Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849 e-ISSN : 2548-1398
Vol. 3, No 6 Juni 2018
STIKES Mahardika Cirebon Email: : [email protected]
Pekerjaan menjadi ahli gigi tanpa izin dari pemerintah dan aturaan perundang- udnangan yangtelah diatur akan membawa dampak besar yang di timbulkan yaitu maraknya malpraktek yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini membahas tentang tanggung jawab hukum kesehatan tukang ahli gigi dalam melakukan praktik yang di tinjau dari hukum dan Undang-Undang Kesehatan. Dalam peneltian ini menggunakan metode penelitian kualitattif deskriptif dengan metode pendektan yuridis normatif. Yang mengkaji tantang tindakan malpraktek yang ditinjau dari hukum kesehatan, mengenai pertanggung jawaban hukum kesehatan atas tindakan malpraktek ahli gigi. Ditinjau dari Undang-Undang pemerintah yang mengatur sesuai dengan profesi ahli gigi yang dimaksud, maka dapat dilihat dari peraturan pemerintan tentang kesehatan. Hal tersebut dapat dilihat pada Peraturan Menteri Kesehatan Pasal 6 Ayat 1, kemudian dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 39 Tahun 2014 pada Pasal 9. Dalam peraturan terebut dijelaskan bahwa profesi “ahli gigi” tidak diberikan ijin melakukan praktik diluar kewenangannya. Dengan demikian peraturan tersebut secara tegas untuk membatasi kewenangan seorang ahli gigi yang tidak sesuai dengan keahliannya. Jika didapati pelanggaran profesi “ahli gigi” maka akan dikenakan sanksi berpura administratif dari pemerintah setempat atau daerah maupun pemerintah kota.
Setiap layanan memiliki dasar dan aturan tertentu yang harus di taati. Karena itu pemerintah memiliki tanggungjawab untuk membuat peraturan dan menjaga peraturan tersebut agar berjalan sesuai dengan ketentuannya. Tanpa peraturan, kehidupan masyarakat akan morat-marit. Begitupun dengan dasar negara kita memberikan aturan dasar melalui UUD RI 1945. UU tersebut menjadi dasar pelaksanaan setiap penyelenggaraan pemerintah, termasuk dalam layanan. Dijelaskan dalam pelayanan kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia, dengan demikian UUD 1945 memberikan dasar pelayanan kesehatan dengan dasar Hak Asasi Manusia yang dijelaskan dalam
98
UUD tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 28 H Ayat 1, bahwa setiap warga negara memiliki hak hidup yang layak secara lahir dan batin, sejahtera, memiliki tempat tinggal dan lingkungan yang sehat dan baik, serta mendapatkan pelayanan kesehatan. Jaminan tersebut dijelaskan dalam UUD 1945 dalam ketentuan Hak Asasi Manusia. Tentu hal tersebut menjadi dasar peraturan seterusnya dalam masalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Kesehatan adalah bagian dari kesejahteraan umum yang harus diwujudkan dan diciptakan oleh pemerintah sebagai bagian dari amanah UUD 1945. Pemerintah memiliki tanggungjawab untuk membangun bangsa bukan saja dari sisi fisik bangunan, namun Sumber Daya Manusia atau secara konkrit masyarakatnya pun harus diikutsertakan. Dengan demikian dalam rangka pembanguan kesehatan secara menyelurur perlu didukung dengan sistem kesehatan nasional, termasuk membuat kebijakan dan peraturan supaya dijalankan dan sesuai dengan cita-cita bangsa. Sistem kesehatan nasional ini diwujudkan dengan membuat aturan sebagai turuan dari UUD 1945 yang mengatur segala hal yang mendukung kesehatan nasional. Terlebih dalam hal pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Hal tersebut perlu diwujudkan dalam sebuah peraturan dan pelayanan sesuai dengan prosedur, sehingga sistem kesehatan nasional dapat diwujudkan secara baik.
Kesehatan masyarakat merupakan modal utama dalam pembangunan akan membawa dampak terhadap pembangunan nasional, karena dengan keadaan masyarakat yang sehat baik jasmani dan rohani akan memaksimalkan pembangunan di Indonesia. Dengan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kualitas dari sisi layanan kesehatan terhadap masyarakat. Upaya tersebut dapat dilihat dari berbagai program yang digelontorkan pemerintah serta peningkatan sarana maupun fasilitas kesehatan dari segala sisi, baik kebikajan sampai para program kesehatan. Sistem layanan kesehatan tersebut juga dapat dilihat dari adanya dukungan tenaga kesehatan profesioan, yang sesuai dengan kompetensinya. Karena itu, sistem kesehatan yang sudah berjalan tinggal mengawasi dan menindak jika ada pelanggaran dalam pelaksanaan layanan kesehatan masyarakat. Sistem pengawasan perlu di jaga secara konsisten baik ditingkat swasta maupun pemerintah. Karena itu, dalam sistem layanan kesehatan, perlu ada kerjasama dari seluruh elemen termasuk masyarakat. Karena tanpa
adanya laporan dari masyarakat mengenai pelanggaran layanan maupun kesehatan, sistem layanan kesehatan akan cenderung lemah.
Pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan atau penyediaan jasa layanan baik secara mandiri maupun kelomok, baik formal penyelenggara pemerintah maupun swasta. Layanan kesehatan yang diselenggarakan harus bertujuan untuk menciptakan dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Salah satunya adalah layanan dalam kesehatan gigi dan mulut. Pelayanan kesehatan memiliki tugas dan tanggungjawab untuk mensosialisasikan kesehatan, termasuk masalah kesehatan gigi dan mulut. Karena penyakit mulutpun merupakan bagian fundamental dari kesehatan secara umum dan mampu meningkatkan kualitas hidup. Layanan sosialisasi kesehatan tersebut perlu disosialisasikan karena berbagai penyakit dalam tubuh manusia sebagian besar berasal dari makanan yang melalui mulut. Artinya dengan sosialisasi kesehatan mulut, layanan kesehatan sudah berjalan pada satu sub sistem kesehatan nasional. Kesehatan mulut merupakan bagian dari kesehatan gigi, dan termasuk didalamnya adalah kesehatan rongga mulut, gigi, serta unsur lain yang memiliki peran terhadap fungsi lain sehingga bebas dari berbagai penyakit.
Ada berbagai kasus pelanggaran layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan gigi. Kasus yang terjadi dalam layanan kesehatan gigi yang sudah lumrah terjadi di masyarakat adalah munculnya para Ahli Gigi . Secara administratif, layanan kesehatan gigi para ahli gigi yang membuka praktik tidak memiliki izin karena tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan profesinya. Artinya, para “ahli gigi” yang banyak tersebar di masyarakat membuka praktik berdasarkan pengalaman “autodidak”, yang tidak didukung dengan pengalaman pendidikan yang sesuai dengan bidak yang digeluti. Kasus yang marak terjadi di masyarakat, praktik “ahli gigi” banyak tersebar dimasyarakat. Selain menawarkan layanan berbagai masalah kesehatan gigi, juga memberikan penawarin yang menarik dengan harga yang sangat terjangkau. Walaupun tidak memiliki lisensi membuka praktik layanan “ahli gigi”, karena pengetahuannya didapatkan dari pengalaman non akademik atau didapatkan secara turun temurun. Karena itu mereka tidak memiliki ijazah resmi dan lisensi secara legal formal dari lembaga atau badan terkait. Tukang atau “ahli gigi” merupakan seseorang yang membuka layanan masalah kesehatan terutama dibidang mulut dan gigi. Di samping itu,
Ahli Gigi tidak memiliki bekal ilmu kedokteran gigi yang sesuai dengan kaidah medis dan keterampilan mereka didapat secara turun menurun sehingga dimungkinkan banyak terdapat kesalahan dan kealpaan yang merugikan pasiennya.
Walaupun begitu, tingkat minat masyarakat terhadap pelayanan kesehatan pada non medis seperti dalam kasus “ahli gigi” ini tetap tinggi. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi masyarakat yang masih rendah, sementara harga jual jasa dokter spesialis gigi yang semakin mahal. Ada berbagai macam faktor penyebab masyarakat lebih memilih jasa “ahli gigi” dalam masalah kesehatan gigi. Apapun alasannya, hal tersebut merupakan pelanggaran, karenanya dapat membahayakan kesehatan masyarakat karena tidak melalui standar dan peraturan yang sudah ditentukan dalam UU Layanan Kesehatan. Faktor lain yang menyebabkan masyarakat memilih “ahli gigi” adalah pada masalah pengerjaan serta waktu pemulihan masalah gigi yang singkat dibandingkan dengan berobat pada dokter gigi. Itu artinya faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat lebih memilih jasa “ahli gigi” dengan dokter gigi adalah masalah yang sangat mendasar sehingga sulit untuk di alihkan.
Pada kasus ini, pada dasarnya adalah ada para perlindungan masyarakat sebagai pengguna atau konsumen dalam masalah tindakan malpraktik. Kelemahan pasien sebagai konsumen kesehatan yaitu pasien umumnya ada pada posisi tidak menguntungkan. Karena, perlindungan hukum bagi konsumen dan hak-haknya di Indonesia masih relatif lemah dan berlum maksimal. Banyaknya kasus pelanggaran yang menyebabkan kerugian konsumen dari sisi materil maupun non materil, namun penyedia pelayanan kesehatan tidak bertanggungjawab. Hampir dipastikan umumnya tidak mampu menuntut ganti rugi ketika pasien mengalami kerugian akibat pengobatan. Hal inilah kemudian yang menjadi masalah dalam penelitian ini. Tulisan bermaksud untuk mengetahui bagaimana kewenangan “ahli gigi” atas jasa pelayanannya yang diberikan terhadap pasien sebagai pengguna jasa dan bentuk perlindungan hukum bagi pasien sebagai yang dirugikan atas pelayanan kesehatan non-medis Ahli Gigi .
Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian kualitatif dengan bentuk deskriptif analitik. Penelitian kualitatif deskriptif memiliki karakteristik yang hanya menjelaskan ulang fenomena kejadian kedalam suatu bentuk tulisan. Oleh karena itu,
penelitian ini berupaya untuk mengumpulkan data-data pendukung baik berupa dokumentasi maupun bentuk bentuk lisan melalui wawancara dari orang-orang atau subyek penelitian. Penelitian deskriptif adalah bagian dari penelitian yang memiliki tahap pengumpulan data, analisis, pengolahan data dan penyajian data. Pada tahap analisis data, peneliti akan mengkaji data yang diperoleh, kemudian hasil temuannya di sajikan secara sistematis sehingga setiap pembaca dapat memahami dan menyimpulkan secara mudah dari penelitiannya.
Metode pendekatan yang dikapai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Suatu metode atau cara penelitian dengan menggunakan kajian hukum normatif melalui bahan referensi yang telah dikumpulkan. Tindakan pertama dalam penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang memiliki tujuan untuk menghasilkan hukum obyektif (norma hukum), yakni melalui penelitian dalam masalah atau kasus hukum yang berkembang di lapangan. Tindakan kedua adalah dengan masalah atau kasus hukum yang terjadi, peneliti akan mendapatkan hukum subyektif, yakni menjelaskan tentang hak dan kewajiban dalam kasus hukum yang terjadi dilapangan.
Adapun data dalam penelitian ini memeliki dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Peneliti akan menginventarisi data-data yang didapatkan dalam penelitian sehingga digolongkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer yang dipergunakan bersumber atau diperoleh dari penelitian lapangan yaitu data mengenai realitas pelaksanaan pembinaan berbasis karakteristik serta kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya. Sedangkan data sekunder merupakan data yang berasal atau diperoleh dari penelitian kepustakaan.
Data sekunder dibidang hukum dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu diantaranya adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dengan demikian untuk mendapatkan data yang relevan atau sesuai ruang lingkup kajian penelitian, maka dilaksanakan beberapa tahapan penelitian sebagai berikut:
Observasi
Dilakukannya penelitian ke lapangan mencari informasi atau data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Oleh karena itu untuk mendapatkan data yang termasuk kategori data primer adalah dengan melalui pengumpulan data utama atau yang termasuk bahan utama penelitian ini.
Kepustakaan
Penelitian kepustakaan merupakan kajian bahan-bahan referensi atau kepustakaan yang menjadi data pendukung atau termasuk ke dalam data sekunder. Yang termasuk kedalam jenis data sekunder adalah berupa bahan hukum primer dan sekunder. Kemudian data kepustakaan tersebut dikaji dan dilakukan pemilahan bahan agar sesuai dengan kelompok data sehingga sumber utama dari bahan kepustakaan didapatkan
Wawancara
Wawancara merupakan tindakan pengumpulan data melalui bentuk pengajuan pertanyaan masalah terhadap subyek masalah. Metode wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menggali informasi obyek penelitian melalui narasumber yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Tahapan awal untuk melakukan wawancara sendiri, peneliti membuat panduan wawancara dengan membuat instrumen pertanyaan dari bahan-bahan data yang sudah dimiliki melalui data primer dan sekunder. Dengan demikian wawancara dapat dilakukan dengan informan kunci menggunakan metode snowball yaitu data yang didapat terus berkembang sampai data menjadi jenuh atau valid. Kegiatan wawancara tersebut dilakukan berdasarkan tipe wawancara terarah (directive interview);
Sebagaimana tertera pula dalam UU mengenai Praktik Kedokteran No 29 Tahun 2004 pada Pasal 73 Ayat 2 bahwa setiap warga negara dilarang untuk menyalahgunakan alat, cara, atau suatu metode tertentu dengan tujuan melakukan penipuan dengan membuka praktik tanpa dilengkapi izin serta legalitas formal yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Ketentuan izin praktik tersebut sebagaimana dijelaskan dalam UU layanan Kesehatan dan pelayanan masyarakat yang sudah berlaku dan ditentukan oleh pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 78 dijelaskan bahwa setiap orang secara sadar dan sengaja memakai cara atau alat lain yang dapat menimbulkan kesan sebagai tenaga profesional tertentu namun tidak memiliki izin dan legalitas administrasi untuk membuka praktik sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 73 di atas, maka akan dikenakan pidana kurungan selama 5 tahun atau dengan denda paling banyak sebesar Rp. 150.000.000,00. Adapun faktor yang dapat melaksanakan praktik perlu dilakukan
perizinan praktik “ahli gigi” sehingga memenuhi standar pekerjaan sebagai ahli gigi. Dasar hukum pendaftaran dan perizinan ahli gigi ketika akan membuka praktik dan mendaftar sebagai tenaga profesional kesehatan telah diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989.
Dasar pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan tersebut yaitu UU No 9 Tahun 1960 mengenai Masalah Pokok Kesehatan dan UU No 6 Tahun 1963 mengenai Tenaga Kesehatan. Berdasarkan UU No 9 Tahun 1960 pada Pasal 10, pemerintah memiliki wewenang dalam melakukan pengawasan tenaga kesehatan. Lebih lanjut dalam UU No 9 Tahun 1960 disebutkan bahwa upaya pengobatan berdasarkan ilmu kedokteran. Hal tersebut diawasi oleh pihak yang berwenang yaitu pemerintah yang bertanggungjawab untuk mengasi segala hal praktik atau pelayanan kesehatan sehingga tidak menimbulkan kerugian di masyarakat. Sebagaimana diketahui, “ahli gigi” ketika melakukan praktik secara umum mereka menggunakan cara maupun alat yang sebagian besar ada kesaamaannya dengan alat kedokteran gigi, akan tetapi tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang ilmu kedokteran gigi, sehingga perlu diawasi dan ditertibkan.
Oleh karena itu, dalam rangka pengawasan dan penertiban izin pekerjaan Ahli Gigi secara bertahap akan dihapuskan termasuk anak atau keturunannya yang melanjutkan pekerjaan sebagai Ahli Gigi . Sementara UU No 6 Tahun 1963 mengenai tenaga kesehatan adalah bagian dari turunan UU No 9 tahun 1960. UU tersebut memberikan spesifikasi yang konkrit dalam perbedaan latar pendidikan. Itu artinya, seseorang yang memiliki gelar sarjana dengan keahlian dibidang kesehatan akan memiliki gelar akademik sebagai dokter, dokter gigi, maupun lainnya. Berdasarkan hal tersebut, “ahli gigi” masuk pada golongan tenaga kesehatan yang non sarjana. Artinya tidak memiliki kualifikasi pendidikan yang tinggi atau bahkan pendidikan yang sesuai dengan jenis profesinya sebagai “ahli gigi”. Pada keadaan tersebut, pemerintah tidak dapat memberikan kewenangan kepada seseorang profesi tertentu untuk melakukan praktik, dan dalam hal ini tugas pemerintah mengawasi secara langsung jelannya praktik layanan kesehatan. Seiring dengan perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi, baik dibidang kesehatan maupun lainnya, maka UU No 9 tahun 1960 tersebut di atas, kurang memadai dan mengakomodir masalah-masalah yang timbul dalam kasus “ahli gigi”. Degan demikian UU tersebut diganti dengan UU No 23 tahun 1992 mengenai
kesehatan, dan kemudian di ubah kembali dengan UU No 36 tahun 2009 mengenai kesehatan.
Tenaga kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 1 angka 6 adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Berdasarkan undang-undang ini maka ahli gigi sudah tidak termasuk lagi ke dalam tenaga kesehatan dan tidak memiliki wewenang untuk melakukan upaya kesehatan. Karena substansi penting yang melekat pada diri seorang tenaga kesehatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yaitu adanya persyaratan memiliki keterampilan/keahlian dalam suatu bidang pelayanan kesehatan dan keterampilan/ keahlian tersebut sebagai hasil proses pendidikan bidang keahlian pelayanan kesehatan tertentu.
Tenaga kesehatan menurut UU No 36 tahun 2009 Pasal 1 angka 6 mengenai kesehatan bahwa setiap warga negara yang ingin berpartisipasi dalam mewujudkan gerakan sehat nasional atau mewujudkan sistem kesehatan nasional, namun memiliki pengetahuan atau pengalaman pendidikan dibidang kesehatan maka dibutuhkan kewenangan serta izin yang berlaku. Berdasarkan UU ini maka ahli gigi sudah tidak termasuk lagi ke dalam tenaga kesehatan dan tidak memiliki wewenang untuk melakukan praktik kesehatan “ahli gigi”. Karena substansi penting adalah predikat seseorang yang disandang dalam tenaga kesehatan berdasarkan UU No 36 Tahun 2009 yaitu adanya persyaratan memiliki keterampilan/ keahlian dalam suatu bidang pelayanan kesehatan serta keterampilan/ keahlian tersebut sebagai hasil proses pendidikan bidang keahlian pelayanan kesehatan tertentu. Sedangkan ahli gigi tidak melalui proses pengalaman pendidikan di bidang kesehatan.
Akan tetapi pada kenyataannya, masih banyak “ahli gigi” yang membandal dengan tetap praktik tanpa melalui proseduk administratif perizinan dari pemerintah dalam melakukan praktik. Para “ahli gigi” yang tidak disertai izin tersebut tetap melakukan praktik secara mandiri dengan melebihi kewenangannya, sedangkan pengaturan hukumnya tidak ada. Pada Pasal 2 Permenkes No 1871/MENKES/PER/IX/2011, yang menjadi wewenang “ahli gigi” adalah membuat tiruan gigi dengan ketentuan sesuai dengan standar kesehatan dan bahan yang aman.
Namun demikian hingga saat ini, di masyarakat banyak ditemukan ahli gigi yang tidak memiliki izin dari Kementerian Kesehatan tetapi melakukan praktik mandiri bahkan melebihi kewenangan pekerjaan seperti perawatan ortodonti (behel), pencabutan, penambalan gigi dan pembuatan mahkota akrilik atau porselen.
Semua “ahli gigi” ketika ingin melakukan praktik maka diwajibkan untuk menyelesaikan perizinan buka praktik pada pejabat setempat. Dengan kata lain, sebelum melakukan praktik, para “ahli gigi” akan dipertanggungjawabkan keahliannya dan pelayanannya dalam bidang kesehatan. Hal ini tentu menjadi kewenangan pemerintah untuk mengawasi serta mengurangi kerugian yang bisa ditimbulkan dari pelayanan kesehatan. Perizinan tersebut dapat dilakukan melalui pejabat pemerintah daerah/ kabupaten/ kota/ dinas kesekatan yang secara langsung diberikan kewenangan dalam pengawasan perizinan dan jasa layanan kesehatan. Perizinan dapat dilakukan selama 2 tahun sekali, dan jika masih layak dan memenuhi standar yang berlaku maka tidak menutup kemungkinan untuk diberikan perpanjangan waktu praktik. Mengenai perizinan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat 1 Permenkes No 39 tahun 2014. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa;
Pemberi jasa layanan tidak mengancam kesehatan pengguna kesehatan, atau secara langsung dapat membahayakan nyawa pasien.
Aman.
Tidak bertolak belakang dengan tujuan utama pelayanan kesehatan.
Tidak melawan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat maupun pemerintah.
Pekerjaan dari “ahli gigi” hanya memiliki kewenangan;
Membuat gigi tiruan yang dapat digunakan baik sebagian maupun penuh, dan terbuat dari bahan yang aman serta steril dari berbagai macam penyakit yang membahayakan, seperti bahan heat curring acrylic yang sudah sesuai dengan standar dan ketentuan kesehatan.
Memasangkan gigi tiruan baik sebagian maupun secara penuh, serta bahan baku yang sudah ditentukan dengan pemasangan yang sesuai standar kesehatan. Dengan demikian kewenangan dari “ahli gigi” ada dalam Permenkes No 39 tahun 2014 pada Pasal 6 ayat 2.
Permenkes No 39 tahun 2014 pada Pasal 9 dijelaskan bahwa “ahli gigi” tidak
diperbolehkan untuk melakukan praktik selain kewenangannya seperti dijelaskan di atas. Selanjutnya aturan tersebut lebih terperinci dijelaskan bahwa.
Profesi yang dikerjakan selain kewenangan sudah dijelaskan pada Pasal 6 ayat 2.
Mewakilkan tugasnya kepada orang lain.
Melakukan pemasangan iklan dengan menjelaskan profesi lain yang dijelaskan pada Pasal 6 ayat 2.
Membuka praktik dengan tidak menetap atau berpindah-pindah.
Jika peraturan tersebut dilanggar maka akan dikenakan sanksi administratif oleh pejabat pemerintah, baik kabupaten maupun kota. Sanksi tersebut memiliki tiga tahapan, hal tersebut diantaranya adalah;
Teguran tertulis
Pencabutan izin sementara
Pencabutan izin tetap
Setiap pelaku usaha baik perorangan maupun kelompok diwajibkan untuk memiliki bahan hukum, yang secara legal formal tercatat dalam adminsitrasi pemerintah. Setiap usaha yang berbadan hukum didirikan berdasarkan keududukan serta kewenangan untuk melakukan usaha atau jenis kegiatan lainnya. Kedudukan dari usaha tersebut berada dalam wilayah hukuk negara Republik Indonesia. Inilah sebagai bentuk upaya pemerintah dalam melindungi masyarakatnya dari pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan layanan. Karena itu perlu dijelaskan ada berbagai hak yang perlu diketahui bagi seorang pengguna jasa atau konsumen. Hal tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Hak dalam menentukan barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Hak atas informasi yang jelas, transparan, benar, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
Hak untuk memberikan masukan dan kritikan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
Hak mendapatkan perlindungan hukum, serta usaha dalam menyelesaikan masalah atau sengketa;
Hak mendapat pendidikan dan pembinaan;
Hak dilayani secara baik, benar dan tidak diskriminatif;
Hak mendapatkan ganti rugi dan/atau penggantian, jika barang dan/atau jasa yang didapatkan tidak sesuai;
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sementara pelaku usaha memiliki kewajiban sebagai berikut :
Memiliki tujuan dan niat baik dalam melakukan kegiatan usaha;
Menyampaikan informasi yang benar, jelas, transparan dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan sesuai dengan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa;
Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang perjual-belikan;
Memberi ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa;
Memberi ganti rugi dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang didapatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Profesi sebagai “ahli gigi” dapat dilakukan dengan mengikuti ketentukan dan syarat, sebagaimana dijelaskan dalam Permenkes Nomor 39 Tahun 2014 Pasal 6 Ayat 1. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa; Pertama, Customer servis tidak mengancam kesehatan pengguna kesehatan, atau secara langsung dapat membahayakan nyawa pasien. Kedua, aman. Ketiga, Tidak bertolak belakang dengan tujuan utama pelayanan kesehatan. Keempat, tidak melawan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat maupun pemerintah.
Pekerjaan dari “ahli gigi” hanya memiliki kewenangan; Pertama, membuat gigi tiruan yang dapat digunakan baik sebagian maupun penuh, dan terbuat dari bahan yang
aman serta steril dari berbagai macam penyakit yang membahayakan, seperti bahan heat curring acrylic yang sudah sesuai dengan standar dan ketentuan kesehatan. Kedua, memasangkan gigi tiruan baik sebagian maupun secara penuh, serta bahan baku yang sudah ditentukan dengan pemasangan yang sesuai standar kesehatan. Dengan demikian kewenangan dari “ahli gigi” ada dalam Permenkes No 39 tahun 2014 pada Pasal 6 ayat
2. Permenkes No 39 tahun 2014 pada Pasal 9 dijelaskan bahwa “ahli gigi” tidak diperbolehkan untuk melakukan praktik selain kewenangannya seperti dijelaskan di atas. Selanjutnya aturan tersebut lebih terperinci dijelaskan bahwa. Pertma, profesi yang dikerjakan selain kewenangan sudah dijelaskan pada Pasal 6 ayat 2. Kedua, mewakilkan tugasnya kepada orang lain. Ketiga, melakukan pemasangan iklan dengan menjelaskan profesi lain yang dijelaskan pada Pasal 6 ayat 2. Keempat, membuka praktik dengan tidak menetap atau berpindah-pindah. Jika peraturan tersebut dilanggar maka akan dikenakan sanksi administratif oleh pejabat pemerintah, baik kabupaten maupun kota. Sanksi tersebut memiliki tiga tahapan, hal tersebut diantaranya adalah, Pertama Teguran tertulis; Kedua, Pencabutan izin sementara; dan Ketiga, Pencabutan izin tetap
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009 Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13–14.
A.Z Nasution , 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, Hlm.83 Lexy. J. Moleong, 2006 Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda, Bandung, hlm. Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen
Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen
Pasal 19 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen
http://www.e-jurnal.com/2013/12/perbedaan-dokter-gigi-dengan-tukang.html diakses pada tanggal 28 Oktober 2016 pukul 10:10
https://lawmetha.wordpress.com/tag/soerjono-soekanto/ diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 Pukul 19:34
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54dcda3fcc3e1/kewenangan-tukang-gigi diakses pada tanggal 31 Maret 2017 pukul 20:19