Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN : 2548-1398

Vol. 6, No. 9, September 2021

 

PENGARUH PEMEKARAN DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

 

Shanty Wisudarini, Riyanto

Universitas Indonesia (UI) Depok Jawa Barat, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Sebagai akibat dari pemekaran daerah, sejak tahun 2001 hingga tahun 2014 telah terbentuk lebih dari 170 Daerah Otonom Baru (DOB). Dengan menjadi daerah yang terpisah dari daerah induknya, DOB tersebut berubah menjadi daerah yang berwenang mengatur daerahnya sendiri serta mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD-nya) sendiri. Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak pemekaran daerah terhadap peningkatan APBD dan kesejahteraan masyarakat di DOB. Dengan menggunakan panel regression model dan data DOB yang dimekarkan pada tahun 2003 dan 2008, penelitian ini menunjukkan bahwa pemekaran membuat APBD per kapita DOB meningkat lebih besar dan signifikan dibandingkan dengan APDB per kapita daerah induknya. Penelitian ini juga menemukan bahwa peningkatan APBD per kapita tersebut berdampak signifikan terhadap peningkatan PDRB per kapita di DOB.� Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pemekaran berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lebih dari itu, hasil penelitian ini juga menemukan bahwa pemekaran daerah dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah tertinggal.

 

Kata Kunci: daerah otonom baru; pemekaran daerah; APBD

 

Abstract

As a result of regional proliferation, since 2001 to 2014, it has been formed more than 170 new autonomous regions. By becoming a region separate from its parent region, the new autonomous region has transformed into a region that has the authority to regulate its own region and manage its own regional budget (APBD). This study aims to analyze the impact of regional proliferation on increasing the APBD and community welfare in new autonomous regions. Using a panel data regression model and data of new autonomous regions in 2003 and 2008, this study shows that regional proliferation makes the regional budget per capita of new autonomous regions increase larger than the APBD per capita of parents region. This study also presents that the increasing in the APBD per capita had a significant impact on the incline of GRDP per capita in new autonous regions. Therefore it can be concluded that the regional proliferation has a significant impact on improving community welfare. Moreover, the results of this study also found that regional proliferation can accelerate the improvement of community welfare in under-developed regions.

 

Keywords: new autonomous regions; regional proliferation; APBD

 

Received: 2021-08-20; Accepted: 2021-09-05; Published: 2021-09-20

 

Pendahuluan

Sejak otonomi daerah dilaksanakan tahun 2001, banyak terbentuk Daerah Otonom Baru (DOB) sebagai akibat dari pemekaran daerah. Terhitung sejak tahun 2001-2014 telah terbentuk 176 DOB yang terdiri dari 4 provinsi serta 172 Kabupaten/Kota seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1, sehingga saat ini Indonesia terdiri dari 34 provinsi dan 508 Kabupaten/Kota (Negeri & Negeri, 2016).� Pemekaran daerah tersebut setidaknya dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, karena kondisi ketimpangan kesejahteraan, di mana wilayah yang mengusulkan pemekaran daerah merasa besarnya pendapatan daerah yang dihasilkan tidak sebanding dengan kesejahteraan yang didapatkan oleh masyarakat di wilayahnya (Maulana & Saraswaty, 2019). Kedua, karena kondisi geografis yang dikaitkan dengan pelayanan publik. Wilayah yang terlalu luas, membuat pelayanan publik menjadi tidak efisien dan efektif. Masyarakat yang berada di wilayah-wilayah yang lokasinya terlalu jauh dengan ibu kota kabupaten induk, merasa sangat mahal ketika mereka perlu mengakses pelayanan publik. Perhatian Pemerintah Daerah terhadap wilayah-wilayah yang jauh dari ibu kota kabupaten induk juga sangat minim. Itulah mengapa, ada 91 dari 172 DOB hasil pemekaran yang merupakan daerah tertinggal dan lokasinya sangat jauh dari ibu kota kabupaten induknya (Lihat Tabel 1). Dengan pemekaran daerah, diharapkan rentang kendali pemerintahan menjadi lebih mudah dan efisien, pelayanan publik menjadi lebih baik dan kesejahteraan masyarakat meningkat (Zuhro, 2019).

Namun demikian, pemekaran daerah juga telah menyebabkan terjadinya bureaucratic and political rentseeking, yaitu para elite politik memiliki keinginan untuk memperoleh jabatan dalam pemerintahan DOB (Fitrani, Hofman, & Kaiser, 2005). Motivasi para elit politik tersebut disebabkan karena DOB akan memiliki kewenangan mengelola APBD sendiri, terpisah dari daerah induknya. Mereka berharap APBD per kapita di DOB tersebut akan meningkat cukup besar dibandingkan APBD yang dialokasikan ke daerahnya, ketika masih bergabung dengan daerah induknya. Harapan terjadinya peningkatan APBD tersebut diperoleh terutama dari adanya transfer Pemerintah Pusat melalui alokasi dana perimbangan yaitu, Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai sumber dana bagi APBD (Dawood, B�ther, Lang, Schober, & Sch�fers, 2007).

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 1

Hasil Pemekaran Daerah

 

Tahun

KBI

KTI

 

Jumlah

Non

Non

DT

DT

Jumlah

DT

DT

Jumlah

2001

0

12

12

0

1

1

13

2002

11

5

16

18

3

21

37

2003

19

7

26

19

3

22

48

2007

4

8

12

8

5

13

25

2008

4

9

13

17

2

19

32

2012

2

2

4

5

2

7

11

2013

1

0

1

2

0

2

3

2014

0

0

0

0

3

3

3

Jumlah

41

43

84

69

19

88

172

Sumber: Kementerian Dalam Negeri, 2014, diolah

 

Terlepas dari motivasi elit politik yang ingin memperoleh jabatan pemerintahan di DOB, dengan meningkatnya APBD dan bisa dikelola sendiri, maka seharusnya akselerasi (percepatan) pembangunan di DOB dapat dilakukan, sehingga pada akhirnya diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya secara signifikan (Prihastuti, Taufik, & Agusti, 2015). Dengan meningkatnya APBD, belanja modal untuk pembangunan fasilitas umum seperti jalan, sekolah dan rumah sakit menjadi lebih besar. Secara teoritis, melalui peningkatan belanja modal serta belanja barang dan jasa akan terjadi multiplier ekonomi yang lebih tinggi, sehingga PDRB per kapita masyarakat DOB akan segera meningkat pula (Rahman, Dewi, & Armawaty, 2016). Dengan demikian, terbentuknya DOB hasil pemekaran diharapkan mempunyai dampak positif bagi kesejahteraan masyarakatnya.

Hasil penelitian (Nasional, 2008) menemukan fakta bahwa PDRB per kapita dan perekonomian di Daerah Otonom Baru setelah pemekaran daerah menunjukkan adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Namun, hasil yang bertentangan ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh (Bappenas, 2008). Hasil penelitian (Bappenas, 2008) menyatakan bahwa pada umumnya kesejahteraan masyarakat di daerah yang dimekarkan masih tetap berada di dalam kondisi yang tidak lebih baik. Pro dan kontra tentang dampak pemekaran daerah terhadap kesejahteraan masyarakat terus berlangsung hingga saat ini, sementara penelitian tentang dampak pemekaran daerah masih sangat terbatas.

Saat ini Pemerintah Pusat melakukan penghentian sementara terhadap pemekaran daerah (moratorium), sampai ada proses evaluasi untuk mengetahui keberhasilan dan kegagalannya. Hal ini dilakukan karena pemekaran daerah telah menjadi beban bagi keuangan Pemerintah Pusat. Penelitian ini bertujuan memberikan informasi yang dibutuhkan tentang dampak pemekaran daerah terhadap peningkatan APBD dan kesejahteraan masyarakat di DOB secara lebih terperinci. Informasi yang rinci tersebut mencakup bagaimana dampak pemekaran DOB di daerah tertinggal, termasuk dampak pemekaran DOB yang ada di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.� Ada dugaan kuat bahwa dampak pemekaran daerah akan berbeda antara daerah yang tertinggal dan yang bukan tertinggal serta antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. �Dugaan demikian sangat beralasan mengingat wilayah-wilayah yang tertinggal memang sangat membutuhkan pemekaran, karena lokasinya yang terpencil dan infrastrukturnya juga sangat memprihatinkan. Demikian pula pemekaran daerah di Kawasan Timur Indonesia.

a.    Pemekaran Daerah di Indonesia

Menurut (Syadzily & Hasan, 2020) �kebijakan penataan daerah, yaitu pemekaran, penggabungan dan penyesuaian daerah berdasarkan pendekatan kebijakan tertata dan tersusun secara sistematis yang berbasis dimensi geografi (luas dan karakteristik wilayah); demografi (jumlah dan kualitas pendidik); pertahanan dan keamanan; sistem ekonomi keuangan dan administrasi publik serta manajemen pemerintahan, masih belum terealisasi sampai dengan saat ini. Hal ini dikarenakan kebijakan penataan daerah lebih menekankan kepada kebijakan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). Dalam pembentukan DOB tersebut mengandung istilah pemekaran daerah dan penggabungan daerah, menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 istilah pemekaran mengandung makna �Pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih�. Sementara istilah penggabungan mengandung makna penyatuan daerah yang dihapus ke dalam daerah lain yang bersanding.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) harus memenuhi beberapa syarat, yaitu memiliki penduduk, luas daerah, potensi daerah, kemampuan ekonomi dan syarat lainnya yang memungkinkan terlaksananya otonomi daerah. Selain itu, diperlukan juga waktu untuk persiapan infrastruktur perekonomian serta pemerintahan dan pengalihan aparatur daerah dari Daerah Induk ke DOB. Hal ini diperlukan untuk menghindari DOB mengalami kondisi ketertinggalan dari Daerah Induk di berbagai aspek, sehingga perlu adanya pembagian potensi ekonomi yang merata, sehingga DOB dapat bersaing dengan Daerah Induknya. Selain itu, dalam pembentukan DOB juga tidak boleh menyebabkan Daerah Induk menjadi tidak dapat menyelenggarakan otonomi daerah.

Menurut (Shabbir Cheema & Rondinelli, 1983), salah satu alasan pemekaran adalah agar dalam pembuatan keputusan terwakili oleh bermacam-macam kelompok agama, etnis, suku dan politik. Pemekaran daerah dianggap terjadi karena adanya perbedaan identitas seperti etnis dan asal mula keturunan, yaitu masyarakat yang tinggal di daerah pemekaran merasa sebagai komunitas yang berbeda budaya dengan Daerah Induk. Selain itu pemekaran daerah juga memberikan dana yang jauh lebih besar kepada Pemerintah DOB untuk dapat dikelola, yaitu adanya insentif fiskal yang akan diperoleh dari hasil pemekaran melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan dana bagi hasil sumber daya alam (Dawood et al., 2007). Menurut (Maulana & Saraswaty, 2019), ketidakadilan juga menjadi faktor pemicu tuntutan pemekaran daerah, yaitu pihak yang mengusulkan pemekaran merasa besarnya hasil pendapatan daerah yang dihasilkan tidak sebanding dengan kesejahteraan yang didapatkan masyarakat di wilayahnya sehingga menimbulkan ketimpangan kesejahteraan antara satu daerah dengan daerah lainnya

b.    Hubungan antara APBD dan Perekonomian Daerah di Era Otonomi Daerah

Desentralisasi fiskal mendorong semakin banyaknya pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB), karena dengan adanya desentralisasi fiskal maka Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk menarik Pajak Daerah atau Retribusi Daerah (tax assignment) serta mendapatkan bantuan keuangan atau yang dikenal sebagai dana perimbangan yaitu Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus sebagai sumber dana bagi APBD. Menurut (Lindaman & Thurmaier, 2002; Sasana, 2019; Wibowo, 2008) menemukan bahwa secara umum desentralisasi fiskal memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. (Rahman et al., 2016; Siregar, 2005) menyatakan bahwa dana perimbangan berpengaruh positif terhadap peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan terjadi peningkatan yang cukup siginifkan setelah desentralisasi fiskal diberlakukan. Selain itu belanja pemerintah dalam APBD baik belanja langsung maupun tidak langsung menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap peningkatan ekonomi daerah, yang berarti semakin besar belanja pemerintah maka pertumbuhan PDRB akan semakin meningkat. Namun belanja APBD masih didominasi oleh belanja rutin sedangkan realisasi untuk belanja modal atau belanja pembangunan masih minim, walaupun alokasi belanja modal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, (Maku, 2009) dan (Pascual, Dunne, & Dunne, 2006) juga menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah terutama untuk investasi pada infrastruktur publik mempunyai efek signifikan pada pertumbuhan ekonomi di Nigeria dan di 15 negara eropa.�

Walaupun beberapa penelitian dampak APBD terhadap perekeonomian telah banyak dilakukan, namun belum ada penelitian yang khusus membahas dampak pemekaran daerah terhadap APBD per kapita dan PDRB per kapita, terutama di Daerah Otonom Baru daerah tertinggal dan daerah tidak tertinggal.

c.    Pemekaran Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat

Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007, tujuan dari pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: (1) Meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat; (2) Meningkatkan kehidupan demokrasi; (3) Pengelolaan potensi daerah; (4) Meningkatkan ketertiban serta keamanan; (5) Percepatan pembangunan perekonomian daerah; (6) Meningkatkan hubungan antara pusat dan daerah. Pemekaran daerah juga dapat menyebabkan terlaksananya pembangunan secara merata dan dapat memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat. (Jeddawi, 2009) menyatakan bahwa ada dua kemungkinan yang terjadi bagi DOB: (1) Daerah Otonom Baru dapat berjalan sesuai dengan tujuan pembentukannya, yaitu meningkatkan pelayanan serta kesejahteraan masyarakat; dan (2) DOB tidak dapat memenuhi tujuan pembentukannya dan malah menghasilkan masalah baru di bidang sosial, politik dan ekonomi.

Pemekaran daerah dapat menyebabkan terlaksananya pembangunan secara merata dan dapat memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pemekaran daerah juga dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi masyarakat maupun pemerintah. Menurut (Setiabudiawan & Kartasasmita, 2007), dampak positif dari adanya pemekaran daerah adalah: (1) membantu pemerintah pusat melakukan kontrol terhadap kondisi suatu daerah, karena dengan adanya pemekaran daerah akan ada pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; (2) pelimpahan wewenang berdampak pada pembangunan daerah baru menjadi lebih baik karena disesuaikan dengan potensi yang ada;� (3) pelayanan pemerintah menjadi efektif dan efisien; (4) pembangunan infrastruktur daerah menjadi lebih maju dalam rangka pemerataan pembangunan daerah; (5) semakin menurunnya tingkat pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial di masyarakat; dan 6) semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Daerah Otonom Baru.

Adapun dampak negatif dari Pemekaran Daerah adalah: (1) stabilitas keamanan daerah dapat terancam; (2) pemerintah daerah saling bersaing dalam rangka pengembangan potensi daerah masing-masing, sehingga berdampak pada keadaan pemerintahan pusat yang terabaikan; (3) dapat menyebabkan konflik sosial dalam masyarakat, karena adanya perbedaan asal daerah, suku, agama dan ras; (4) persaingan elit politik dalam memperebutkan jabatan akan semakin tinggi serta dapat menimbulkan adanya kesempatan untuk melakukan tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN); (5) pemekaran daerah juga menyebabkan lebih dominannya kepentingan pemerintah daerah yang baru dalam upaya menyesuaikan dengan pemerintahan daerah lainnya dibanding mementingkan kepentingan kesejahteraan masyarakat di daerahnya.

Dengan menggunakan Propensity Score Matching (PSM), kajian (Bappenas, 2008) menemukan bahwa kesejahteraan masyarakat di daerah hasil pemekaran tidak lebih baik dibandingkan jika tidak dimekarkan. Namun, pemekaran daerah dapat membuat pemerataan pembangunan yang lebih baik, seperti menyediakan lebih banyak tenaga pendidik dan tenaga kesehatan yang memadai serta pemerataan fasilitas di bidang pendidikan dan kesehatan di DOB.� Lebih lanjut, (Zuhro, 2019) mengatakan bahwa pemekaran daerah memperpendek rentang kendali sehingga pemerintah daerah dapat meningkatkan pelaksanaan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya (Fitrani et al., 2005), menerangkan dengan adanya pemekaran membuka peluang untuk terjadinya bureaucratic and political rentseeking, yaitu para elite politik yang ingin memperoleh jabatan, karena untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan perlu dibentuk aparat pemerintah daerah baru.

Hasil penelitian Litbang Kompas (Kompas, 21 Mei 2008) menyatakan bahwa keberhasilan pemekaran daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat bergantung pada potensi DOB tersebut dan kondisi yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dari 233 daerah yang dievaluasi baik DOB maupun Daerah Induk, hanya sekitar 22% yang sama-sama mengalami kemajuan, sedangkan selebihnya 72% mengalami kemunduran setelah pemekaran. Sementara itu, menurut hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2005 terhadap 148 Kabupaten/Kota pemekaran di Indonesia dapat diketahui bahwa (1) terdapat 87,71 % Daerah Induk yang belum serah terima kepada Daerah Otonom Baru dalam hal Pembiayaan, Personil, Peralatan dan Dokumen (P3D); (2) mayoritas DOB sebesar 79% belum memiliki batas wilayah yang jelas; (3) mayoritas Daerah Induk sebesar 89,48% juga belum memberi dukungan dana kepada DOB sesuai dengan yang disyaratkan dalam undang-undang; (4) banyaknya PNS yang mendapatkan kendala mutasi dari Daerah Induk ke Daerah Otonom Baru, yaitu sebesar 84,2 %; (5) adapun pengisian jabatan sebesar 22,8 %� tidak sesuai dengan standard kompetensi dan; (6) Hampir seluruh DOB, yaitu 91,23% belum mempunyai Rencana Tata Ruang dan Wilayah.

Selain itu, Menurut (Pamungkas, 2007) pemekaran daerah dapat menimbulkan beberapa permasalahan yaitu: 1) Adanya konflik yang disertai dengan kekerasan, contohnya adalah Kabupaten Induk Polewali-Mamasa yang dimekarkan pada tahun 2002 menjadi 2 (dua) Daerah Otonom Baru, yaitu Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa di Provinsi Sulawesi Barat. Konflik tersebut terjadi dikarenakan adanya kecamatan menolak bergabung dengan Kabupaten Mamasa; (2) Menurunnya jumlah penduduk dan Pendapatan Asli Daerah secara drastis, contohnya adalah sebelum pemekaran daerah jumlah penduduk Kabupaten Aceh Utara berjumlah 970.000 jiwa dan setelah pemekaran (menjadi Kota Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Kab. Aceh Utara) penduduknya berjumlah 420.000. Adapun PAD Kabupaten Bengkayang menurun secara drastis setelah ditinggalkan oleh Kota Singkawang, karena Singkawang memiliki potensi wisata untuk dikembangkan; (3) Semakin sempitnya luas wilayah dan meningkatnya beban Daerah Induk, Kabupaten Halmahera Barat setelah pemekaran wilayahnya menjadi berkurang dan saat ini dibebani oleh pembiayaan beberapa Daerah Otonom Baru, seperti Kabupaten Kepulauan Sula, Halmahera Utara dan Halmahera Selatan; (4) Adanya perebutan wilayah dan masalah ibukota pemekaran, contohnya adalah Kabupaten Kampar sebagai Daerah Induk memperebutkan tiga desa, yaitu Tandun, Aliantan dan Kabun dengan DOB Kabupaten Rokan Hulu. Selain itu, konflik ibukota pemekaran juga terjadi dalam kasus Kabupaten Banggai (Sulawesi Tengah) dan; (5) Adanya perebutan asset daerah, kasus ini terjadi di DOB Kabupaten Nunukan dengan Kabupaten Induknya (Kabupaten Bulungan).

Namun tidak sedikit juga Daerah Otonom Baru yang memiliki perkembangan dan kinerja ekonomi cukup bagus setelah dimekarkan. Misalnya adalah Kabupaten kutai Timur (Kutim) merupakan Daerah Otonom Baru di Kalimantan Timur yang dimekarkan tahun 1999, keunikan dari Kutim adalah kabupaten yang kaya akan sumber daya alam namun miskin akan infrastruktur. Selain itu 47% desa merupakan desa tertinggal. Implementasi otonomi daerah telah membawa iklim baru di Kutim, yaitu Kutim telah menerapkan electronic government (e-government), dilaksanakannya gerakan daerah pengembangan agribisnis dikarenakan perekonomian kutim didominasi oleh sektor pertambangan dan pertanian (Kuncoro, 2004).

Kabupaten Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan yang dimekarkan tahun 2003, merupakan salah satu Daerah Otonom Baru yang cukup berhasil serta cukup pesat dalam melakukan proses pembangunan hingga ke pelosok pedesaan. Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah yang kaya dengan tambang batubara tersebut adalah dengan memberikan subsidi sebesar Rp 250.000.000,- pertahun untuk program pemberdayaan masyarakat pedesaan. Selain itu, Kabupaten Landak di Kalimantan Barat yang dimekarkan tahun 1999, berhasil membuka keterisolasian daerah dengan cara membangun jalan-jalan raya beraspal (Rachman, Elliott, Shafran, & Radomsky, 2009).

Menurut (Maasi, 2014) walaupun termasuk kedalam kondisi daerah tertinggal, kemampuan ekonomi wilayah Kepulauan Talaud yang dimekarkan dari kabupaten Sangihe pada tahun 2002 lebih baik dibandingkan sebelum pemekaran. Hal ini dibuktikan dari tiga indikator pengukur kemampuan ekonomi, yaitu PDRB per kapita, pertumbuhan ekonomi, dan kontribusi PDRB wilayah terhadap PDRB provinsi, hanya satu indikator yang menunjukkan bahwa PDRB per kapita wilayah Kepulauan Talaud sebelum pemekaran lebih baik dibandingkan sesudah pemekaran dikarenakan tingginya pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan naiknya pertumbuhan PDRB.

 

Metode Penelitian

Untuk menganalisis hubungan antara pemekaran dan kesejahteraan masyarakat, penelitian ini menggunakan analisis dan pembuktian dengan kaidah silogisme. Jalur pembuktian dilakukan dengan menguji apakah pemekaran daerah membuat APBD per kapita DOB meningkat signifikan. Dan jika APDB per kapita DOB meningkat cukup signifikan akankah berdampak terhadap peningkatan PDRB per kapitanya.��

Oleh karena itu, kerangka pengujian dampak pemekaran daerah terhadap kesejahteraan masyarakat dengan kaidah silogisme dirumuskan sebagai berikut:

a)      Jika suatu daerah dimekarkan sehingga terberntuk DOB, maka APBD per kapita di DOB tersebut meningkat cukup besar.

b)      Jika terjadi peningkatan APBD per kapita di DOB yang cukup besar, maka akan terjadi peningkatan PDRB per kapita di DOB.

Jika dua pernyataan tersebut dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris, maka dapat disimpulkan pemekaran daerah berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di DOB.

Karena peningkatan PDRB per kapita di Daerah Otonom Baru juga bisa dipengaruhi oleh variabel lain, maka untuk melihat pengaruh APBD per kapita dan kualitas pengelolaannya terhadap PDRB per kapita, penelitian ini akan memasukkan variabel kontrol dalam menganalisisnya. Variabel kontrol tersebut adalah kualitas SDM yang tercermin dari rata-rata lama sekolah. Untuk merinci pengaruh wilayah, penelitian ini akan melihat pula apakah ada perbedaan pengaruh peningkatan dan pengelolaan APBD per kapita terhadap PDRB per kapita di DOB yang ada di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur, serta perbedaan pengaruhnya di DOB yang merupakan daerah tertinggal dan tidak tertinggal. Secara ringkas, alur hubungan antara pemekaran dan kesejahteraan masyarakat dijelaskan pada Gambar 1.

Untuk menunjukkan dampak pemekaran terhadap peningkatan APBD per kapita di DOB, penelitian ini melakukan analisis perbandingan pertumbuhan APBD per kapita antara DOB dengan daerah induk dan daerah kontrol. Analisis dilakukan menggunakan statistika deskriptif dan inferensia dengan uji perbandingan rata-rata pertumbuhan APBD per kapita DOB dengan daerah induk dan daerah kontrol beberapa tahun setelah dimekarkan.

Sementara itu, untuk membuktikan pengaruh peningkatan APDB per kapita di DOB terhadap PDRB per kapita, penelitian ini menggunakan model regresi berganda dengan menggunakan data panel. Model regresi tersebut juga digunakan untuk membandingkan pengaruh peningkatan APBD per kapita terhadap PDRB per kapita di wilayah DOB dengan daerah induknya dan daerah kontrol. Daerah kontrol yang menjadi pembanding ini kami identifikasi sebagai daerah yang mirip dengan DOB, yaitu berada di provinsi yang sama dan kondisi ekonominya tidak berbeda jauh dengan DOB tersebut. Daerah pembanding ini dipilih karena memiliki potensi untuk melakukan pemekaran sebagaimana DOB yang dianalisis, tetapi belum atau tidak dimekarkan.

 

Gambar 1

Alur Hubungan antara Pemekaran dan Kesejahteraan Masyarakat

 

Model regresi yang digunakan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

LnPDRBKapit = β0 + β1 LnAPBDKapit + β2 Ln % BMit +� β3 DOBit + β4 Indukit + β5 DOBit * LnAPBDKapit + β6 Indukit * LnAPBDKapit + β7 DOBit * Ln % BMit� + β8 Indukit * Ln % BMit + β9 Lokasiit + β10 Kondisiit + β11 Lokasiit (DOBit * Ln APBDKapit)+ β12 Lokasiit (Indukit * Ln APBDKapit )+ β13 Kondisiit(DOBit*� LnAPBDKapit ) +� β14 Kondisiit� (Indukit *� Ln APBDKapit) + β15 Lokasiit (DOBit * Ln % BMit )+ β16 Lokasiit� (Indukit * β2 Ln % BMit )+� β17 Kondisiit (DOBit* Ln % BMiit ) +� β18 Kondisiit (Indukit* Ln % BMit ) + β19 Lag.Ln APBDKapit-1 + β20 LnRLSit + 𝛿it + eit

Dimana :

��� LnPDRBKapit adalah logaritma natural PDRB per kapita Kabupaten/Kota i pada periode t;

��� ghLnAPBDKapit adalah logaritma natural APBD per kapita Kabupaten/Kota i pada periode t;

��� Ln%BMit adalah logaritma natural Persentase Belanja Modal terhadap APBD Kabupaten/Kota i pada periode t;

��� DOBit adalah dummy variable dimana 1 mewakili Daerah Otonom Baru (DOB) sedangkan 0 Daerah Lainnya;

��� Indukit adalah dummy variable dimana 1 mewakili Daerah Induk sedangkan 0 Daerah Lainnya;

��� Lag.Ln APBDKap it-1� adalah logaritma natural APBD per kapita Kabupaten/Kota i pada periode� t-1;

��� LnRLS it� adalah logaritma natural rata-rata lama sekolah;

��� 𝛿it adalah year effects, penggunaan year effects adalah untuk menangkap rata-rata di setiap daerah pada setiap tahunnya, sehingga dapat memastikan koefisien penjelas utama dapat mengukur variasi dari dampak pemekaran daerah di setiap tahunnya;

��� eit adalah error term.

Dari model pada persamaan (1) di atas dapat dianalisis bagaimana dampak peningkatan APBD per kapita terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum, yaitu dengan menguji hipotesis koefisien β1. Koefisien ini menunjukkan pengaruh umum dampak peningkatan APBD per kapita terhadap kesejahteraan, baik untuk DOB, daerah induknya maupun daerah kontrol. Dari koefisien ini dapat disimpulkan bahwa jika koefisien β1 signifikan berbeda dengan nol, ini berarti jika APBD per kapita meningkat 1%, maka PDRB per kapita meningkat β1 persen. Ini berlaku bagi DOB, daerah induk , maupun daerah kontrol.�

Sementara itu, untuk melihat apakah pengaruh peningkatan APBD per kapita di DOB terhadap PDRB per kapita lebih besar dibandingkan daerah induk dan kontrolnya, variable� interaksi antara DOB dengan APBD per kapita dan interaksi antara Daerah Induk dengan APBD per kapita bisa menjadi rujukan. Demikian juga untuk mengetahui dampak peningkatan APBD satu tahun sebelumnya dapat diketahui dengan melihat koefisien interaksi antara DOB dengan APBD per kapita satu tahun sebelumnya dan interaksi antara Daerah Induk dengan APBD per kapita satu tahun sebelumnya.

Untuk mengetahui dampak peningkatan APBD per kapita terhadap kesejahteraan masyarakat Daerah Otonom Baru dan Daerah Induk di lokasi Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia serta kondisi daerah tertinggal dan daerah tidak tertinggal, dapat diketahui dengan melihat hasil interaksi antara tiga variabel, yaitu APBD per kapita, dummy DOB dengan dummy lokasi atau APBD per kapita, dummy DOB dan dummy kondisi daerah.

Sementara mengetahui dampak peningkatan persen belanja modal dalam APBD per terhadap kesejahteraan masyarakat Daerah Otonom Baru dan Daerah Induk di lokasi Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia serta kondisi daerah tertinggal dan daerah tidak tertinggal, dapat diketahui dengan melihat hasil interaksi antara tiga variabel yaitu % belanja modal, dummy DOB dengan dummy lokasi atau % belanja modal, dummy DOB dan dummy kondisi daerah.

Adapun data yang digunakan untuk mengestimasi persamaan (1) di atas adalah data panel, yaitu data yang menggabungkan antara data cross section dan data time series.� Penelitian ini menganalisis pemekaran daerah yang dilakukan pada tahun 2003 dan tahun 2008, di mana pada tahun-tahun tersebut paling banyak terjadi pemekaran.� Data APBD dan belanja Modal dari tahun 2001 hingga 2018 diperoleh dari Dirjen Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan, sedangkan data PDRB atas harga konstan, jumlah penduduk, rata-rata lama sekolah dari tahun 2001 hingga 2018 diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS).

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Dampak pemekaran daerah terhadap peningkatan APBD per kapita

Dampak pemekaran daerah terhadap peningkatan APBD per kapita dapat ditelaah dengan analisis trend dan pertumbuhan APBD per kapita yang dialami oleh DOB. Gambar 2 menyajikan trend APBD per kapita DOB, daerah Induk dan daerah kontrol. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa pada saat dimekarkan APBD per kapita DOB yang dimekarkan tahun 2003 hanya sebesar Rp 552.885,- dan meningkat secara signifikan setelah 5 tahun dimekarkan pada tahun 2008, yaitu sebesar Rp 3.611.35,-. Adapun pertumbuhan rata-rata APBD per kapita DOB dari tahun 2003 hingga 2008 adalah sebesar 31%, jauh lebih besar jika dibandingkan daerah induk yang hanya sebesar 23% dan daerah kontrol 22%. Sedangkan untuk pemekaran tahun 2008, APBD per kapita Daerah Otonom Baru pada awal dimekarkan hanya sebesar Rp 2.382.590,- dan kemudian� meningkat secara signifikan setelah 5 tahun dimekarkan pada tahun 2013, yaitu sebesar Rp 12.414.036,-. Pertumbuhan rata-rata APBD per kapita DOB dari tahun 2008 hingga 2013 adalah sebesar 34%, jauh lebih besar jika dibandingkan daerah induk yang hanya sebesar 9% dan daerah kontrol 5%.

 

 

Gambar 2

Perkembangan APBD per Kapita DOB, Daerah Induk dan Daerah Kontrol

Sumber: Kemenkes, 2020 (diolah)

 

Tabel 2

Hasil Uji One-Way ANOVA untuk Menguji Kesamaan Rata-rata Pertumbuhan

APBD per Kapita DOB, Daerah Induk dan Daerah Kontrol untuk Kasus Pemekaran Daerah Tahun 2003

Source

Analysis of Variance

F

Prob > F

SS

df

MS

Between groups

Within groups

2948132.46

9707099.58

2

101

1474066.23

96109.8968

15.34

0.0000

Total

126655232

103

122866.33

 

Bartlett�s test for equal variances: chi2 (2) = 31.9432 Prob>chi2 = 0.000

Sumber: Kemenkeu diolah, 2020

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3

Hasil Uji One-Way ANOVA untuk Menguji� Kesamaan Rata-rata Pertumbuhan APBD per Kapita DOB, Daerah Induk dan Daerah Kontrol

untuk Kasus Pemekaran Daerah Tahun 2008

Source

Analysis of Variance

F

Prob > F

SS

df

MS

Between groups

Within groups

41583.4182

539528.188

2

67

20791.7091

8052.65952

2.58

0.0831

Total

581111.606

69

8421.90734

 

Bartlett�s test for equal variances: chi2 (2) = 9.2911 Prob>chi2 = 0.010

Sumber: Kemenkeu diolah, 2020

 

Tabel 4

Hasil Uji Duncan untuk Kasus Pemekaran Daerah Tahun 2003

 

apbdkap

Contrast

Std. Err.

Unadjusted

(95% Conf. Interval

Status

1 vs 0

2 vs 0

2 vs 1

 

263.4079

-103.2591

-366.667

 

82.5093

86.45932

68.35209

 

99.73165

-274.7711

-502.2592

 

427.0842

68.25293

-231.0748

.

Sumber: Kemenkeu diolah, 2020

 

Tabel 5

Hasil Uji Duncan untuk Kasus Pemekaran Daerah Tahun 2008

 

apbdkap

Contrast

Std. Err.

Unadjusted

(95% Conf. Interval

Status

1 vs 0

2 vs 0

2 vs 1

 

58.56413

20.83848

-37.72565

 

27.47611

29.48425

24.85308

 

3.721579

-38.01233

-87.3326

 

113.4067

79.6893

11.88131

.

Sumber: Kemenkeu diolah, 2020

 

B.  Dampak pemekaran daerah terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat

Setelah membuktikan bahwa pemekaran daerah membuat APBD per kapita DOB meningkat lebih besar dibandingkan APBD per kapita daerah induk dan daerah kontrol, maka pengujian berikutnya adalah menguji apakah peningkatan APBD per kapita di DOB tersebut berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa untuk menguji dampak peningkatan APBD per kapita terhadap peningkatan kesejahteraan, penelitian ini menggunakan panel data regression model dengan spesifikasi yang dirumuskan pada persamaan (1). Ada� tiga pilihan metode untuk mengestimasi persamaan 1 dengan data panel yaitu, Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect (FE) dan Random Effect (RE). Hasil pengujian pemilihan model dengan uji Chow, Hausman dan Breusch-pagan Lagrange Multiplier (LM), menunjukkan bahwa model Random Effect lebih sesuai dibandingkan dengan model lainnya. Hasil estimasi terhadap persamaan (1) dengan metode Random Effect dengan berbagai spesifikasi penyertaan variabel bebas dalam model diberikan pada Tabel 8 dibawah ini.

 

Tabel 6

Hasil Estimasi Pengaruh� APBD Per Kapita dan Belanja Modal Terhadap PDRB� Perkapita Pemekaran Daerah tahun 2003

Keterangan: *signifikan pada level 10%; **signifikan pada level 5%; ***signifikan pada level 1%

Sumber: Hasil Estimasi, 2021

 

Berdasarkan hasil pada Tabel 6 tersebut diperoleh hasil analisis sebagai berikut. Untuk kasus pemekaran daerah tahun 2003, model menunjukkan bahwa� Ln APBD per kapita serta Ln APBD per kapita satu atau dua tahun sebelumnya terhadap Ln PDRB per kapita berasosiasi positif dan signifikan, artinya adalah semakin meningkatnya APBD per kapita serta APBD per kapita satu atau dua tahun sebelumnya, maka PDRB per kapita juga akan meningkat. Jadi peningkatan APBD per kapita serta APBD per kapita satu atau dua tahun sebelumnya berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum baik di DOB, Daerah Induk maupun Daerah Kontrol dalam penelitian ini (daerah yang tidak dimekarkan). Sampai pada hasil ini dapat diperoleh, peningkatan APBD per kapita di DOB sebagai akibat pemekaran daerah, berdampak terhadap peningkatan PDRB per kapita (kesejahteraan) masyarakatnya. Dengan kaidah silogisme, hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa pemekaran daerah signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Daerah Otonom Baru.���

Hasil berikutnya yang perlu dicermati adalah pengaruh interaksi antara dummy DOB dan Daerah Induk dengan Ln APBD per kapita yang tidak signfikan. Ini berarti bahwa pengaruh peningkatan APBD per kapita terhadap PDRB per kapita di DOB tidak berbeda dengan pengaruh APBD per kapita ketika masih bergabung dengan daerah induknya maupun dengan daerah kontrol. Analisis lebih lanjut dengan mencermati interaksi antara Dummy DOB yang terkategori sebagai daerah tertinggal dengan Ln APBD per kapita berasosiasi negatif dan signifikan, artinya adalah pengaruh APBD per kapita terhadap PDRB Per kapita di DOB yang terkategori sebagai daerah tertinggal justru lebih rendah dibandingkan dengan Daerah Induk atau Daerah Kontrolnya (daerah yang tidak dimekarkan).

Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan APDB per kapita DOB hasil pemekaran daerah tahun 2003 berdampak signifikan terhadap peningkatan PDRB per kapita (sebagai ukuran kesejahteraan masyarakat), namun akselerasi peningkatan kesejahteraan yang terjadi di DOB tidak lebih cepat dibandingkan dengan daerah induk maupun daerah kontrolnya.

Tabel 7

Hasil Estimasi Pengaruh APBD� Per Kapita dan Belanja Modal Terhadap PDRB� Perkapita Pemekaran Daerah tahun�

2008

Keterangan : *signifikan pada level 10%; **signifikan pada level 5%; ***signifikan pada level 1%

Sumber : Hasil Estimasi , 2021

 

Sementara itu, berdasarkan hasil pada Tabel 7, untuk kasus pemekaran daerah tahun 2008 menunjukkan bahwa APBD per kapita signifikan berpengaruh terhadap PDRB per kapita lihat spesifikasi (1). Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan APBD per kapita DOB (sebagai akibat dari pemekaran sebagaimana ditunjukkan pada sub bab sebelumnya) berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil ini berlaku bagi DOB, daerah induk maupun daerah kontrol. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa interaksi antara Dummy DOB dan Daerah Induk di daerah yang terkategori sebagai daerah tertinggal dengan Ln APBD per kapita berasosiasi positif dan signifikan (spesifikasi 3). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh APBD per kapita terhadap PDRB Per kapita di DOB dan Daerah Induk yang terkategori daerah tertinggal lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tidak dimekarkan (daerah kontrol). Hal ini menandakan bahwa peningkatan APBD per kapita di DOB hasil pemekaran di daerah tertinggal memberikan pengaruh yang lebih tinggi dan signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat DOB dibandingkan dengan daerah yang tidak dimekarkan. Artinya DOB mengalami peningkatan kesejahteraan yang lebih cepat setelah dimekarkan. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan APBD per kapita bagi DOB� hasil pemekaran tahun 2008 berdampak signifikan terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat dan pemekaran di daerah tertinggal makin mempercepat peningkatan� kesejahteraan masyarakatnya.

 

Kesimpulan

Pemekaran daerah terbukti membuat APBD per kapita Daerah Otonom Baru meningkat lebih besar dibandingkan dengan daerah induk maupun daerah yang tidak dimekarkan. Pemekaran membuat APBD per kapita DOB meningkat lebih besar dibandingkan jika daerah tersebut masih bergabung dengan daerah induknya. Sementara itu, hasil analisis panel data regression model menunjukkan bahwa peningkatan APBD per kapita berdampak signifikan terhadap peningkatan PDRB per kapita.� Dengan kaidah silogisme, dari kedua hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemekaran berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil ini juga dapat dimaknai bahwa, karena APBD per kapita DOB meningkat lebih besar dibandingkan dengan dearah induk muupun darah control dan APBD per kapita berdampak signifikan terhadap kesejahteraan, maka dapat disimpulkan bahwa DOB mengalami peningkatan kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan daerah induk maupun daerah kontrol (daerah pembanding yang tidak dimekarkan). Analisis lebih dalam juga menunjukkan bahwa pemekaran bagi daerah tertinggal tidak saja mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakatnya, tetapi lebih dari itu, pemekaran dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat yang menetap di daerah tertinggal.

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Bappenas, UNDP. (2008). Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. BRIDGE (Building and Reinventing Decentralised Governance). Google Scholar

 

Dawood, Mohammad, B�ther, Florian, Lang, Norbert, Schober, Otmar, & Sch�fers, Klaus P. (2007). Respiratory gating in positron emission tomography: a quantitative comparison of different gating schemes. Medical Physics, 34(7), 3067�3076. Google Scholar

 

Fitrani, Fitria, Hofman, Bert, & Kaiser*, Kai. (2005). Unity in diversity? The creation of new local governments in a decentralising Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41(1), 57�79. Google Scholar

 

Jeddawi, Murtir. (2009). Mengefektifkan peran birokrasi untuk memangkas perilaku korupsi. Total Media. Google Scholar

 

Kuncoro, Haryo. (2004). Pengaruh transfer antar pemerintah pada kinerja fiskal pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia. Economic Journal of Emerging Markets, 9(1). Google Scholar

 

Lindaman, Kara, & Thurmaier, Kurt. (2002). Beyond efficiency and economy: An examination of basic needs and fiscal decentralization. Economic Development and Cultural Change, 50(4), 915�934. Google Scholar

 

Maasi, Jenneke. (2014). Kemampuan Ekonomi Wilayah Kepulauan Talaud Sebelum Dan Sesudah Pemekaran. Jurnal Ilmiah Universitas Teknologi Sulawesi Utara, 2(1), 86�92. Google Scholar

 

Maku, Olukayode E. (2009). Does government spending spur economic growth in Nigeria? Google Scholar

 

Maulana, Sherlly, & Saraswaty, Rina. (2019). Perancangan Pusat Perbelanjaan dengan Tema Green Architecture di Kota Medan. JAUR (Journal Of Architecture And Urbanism Research), 2(2), 98�113. Google Scholar

 

Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan. (2008). Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah. Jakarta: UNDP. Google Scholar

 

Negeri, Biro Hukum Depdagri Kementerian Dalam, & Negeri, Studi Strategis Luar. (2016). Republik Indonesia.�. Daftar Perda/Perkada Dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Yang Dibatalkan/Revisi.� Biro Hukum Depdagri. Google Scholar

 

Pamungkas, Susilo. (2007). Minat Berwiraswasta Pada Mahasiswa Ditinjau Dari Konsep Diri Dan Motivasi Berprestasi. Prodi Psikologi Unika Soegijapranata. Google Scholar

 

Pascual, Mercedes, Dunne, Jennifer A., & Dunne, Jennifer A. (2006). Ecological networks: linking structure to dynamics in food webs. Oxford University Press. Google Scholar

 

Prihastuti, Asepma Hygi, Taufik, Taufeni, & Agusti, Restu. (2015). Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Riau. Sorot, 10(2), 143�154. Google Scholar

 

Rachman, S., Elliott, Corinna M., Shafran, Roz, & Radomsky, Adam S. (2009). Separating hoarding from OCD. Behaviour Research and Therapy, 47(6), 520�522. Google Scholar

 

Rahman, Nurdin, Dewi, Nikmah Utami, & Armawaty, Fitra. (2016). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku makan pada remaja SMA Negeri 1 Palu. PREVENTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), 10. Google Scholar

 

Sasana, Hadi. (2019). Fiscal Decentralization and Regional Economic Growth. Economics Development Analysis Journal, 8(1), 108�119. Google Scholar

 

Setiabudiawan, B., & Kartasasmita, C. B. (2007). Risk factors of atopy in the first two years of life in Indonesian children. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 119(1), S126. Google Scholar

 

Shabbir Cheema, G., & Rondinelli, D. A. (1983). Implementing decentralization programs in asialocal capacity for rural development. United Nations Centre for Regional Development (UNCRD), Nagoya, Japan.

 

Siregar, Riyanto. (2005). Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau dengan Belanja Modal sebagai Variabel Pemoderasi. KURS. Google Scholar

 

Syadzily, Tb, & Hasan, Ace. (2020). Analysis of Government Policy on Disaster Management System. Google Scholar

 

Wibowo, Arief. (2008). Kajian tentang perilaku pengguna sistem informasi dengan pendekatan technology acceptance model (TAM). Konferebsi Nasional Sistem Informasi. Google Scholar

 

Zuhro, R. Siti. (2019). Demokrasi dan pemilu Presiden 2019. Jurnal Penelitian Politik, 16(1), 69�81. Google Scholar

 

Copyright holder:

Shanty Wisudarini, Riyanto (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: