Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 6, No. 9, September 2021
APLIKASI METODE APPRECIATION REFLECTION CREATION (ARC) DALAM PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK PENELITIAN PADA MATAKULIAH MASALAH KETENAGAKERJAAN
Oryza Pneumatica Inderasari, Ika Wijayanti, Maya Atri Komalasari, M. Arwan Rosyadi
Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB), Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Kajian ini dihasilkan dari serangkaian proses penelitian dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif pada unit analisis masyarakat di 3 (tiga) lokasi penelitian. Penelitian dilakukan oleh dosen pengajar Mata Kuliah Masalah Ketenagakerjaan Program Studi Sosiologi Universitas Mataram dengan melibatkan mahasiswa dalam proses pembelajaran berbasis proyek atau Project-Based Learning (PBL). Sebelum melaksanakan penelitian, mahasiswa dibekali dengan pengetahuan dasar berupa materi dari rancangan pembelajaran Mata Kuliah Masalah Ketenagakerjaan sebanyak 12 kali pertemuan. Sebelum melaksanakan evaluasi akhir semester, mahasiswa dilibatkan dalam aktivitas proyek penelitian pada pada pertemuan ke 13 sampai ke 16. Penelitian lapangan, penulisan laporan penelitian hingga seminar hasil penelitian. Secara khusus mahasiswa dibekali teknik Appreciation Reflection Creation (ARC) untuk memudahkan mereka melakukan kegiatan penelitian lapangan hingga melakukan penyusunan laporan penelitian. Hasil penelitian dari 6 kelompok yang tersebar pada 3 lokasi menunjukkan realitas yang dapat dibahas dalam tema-tema khusus pada mata kuliah masalah ketenagakerjaan, antara lain: eksploitasi pekerja di bawah umur, budaya dan organisasi kerja, modal sosial dalam kerja, sistem pengupahan dan hubungan kerja, serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. Tantangan pembelajaran ini efektif menumbuhkan rasa percaya diri, sikap positif dan ketrampilan sosial mahasiswa. Hasil penelitian mahasiswa kemudian dipublikasikan oleh dosen pengajar Mata Kuliah Masalah Ketenagakerjaan Program Studi Sosiologi Universitas Mataram.
Kata Kunci: praktikum sosial; masalah ketenagakerjaan, metode ARC
Abstract
This study resulted from a series of research processes using descriptive qualitative methods in community analysis units in 3 (three) research locations. The research was conducted by a lecturer in the Employment Problems Course of the Sociology Study Program at the University of Mataram by involving students in a project-based learning (PBL) process. Before carrying out research, students are provided with basic knowledge in the form of material from the learning design of the Employment Problems Course for 12 meetings. Before carrying out the end-of-semester evaluation, students are involved in research project activities at the 13th to 16th meetings. Field research, writing research reports to seminars on research results. In particular, students are equipped with the Appreciation Reflection Creation (ARC) technique to make it easier for them to carry out field research activities to prepare research reports. The results of the research from 6 groups spread over 3 locations show realities that can be discussed in special themes in the subject of employment issues, including: exploitation of underage workers, work culture and organization, social capital in work, wage systems and employment relations, as well as community participation in tourism management. This learning challenge is effective in growing students' self-confidence, positive attitude and social skills. The results of student research were then published by lecturers of the Manpower Problems Course of the Sociology Study Program, University of Mataram.
Keywords: Social practicum; employment issues; ARC methods
Received: 2021-08-20; Accepted: 2021-09-05; Published: 2021-09-20
Pendahuluan
Pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi sumber daya manusia yang siap menghadapi berbagai kompetisi dalam kehidupannya hingga mampu menghadapi dunia kerja dan menciptakan lapangan pekerjaan. Selain itu, pendidikan juga mengupayakan kehidupan manusia agar dapat menjadi lebih baik untuk keberlangsungan hidup masa depannya (Najib & Elhefni, 2016). Utamanya pendidikan tinggi, memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter, serta peradaban bangsa yang bermartabat sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa (Al-Kariimah & Rosiana, 2019). Harapan ditujukan pada Perguruan tinggi agar mampu mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, tanggap, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Sjukur, 2012).
Selama ini, umumnya pembelajaran di Perguruan Tinggi masih belum dapat lepas dari pembelajaran konvensional. Dalam hal ini pembelajaran konvensional ialah yang cenderung menempatkan dosen atau pengajar sebagai pusat dalam proses pembelajaran. Selain itu, dosen atau pengajarlah yang biasanya berperan lebih aktif dan sifatnya lebih memberi, sementara mahasiswa sebagai penerima atau pihak yang pasif. Pembelajaran di Perguruan Tinggi saat ini haruslah dapat mengarahkan mahasiswa agar dapat lebih berperan aktif. Mahasiswa tidak lagi hanya sebatas penerima materi dari dosen atau pengajar saja namun lebih dari itu mereka juga hendaknya memiliki peran aktif. (Hutahaean et al., 2021).
Pembelajaran pada kelas sosiologi umumnya masih terkendala dengan berbagai konsep yang abstrak. Konsep-konsep abstrak inilah yang sering susah dipahami dengan benar oleh para mahasiswa. Terlebih jika mahasiswa hanya menerima pengetahuan secara pasif dalam pembelajaran konvensional. Mengatasi permasalahan tersebut maka inovasi dan terobosan dalam pembelajaran sosiologi perlu dilakukan.
Project-Based Learning (PBL) dianggap sebagai metode pembelajaran yang efektif untuk menciptakan iklim belajar yang optimal. Project-Based Learning (PBL) adalah pendekatan inovatif untuk pembelajaran yang mengajarkan banyak strategi penting untuk kesuksesan di abad kedua puluh satu. Siswa mendorong pembelajaran mereka sendiri melalui inkuiri, serta bekerja secara kolaboratif untuk meneliti dan membuat proyek yang mencerminkan pengetahuan mereka (Bell, 2010 dalam Rahayu, 2019). Pembelajaran berbasis proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermanfaat bagi peserta (Mulhayatiah, 2014). Pembelajaran berbasis proyek difokuskan pada pertanyaan atau masalah yang mendorong siswa untuk menemukan konsep dan prinsip utama dari suatu disiplin ilmu. Proyek ini melibatkan peserta didik dalam penyelidikan konstruktif (Mulhayatiah, 2014).
Atas hal tersebut, maka Prodi Sosiologi Universitas Mataram melalui mata kuliah masalah ketenagakerjaan berusaha memberikan pengalaman belajar yang berbeda bagi mahasiswa, melalui penerapan metode pembelajaran berbasis proyek atau Project-Based Learning (PBL). Mahasiswa dilibatkan dalam proyek penelitian kolaborasi dengan dosen pengajar mata kuliah. Tahap pertama Project-Based Learning (PBL) berusaha diaplikasikan dalam bagian dari pembelajaran mata kuliah masalah ketenagakerjaan sebagai pengganti pertemuan ke 13, 14 dan 15 selanjutnya Ujian Akhir Semester (UAS pada pertemuan ke 16) digantikan dengan aktivitas seminar karya proyek (seminar hasil penelitian). Tahap kedua, dosen mempublikasikan hasil penelitian dalam jurnal ilmiah.
ARC merupakan kreasi dan inisiatif Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si yakni Dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Metode ini didapatkan oleh salah seorang tenaga pengajar mata kuliah masalah ketenagakerjaan prodi sosiologi unram saat masih menjadi mahasiswa dan diterapkan di ruang kuliah saat telah menjadi dosen. Bermula pada tahun 2005, setelah Drajat Tri Kartono menyelesaikan pendidikan S3nya. Saat itu, beliau melihat kondisi kelas yang pasif. Menurutnya, “banyak mahasiswa yang tidak dapat secara langsung mengingat dan memahami konsep sosiologi karena konsepnya yang abstrak sehingga hanya dapat dibayangkan saja. Pemahaman mahasiswa yang lemah tersebut, membuat mereka seringkali mendefinisikan secara sesukanya sendiri atau malah tidak berani mendefisinikan. Akibatnya mahasiswa tidak berani bertanya atau berdialog tentang konsep sosiologi karena takut salah” (Junarti, Sukestiyarno, Waluya, & Kartono, 2019).
Drajat Tri Kartono mencontohkan, ARC dapat diterapkan dalam proses pembelajaran. Pada praktiknya, Mahasiswa diminta untuk mempelajari sosiologi melalui lapangan atau tindakan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam pembelajaran sosiologi ekonomi, mahasiswa diminta pergi ke pasar tradisional atau mall, kemudian mahasiswa diminta berada disatu tempat ditengah pasar selama 2 jam tanpa komunikasi dengan orang lain. Tugas mahasiswa hanya melakukan pengamatan (Appreciation) terhadap seluruh tindakan, pola pakaian, pola salam bertemu, transaksi dan lain-lain. Selama pengamatan mahasiswa tidak boleh mencatat atau berbicara dengan orang lain. Tahapan ini dimaksudkan agar mahasiswa pada pengamatan dan mampu melihat detail gejala yang didepannya dan membiarkan mulai terjadinya refleksi dan kreasi terjadi dalam dirinya bersama pada saat melakukan observasi (Appreciation) (Junarti et al., 2019).
Selanjutnya, kegiatan Reflection dilakukan mahasiswa dengan cara menghubungkan realitas yang dilihat dengan konsep-konsep sosiologi. Misalnya saat di pasar tradisional, pengamatan yang dilakukan mahasiswa untuk mengamati apa yang disebut dengan transaksi, pasar, etos kerja, solidaritas dan lain-lain. Setelah memahami konsep dari realitas yang ditemukannya di lapangan, kemudian mahasiswa diajak membandingkannya dengan konsep dan teori berdasarkan sumber referensi. Kemudian, dalam proses memahami konsep tersebut mahasiswa juga memberikan penilaian apakah terjadi kondisi patologis berdasarkan pengamatannya (Junarti et al., 2019).
Mahasiswa menciptakan creation dengan mengkonstruksi perubahan apa yang perlu dilakukan bila kondisinya terjadi patologis, dan mengkonstruksi kekuatan masyarakat yang dapat dipertahankan di masa depan. Hasil pengamatan ARC mahasiswa kemudian dicatat dalam catatan lapangan dengan tulis tangan agar terjadi pendalaman makna selama penulisan. Hasil penulisannya kemudian dipresentasikan di kelas agar terjadi dialog hasil karya mahasiswa dengan teman di kelasnya (Junarti et al., 2019).
Hal ini, sama sebangun dengan pengumpulan data kualitatif pada umumnya, dengan menekankan pada 3 teknik yang utama dalam membangun pengalaman dan pemahaman mahsiswa melalui: appreciation adalah kegiatan pengamatan dan wawancara; refrection merupakan upaya untuk menganalisis data dengan menghubungkan secara langsung pada teori dan konsep yang relevan serta creation yaitu upaya untuk memberikan rekomendasi atas analisis temuan masalah.
Metode ARC ini merupakan bagian dari pembelajaran berbasis proyek, Metode pembelajaran berbasis proyek adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata.
Salah satunya adalah hasil pembelajaran yang diteliti oleh Sudewi, dkk, 2013. Kesimpulannya adalah pertama, penerapan pembelajaran IPS di kelas X MM3 SMK Negeri 1 Sukasada menggunakan model pembelajaran berbasis projek dalam dua kali siklus tindakan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Kedua, tanggapan siswa terhadap pembelajaran adalah positif. Para siswa umumnya setuju dan senang dengan penerapan model pembelajaran berbasis projek sebagai salah satu model pembelajaran inovatif dalam pembelajaran IPS. Melalui model pembelajaran ini siswa merasa dapat belajar, antara lain: berlatih untuk terus belajar berpikir kritis, bekerja berkelompok, belajar memecahkan masalah di masyarakat, belajar mempresentasikan dan menanggungjawabkan hasil belajar, merasa ada tantangan belajar, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari yang tidak hanya belajar secara teori dari buku, belajar berpikir tingkat tinggi, belajar menghargai pekerjaan kelompok, belajar berdemokrasi, belajar memecahkan masalah secara ilmiah, dan belajar ikut berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik untuk kepentingan bersama.
Tujuan dari pembelajaran ARC ini ditegaskan pula oleh (Herpratiwi & Sugeng, 2021) yang menyatakan bahwa pengembangan Project Based Learning ini berbasis keterampilan sosial, memberikan dampak dalam peningkatan keterampilan sosial pesrta didik. Selain itu, (Insyasiska, Zubaidah, & Susilo, 2017) menyebutkan pula bahwa Project Based Learning merupakan pembelajaran berbasis proyek yang inovatif, menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan kompleks. Project Based Learning menegaskan bahwa hasil pembelajaran akan berlangsung efektif sebab tujuan dari Project Based Learning juga membangun fokus pembelajaran yang terletak pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan siswa dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna, memberi kesempatan kepada siswa bekeria secara otonom untuk mengkonstruksikan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, dan mencapai puncaknya yaitu menghasilkan produk nyata (Duke, Halvorsen, Strachan, Kim, & Konstantopoulos, 2021).
Sejalan dengan penelitian terdahulu, ARC bertujuan pula untuk membekali mahasiswa memiliki ketrampilan sosial, melatih mahasiswa mempelajari konsep sosiologi tidak secara top down, yang sumber utamanya berasal dari dosen atau buku, tetapi secara partisipatoris. Hal ini dilakukan dengan cara mahasiswa menemukan sendiri pengertian konsep sosiologi di dalam kehidupannya sehari hari. Hal ini diperlukan untuk mendekatkan sosiologi dengan kehidupan mahasiswa, karena sesungguhnya sosiologi itu merupakan ilmu tentang kehidupan sehari-hari bersama orang lain atau disebut interaksi. Menghindari gap atau kesenjangan antara pengetahuan sosiologi yang diterima di kelas dan dalam kehidupan sehari-hari, terkadang disebabkan mahasiswa hanya membutuhkan untuk belajar sosiologi saat akan mempersiapkan ujian saja sehingga yang didapatkan sekedar pengetahuan kognitif saja. Sehingga dengan diterapkannya metode ARC diharapkan pemahaman sosiologi yang dimiliki oleh mahasiswa akan terinternalisasi dengan baik atau mendarah daging.
Asumsi keberhasilan pembelajaran berbasis proyek juga dikuatkan dengan hasil penelitian Fadillah, (Rahmat, 2021) dengan judul Meta Analysis: Efektivitas Penggunaan Metode Proyect Based Learning dalam Pendidikan Vokasi menyatakan bahwa Metode pembelajaran berbasis proyek pada pendidikan kejuruan berpengaruh tinggi terhadap hasil belajar pada pendidikan kejuruan. Dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran berbasis proyek sangat efektif dan tepat digunakan dalam pembelajaran di pendidikan kejuruan. Penelitian-penelitian terdahulu yang relevan digunakan oleh peneliti untuk menjadi referensi demi ketercapaian pembelajaran ini, sekaligus menunjukkan kebaruan ide dalam menggunakan metode penelitian dan pembelajaran pada aktivitas yang berbeda.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pelibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran melalui aktivitas penelitian kolaborasi dosen dan mahasiswa. Subyek penelitian dalam praktik ARC adalah masyarakat di 3 lokasi penelitian sebagai unit analisis penerapan metode ARC yang berlokas di Desa Wisata Sade; Kawasan Ekonomi Khusus Kuta-Mandalika; dan Pantai Tanjung Aan.
Proses praktik lapangan ARC dimulai dari turun lapangan atau field trip yang dilakukan oleh Mahasiswa program studi Sosiologi Unram pada mata kuliah masalah ketenagakerjaan. Kemudian dilakukan praktik ARC secara berkelompok. Terdapat 6 kelompok yang terbagi atas 3 lokasi yang dipilih sebagai lokasi observasi yakni Desa Wisata Sade (Kelompok 1 dan 2), Kawasan Pantai Kuta-Mandalika (Kelompok 3 dan 4) serta Pantai Tanjung Aan (Kelompok 5 dan 6). Ketiga lokasi tersebut berada di Kabupaten Lombok Tengah.
Ketiga proses dilakukan dalam satu rangkaian proses belajar dalam program field trip ini. Mengamati, merenungi, mendiskusikan bersama kelompok, menemukan konsep dan teori yang tepat untuk analisis, memberikan solusi bila ditemukan realitas patologis dalam pengamatannya, kemudian menuliskannya dalam laporan praktik lapangan ARC. Proses ARC telah memuat proses lapangan yang tercermin dalam Appreciation/Apresiasi (observasi) serta proses berpikir dan penulisan yang tercermin pada Reflection/Refleksi (teori, berpikir kritis) dan Creation/Kreasi (ide atau solusi).
Hasil dan Pembahasan
Upaya pengajar mata kuliah masalah ketenagakerjaan dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa terwujud melalui pelaksanaan perkuliahan sesuai RPS, dalam rangkaian proses pembelajaran mata kuliah masalah ketenagakerjaan. Dimulai dari pembekalan materi melalui kegiatan tatap muka dan diskusi, evaluasi belajar melalui Ujian tulis, serta kegiatan study lapangan untuk pembelajaran empiris agar mahasiswa mendapatkan pengalaman secara langsung melalui kegiatan penelitian. Dan diakhiri penilaian hasil belajar akhir yang dilakukan dalam seminar hasil penelitian.
Pengalaman empiris melalui praktik lapangan berlangsung dengan mengaplikasikan metode ARC ke dalam tiga tahap, bermula dari tahap Apresiasi (observasi) berupa proses berfikir, kemudian tahap Refleksi (teori, berfikir kritis/analisis), dan dan diakhiri dengan Kreasi (ide/solusi). Setelah melewati tiga tahap tersebut ditemukan berbagai masalah yang kemudian dipetakan ke dalam 4 tema bahasan, yaitu:
1. budaya dan organisasi kerja: modal sosial dalam kerja,
2. sistem pengupahan dan hubungan kerja,
3. partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.
4. eksploitasi pekerja di bawah umur,
Ketiga proses pembelajaran ARC dipaparkan sebagaimana berikut:
1. Desa Wisata Sade
Pengamatan dilakukan di Desa Sade, Lombok Tengah. Sebuah desa adat Suku Sasak yang saat ini menjadi desa rujukan wisatawan bila berkunjung ke Pulau Lombok. Tahap pertama yang dilakukan adalah Appreciation/Apresiasi. Di desa Sade, kegiatan praktik lapangan ini menurunkan 2 kelompok mahasiswa, yaitu kelompok 1 dan kelompok 2.
Di tahap apresiasi, mahasiswa memaparkan peristiwa-peristiwa yang menarik perhatian mereka, kemudian mencatatnya secara deskriptif, dan hasilnya sebagaimana berikut:
a) Kelompok 1
Praktik lapangan dilakukan di Desa Wisata Sade, dengan hasil observasi yaitu Pengunjung yang datang bukan hanya dari kalangan wisatawan lokal, turis asing pun banyak yang berkunjung. Ada yang unik pada cara yang digunakan oleh tour guide saat mendampingi pengunjung. Mereka mengajak pengunjung untuk duduk di berugak (gazebo) besar sambil mulai menjelaskan segala informasi terkait desa wisata sade, setelah kurang lebih lima menit, pengunjung diarahkan dan diajak untuk berkeliling ke komplek perumahan adat sade sembari melihat kain tenun dan barang souvenier lainnya yang dijual oleh inaq-inaq (ibu-ibu suku sasak). Hal ini menjelaskan tentang metode menjual aktivitas wisata dengan menawarkan jasa sebagai pemandu wisata
Pada penawaran barang dagangan, tour guide membantu dalam proses komunikasi dan interaksi. Selain itu, ada juga beberapa pengunjung yang secara langsung berinteraksi dengan penjual. Tour guide hanya akan digunakan jasanya untuk mendampingi wisatawan, bila wisatawan menerima tawaran untuk menggunakan jasanya dengan syarat memberi tip (uang jasa) saat masuk, tidak ada patokan harga, nominalnya dikembalikan sesuai keikhlasan dan kelayakan umum.
Selain daya tarik aksesoris khas kerajinan tangan desa sade, desa wisata Sade juga memiliki spot foto berupa rumah adat, baju adat dan pohon cinta (pohon mati yang masih kokoh berdiri tanpa dedaunan, pohon ini diberi nama pohon cinta). Fasilitas yang tersedia pun lengkap, ada tempat istirahat berupa berugaq, kamar mandi, masjid, parkir yang luas dan sebagainya. Berbagai bidang pekerjaan muncul dari fasilitas yang tersedia yaitu tour guide, penerima dan pencatat buku tamu, penjual, penenun, penjaga kamar mandi, tukang parkir, penjual makanan dan minuman ringan, dan lainnya.
b) Kelompok 2
Di sepanjang perjalanan berkeliling desa, rata-rata semua warga di sana memiliki lapak berjualan di depan rumah mereka sendiri. Dagangan ini selalu ditawarkan kepada setiap pengunjung yang melewatinya. Mereka menjajakan kain tenun khas Desa Sade yang mereka produksi sendiri, selain itu juga ada beberapa kain songket, selendang, baju dan kaos khas Lombok, cinderamata seperti gantungan kunci, miniatur lumbung padi, gelang, kalung, dan aksesoris lainnya yang unik dan menarik untuk dibeli. Perbedaan antara wisatawan asing, wisatawan lokal (Lombok), dan wisatawan lokal (luar pulau Lombok) sangat jelas berbeda, dan penduduk asli pada umumnya telah memiliki insting yang kuat membedakan daerah asal pengunjung yang datang, mereka dapat memprediksi pengunjung mana yang membutuhkan pemandu wisata dan yang tidak.
Meskipun tidak ada pengumuman tertulis yang menerangkan standar biaya jasa pemandu wisata namun wisatawan yang akan masuk seringkali bertanya pada wisatawan yang telah keluar, atau terkadang bertanya mengenai kelayakan biaya dari warga sekitar. Hal ini menjadi konvensi, kebiasaan yang menjadi kesepakatan tak tertulis. Terdapat perbedaan pada standart pemberian uang jasa pada tour guide dibedakan berdasarkan kategori wisatawan. Dari 3 kategori wisatawan, rate tertinggi ada pada wisatawan asing, rate menengah pada wisatawan lokal (luar pulau Lombok), dan rate terendah untuk wisatawan lokal. Dari sistem pengupahannya pun berbeda-beda dan dengan sistem yang unik di mana hubungan antara travel dengan guide jika membawa tamu akan saling membagi hasil, dimana guide mendapat bagian 10% dan pihak travel mendapat 30%. Berikutnya sistem pengupahan antara guide dan pedagang besarannya tidak ditentukan, hanya disesuaikan dengan total belanja dan hasil tawar menawar pedagang dengan pengunjung, selain itu pemberiannya bisa secara langsung dan juga bisa setelahnya maksudnya, guide akan datang kembali ke pedagang yang produknya berhasil dia jual kepada tamu yang ia bawa dan melakukan diskusi mengenai kesepakatan upah.
Setelah melakukan pengamatan pada tahap Appreciation (Apresiasi), selanjutnya tahap reflection. Pada tahap ini, mahasiswa mencoba melakukan analisis situasi dengan bantuan teori dan konsep terhadap realitas yang telah ditemukannya di lapangan.
Adapun hasil refleksi (analisis teori) oleh kedua kelompok :
a) Kelompok 1
Masalah sosial yang ditemukan pada budaya kerja tour guide, pelaku wisata atau usaha di Desa Sade dianalisis dengan menggunakan teori modal sosial yang dikemukakan oleh Putnam. Ia mengatkan bahwa modal sosial sebagai gambaran kelembagaan sosial seperti kepercayaan, jaringan, dan norma yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. (Fathy, 2019).
Modal sosial sebagaimana modal ekonomi, budaya dan lainnya bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu dan lainnya, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat.
Jika dianalisis menggunakan tiga indikator modal sosial, maka wisata budaya Sade memiliki modal sosial diantaranya yaitu “semangat”, antusias wisatawan maupun pengelolanya masih tinggi. Sehingga perlunya peningkatan kualitas masyarakat melalui modal sosial yang ada. Modal sosial yang terjadi dan sudah berjalan selama ini dapat dilihat dari tiga indikator:
1. Kepercayaan/Trust (kejujuran, kewajaran, sikap egaliter, toleransi, dan kemurahan hati)
Kejujuran dan keterbukaan dalam pertukaran informasi akan membangun rasa percaya antar masyarakat. Dengan pertukaran informasi maka akan timbul kepedulian sehingga rasa percaya terhadap sesama akan semakin kuat. Ketika semua elemen sudah saling percaya maka akan mudah berkoordinasi dengan melakukan suatu tujuan bersama. sudah terjalin komunikasi dan kerja sama yang baik antara guide dengan pedagang lokal. Mereka saling percaya bisa saling membantu membagi rezeki. Dari kepercayaan yang ada maka terbentuklah rasa kebersamaan untuk berbagi. Bukan hanya dengan sesama masyarakat, kepercayaan juga dibangun dengan pihak terkait yang ikut membangun dan mengembangkan desa wisata. Kepercayaan tersebut terjalin antar stakeholders yang terkait dengan pengembangan desa wisata.
Akan tetapi masih ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memperkuat modal sosial tersebut. Terkait kepercayaan masyarakat maupun pihak pengelola wisata pada peran perempuan Sade sebagai penerima tamu dan tour guide sebab tour guide sebab posisi itu menjadi dominasi laki-laki. Perempuan sade diposisikan memiliki spesialisasi berekspresi dan berkarya lewat seni menenun dan menjual dagangannya di area tempat tinggalnya masing-masing. Meski demikian semuanya memiliki peran masing-masing.
2. Jaringan Sosial/Social Networks (partisipasi, resiprositas, solidaritas, kerjasama)
Berawal dari sebuah kepercayaan yang baik dalam masyarakat berserta pihak terkait maka akan menimbulkan jaringan yang baik. Dalam rangka memperkuat Jaringan yang ada di desa wisata sade beberapa hal perlu diperhatikan. Melihat realitas terbatasnya koneksi/keterhubungan antara pengunjung dengan penduduk asli dalam hal komunikasi, sejauh ini dimediatori oleh tour guide. Ke depan, perlu pengembangan dalam berkomu nikasi khususnya penguasaan bahasa bagi penduduk Sade, selain sebagai upaya siap menghadapi arus globalisasi yang pesat, sebagai masyarakat yang tinggal di Desa Wisata tentu akan terus berinteraksi dengan pengunjung baik wisatawan lokal yang membutuhkan bahasa indonesia maupun bahasa inggris sebagai bahasa pemersatu.
Masyarakat Sade cenderung mempertahankan kepolosan adat sasaknya sehingga merasa cukup dengan penguasaan bahasa sasak. Ketrampilan berbahasa dibutuhkan bagi masyarakat yang terlibat dalam proses pelayanan wisata. Cakap dalam berkomunikasi untuk berinteraksi dengan wisatawan mancanegara yang datang dan cakap berbahasa Indonesia bagi wisatawan yang tidak paham bahasa Sasak. Peningkatan kapasitas terkait bahasa dapat dilakukan dengan meningkatkan kerjasama pada kantor pusat bahasa NTB maupun instansi terkait.
3. Norma/Norms (nilai-nilai bersama, norma dan sanksi, aturan)
Nilai-nilai yang terkandung dalam pengembangan desa wisata Sade dikemas menarik dengan tidak menghilangkan nilai budaya asli daerah sehingga tetap mengedepankan aspek originalitas, mengkombinasikan berbagai kreatifitas menarik yang mengacu pada pengenalan budaya. Nilai lokalitas yang dapat diamati oleh observer yaitu masih digunakannya rumah adat, kain tenun, peresean, dan gendang beleq. Selain itu juga terinternalisasi dalam tiga nilai sikap sosial masyarakat yang diterapkan di dusun Sade diantaranya:
a. Gerasaq
Sikap ramah tamah, sopan, santun, tertib, tafsila, serta terbuka pada sesame.
b. Reme
Sikap bersahaja, rukun, damai serta kompak, dalam menyelesaikan setiap persoalan atau masalah.
c. Lome
Sikap tidak ingin mengecewakan orang lain/siapapun. Ada hal yang kontradiktif dicermati observer berdasarkan pengamatan di lapangan. Yaitu saat ketiga nilai di atas berusaha dijelaskan kepada para pengunjung dan diinternalisasikan pada pribadi penduduk Sade namun ditemukan sebuah realitas yang bertolak belakang dari idealitas yaitu perbedaan perilaku pelayanan tour guide yang terjadi kepada wisatawan berdasarkan besar/kecilnya nominal tip yang diberikan oleh pengunjung.
Masih menjadi hal yang tabu menyebutkan nominal biaya melayani kunjungan namun sebaliknya kecewa bila nominal yang diberikan bernilai kecil. Hal ini tentu membawa situasi tidak nyaman bagi pengunjung. Pengunjung harus mencari tau dulu, dan bisa jadi terganggu perasaannya bila melihat raut wajah tidak puas dari tour guide atas pemberian mereka. Agar tidak timbul kekecewaan dari pengunjung, selain itu juga mendapatkan hak pelayanan terstandarisasi, perlu adanya kejelasan norma/aturan bagi pengunjung terkait standarisasi jasa tour guide.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat adalah pendekatan partisipatif. Pendekatan ini digunakan untuk mendorong terbentuknya kemitraan diantara para pihak berkepentingan (stakeholders). Masyarakat setempat harus disadarkan atas potensi yang dimiliki sehingga mereka mempunyai rasa ikut memiliki (sense of belonging) terhadap beraneka sumber daya alam dan budaya sebagai aset pembangunan pariwisata. Adanya partisipasi masyarakat, menjadikan adanya rasa memiliki pada lokasi wisata terhadap desa wisata yang dikembangkan.
Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan potensi desa yang dimilikinya sehingga mereka tergugah untuk terlibat dalam upaya memberdayakan sehingga hadir peran positif untuk membangun desa wisata Sade agar lebih mampu memberikan kesejahteraan sosial bagi penduduknya. Kerja sama yang dibangun antar masyarakat dan pihak terkait nampak ketika keduanya sama-sama berpartisipasi dan bekerja sama dalam mendukung terselenggaranya aktivitas wisata di desa ini. Karena tanpa ada peran dan kepercayaan masyarakat wisata tersebut akan sulit untuk berkembang dan maju.
b) Kelompok 2
Fokus bahasan kelompok 2 memberikan penekanan pada sistem pengupahan, dengan menggunakan salah satu teori sosiologi. Analisis fenomena sistem pengupahan yang ada dalam aktivitas pelayanan wisata di kampung Sade menggunakan Teori Interaksi Simbolik (George Herbert Mead). Konsep teori interaksi simbolik ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer sekitar tahun 1939. Dalam lingkup sosiologi, ide ini sebenarnya sudah lebih dahulu dikemukakan George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh blumer guna mencapai tujuan tertentu. Teori ini memiliki ide yang baik, tetapi tidak terlalu dalam dan spesifik sebagaimana diajukan G.H. Mead (Ritzer, 2012).
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan feedback orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. (Puspita, Gushevinalti, & Makhrian, 2014).
Selain itu definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial. (Puspita et al., 2014).
Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Desa Sade dalam melakukan aktivitas ekonomi khususnya jual beli produk wisata berinteraksi melalui serangkaian simbol budaya yang memiliki makna dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa terlihat ketika seorang pembeli memberikan uang kepada guide lokal yang telah berhasil menawarkan produk kerajinan tangan dimana pedagang tersebut memberikan uang hasil keuntungan dengan cara bersalaman/berjabat tangan yang tanpa diketahui oleh wisatawan tersebut. Berjabat tangan inilah yang merupakan salah satu simbol yang memiliki makna subjektif bagi masyarakat.
Selain itu, adanya aturan Awig-awig yang mengharuskan guide atau pemandu wisata dan pengelola wisata wajib menggunakan sarung tenun ketika sudah bertugas. Jika tidak digunakan maka tidak bisa bertugas menjadi konsekuensinya. Dalam hal ini, sarung tenun tersebut merupakan suatu simbol yang membedakan para guide dengan masyarakat biasa yang ada disana. Para wisatawan tidak harus berkomunikasi secara verbal untuk bisa mengetahui profesi dari seseorang yang menggunakan sarung tenun di Desa Sade.
Setelah melakukan pengamatan pada tahap appreciation, dilanjutkan tahap reflection, berikutnya dalah tahap ketiga yaitu Creasion/Solusi. Solusi atau ide yang ditawarkan dari desa wisata Sade disampaikan sebagaimana berikut:
1) Kelompok 1
Cara untuk menyikapi budaya kerja Pengelola Wisata di Desa Sade adalah pertama, untuk tetap mempertahankan bentuk budaya lokal yang dimiliki, agar pelaku wisata tetap dapat mempertahankan simbol-simbol budaya yang disuguhkan dengan tetap mempertahankan apa yang sudah diterapkan. Kedua, membuka peluang diversifikasi pekerjaan tanpa batas gender seperti memberikan kesempatan kepada perempuan Sade khususnya untuk bekerja sebagai penyambut tamu, karena terkadang adapula tamu juga merasa lebih akrab dan nyaman bila dilayani oleh tour guide yang memiliki kesamaan gender.
Selain itu peluang yang sama juga diberikan pada laki-laki atau perempuan untuk berekspresi dan berkarya. Misalnya saja mengenai menenun, menjadi hal yang tabu bagi laki-laki untuk mempraktikkan aktivitas menenun, tidak untuk menggantikan peran perempuan yang lebih ahli dan terampil namun kesempatan yang sama dalam penguasaan seni menenun sehingga mungkin saja akan berkembang ide mengenai motif, model, warna, serta kemutakhiran alat penenun dan sebagainya yang dapat berkembang bila mendapat kontribusi laki-laki sebab laki-laki perlu diberi sense of belonging terhadap budaya menenun sebelum pada akhirnya dapat memberi kontribusi yang produktif.
Saran tersebut tidak bermaksud melawan kearifan lokal suku Sasak, yang menjadikan menenun merupakan keahlian yang harus dimiliki oleh perempuan Sasak dan menjadi identitas budayanya. Namun terlepas dari tenun sebagai identitas perempuan Sasak, peran laki-laki untuk membantu melestarikan budaya menenun juga dibutuhkan melalui kontribusinya menjaga “tenun dan menenun” agar tetap eksis dalam budaya suku Sasak.
Ketiga, menyarankan agar para perempuan atau ibu-ibu yang berjualan di Sade dapat diberdayakan dalam hal peningkatan kapasitas diri melalui pelatihan skill komunikasi berbahasa inggris secara umum dalam dunia wisata dan perekonomian sehingga selain menambah wawasan juga menjadi bekal berinteraksi dengan pengunjung mancanegara.
Keempat, bagi pengelola wisata perlu membuat kesepakatan mengenai tarif masuk bagi tour guide sehingga terstandarisasi. Hal ini mengantisipasi kecemburuan antar tour guide itu sendiri maupun kecemburuan pengunjung bila mendapat perlakuan berbeda sebagai konsekwensi perbedaan memberi uang tip (gratuity).
Kelima, memberikan pelatihan kapasitas dan penghargaan bagi tour guide untuk menambah wawasan supaya lebih semangat dalam bekerja dengan mengedepankan nilai-nilai budaya lokal.
2) Kelompok 2
Beberapa kasus yang ditemui di lokasi pengamatan juga terlihat bahwa rata-rata kemampuan guide dalam berbahasa asing masih sangat kurang sehingga hal ini bisa menghambat mereka dalam bekerja, sebab sehari-harinya mereka harus menemui pengunjung yang berasal dari mancanegara untuk itu perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk memberikan kursus untuk para guide dengan menjalin kerjasama pada instansi-instansi yang terkait dalam menangani program bahasa untuk memberikan pelatihan berbahasa asing dan perlu pula tersertifikasi agar kemampuan dan wawasan berbahasa asing mereka menjadi lebih baik lagi dan telah diakui dengan adanya sertifikat.
Selain itu pengembangan desa menjadi lokasi wisata yang masih kurang di desa Sade ialah dalam hal pengembangan wisata kulinernya. Sampai saat ini, kekayaan kuliner sama sekali belum ditampilkan di desa tersebut, rekomendasi yang diajukan adalah mengembangkan potensi makanan khas Lombok untuk masuk sebagai destinasi baru di sekitar desa Sade. Dapat juga dengan mengadakan festival jajanan dan makanan khas Lombok setiap minggu atau setiap bulannya untuk menarik pengunjung sehingga dapat lebih ramai mendatangi desa wisata sade.
2. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pantai Mandalika
Lokasi pengamatan berikutnya adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pantai Mandalika. Praktik lapangan dilakukan oleh kelompok 3 dan 4. Pada tahap appreciation/ apreasiasi dilaporkan sebagaimana berikut.
a) Kelompok 3
Kelompok 3 memutuskan untuk memberikan perhatian khusus pada fenomena yang mengarah pada salah satu topik yang menarik untuk menjadi fokus kajian yaitu “pekerja anak”. Dengan hasil bahwa pertama-tama observer melihat gerombolan anak-anak yang sedang berjualan sekaligus menawarkan dagangan mereka berupa gelang dengan ciri khas Lombok, ditampilkan dari bahannya benang tenun, kain tenun, tulisan, warna khas Sasak yang mencolok dan motifnya. Mereka menawarkan dagangannya dari satu titik ke titik yang lainnya, tergantung dimana titik ramai pengunjung, jumlah mereka terbilang cukup banyak, sekitar sepuluh orang anak yang observer temui saat berlangsungnya proses pengamatan tersebut. Tak jarang aktivitas mereka membuat para pengunjung risih dan terganggu, karena terlihat ketikai mereka menawarkan gelang dagangannya menggunakan cara sedikit memaksa sehingga pengunjung cenderung menghindari mereka.
Apabila dilihat dari tampilan fisik, mereka tidak jauh berbeda dengan anak-anak seusianya. Mulai dari pakaian yang mereka kenakan dapat dikatakan masih layak seperti kaos lengan pendek yang di padupadankan dengan celana pendek dan alas kaki berupa sandal yang digunakan pada umumnya, kemudian tampilan diri yang cukup bersih, seperti rambut yang tidak terlalu panjang, kulit yang tidak kotor hingga bau badan yang normal. Tidak ada perbedaan yang begitu mencolok dari segi tampilan fisik pekerja anak di Pantai Kuta Mandalika dengan anak-anak pada umumnya.
Selama proses pengamatan, observer juga memberi perhatian pada pola interaksi anak-anak yang menawarkan dagangannya ini. Ketika mereka mendatangi pengunjung untuk menawarkan gelang yang mereka jual, mereka cenderung memaksa pengunjung untuk membelinya dengan berbagai cara seperti mengatakan : “Ayo mbak/mas dibeli gelangnya, satu aja”, bukan hanya itu, mereka juga tidak mau pergi sebelum dagangan mereka dibeli oleh pengunjung.
b) Kelompok 4
Infrastruktur penunjang pariwisata lengkap dibangun untuk mempermudah akses pariwisata. Sebut saja fasilitas tempat ibadah, jalan, lapak pedagang, tempat parkir, hingga fasilitas-fasilitas penunjang destinasi wisata di tepi pantai Kuta Mandalika. Memasuki Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, mahasiswa turun dari bus dan berjalan beberapa meter ke tempat lapak pedagang yang masih dalam proses pembangunan, lapak ini disediakan oleh pengelola KEK Mandalika (ITDC).
Observer mengamati infrastruktur pembangunan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika hampir selesai. Lokasi ini akan menjadi magnet pengunjung ke pulau Lombok sebab diproyeksikan menjaadi lokasi wisata dengan spot utama sirkuit MotoGP.
Selanjutnya turun dari Bus menuju tepi pantai, mahasiswa (yang juga dianggap sebagai pengunjung) didatangi oleh anak-anak yang berjualan gelang dan menawarkan barang dagangan mereka. Bukan hanya itu, anak-anak yang menjajakan dagangannya itu juga mengikuti mahasiswa dalam perjalanan, dengan terkesan memaksa, para pedagang anak-anak ini menjajakan dagangannya. Mereka tidak akan berhenti mengikuti, sampai ada diantara mahasiswa yang mau membeli gelang-gelang yang mereka jual. Anak-anak itu menjual dagangannya dengan kisaran harga terendah Rp. 5.000 per gelang (aksesoris lain).
Mahasiswa dihampiri oleh para pedagang anak-anak dan perempuan yang berkelompok, terdapat beberapa kelompok, dimana masing-masing diantara mereka membawa dagangannya sendiri. Mereka menjual berbagai aksesoris bernuansa Kuta Lombok seperti gelang, baju, selendang, syal, sesekan, topi pantai, kacamata dan tidak terlewatkan diantara mereka juga ada yang menjajakan kelapa muda dan jajanan khas Lombok. Sebagian besar pedagang berasal dari masyarakat lokal sekitar.
Setelah melakukan pengamatan, tahap berikutnya adalah Reflection/refleksi. Hasil dari proses refleksi disampaikan sebagaimana berikut.
1) Kelompok 3
Observer yang mengamati anak sebagai pekerja di lokasi wisata membahasnya dalam kajian Pekerja Anak. Saat anak pada umumnya masih dalam perlindungan orangtua, segala kebutuhan menjadi tanggungjawab orangtua, hal yang berbeda dialami oleh anak2 yang bekerja di KEK Kuta Mandalika. Hal ini mengarah pada tindakan eksploitasi anak.
Mencermatinya dengan menggunakan teori Marx yang menekankan pada suatu tindakan eksploitasi yang dilakukan kepada anak diamati pada pembiaran anak bekerja dengan tujuan utama berorientasi pada terjualnya barang atau jasa yang menghasilkan nilai tukar ekonomi.
Disamping itu menilik pada konsep teori Alienasi oleh Marx. Secara garis besar teori alienasi (ketarsingan) dari Marx adalah salah satu konsep penting dalam mengkritik sistem kapitalisme. Marx menggunakan konsep alienasi untuk menyatakan pengaruh produksi kapitalis terhadap manusia dan masyarakat. Bagi Marx, kapitalisme memicu tindakan sewenag-wenang para pemiliki modal untuk menindas dan memeras pekerja demi kepentingannya sehingga menyebabkan pekerja mengalamai keterasingan. Alienasi juga dapat membuat seseorang kehilangan kendali atas dirinya sendiri sehingga berpotensi menimbulkan efek destruktif bagi dirinya maupun orang di sekitarnya. (Marandika, 2018).
Berkaitan dengan teori Alienasi Marx tersebut bahwasanya dalam hal ini anak teralienasi dari keinginan-keinginan mereka untuk bermain, belajar dan lain sebagainya layaknya anak diusianya. Mereka menjadi terasing dari dunianya sendiri. Ia teralienasi dari aktivitas-aktivitas yang seharusnya dilakukan dan hak-hak yang seharusnya mereka peroleh, tetapi mereka harus bekerja dengan alasan untuk membantu perekonomian keluarga.
2) Kelompok 4
Masalah ketenagakerjaan yang teramati di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika apabila dipadanankan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan belum terlaksana, utamanya bagi anak-anak. Pekerja anak yang usianya di bawah 13 (tiga belas) tahun tidak diberi toleransi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kecuali pekerjaan itu mendukung perkembangan minat dan bakat yang sifatnya prestatif.
Tetapi berdasarkan pengamatan, sebagian besar pekerja anak (pedagang aksesoris) tidak relavan dengan pengecualian di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut, sebab usianya di bawah 13 (tiga belas) tahun dan sifatnya tidak prestatif. Artinya apa yang diamati oleh observer merupakan tindakan eksploitasi, dan pembiaran terhadap anak. Realitas tersebut perlu diperhatikan dan disikapi secara tegas oleh pihak yang bertanggungjawab pada perlindungan hak anak, baik lembaga pemerintah, LSM tokoh masyarakat, dak pihak-pihak lainnya. Hal ini perlu diupayakan sebab putusnya harapan anak-anak itu di masa depan adalah bencana peradaban.
Tahap ketiga yaitu Creasion/Solusi menyikapi realitas di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kuta Mandalika. Ide atau solusi yang ditawarkan dipaparkan sebagaimana berikut.
3) Kelompok 3
Pemberian beasiswa dan bantuan bagi anak di usia wajib belajar juga sangat penting agar mereka rajin untuk menuntut ilmu hingga pendidikan tinggi, sehingga dapat memperbaiki kondisi perekomian keluarganya. Pemerintah dalam hal ini berperan dalam mengeluarkan peraturan daerah berisi kebijakan perluasaan dan penyediaan lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja bagi masyarakat dengan skill yang dibutuhkan dalam proses pembangunan agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Pemberdayaan masyarakat melalui program-program kreatifitas dan wirausaha mandiri diharapkan dapat menyentuh masyarakat lokal sehingga masyarakat memiliki sumber penghasilan dam dapat menghasilkan pendapatan keluarga.
Pengembangan-pengembangan kawasan menjadi tempat wisata sebagai upaya pembangunan wilayah perlu pelibatan aktif masyarakat lokal, bukan hanya sebagai penonton namun juga sebagai aktor pembangunan. Melibatkan mereka dalam perencana dan pelaksana dalam pembangunan demi tujuan pencapaian kesejahteraan masyarakat lokal. Masyarakat lokal perlu disiapkan sebagai pasokan Sumber Daya Manusia yang profesional dan terampil dalam kebutuhan pembangunan sehingga pelatihan dan pendidikan sesuai pemetaan kebutuhan SDM dalam pengembangan wilayah sangat dibutuhkan.
4) Kelompok 5
Merekomendasikan pada pemerintah dan pihak pengembang untuk membuka peluang bagi putra dan putri lokal untuk lebih besar terserap di dunia kerja khususnya SDM yang dibutuhkan dalam pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus.
Menyediakan pendidikan informal untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal, seperti tersedianya pusat kursus bahasa asing, komputer, konstruksi, tataboga pelatihan management kepariwisataan, dan hal lainnya mengenai keahlian dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh industri pariwisata.
Perlu adanya kebijakan politik pemerintahan yang berpihak pada masyarakat yaitu salah satunya kebijakan yang dibutuhkan untuk meyelamatkan eksistensi masyarakat lokal, yaitu dengan membangun sentra ekonomi terpadu, seperti pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi yang diisi oleh pedagang yang berasal dari masyarakat lokal.
Langkah terakhir tentu adalah penegakan hukum secara proporsional dan jaminan keamanan. Penegakan hukum dan stabilitas keamanan tentu sangat dibutuhkan pada setiap pusat industri, terlebih Kawasan Ekonomi Khusus. Perlindungan terhadap tenaga kerja harus dilakukan secara maksimal, dengan penerapan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013, peraturan daerah tingkat I dan II. Sedangkan untuk pemeliharaan ketertiban dan keamanan, pihak kepolisian, pemerintah daerah dan masyarakat harus berkolaborasi dalam mitra yang taktis dan pada titik tertentu harus melibatkan pihak perusahaan dalam menciptakan suasana nyaman dan aman bagi para wisatawan.
Dari pengamatan yang dilakukan, observer menemukan masalah yang tepat bila dijadikan sebagai bahan ajar dalam tema eksploitasi pekerja di bawah umur.
3. Kawasan Pantai Tanjung Aan
Diawali dengan tahap pengamatan/appresiation. Berlokasi di kawasan Pantai Tanjung Aan ini dilakukan oleh dua kelompok yaitu kelompok 5 dan 6. Deskripsi sebagaimana berikut.
a) Kelompok 5
Kelompok 5 melakukan pengamatan kepada orang-orang di sekitar Tanjung Aan seperti wisatawan yang datang, fasilitas yang ditawarkan, pedagang di sekitar, dan lain-lain. Pantai Tanjung Aan memiliki pemandangan yang indah, namun pada saat dilakukan pengamatan situasi masih dalam kategori sepi pengunjung. Meskipun demikian, wisatawan yang datang tidak akan khawatir kelaparan atau kehausan, sebab telah tersedia banyak pedagang yang membuka lapak makanan dan minuman di sekitar pantai. Tak hanya makan minum, wisatawan juga bisa membeli cinderamata berupa kain tenun khas Lombok dan aksesoris berupa gelang dan kalung buatan tangan pedagang keliling di sekitar pantai. Selain itu, mahasiswa juga melihat dua laki-laki yang menawarkan jasa penyeberangan kepada para wisatawan menuju pulau kecil di dekat tepi pantai Kuta yaitu Batu Payung para wisatawan.
Di sisi lain ada sekumpulan anak kecil yang masih berusia kisaran 7 sampai 13 tahun ikut berkontribusi dalam memajukan tempat pariwisata Pantai Tanjung Aan, dengan cara menawarkan jasa mereka berupa menyediakan jasa sewa tikar kepada para pengunjung yang datang di tempat tersebut.
b) Kelompok 6
Perjalanan Kampus Unram di Mataram menuju Pantai Tanjung Aan di Lombok Tengah menempuh perjalanan kurang lebih 40 km selama kurang lebih selama satu jam, kelompok 6 telah sampai di lokasi pantai. Sebelum sampai ke tempat lokasi nampak hamparan pemandangan pantai dan alam yang indah menakjubkan. Tidak hanya hamparan pemandangan di sepanjang jalan menuju lokasi, namun juga hamparan pemandangan di lokasi Pantai Aan tak kalah menakjubkan. Panasnya matahari tak dapat menjadi penghalang untuk menikmati indahnya perpaduan hamparan pasir pantai, pemandangan bukit merese serta birunya pantai. Setiba di lokasi tim mencari posisi yang tepat untuk mendokumentasikan setiap peristiwa dan dengan angle yang tepat yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan observasi.
Fenomena sosial yang menarik untuk dikaji di sekitar lokasi wisata antara lain: pedagang yang menjual barang berjenis homogen, penyedia jasa untuk penyeberangan ke pantai Penyu, pemandu wisata, penjual kain. Di antara semua fenomena ini, ada satu fenomena yang dianggap paling menarik untuk dikaji dalam tataran masalah tenaga kerja dengan menggunakan metode ARC. Fenomena yang dimaksud dalam konteks ini yakni profesi pedagang anak yang menjual produk khas sasak seperti kain tenun dan tas.
Para pedagang anak-anak di kawasan wisata ini didominasi oleh jenis kelamin laki-laki. Para pedagang ini pun memiliki ciri-ciri diantaranya: Pertama, memiliki kulit yang gelap karena bersentuhan langsung dengan sinar matahari. Ke dua, para pedagang ini sangat ramah berinteraksi dengan para pengunjung. Ke tiga, anak-anak ini lebih banyak yang tidak menggunakan alas kaki saat berjualan. Ke lima, beberapa diantara mereka berambut merah, bukan berasal dari genetik namun dari pewarnaan. Serta ke enam, anak-anak ini menenteng jualan mereka dengan terus menawarkannya pada pengunjung yang datang. Selain itu ciri yang menonjol lainnya anak-anak ini memiliki semangat bekerja yang yang tinggi ini terlihat dari waktu mereka berjualan yang dimulai dari pagi hingga sore.
Pada proses menjalankan pekerjaannya sebagai pedagang souvenir atau oleh-oleh mereka cukup cekatan. Mereka membawa begitu banyak barang dagangan diantaranya ada kain songket, kain tenun, gelang, tas, dan gantungan kunci. Mereka menawarkan barang dagangan dengan rayuan-rayuan yang seolah agak memaksa untuk orang-orang membeli barang dagangan yang dibawanya. Mereka menawarkan barang dagangan dengan menyebutkan harga barang tersebut, bahkan menawarkan pada setiap wisatawan untuk dapat menawar barang jualan mereka.
Selain itu, para pedagang anak ini memanfaatkan rasa belas kasih pengunjung dengan terus menawarkan dagangan, mereka menampilkan raut wajah iba, kata-kata rayuan, dan tak kenal menyerah sebab kemanapun para pengunjung berjalan akan diikuti oleh mereka sembari meyakinkan pengunjung untuk membeli barang dagangannya. Tidak jarang juga, mereka tak malu untuk menawarkan jualan mereka pada wisatawan asing dengan menggunakan bahasa asing pula.
Setelah dilakukan pengamatan, proses berikutnya adalah reflection. Pada tahap ini, observer berusaha merefleksikannya temuannya untuk dianalisis tengan bantuan konsep dan teori.
1) Kelompok 5
Berdasarkan hasil observasi menunjukkan peran dalam menjalankan pekerjaan sebagai pedagang. Ditinjau dari analisis structural Fungsional Robert K. Merton (Ritzer, 2012) mengenai fungsi manifest dan fungsi laten. Merton mengungkapkan bahwa masalah utama para ahli sosiologi adalah konsekuensi objektif, bukan motivasi. Konsekuensi tersebut berupa fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah konsekuensi objektif yang membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem dan disadari oleh para partisipan dalam sistem tersebut. sedangkan fungsi laten merupakan konsekuensi objektif yang tidak dimaksudkan atau tidak disadari oleh para partisipan dalam sebuah sistem.
Hal ini mengandung adanya fungsi manifest dan fungsi laten. Tentu fungsi manifest ini merupakan fungsi yang diharapkan dari profesi yang mereka jalankan, baik oleh si pedagang maupun pihak lain misalnya keluarga. Berdasarkan pengamatan dapat dilihat kecenderungan bahwa pedagang anak-anak ini hidup di dalam keluarga yang terindikasi memiliki masalah ekonomi. Adanya masalah ekonomi ini mengharuskan si anak menjalankan fungsi ekonomi dalam keluarganya. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya melalui kegiatan berjualan ini.
Hak lain yang hilang dari profesi yang dijalankan oleh si anak yakni hak perlindungan. Anak-anak yang masih di bawah umur 18 tahun yang seharusnya bersama orang tua sebagai agen pelindung dalam setiap aktivitas yang dijalankan si anak. Justru sangat berbeda pada kondisi anak yang berjualan di kawasan wisata Tanjung Aan ini. Anak-anak dilepas untuk bekerja dan berinteraksi dengan orang-orang baru tanpa adanya pengawasan dari pihak orang tua. Kondisi ini pun telah dianggap menghilangkan hak seorang anak untuk mendapatkan hak perlindungan dari keluarga terutama orang tua. Bukan hanya kehilangan hak perlindungan di lokasi kerja tetapi perlindungan anak-anak pun tidak di jaga saat perjalanan ke lokasi wisata. Anak-anak dibiarkan mengendarai motor sendiri tanpa menggunakan perlengkapan berkendara yang lengkap, bahkan usia mereka belum cukup untuk membawa kendaraan sendiri. Ancaman-ancaman lain terkait perlindungan lainnya pun tak dapat dipungkiri akan menyasar pada anak-anak di kawasan wisata ini.
Hilangnya hak-hak anak yang berprofesi sebagai pedagang di kawasan wisata menunjukkan adanya fungsi laten atau fungsi yang tidak diharapkan dari profesi si anak. Realitas ini bagaikan dua sisi mata koin berbeda. Pada satu sisi mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang selaras dengan fungsi manifest yang diharapkan. Sedangkan, di sisi lain profesi ini telah merenggut beberapa hak-hak dari si anak yang berprofesi sebagai pedagang di kawasan wisata..
2) Kelompok 6
Dalam konteks ini, sebenarnya anak mempunyai hak yang bersifat asasi sebagaimana yang dimiliki orang dewasa. Namun, perlindungan terhadapnya tidak sebombastis ketika masalah HAM yang menyangkut orang dewasa atau isu gender diumbar ke khalayak umum. Perlindungan terhadap hak anak belum banyak dipedulikan oleh masyarakat. Begitu pula dengan langkah konkritnya, bahkan upaya perlindungan itu sendiri dilanggar oleh Negara dan berbagai tempat di negeri ini, orang dewasa, bahkan orang tuanya sendiri.
Banyak anak-anak yang berada di bawah umur menjadi objek dalam pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan di Nusa Tenggara Barat. Hal ini dibuktikan dari Data Profil Anak Indonesia tahun 2019 yang dirilis oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bahwa jumlah pekerja anak di NTB mencapai angka 11 persen. Kondisi ini menjadikan NTB masuk 10 besar provinsi dengan jumlah kasus pekerja anak tertinggi di atas rata-rata nasional. (Adalya, Pitoyo, & Alfana, n.d.).
Pekerja anak dapat dilihat dengan mudah di daerah-daerah pariwisata. Berdasarkan hasil pengamatan mahasiswa, pandangan mata jelas tertuju pada sekelompok anak yang menjual kalung, gelang dan aksesoris lainnya, menyewakan jasa berupa sewa tikar atau membasuh kaki wisatawan, atau mengais rezeki di jalanan. Itu hanya sedikit dari betapa mirisnya kondisi anak-anak di Indonesia. Masih banyak yang tidak terlihat jelas (kekerasan anak, penyiksaan anak dan bahkan pelacur komersial). Dari hasil pengamatan di kawasan wisata, dengan membiarkan anak menjadi pekerja artinya telah terjadi eksploitasi anak-anak oleh orang dewasa terjadi di kawasan wisata.
Pada tahap creation/kreasi kelompok yang ditempatkan di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Aan ini memberikan solusi/ide yang ditawarkan sesuai dengan realitas pengamatannya.
a. Kelompok 5
Solusi/ide yang mampu diterapkan dalam mencegah eksploitasi anak di kawasan pengamatan tersebut yaitu :
Pertama, Sewajarnya keluarga memiliki peran diantaranya: pemahaman dan pengetahuan tentang peran HAM; Lebih memahami dan mengerti anak bukan milik pribadi; lebih berhati-hati dan memberikan perhatian serta menjaga anak dari kekerasan, namun hal normatif itu tidak sepenuhnya mudah dipahami oleh keluarga anak-anak pedagang di Tanjung Aan, pemikiran mereka tidak sejauh orientasi perundangan. Sederhananya, mereka hanya memikirkan bagaimana upaya untuk bertahan hidup, bagaimana menyediakan makanan dan kebutuhan primer lainnya sehingga seluruh anggota keluarga sudah selayaknya ikut berkontribusi untuk menanggung beban hidup bersama.
Kedua, dalam kondisi ini perlu adanya sikap tolong menolong dari masyarakat secara umum, yang memiliki kelebihan finansial dapat membantu perekonomian atau mengupayakan aktivitas pemberdayaan, pelibatan organisasai-oraganisasi masyarakat untuk kemandirian ekonomi masyarakat di lingkungan sosialnya sangat dibutuhkan. Masyarakat dituntut untuk lebih peka dan tidak menutup mata akan keadaan sekitar terutama pada kasus eksploitasi aktivitas bekerja pada anak.
Ketiga, Pemerintah memiliki peran yaitu mensosialisasikan Undang-Undang Perlindungan Anak; pemenuhan jaminan kebutuhan akan kemiskinan; Pemahaman akan hak-hak anak korban eksploitasi; memperbaiki dan meningkatkan partisipasi kualitas pendidikan; mengajak anak putus sekolah untuk kembali sekolah; mengadakan keterampilan bagi anak, pembiayaan dan kesejahteraan anak.
Keempat, Perguruan tinggi sebagai pusat advokasi, sosialisasi dan rujukan perlindungan dan kesejahteraan anak turut berperan melalui kegiatan-kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Kelima, Pemberlakuan awik-awik dalam masyarakat seperti memberikan sanksi sosial kepada pelanggar hal anak; Pemberian Pelatihan dan pendampingan kewirausahaan dan kredit usaha mandiri pada orangtua pekerja anak dengan komitmen pengembangan usaha.
b. Kelompok 6
Adapun upaya yang semestinya dilakukan untuk menyikapi fenomena pekerja anak di kawasan wisata Tanjung Aan adalah sebagai berikut:
1) Penguatan Institusi Keluarga
Keluarga harus mampu menghidupkan roda perekonomian mereka sehingga anak tidak menjadi ‘korban’ dalam eksploitasi ekonomi, keluarga harus hadir sebagai aktor penting dalam memberikan pengawasan dan pendidikan bagi anak-anaknya sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
2) Optimalisasi Lembaga Pendidikan
Pendidikan juga harus menjadi ruang untuk memperkuat posisi, peran dan pengimplementasian hak-hak bagi seorang anak sehingga mereka sadar dan mengetahui tentang hak-hak mereka yang harus di penuhi.
3) Optimalisasi Peran Pemerintah
Isu penanganan pekerja anak dapat menjadi bidang kerja bersama yang ditangani dengan koordinasi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, agar terintegrasi dan optimal dalam langkah kebijakan dan implementasi program.
Selain Analisis Fenomena di 3 lokasi penelitian, Dosen pengajar mata kuliah masalah ketenagakerjaan berusaha mengevaluasi proses pembelajaran secara kualitatif menemukan bahwa mahasiswa dapat menerapkan metode pengumpulan data kualitatif dengan mudah melalui teknik ARC. Di lapangan tampak mahasiswa, dapat percaya diri mempraktekkan metode ARC, selain itu timbul kepekaan dan komitmen sosial yang baik dilihat dari rekomendasi hasil penelitian (tahap reflection dan creation).
Kesimpulan
Dari ke tiga lokasi pengamatan mahasiswa, yaitu Desa Sade, Pantai Kuta-Mandalika dan Pantai Tanjung Aan, yang dilakukan oleh 6 kelompok, mahasiswa dapat belajar berbagai masalah yang ditemukan di lapangan, lalu mahasiswa mencoba untuk melakukan analisis masalah dengan bantuan konsep dan teori, kemudian berusaha memberikan solusi atau rekomendasi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat mengenai ketenagakerjaan di lokasi wisata.
Berikutnya dari berbagai masalah tersebut coba untuk dipetakan sehingga ditemukan beberapa tema untuk menjadi bahan pembelajaran di kelas berikutnya mengenai realitas sosial yang ditemukan di lapangan. Tema-tema terkait yaitu eksploitasi pekerja di bawah umur, budaya dan organisasi kerja: modal sosial dalam kerja, sistem pengupahan dan hubungan kerja, serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.
Tumbuhnya rasa percaya diri, sikap positif dan ketrampilan sosial yang merupakan hasil dari proses pembelajaran yang efektif dihasilkan melalui upaya memberikan tantangan-tantangan belajar yang relevan dengan kemampuan mahasiswa. ARC memberi tantangan agar mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari di ruang kelas, mendapat pengalaman empiris melalui kegiatan pengamatan dan wawancara pada narasumber langsung di masyarakat untuk menemukan data dan informasi, kemudian menuliskan laporan penelitian lalu mempresentasikan karya projek penelitian mahasiswa dan melakukan validasi di hadapan dosen pengajar mata kuliah, selanjutnya dosen pengajar mata kuliah memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap setiap kemajuan keberhasilan belajar mahasiswa.
Adalya, Michelle, Pitoyo, Agus Joko, & Alfana, Muhammad Arif Fahrudin. (n.d.). Analisis Indeks Pembangunan Pendidikan Nusa Tenggara Barat 2019 Adia Islami Permono, Boma Karunia Dwi Putra, Mulyadi Alwi, Natasya.Google Scholar
Al-Kariimah, Ghaniya Qalbi, & Rosiana, Dewi. (2019). Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi. Google Scholar
Duke, Nell K., Halvorsen, Anne Lise, Strachan, Stephanie L., Kim, Jihyun, & Konstantopoulos, Spyros. (2021). Putting PjBL to the Test: The Impact of Project-Based Learning on Second Graders’ Social Studies and Literacy Learning and Motivation in Low-SES School Settings. American Educational Research Journal, 58(1), 160–200. Google Scholar
Fathy, Rusydan. (2019). Modal sosial: Konsep, inklusivitas dan pemberdayaan masyarakat. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 6(1), 1–17. Google Scholar
Herpratiwi, Herpratiwi, & Sugeng, Widodo. (2021). Penerapan Project Based Learning Berbasis Keterampilan Sosial Mata Pelajaran Kewarganegaraan di Sekolah Menengah Atas. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan. Google Scholar
Hutahaean, Jeperson, Purba, Ramen A., Siagian, Yessica, Heriyani, Nofitri, St Amina, H. Umar, Syah, Arridha Zikra, Ardiana, Dewa Putu Yudhi, & Simarmata, Janner. (2021). Pengantar Sistem Informasi Manajemen. Yayasan Kita Menulis. Google Scholar
Insyasiska, Dewi, Zubaidah, Siti, & Susilo, Herawati. (2017). Pengaruh project based learning terhadap motivasi belajar, kreativitas, kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan kognitif siswa pada pembelajaran biologi. Jurnal Pendidikan Biologi, 7(1), 9–21. Google Scholar
Junarti, Junarti, Sukestiyarno, Y. L., Waluya, Stevanus Budi, & Kartono, Kartono. (2019). Peran Skema Penulisan Definisi, Teorema Dan Bukti Dalam Kemandirian Belajar Membuktian Aljabar Abstrak Dengan Pendekatan Top-Down. PRISMA, Prosiding Seminar Nasional Matematika, 2, 637–645. Google Scholar
Marandika, Derajat Fitra. (2018). Keterasingan Manusia menurut Karl Marx. TSAQAFAH, 14(2), 229–322. Google Scholar
Mulhayatiah, Diah. (2014). Penerapan model pembelajaran berbasis proyek untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif mahasiswa. Edusains, 6(1), 17–22. Google Scholar
Najib, Donas Ahmad, & Elhefni, Elhefni. (2016). Pengaruh penerapan pembelajaran bermakna (meaningfull learning) pada pembelajaran tematik IPS terpadu terhadap hasil belajar siswa kelas III di MI Ahliyah IV Palembang. JIP (Jurnal Ilmiah PGMI), 2(1), 19–28. Google Scholar
Puspita, Lika, Gushevinalti, Gushevinalti, & Makhrian, Andi. (2014). Interaksi Simbolik Sales Promotion Girl (Suatu Fenomenologi Interaksi Simbolik Pada Sales Promotion Girl Rokok Djarum Di Kota Bengkulu). Universitas Bengkulu. Google Scholar
Rahmat, Pupu Saeful. (2021). Psikologi pendidikan. Bumi Aksara. Google Scholar
Ritzer, George. (2012). Teori Sosiologi: Dari sosiologi klasik sampai perkembangan terakhir postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 11, 25. Google Scholar
Sjukur, Sulihin B. (2012). Pengaruh blended learning terhadap motivasi belajar dan hasil belajar siswa di tingkat SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi, 2(3). Google Scholar
Copyright holder: Oryza Pneumatica Inderasari, Ika Wijayanti, Maya Atri Komalasari, M. Arwan Rosyadi (2021) |
First publication right: |
This article is licensed under: |