����� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849

������ e-ISSN : 2548-1398

������ Vol. 3, No. 7 Juli 2018

 

 


APAKAH UPAYA PENCEGAHAN, FAKTOR PENYAKIT DAN FAKTOR INDIVIDU MEMPUNYAI DAMPAK TERHADAP CACAT TINGKAT II KUSTA

 

Cucu Herawati dan Sudrajat

Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKes Cirebon

Email: [email protected]

Abstrak

Kusta menimbulkan masalah yang sangat kompleks, bukan hanya dari segi medis, namum sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta merupakan penyakit yang unik, hal ini disebabkan karena kusta dapat mengalami suatu periode yang dinamakan dengan reaksi dan dapat juga menimbulkan kecacatan yang permanen.1 Angka cacat tingkat II penderita kusta baru di Kabupaten Kuningan adalah 24%, angka tersebut jauh di atas target nasional yaitu di bawah 5%.3 Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan cacat tingkat II pada penderita kusta. Rancangan penelitian ini Case control. Populasi penelitian yaitu seluruh penderita baru kusta tahun 2013 sebanyak 87 orang. Jumlah sampel sebanyak 62 orang terdiri dari kelompok kasus 21 orang dengan kusta cacat tingkat II dan kelompok kontrol 42 orang dengan kusta cacat tingkat I dan cacat tingkat 0. Sampel dipilih yang sepadan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Didapatkan pengetahuan (p = 0,000 OR 13,6 95% CI 3,836-48,211) dan diagnosa (p=0,000 OR 36,095% CI 4,386-295,517) mempunyai hubungan yang bermakna dengan cacat tingkat II pada penderita kusta. Sedangkan umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tipe kusta dan reaksi kusta tidak mempunyai hubungan yang bermakna. Upaya peningkatan pengetahuan masyarakat, keterampilan petugas kesehatan dalam mendiagnosa kusta secara dini, peningkatan penemuan aktif serta pemeriksaan kontak sebaiknya ditingkatkan sehingga keterlambatan diagnosa kusta dapat dicegah.

 

Kata Kunci : Kusta, Cacat Kusta, dan Cacat Tingkat II.

 

Pendahuluan

Penyakit kusta merupakan penyakit yang unik, hal ini disebabkan karena kusta dapat mengalami suatu periode yang dinamakan dengan reaksi dan dapat juga menimbulkan kecacatan yang permanen. Kecacatan yang permanen dapat terjadi apabila penderita kusta ditemukan sudah dalam keadaan cacat tingkat II. Tetapi apabila kusta ditemukan secara dini maka risiko kecacatan yang permanen dapat dihindari. Angka Cacat tingkat II tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan target nasional yaitu kurang dari 5%.

Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075 orang. Indonesia merupakan negara ketiga dari 10 negara penyumbang kasus kusta terbanyak di dunia dengan jumlah penderita kusta baru sebanyak 20.023 orang. Sedangkan Jawa Barat menduduki peringkat ketiga di Indonesia dengan jumlah kasus baru sebanyak 2.185 orang pada tahun 2011. Berdasarkan data dari dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan diketahui bahwa cacat tingkat II di Kabupaten Kuningan sangat tinggi yaitu sebesar 27% pada tahun 2011, 23% pada tahun 2012 dan 24% pada tahun 2013.

Menurut Nugroho Susanto (2006) menyatakan bahwafaktor yang terdapat hubungan bermakna dengan kecacatan pada kusta yaitu umur, pendidikan, tipe kusta, reaksi, pengetahuan, ketaatan berobat, diagnosis dan perawatan diri. Sedangkan antara jenis kelamin, lama sakit dan lama bekerja tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan tingkat cacat pada penderita kusta. Cacat tingkat II tersebut disebabkan oleh faktor upaya pencegahan, faktor penyakit dan karakteristik penderita kusta. Cacat tingkat II yang tinggi di Kabupaten Kuningan menjadi masalah yang sangat komplek. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan cacat tingkat II pada penderita kusta di Kabupaten Kuningan Tahun 2014.

Metode Penelitian

Jenis penelitian menggunakan analisa kuantitif dengan rancangan penelitiankasus kontrol (case control study) yang bersifat restropektif observasional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta baru yang tercatat dan diobati oleh Puskesmas dengan obat kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) yang ditemukan tahun 2013 yaitu sebanyak 87 penderita. Populasi menggunakan penderita baru karena penetapan indikator nasional untuk cacat tingkat II kusta yaitu pada kasus baru. Dan laporan pelaksanaan Semi Actif Survelans (SAS) di Kabupaten Kuningan, tidak terjadi penambahan angka kecacatan selama pengobatan dan setelah selesai pengobatan. Kasus dalam penelitian ini yaitu semua penderita kusta baru dengan cacat tingkat II yang ditemukan dan diobati dengan MDT sebanyak 21 kasus dan kontrol dalam penelitian ini yaitu penderita kusta baru yang tidak cacat dan atau dengan cacat tingkat I yang di temukan dan diobati dengan MDT dengan perbandingan 1:2 yaitu sebanyak 42 kasus. Kontrol dipilih yang sepadan dengan kasus terutama berdasarkanletak domisili kontrol dan kasus.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan telaah dokumen. Analisa univariat dalam penelitian ini berupa gambaran distribusi frekuensi cacat tingkat II pada responden, kemudian distribusi frekuensi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, diagnosa, tipe kusta dan reaksi kusta pada responden yang diteliti. Analisa bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Pada desain kasus kontrol, dapat menghitung besarnya risiko terjadinya cacat tingkat II pada kasus dan kontrol dengan menggunakan Odds Ratio (OR). Etika penelitian disusun berdasarkan pedoman etik penelitian kesehatan menurut Rasad (2003) dalam Komite Nasional Etik Penelitian Kesehatan.

Hasil dan Pembahsan

Tabel 1

Distribusi Frekuensi Faktor Upaya Pencegahan, Faktor Penyakit, dan Faktor Individu.

 

Variabel

Kelompok

Jumlah

Kasus

Kontrol

n

%

n

%

n

%

1.       Umur

  ≥ 15 tahun

 

21

 

100

 

41

 

97.6

 

62

 

98.4

  0 � 14 tahun

0

0

1

2.4

1

1.6

2.       Jenis kelamin

  Laki-laki

 

13

 

61.9

 

25

 

59.5

 

38

 

60.3

  Perempuan

8

38.1

17

40.5

25

39.7

3.       Pendidikan

  Rendah

 

21

 

100

 

37

 

88.1

 

58

 

92.1

  Tinggi

0

0

5

11.9

5

7.5

4.       Pekerjaan

  Berat

 

16

 

76.2

 

26

 

61.9

 

42

 

66.7

  Ringan

5

23.8

16

38.1

21

33.3

5.       Pengetahuan

  Kurang

 

16

 

76.2

 

8

 

19.0

 

24

 

38.1

  Baik

5

23.8

34

81.0

39

61.9

6.       Tipe kusta

  Tipe MB

 

16

 

76.2

 

29

 

69.0

 

45

 

71.4

  Tipe PB

5

23.8

13

31.0

18

28.6

7.       Reaksi kusta

  Pernah

 

6

 

28.6

 

10

 

23.8

 

16

 

25.4

  Tidak pernah

15

71.4

32

76.2

47

74.6

8.       Diagnosa

  Terlambat

 

20

 

95.2

 

15

 

35.7

 

35

 

55.6

  Tidak terlambat

1

4.8

27

64.3

28

44.4

 

Secara jelas ditunjukkan pada tabel 1. bahwa kelompokkasus semuanya berumur 15 tahun ke atas yaitu sebanyak 21 orang, sedangkan kelompok kontrol 41 orang (97.6%)berumur 15 tahun ke atas dan hanya 1 (satu) orang (2.4%) yang berumur 0-14 tahun. Kelompok kasus sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (61.9%), begitu juga pada kelompok kontrol lebih dari setengahnya berjenis kelamin laki-laki (59.5%). Kelompok kasus semuanya mempunyai kategori pendidikan rendah (100%) dan kelompok kontrol 88.1% mempunyai pendidikan rendah. Kelompok kasus sebagian besar mempunyai pekerjaan kategori berat (76.2%), begitu juga dengan kelompok kontrol lebih dari setengahnya (61.9%). Kelompok kasus sebagian besar mempunyai pengetahuan kurang (76.2%), sedangkan kelompok kontrol sebagian besarmempunyai pengetahuan baik (81.0%).

Kelompok kasus sebagian besar (76.2%) tipe MB sedangkan tipe PB 23.8%. Pada kelompok kontrol, lebih dari setengahnya tipe MB (69.0%) dan 31.0% tipe PB. Sebagian besar kasus tidak pernah reaksi (71.4%) dan kelompok kontrol sebagian besar (76.2%) tidak pernah mengalami reaksi. Pada kelompok kasus hampir seluruhnya (95.2%) mengalami keterlambatan diagnosa. Sedangkan pada kelompok kontrol lebih dari setengah (64.3%) tidak terlambat dalam penegakan diagnosa.

 

Tabel 2

Hubungan Antara Karakteristik Penderita Kusta Dengan Cacat Tingkat II Pada Penderita Kusta.

 

Variabel

Kelompok

Jumlah

P

OR

95% CI

Kasus

Kontrol

Batas Bawah

Batas Atas

n

%

n

%

N

%

1.       Umur

  ≥15 tahun

 

21

 

100

 

41

 

97.6

 

62

 

98.4

0.667

 

 

 

  0�14 tahun

0

0

1

2.4

1

1.6

2.       Jenis kelamin

  Laki-laki

 

13

 

61.9

 

25

 

59.5

 

38

 

60.3

 

0.539

 

 

 

0.121

 

1.105

 

0.377

 

3.237

 

 

 

 

  Perempuan

3.       Pendidikan

  Rendah

  Tinggi

4.       Pekerjaan

8

 

21

0

38.1

 

100

0

17

 

37

5

40.5

 

88.1

11.9

25

 

58

5

39.7

 

92.1

7.9

  Berat

16

76.2

26

61.9

42

66.7

 

 

 

 

  Ringan

5

23.8

16

38.1

21

33.3

0.199

1.969

0.604

6.419

5.       Pengetahuan

  Kurang

 

16

 

6.2

 

8

 

19.0

 

24

 

38.1

 

 

 

 

  Baik

5

23.8

34

81.0

39

61.9

0.0001

13.6

3.836

48.211

6.       Tipe kusta

  Tipe MB

 

16

 

76.2

 

29

 

69.0

 

45

 

71.4

 

 

 

 

  Tipe PB

5

23.8

13

31.0

18

28.6

0.389

1.434

0.433

4.755

7.       Reaksi kusta

  Pernah

 

6

 

28.6

 

10

 

23.8

 

16

 

25.4

 

 

 

 

  Tidak pernah

15

71.4

32

76.2

47

74.6

0.453

1.280

0.391

4.180

8.       Diagnosa

  Terlambat

 

 

20

 

 

95.2

 

 

15

 

 

35.7

 

 

35

 

 

55.6

 

 

 

 

  Tidak terlambat

1

4.8

27

64.3

28

44.4

0.000

36.0

4.386

295.517

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Secara jelas ditunjukkan pada tabel 2 diketahui variabel yang mempunyai hubungan dengan cacat tingkat II pada penderita kusta yaitu pengetahuan dengan p value sebesar 0,0001 dan diagnosa dengan p value sebesar 0,000 (P <0,05), sedangkan untuk variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tipe kusta, dan reaksi kusta tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan cacat tingkat II dimana (P>0,05).

Nilai OR untuk jenis kelamin 1.105, CI 95% (0.377-3.237), pekerjaan OR 1,969, CI 95% (0.604-6.419), tipe kusta OR 1.434, CI 95% (0.433-4.755), dan reaksi kusta OR 1.280, CI 95% (0.391-4.180), nilai CI melewati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin, pekerjaan, tipe kusta, dan reaksi kusta tdak sebagai faktor risiko. Sedangkan untuk pengetahuan mempunyai OR 13.6, CI 95% (3.836-48.211), maka pengetahuan rendah mempunyai risiko lebih besar yaitu sebesar 13.6 kali untuk terjadinya cacat tingkat II dibandingkan dengan pengetahuan tinggi pada penderita kusta dan variabel diagnosa mempunyai OR 36.0 CI 95% (4.386-295.517), maka keterlambatan diagnosa mempunyai risiko untuk terjadinya cacat tingkat II lebih besar yaitu sebesar 36.0 kali dibandingkan dengan penderita kusta yang tidak terlambat didiagnosa.

Pembahasan

Kusta mempunyai masa laten yang panjang, sehingga prevalensi pada usia muda sangat sedikit dan mempunyai masa inkubasi lama yaitu 2-5 tahunsejak terjadi infeksi melalui kontak erat yang lama, menyebabkan penemuan kusta cenderung ditemukan pada usia dewasa. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur penderita dengan cacat tingkat II pada penderita kusta, disebabkan oleh sampel yang tidak bervariasi dalam umur. Cacat kusta sering ditemukan pada penderita dengan golongan umur 20-50 tahun, akan tetapi cacat dapat ditemukan disegala usia. Struktur usia merupakan aspek demografis yang sangat penting untuk diamati, karena dapat mencerminkan beberapa nilai seperti pengalaman, pengetahuan, kematangan berfikir dan kemampuan akan beberapa nilai tertentu. Jenis kelamin tidak ada hubungan yang bermakna dengan cacat tingkat II pada penderita kusta, sampel jenis kelamin laki-laki mendominasi baik dari kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karenaproporsikustapadajeniskelaminlaki-laki lebih besar dibanding proporsi kusta pada jenis kelamin perempuan. Sejalan dengan penelitian sebelumnya tidak cukup bukti untuk menyatakan adanya hubungan yang bermakna antara besarnya kecacatan pada penderita laki-laki dan penderita perempuan. Tingginya proporsi kusta pada jenis kelamin laki-laki dibanding jenis kelamin perempuan dimungkinkan karena akses perempuan ke puskesmas juga rendah. Hal ini dapat dilihat dari proporsi perempuan dalam penyakit lain misalnya TB, dimana proporsi TB pada laki-laki tinggi dibanding dengan perempuan.

Rendahnya pendidikan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kecacatan pada penderita kusta, walau efek tersebut masih belum dimengerti secara jelas. Pendidikan yang rendah pada penderita kusta sangat berdampak pada pekerjaan dan kesejahteraan. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan cacat tingkat II pada penderita kusta pada penelitian ini, karena pendidikan responden pada umumnya rendah baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol. Proporsi yang tinggi pada penderita kusta dengan pendidikan rendah mengakibatkan gaya hidup sehat juga rendah. Hal ini mengakibatkan daya tahan tubuh (imunitas) rendah sehingga kuman kusta mudah berkembang biak dalam tubuh dengan imunitas rendah. Hasil penelitian menunjukkan pekerjaan tidak terdapat hubungan dengan cacat tingkat II dimungkinkan karena sampel yang kurang bervariasi dan umumnya sampel mempunyai pekerjaan dengan kategori berat secara fisik sebagai petani dan buruh tani. Hal ini disebabkan karena sebagian besar wilayah Kabupaten Kuningan merupakan daerah pertanian. Penderita kusta yang pada umumnya mempunyai sosial ekonomi rendah. Cacat lebih sering ditemukan pada penderita yang mempunyai pekerjaan kasar, hal ini diakibatkan seringnya mereka terpapar dengan resiko trauma dan infeksi.

Pengetahuan tentang kusta sangat penting dalam upaya deteksi dini kusta sebelum terjadi kecacatan. Pengetahuan masyarakat yang baik tentang gejala dini kusta dapat mengurangi Public Delay dalam penanganan kusta secara dini sebelum terjadi kecacatan. Kecacatan atau bertambahnya cacat dapat terjadi selama dan setelah selesai pengobatan, hal ini dikarenakan pengetahuan penderita tentang pencegahan cacat dan perawatan diri sangat kurang. Hasil penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan cacat tingkat II dan OR 13,6 menunjukkan bahwa pengetahuan yang kurang pada penderita kusta akan berisiko terjadinya cacat sebesar 13,6 kali dibandingkan dengan penderita yang mempunyai pengetahuan baik. Kecacatan pada tipe lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberculoid. Peneliti lain juga mendapat angkayang lebih tinggi pada MB yaitu 81,2% dibanding PB. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tipe kusta dengan cacat tingkat II p pada penelitian ini. Proporsi MB yang tinggi ini menyebabkan responden mendominasi baik di kelompok kasus maupun di kelompok control, tipe MB maupun PB mengalami keterlambatan yang sama dalam penegakan diagnosa, selain itu penatalaksanaan dalam kasus tidak optimal, misalnya dalam pemeriksaan fungsi syaraf (PFS) yang tidak rutin dilaksanakan baik di tipe PB maupun MB. Keterlambatan diagnosa dan tidak rutinnya PFS mengakibatkan risiko kecacatan pada semua tipe kusta yang sama.

Reaksi merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan akut fungsi saraf,kerusakan fungsi saraf yang progresif dapat menimbulkan kecacatan yang lebih parah. Penanganan reaksi dini dan tepat merupakan salah satu upayapencegahan cacat primer. Menurut Joko Kurnianto, ada hubungan antara riwayat reaksi dengan status kecacatan, dimana kecacatan pada penderita yang pernah mengalami reaksi. Tidakadahubunganyang bermakna antara riwayat reaksi dengan cacat tingkat II pada penelitian ini dimungkinkan karena reaksi kusta di Kabupaten Kuningan under reporting (tidak terlaporkan), sehingga kejadian reaksi yang terlaporkan hanya sedikit. Selain hal tersebut dimungkinkan juga karena data tentang reaksi sebelum pengobatan tidak lengkap dan terjadi recall bias pada saat wawancara karena responden tidak ingat atau tidak paham mengenai reaksi. Terdapat hubungan yang bermakna antara diagnosa dengan kejadian cacat tingkat II pada penderita kusta dengan OR 36,0 mempunyai arti bahwa diagnosa yang terlambat akan mempunyai risiko terjadinya cacat tingkat II sebesar 36 kali dibanding dengan diagnosa yang tidak terlambat. Penelitian Muhammad mendapatkan bahwa lama menderita gejala sebelum diagnosa mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian cacat tingkat II dengan OR: 94,7. Diagnosa yang terlambat sangat berpengaruh terhadap kecacatan, hal ini dapat dilihat dari angka cacat tingkat II di Kabupaten Kuningan yang tinggi yaitu sebesar 24%. Keterlambatan ini terjadi karena beberapa faktor, baik yang bersifat public delay atau provider delay. Keterlambatan karena faktor masyarakat disebabkan salah satunya oleh pengetahuan masyarakat tentang kusta yang masih kurang. Serta karena faktor pelaksana pelayanan kesehatan (provider delay) kemungkinan disebabkan karena kurangnya keterampilan petugas kesehatan dalam deteksi dini kusta.

����������������

Kesimpulan

Kesimpulan pada penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tipe kusta dan reaksi kusta dengan cacat tingkat II pada penderita kusta dan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan diagnosa dengan cacat tingkat II pada penderita kusta di Kabupaten Kuningan tahun 2014. Pada penelitian ini pengetahuan penderita dan diagnosa merupakan faktor risiko untuk terjadinya cacat tingkat II. Bagi penderita kusta dan masyarakat sebaiknya mengenali gejala dini kusta berupa bercak di kulit yang tidak berasa dan segera memeriksakan diri ke puskesmas bila menemukan gejala dini tersebut. Petugas puskesmas agar meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang gejala dini kusta dan menghilangkan stigma terhadap penderita kusta di masyarakat. Petugas puskesmas agar meningkatkan penemuan kusta secara aktif, supaya diagnosa kusta tidak terlambat ditegakan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

 

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013: Bandung; 2013.

 

Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan. Profil Kesehatan Kabupaten Kuningan tahun 2012: Kuningan; 2013.

 

Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan, Laporan Pelaksanaan Pilot Project SAS di Kabupaten Kuningan Tahun 2013, Kuningan; 2013.

 

Emil Huriani, Etika Penelitian Kesehatan dan Keperawatan (diunduh tanggal 25 Januari 2014) tersedia dari http://fkep.unand.ac.id,

 

Hasnani. 2002. Tesis. Kejadian Cacat Tk.II pada penderita kusta dan yang Mempengaruhi di Provinci Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2002. FKM-UI. Depok.

 

Joko Kurnianto. 2002. Tesis. Faktor-faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kecacatan Penderita Kusta di Kabupaten Tegal. Universitas Dipenogoro: Semarang.

 

Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta: Jakarta: Dirjen PL & PP; 2012.

 

Muhamad Amri Rambey. 2012. Tesis, Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kejadian Cacat Tk II Pada Penderita Kusta di Kab. Lamongan Tahun 2011-2012, FKM-UI. Depok.

 

Mumu Hermawan. 2008. Skripsi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keteraturan berobat penderita kusta di Kabupaten Majalengka tahun 2008. Cirebon.

 

Pusat Latihan Kusta Nasional, Modul 4 Kecacatan, Pencegahan dan Perawatan Diri, PLKN, Makasar; 2010.

 

Nugroho Susanto. 2006. Tesis. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Cacat Penderita Kusta (Kajian di Kabupaten Sukoharjo), Sekolah Pasca Sarjana UGM: Yogyakarta.

 

Seksi P2P Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan, Laporan Tahunan P2P, Kuningan; 2014

 

Seksi P2P Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan. Laporan Hasil Supervisi P2Kusta Semester II Tahun 2013. Kuningan. 2013.

 

Smith WC, The Epidemiologi of Disability in Leprosy Including Risk Factor. Lep Review 63 : 23-30. 1992