Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 9, September 2021

 

REKONSTRUKSI KEBIJAKAN AMBANG BATAS PAJAK RESTORAN UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA

 

Mohammad Toffani Alrajbie, Haula Rosdiana

Ilmu Administrasi dan Kebijakan Perpajakan, Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Indonesia.

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penerimaan pajak restoran dengan batasan omset yang ditentukan dalam kebijakan pajak restoran oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta di dalam pelaksanaannya melalui sistem online tidak optimal berkontribusi terhadap pendapatan pajak daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan rekonstruksi ambang batas pajak restoran melalui penetapan batasan omzet restoran yang dikenakan pajak restoran terhadap peningkatan pendapatan asli daerah Provinsi DKI Jakarta. Metode yang digunakan untuk menganalisis adalah metode campuran dengan strategi transformatif konkuren berdasarkan hasil wawancara dan hasil kuesioner dari 30 responden pengusaha/pemilik restoran di DKI Jakarta yang dihitung menggunakan statistik deskriptif sederhana. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya penetapan batasan omzet pajak restoran dalam realisasi penerimaan pajaknya tidak optimal dalam meningkatkan pendapatan daerah. Untuk itu perlu dievaluasi kebijakan pajak restoran melalui kriteria efektivitas, efisiensi, responsivitas dan ketepatan terhadap penentuan batasan omzet pajak restoran tersebut. Hasil evaluasi menunjukkan kontribusi pajak restoran tidak optimal terhadap pendapatan pajak daerah, fiskus tidak optimal dalam pengawasan kepatuhan wajib pajak restoran yang telah menerapkan sistem online, tanggapan responden dominan tidak puas terhadap penentuan batasan omzet pajak restoran dinilai tidak adil bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah sehingga batasan omzet tersebut tidak tepat dan tidak layak terhadap perkembangan bisnis restoran saat ini. Rekonstruksi kebijakan ambang batas pajak yang diusulkan dari penelitian ini untuk mengadopsi kebijakan pajak restoran di negara lain, menyelaraskan Tri Dharma Perpajakan melalui upaya ekstensifikasi dengan mengukuhkan semua objek restoran dikenakan pajak restoran dengan menurunkan tarifnya.

 

Kata Kunci: ambang batas pajak; pajak restoran; rekonstruksi kebijakan

 

Abstract

Restaurant tax revenue with the turnover limit specified in the restaurant tax policy by the DKI Jakarta provincial government in its implementation through the online system does not optimally contribute to local tax revenue. This study aims to analyze and explain the reconstruction of restaurant tax thresholds through the determination of restaurant turnover limits subject to restaurant tax to increase local revenue in DKI Jakarta Province. The method used to analyze is mixed methods with concurrent transformative strategies based on the results of interviews and questionnaires from 30 respondents of entrepreneurs / restaurant owners in DKI Jakarta which are calculated using simple descriptive statistics. This writing is motivated by the determination of restaurant tax turnover limits in the realization of tax revenue that is not optimal in increasing regional income. For this reason, it is necessary to evaluate the restaurant tax policy through the criteria of effectiveness, efficiency, responsiveness and accuracy in determining the limit of restaurant tax turnover. The evaluation results show that the restaurant tax contribution is not optimal for local tax revenue, the tax authorities are not optimal in monitoring the compliance of restaurant taxpayers who have implemented an online system, the responses of dominant respondents are not satisfied with the determination of the restaurant tax turnover limit is considered unfair for micro, small and medium businesses. So that the turnover limit is inappropriate and not appropriate for the current development of the restaurant business. The tax threshold policy reconstruction proposed from this study is to adopt restaurant tax policies in other countries, harmonizing the Tri Dharma of Taxation through extensification efforts by confirming that all restaurant objects are subject to restaurant tax by lowering their rates.

 

Keywords: tax threshold; restaurant tax; policy reconstruction

 

Received: 2021-08-20; Accepted: 2021-09-05; Published: 2021-09-20

 

Pendahuluan

Kebijakan pajak restoran di DKI Jakarta dituangkan dalam peraturan daerah nomor 11 tahun 2011, dan petunjuk pelaksana diatur dalam peraturan gubernur nomor 22 tahun 2007, telah menetapkan ambang batas omzet sebesar dua ratus juta rupiah per tahun dengan tarif pajaknya sebesar 10 persen. Kedua kebijakan terkait penentuan batasan omzet restoran yang dikenakan pajak restoran, saat ini dinilai tidak lagi relevan terhadap perkembangan bisnis restoran yang semakin berkembang, serta tidak optimalnya kontribusi pajak restoran terhadap peningkatan pendapatan asli daerah Provinsi DKI Jakarta.

Dilihat dari realisasi penerimaannya di tahun 2015 mencapai Rp. 2,29 triliun hanya berkontribusi 8 persen terhadap realisasi pajak daerah sebesar Rp. 29,7 triliun. Di tahun 2016 realisasi penerimaannya mencapai Rp. 2,45 triliun hanya berkontribusi 8 persen terhadap realisasi pajak daerah sebesar Rp. 31,61 triliun. Di tahun 2017 realisasi penerimaannya mencapai Rp. 2,75 triliun hanya berkontribusi 8 persen terhadap realisasi pajak daerah sebesar Rp. 36,50 triliun. Di tahun 2018 realisasi penerimaannya mencapai Rp. 3,15 triliun hanya berkontribusi sebesar 8 persen terhadap realisasi pajak daerah sebesar Rp. 37,55 triliun. Di tahun 2019 realisasi penerimaannya mencapai Rp. 3,61 triliun hanya berkontribusi sebesar 9 persen terhadap realisasi pajak daerah sebesar Rp. 40,23 triliun (BPS DKI Jakarta dalam Angka, 2019).

Pada pemungutan pajak restoran yang bersifat self-assessment yang telah menerapkan sistem online juga tidak mampu mencakup keseluruhan objek pajak restoran, terlihat di tahun 2015 hanya 2.153 objek pajak (52,3%) yang terhubung online dari 4.115 objek pajak. Di tahun 2017 hanya 3.241 objek pajak (55,2%)� yang terhubung online dari 5.871 objek pajak. Di tahun 2018 hanya 5.067 objek pajak (49,4%) yang terhubung online dari 10.028 objek pajak. Di tahun 2019 masih terdapat 9 objek pajak restoran yang menunggak penyetoran pajak restoran.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya persoalan dalam mengimplementasikan kebijakan pajak restoran di DKI Jakarta. Sandiaga Uno, selaku wakil gubernur DKI saat itu, mengatakan bahwa badan pajak daerah belum melakukan pendataan pajak restoran dengan baik. Hal ini mengindikasikan sistem perpajakan daerahnya kurang memadai (Mardiasmo & Perpajakan, 2011).

Pada sistem kebijakan perpajakan daerah yang mengatur tentang pajak restoran masih terdapat ketidakselarasan, multifasir dan overlapping dilihat dari kebijakan yang ditetapkan melalui peraturan daerah nomor 11 tahun 2011 masih mengacu pada peraturan gubernut nomor 22 tahun 2007 yang mengatur petunjuk pelaksanaan pemungutan pajak restoran tidak relevan dengan perkembangan dunia usaha karena peraturan daerah mengatur ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran yang tidak termasuk kategori restoran sedangkan pada petunjuk pelaksananya tidak mengatur batasan omzet yang tidak termasuk objek pajak restoran.

Oleh karena itu, masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini memfokuskan pada rekonstruksi kebijakan ambang batas omzet pajak restoran di DKI Jakarta. Rekonstruksi kebijakan dilandasi dari hasil evaluasi batasan omzet pajak restoran yang telah diterapkan sejak tahun 2011 hingga saat ini tidak mampu berkontribusi secara optimal dalam meningkatkan pendapatan asli daerah dan tidak relevan dengan perkembangan bisnis restoran saat ini di Provinsi DKI.

Dalam rangka menunjang penerimaan daerah, kebijakan perpajakan daerah yang ditetapkan melalui peraturan daerah dinyatakan dalam bentuk (a) perluasan dan peningkatan wajib pajak; (b) perluasan objek pajak; (c) penyempurnaan tarif pajak; dan (d) penyempurnaan administrasi perpajakan (Marsuni, 2006). Pajak restoran termasuk jenis pajak daerah. Pajak restoran merupakan pajak tidak langsung dimana konsumen menanggung beban pajak akhir (Nmesirionye, Jones, & Onuche, 2019), uang pajak dikumpulkan oleh pengusaha/pemilik restoran sebagai wajib pajak, dan dibayarkan kepada otoritas pajak (Esmaeel, 2013). Pajak tidak langsung atau pajak konsumsi yang dikumpulkan dari konsumen/pembeli harus ditentukan mekanisme pemungutannnya oleh pemerintah (Crawford, Keen, & Smith, 2010). Keefektivitasan pajak restoran dapat diukur dari seberapa besar realisasi penerimaannya dalam mencapai target yang ditentukan pada periode tertentu. Keoptimalan pajak restoran dapat diukur dari kontribusinya terhadap pajak daerah.

Faktor yang berperan penting terhadap optimalisasi penerimaan pajak ke kas daerah adalah kejelasan dan kepastian peraturan pajak (Devano & Rahayu, 2006). Kepastian dalam peraturan pajak mengandung empat hal pokok, yaitu harus pasti siapa yang dikenakan pajak, harus pasti apa yang menjadi dasar pengenaan pajak kepada subjek pajak, harus pasti jumlah yang harus dibayar menurut tarif yang ditentukan, dan harus pasti cara membayar pajak terutang (Dewi & Zulaikha, 2011). Kepastian dan kejelasan tersebut sangat dibutuhkan agar pajak tidak menghalangi produksi dan distribusi barang/jasa (Gunadi & Widianto, 2020), dengan menempatkan prinsip revenue productivity dimana pajak sebagai instrumen utama keuangan pemerintah yang harus menghasilkan pertumbuhan pendapatan sesuai dengan perkembangan kondisi (Rosdiana & Tarigan, 2005).

Agar memiliki kejelasan dan ketepatan sasaran yang tidak mengabaikan kepentingan masyarakat kecil, maka kebijakan pajak restoran perlu dievaluasi terutama pada batasan omzet yang dikenakan pajak restoran (Dewi & Zulaikha, 2011). (Thuronyi, 2012) menyatakan penentuan ambang batas pajak (tax threshold) didasarkan pada dua hal, yaitu: (a) actual turnover of taxable supplies over a defined period (realisasi nilai peredaran atau omzet kena pajak selama periode tertentu); (b) estimated turnover over a defined period (estimasi atau perkiraan nilai peredaran atau omzet yang harus digunakan pada periode tertentu), sedangkan nilai peredaran usaha atau omzet ditentukan oleh tiga hal, yaitu: (a) the test may be based on past periods (when actual turnover can be used) (Nilai peredaran usaha atau omzet berdasarkan periode sebelumnya); (b) Future periods (when estimates must be used) (Nilai peredaran usaha atau omzet berdasarkan pada masa periode mendatang); dan (c) a period such as the current calendar year, which is both past and future (Nilai peredaran usaha atau omzet berdasarkan pada masa periode saat ini, masa sebelumnya maupun masa mendatang).

Untuk melakukan evaluasi batasan omzet yang dikenakan pajak restoran melalui sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah DKI, merujuk pada pendapat Dunn (2010) evaluasi mengacu pada nilai atau manfaat yang dihasilkan dari suatu kebijakan. Lester dan Stewart dikutip oleh (Winarno, 2016) mengartikan evaluasi kebijakan sebagai proses kebijakan publik guna mengetahui sejauhmana kebijakan dapat meraih dampak yang diinginkan. Lebih lanjut, (Dunn, 2003) berpendapat evaluasi dapat dilakukan melalui enam kriteria, yaitu efektivitas (effectiveness), efisiensi (efficiency), kecukupan (adequacy), perataan (equity), responsivitas (responsiveness), dan ketepatan (appropriateness).

Dalam penelitian terdahulu (Dewi, 2011), dijelaskan bahwa pokok raperda pajak pada objek restoran atas objek tertentu di DKI Jakarta adalah perluasan basis pajak restoran dengan penegasan definisi restoran dan kenaikan batasan peredaran usaha penjualan diatas Rp. 60 juta per tahun yang akan dikenakan pajak restoran. Berdasarkan simpulan penelitian hasil analisis kelayakan atas dasar asas-asas perpajakan dan kriteria-kriteria pajak daerah yang baik, terhadap rancangan perda pajak dengan objek pajak tertentu yaitu warung bisa dilakukan dengan adanya batasan omset yang dikenakan pajak dengan mempertimbangkan banyak variabel seperti misalnya UMR. Lalu cara pemungutan dengan metode self-assessment dengan mempertimbangkan bahwa warung menggunakan administrasi yang sederhana. Oleh karena itu dibutuhkan peranan fiskus dalam memberikan arahan dan pedoman kepada para pengusaha warung seperti sosialisasi mengenai cara menghitung, menyetor dan melaporkan pajak secara baik dan benar. Perbedaan penelitian ini dari ketiga penelitian sebelumnya tersebut adalah untuk merekontruksi kebijakan pengenaan pajak restoran dengan batasan peredaran usaha (omset), serta lokus penelitian dalam tesis ini mengacu pada pengenaan pajak restoran berdasarkan peraturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis dan menjelaskan mengenai evaluasi berdasarkan kriteria evaluasi pada efektivitas, efisiensi, responsivitas, dan ketepatan dalam penetapan ambang batas omzet restoran yang dikenakan pajak restoran di DKI Jakarta. Dari hasil evaluasi tersebut akan direkonstruksikan kebijakan ambang batas omzet restoran yang tepat untuk dikenakan sebagai pajak restoran di Provinsi DKI Jakarta.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode campuran (mixed method) sebagai metode yang mengkombinasikan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan menerapkan strategi transformatif konkuren. Transformatif konkuren merupakan strategi yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif secara serempak serta didasarkan pada perspektif teoritis tertentu (Creswell, 2016). Perspektif teoritis tertentu yang dimaksud pada penelitian ini mengacu pada teori evaluasi kebijakan (Dunn, 2003) dan konsep ambang batas pajak (tax threshold) pada nilai peredaran usaha atau omzet (Thuronyi, 2012).

Cara mengumpulkan data kuantitatif diperoleh dari hasil kuesioner yang disebar kepada 30 responden sebagai sampel penelitian (Bam, 1992). Responden berasal dari pengusaha/pemilik restoran yang ada di DKI Jakarta. Untuk melakukan analisis kuantitatif digunakan statistika deskriptif yang sifatnya sangat sederhana, terutama digunakan untuk menghitung data kuesioner yang diberikan kepada responden (Arikunto, 2010) dan menggunakan perspektif teori tertentu yaitu konsep ambang batas pajak (tax threshold) pada nilai peredaran usaha atau omzet (Thuronyi, 2012). Skala pengukuran yang digunakan adalah skala Likert memiliki empat bobot penilaian, yaitu sangat setuju skornya 4, setuju skornya 3, tidak setuju skornya 2, dan sangat tidak setuju skornya 1.

Sedangkan, cara mengumpulkan data kualitatif diperoleh dari hasil wawancara dengan informan yang telah ditetapkan yaitu berasal dari kalangan akademisi, pakar/ahli, dan pengusaha/pemilik restoran. Instrumen penelitian kualitatif yang digunakan adalah pedoman acara dengan merujuk pada perspektif teoritis tertentu yaitu teori evaluasi kebijakan (Dunn, 2003). Untuk melakukan analisis kualitatif dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles & Huberman, 2007).

 

Hasil dan Pembahasan

Pajak restoran bersifat self-assessment di dalam pemungutannya telah diterapkan dengan sistem online. Sistem online ini dianggap telah memberikan kemudahan bagi wajib pajak maupun fiskus karena data transaksi dapat secara langsung terkoneksi secara online ke Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI. Wajib pajak hanya bertugas memungut dan mengumpulkan uang pajak restoran yang dibayarkan oleh konsumen sebagai subjek pajak restoran yang telah menyediakan pelayanan makanan dan minuman di restoran untuk kemudian disetorkan ke Kas Daerah.

Meskipun sistem online pada pajak restoran di DKI Jakarta telah diterapkan sejak tahun 2011, namun hingga saat ini masih menunjukkan tidak keseluruhan objek pajak restoran yang telah dikukuhkan sebagai wajib pajak restoran yang telah terhubung dengan sistem online, seperti ditunjukkan pada data berikut.

 

Tabel 1

Jumlah Wajib Pajak Restoran di DKI Jakarta

yang Terhubung dengan Sistem Online Tahun 2015 � 2019

Sumber: BPRD DKI 2020, diolah Peneliti 2021

 

Tabel 1 menunjukkan dari keseluruhan objek restoran yang telah dikukuhkan sebagai wajib pajak restoran di DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 2015 hingga tahun 2019 rata-rata hanya mencapai 56 persen yang telah terhubung secara online, sedangkan sisanya rata-rata berkisar 44 persen yang belum terhubungan secara online. Artinya, masih terdapat potensi penerimaan pajak restoran yang belum dioptimalkan dalam meningkatkan kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah Provinsi DKI Jakarta. Kondisi tersebut tercermin dari data berikut ini.

 

Tabel 2

Prosentase Optimalisasi Penerimaan Pajak Restoran

terhadap Pendapatan Pajak Daerah DKI Tahun 2015 � 2019

Tahun

Realisasi Pajak Restoran

Realisasi Pajak Daerah

Prosentase

2015

2.290.255.418.530

29.076.926.598.506

8%

2016

2.453.440.079.189

31.613.197.634.662

8%

2017

2.752.068.115.536

36.500.782.266.176

8%

2018

3.154.227.566.484

37.552.701.941.025

8%

2019

3.612.833.684.707

40.239.655.989.720

9%

Sumber: BPRD DKI 2020, diolah Peneliti 2021.

 

Tabel 2 menunjukkan optimalisasi penerimaan pajak daerah dari hasil realisasi penerimaan pajak restoran selama kurun waktu tahun 2015 hingga tahun 2019 dalam prosentasenya tidak dapat mencapai 10 persen. Artinya, kontribusi pajak restoran terhadap pendapatan pajak daerah tidak optimal dibandingkan dengan jenis pajak daerah lainnya yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Berdasarkan pengintepretasian ketidakoptimalan realisasi penerimaan pajak restoran terhadap peningkatan pendapatan asli daerah yang berasal dari pajak daerah di DKI Jakarta tersebut maka perlu dilakukan evaluasi kebijakan pajak restoran. Evaluasi dilakukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan (Winarno, 2016), dan melihat sejauhmana implementasinya dalam mencapai tujuan (Wibawa, Purbokusumo, & Pramusinto, 1994). Kriteria untuk mengevaluasi kebijakan meliputi efektivitas, efisiensi, responsivitas dan ketepatan (Dunn, 2003).

1.    Evaluasi Kebijakan Ambang Batas pada Pajak Restoran di DKI Jakarta

a.    Keefektifan Penetapan Batasan Omzet Pajak Restoran

Keefektifan yang dimaksud dalam mengevaluasi penetapan batasan omzet pajak restoran yang ditetapkan dalam kebijakan pajak restoran di DKI Jakarta dilihat sejauhmana hasil yang diinginkan dari kebijakan yang telah ditetapkan terhadap pencapaiannya (Dunn, 2003). Penetapan batasan omzet yang dimaksud adalah dasar pengenaan pajak bagi wajib pajak Restoran, seperti pendapat yang diungkap oleh bapak Dhika di Bidang Peraturan I BPRD DKI, menyatakan bahwa:

�Batasan omzet yang ditetapkan dalam Perda pajak restoran tahun 2011 menggunakan pendekatan zaman karena dengan nilai omzet dua ratus juta rupiah per tahun. Pajak restoran ini sifatnya self-assessment atau bersinergi dengan ketentuan umum pajak daerah pada pasal 4 Perda nomor 6 tahun 2010, dimana ditunjuk lebih dulu Wajib Pajak sehingga secara otomatis, pengusaha restoran memiliki kewajiban lapor setiap satu bulan sekali. Jika omzetnya dibawah dari ketetapan maka pengusaha Restoran tidak memiliki kewajiban untuk setor pajak restorannya. Apabila omsetnya berada di angka dua ratus juta per tahun atau lebih, pengusaha Restoran dikukuhkan sebagai Wajib Pajak Restoran.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Penetapan batasan omset pajak restoran pada Perda nomor 11 tahun 2011 telah melalui kajian-kajian perhitungan guna mengukur dari tingkat kemampuan dari objek restoran yang dianggap dapat stabil dan dikukuhkan sebagai wajib pajak restoran, seperti pendapat yang diungkap oleh Bapak Abrar di Bidang Rencana Pembangunan BPRD DKI, menyatakan bahwa:

�Penetapan omset dua ratus juta rupiah per tahun atau lebih dikukuhkan sebagai Wajib Pajak restoran maka diharapkan mereka adalah objek atau Wajib Pajak yang sudah dianggap level kemampuannya itu bisa stabil. Apabila, misalnya ditentukan di bawah dua ratus juta rupiah per tahun, secara politisnya terlalu tinggi sebab Warung Tegal (Warteg), restoran padang yang di pinggir jalan juga bisa kena pajak. Kita tentukan omzetnya tentunya dengan kajian-kajian yang memiliki perhitungan. Kenapa ditentukan omzet di atas dua ratus juta rupiah, yaitu ketika saat perhitungan di tahun 2010 sudah melihat dominasi dari omzet itu, berapa yang wajar untuk dikukuhkan.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Pendekatan zaman dan kajian-kajian perhitungannya yang digunakan dalam menetapkan batasan omzet restoran yang dikenakan pajak restoran perlu dilakukan evaluasi berkaitan dengan keberadaan objek restoran yang tidak mewah tetapi beromzet besar, seperti diungkap oleh bapak Lutfi, selaku pakar/ahli pajak, yang menyatakan bahwa:

�Kalau dilihat dari batasan omzet sebesar dua ratus juta rupiah per tahun berarti per bulannya berkisar delapan belas juta rupiah. Ukuran perhitungan ini sebenarnya dikategorikan sebagai restoran sekala besar dan mapan. Akan tetapi, saat ini, ada objek restoran yang sebenarnya tidak terlalu mewah, tetapi omzetnya bisa lebih dari dua ratus juta rupiah. Masalahnya adalah tergantung pada kebijakan yang mau diambil oleh Pemda, apa intensifikasi atau ekstensifikasi, dilihat dari sasarannya terlebih dahulu.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Langkah evaluasi untuk memperbaiki ketidakotptimalan kontribusi pajak restoran terhadap pendapatan asli daerah Provinsi DKI Jakarta tergantung pada kebijakan yang mau diambil, intensifikasi atau ekstensifikasi. Menurut (Soemitro & Sugiharti, 2010), intensifikasi dapat ditempuh dengan cara penyempurnaan administrasi pajak, peningkatan mutu pegawai dan penambahan petugas pemungut pajak, serta penyempurnaan undang-undang pajak. Sedangkan ekstensfiikasi dapat ditempuh dengan cara perluasan wajib pajak, penyempurnaan tarif dan perluasan objek pajak.

Pemilihan intensifikasi dan ekstensifikasi tentunya diselaraskan dengan ketepatan perhitungan omzet dengan menitikberatkan pada tiga hal (Thuronyi, 2012), yaitu memperhitungkan nilai omzet pada periode sebelumnya, yaitu ketika diformulasikan dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Restoran di tahun 2010 menetapkan batasan nilai omset diatas dua ratus juta rupiah per tahun, kemudian memperhitungkan nilai batasan omset yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut dengan kondisi saat ini, serta memperhitungkan nilai batasan omset pada kondisi saat ini, kondisi ketika ditetapkannya dalam sebuah kebijakan, dan kondisi di masa depan. Upaya yang dapat dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi menurut bapak Lutfi, selaku ahli/pakar pajak, yang menyatakan bahwa:

�Kalau mau ekstensifikasi, maka batasan omzetnya diturunkan. Kalau mau intensifikasi, maka diperkuat sistem pengawasan. Kalau intensifikasi tidak harus �main� di batasan omzet, tetapi kalau ekstensifikasi mungkin batasan omzetnya bisa diturunkan. Saya rasa itu akan banyak potensinya. Laporannya sederhana saja, juga perlu disosialisasikan. Jadi harus mempertemukan antara tarif dengan batasan omzetnya, jangan sampai mendistorsi. Hal itu perlu diperhatikan oleh Pemerintah Daerah, harus dikomunikasikan dengan baik.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Apabila dilihat dari perhitungan batasan omzet yang diformulasikan dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Restoran di DKI Jakarta, seperti diungkapkan oleh Kepala Bidang Rencana Pembangunan BPRD DKI, yang menyatakan bahwa:

�Formulasi perhitungan kelayakan omzet yang ditetapkan sampai dengan saat ini, rumusnya masih beragam. Tetapi sebenarnya mengerucut kepada satu pola perhitungan, yaitu rata-rata pengunjung dikali rata-rata jumlah orang stand felt dikali jumlah hari kerja beroperasi pada restoran tersebut. Selama ini kita mengacu pada satu perhitungan. Seharusnya kita dapat meng-update menjadi tiga perhitungan. Tiga perhitungan seperti apa? Ketika restoran sepi, berapa rata-ratanya, ketika sedang-sedang ramai itu berapa rata-ratanya, ketika ramai banget itu berapa rata-ratanya. Jadi ketiga pola perhitungan itu bisa kita perhitungkan, kemudian kita sampaikan ke Wajib Pajak, dari situ Wajib Pajak mau dikukuhkan.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat dipahami bahwa masih dibutuhkannya langkah strategis guna memperbaiki penetapan batasan omzet dimana BPRD DKI sebagai unsur pelaksana di bidang pajak daerah perlu menyusun rencana strategis terkait pengkajian ulang batasan omzet pada pajak restoran dengan terlebih dahulu mengkaji sasaran kebijakan yang dituju pada objek restoran. Kemudian, menyusun rencana strategis terhadap langkah yang akan dilakukan melalui intensifikasi atau ekstensifikasi pajak restoran dengan memformulasikan perhitungan melalui tiga pola perhitungan (rata-rata pendapatan restoran ketika sepi, sedang-sedang ramai, dan ramai banget) melalui laporan yang sederhana dan dikomunikasikan dengan baik agar tepat dan ideal guna menyelaraskan pendekatan zaman yang digunakan ketika merumuskan perhitungan angka omzet yang dinilai wajar untuk dikukuhkan sebagai Wajib Pajak Restoran.

b.    Efisiensi Penetapan Batasan Omzet Pajak Restoran

Efisiensi sebagai kriteria evaluasi menurut (Dunn, 2003) memiliki hubungan antara efektivitas dan usaha yang telah dilakukan dari suatu kebijakan. Efisiensi yang dievaluasi dari kebijakan pajak restoran di DKI Jakarta didasarkan pada penetapan batasan omzet restoran yang dikenakan pajak restoran dalam pengoptimalisasian penerimaan pajak restoran ke Kas Daerah. Penerimaan pajak restoran selama kurun waktu tahun 2015 hingga 2019 telah diperoleh hasil nilai keefektifannya yang tidak optimal, hanya berkontribusi tidak melebihi 10 persen terhadap pendapatan asli daerah Provinsi DKI Jakarta.

Efisiensi yang terkait dengan penetapan batasan omzet restoran yang dikenakan pajak restoran melalui kebijakan pajak restoran di DKI Jakarta dapat dilihat dari usaha yang dilakukan oleh fiskus, seperti yang diungkap oleh Bapak Dhika di bidang Peraturan I BPRD DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa:

�Pemungutan pajak restoran dengan penetapan batasan omzet memberikan keefektivitasannya bagi fiskus karena dengan penetapan batasan omzet dalam Perda Pajak Restoran, tidak menguras konsentrasi fiskus dalam memungut pajak, sehingga diberikan batasan omzet dua ratus juta rupiah per tahun. Hingga sekarang masih dianggap relevan karena untuk perlindungan usaha agar masyarakat merasa nyaman ketika berusaha dan tidak terbebani dengan target memungut pajak. Fiskus juga dapat berkonsentrasi dalam pemungutan pajak restoran.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Usaha untuk mencapai efisiensi guna mengefektifkan penetapan batasan omzet pajak restoran di DKI Jakarta dapat terlihat dari diterapkan atau tidaknya Tri Dharma Perpajakan, seperti diungkap oleh Kepala Bidang Rencana Pembangunan BPRD DKI, yang menyatakan bahwa:

�Pada prinsipnya, yang pertama, pajak restoran itu bisa naik atau tidaknya tergantung pada tingkat kepatuhan dari Wajib Pajaknya itu sendiri. Yang kedua, cara mengetahui dia patuh atau tidak, kita sedang membuat online system untuk melihat patuh atau tidaknya, namun masih terdapat beberapa kendala, apakah kita sudah optimal dalam pengukuhannya?

Dilihat dari Tri Dharma Perpajakan, tepat waktu bayarnya, tepat jumlah bayarnya, sama semua dikukuhkan. Apakah semua sudah dikukuhkan? Apa yang mau dilakukan apa semua sudah dikukuhkan atau tidak, itu melalui sensus. Melalui sensus itu, kita bisa mengetahi apakah sudah dikukuhkan semua. Realisasinya itu kita bisa mengetahui apakah mereka sudah tepat jumlah, tepat jumlah ini bukan berarti dengan sensus jumlahnya harus segitu, tidak.

Oleh karena itu, formulasi perhitungan omzet digunakan dengan tiga pola perhitungan, ketika mereka sedang sepi, ketika mereka sedang-sedang rami, ketika mereka ramai sekali. Ketiga kondisi itu akan memperlihatkan, apakah jumlah pembayaran pajak itu di DKI ini, rata-rata adalah restoran sepi. Berarti salah. Maka online sistem-nya harus kita evaluasi.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Pada dasarnya, kebijakan perpajakan sebagai pemilihan unsur-unsur tertentu dari berbagai alternatif yang didasarkan atas sasaran yang ingin dicapai. Pemilihan unsur-unsur tersebut berkenaan dengan subjek pajak, objek pajak, tarif pajak dan prosedur pajak (Saefulloh & Indarti, 2012). Dilihat dari pengimplementasian sistem online pajak restoran terhadap objek pajak restoran yang telah dikukuhkan sebagai Wajib Pajak restoran di DKI Jakarta hingga saat ini terhadap penerapan Tri Dharma Perpajakan masih mencerminkan adanya Wajib Pajak yang telah terhubung secara online yang tidak tepat waktu membayar dan tidak tepat jumlah bayar kewajiban pajak restoran yang bersifat self-assessment.

Selama kurun waktu tahun 2017 hingga tahun 2019 terjadi perbandingan yang terbalik antara meningkatnya pertumbuhan jumlah objek pajak restoran secara keseluruhan dengan objek pajak restoran yang menggunakan sistem online mencerminkan masih terdapat ketidakefisiensinya terhadap keefektivitasan dari penetapan batasan omzet yang dianggap memudahkan bagi fiskus tetapi justru menimbulkan ketidakoptimalan dalam pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Restoran yang telah dikukuhkan dan telah menerapkan sistem online.

c.    Responsivitas Sasaran Kebijakan atas Penetapan Batasan Omzet Pajak Restoran

Responsivitas merupakan kriteria evaluasi digunakan untuk mengetahui sejauhmana kepuasan kelompok-kelompok masyarakat tertentu sebagai sasaran kebijakan (Dunn, 2003). Responsivitas dari sasasran kebijakan pajak restoran adalah tanggapan yang menyatakan puas atau tidaknya pengusaha/pemilik restoran di DKI Jakarta terhadap penetapan batasan omzet pajak restoran. Untuk mengukur tingkat responsivitas dari pengusaha/pemilik restoran didasarkan pada hasil perhitungan kuesioner dengan menggunakan statistik deskriptif (Arikunto, 2010). Hasil responsivitas sasaran kebijakan pajak restoran dari tanggapan yang diberikan oleh 30 responden penelitian ini dapat dilihat pada data berikut.

 

Tabel 3

Responsivitas Pengusaha/Pemilik Restoran di DKI Jakarta

Terhadap Batasan Omzet Restoran yang Dikenakan Pajak Restoran

 

Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa objek pajak restoran dengan penentuan batasan omzet sebesar dua ratus juta rupiah per tahun dapat disimpulkan dari respon pengusaha/pemilik restoran sebanyak 25 responden atau sebesar 83% menyatakan tidak setuju lebih dominan dibandingkan dengan responden pengusaha/pemilik restoran yang menyatakan setuju hanya sebanyak 5 responden atau sebesar 17%. Pada penentuan batasan omzet tersebut sudah tepat dikenakan pajak restoran menurut respon pengusaha/pemilik restoran sebanyak 15 responden atau sebesar 51% merespon tidak tepat dibandingkan dengan respon pengusaha/pemilik restoran yang menilai sudah tepat hanya sebanyak 10 responden atau sebesar 33%.

Penetapan omzet sebesar dua ratus juta rupiah per tahun tidak tepat untuk dikenakan bagi seluruh objek pajak restoran direspon oleh pengusaha/pemilik restoran dengan persetujuannya sebanyak 15 responden atau sebesar 50% lebih dominan dibandingkan dengan pengusaha/pemilik restoran yang merespon tidak setuju hanya sebanyak 5 responden atau sebesar 17%.

Penetapan omzet tersebut hanya tepat dikenakan bagi sebagian objek pajak restoran direspon oleh pengusaha/pemilik restoran dengan persetujuannya sebanyak 15 responden atau sebesar 50% dibandingkan dengan respon pengusaha/pemilik restoran yang merespon tidak setuju hanya sebanyak 5 responden atau sebesar 17%. Pada pernyataan penetapan omzet tersebut perlu dilakukan evaluasi direspon oleh pengusaha/pemilik restoran dengan menginginkan adanya evaluasi sebanyak 15 rseponden atau sebesar 50% dibandingkan dengan respon pengusaha/pemilik restoran yang tidak ingin dievaluasi hanya sebanyak 5 responden atau sebesar 17%.

Dari hasil perhitungan statistik deskriptif secara sederhana tersebut dapat menunjukkan bahwa responsivitas sebagai ukuran tingkat kepuasan pengusaha/ pemilik restoran sebagai sasaran kebijakan dari Peraturan Daerah tentang Pajak Restoran yang menetapkan batasan omzet sebesar dua ratus juta rupiah per tahun secara dominan dinilai tidak memuaskan karena tidak tepat untuk ditetapkan sebagai batasan omzet tersebut bagi keseluruhan objek pajak restoran yang ada saat ini sehingga perlukan dilakukan evaluasi.

Evaluasi dapat dilakukan terhadap penetapan batasan omzet pajak restoran yang telah ditetapkan dalam kebijakan tergantung dari adanya respon pengusaha dan masyarat, seperti diungkap oleh Kepala Subbidang Peraturan I BPRD DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa:

�Respon positif dari pengusaha dan masyarakat itu terlihat dari tidak adanya gugatan, dalam hal ini kebijakan itu dapat diterima dan diterapkan hampir selama 10 tahun ini. Hal yang menjadi masukan bagi kami adalah apakah perlu batasan omzet restoran itu direkonstruksi karena selama 10 tahun itu masih stagnan. Apakah betul kondisi di tahun 2011 dan di tahun 2021 walaupun masih di awal tahun ini, apakah masih sama seperti itu.

Hal yang menjadi tantangan, jika dilihat dari inflasi naik turun, dan harus disesuaikan. Untuk rekontruksi batasan omzet yang sifatnya turun atau naik, dibuktikan dengan data. Data dapat dihimpun dari berbagai macam. Apakah dari perdagangan makanan minuman, atau data tren inflasi-deflasi, kecenderungan masyarakat pada seberapa besar expend money mereka ketika mereka keluar rumah untuk sekadar makan dan minum, kemudian tren populis yang berkembang, misalnya terdapat jenis makanan atau minuman yang booming. Apakah yang mereka sediakan tersebut merupakan subjek pajak daerah atau pajak pusat yang dibutuhkan kecermatan.

Sepanjang dapat dibuktikan hal ini menjadi kewenangan Pemda menjadi Pajak Daerah maka dapat dipertahankan. Akan tetapi, kalau memang itu bukan merupakan jenis pajak daerah, maka harus diserahkan pada pajak pusat. Signifikan atau tidaknya terhadap penerimaan pajak restoran atas adanya perubahan omzet dari 60 juta ke 200 juta harus didasarkan data.

Dari data itu menunjukkan cukup dinamis. Selain itu, dilihat dari animo masyarakat berkunjung ke restoran, terdapat pertumbuhan objek restoran yang baru, dan mereka memiliki kesadaran untuk memiliki perijinan dan kewajiban pajak restoran. Semakin banyak gerai-gerai baru artinya masyarakat siap menerima.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Adanya penetapan batasan omset pajak restoran mendapat tanggapan dari bapak Dion, sebagai Pemilik Rumah Makan Bakso Rusuk Samanhudi berlokasi di Pasar Baru Jakarta Pusat, yang menyatakan bahwa:

�Nilai omzet yang dikenakan pajak restoran dengan batasan dua ratus juta rupiah per tahun masih terlalu rendah dan tidak adil untuk UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), karena itu hanya setara dengan Rp. 548 ribu per hari. Melihat realitas di lapangan, usaha kuliner mana yang akan bertahan dengan omzet hanya Rp. 548 ribu per hari dan harus membayar sewa tempat dan gaji karyawan yang mahal di Jakarta. Fakta di lapangan, rumah makan dengan tempat yang permanen bila memiliki omzet di bawah satu juta rupiah per hari kemungkinan besar tidak akan bertahan, apalagi hanya Rp. 548 irbu per bulan.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Dari pendapat informan sebagai pemilik rumah makan yang menilai dengan penetapan batas omzet pajak restoran saat ini dirasakan tidak adil bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Asas keadilan menjadi pertimbangan yang penting dalam memilih opsi kebijakan yang ada, berguna untuk membangun sistem perpajakan (Rosdiana & Tarigan, 2005).

Sistem perpajakan dapat berhasil apabila masyarakatnya merasa yakin bahwa pajak-pajak yang dipungut pemerintah telah dikenakan secara adil dan seitap orang membayar sesuai dengan bagiannya. Oleh karena itu, responsivitas terhadap penetapan batasan omzet pajak restoran di DKI Jakarta yang telah diberlakukan selama kurun waktu 10 tahun tentunya tidak hanya menunggu gugatan masyarakat terhadap keberlakuan Peraturan Daerah tentang Pajak Restoran, namun idealnya patut diperhatikan aspirasi dari pengusaha/pemilik restoran juga pelaku UMKM guna memberikan keadilan bagi pengusaha/pemilik restoran, Pemerintah DKI seharusnya memiliki sensitivitas kebijakan yang diungkapkan oleh Riant Nugroho (Okezone Online, 5 Januari 2011), sebagai stimulasi untuk mendorong stakeholder dalam melakukan kajian untuk kelayakan batasan omzet terhadap perkembangan zaman dari kemunculan tren populis maupun data kajian lainnya untuk dilakukan rekonstruksi kebijakan penetapan ambang batas pajak restoran saat ini.

d.    Ketepatan Penetapan Batasan Omzet Pajak Restoran

Ketepatan merupakan kriteria dalam evaluasi dikatakan oleh (Dunn, 2003) untuk mengetahui sejauhmana hasil yang diinginkan terhadap kegunaan dan kemanfaatan nilainya. Ketepatan pada penetapan batasan omzet pajak restoran yang dievaluasi diperlukan juga untuk mengadopsi kebijakan yang direkomendasikan dari OECD yang menerapkan pajak restoran, seperti diungkap oleh Kepala Bidang Rencana Pembangunan BPRD DKI, yang menyatakan bahwa:

�Di negara lain, ada yang memakai ambang atas, dan ada yang tidak memakai, tetapi tarif pajaknya berbeda-beda. Contoh, di negara Fiji, mengenakan pajak pada semua lini, artinya tidak ada ambang batas. Tetapi berdasarkan omzet, tarifnya naik turun. Misalnya, omzetnya dua ratus juta maka tarifnya 10%, apabila omzetnya 100 juta � 200 juta itu tarifnya 5%, kalau dibawah 100 juta itu bisa 1% atau 0,5%.

Berdasarkan data OECD, di Fiji dengan semua Wajib Pajak, semua objek dikukuhkan, dan dikenakan pajak. Datanya nanti tersebar dan menjadi semakin baik. Artinya, kita dapat melihat omzet-omzet dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah. Hal ini juga bisa menjadi acuan kita. Pak Gubernur, pak Anies, pawa awal menjabat, pernah memiliki semangat, kenapa kita tidak bisa mengukuhkan semua wajib pajak restorn. Pak Gubernur menginginkan semua dapat dikukuhkan sebagai wajib pajak restoran tanpa harus ada ambang batas untuk tarifnya.

Karena apa? Karena setiap restoran yang kecil, ia akan menjadi besar suatu saat nanti. Jika dari kecil sudah dididik membayar pajak, otomatis ketika sudah menjadi besar, pajak itu sudah menjadi hal yang wajar, menjadi hal yang disukai, menjadi hal yang patut dilakukan. Keinginan Pak Gubernur, turunkan tarifnya, tetapi semua objek restoran dikenakan pajak. Sewaktu pembahasan dengan OECD, jika semua dikukuhkan, tanpa membeda-bedakan ambang batasnya, maka tingkat kepatuhannya akan lebih tinggi pada suatu negara itu.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Untuk melakukan evaluasi terkait ketepatan pada penetapan batasan omzet pajak restoran di DKI Jakarta dalam pandangan yang diungkap oleh bapak Lutfi, selaku pakar/ahli pajak, yang menyatakan bahwa:

�Kalau di DKI, masyarakat saat ini sedang percaya dengan Gubernur. Tetapi juga harus ada logika-logika yang dipakai, jangan merasa masih dipercaya, tidak ada tantangan dari masyarakat. Karena kepercayaan masyarakat juga harus dipelihara oleh Pemerintah Daerah. Apalagi sekarang pemesanan makanan restoran lewat online, kalau dengan menggunakan ekstensifikasi guna memperluaskan cakupan objek pajak restoran, Pemerintah bisa bekerjasama dengan Go-Jek misalnya, untuk mengetahui potensi besaran omzet dari restorannya, dimana restoran kuliner banyak pemesanannya lewat online.

Hal ini dapat menjadi peluang bagi pajak restoran. Kalau di-setting dengan tarifnya tinggi maka banyak pelanggan akan beralih tidak lagi makan di restoran yang tidak dikenakan pajak. Hal yang perlu diperhatikan adalah masalah penegakan hukum, pengawasan. Sebagian restoran skala besar sudah diterapkan dengan sistem online, dan juga ada tapping box yang ditaruh di tempat Wajib Pajak yang bisa mendeteksi transaksi.

Penggunaan tapping box untuk restoran ini juga perlu diperluas penggunaanya. Apalagi sekarang transaksi sudah dengan cara elektronik. Walaupun tidak realtime tetapi dengan adanya pengorbanan sedikit, saya rasa bisa memastikan penerimaan pajak juga naik, jadi sejalan dengan perkembangan industri restoran nanti juga diikuti dengan kontribusi pajak restorannya. Jadi jangan Pemda push tetapi penerimaannya tetap.

Kalau sistem online, teknologinya sudah tidak bisa diapa-apain lagi karena realtime. Tetapi kalau restoran yang tidak realtime yaitu restoran yang tidak memiliki cabang tetapi omzetnya yang cukup besar, restoran itu akan sulit untuk dikenakan dengan sistem realtime, tetapi dengan menggunakan tapping box bisa menjadi salah satu upaya. Hal terpenting adalah aturan penegakan hukum dalam pemungutan pajaknya, kepatuhan pembayaran pajak, yang perlu disiasati.� (Hasil wawancara pada bulan Februari 2021).

Dari pendapat informan tersebut menunjukkan diperlukannya evaluasi untuk mengukur ketepatan penetapan ambang batas pajak restoran dengan mencermati adanya perkembangan bisnis restoran saat ini dapat juga dilakukan dengan memperluas objek pajak restoran dengan tarif yang sesuai agar tidak menyebabkan pelanggan restoran beralih tidak lagi memesan makanan dan minuman di restoran. Untuk itu perlu diperhatikan adanya aspirasi dari respon pengusaha/ pemilik restoran, mempertimbangkan asas keadilan dalam membangun keberhasilan sistem perpajakan, dan dapat mempertimbangkan usulan Gubernur untuk mengukuhkan semua objek restoran untuk dikenakan pajak restoran dengan tarif yang sesuai, serta dapat mengadopsi kebijakan pajak restoran yang direkomendasikan dari OECD, seperti di negara Fiji.

2.    Rekonstruksi Kebijakan Ambang Batas pada Pajak Restorann di DKI Jakarta

Berdasarkan hasil analisis evaluasi penetapan ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran melalui penelitian ini dapat diusulkan untuk dilakukan rekonstruksi dengan mencermati pada empat kriteria evaluasi kebijakan pajak restoran, sebagai berikut.

a.    Penetapan batasan omzet pajak restoran di DKI Jakarta dapat dikatakan efektif dengan menekankan pada penentuan sasaran yang dituju atas penetapan ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran dengan menggunakan pendekatan zaman maka batasan omzet pajak restoran yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Restoran di DKI Jakarta pada pengimplementasiannya tidak memberikan dampak signifikan dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah yang tidak optimal sehingga membutuhkan rencana strategis bagi Badan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta untuk mengkaji secara mendalam didukung dengan data dengan mempertimbangkan pada intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan, khususnya untuk diterapkan dalam pemungutan pajak restoran yang harus mempertemukan antara tarif dengan batasan omzetnya, agar tidak mendistorsi perlu dikomunikasikan dan disosialisikan dengan baik.

b.    Penetapan batasan omzet pajak restoran yang bersifat self-assessment system yang dinilai dapat memudahkan fiskus untuk melakukan pemantauan dalam pemungutan pajak restoran, dalam praktiknya tidak berdampak signifikan kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah di DKI Jakarta. Selain itu, pertumbuhan objek pajak restoran yang meningkat tidak sebanding dengan objek pajak restoran yang telah menerapakan sistem online dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban untuk menyetorkan pajak restoran ke Kas Daerah yang mencerminkan tidak efisien terhadap penetapan ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran dalam mencapai hasil yang dinginkan terhadap penerimaan Pajak Daerah bagi Pemerintah DKI Jakarta. Untuk itu dibutuhkan rekonstruksi kebijakan ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran yang selaras dengan Tri Dharma Perpajakan, yaitu tepat waktu membayarnya, tepat jumlah bayarnya, dan semua dikukuhkan.

c.    Responsivitas yang menyatakan tingkat kepuasan pengusaha/pemilik restoran di DKI Jakarta dari hasil survei yang telah dilakukan menyatakan responnya dominan terhadap ketidaktepatan penetapan batasan omzet sebesar dua ratus juta rupiah per tahun, dan perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi terhadap batasan omzet yang ditetapkan dalam sebuah kebijakan tidak seharusnya menunggu adanya gugatan dari masyarakat, melainkan dibutuhkannya keahlian pemerintah DKI Jakarta dalam menerapkan metode sensivitas kebijakan guna menstimulasi para stakeholders, dan mewujudkan keadilan bagi semua pelaku usaha restoran di DKI Jakarta. Untuk itu, rekonstruksi kebijakan ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran di DKI Jakarta perlu dilakukan kajian terhadap perkembangan zaman dari kemunculan tren populis atas perkembangan bisnis restoran saat ini.

d.    Ketepatan penentuan ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran jika ditinjau dari rekomendasi OECD dengan memberikan contoh praktik pajak restoran di negara Fiji, serta semangat yang diusung oleh Gubernur DKI Jakarta dengan mengkukuhkan semua objek restoran untuk dikenakan pajak dan menurunkan tarifnya, dapat menjadi opsi kebijakan dalam melakukan rekonstruksi kebijakan ambang batas pajak restoran di DKI Jakarta.

 

Dari keempat kriteria evaluasi kebijakan untuk merekonstruksi kebijakan ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran di DKI Jakarta, dapat dijelaskan pada tabel berikut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 4

Rekonstruksi Kebijakan Ambang Batas Pajak Restoran

di Provinsi DKI Jakarta

Kebijakan

Kriteria Evaluasi

Hasil Evaluasi

Usulan Rekonstruksi

Perda DKI No. 11 Tahun 2010 tentang Pajak Restoran pada penetapan batasan omzet restoran

Efektivitas

Tidak optimal kontribusi penerimaan pajak restoran terhadap Pendapatan Pajak Daerah

BPRD DKI untuk merancang rencana strategis dengan mengkaji intensifikasi dan ekstensifikasi pajak restoran terhadap layak atau tidaknya pada penetapan batasan omzet pajak restoran

Efisiensi

Tidak efisien dari tingkat keefektifan penetapan batasan omzet yang dianggap memudahkan bagi fiskus tetapi justru menimbulkan ketidakoptimalan dalam pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Restoran yang telah dikukuhkan dan telah menerapkan sistem online.

Perlu diselaraskan pada Tri Dharma Perpajakan, yaitu tepat waktu bayarnya, tepat jumlah bayarnya, semua dikukuhkan.

Responsivitas

Pengusaha/ pemilik restoran dari hasil survei menunjukkan ketidakpuasan dari batasan omzet pajak restoran, dan dinilai tidak adil bagi pelaku UMKM.

Perlu menerapkan metode sensitivitas kebijakan sebagai stimulasi untuk mendorong para pelaku kebijakan dan stakeholder.

 

Ketepatan

Tidak tepat atau tidak layak terhadap perkembangan bisnis restoran saat ini.

Perlu mengadopsi kebijakan di negara lain yang direkomendasikan OECD, dan perlu didukung semangat Gubernur DKI untuk mengukuhkan semua objek restoran dikenakan pajak dengan menurunkan tarifnya.

 

Tabel 4 dapat dijelaskan rekonstruksi kebijakan ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran atas batasan omzet yang ditetapkan dari Peraturan Daerah tentang Pajak Restoran di DKI Jakarta pada saat ini sudah sepatutnya direkonstruksi ulang melalui rencana kebijakan strategis yang dikaji oleh BPRD DKI Jakarta dengan mempertimbangkan pada langkah intensifikasi atau ekstensifikasi pada pajak restoran, menerapkan metode sensitivitas kebijakan dengan mencermati tren populis dari perkembangan bisnis restoran di DKI Jakarta saat ini serta menyelaraskan praktik pemungutan pajak restoran dengan Tri Dharma Perpajakan guna mencapai ketepatan kebijakan.

Rekonstruksi yang diusulkan dari hasil penelitian ini agar Pemerintah DKI Jakarta dapat mengadopsi kebijakan pajak restoran yang dipraktikkan di negara lain, seperti di Fiji, dan senada dengan semangat Gubernur DKI Jakarta untuk mengkukuhkan semua objek restoran dikenakan pajak, menurunkan tarifnya dikomunikasikan dan disosialisasikan dengan tepat dan cemat agar tidak mendistorsi dengan harapan dapat memberikan edukasi pajak bagi seluruh para pengusaha/ pemilik restoran di DKI Jakarta.

 

Kesimpulan

Evaluasi kebijakan ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran di Provinsi DKI Jakarta dari kriteria efektivitas dilihat kontribusi penerimaan pajak restoran terhadap pendapatan pajak daerah dinilai tidak optimal. Pada kriteria efisiensi terkait hubungannya antara efektivitas mencerminkan pengawasan fiskus tidak optimal dalam pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Restoran yang telah dikukuhkan dan telah menerapkan sistem online. Pada kriteria responsivitas atas tanggapan yang dinyatakan oleh pengusaha/pemilik restoran di DKI Jakarta menunjukkan ketidakpuasan atas batasan omzet pajak restoran dan terdapat nilai ketidakadilan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pada kriteria ketepatan atas batasan omzet yang ditetapkan dinilai tidak tepat atau tidak layak terhadap perkembangan bisnis restoran di DKI Jakarta saat ini.

Untuk itu, rekonstruksi kebijakan ambang batas pajak (tax threshold) pada pajak restoran di Provinsi DKI Jakarta dapat dilakukan dengan mengadopsi kebijakan pajak restoran di negara lain yang senada dengan semangat Gubernur DKI Jakarta dan selaras dengan Tri Dharma Perpajakan perlu dipertimbangkan upaya ekstensifikasi pajak untuk mengukuhkan semua objek restoran dikenakan pajak dengan menurunkan tarifnya melalui komunikasi dan sosialisasi yang tepat dan cermat sehingga dapat memberikan edukasi pajak bagi seluruh pengusaha/ pemilik restoran di DKI Jakarta.

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik (Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.

 

Bam, Kapil. (1992). Research methods for business and management. Google Scholar

 

Crawford, Ian, Keen, Michael, & Smith, Stephen. (2010). Value added tax and excises. Dimensions of Tax Design: The Mirrlees Review, 1, 275�362. Google Scholar

 

Creswell, John W. (2016). Research design: pendekatan metode kualitatif, kuantitatif, dan campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 5. Google Scholar

 

Devano, Sony, & Rahayu, Siti Kurnia. (2006). Perpajakan: Konsep, teori, dan isu. Google Scholar

 

Dewi, Mira Riangga, & Zulaikha, Zulaikha. (2011). Persepsi Wajib Pajak Atas Pengenaan Pajak Penghasilan: Anteseden dan Konsekuensinya (Kajian Empiris Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Memiliki Usaha di Kota Kudus). Universitas Diponegoro. Google Scholar

 

Dunn, William N. (2003). Pengantar analisis kebijakan publik. Google Scholar

 

Esmaeel, Ezat Sabir. (2013). The impact of direct-indirect taxation on consumer. IOSR Journal of Engineering, 3(6), 8�13. Google Scholar

 

Gunadi, Faustina, & Widianto, Septian Rheno. (2020). Efektifitas Pelaporan Pajak Online di Indonesia Berbasis Cobit 5.0 pada Domain MEA (Monitor, Evaluate, Assess). Seminar Nasional Teknologi Komputer & Sains (SAINTEKS), 1(1), 82�85. Google Scholar

 

Mardiasmo, Perpajakan, & Perpajakan, A. K. T. (2011). edisi revisi 2011. Yogyakarta: Penerbit Andi.

 

Marsuni, Lauddin. (2006). Hukum dan kebijakan perpajakan di Indonesia. UII Press. Google Scholar

 

Miles, Matthew B., & Huberman, A. Michael. (2007). Terj. Analisis Data Kualitatif�Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Google Scholar

 

Nmesirionye, J. A., Jones, Ebieri, & Onuche, E. V. S. (2019). Impact of indirect taxes on economic performance of Nigeria (1994-2017). European Journal of Accounting, Finance and Investment, 5(4), 32�39. Google Scholar

 

Rosdiana, Haula, & Tarigan, Rasin. (2005). Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Google Scholar

 

Saefulloh, Ridwan, & Indarti, Iin. (2012). Pengaruh Persepsi tentang Sanksi Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi. Jurnal Ilmiah Aset, 14(2), 153�159. Google Scholar

 

Soemitro, Rochmat, & Sugiharti, Dewi Kania. (2010). Asas dan Dasar Perpajakan 1 (Edisi Revisi). Cetakan Kedua, Bandung: PT Refika Aditama. Google Scholar

 

Thuronyi, Victor. (2012). Tax law. In Elgar Encyclopedia of Comparative Law, Second Edition. Edward Elgar Publishing. Google Scholar

 

Wibawa, Samodra, Purbokusumo, Yuyun, & Pramusinto, Agus. (1994). Evaluasi kebijakan publik. PT Raja Grafindo Persada. Google Scholar

 

Winarno, Budi. (2016). Kebijakan Publik Era Globalisasi. Yogyakarta: CAPS.

 

Copyright holder:

Mohammad Toffani Alrajbie, Haula Rosdiana (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

This article is licensed under: