dan Lembaga Keuangan Mikro secara bersamaan, seperti yang dibahas
dalam penelitian ini, maka penelitian ini memiliki sifat kebaruan (novelty) karena mengemukakan dan
memapaparkan hal-hal baru yaitu melakukan perbandingan secara yuridis normatif
terhadap Fintech Peer-to-Peer Lending
(P2P Lending) dan Lembaga Keuangan Mikro bagi sektor usaha mikro di
Indonesia, dengan melihat pada politik hukum dan tujuan daripada hukum di
Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara
yuridis-normatif mengenai implementasi Financial
Technology Peer to Peer Lending (P2P) sebagai alternatif penyedia pinjaman
non-bank bagi usaha mikro di Indonesia dan menganalisis komparasi antara Financial Technology Peer to Peer Lending
(P2P) dengan Lembaga Keuangan Mikro dalam peraturan perundang-undangan yang
digunakan sebagai landasan hukum dilihat dari pendekatan sisi politik hukum di
Indonesia yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut yang dapat
dilakukan secara empiris di masa mendatang bagi perkembangan hukum di
Indonesia.
Metode Penelitian
Metode penelitian meliputi tipe penelitian yuridis-normatif
yaitu menelaah bahan hukum utama dengan cara menelaah asas-asas hukum serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, berkaitan dengan
penelitian ini, yang mana pendekatan penelitian yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
perbandingan (comparative approach). Penelitian ini bersifat analisis
yuridis-normatif karena berusaha untuk mencari dan memecah komponen-komponen
dari suatu permasalahan untuk dikaji lebih dalam serta kemudian
menghubungkannya dengan hukum, kaidah hukum serta norma hukum yang berlaku
sebagai pemecahan permasalahannya. Kegiatan analisis yuridis-normatif adalah
mengumpulkan hukum dan dasar lainnya yang relevan untuk kemudian mengambil
kesimpulan sebagai jalan keluar atau jawaban atas permasalahan (Nasution,
2008). Penelitian ini diharapkan merupakan tahap awal untuk penelitian lebih
lanjut yang dilakukan secara yuridis-empiris dan komprehensif dengan memadukan
data sekunder yaitu norma serta peraturan hukum dan data primer yaitu
pengambilan data secara langsung dan nyata di lapangan dalam implementasi
antara Fintech P2P Lending dengan
Lembaga Keuangan Mikro pada sektor usaha mikro di Indonesia, pada masa
mendatang.
Hasil dan Pembahasan
A.
Kewenangan
Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengaturan dan Pengawasan Fintech P2P Lending dengan Lembaga Keuangan Mikro pada sektor usaha
mikro di Indonesia.
Otoritas Jasa Keuangan sebagai
lembaga yang mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan di Indonesia
menyelenggarakannya dengan terintegrasi antar penyelenggara dan penyedia jasa
keuangan di Indonesia, baik sektor bank atau pun non Bank . Wewenang Otoritas
Jasa Keuangan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu (Otoritas Jasa Keuangan, 2011):
a.
Wewenang
Otoritas Jasa Keuangan dalam tugas pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan. Wewenang ini terdiri atas:
1)
Pengaturan
dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi perizinan untuk
pendirian bank dan kegiatan usaha bank;
2)
Pengaturan
dan pengawasan tentang kesehatan bank yang meliputi laporan bank yang
berhubungan dengan kesehatan dan kinerja bank, sistem informasi debitor,
pengujian kredit, dan standar akuntansi bank.
3)
Pengaturan
dan pengawasan tentang aspek kehati-hatian bank yang meliputi manajemen risiko,
tata kelola bank, pemeriksaan bank, dan prinsip mengenal nasabah dan anti
pencucian uang.
b.
Wewenang
Otoritas Jasa Keuangan dalam tugas pengaturan lembaga bank dan non-bank.
Wewenang ini terdiri atas:
1)
Menetapkan
peraturan pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2)
Menetapkan
peraturan perundang-undang di sektor jasa keuangan.
3)
Menetapkan
peraturan tentang pengawasan di sektor jasa keuangan.
4)
Menetapkan
peraturan tentang tata cara penetapan perintah tertulis terhadap lembaga jasa
keuangan dan pihak tertentu.
5)
�Menetapkan peraturan tentang tata
cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa keuangan.
6)
Menetapkan
peraturan tentang tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
c.
Wewenang
Otoritas Jasa Keuangan dalam tugas pengawasan lembaga bank dan non-bank.
Wewenang ini terdiri atas:
1)
Menetapkan
kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan.
2)
Mengawasi
pelaksanaan tugas pengawasan yang dilakukan oleh Kepala Eksekutif.
3)
Memberikan
perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan pihak tertentu.
4)
Melakukan
penunjukan pengelola statuter. Menetapkan penggunaan pengelola statute.
5)
Menetapkan
sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
6)
Memberikan
dan mencabut izin usaha.
Berdasarkan wewenang Otoritas Jasa
Keuangan tersebut, pengawasan dan pembinaan terhadap Fintech P2P Lending dan Lembaga Keuangan Mikro ini telah sesuai
dengan wewenang pengaturan dan pengawasan lembaga non-bank dalam sektor jasa
keuangan di Indonesia selaras dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
Peranannya sebagai pengaturan
terhadap perkembangan industri Fintech
P2P Lending, Otoritas Jasa Keuangan sudah menerbitkan peraturan tertulis
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dikeluarkannya peraturan ini
diharapkan memberikan dasar hukum bagi penyelenggaraan Fintech P2P Lending di Indonesia, sekaligus memberikan perlindungan
konsumen dan kepercayaan terhadap masyarakat yang akan menggunakan layanan Fintech jenis P2P Lending, dalam segala sektor usaha termasuk sektor usaha mikro.
Pengaturan dan pengawasan Otoritas
Jasa Keuangan terhadap bisnis Fintech P2P
Lending juga diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan,
tujuannya untuk penyelenggaraan Inovasi Keuangan Digital (IKD) secara
bertanggung jawab. Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, penyelenggara
bisnis Fintech P2P Lending wajib
menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi
dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut
dimusnahkan.
Penyelenggaraannya bisnis Fintech P2P Lending menggunakan
instrumen yaitu kontrak elektronik, sehingga harus tunduk pada aturan mengenai
kontrak elektronik yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE), khususnya Pasal 1 angka 17 dan Pasal
18 UU tersebut, sehingga harus tunduk pada aturan yang dikeluarkan oleh
regulator yang mengatur dan mengawasi sistem elektronik yaitu Kementerian
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.
Sedangkan dalam Undang Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, pengawasan dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan
koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, karena lokasinya yang berada
di daerah kabupaten dan/atau kota di seluruh Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan
tidak melakukan pengawasan dan pembinaan sendiri, namun setelah Lembaga
Keuangan Mikro memperoleh izin usahanya, Otoritas Jasa Keuangan akan
mendelegasikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan/atau Kota
agar lebih efektif. Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten dan/atau Kota
dianggap belum siap atau belum mampu untuk menjalankan pengawasan tersebut,
maka akan ditunjuk pada pihak lain yang telah siap di daerah tersebut.
Pendelegasian ini terjadi karenya banyaknya Lembaga Keuangan Mikro yang ada di
Indonesia dan seringkali sektor usaha mikro jauh lebih dekat dengan pemerintah
yang ada di daerahnya daripada pemerintah pusat, yaitu Otoritas Jasa Keuangan.
B.
Politik
Hukum dan Tujuan Hukum terhadap Fintech
P2P Lending dengan Lembaga Keuangan Mikro pada sektor usaha mikro di
Indonesia
Pendekatan politik hukum terkait
penelitian ini, merujuk pada peraturan perundang undangan terkait Financial Technology Peer to Peer Lending
(P2P Lending), Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Mikro, kebenaran yang
terdapat dalam kelompok peraturan perundang-undangan ini adalah kebenaran moral
(obyektif) yaitu konsistensi hubungan antara pengetahuan dan obyek berdasarkan
nilai-nilai baik dan buruk yang hidup di dalam masyarakat, dalam hal ini
berkaitan dengan adanya financial
technology peer to peer lending yang memang senyatanya dalam masyarakat
dapat menjadi alternatif bagi pembiayaan atau pemberi pinjaman bagi usaha mikro
selain Lembaga Keuangan Mikro, yang terus menerus berkembang seiring
perkembangan teknologi.
Gambar 1
Perbandingan Fasilitas Pembiayaan Non-Bank bagi Usaha
Mikro
Sumber: Koleksi Peneliti
Sudut
pandang Politik Hukum yang bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan mana
yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan
baru di dalam kehidupan masyarakat (Mahfud, 2009). Selain
itu, Abdul Wahid Masru juga mengartikan politik peraturan perundang-undangan
sebagai kebijakan yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam
membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai dengan
penegakannya (implementasinya) (Masru, 2004).
�Artinya ada suatu kebutuhan baru dalam
masyarakat Indonesia yang semakin berkembang penetrasi digitalnya, membutuhkan
suatu pengaturan hukum yang baru dalam bidang pembiayaan melalui Fintech P2P Lending, sehingga
dibentuklah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Inovasi Keuangan Digital, yang diharapkan dapat mengakomodir
kebutuhan akan hukum dalam hidup bermasyarakat terutama bagi sektor usaha
mikro. Hal ini berarti peraturan mengenai Fintech
P2P Lending merupakan sebuah pembaharuan hukum yang menyesuaikan dengan
kondisi teknologi yang terus menerus berkembang dalam setiap aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia, yang mana menjadi dasar normatif Fintech P2P Lending dan Lembaga Keuangan
Mikro sebagai penyedia pinjaman pada sektor usaha mikro di Indonesia.
Mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch menyatakan
perlu digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum.
Hal ini disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan
dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya. Diantara tiga
nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi benturan, maka mesti ada
yang dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch
harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut (Erwin & Hukum, 2012):
a. Keadilan Hukum.
b. Kemanfaatan Hukum.
c. Kepastian Hukum.
Keadilan hukum yang hidup dalam isi sila kelima
Pancasila yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan tujuan
yang menjadi dasar bagi pengembangan fasilitas pembiayaan bagi usaha mikro,
yang awalnya difasilitasi oleh Lembaga Keuangan Mikro seiring dengan
perkembangan teknologi, timbulnya solusi lain yaitu Fintech P2P Lending, serta merupakan ikhtiar dari upaya mewujudkan
masyarakat adil dan makmur sebagai salah satu tujuan Bangsa Indonesia.
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur adalah salah
satu tujuan Bangsa Indonesia, yang selaras dengan penelitian ini. Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pembukaannya menyatakan bahwa
salah satu tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, yang mana
menjadi dasar pada Konsiderans Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah huruf (a) yang berbunyi:
�Bahwa
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 harus diwujudkan melalui pembangunan perekonomian
nasional berdasarkan demokrasi ekonomi�.
Demokrasi ekonomi dalam bagian konsiderans diatas
harus dilakukan sesuai dengan UUD 1945 yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan dan Pasal 33 ayat (4) yang mengamanatkan bahwa
perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi sebagai
alat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Kemanfaatan hukum dapat tercermin melalui
eksistensi hukum yang bertujuan untuk memberikan keamanan dan ketertiban serta
menjamin adanya kesejahteraan yang diperoleh masyarakat dari negara sebagai
payung bermasyarakat. Kaidah hukum di samping kepentingan manusia terhadap
bahaya yang mengancamnya, juga mengatur hubungan di antara manusia (Anshar & Suwito, 2018). Untuk itu perlu hukum yang kontekstual, dalam
arti dapat mengakomodir praktik-praktik sosial di masyarakat dengan diatur oleh
norma hukum. Ajaran-ajaran hukum yang dapat diterapkan, menurut Johnson, agar
tercipta korelasi antara hukum dan masyarakatnya, yaitu hukum sosial yang lebih
kuat dan lebih maju daripada ajaran-ajaran yang diciptakan oleh hukum
perseorangan (Wibowo, Arifati, & Raharjo, 2016) sehingga bukan hanya tercipta suatu keadilan dan
kepastian hukum, namun hukum dapat mencapai kemanfaatan sebesar-besarnya bagi
masyarakat. Kehadiran peraturan mengenai Fintech
P2P Lending merupakan sebuah pembaharuan hukum yang menyesuaikan dengan
kondisi teknologi yang terus menerus berkembang dalam setiap aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia, serta berperan dalam inklusi keuangan di
Indonesia. Secara lebih luas, penyediaan layanan pinjam meminjam berbasis
teknologi bisa dipahami sebagai pemerataan kesempatan untuk meningkatkan
kesejahteraan bagi setiap warga negara. Dalam hal ini, setiap warga memiliki
hak yang sama mengakses resources,
yang memungkinkan mereka meningkatkan kesejahteraannya. Inklusi keuangan tidak
hanya terbatas pada bagaimana menyediakan kredit bagi masyarakat miskin dan
usaha mikro kecil. Lebih dari itu, upaya ini juga menjadi sebuah ikhtiar untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan berkelanjutan tanpa mengorbankan
stabilitas sistem keuangan, sehingga tercipta suatu kemanfaatan hukum yang
menjadi tujuan daripada hukum itu sendiri.
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum
dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata
dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu
tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum
setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan
tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip
persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi (Mahfud, 2009). Dengan adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Inovasi Keuangan Digital, maka
tercipta sebuah kepastian hukum bagi para penyelenggara dan konsumen atau
peninjam dalam transaksi pembiayaan yang semakin berkembang ini. Pada bagian
Konsiderans huruf (b) Undang Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, dinyatakan bahwa:
�Bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan layanan
keuangan terhadap masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah, kegiatan
layanan jasa keuangan mikro dan kelembagaannya perlu diatur secara Iebih
komprehensif sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945�.
Sehingga kepastian hukum penyedia pinjaman non-bank
bagi sektor usaha mikro di Indonesia dapat tercermin dengan jelas pada kedua
peraturan perundang-undangan ini.
C. Komparasi
Yuridis Normatif terhadap Penyedia Pinjaman Non-Bank bagi Sektor Usaha Mikro di
Indonesia
Peraturan
Nomor Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi dalam bahwa Financial
Technology Peer to Peer Lending (P2P Lending) atau Financial Technology Lending adalah salah satu inovasi pada bidang
keuangan dengan pemanfaatan teknologi yang memungkinkan pemberi pinjaman dan
penerima pinjaman melakukan transaksi pinjam meminjam tanpa harus bertemu
langsung. Mekanisme transaksi pinjam meminjam dilakukan melalui sistem yang
telah disediakan oleh Penyelenggara Fintech
Lending, baik melalui aplikasi maupun laman website.
Fintech P2P Lending dapat
disandingkan dengan Lembaga Keuangan Mikro yang merupakan satu-satunya lembaga
yang berfokus menyediakan pinjaman dan pembiayaan bagi sektor usaha mikro,
sesuai dengan Konsiderans dan Tujuan Undang Undang Lembaga Keuangan Mikro
dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan layanan
keuangan terhadap masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Fintech P2P Lending dapat digunakan
sebagai alternatif pemberian pinjaman karena semakin berkembangnya Fintech P2P Lending yang berfokus dan
mempunyai visi untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), seperti Amartha,
Mekar, dan Modal Rakyat yang bahkan mempunyai program khusus kredit mikro bagi
sektor usaha mikro.
Selanjutnya,
Badan Hukum Penyelenggara Fintech P2P
Lending dan Lembaga Keuangan Mikro, keduanya memiliki kesamaan yaitu
sama-sama berbentuk perseroan terbatas atau koperasi. Hanya saja yang
membedakan adalah dalam Pasal 6 Undang Undang tentang Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) dinyatakan bahwa LKM dilarang dimiliki, baik langsung maupun tidak langsung,
oleh warga negara asing dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya
dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha asing, artinya lembaga
keuangan mikro adalah bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing. Hal
ini tentu berbeda dengan Fintech P2P
Lending yang bisa dimiliki paling banyak 85% (delapan puluh lima persen)
oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing. Kepemilikan saham Fintech P2P Lending oleh Penanam Modal
Asing (PMA) tentunya menimbulkan banyak kekhawatiran, seperti tanggung jawab
perusahaan apabila mengalami kepailitan atau bagaimana tata kelola perusahaan
yang benar, yang pengaturannya masih berbentuk Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko
Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi, yang masih bersifat beleid
dan bukan regelling dan tidak
mengandung sanksi atau akibat hukum didalamnya.
Selain
itu, jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah Lembaga
Keuangan Mikro ditetapkan paling sedikit:
a. Rp50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah), untuk cakupan wilayah usaha desa/kelurahan.
b. Rp100.000.000,-
(seratus juta rupiah), untuk cakupan wilayah usaha kecamatan; atau
c. Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah), untuk cakupan wilayah usaha kabupaten/kota.
Dengan
ketentuan bahwa paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau
simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah wajib digunakan untuk modal kerja.
Sedangkan bagi Fintech P2P Lending, penyelenggara
wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp1.000.000.000,- (satu miliar
Rupiah) pada saat pendaftaran dan memiliki modal disetor paling sedikit
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta Rupiah) pada saat mengajukan
permohonan perizinan, baik berbentuk badan hukum perseroan terbatas mapun yang
berbentuk koperasi.Perbedaan permodalan antara Fintech P2P Lending dan Lembaga Keuangan Mikro terlihat pada
perbedaan kategorisasinya, artinya apabila permodalan Lembaga Keuangan Mikro
dibagi berdasarkan cakupan wilayah usahanya, sedangkan Fintech P2P Lending dikategorisasi berdasarkan proses pendaftaran
dan permohonan perizinannya.
Lembaga
Keuangan Mikro, sebelum menjalankan kegiatan usahanya, wajib memiliki izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan, yang mana persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha tersebut diberikan dalam jangka waktu paling lama 40
(empat puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima secara lengkap
dan benar. Sedangkan untuk Fintech P2P
Lending, penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada
Otoritas Jasa Keuangan, yang mana penyelenggara yang telah terdaftar wajib
menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan, kemudian setelah
penyelenggara tersebut terdaftar, maka wajib mengajukan permohonan izin sebagai
Penyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, yang mana apabila tidak menyampaikan
permohonan perizinan, maka surat tanda bukti terdaftar yang dimiliki oleh
penyelenggara Fintech P2P Lending akan
dinyatakan batal. Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa proses perolehan izin
usaha bagi Fintech P2P Lending jauh
lebih rumit daripada Lembaga Keuangan Mikro, karena tentunya hal ini berkaitan
dengan sistem teknologi informasi yang menjadi core dari Fintech P2P Lending
dalam hal pengelolaan dan perlindungan data nasabah peminjam.
Jenis
penyediaan fasilitas peminjaman yang disediakan oleh Lembaga Keuangan Mikro
juga berbeda dengan jenis penyediaan pinjaman yang disediakan oleh Fintech P2P Lending. Dalam Pasal 1 angka
(3) dan angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga
Pinjaman Atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga
Keuangan Mikro, dijelaskan bahwa yang bisa dipinjam oleh sektor usaha mikro
secara umum berbentuk pinjaman, apabila ingin mengajukan pembiayaan, maka harus
menggunakan prinsip syariah bagi usaha mikro tersebut, sedangkan batas maksimum
pemberian pinjaman atau pembiayaan ditetapkan paling tinggi 10% dari modal
Lembaga Keuangan Mikro untuk satu nasabah. Hal ini berbeda dengan Fintech P2P Lending yang hanya bertugas
menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi dari pihak pemberi pinjaman kepada pihak penerima
pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak pemberi pinjaman, yang mana
Batas maksimum total pemberian pinjaman ditetapkan sebesar Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
Luas
cakupan wilayah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah
tersebut bagi Lembaga Keuangan Mikro, yang mana luas cakupan wilayah usaha
Lembaga Keuangan Mikro berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan,
atau kabupaten/kota sesuai dengan skala usaha masing-masing Lembaga Keuangan
Mikro yang ditetapkan berdasarkan distribusi nasabah. Sedangkan untuk luas
cakupan wilayah bagi Fintech P2P Lending,
tidak terbatas oleh ruang karena kecanggihan teknologi tidak membatasi untuk
luas wilayah pemberian pinjaman, namun umumnya masing-masing perusahaan ini
memiliki kebijakan dan fokus masing-masing dalam memberikan pinjaman.
Terkait
dengan Perjanjian Pemberian Pinjaman, tidak diatur secara rinci dalam Peraturan
Pemerintah atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan bagi Lembaga Keuangan Mikro,
sehingga mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
a. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal
tertentu.
d. Suatu
sebab yang halal.
Sedangkan
dalam Fintech P2P Lending, mengacu
pada Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan
Sistem dan Transaksi Elektronik pada Pasal 46 dan Pasal 47 yang umumnya mengacu
pada Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, namun wajib untuk memuat sertifikat
elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan
status subyek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh
penyelenggara sertifikasi elektronik terdaftar sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan wajib untuk disertai tanda tangan elektronik yang dilekatkan, terasosiasi,
atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat
verifikasi dan autentikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penyelenggara Tanda
Tangan Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak terpercaya
yang memfasilitasi pembuatan tanda tangan elektronik, karena pinjamannya yang
bersifat online, maka tanda tangannya
pun bersifat elektronik.
Terkait
dengan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro maupun Fintech P2P Lending dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan yang telah diamanatkan dalam Undang Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diatur lebih lanjut bagi
Fintech P2P Lending dalam Pengaturan
dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap bisnis Fintech P2P Lending juga diatur dalam POJK No. 13/POJK.02/2018
tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan dan Undang Undang
tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Selain
itu, dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK), SEOJK Nomor
29/SEOJK.05/2015 tentang Laporan Keuangan Lembaga Keuangan Mikro, terdapat
kewajiban untuk Lembaga Keuangan Mikro wajib menyampaikan laporan keuangan
secara berkala setiap 4 (empat) bulan untuk periode yang berakhir pada 30
April, 31 Agustus, dan 31 Desember kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
penyampaian laporan keuangan dilakukan paling lambat pada akhir bulan
berikutnya. Sedangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Pasal 9, dinyatakan
bahwa Fintech P2P Lending wajib untuk
menyampaikan laporan berkala setiap 3 (tiga) bulan bulan untuk periode yang
berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan informasi yang paling sedikit memuat:
a. Jumlah
Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman.
b. Kualitas
pinjaman yang d iterima
oleh Penerima Pinjaman berikut dasar penilaian kualitas pinjaman; dan
c. Kegiatan
yang telah dilakukan setelah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
D. Kekosongan
Peraturan mengenai Tingkat Suku Bunga Pinjaman Fintech P2P Lending
Dibalik
kemudahan dari pemberian pinjaman oleh Fintech
P2P Lending tersebut, terdapat kekhawatiran bagi usaha mikro karena tidak
adanya regulasi yang mengatur tentang besaran bunga hal ini kemudian membuat
suku bunga pinjaman Fintech P2P Lending
menjadi cukup tinggi. Saat ini batasan bunga dikeluarkan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia
(AFPI), berdasarkan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. S-5/D.05/2019 yang mengamanatkan AFPI
menjadi asosiasi resmi yang mengemban amanat dalam kegiatan peyelenggaraan
layanan pinjaman berbasis teknologi di informasi. yang mana seyogyanya lembaga
yang seharusnya menentukan dan menetapkan mengenai batasan besaran suku bunga
pinjaman Fintech P2P Lending adalah
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan bukan AFPI, hal ini dikarenakan hal tersebut
merupakan fungsi dan tugas dari Otoritas Jasa Keuangan yang didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sebagai
lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang mengatur,
mengawasi, memeriksa dan melakukan penyidikan.
Berdasarkan
hal ini, apabila regulasi mengenai batasan bunga maksimum bagi Fintech P2P Lending dikeluarkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan, maka akan mempunyai sanksi yang mengikat, bukan hanya
sekedar pelanggaran kode etik yang dikeluarkan Asosiasi Fintech Pendanaan
Bersama Indonesia yang kurang memiliki akibat hukum yang kuat. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan pun harus
segera dilakukan amandemen karena tidak lagi mencakup kebutuhan tentang
perlindungan bagi para peminjam Fintech
P2P Lending dan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan bagi pengguna Financial Technology jenis lainnya.
Sedangkan
bagi Lembaga Keuangan Mikro, terdapat kewajiban untuk melaporkan suku bunga
maksimum Pinjaman atau imbal hasil maksimum Pembiayaan kepada Otoritas Jasa
Keuangan setiap 4 (empat) bulan sesuai dengan tata cara pelaporan yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3
Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman Atau Imbal
Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga
Keuangan Mikro pun tidak bisa sembarangan mengubah batas suku bunga maksimum
pinjaman atau imbal hasil maksimum pembiayaan dari yang terakhir dilaporkan
kepada Otoritas Jasa Keuangan, sehingga perlindungan nasabah peminjam dari
Lembaga Keuangan Mikro lebih terjamin adanya, apalagi perubahan batas suku
bunga maksimum tersebut wajib dipublikasikan kepada masyarakat, sehingga
terdapat suatu tanggung jawab dan kedisiplinan dalam berusaha.
Bila
melihat pada perlindungan hukum menurut (Geme,
2012),
perlindungan hukum berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu
dengan memberlakukan hukum negara secara eksklusif dengan tujuan untuk
memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau sekelompok orang. Lebih
lanjut menurut (Hadjon, 1987) bentuk
perlindungan hukum ada dua macam, yaitu:
a. Perlindungan
yang bersifat preventif.
b. Perlindungan
yang bersifat represif.
Perlindungan
hukum yang bersifat preventif adalah perlindungan hukum yang sifatnya
pencegahan sehingga tidak terjadi sengketa, serta mendorong pemerintah untuk
berhatu-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, sedangkan perlindungan
hukum yang bersifat represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi
sengketa.
Berdasarkan
hal ini, negara harus beperan aktif dalam memberikan perlindungan hukum yang
bersifat preventif daripada represif, karena apabila telah terjadi sengketa,
artinya telah timbul kerugian dalam masyarakat. Memang, negara telah mengatur
mengenai Fintech P2P Lending dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, namun dalam hal ini, ketiadaan
kepastian hukum mengakibatkan tidak adanya perlindungan hukum nasabah peminjam Fintech P2P Lending mengenai tingkat
suku bunga pinjaman bagi debitur saat melakukan pinjaman kepada Fintech P2P Lending dapat menimbulkan
kerugian yang cukup besar bagi debitur, lebih besar lagi bagi perekonomian
Indonesia apabila terdapat gagal bayar pinjaman dalam jumlah besar oleh cukup
banyak debitur yang menerima pinjaman dari Fintech
P2P Lending karena besarnya bunga pinjaman yang diberikan oleh penyedia
jasa pinjam meminjam ini, dapat berdampak sistemik pada stabilitas keuangan dan
moneter di Indonesia.
Kesimpulan
Hukum memiliki peran penting dalam perekonomian, sehingga
negara harus hadir sebagai pembuat kebijakan agar tercipta kondisi ekonomi yang
stabil, transparan, akuntabel, dan kondusif. Hukum yang dibuat tersebut harus
memberi manfaat sehingga dapat tercapai kesejahteraan yang merupakan tujuan
dari negara.
Fintech P2P Lending dapat dijadikan alternatif pemberian
pinjaman non-bank bagi sektor usaha mikro, selain Lembaga Keuangan Mikro yang
telah hadir terlebih dahulu di Indonesia. Kemudahan dan kecepatan dalam
pemberian dana bagi usaha mikro, serta luas wilayahnya yang tidak terbatas oleh
ruang dan waktu, serta banyaknya platform
pembayaran yang bisa digunakan, sehingga pembayaran dapat dilakukan secara real time kapanpun dan dimanapun oleh
peminjam Fintech P2P Lending.
Dilihat dari pendekatan Politik Hukum yang bertugas untuk
meneliti perubahan-perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada
agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat, artinya
ada suatu kebutuhan baru dalam masyarakat Indonesia yang semakin berkembang
penetrasi digitalnya, membutuhkan suatu pengaturan hukum yang baru dalam bidang
pembiayaan melalui Fintech P2P Lending,
sehingga dibentuklah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan tentang Inovasi Keuangan Digital, yang diharapkan dapat
mengakomodir kebutuhan akan hukum dalam hidup bermasyarakat terutama dalam
pinjam-meminjam online bagi sektor
usaha mikro.
Mengacu pada analisis yang telah dilakukan terkait komparasi
yuridis normatif terhap penyedia pinjaman non-bank bagi usaha mikro, Fintech P2P Lending dapat menjadi
pelengkap peran lembaga keuangan non-bank seperti Lembaga Keuangan Mikro untuk
menyalurkan dana ke usaha mikro, hal ini dapat diwujudkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena kesamaan dan luas lingkup
usaha yang tergolong mirip, pengawasan dan pengaturan yang dibawah Otoritas
Jasa Keuangan, serta bentuk badan usaha yang juga sama, hanya kepemilikan asing
yang tidak diperbolehkan bagi Lembaga Keuangan Mikro. Hanya yang menjadi
kekhawatiran bagi masyarakat Indonesia adalah tidak adanya regulasi terkait
suku bunga bagi Fintech P2P Lending
yang bisa menimbulkan kesewenang-wenangan bagi para penyelenggara Fintech P2P Lending ini untuk memberikan
bunga pinjaman kepada peminjam, yang terkait dengan perlindungan hukum bagi
seluruh masyarakat di Indonesia, bukan hanya sektor mikro semata.
Aturan mengenai Fintech
P2P Lending yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan juga masih berada
di tataran hilir bukan hulu. Regulasi mengenai ketentuan Fintech P2P Lending yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan masih
berupa ketentuan administratif yang tertuang dalam POJK nomor 77/POJK.01/2016,
sehingga perlu dilakukan revisi untuk pengaturan yang lebih menyeluruh supaya
menjadi dasar hukum yang kuat demi melindungi hak-hak dari peminjam. Batasan
mengenai besaran bunga yang dapat diberikan kepada debitur juga harus segera
dibuat dan ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan agar dapat
dipertanggungjawabkan, transparan, wajar, dan dibuat dengan menekankan pada
asas-asas yang menjadi dasar Otoritas Jasa Keuangan menjalankan tugas dan
wewenangnya.
Harmonisasi hukum dapat tercipta melalui penerbitkan regulasi
mengenai batasan suku bunga bagi nasabah peminjam Fintech P2P Lending dan penerbitan regulasi mengenai perlindungan
konsumen Fintech P2P Lending secara
lebih spesifik (lex specialis), untuk
mencapai asas kepentingan umum yang mengutamakan kepentingan konsumen dan
masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum, sesuai dengan cita-cita Bangsa
Indonesia dan Sila Kelima Pancasila yaitu mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia, terutama dalam sektor jasa keuangan.
Anshar, Anshar, & Suwito, Suwito. (2018). Infra
Petita Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yang Menerobos Ketentuan
Pemidanaan Minimum. Jurnal Yudisial, 11(2), 151�170. Google
Scholar
Aprita, Serlika Aprita Serlika. (2021). Peranan Peer
to Peer Lending dalam Menyalurkan Pendanaan pada Usaha Kecil dan Menengah. Jurnal
Hukum Samudra Keadilan, 16(1), 37�61. Google
Scholar
Budimanta, Arif. (2020). Pancasilanomics: Jalan
Keadilan dan Kemakmuran (Vol. 1). PT Penerbit IPB Press. Google
Scholar
Damayanti, Dila. (2019). Peran Lembaga Keuangan Mikro
Terhadap Eksistensi Usaha Mikro (Studi Pada Nasabah PD BPR BANK Sleman). Maker:
Jurnal Manajemen, 5(2), 110�118. Google
Scholar
Erwin, Muhammad,
& Hukum, Filsafat. (2012). Cetakan 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Google Schola`r
Fornoni, Mariel, Arribas, Iv�n, & Vila, Jos� E.
(2012). An entrepreneur�s social capital and performance: The role of access to
information in the Argentinean case. Journal of Organizational Change
Management. Google
Scholar
Geme, Maria Theresia. (2012). Perlindungan Hukum
Terhadap Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengelolaan Cagar Alam Watu Ata Kabupaten
Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Google
Scholar
Hadad, Muliaman D. (2017). Financial Technology
(Fintech) di Indonesia. Kuliah Umum Tentang Fintech, Indonesia Banking
School. Google
Scholar
Hadjon, Philipus M. (1987). Perlindungan hukum bagi
rakyat di Indonesia: sebuah studi tentang prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan
administrasi negara. Bina Ilmu. Google
Scholar
Haikal, Ramadhan, Zarfinal, Zarfinal, &
Maiyestati, Maiyestati. (2021). Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap
Teknologi Finansial Dalam Bidang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi di Provinsi Sumatera Barat. Universitas Bung Hatta. Google
Scholar
Hanifah, Nurul, & Rahadi, Dedi Rianto. (2020).
Analisis Perilaku Konsumen Dalam Memutuskan Pembelian Secara Online Pada Masa
Pandemi COVID-19. Sultanist: Jurnal Manajemen Dan Keuangan, 8(2),
112�122. Google
Scholar
Kurniawan, Nadialista. (2021). Pengaturan dan
penanganan Bitcoin: studi komparatif antara Indonesia, Australia dan Jepang.
Universitas Pelita Harapan.
Mahfud, M. D. (2009). Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik. Jakrta: Seminar Nasional. Google
Scholar
Masru, Abdul Wahid. (2004). Politik Hukum dan
Perundang-undangan. Makalah, Jakarta. Google
Scholar
Santi, Ernama, Budiharto, Budiharto, & Saptono, Hendro.
(2017). Pengawasan otoritas jasa keuangan terhadap financial technology
(peraturan otoritas jasa keuangan nomor 77/pojk. 01/2016). Diponegoro Law
Journal, 6(3), 1�20. Google
Scholar
Wibowo, Feri, Arifati, Rina, & Raharjo, Kharis.
(2016). Analisis Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga Sbi, Nilai Tukar Us
Dollar Pada Rupiah, Jumlah Uang Beredar, Indeks Dow Jones, Indeks Nikkei 225,
Dan Indeks Hangseng Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (Ihsg)
Periode Tahun 2010-2014. Journal Of Accounting, 2(2). Google
Scholar
Copyright holder: Nadialista Kurniawan, Risyad
Arhamullah (2021) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |