Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 10, Oktober 2021
EFEKTIVITAS ART THERAPY SEBAGAI KATARSIS UNTUK MENGURANGI
TINGKAT KECEMASAN AKADEMIK PADA REMAJA
Gusti Ayu Nyoman Triana Dewi, Tatik Meiyutariningsih
Program Studi Magister Profesi
Psikologi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya,
Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Remaja memiliki masalah emosi yang berbeda-beda dan cara menyikapi permasalahan sesuai dengan karakteristik kepribadian masing-masing. Individu
yang memiliki karakteristik
introvert cenderung
menyimpan setiap permasalahannya, sehingga menimbulkan berbagai dampak. Salah satu dampaknya adalah mengalami kecemasan baik dalam akademik
maupun lainnya. Praktikan membantu melakukan katarsis dengan terapi menggambar
dan memberikan psikoedukasi
untuk keluarga klien. Metode penelitian ini menggunakan single subject design. Terdapat tiga fase
yang dilakukan dalam melalukan intervensi, yaitu fase base line dalam menentukan perilaku yang akan di intervensi, fase intervensi dan terakhir fase baseline evaluasi.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini adalah metode wawancara
(autoanamnesa dan alloanamnesa),
observasi, dan tes psikologi yaitu WAIS dan Grafis. Peneliti menggunakan Kuesioner TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) untuk mengukur tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian terapi. Klien dalam penelitian ini adalah remaja
perempuan berusia 14 tahun yang mengalami gangguan kecemasan. Intervensi atau terapi dilakukan selama 9 hari, setiap harinya terapi dilakukan selama 3 jam. Hasil intervensi
yang dilakukan menunjukan perubahan perilaku sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Sebelum intervensi klien selalu memendam
masalahnya sendiri, ia kurang dapat
mengungkapkan apa yang ia rasakan dan inginkan, sehingga masalah tersebut menumpuk dan keluar dalam bentuk kecemasan
terutama yang tampak adalah kecemasan akademik. Setelah melakukan intervensi klien menjadi lebih tenang
ketika akan menghadapi ujian atau atau pelajaran
disekolahnya dan klien menyadari bahwa bercerita/berkomunikasi dengan orang lain dapat meringankan beban dipikirannya.
Kata Kunci: kecemasan akademik; art therapy;
psikoedukasi keluarga
Abstract
Emotional issues among adolescents quite vary and
their attitude in dealing with such issues are determined by their
personalities. Introverted individuals tend to keep the issues for themselves
which might bring some negative impacts, one of which is the tendency to
experience anxiety disorders, including academic anxiety. Therapists often use
drawing therapy as catharsis, while psychoeducation is performed to clients�
families. This research was conducted in a single-subject design. There are
mainly three phases in performing intervention including base line phase, in
which the attitude to be intervened is determined, intervention phase, and
evaluation baseline phase. In this research, data were collected through
interview (autoanamnesa and alloanamnesa),
observation, and psychological tests in the forms of WAIS and Graphics. The
TMAS questionnaire (Taylor Manifest Anxiety Scale) was employed to measure
client�s anxiety levels before and after therapy. The client in this research
was a 14 year-old female adolescent who had anxiety
disorder. The intervention or therapy was performed every day within 9 days,
each of which lasted for 3 hours. The outcome of the intervention showed the
change in behaviour before and after the
intervention. Before intervention, the client often kept her problems for
herself, and she could not express her feeling and expectations. Eventually.
problems were accumulated and appeared as anxiety, especially academic anxiety
which was quite dominant. After the intervention, the client became calmer in
facing school examinations or attending classes. The client also realized that
sharing session with other people could help reducing the burden.
Keywords: academic
anxiety; art therapy; psychoeducation
for family
Received: 2021-09-20; Accepted: 2021-10-05; Published: 2021-10-20
Pendahuluan
Remaja seringkali
mengalami permasalahan emosional seperti cepat marah, mudah tersinggung,
trauma, dan sebagainya. Cara menyikapi permasalahan yang dihadapi juga sesuai dengan
karakteristik kepribadian masing-masing. Ada beberapa pribadi yang mampu
menyampaikan emosi atau keluhannya secara langsung sehingga tidak menjadi
beban, namun ada pula remaja yang kurang dapat menyampaikan apa yang ia rasakan
secara langsung. Remaja yang tidak dapat menyampaikan apa yang sedang dirasakan
akan menimbulkan berbagai dampak, salah satunya adalah mengalami kecemasan baik
dalam bidang akademik atau lainnya.
Kecemasan
merupakan emosi yang tidak menyenangkan yang dapat menimbulkan gejala seperti
perasaan khawatir dan rasa takut (Annisa & Ifdil,
2016) �Atkinson, dkk (Blackburn, Davidson, & Kendell, 1994) menambahkan bahwa proses
terjadinya kecemasan bermula ketika individu bertemu dengan suatu stimulus yang
dirasakan dapat memberikan ancaman. Kecemasan akademik sendiri merupakan jenis
kecemasan yang berkaitan dengan bahaya akan datang dari lingkungan lembaga
akademik termasuk pengajar dan mata pelajaran yang ataupun mata kuliah
tertentu. Hal tersebut merupakan perasaan mental gelisah atau distress sebagai
reaksi terhadap situasi di lembaga akademik yang dianggap negatif (Attri, 2013).
Salah
satu intervensi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalah tersebut adalah
Art Therapy. Menurut The American Art Therapy Association (Sholihah, 2018) art
therapy adalah sebuah proses penyembuhan yang
dilakukan dengan membuat sebuah karya seni yang kreatif. Proses penyembuhan ini
berguna dalam meningkatkan kualitas kehidupan. Art therapy sangat membantu dalam mengatasi gangguan emosi,
menyelesaikan konflik, menambah wawasan, mengurangi perilaku bermasalah, serta
meningkatkan kebahagiaan hidup. Bagi banyak individu, seni merupakan sarana
paling mudah sebagai pernyataan pribadi, sehingga dapat digunakan sebagai fokus
dalam proses terapeutik (Case & Dalley, 2002; Hughes, 2009; Wu et al., 2009). Oleh karena itu,
hasil karya seni juga mampu digunakan sebagai bentuk asosiasi bebas sebagai
bentuk proyeksi atas permasalahan yang tidak disadarinya (unconscious). Maka tugas seorang terapis adalah mengajak pasien
untuk menceritakan secara bebas dari hasil karya seni yang dibuatnya dan
menggalinya secara mendalam atas permasalahan yang dihadapinya tersebut (Case & Dalley, 2002) dengan
demikian Art Therapy merupakan proses terapi yang memiliki efektifitas tinggi
dalam menurunkan gangguan psikologis. Seperti halnya jenis terapi lainnya, Art
Therapy dapat digunakan dengan intensif ataupun jangka waktu panjang (Gussak, 2009) dalam (Mukhlis, 2011).
Hal tersebut disesuaikan dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Waktu yang
dibutuhkan dalam proses terapi jangka panjang biasanya berkisar antara 3 bulan
sampai 1 tahun (Gussak, 2009; Huss, Scott,
Stuck, Trotter, & Egger, 2009; Wallin & Durr, 2002).
Sedangkan untuk terapi dalam jangka pendek biasanya dilakukan tidak lebih dari
12 sesi (Dinie, 2016; Malchiodi, 2014).
Terapi menggambar
berkembang untuk membantu anak yang tidak dapat mengekspresikan pikiran dan
perasaan melalui kata-kata. Gambar dapat memberikan makna jika dihubungkan
dengan anak-anak yang terluka, mengasingkan diri, kecewa, dan tidak dapat
mengungkapkan pikiran dan perasaan kepada orang lain (Wuryani, 2016).
(Edwards, 2014) menjelaskan bahwa pada
dasarnya Art Therapy tidak memiliki
prosedur khusus dalam pelaksanaannya. Namun secara khusus terdapat tiga tahapan
yang banyak digunakan dalam Art Therapy,
yaitu mengarahkan fokus objek, Subjek membuat sebuah gambar yang
merepresentasikan peristiwa atau perasaan pada tahap pertama dan representasi
gambar oleh terapis (Edwards, 2014) Pada tahap pertama
terapis menjelaskan atau memberikan materi yang berhubungan dengan peristiwa
atau perasaan Subjek. Tugas Subjek pada tahap ini adalah memikirkan dan
merasakan topik serta kejadian yang diberikan oleh terapis.
Tahap
kedua, terapis melakukan observasi terhadap proses Subjek mengerjakan sebuah
gambar dan memberikan dukungan serta reinforcement atas usaha Subjek. Pada
tahap terakhir, terapis memperhatikan arti atau makna kreasi klien dengan
memperhatikan emosi pada gambar melalui ide gambar, penggunaan warna, proporsi,
tekanan, dan desai secara keseluruhan serta asosiasi bebas verbal klien. Pada
tahapan ini, terapis juga perlu menggali lebih lanjut tentang simbol dan gambar
yang ada maupun yang tidak ada dalam kreasi klien. Proses tersebut kemudian
disempurnakan dengan kerjasama terapis, subjek, dan profesi lain
untuk memproses secara verbal dan menggunakannya untuk membantu Subjek
menyadari dan memahami dirinya.
Selain
art therapy, dalam upaya menurunkan kecemasan akademik pada klien juga
diberikan psikoedukasi keluarga dengan tujuan agar orang tua lebih tenang dalam
menghadapi situasi serta mengetahui, menyadari kondisi klien dan apa yang
diperlukan klien saat ini, sehingga dapat memberikan sikap yang tepat untuk
menghadapi klien. Dukungan sosial yang paling baik untuk siswa yang mengalami
kecemasan akademik yaitu
yang berasal dari keluarga dalam hal ini yaitu orang tua (Ernawati & Rusmawati, 2015).
House (Puspitasari, 2013)
juga menjelaskan dukungan sosial sebagai persepsi seseorang terhadap dukungan
potensial yang diterima dari lingkungan, dukungan sosial tersebut mengacu pada
kesenangan yang dirasakan sebagai penghargaan akan kepedulian serta pemberian
bantuan dalam konteks hubungan yang akrab.
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan (Siswoyo, Setioputro, & Albarizi, 2016) dalam jurnal (Psychoeducation Therapy Reduces Family Anxiety In Treating Family Member
Who Suffers From Cataract) menyatakan bahwa Terapi psikoedukasi keluarga
dapat membantu mengurangi kecemasan sehingga keluarga dapat mencari solusi bagi
anggota keluarga yang menderita katarak dengan tepat. Hasil penelitian tersebut
menunjukan bahwa psikoedukasi keluarga sangat penting diberikan pada anggota
keluarga sehingga anggota keluarga dapat mencari solusi yang tepat.
Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan desain kasus tunggal dengan pemberian art therapy dan psikoedukasi keluarga. Klien dalam penelitian ini adalah remaja perempuan
berusia 14 tahun yang mengalami gangguan kecemasan. Sesuai dengan penelitian (Adriani & Satiadarma,
2011) remaja yang didiagnosis menderita leukemia mengalami beberapa reaksi
emosional yang menyertainya, salah satunya adalah kecemasan. Art therapy disini digunakan untuk
mengurangi kecemasan pada remaja penderita leukemia.
Desain
kasus tunggal (single case design) terdiri dari tiga tahap. Tahap awal
yaitu fase baseline adalah menentukan target atau perilaku yang akan di
intervensi menggunakan metode wawancara (autoanamnesa
dan alloanamnesa), observasi dan
tes psikologi yaitu WAIS (Wechsler Adult
Intelligence Scale) dan Tes Grafis (BAUM, DAP, dan HTP) dalam
mengumpulkan datanya. Peneliti juga menggunakan Kuesioner TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) untuk mengukur
tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian terapi. Data yang telah
dikumpulkan peneliti akan menjadi dasar dalam membuat diagnosa dan menentukan
intervensi yang tepat untuk subjek.
Kemudian,
tahap kedua fase intervensi yaitu, pemberian treatment dimana penerapan
tehnik intervensi dilakukan. Treatment atau
terapi yang berikan adalah art therapy
dan psikoedukasi keluarga, tahap pelksanaan digambarkan dalam tabel dibawah
ini.
Tabel 1
Pelaksanaan intervensi atau terapi
Waktu |
Kegiatan |
Aktivitas |
Intervensi hari 1 |
Sesi 1 : 2 Jam -Membangun
rapport -Melakukan
kontrak terapi dan berapa lama waktu dalam satu sesi terapi. � |
1.
Melakukan
pendekatan pada klien agar ia percaya, nyaman dan terbuka dalam menceritakan
yang ada dalam pikirannya pada praktikan selama proses intervensi. 2.
Menanyakan
pada klien hal-hal yang ia sukai, teknik apa yang sering digunakan untuk
menggambar, jenis-jenis gambar apa saja yang klien sukai dan yang paling
sering ia gambar. |
Intervensi hari II, III |
Art therapy : 3 Jam |
1.
Mengintrusikan klien untuk
menuangkan apa saja yang sedang ia pikirkan sekarang atau yang ia inginkan
dalam bentuk gambar. 2.
Memberikan reinforcement saat proses
terapi dalam bentuk sosial reward. Selesai menggambar praktikan melakukan
probing terhadap hasil gambarnya. 3.
Selesai proses terapi praktikan
memberikan reward berupa perlengkapan gambar |
Intervensi hari IV |
Sesi I� Psikoedukasi Keluarga : 2 Jam Sesi
2 Art Therapy : 3 Jam |
Psikoedukasi Keluarga (tanpa diketahui
klien ) 1.
Menunjukan dan menjelaskan hasil gambar
klien pada orang tua. 2.
Mengajak orang tua klien berdiskusi dan
memberi psikoedukasi mengenai dampak yang klien alami jika orang tua terus
memaksakan kehendaknya. 3.
Serta mengajak orang tua mencari solusi
agar klien tidak tertekan dan dapat terbuka dalam menyampaikan apa yang ia
rasakan dan inginkan. 4.
Mengintrusikan klien untuk menuangkan apa saja yang sedang ia
pikirkan sekarang atau yang ia inginkan dalam bentuk gambar. 1.
Mengintrusikan klien untuk
menuangkan apa saja yang sedang ia pikirkan sekarang atau yang ia inginkan
dalam bentuk gambar. 2.
Memberikan reinforcement saat proses
terapi dalam bentuk sosial reward. Selesai menggambar praktikan melakukan
probing terhadap hasil gambarnya. 3.
Selesai proses terapi ayah klien
memberikan reward berupa perlengkapan gambar |
Intervensi hari V,VI dan VII |
Art
Therapy : 3 Jam |
1.
Mengintrusikan klien untuk
menuangkan apa saja yang sedang ia pikirkan sekarang atau yang ia inginkan
dalam bentuk gambar. 2.
Memberikan reinforcement saat proses
terapi dalam bentuk sosial reward. Selesai menggambar praktikan melakukan
probing terhadap hasil gambarnya. 3.
Selesai proses terapi ayah klien
memberikan reward berupa
perlengkapan gambar |
Intervensi hari VIII |
Sesi
I Art
Therapy : 3 Jam Sesi II
Psikoedukasi Keluarga : 2 Jam |
1.
Mengintrusikan
klien untuk menuangkan apa saja yang sedang ia pikirkan sekarang atau yang ia
inginkan dalam bentuk gambar. 2.
Memberikan
reinforcement saat proses terapi dalam bentuk sosial reward. Selesai
menggambar praktikan melakukan probing terhadap hasil gambarnya. 3.
Selesai
proses terapi ayah dan ibu klien memberikan reward berupa peralatan
menggambar 1.
Menunjukan dan menjelaskan hasil gambar
klien secara keseluruhan pada orang tua. 2.
Menginformasikan pada orang tua hasil
sementara dan kondisi klien dari proses intervensi yang telah dilakukan. 3.
Mengajak orang tua mempertahankan sikap
dan tidak memaksakan apa yang kurang disukai anak. |
Intervensi hari IX |
Terminasi
: 2 Jam |
Praktikan menanyakan perbedaan kondisi klien sebelum dan
sesudah intervensi serta praktikan membuat kesimpulan dari intervensi yang
dilakukan selama ini. |
Secara keseluruhan
terapi dilakukan selama 9 hari dan terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Tahap
pertama yang dilakukan adalah pembangunan rapport dan melakukan kontrak terapi.
Tahap pertama dilakukan selama 2 jam dalam satu kali pertemuan atau satu sesi,
tujuannya klien mampu bertanggung jawab dan konsisten dengan apa yang telah
disepakati sehingga perilaku perilaku dapat berubah sesuai dengan yang
diharapkan.
2. Tahap
kedua dilakukan selama 7 hari dan setiap harinya klien akan melakukan terapi
selama 3 jam. Pada tahap ini klien melakukan terapi melukis/menggambar� tujuannya klien lebih nyaman dalam
menceritakan masalah ataupun keluhan yang ia rasakan sehingga dapat mengurangi
beban yang ia pendam selama ini. Serta dilakukan psikoedukasi keluarga pada
pertemuan ke IV & VIII, tujuannya orang tua mengetahui kondisi dan
menyadari apa yang diperlukan klien saat ini, sehingga dapat memberikan sikap
yang tepat untuk menghadapi klien.
3. Tahap
terakhir adalah terminasi dari seluruh kegiatan yang dilakukan.
Setelah
diberikan treatment atau terapi,
fase terakhir adalah baseline evaluasi yang merupakan tindak lanjut dari tehnik
intervensi. Tahap evaluasi ini untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang
menghambat jalannya proses terapi yang dilakukan, serta melihat apakah klien
dapat mempertahankan perilaku yang sudah diintervensi dengan baik. Peralatan yang diperlukan
dalam proses intervensi art therapy yaitu
: 1) buku gambar (A3), 2) Krayon oil
pastel, 3) Pensil, 4) Penghapus dan 5) tissue.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil Penelitian
Tabel 2
Hasil TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale)
Hasil
TMAS sebelum intervensi |
Hasil TMAS setelah intervensi |
Skor > 25, artinya klien mengalami kecemasan
pada kaTegori berat |
Skor < 20 Artinya klien tidak mengalami kecemasan
yang berlebihan |
Tabel 3
Hasil Intervensi
Hasil Sebelum
intervensi |
Hasil Sesudah Intervensi |
� Sebelum
mendapatkan intervensi klien selalu memendam masalahnya sendiri, ia kurang
dapat mengungkapkan apa yang ia rasakan dan inginkan, sehingga masalah tersebut
menumpuk dan tidak terselesaikan.Masalah tersebut keluar dalam bentuk emosi
seperti rasa kahawatir yang berlebih, nafsu makan menurun dan sering
menangis. � Hal
ini juga mempengaruhi aktivitas akademiknya, ia menjadi sulit konsentrasi dan
mengalami ketakutan yang berlebihan. �
Klien tidak menyadari dampak yang terjadi
ketika ia terus menyimpan setiap masalah yang dialami, ia juga tidak
mengetahui cara menyampaikan isi pikirannya pada orang lain. Klien sering
marah dan menangis saat menyampaikan isi pikirannya sehingga orang lain salah
paham. |
Setelah
melakukan tahap-tahap intervensi di atas, klien menjadi lebih tenang ketika
akan menghadapi ujian atau atau pelajaran disekolahnya. Ia juga mulai menyadari bahwa
bercerita / berkomunikasi dengan orang lain akan dapat meringankan beban
dipikirannya. Serta Klien mengetahui cara berkomunikasi agar orang tidak
salah paham yaitu dengan menyampaikannya dengan cara yang baik. |
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil
intervensi yang dilakukan melalui metode art therapy dan psikoedukasi keluarga diperoleh
hasil klien menjadi lebih terbuka untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan apa
yang ia rasakan baik melalui gambar maupun secara langsung, sehingga jika ada
pembicaraan orang lain yang menggangu klien tidak hanya memendamnya. Cara
tersebut efektif untuk mengurangi beban pikiran dan menurunkan
kecemasan-kecemasan yang selama ini ia rasakan.
Penelitian-penelitian
sebelumnya yang serupa dilakukan oleh (Muthmainnah, 2015) dalam jurnal �Peranan
Terapi Menggambar Sebagai Katarsis Emosi Anak�. Hasil yang di dapat adalah
sebagian anak mengalami permasalahan namun belum memiliki kemampuan untuk
mengungkapkan apa yang dialaminya secara lisan. Menggambar dapat dijadikan
sebagai salah satu bentuk terapi untuk membantu anak mengungkapkan pikiran dan
perasaan serta menyalurkan energi emosi dengan cara yang lebih aman.
Hasil penelitian
yang dilakukan oleh (Muthmainnah, 2015)
sejalan dengan hasil penelitian dari peneliti, dengan art therapy klien menjadi lebih terbuka untuk menyampaikan atau
mengkomunikasikan apa yang ia rasakan baik melalui gambar maupun secara
langsung. Cara tersebut efektif untuk mengurangi beban pikiran dan menurunkan
kecemasan-kecemasan yang selama ini ia rasakan.
Penelitian serupa
juga ada pada jurnal (Hasanat, 2016) �Buletin Psikologi Kajian
Teoritis Pengaruh Art Therapy Dalam
Mengurangi Kecemasan Pada Penderita Kanker�. Hasil yang di dapat adalah art therapy sebagai intervensi yang
bertujuan untuk mendukung proses penyembuhan, dapat ditarik kesimpulan bahwa
art therapy dapat mengurangi kecemasan pada penderita kanker.
Pada jurnal �Art
Therapy Seni Lukis Ekspresif Untuk Penderita Gangguan Kejiwaan Di Unit
Informasi Layanan Sosial (UILS) Meruya� (Maftukha, 2017).
Didapatkan hasil art therapy mampu sebagai katarsis atau saluran pembuangan
energi negatif untuk mengatasi tekanan hidup pada penyandang gangguan kejiwaan
(psikotik).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil di atas dapat
disimpulkan bahwa art
therapy dan psikoedukasi keluarga
efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan pada remaja, baik kecemasan akademik atau lainnya.
Hal ini dapat diketahui dari� perubahan
tingkah laku sebelum dan sesudah dilakukan intervensi serta dari hasil
wawancara dengan orang tua dan guru klien. Klien dapat mengkomunikasikan apa yang ia rasakan,
baik secara langsung ataupun melalui media gambar/lukis. Melalui katarsis yang dilakukan kecemasan yang dialami klien berkurang, sehingga menjadi lebih tenang ketika
akan menghadapi ujian atau atau
pelajaran disekolahnya.
BIBLIOGRAFI
Adriani, Shinta Natalia, & Satiadarma, Monty. (2011). Efektivitas art
therapy dalam mengurangi kecemasan pada remaja pasien leukemia. Indonesian
Journal of Cancer, 5(1).Google Scholar
Annisa, Dona Fitri, & Ifdil, Ifdil. (2016). Konsep kecemasan (anxiety)
pada lanjut usia (lansia). Konselor, 5(2), 93�99. .Google Scholar
Attri, A. K. (2013). Neelam. Academic anxiety and achievement of secondary
school students�A study on gender differences. Int J Behav Soc Mov Sci, 2,
27�32. .Google Scholar
Blackburn, Ivy Marie, Davidson, K., & Kendell, R. E. (1994). Terapi
kognitif untuk depresi dan kecemasan suatu petunjuk bagi praktisi. Alih
Bahasa: Rusda Koto Sutadi. Semarang: IKIP Semarang Press. .Google Scholar
Case, Caroline, & Dalley, Tessa. (2002). Working with children in
art therapy. Routledge. .Google Scholar
Dinie, Ratri Desiningrum. (2016). Terapi senam otak untuk menstimulasi
kemampuan memori jangka pendek pada anak autis. Jurnal Psikologi, 43(1),
30�41. .Google Scholar
Edwards, David. (2014). Art therapy. sage. .Google Scholar
Ernawati, Lilis, & Rusmawati, Diana. (2015). Dukungan sosial orang tua
dan stres akademik pada siswa smk yang menggunakan kurikulum 2013. Jurnal
Empati, 4(4), 26�31. .Google Scholar
Gussak, David. (2009). Comparing the effectiveness of art therapy on
depression and locus of control of male and female inmates. The Arts in Psychotherapy,
36(4), 202�207. .Google Scholar
Hasanat, Nida Ul. (2016). Kajian Teoritis Pengaruh Art Therapy Dalam
Mengurangi Kecemasan Pada Penderita. Buletin Psikologi, 18(1),
29�35. https://doi.org/10.22146/bpsi.11535.Google Scholar
Hughes, Joe. (2009). Deleuze�s� Difference and Repetition�: A Reader�s
Guide. Bloomsbury Publishing. .Google Scholar
Huss, Anke, Scott, Pippa, Stuck, Andreas E., Trotter, Caroline, &
Egger, Matthias. (2009). Efficacy of pneumococcal vaccination in adults: a
meta-analysis. Cmaj, 180(1), 48�58. .Google Scholar
Maftukha, Nina. (2017). Art Therapy Seni Lukis Ekspresif untuk Penderita
Gangguan Kejiwaan di Unit Informasi Layanan Sosial (Uils) Meruya. Narada,
4(3), 325�333. .Google Scholar
Malchiodi, Cathy. (2014). Breaking the silence: Art therapy with
children from violent homes. Routledge. .Google Scholar
Mukhlis, Akhmad. (2011). Pengaruh terapi membatik terhadap depresi pada
narapidana. Psikoislamika: Jurnal Psikologi Dan Psikologi Islam, 8(1).Google Scholar
Muthmainnah. (2015). Peranan Terapi Menggambar Sebagai Katarsis Emosi
Anak. Jurnal Pendidikan Anak, 4(1). .Google Scholar
Puspitasari, Widya. (2013). Hubungan antara manajemen waktu dan dukungan
sosial dengan prestasi akademik mahasiswa yang bekerja. EMPATHY Jurnal
Fakultas Psikologi, 2(1), 1�17. .Google Scholar
Sholihah, Isna Ni�matus. (2018). Kajian teoritis penggunaan art therapy
dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di SMK. 1st ASEAN School
Counselor Conference on Innovation and Creativity in Counseling. Ikatan
Bimbingan dan Konseling Sekolah. .Google Scholar
Siswoyo, Siswoyo, Setioputro, Baskoro, & Albarizi, Cholil. (2016).
Psychoeducation Therapy Reduces Family Anxiety in Treating Family Member Who
Suffers From Cataract. NurseLine Journal, 1(2), 237�245. .Google Scholar
Wallin, Ken, & Durr, Marguerite. (2002). Creativity and expressive
arts in social emotional learning. Reclaiming Children and Youth, 11(1),
30. .Google Scholar
Wu, Chunlei, Orozco, Camilo, Boyer, Jason, Leglise, Marc, Goodale, James,
Batalov, Serge, Hodge, Christopher L., Haase, James, Janes, Jeff, & Huss,
Jon W. (2009). BioGPS: an extensible and customizable portal for querying and
organizing gene annotation resources. Genome Biology, 10(11),
1�8. .Google Scholar
Wuryani, Sri Esti. (2016). Konseling dan terapi dengan anak dan orang
tua. Google Scholar
Copyright
holder: Gusti Ayu
Nyoman Triana Dewi, Tatik Meiyutariningsih
(2021) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article
is licensed under: |