Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 6, No. 10, Oktober 2021
DIPLOMASI PUBLIK KOREA SELATAN MELALUI KERJASAMA INDUSTRI
KREATIF SUB SEKTOR MODE DENGAN INDONESIA
Muhammad Alvansyah
Joisangadji, Resa Rasyidah
Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur,
Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Kerjasama industri kreatif Korea
Selatan-Indonesia dilakukan sejak
pertemuan antara Kemenparekraf Indonesia dan MSIP (Ministry of Science, ICT
and Future Planning) Korea Selatan pada 2013. Kedua
negara kemudian menandatangani
nota kesepahaman pada tahun
2016. Melalui Nota Kesepahaman
tersebut, kedua negara melakukan kerjasama di berbagai sub sektor salah satunya adalah sub sektor mode. Industri mode Korea
Selatan telah berhasil memasukki pasar global melalui
Korean Wave yang masif sehingga
produk mode Korea Selatan mampu
bersaing dengan brand mode bertaraf internasional. Di
Indonesia, produk mode Korea Selatan juga berkembang pesat berkat adanya film/drama dan
K-pop yang memberikan pengaruh
dalam gaya berbusana masyarakat Indonesia terutama kalangan remaja. Oleh karena itu, Indonesia mengadakan kerjasama dengan Korea Selatan untuk mengembangkan industri kreatif sub sektor modenya sedangkan Korea Selatan dapat memanfaatkan kerjasama ini sebagai sarana
diplomasi publik.
Penelitian ini menggunakan teori diplomasi publik yang di dalamnya terdapat berbagai instrumen untuk mengidentifikasi bentuk diplomasi publik yang dilakukan oleh negara, seperti:
advocacy, broadcasting/cyber, kerjasama, public
relation, diaspora, exchange, dan diplomasi budaya. Penelitian ini menerapkan metode penelitian kualitatif dan deskriptif untuk meneliti bentuk diplomasi publik Korea Selatan.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bentuk diplomasi publik Korea Selatan yakni menggunakan diplomasi budaya. Diplomasi budaya tersebut diimplementasikan melalui pembentukan Young Creator
Indonesia Fashion Institute (YCIFI) dan platform exchange melalui
fashion show.
Kata Kunci: diplomasi publik; korea selatan;
diplomasi budaya; industri kreatif; sektor mode
Abstract
The cooperation of the South Korea-Indonesia creative
industries has been carried out since the meeting between the Indonesian
Ministry of Tourism and Creative Economy (Kemenparkraf)
and South Korea MSIP (Ministry of Science, ICT and Future Planning) in 2013.
The two countries then signed the memorandum of understanding in 2016. Through this
Memorandum of Understanding, the two countries have collaborated in various
sub-sectors, one of which is the fashion sub-sector. The South Korean fashion
industry has succeeded in entering the global market through the massive Korean
wave so that South Korean fashion products are able to compete with
international fashion brands. In Indonesia, South Korean fashion products are
also growing rapidly thanks to the existence of films / dramas and K-pop which
have an influence on the dress styles of Indonesian society, especially
teenagers. Therefore, Indonesia is collaborating with South Korea to develop
the creative industry in its fashion sub-sector, while South Korea can take
advantage of this collaboration as a means of public diplomacy. This study intends
to describe the form of South Korean public diplomacy through the collaboration
of the creative industry in the fashion sub-sector with Indonesia. This study
uses the theory of public diplomacy in which there are various instruments to
identify forms of public diplomacy carried out by the state, such as: advocacy,
broadcasting / cyber, cooperation, public relations, diaspora, exchange, and
cultural diplomacy. This study applies qualitative and descriptive research
methods to examine the form of South Korean public diplomacy. The results show
that the form of public diplomacy used by South Korea is cultural diplomacy.
The cultural diplomacy is implemented through the establishment of the Young
Creator Indonesia Fashion Institute (YCIFI) and an exchange platform through
fashion shows.
Keywords: public
diplomacy, south korea, cultural diplomacy, creative industry, fashion sector
Received: 2021-09-20; Accepted: 2021-10-05; Published: 2021-10-20
Pendahuluan
Pada era globalisasi
negara tidak bisa hanya bergantung pada sektor industri tradisional yang terus mengeksploitasi sumber daya alam demi meningkatkan perekonomian. Dalam kondisi ini industri
kreatif merupakan pilihan yang dalam prosesnya mengutamakan inovasi dan kreativitas sehingga produk tersebut bernilai ekonomis (Putri, 2017).
Salah satu dampak dari arus globalisasi
adalah perkembangan ekonomi yang sangat dinamis. Transformasi gelombang ekonomi diawali dengan gelombang ekonomi pertanian, gelombang ekonomi industri, gelombang ekonomi informasi, dan gelombang ekonomi kreatif. Pada awalnya aktivitas perekonomian dilakukan melalui sektor pertanian. Kemudian, gelombang ekonomi memasuki era perindustrian dengan adanya revolusi industri dan meningkatnya penggunaan mesin untuk membangun perekonomian. Perkembangan teknologi membuat orang berlomba-lomba untuk berinovasi dalam teknologi, sehingga muncul berbagai perusahaan yang berbasis teknologi. Era ini disebut gelombang ekonomi informasi. Adanya gelombang ekonomi informasi membuat persaingan menjadi lebih ketat. Orang-orang dituntut untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada. Salah satu opsi agar mampu beradaptasi adalah menggunakan kreativitas. Dengan menggunakan kreativitas dan inovasi maka seseorang
dapat menghasilkan sebuah produk yang memiliki nilai tambah sehingga disebut ekonomi kreatif (Purnomo, 2016).
Maka dari itu, keberadaan industri kreatif menjadi penting agar ekonomi kreatif dapat terbangun.
Berdasarkan sejarahnya, industri
kreatif mulai muncul di Inggris pada tahun 1990-an. Pada saat itu Department of
Culture, Media, and Sport (DCMS) melihat industri kreatif dapat menjadi bagian
dari perekonomian Inggris karena sumbangsihnya yang mencapai 5% PDB
Inggris (Hartley et al., 2012).
DCMS pun melihat industri kreatif kegiatan-kegiatan yang berasal dari kreativitas,
keterampilan dan bakat individu dan yang memiliki potensi kekayaan dan penciptaan lapangan kerja melalui pembangkitan
dan eksploitasi kekayaan intelektual (Hartley et al., 2012).
Setelah merumuskan definisi
dari industri kreatif, DCMS membagi industri kreatif menjadi 13 sub sektor yakni, musik, pertunjukan
seni, kerajinan, seni, desain, desain
mode, film dan video, televisi dan radio, penerbitan, dan komputer. Industri kreatif erat kaitannya dengan ekonomi kreatif. John Howkins melihat ekonomi kreatif adalah sebagai input dan output dari pengolahan
kreativitas dan inovasi
yang memiliki nilai ekonomis (Nenny, 2008). Masuknya gelombang ekonomi kreatif ini menjadi sebuah
opsi baru dalam dunia industri ditengah ini industri
tradisional selama ini dimana para pekerja mengeluarkan tenaga untuk mendapatkan
upah. Melalui ekonomi kreatif, seorang pekerja dituntut untuk lebih menggunakan kreativitas dan inovasi agar dapat membuka lapangan
kerja yang lebih besar, meningkatkan kesejahteraan, dan meningkatkan pendapatan negara.
Salah satu negara
yang berhasil dalam pengembangan industri kreatif adalah Korea Selatan. Produk industri kreatif Korea Selatan telah diterima secara global. Pemerintah Korea Selatan melakukan
upaya pengembangan sektor industri kreatif negara tersebut karena besarnya peluang yang dapat dihasilkan dari industri kreatif baik dari segi
ekonomi maupun pembentukan citra negara. Upaya Pemerintah Korea salah satunya adalah dengan membentuk
Korean Culture and Content Agency (KOCCA)
yang berada di bawah arahan Ministry of
Culture, Sports & Tourism (MCST). KOCCA berperan
untuk mengintegrasikan Pemerintah Korea Selatan dengan pelaku industri kreatif serta melakukan
pengawasan dan promosi produk industri kreatif Korea Selatan (KOCCA, 2020).
Sub sektor mode merupakan salah satu andalan Korea Selatan di pasar global. Perkembangan
industri mode Korea Selatan didukung
grup idola dan film. Grup
idola dan film drama asal Korea Selatan telah menarik minat
banyak orang untuk mengikuti baik itu pakaian hingga
aksesoris yang digunakan
oleh idola mereka atau aktor maupun aktris
yang berperan dalam drama tersebut. Selain itu alasan orang memilih produk mode asal Korea Selatan yakni, bahan dasar
yang digunakan telah menggunakan bahan dasar yang ramah lingkungan (Na & Na, 2015).
Terdapat 396 perusahaan
mode yang telah menggunakan
bahan dasar ramah lingkungan tersebut (Na & Na, 2015).
Dalam beberapa tahun terakhir, industri mode Korea Selatan mulai
memasuki pasar global dan tidak
hanya bersegmentasi pada penggemar budaya K-Pop. Hal ini terjadi karena
meningkatnya daya saing antar merek
lokal Korea Selatan dengan pertumbuhan angka penjualan yang selalu berada di atas 2 persen sejak tahun
2011. Thisisneverthat merupakan
salah satu merek mode Korea
Selatan yang menembus pasar global dan telah bekerjasama dengan Puma, Reebok,
dan Vans (Nam, 2019).
Sementara itu industri kreatif di Indonesia merupakan potensi ekonomi baru yang dapat dikembangkan. Walaupun tergolong baru, kontribusi industri kreatif terhadap PDB nasional Indonesia dalam rentang waktu 2010-2013 mencapai angka rata-rata 7,8% (Kemenparekraf, 2014).
Salah satu sub sektor industri kreatif yakni mode menjadi penyumbang terbesar PDB nasional serta mengalami pertumbuhan ekspor 10,95% pada rentang waktu 2008-2012. Dalam perkembangannya,
industri mode Indonesia masih
dipengaruhi oleh budaya luar. Belakangan ini, Pemerintah Indonesia mulai mengarahkan industri mode dengan mendorong Indonesia menjadi pusat mode muslim di Asia tahun 2018, kemudian menjadi pusat mode muslim dunia tahun 2020. Pada tahap lanjutan, Pemerintah Indonesia menargetkan
negara ini menjadi salah satu pusat mode dunia (Indonesia Trend Forecast, 2018).
Hal tersebut didukung oleh tingginya populasi muslim serta tergabungnya
Indonesia ke dalam Organisasi Kerjasama Islam. Akan tetapi,
walaupun pertumbuhan industri mode begitu signifikan dan didukung oleh pemerintah, masih terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangannya. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: adanya pengaruh budaya luar, kualitas sumber daya manusia
yang kurang, serta daya saing pada pasar domestik dan global masih rendah.
Dalam upaya pengembangan industri kreatif sub sektor mode dan mewujudkan visi meningkatkan daya kreativitas masyarakat serta meningkatkan daya saing pada tingkatan global, Indonesia melakukan
kerjasama dengan Korea
Selatan pada bidang industri
kreatif salah satunya sub sektor mode. Kedua negara sebenarnya telah melakukan kerjasama pada tahun 2013. Pada saat itu, Kemenparekraf dengan Minister of
Science, ICT & Future Planning serta KOCCA bekerjasama melakukan pertukaran informasi dan pengalaman, melakukan pelatihan, dan mendukung kerjasama swasta kedua Negara (Kemenparekraf, 2013). Sebagai tindak lanjut dari kerjasama
yang telah dilakukan sebelumnya, kedua negara melalui Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) dan MCST melakukan
penandatanganan MoU pada tahun
2016 di Seoul, Korea Selatan. Adapun isi dari MoU tersebut yakni, 1) melakukan peningkatan kapasitas dengan mengadakan pertukaran, Pendidikan, dan pelatihan;
2) saling bertukar informasi kebijakan; 3)� bertukar pengalaman cara pendanaan ekonomi kreatif; 4) menyalurkan bantuan Teknik untuk proses pengembangan industri kreatif; 5) mengadakan pameran sebagai ajang promosi kedua
negara; 6) mengadakan produksi
bersama dan memasarkannya;
7) terciptanya hubungan erat antara kedua
negara di bidang industri kreatif (Kementerian Luar Negeri RI, 2016).
Berdasarkan MoU tersebut, Pemerintah Korea Selatan memanfaatkannya
dengan mengadakan diplomasi publik kepada Indonesia. Penelitian ini membahas tentang bagaimana bentuk
diplomasi publik Korea Selatan dalam kerjasama industri kreatif sub sektor mode
dengan Indonesia.
Dalam penelitian ini, penulis menemukan
beberapa literatur yang dijadikan bahan acuan penulis. Pertama, penelitian oleh (Putri, 2017)
�Kerjasama Indonesia dan Korea Selatan dalam Pengembangan Sektor Industri Kreatif Indonesia�. Pada
penelitian ini mereka memandang jika kerjasama tidak hanya membahas
keamanan dan ekonomi tradisional. Ini dapat dilihat dengan kerjasama kedua negara di industri kreatif dengan tujuan nation branding dan peningkatan
ekonomi (Putri, 2017). Kedua, (Syarief, 2016)
dalam penelitian yang berjudul �Kerjasama Indonesia-Korea Selatan di Bidang Manufaktur� menyebutkan jika kerjasama tersebut dilakukan untuk memenuhi kepentingan Indonesia
yang membutuhkan modal dan teknologi
serta kepentingan Korea
Selatan membutuhkan sumber daya. Persamaan dua literatur di atas dengan penelitian
ini yakni membahas hubungan kerjasama antar kedua negara dan juga di bidang industri kreatif. Sedangkan yang menjadi pembeda, penelitian ini lebih terfokus
pada diplomasi publik yang dijalankan Korea Selatan melalui kerjasama industri kreatif sub sektor mode.
Diplomasi publik berbeda dengan diplomasi tradisional yang bersifat government
to government, sebagai agenda pemenuhan kepentingan nasional dengan menggunakan hard power yakni
dari segi ekonomi, militer, dan politik. Hal tersebut membuat diplomasi tradisional cenderung high
politic. Berbanding terbalik
dengan dengan diplomasi tradisional, diplomasi publik prosesnya lebih berorientasi government to people tetapi juga tidak melupakan pemerintah negara yang menjadi
target diplomasi. Selain itu,
diplomasi publik lebih memanfaatkan soft power dengan
memaksimalkan masyarakat, kebudayaan, dan organisasi non pemerintah. Pergeseran target dikarenakan selain memenuhi kebutuhan mendasar, negara juga mencoba untuk membangun opini publik dan citra negara agar menjadi lebih positif sehingga
dapat menaikkan posisi tawarnya pada konstelasi internasional (Nye Jr, 2008).
Berdasarkan penjelasan yang telah
disebutkan sebelumnya diplomasi publik menjadi hal yang baru dan berbeda dari diplomasi tradisional yang dijalankan antar negara. Kemunculan diplomasi publik membuat negara yang pada awalnya cuma berkomunikasi dengan negara lain saja kini negara harus lebih aktif berkomunikasi
dengan masyarakat internasional dengan maksud untuk memperlihatkan
kepentingan nasional, kebijakan, pandangan, dan budaya negara tersebut (Wang, 2006).
(Wang, 2006)
memandang diplomasi publik menjadi usaha negara untuk menjalin interaksi ke masyarakat dan memberikan impak pada sektor politik, ekonomi, dan sosial. Mark Leonard
(2002) beranggapan diplomasi
publik merupakan tindakan yang dilakukan oleh
negara melalui menjaga komunikasi dengan cara mengenali kebutuhan, masyarakat, dan budaya; meluruskan mispersepsi yang timbul ditengah masyarakat dunia; membahas pandangan; kedua pemerintah mencari kesamaan pandangan.
Diplomasi publik memiliki tiga dimensi yakni
news management, strategic communication, dan relationship
building (Leonard, Stead, & Smewing, 2002).
News management merupakan dimensi diplomasi publik yang dimana negara melakukan kegiatan komunikasi harian yang refleksikan melalui kondisi domestik negara dan kebijakan luar negeri yang dikeluarkan. Maksud dari dimensi ini adalah
pemerintah melakukan penggiringan opini terhadap fenomena yang sedang terjadi agar sesuai dengan keinginannya.
Strategic communication atau komunikasi strategis merupakan serangkaian kegiatan yang diselenggarakan
oleh negara degan tujuan
agar terbentuknya opini publik dan juga citra positif bagi negara yang diimplemtasikan melalui kerjasama dan juga kegiatan kampanye. Relationship building merupakan
dimensi yang dilakukan oleh
berbagai aktor dengan maksud membentuk
maupun menjaga hubungan antar negara akan tetapi tidak
hanya pada tingkat pemerintah saja tetapi juga mencakup hubungan antar masyarakat yang dapat dicapai melalui pertukaran pelajar, beasiswa, konferensi, program pelatihan, dan saling bertukar informasi.
Agar sebuah diplomasi publik dapat berjalan dengan baik dan tercapai tujuannya, negara dapat memanfaatkan berbagai medium yang tersedia dalam diplomasi publik. Berdasarkan pandangan (Gilboa, 2008),
diplomasi publik dapat dijalankan melalui berbagai bentuk sehingga kepentingan nasionalnya dapat tercapai, seperti: advokasi, broadcasting/cyber, public relation, kerjasama, diaspora, exchange, dan diplomasi
budaya tradisional/pop. Advokasi sebagai bentuk diplomasi ini dijalankan dengan cara membentuk
opini terhadap sebuah isu sehingga
menciptakan pengaruh terhadap kebijakan luar negeri negara lain. Berdasarkan
prosesnya, bentuk ini menjadi upaya
negara untuk memegang kendali konstelasi internasional melalui lahirnya sebuah kebijakan luar negeri, menunjukkan kepentingannya, dan menyebarkan informasi/opini dengan cara
berkomunikasi secara rutin (Cull, 2009).
Broadcasting/cyber merupakan bentuk diplomasi publik yang dijalankan menggunakan radio, televisi, dan internet dengan tujuan untuk menyebarkan
berbagai informasi sehingga negara tersebut dapat berinteraksi dengan masyarakat dunia. Broadcasting dimanfaatkan
oleh negara untuk mengenalkan
produk, budaya, pandangan, dan gagasan negara tersebut (O�Keeffe & Oliver, 2010).
Public relation adalah
usaha negara untuk membangun reputasi melalui pengendalian sifat, opini, dan keputusan yang dikeluarkan negara
lain terhadap negara tersebut
sehingga citra negara dapat terbangun maupun pulih. Secara
umum public
relation memiliki tugas
untuk melakukan komunikasi publik, menjaga hubungan antar rekanan, manajemen masalah, dan corporate social responsibility (CSR) hal ini membuat
public relation mengemban
tanggung jawab untuk meningkatkan dan menjaga reputasi sebuah organisasi. Berdasarkan tugasnya, dapat dikatakan public relation
dan diplomasi publik memiliki sebuah korelasi mengingat diplomasi publik melakukan interaksi government to gevernment
dan juga government to people. Maka dari itu, public relation merupakan salah satu bentuk diplomasi
publik yang bertugas untuk berkomunikasi dengan negara lain, dialog, representasi,
manajemen opini publik, dan manajemen masalah sehingga kepentingan nasional negara dapat tercapai (L�Etang, 2009).
Kerjasama menjadi
salah satu instrumen diplomasi publik, hal tersebut dikarenakan
kerjasama dapat menghasilkan sebuah hubungan yang saling menguntungkan sehingga dapat mengangkat citra dan reputasi dimata negara lain. Pada dasarnya
kerjasama menjadi keharusan bagi sebuah negara sebab konstelasi internasional membuat negara harus hidup saling berdampingan.
Negara dituntut untuk menjalin hubungan ataupun kerjasama dengan negara lain, hal tersebut dikarenakan negaran akan menghadapi
dua kemungkinan baik itu membentuk
hubungan dengan negara lain
sehingga adanya kerjasama lanjutan atau terjadinya perang dengan negara lain. Sejalan dengan pimikiran liberalis yang memandang tiap mempunya kepentingan yang beragam, maka diperlukan
adanya kerjasama untuk mewujudkan kepentingannya. Agar sebuah kerjasama dapat terwujud, kedua belah pihak harus
menemukan satu titik kesamaan sehingga dapat melahirkan sebuah kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingannya (Milner, 1992).� (Kartasasmita, 1977)
memiliki pandangan bahwa kerjasama dapat terjadi oleh adanya beberapa faktor, yakni: perkembangan teknologi yang begitu pesat memudahkan
negara menjalin hubungan dengan aktor lainnya;
perekonomian yang kian maju sehingga memberikan
pengaruh terhadap kesejahteraan negara; pergeseran konstelasi internasional yang awalnya dipenuhi peperangan berubah menjadi kolaborasi untuk membela diri
dan saling melindungi; timbulnya keinginan untuk melakukan negosiasi, mengingat sebuah kerjasama dapat terjadi salah satunya melalui negosiasi. Metode tersebut dijalankan agar kedua pihak dapat menemukan
kesepakatan (Kartasasmita, 1977).
Seiring berjalannya waktu, kerjasama yang dilakukan mulai menyentuh isu non tradisional seperti perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan kebudayaan, sehingga kini kerjasama
internasional tidak hanya pada sektor high politic seperti
politik, keamanan, dan ekonomi (Perwira, A. A., & Yani, 2006).
Diaspora menjadi bagian dari diplomasi
publik dikarenakan mereka berada di berbagai tempat. Secara umum diaspora diartikan sebagai orang yang melakukan migrasi ke negara lain untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan
cara terpaksa maupun tidak. Dengan
meningkatnya arus migrasi dari tahun
ke tahun menghasilkan efek yang cukup besar bagi
negara, sehingga diaspora memiliki
peranan penting dalam pada sektor ekonomi, politik, dan sosial. Peran diaspora bagi diplomasi publik sebuah negara, mereka dapat membantu negara untuk mengenalkan bentuk kebudayaan negara tersebut melalui berbagai cara, baik itu lewat
kegiatan sehari-hari, menggelar festival kebudayaan,
dan membentuk perkumpulan
diaspora sehingga dapat membentuk komunikasi antar budaya yang berujung pada meningkatnya citra positif negara tersebut. Apabila jumlah diapora semakin banyak dan tersebar di berbagai negara maka secara tidak
langsung terbangunlah sebuah jaringan diaspora. Dengan adanya hal
tersebut diaspora dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen diplomasi publik oleh negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Dapat dikatakan komunitas diaspora berperan sebagai perwakilan negara namun posisinya tidak berada langsung
dibawah arahan pemerintah sehingga mereka pergerakan meraka lebih bebas
dan juga berbaur dengan masyrakat setempat (Stone & Douglas, 2018).
Exchange atau pertukaran merupakan bentuk diplomasi publik yang dilakukan melaui komunuikasi antar budaya dengan tujuan
untuk memberikan pemahaman dan meluruskan mispersepsi yang timbul ditengah masyarakat. Agenda pertukaran ini dijalankan negara sebagai upaya membangun hubungan secara berkepanjangan dengan negara lain
yang diimplementasikan melalui
pengiriman perwakilan warga ke negara lain dan juga sebaliknya. Sejauh ini bentuk pertukaran
yang dijalankan dalam bentuk pertukaran pemuda dan pertukaran pelajar. Peserta pertukaran dapat menjadi aktor
diplomasi publik yang dalam prosesnya mereka dapat mengenalkan
negara terutama nilai-nilai
budaya nya sehingga negara dapat membangun citra postif dan menjalin hubungan yang baik pada berbagai aktor. Beberapa scholar melihat ajang pertukaran
dapat menjadi bagian dari diplomasi
budaya. Hal tersebut disebabkan ajang pertukaran dapat dilakukan pada berbagai sector (Cull, 2009).
Instrumen terakhir dalam diplomasi publik adalah diplomasi budaya. Langkah ini merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan negara
lewat kerjasama antar negara dan juga agenda tahunan
negara tersebut. (Goff, 2017)
melihat diplomasi budaya memiliki dua landasan. Pertama,
hubungan yang baik berasal dari tumbuh
nya pemahaman dan rasa hormat sehingga menghilangkan mispersepsi yang timbul di tengah konstelasi internasional. Kedua, diplomasi budaya menggunakan bahasa, seni, dan pendidikan sebagai instrumennya. Budaya dan pendidikan merupakan instrumen penting dikarenakan dapat dapat menimbulkan rasa kesamaan dan menyatukan masyarakat (Goff, 2017).
Namun diplomasi budaya tidak selalu
terfokus pada pengenalan budaya saja, tetapi
juga untuk memenuhi kepentingan ekonomi, politik, dan membangun hubungan bilateral untuk meminimalisir konflik (Mark, 2009). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diplomasi budaya dijalankan untuk menumbuhkan rasa saling pengertian antar negara, namun tidak hanya
menyasar negara saja tetapi juga kepada masyarakat internasional. Agar sebuah diplomasi budaya dapat berjalan
dengan baik, negara dapat melakukan mengenalkan tradisi, unsur budaya, dan saling bertukar gagasan.� Untuk mewujudkan hal tersebut, negara dapat menggunakan cara kerjasama antar negara dalam bentuk pembukaan program pendidikan/pelatihan dan pertukaran budaya dengan sasaran membentuk citra positif, membangun hubungan harmonis, dan kepentingan negara tersebut dapat tercapai. Seiring berjalannya waktu, pembahasan isu budaya tidak hanya
berkutat pada bahasa dan unsur-unsur budaya tradisional saja yang menjadi alat diplomasi,
tetapi kini budaya populer juga dapat menjadi pilihan
negara sebagai alat diplomasi publik dengan menggunakan daya kreativitas yang dituangkan pada musik, film,
mode, animasi, makanan, dan
lainnya. Hal tersebut dikarenakan budaya populer memiliki daya tarik lebih
sehingga dapat dipertimbangkan bagi negara untuk menjalankan kepentingannya (Mori, 2006).
Metode Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian
yang berusaha untuk menggambarkan objek atau fenomena berdasarkan kondisi yang
ada (Zellatifanny & Mudjiyanto, 2018). Jangkauan penelitian ini berada di
rentang waktu 2013-2018. Tahun 2013 diambil sebagai awal waktu penelitian
karena awal kerjasama antara Korea Selatan-Indonesia dimulai sejak tahun 2013
dan berakhir pada tahun 2018.
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif. Menurut (Lamont, 2015) metode kualitatif adalah teknik
penelitian yang dalam proses pengumpulan dan analisa datanya tidak menggunakan
langkah numerik dan statistika untuk mendapatkan hasil (Lamont, 2015). Pengumpulan data penelitian ini
dilakukan dengan memanfaatkan data-data sekunder, yakni studi kepustakaan yang
berasal dari berita, artikel, buku, jurnal, publikasi pemerintah, dan internet
baik secara online ataupun offline.
Hasil dan Pembahasan
A.
Sejarah Kerjasama Korea Selatan-Indonesia di Bidang
Industri Kreatif
Berdasarkan sejarah, Korea Selatan dengan
Indonesia mulai membangun hubungan pada tahun 1966 yang saat itu sifatnya
masih konsulat. Setelah itu kedua negara meningkatkan hubungannya menjadi hubungan diplomatik pada tahun 1973 (Kemenlu, 2020).
Semenjak Korea Selatan dan Indonesia menjalin hubungan diplomatic, dapat dikatakan kedua negara posisinya saling melengkapi satu sama lain. Hal tersebut tampak dari serangkaian kerjasama yang telah berjalan dan meningkat seiring waktu. Salah satu bentuk kerjasama
yang turut andil membina hubungan panjang kedua negara adalah kerjasama ekonomi. Korea Selatan merupakan partner
penting dalam proses pengembangan infrastruktur dan perindsutrian Indonesia. Semakin berkembangnya zaman telah membuat adanya beberapa perubahan besar dan juga munculnya berbagai isu-isu baru, salah satunya dengan munculnya industri kreatif sebagai alternatif industri tradisional.
Pada bidang
industri kreatif, Korea
Selatan dengan Indonesia memulai
kerjasamanya di tahun 2013,
diawali dengan pertemuan antara Kemenparekraf Indonesia dan MSIP (Ministry of Science,
ICT and Future Planning) Korea Selatan yang berakhir
dengan persetujuan kedua negara untuk mengembangkan industri kreatif Indonesia yang diimplementasikan
lewat program pelatihan, bertukar informasi mengenai industri kreatif, mengadakan kerjasama antar perusahaan, dan membentuk lingkup yang ramah bagi industri kreatif
kedua negara. Salah satu bentuk kerjasama kedua negara yakni dengan memasukkan industri kreatif kedalam agenda WLTFM (Working Level Task Force Meeting)
dengan membentuk sebuah working group
dengan tujuan untuk menaikkan arus perdagangan dan investasi. Secara umum pembentukan WLTFM merupakan bagian dari kerjasama ekonomi antara Ministry of
Knowledge Economy dan Kemenko Perekonomian
yang sebelumnya dalam bentuk JTF-EC (Joint Task Force on Economic Cooperation)
(Wibisono, 2017).
Salah satu
sub sektor industri kreatif yang masuk ke dalam working group tersebut adalah mode. Melalui forum tersebut, sub sektor mode Indonesia mencoba untuk meningkatkan angka perdagangan ke Korea Selatan. Berdasarkan
data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (Lihat Grafik 1.1) dalam rentang waktu 2010-2016 kegiatan ekspor sub sektor mode ke Korea Selatan meningkat begitu signifikan. Kenaikan tersebut diawali dari jangka waktu
2010 yang nilai ekspornya sebanyak US$ 95,5 juta meningkat begitu tajam hingga mencapai
angka US$ 364,1 juta pada tahun 2013. Setelah mengalami kenaikan yang begitu pesat hingga tahun
2013, angka ekspor produk mode ke Korea Selatan mulai stabil dalam
beberapa tahun setelahnya namun terus menunjukkan tren positif. Dapat
dikatakan stabilnya angka ekspor produk
mode dikarenakan adanya working group tersebut
sehingga memicu perdagangan antara
Korea-Indonesia.
Grafik 1
Perkembangan Sub Sektor
Mode Indonesia ke Korea Selatan Tahun
2010-2016
Sumber: (BPS, 2017)
Setelah kerjasama
industri kreatif berjalan selama tiga tahun, Korea Selatan dengan Indonesia memutuskan untuk melanjutkan kerjasama industri kreatif dan hal tersebut diwujudkan dengan agenda penandatanganan MoU
oleh MCST dan Badan Ekonomi Kreatif
(BEKRAF) di Seoul, Korea Selatan pada tahun 2016. Melalui MoU tersebut kedua negara sepakat untuk melaksanakan pelatihan, pertukaran, dan pendidikan; mengirimkan bantuan teknik; membagikan informasi mengenai industri kreatif; berbagi pengalaman untuk menumbuhkan ekonomi kreatif; saling promosi melalui ajang pameran; menjalankan kerjasama untuk menghasilkan produk kreatif; membangun hubungan positif dalam industri
kreatif (Kemenlu, 2020).
Melalui ajang tersebut membantu Korea Selatan untuk menjalankan diplomasi publiknya di Indonesia.
B.
Bentuk Diplomasi Publik Korea Selatan
Pada Kerjasama Sub Sektor Mode
Bagi Korea Selatan diplomasi publik yang dijalankan melalui kerjasama pada sub sektor mode merupakan dimensi relationship building, dimana dimensi ini menjadi upaya
negara untuk membina hubungan dengan negara lain sebaik mungkin agar kepentingannya dapat tercapai. Mengingat dimensi diplomasi publik Korea Selatan terhadap
Indonesia berada pada dimensi
relationship building, maka Korea Selatan menggunakan instrumen diplomasi budaya dan diterapkan melalui agenda program pelatihan
dan juga ajang promosi melalui pameran.
Young
Creative Indonesian Fashion Institute (YCIFI) merupakan salah satu
wujud instrumen diplomasi budaya yakni membuka program pelatihan yang dilangsungkan dari tahun 2016 hingga 2018. YCIFI sendiri dibentuk oleh Grand Korea Leisure (GKL), Korea
Foundation for International Culture Exchange (KOFICE), dan FSRD Institut Teknologi Bandung yang
juga sebagai penyedia tempat untuk melaksanakan
pelatihan tersebut (KOFICE,
2017). Maksud dari pembentukan
YCIFI agar Indonesia dapat memiliki
pekerja kreatif kompeten sehingga sub sektor mode Indonesia menjadi lebih baik dari
segi tenaga kerja dan juga produk.� Hal tersebut dikarenakan sub sektor mode
Indonesia memiliki masalah
pada sumber daya manusianya yang disebabkan rendahnya jumlah tenaga ahli dan program pelatihan. Melihat permasalahan tersebut YCIFI pun mengadakan dua jenis pelatihan yakni basic fashion design dan advance fashion
design.
Basic
fashion design merupakan
program pengantar untuk mengenalkan para peserta bagaimana untuk mendesain sebuah produk melalui teknik pembuatan pola dasar dengan
menggunakan bahan tekstil. Pada kesempatan yang sama para peserta dikenalkan dengan berbagai macam alat yang digunakan untuk melakukan produksi. Apabila para peserta telah paham
dasar-dasar desain mereka dapat masuk
dalam tahapan Advance Fashion
Design yang dalam programnya
akan memandu para peserta untuk menjelajahi
konsep desain yang nantinya mereka dapat berkreasi untuk menciptakan desain hingga menjadi
sebuah produk (YCIFI, 2018).
Kemudian dalam proses pelatihan tersebut YCIFI melibatkan para desainer Korea
Selatan yakni Hyejin Hong dan Munsoo
Kwon untuk memberikan materi dalam sesi
Global Fashion Mentorship.� Pelibatan mentor asal Korea
Selatan memberikan dampak
yang begitu besar pada para
peserta karena mereka mendapat masukan secara langsung oleh ahlinya sehingga mereka dapat menghasilkan desain yang baik. Kehadiran para desainer asal Korea Selatan pada sesi mentorship
secara tidak langsung menjadi ajang diplomasi publik Korea Selatan dengan mengenalkan budaya mode Korea
Selatan kepada para peserta.
Selain itu, YCIFI tidak hanya bertugas untuk mengembangkan kapasitas pelaku industri saja tetapi
juga mengenalkan budaya populer Korea Selatan melalui K-lounge.
Setelah melakukan
pelatihan basic fashion design dan advance
fashion design, YCIFI menggelar Final
Exhibition sebagai akhir
program pelatihan. Tujuan digelarnya
Final Exhibition bermaksud untuk
menunjukkan hasil dari program pelatihan yang telah dijalani dan juga untuk mengukur capaian dari YCIFI sendiri. Semenjak YCIFI dibentuk dari tahun
2016 hingga 2018, program pelatihan
ini telah mengembangkan kemampuan 200 sumber daya manusia
yang berkecimpung pada sub sektor
mode (YCIFI, 2018).
Akan tetapi Final Exhibition yang digelar tidak hanya
sebagai penanda akhir masa pelatihan saja, melainkan juga sebagai tempat untuk mengembangkan bisnis mereka. Hal tersebut diwujukan YCIFI dengan memberikan kesempatan bagi para peserta terbaiknya untuk mengikuti pagelaran Jakarta Fashion Week (JFW). Tercatat YCIFI telah memberikan kesempatan pada sembilan desainer untuk mengikuti JFW 2018 dan juga
enam desainer pada JFW 2019
(YCIFI, 2018).
Selain mengadakan
program pelatihan, Korea Selatan juga mengajak Indonesia untuk melakukan platform exchange untuk
melakukan promosi melalui pameran. Platform
exchange dilaksanakan dengan
memberikan kesempatan bagi desainer Indonesia untuk mengikuti Seoul Fashion
Kode. Dapat diketahui Seoul
Fashion Kode merupakan salah satu
pagelaran mode terbesar,
yang dimana pada tahun 2016
Indonesia yang diwakili oleh brand mode I Know
You Know (I.K.Y.K) menjadi brand asal Indonesia yang mengikuti ajang tersebut, kemudian memasuki tahun 2017 perwakilan Indonesia yakni SOE dan Ria Miranda, dan pada tahun
2018 ada Kami dan Bateeq
(YCIFI, 2018).
Sementara itu, para desainer Korea Selatan berkesempatan
untuk mengikuti ajang JFW. Tercatat pada ajang JFW 2017 desainer Korea
Selatan yakni Lie Sang Bong berkesempatan
untuk berbagi panggung dengan desainer Indonesia, Toton. Pada saat
itu tema yang dibawakan oleh Lie Sang Bong yaitu
menggambarkan kehidupan sehari-hari melalui mode (Womentalk, 2016). Pada ajang JFW
2018, lewat KOCCA, dua desainer Korea Selatan yakni August
Live dan Daily Mirror memamerkan karyanya diatas panggung bertema K-Invasion
(Fimela, 2017).
Dengan adanya platform
exchange tersebut dapat
menjadi tempat kedua negara untuk melakukan nation branding. Bagi Indonesia ajang tersebut dapat menjadi sarana
untuk mengenalkan budayanya yakni batik dan juga untuk membangun branding
Indonesia sebagai pusat
mode muslim dunia. Sedangkan
bagi Korea Selatan, tampilnya
desainer mereka di JFW ikut menyebarkan hallyu, mengingat Indonesia merupakan
salah satu negara dengan antusiasme tinggi terhadap budaya populer Korea Selatan dan juga untuk
membangun reputasi sebagai salah satu negara dengan indsutri mode yang maju.
Kesimpulan
Melalui penelitian yang berjudul
�Diplomasi Publik Korea
Selatan Melalui Kerjasama Industri
Kreatif Sub Sektor Mode dengan Indonesia� penulis dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut. Kerjasama
yang terjalin antara Korea
Selatan dan Indonesia pada bidang industri
kreatif sub sektor dilakukan untuk memenuhi kepentingan kedua negara. Bagi Indonesia dengan
adanya kerjasama tersebut dapat mengembangkan sub sektor mode
agar menjadi lebih baik. Sedangkan bagi Korea Selatan, agenda kerjasama
ini dijadikan sebagai sarana diplomasi publik. Pada kerjasama tersebut, Korea Selatan
menerapkan salah satu instrumen diplomasi publik yakni diplomasi
budaya. Tujuan diplomasi publik Korea Selatan adalah untuk memperkuat pengaruhnya di Indonesia melalui hallyu,
membentuk image sebagai
negara dengan industri mode
yang maju, dan juga mempererat
hubungan antar negara.
BIBLIOGRAFI
BPS.
(2017). Ekspor Ekonomi Kreatif 2010-2016. Badan Pusat Statistik. Google Scholer
Cull, Nicholas John. (2009). Public diplomacy: Lessons from the past.
Figueroa Press Los Angeles, CA. Google Scholer
Fimela. (2017). Dua Desainer Korea Selatan Ramaikan Panggung JFW 2018,
Intip Karyanya Yuk! Retrieved from https://www.fimela.com/fashion-style/read/3774913/dua-desainer-korea-selatan-ramaikan-panggung-jfw-2018-intip-karyanya-yuk
Gilboa, Eytan. (2008). Searching for a theory of public diplomacy. The
Annals of the American Academy of Political and Social Science, 616(1),
55�77. Google Scholer
Goff, Patricia M. (2017). Cultural diplomacy. In The Oxford handbook of
modern diplomacy. Google Scholer
Hartley, John, Potts, Jason, Flew, Terry, Cunningham, Stuart, Keane,
Michael, & Banks, John. (2012). Key concepts in creative industries.
Sage. Google Scholer
Indonesia Trend Forecast. (2018). Indonesia Trend Forecasting
Singularity 2019-2020. Jakarta: BEKRAF. Google Scholer
Kartasasmita, Koesnadi. (1977). Administrasi Internasional. Bandung:
Lembaga Penerbitan Sekolah Tinggi Llmu Administrasi. Google Scholer
Kemenlu. (2020). Profil Negara dan Hubungan Bilateral. Retrieved from
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul, Republik Korea. Retrieved from
https://kemlu.go.id/seoul/id/pages/hubungan_bilateral/558/etc-menu.
Kemenparekraf. (2013). Siaran Pers Kunjungan Kerja Menparekraf ke Korea
Selatan: Menjajaki Kerjasama di Bidang Ekonomi Kreatif. Retrieved from
https://kemenparekraf.go.id/post/siaran-pers-kunjungan-kerja-menparekraf-ke-korea-selatan-menjajaki-kerja-sama-di-bidang-ekonomi-kre.
Kemenparekraf. (2014). Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju
2025. Jakarta: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Google Scholer
Kementerian Luar Negeri RI. (2016). Memorandum Saling Pengertian Antara
Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia dan Kementerian Kebudayaan, Olahraga
dan Pariwasata Republik Korea Tentang Kerjasama di Bidang Industri Kreatif.
Retrieved from Ministry of Foreign Affairs of The Republic of Ind.
Retrieved from https://treaty.kemlu.go.id/apisearch/pdf?filename=KOR-2016-0140.pdf. Google Scholer
KOCCA. (2020). KOCCA Introduction. Retrieved from Korean Culture and
Content Agency. Retrieved from https://www.kocca.kr/en/main.do. Google Scholer
L�Etang, Jacquie. (2009). Public relations and diplomacy in a globalized
world: An issue of public communication. American Behavioral Scientist, 53(4),
607�626. Google Scholer
Lamont, Christopher. (2015). Research methods in international
relations. Sage. Google Scholer
Leonard, M., Stead, C., & Smewing, C. (2002). Public Diplomacy.
London: Foreign Policy Centre. 183 p. Google Scholer
Mark, Simon. (2009). A greater role for cultural diplomacy.
Netherlands Institute of International Relations Clingendael. Google Scholer
Milner, Helen. (1992). International theories of cooperation among
nations: Strengths and weaknesses. World Politics, 44(3),
466�496. Google Scholer
Mori, Sumiko. (2006). Japans Public Diplomacy And Regional Integration In
East Asia: Using Japan�s Soft Power. USJP Occasional Paper, 6(10). Google Scholer
Na, Youngjoo, & Na, Dong Kyu. (2015). Investigating the sustainability
of the Korean textile and fashion industry. International Journal of
Clothing Science and Technology. Google Scholer
Nam, H. (2019). Korean Fashion Looks West. Retrieved from Vogue Business.
Retrieved from
https://www.voguebusiness.com/companies/south-korea-foreign-domestic-luxury-brands-system-homme-gentle-monster.
Nenny, Anggraini. (2008). Industri Kreatif. Jurnal Ekonomi, 13(3),
144�151. Google Scholer
Nye Jr, Joseph S. (2008). Public diplomacy and soft power. The Annals
of the American Academy of Political and Social Science, 616(1),
94�109. Google Scholer
O�Keeffe, Annmaree, & Oliver, Alex. (2010). International
Broadcasting and its contribution to public diplomacy. Google Scholer
Perwira, A. A., & Yani, Y. M. (2006). Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Bandung: PT. Remaja Rosada Karya. Google Scholer
Purnomo, Rochmat Aldy. (2016). Ekonomi Kreatif Pilar Pembangunan
Indonesia. Ziyad Visi Media. Google Scholer
Putri, Cindy Yosita. (2017). Kerjasama Indonesia Dan Korea Selatan
Dalam Upaya Pengembangan Sektor Industri Kreatif Di Indonesia.
Perpustakaan. Google Scholer
Stone, Diane, & Douglas, Elena. (2018). Advance diaspora diplomacy in
a networked world. International Journal of Cultural Policy, 24(6),
710�723. Google Scholer
Syarief, M. N. (2016). Kerjasama Indonesia-Korea Selatan di Bidang
Manufaktur. Makassar: Universitas Hasanudin. Google Scholer
Wang, Jay. (2006). Public diplomacy and global business. Journal of
Business Strategy. Google Scholer
Wibisono, Belita Ayu Silviana. (2017). Penurunan Perdagangan Bilateral
IndonesiaKorea Selatan Dalam Kerjasama Working Level Task Force Meeting (WLTFM).
E-Journal Ilmu Hubungan Internasional, 5(4), 1381�1396. Google Scholer
YCIFI. (2018). JFW Lookbook 2019. Retrieved from Akun resmi Young
Creator Indonesia Fashion Institute. Retrieved from https://id-id.facebook.com/GKLYCIFI/.
Zellatifanny, Cut Medika, & Mudjiyanto, Bambang. (2018). Tipe
penelitian deskripsi dalam ilmu komunikasi. Diakom: Jurnal Media Dan
Komunikasi, 1(2), 83�90. Google Scholer
Copyright
holder: Muhammad Alvansyah Joisangadji, Resa Rasyidah (2021) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article
is licensed under: |