����� �Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia � ISSN : 2541-0849
������ e-ISSN : 2548-1398
������ Vol. 3, No. 7 Juli 2018
APAKAH UPAYA PENCEGAHAN, FAKTOR PENYAKIT
DAN FAKTOR INDIVIDU MEMPUNYAI DAMPAK TERHADAP CACAT TINGKAT II KUSTA
Cucu Herawati dan Sudrajat
Program Studi Kesehatan Masyarakat
STIKes Cirebon
Email: [email protected]
Abstrak
Kusta menimbulkan
masalah yang sangat kompleks, bukan hanya dari segi medis, namum sampai masalah
sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta
merupakan penyakit yang unik, hal ini disebabkan karena kusta dapat mengalami
suatu periode yang dinamakan dengan reaksi dan dapat juga menimbulkan kecacatan
yang permanen.1 Angka cacat tingkat II penderita kusta baru di
Kabupaten Kuningan adalah 24%, angka tersebut jauh di atas target nasional
yaitu di bawah 5%.3 �Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan cacat
tingkat II pada penderita kusta. Rancangan penelitian ini Case control.
Populasi penelitian yaitu seluruh penderita baru kusta tahun 2013 sebanyak 87
orang. Jumlah sampel sebanyak 62 orang terdiri dari kelompok kasus 21 orang
dengan kusta cacat tingkat II dan kelompok kontrol 42 orang dengan kusta cacat
tingkat I dan cacat tingkat 0. Sampel dipilih yang sepadan antara kelompok
kasus dan kelompok kontrol. Didapatkan pengetahuan (p = 0,000 OR 13,6 95% CI
3,836-48,211) dan diagnosa (p=0,000 OR 36,0�
95% CI 4,386-295,517) mempunyai hubungan yang bermakna dengan cacat
tingkat II pada penderita kusta. Sedangkan umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, tipe kusta dan reaksi kusta tidak mempunyai hubungan yang bermakna.
Upaya peningkatan pengetahuan masyarakat, keterampilan petugas kesehatan dalam
mendiagnosa kusta secara dini, peningkatan penemuan aktif serta pemeriksaan
kontak sebaiknya ditingkatkan sehingga keterlambatan diagnosa kusta dapat
dicegah.
Kata Kunci : Kusta,
Cacat Kusta, dan Cacat Tingkat II.
Pendahuluan
Penyakit
kusta merupakan penyakit yang unik, hal ini disebabkan karena kusta dapat
mengalami suatu periode yang dinamakan dengan reaksi dan dapat juga menimbulkan kecacatan yang permanen.
Kecacatan yang permanen dapat terjadi apabila penderita kusta ditemukan sudah
dalam keadaan cacat tingkat II. Tetapi apabila kusta ditemukan secara dini maka
risiko kecacatan yang permanen dapat dihindari. Angka Cacat tingkat II tersebut
sangat tinggi dibandingkan dengan target nasional yaitu kurang dari 5%.
Jumlah
kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075 orang.
Indonesia merupakan negara ketiga dari 10 negara penyumbang kasus kusta
terbanyak di dunia dengan jumlah penderita kusta baru sebanyak 20.023 orang.
Sedangkan Jawa Barat menduduki peringkat ketiga di Indonesia dengan jumlah
kasus baru sebanyak 2.185 orang pada tahun 2011. Berdasarkan data
dari dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan diketahui bahwa cacat tingkat II di
Kabupaten Kuningan sangat tinggi yaitu sebesar 27% pada tahun 2011, 23% pada
tahun 2012 dan 24% pada tahun 2013.
Menurut Nugroho Susanto (2006) menyatakan bahwa� faktor yang terdapat hubungan bermakna dengan
kecacatan pada kusta yaitu umur, pendidikan, tipe kusta, reaksi, pengetahuan,
ketaatan berobat, diagnosis dan perawatan diri. Sedangkan antara jenis kelamin,
lama sakit dan lama bekerja tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan
tingkat cacat pada penderita kusta. Cacat tingkat II tersebut disebabkan oleh
faktor upaya pencegahan, faktor penyakit dan karakteristik penderita kusta. Cacat
tingkat II yang tinggi di Kabupaten Kuningan menjadi masalah yang sangat
komplek. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan cacat tingkat
II pada penderita kusta di Kabupaten Kuningan Tahun 2014.
Metode
Penelitian
Jenis
penelitian menggunakan analisa kuantitif dengan rancangan penelitian� kasus kontrol (case control study) yang bersifat restropektif observasional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
penderita kusta baru yang tercatat dan diobati oleh Puskesmas dengan
obat kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) yang ditemukan tahun 2013 yaitu
sebanyak 87 penderita. Populasi menggunakan penderita baru karena penetapan
indikator nasional untuk cacat tingkat II kusta yaitu pada kasus baru. Dan
laporan pelaksanaan Semi Actif Survelans
(SAS) di Kabupaten Kuningan, tidak terjadi penambahan angka kecacatan selama
pengobatan dan setelah selesai pengobatan. �Kasus dalam penelitian ini yaitu semua
penderita kusta baru dengan cacat tingkat II yang ditemukan dan diobati dengan MDT sebanyak 21 kasus dan kontrol dalam
penelitian ini yaitu penderita kusta baru yang tidak cacat dan atau dengan
cacat tingkat I yang di temukan dan diobati dengan MDT �dengan perbandingan 1:2
yaitu sebanyak 42 kasus. Kontrol dipilih yang sepadan dengan kasus terutama
berdasarkan� letak domisili kontrol dan
kasus.
Metode
pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan telaah dokumen. Analisa
univariat dalam penelitian ini berupa gambaran distribusi frekuensi cacat
tingkat II pada responden, kemudian distribusi frekuensi umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, diagnosa, tipe kusta dan reaksi kusta pada
responden yang diteliti. Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan
antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Pada desain kasus kontrol, dapat menghitung besarnya risiko
terjadinya cacat tingkat II pada kasus dan kontrol dengan menggunakan Odds Ratio (OR). Etika
penelitian disusun berdasarkan pedoman etik penelitian kesehatan menurut Rasad
(2003) dalam Komite Nasional Etik Penelitian Kesehatan.
Hasil dan Pembahsan�
Tabel 1 |
Distribusi
Frekuensi Faktor Upaya Pencegahan, Faktor Penyakit, dan Faktor Individu. |
Variabel |
Kelompok |
Jumlah |
|||||
Kasus |
Kontrol |
||||||
n |
% |
n |
% |
n |
% |
||
1.
Umur � ≥
15 tahun |
21 |
100 |
41 |
97.6 |
62 |
98.4 |
|
�
0 � 14 tahun |
0 |
0 |
1 |
2.4 |
1 |
1.6 |
|
2.
Jenis
kelamin �
Laki-laki |
13 |
61.9 |
25 |
59.5 |
38 |
60.3 |
|
�
Perempuan |
8 |
38.1 |
17 |
40.5 |
25 |
39.7 |
|
3.
Pendidikan �
Rendah |
21 |
100 |
37 |
88.1 |
58 |
92.1 |
|
�
Tinggi |
0 |
0 |
5 |
11.9 |
5 |
7.5 |
|
4.
Pekerjaan �
Berat |
16 |
76.2 |
26 |
61.9 |
42 |
66.7 |
|
�
Ringan |
5 |
23.8 |
16 |
38.1 |
21 |
33.3 |
|
5.
Pengetahuan �
Kurang |
16 |
76.2 |
8 |
19.0 |
24 |
38.1 |
|
�
Baik |
5 |
23.8 |
34 |
81.0 |
39 |
61.9 |
|
6.
Tipe
kusta �
Tipe MB |
16 |
76.2 |
29 |
69.0 |
45 |
71.4 |
|
�
Tipe PB |
5 |
23.8 |
13 |
31.0 |
18 |
28.6 |
|
7.
Reaksi
kusta �
Pernah |
6 |
28.6 |
10 |
23.8 |
16 |
25.4 |
|
�
Tidak pernah |
15 |
71.4 |
32 |
76.2 |
47 |
74.6 |
|
8.
Diagnosa �
Terlambat |
20 |
95.2 |
15 |
35.7 |
35 |
55.6 |
|
�
Tidak terlambat |
1 |
4.8 |
27 |
64.3 |
28 |
44.4 |
|
Secara jelas ditunjukkan pada tabel 1. bahwa kelompok� kasus semuanya berumur 15 tahun ke atas yaitu
sebanyak 21 orang, sedangkan kelompok kontrol 41 orang (97.6%)� berumur 15 tahun ke atas dan hanya 1 (satu)
orang (2.4%) yang berumur 0-14 tahun. Kelompok kasus sebagian besar berjenis
kelamin laki-laki (61.9%), begitu juga pada kelompok kontrol lebih dari setengahnya
berjenis kelamin laki-laki (59.5%). Kelompok kasus semuanya mempunyai kategori
pendidikan rendah (100%) dan kelompok kontrol 88.1% mempunyai pendidikan
rendah. Kelompok kasus sebagian besar mempunyai pekerjaan kategori berat
(76.2%), begitu juga dengan kelompok kontrol lebih dari setengahnya (61.9%).
Kelompok kasus sebagian besar mempunyai pengetahuan kurang (76.2%), sedangkan
kelompok kontrol sebagian besar�
mempunyai pengetahuan baik (81.0%).
Kelompok
kasus sebagian besar (76.2%) tipe MB sedangkan tipe PB 23.8%. Pada kelompok
kontrol, lebih dari setengahnya tipe MB (69.0%) dan 31.0% tipe PB. Sebagian
besar kasus tidak pernah reaksi (71.4%) dan kelompok kontrol sebagian besar
(76.2%) tidak pernah mengalami reaksi. Pada kelompok kasus hampir seluruhnya
(95.2%) mengalami keterlambatan diagnosa. Sedangkan pada kelompok kontrol lebih
dari setengah (64.3%) tidak terlambat dalam penegakan diagnosa.
Tabel
2 |
Hubungan
Antara Karakteristik Penderita Kusta Dengan Cacat Tingkat II Pada Penderita
Kusta. |
Variabel |
Kelompok |
Jumlah |
P |
OR |
95% CI |
|||||
Kasus |
Kontrol |
Batas Bawah |
Batas Atas |
|||||||
n |
% |
n |
% |
N |
% |
|||||
1.
Umur � ≥15
tahun |
21 |
100 |
41 |
97.6 |
62 |
98.4 |
0.667 |
|
|
|
� 0�14
tahun |
0 |
0 |
1 |
2.4 |
1 |
1.6 |
||||
2.
Jenis kelamin � Laki-laki |
13 |
61.9 |
25 |
59.5 |
38 |
60.3 |
0.539 0.121 |
1.105 |
0.377 |
3.237 |
� Perempuan 3.
Pendidikan � Rendah � Tinggi 4.
Pekerjaan |
8 21 �0 |
38.1 100 0 |
17 37 5 |
40.5 88.1 11.9 |
25 58 5 |
39.7 92.1 7.9 |
||||
� Berat |
16 |
76.2 |
26 |
61.9 |
42 |
66.7 |
|
|
|
|
� Ringan |
5 |
23.8 |
16 |
38.1 |
21 |
33.3 |
0.199 |
1.969 |
0.604 |
6.419 |
5.
Pengetahuan � Kurang |
16 |
6.2 |
8 |
19.0 |
24 |
38.1 |
|
|
|
|
� Baik |
5 |
23.8 |
34 |
81.0 |
39 |
61.9 |
0.0001 |
13.6 |
3.836 |
48.211 |
6.
Tipe kusta � Tipe MB |
16 |
76.2 |
29 |
69.0 |
45 |
71.4 |
|
|
|
|
� Tipe PB |
5 |
23.8 |
13 |
31.0 |
18 |
28.6 |
0.389 |
1.434 |
0.433 |
4.755 |
7.
Reaksi kusta � Pernah |
6 |
28.6 |
10 |
23.8 |
16 |
25.4 |
|
|
|
|
� Tidak
pernah |
15 |
71.4 |
32 |
76.2 |
47 |
74.6 |
0.453 |
1.280 |
0.391 |
4.180 |
8.
Diagnosa � Terlambat |
20 |
95.2 |
15 |
35.7 |
35 |
55.6 |
|
|
|
|
� Tidak
terlambat |
1 |
4.8 |
27 |
64.3 |
28 |
44.4 |
0.000 |
36.0 |
4.386 |
295.517 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Secara
jelas ditunjukkan pada tabel 2 diketahui
variabel yang mempunyai hubungan dengan cacat tingkat II pada penderita kusta
yaitu pengetahuan dengan p value sebesar 0,0001 dan diagnosa dengan p value
sebesar 0,000 (P <0,05), sedangkan untuk variabel umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, tipe kusta, dan reaksi kusta tidak mempunyai hubungan
yang bermakna dengan cacat tingkat II dimana (P>0,05).
Nilai OR untuk jenis kelamin 1.105, CI 95%
(0.377-3.237), pekerjaan OR 1,969, CI 95% (0.604-6.419), tipe kusta OR 1.434,
CI 95% (0.433-4.755), dan reaksi kusta OR 1.280, CI 95% (0.391-4.180), nilai CI
melewati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin, pekerjaan, tipe
kusta, dan reaksi kusta tdak sebagai faktor risiko. Sedangkan untuk pengetahuan
mempunyai OR 13.6, CI 95% (3.836-48.211), maka pengetahuan rendah mempunyai
risiko lebih besar yaitu sebesar 13.6 kali untuk terjadinya cacat tingkat II
dibandingkan dengan pengetahuan tinggi pada penderita kusta dan variabel
diagnosa mempunyai OR 36.0 CI 95% (4.386-295.517), maka keterlambatan diagnosa
mempunyai risiko untuk terjadinya cacat tingkat II lebih besar yaitu sebesar
36.0 kali dibandingkan dengan penderita kusta yang tidak terlambat didiagnosa.
Pembahasan
Kusta mempunyai masa laten yang panjang, sehingga
prevalensi pada usia muda sangat sedikit dan mempunyai masa inkubasi lama yaitu
2-5 tahun� sejak terjadi infeksi melalui
kontak erat yang lama, menyebabkan penemuan kusta cenderung ditemukan pada usia
dewasa. Hasil penelitian
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur penderita dengan cacat
tingkat II pada penderita kusta, disebabkan oleh sampel
yang tidak bervariasi dalam umur. Cacat kusta sering ditemukan pada penderita
dengan golongan umur 20-50 tahun, akan tetapi cacat dapat ditemukan disegala
usia. Struktur usia merupakan aspek demografis yang sangat penting
untuk diamati, karena dapat mencerminkan beberapa nilai seperti pengalaman,
pengetahuan, kematangan berfikir dan kemampuan akan beberapa nilai tertentu.
Jenis kelamin tidak ada hubungan
yang bermakna dengan cacat tingkat II pada penderita kusta, sampel
jenis kelamin laki-laki mendominasi baik dari kelompok kasus maupun kelompok
kontrol. Hal ini disebabkan karena�
proporsi� kusta� pada�
jenis� kelamin� laki-laki lebih besar dibanding
proporsi kusta pada jenis kelamin perempuan. Sejalan dengan penelitian sebelumnya tidak
cukup bukti untuk menyatakan adanya hubungan yang bermakna antara besarnya
kecacatan pada penderita laki-laki dan penderita perempuan. Tingginya proporsi kusta pada jenis kelamin
laki-laki dibanding jenis kelamin perempuan dimungkinkan karena akses perempuan
ke puskesmas juga rendah. Hal ini dapat dilihat dari proporsi perempuan dalam
penyakit lain misalnya TB, dimana proporsi TB pada laki-laki tinggi dibanding
dengan perempuan.
Rendahnya
pendidikan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kecacatan pada penderita
kusta, walau efek tersebut masih belum dimengerti secara jelas. Pendidikan
yang rendah pada penderita kusta sangat berdampak pada pekerjaan dan
kesejahteraan. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan
dengan cacat tingkat II pada penderita kusta pada penelitian ini, karena
pendidikan responden pada umumnya rendah baik pada kelompok kasus maupun
kelompok kontrol. Proporsi yang
tinggi pada penderita kusta dengan pendidikan rendah mengakibatkan gaya hidup
sehat juga rendah. Hal ini mengakibatkan daya tahan tubuh (imunitas) rendah sehingga kuman kusta mudah berkembang biak dalam
tubuh dengan imunitas rendah. Hasil
penelitian menunjukkan pekerjaan tidak terdapat hubungan dengan cacat tingkat
II dimungkinkan karena sampel yang kurang bervariasi dan umumnya sampel
mempunyai pekerjaan dengan kategori berat secara fisik sebagai petani dan buruh
tani. Hal ini disebabkan karena sebagian besar wilayah Kabupaten Kuningan
merupakan daerah pertanian. Penderita kusta yang pada umumnya mempunyai sosial
ekonomi rendah. Cacat lebih sering ditemukan pada penderita yang mempunyai
pekerjaan kasar, hal ini diakibatkan seringnya mereka terpapar dengan resiko
trauma dan infeksi.
Pengetahuan
tentang kusta sangat penting dalam upaya deteksi dini kusta sebelum terjadi
kecacatan. Pengetahuan masyarakat yang baik tentang gejala dini kusta dapat
mengurangi Public Delay dalam
penanganan kusta secara dini sebelum terjadi kecacatan. Kecacatan
atau bertambahnya cacat dapat terjadi selama dan setelah selesai pengobatan,
hal ini dikarenakan pengetahuan penderita tentang pencegahan cacat dan
perawatan diri sangat kurang. Hasil penelitian ini terdapat hubungan yang
bermakna antara pengetahuan dengan cacat tingkat II dan OR 13,6 menunjukkan
bahwa pengetahuan yang kurang pada penderita kusta akan berisiko terjadinya
cacat sebesar 13,6 kali dibandingkan dengan penderita yang mempunyai
pengetahuan baik. Kecacatan
pada tipe lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberculoid. Peneliti lain
juga mendapat angka� yang lebih tinggi
pada MB yaitu 81,2% dibanding PB. �Tidak
ada hubungan yang bermakna antara tipe kusta dengan cacat tingkat II p pada
penelitian ini. �Proporsi MB yang tinggi ini menyebabkan
responden mendominasi baik di kelompok kasus maupun di kelompok control, tipe MB maupun PB mengalami
keterlambatan yang sama dalam penegakan diagnosa, selain itu penatalaksanaan
dalam kasus tidak optimal, misalnya dalam pemeriksaan fungsi syaraf (PFS) yang
tidak rutin dilaksanakan baik di tipe PB maupun MB. Keterlambatan diagnosa dan
tidak rutinnya PFS mengakibatkan risiko kecacatan pada semua tipe kusta yang sama.
Reaksi
merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan akut fungsi saraf,� kerusakan fungsi saraf yang progresif dapat
menimbulkan kecacatan yang lebih parah. Penanganan reaksi dini dan tepat
merupakan salah satu upaya� pencegahan
cacat primer. Menurut Joko Kurnianto, ada hubungan antara riwayat
reaksi dengan status kecacatan, dimana kecacatan pada penderita yang pernah
mengalami reaksi. Tidak�
ada� hubungan� yang bermakna antara riwayat reaksi dengan
cacat tingkat II pada penelitian ini dimungkinkan karena reaksi kusta di Kabupaten
Kuningan under reporting (tidak
terlaporkan), sehingga kejadian reaksi yang terlaporkan hanya
sedikit. Selain hal tersebut
dimungkinkan juga karena data tentang reaksi sebelum pengobatan tidak lengkap
dan terjadi recall bias pada saat
wawancara karena responden tidak ingat atau tidak paham mengenai reaksi. Terdapat hubungan yang bermakna antara
diagnosa dengan kejadian cacat tingkat II pada penderita kusta dengan OR 36,0
mempunyai arti bahwa diagnosa yang terlambat akan mempunyai risiko terjadinya
cacat tingkat II sebesar 36 kali dibanding dengan diagnosa yang tidak
terlambat. Penelitian Muhammad mendapatkan bahwa lama menderita gejala sebelum
diagnosa mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian cacat tingkat II
dengan OR: 94,7. Diagnosa yang terlambat sangat berpengaruh terhadap
kecacatan, hal ini dapat dilihat dari angka cacat tingkat II di Kabupaten Kuningan
yang tinggi yaitu sebesar 24%. Keterlambatan ini terjadi karena beberapa faktor, baik
yang bersifat public delay atau provider delay. Keterlambatan karena
faktor masyarakat disebabkan salah satunya oleh pengetahuan masyarakat tentang
kusta yang masih kurang. Serta karena faktor pelaksana pelayanan kesehatan (provider delay) kemungkinan disebabkan
karena kurangnya keterampilan petugas kesehatan dalam deteksi dini kusta.
����������������
Kesimpulan
Kesimpulan
pada penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna
antara umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tipe kusta dan reaksi kusta dengan
cacat tingkat II pada penderita kusta dan ada hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dan diagnosa dengan cacat tingkat II pada penderita kusta di
Kabupaten Kuningan tahun 2014. Pada penelitian ini pengetahuan penderita dan
diagnosa merupakan faktor risiko untuk terjadinya cacat tingkat II. Bagi
penderita kusta dan masyarakat sebaiknya mengenali gejala dini kusta berupa
bercak di kulit yang tidak berasa dan segera memeriksakan diri ke puskesmas
bila menemukan gejala dini tersebut. Petugas puskesmas agar meningkatkan
penyuluhan kepada masyarakat tentang gejala dini kusta dan menghilangkan stigma terhadap
penderita kusta di masyarakat. Petugas puskesmas agar meningkatkan
penemuan kusta secara aktif, supaya diagnosa kusta tidak terlambat ditegakan.
BIBLIOGRAFI
Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Barat. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013: Bandung;
2013.
Dinas Kesehatan
Kabupaten Kuningan. Profil Kesehatan Kabupaten Kuningan tahun 2012: Kuningan;
2013.
Dinas Kesehatan
Kabupaten Kuningan, Laporan Pelaksanaan Pilot
Project SAS di Kabupaten Kuningan Tahun 2013, Kuningan; 2013.
Emil Huriani, Etika Penelitian Kesehatan
dan Keperawatan (diunduh tanggal 25 Januari 2014) tersedia dari http://fkep.unand.ac.id,
Hasnani. 2002.
Tesis. Kejadian Cacat Tk.II pada penderita kusta dan yang Mempengaruhi di
Provinci Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2002. FKM-UI. Depok.
Joko Kurnianto.
2002. Tesis. Faktor-faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kecacatan Penderita
Kusta di Kabupaten Tegal. Universitas Dipenogoro: Semarang.
Kementrian
Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta: Jakarta:
Dirjen PL & PP; 2012.
Muhamad Amri
Rambey. 2012. Tesis, Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Cacat Tk II Pada
Penderita Kusta di Kab. Lamongan Tahun 2011-2012, FKM-UI. Depok.
Mumu Hermawan. 2008.
Skripsi. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan keteraturan berobat penderita kusta di Kabupaten
Majalengka tahun 2008. Cirebon.
Pusat Latihan
Kusta Nasional, Modul 4 Kecacatan, Pencegahan dan Perawatan Diri, PLKN,
Makasar; 2010.
Nugroho Susanto.
2006. Tesis. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Cacat Penderita
Kusta (Kajian di Kabupaten Sukoharjo), Sekolah Pasca Sarjana UGM: Yogyakarta.
Seksi P2P Dinas
Kesehatan Kabupaten Kuningan, Laporan Tahunan P2P, Kuningan; 2014
Seksi P2P Dinas
Kesehatan Kabupaten Kuningan. Laporan Hasil Supervisi P2Kusta Semester II Tahun
2013. Kuningan. 2013.
Smith WC, The Epidemiologi
of Disability in Leprosy Including Risk Factor. Lep Review 63 : 23-30. 1992