Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 6, No. 10, Oktober 2021
Muhammad Rizki Noveri, I Putu Eka Cakra, Joko Setiyono
Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Proses hilirisasi
dan inkubasi bisnis hasil riset dan penelitian pengembangan oleh Perguruan
Tinggi Negeri perlu terus didorong agar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kelemahan
selama ini terdapatnya gap yang besar antara sisi penelitian dan sisi industri;
dari sisi peneliti banyak peneltian yang tidak berlanjut untuk hilirisasi
(dimanfaatkan industri) sedangkan disisi industri terdapat keengganan guna
memakai hasil riset dan penelitian pengembangan oleh Perguruan Tinggi.
Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif (legal research), dengan
metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan
historis, dilengkapi data-data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier, yang diperoleh melalui studi dokumen
atau bahan pustaka, yang nantinya berusaha menggambarkan (mendeskripsikan)
tentang rumusan masalah yakni: politik hukum hilirisasi dan inkubasi bisnis
hasil riset dan penelitian pengembangan oleh Perguruan Tinggi guna meningkatkan
daya saing dan kemandirian bangsa dan alih teknologi, serta pentingnya
penerapan konsep ideal sinegritas elemen (harmonisasi) Quadrulupe Helix guna
mempelancar kegiatan hilirisasi dan inkubasi bisnis hasil riset dan penelitian
pengembangan oleh Perguruan Tinggi.
Kata Kunci: polituk hukum; daya saing
bangsa; inkubasi bisnis; riset; penelitian; pengembangan
Abstract
research by State Universities needs to be
continuously encouraged so that the benefits will be felt by the community. The
weaknesses so far are the large gap between the research side and the industry
side; from the research side, many researches do not continue for downstreaming
(utilized by industry) while on the industrial side there is a reluctance to
use the results of research and development research by higher education
institutions. This research uses the juridical normative method (legal
research), with the statutory approach method, conceptual approach and historical
approach, supplemented by secondary data which includes primary legal material,
secondary legal material and tertiary legal material, which is obtained through
document or material study. literature, which later tries to describe
(describe) the formulation of the problem, namely: downstream legal politics
and business incubation of research and development research results by Higher
Education in order to increase the competitiveness and independence of the
nation and technology tranfer, as well as the importance of implementing the
ideal concept of elemental integrity (harmonization) of Quadrulupe Helix for
smoothing downstream activities and business incubation of research and
development research results by Higher Education.
Keywords: politics of law; nation�s competitiveness; business
incubation; research; research; development
Received: 2021-09-20; Accepted: 2021-10-05; Published: 2021-10-20
Indonesia telah menegaskan sebagai negara hukum, hal ini dimuat dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen ke-3
menyatakan: �Negara Indone sia adalah negara hukum�.(Sekretariat
Jenderal MPR, n.d.)
Hamdan Zoelva berpendapat: �Konsep negara hukum Indonesia bisa digali dari
Pembukaan UUD 1945 yang memuat pernyataan kehendak dan cita lahirnya Indonesia
merdeka, bersatu, adil dan berdaulat, serta rumusan falsafah negara yang
terkandung dalam pembukaan itu.�(Zoelva,
2015)
Salah satu ciri negara hukum adalah adanya jaminan yang kuat terhadap
hak-hak asasi manusia (HAM) tanpa diskriminatif. Frederich Julius Stahl dalam
karyanya Philosophie des Recht (1878), mengungkapkan paham negara hukum
formal mengandung unsur-unsur antara lain (Rani, 2011):
1). Mengakui dan melindungi HAM 2). Untuk melindungi HAM tersebut maka
penyelenggaraan negara berdasarkan atas teori trias politica 3). Pemerintah dalam
menjalankan tugasnya harus berdasarkan undang-undang (wetma tig bestuur)
4). Terdapatnya peradilan administrasi guna menyelesaikan pelanggaran hak asasi
(campur tangan pemerintah dalam kehidu pan pribadi) oleh Pemerintah.
Jaminan yang kuat terhadap HAM tanpa diskriminatif merupakan satu ciri
negara hukum ini dipertegas kembali berdasarkan rumusan pertemuan International
Congress of Jurist di Athena Tahun 1955 dan di Bangkok Tahun 1965 (Muabezi,
2017).
Pasal 28 C ayat (1), UUD 1945 hasil amandemen ke-2 mengatur HAM, dimana
�Setiap orang berhak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manu sia.� dan Pasal 28 C ayat (2)
menyatakan: �Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuankan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara.�
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (UU-RPJPN) Tahun 2005-2025 sebagaimana diturunkan melalui Peraturan
Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (Perpres-RPJMN) Tahun 2020-2024, terdapat 4 (empat) pilar utama RPJMN yang
diturunkan menjadi 7 (tujuh) Agenda Pemba ngunan RPJMN, dimana agenda ke-3
(tiga) nya yaitu: �Meningkatkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya
Saing�.(Peraturan Presiden No 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, n.d.)
Hal ini selaras dengan Nawacita pada Kabinet Presiden Joko Widodo Periode
I (program ke-6) mengamanatkan perlunya meningkatkan produktivitas rakyat dan
daya saing di pasar Internasional (Asnawi,
2018).
Pada periode ke-2 kepemimpinannya, cita tersebut ditegaskan lagi sebagai salah
satu dari 5 (lima) program prioritas yakni; �transformasi pembangunan ekonomi
berbasis inovasi untuk penguatan dan peningkatan daya saing bangsa.�(Anggota Dewan Riset Nasional, 2020).
Tabel 1
Rangking Daya Saing
Rangking Daya Saing |
||||||||||
|
Singapura |
Malaysia |
Thailand |
Indonesia |
Philipina |
|||||
|
2020 |
2019 |
2020 |
2019 |
2020 |
2019 |
2020 |
2019 |
2020 |
2019 |
Overall Performance |
2 |
2 |
26 |
26 |
39 |
40 |
56 |
56 |
57 |
55 |
Factor I. Knowledge |
2 |
3 |
19 |
19 |
43 |
43 |
63 |
56 |
62 |
51 |
Sub Factor Rangking |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.Talent |
1 |
1 |
30 |
22 |
36 |
40 |
43 |
42 |
55 |
41 |
2.Training & Education |
7 |
4 |
8 |
11 |
55 |
50 |
63 |
61 |
59 |
54 |
3.Scientific |
10 |
22 |
27 |
26 |
37 |
35 |
51 |
52 |
56 |
54 |
Factor II. Technology |
1 |
1 |
20 |
19 |
22 |
27 |
54 |
47 |
53 |
55 |
Sub Factor Rangking |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.Regulatory Framework |
1 |
2 |
35 |
29 |
31 |
33 |
51 |
51 |
62 |
60 |
2.Capital |
11 |
8 |
18 |
14 |
17 |
21 |
41 |
26 |
39 |
40 |
3.Technology |
1 |
1 |
15 |
20 |
25 |
29 |
55 |
56 |
49 |
51 |
Factor III. Future Readiness |
12 |
11 |
32 |
28 |
45 |
50 |
48 |
58 |
54 |
54 |
Sub Factor Rangking |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.Adaptive Attitudes |
20 |
19 |
30 |
30 |
53 |
58 |
58 |
60 |
57 |
53 |
2.Business Agility |
11 |
6 |
30 |
17 |
44 |
30 |
24 |
21 |
32 |
42 |
3.IT Integration |
3 |
4 |
33 |
33 |
43 |
51 |
60 |
60 |
56 |
58 |
Dewasa ini tingkat kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung daya saing
dimilikinya, dan selanjutnya daya saing bangsa itu tergantung pada perkembangan
teknologi yang mereka kuasai. Hal ini tidak terlepas dari dampak globalisasi
yang telah mempengaruhi segala sendi kehidupan masyarakat (Soebagyo,
2018).
International Intitute for Management Development
(IMD) telah merilis World Digital Competitiveness Rangking (WDCR) Tahun
2020. Peringkat daya saing Indonesia menga lami penurunan 8 (delapan) peringkat
dari posisi 32 menjadi 40. Bila dibandingkan dengan negara ASEAN posisi
Indonesia berada dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand dan diatas Filipina,
sedangkan untuk level Asia Pasifik posisi Indonesia berada di peringkat 11 dari
14 negara diatas India dan Filipina (Asmara, 2020)
Posisi Indonesia berdasarkan data IMD World Digital Competitiveness Rangking Tahun 2020 berada dalam kelompok 10 terbawah, yakni tetap berada di peringkat 56 meski di faktor kesiapan masa mendatang membaik, terutama dalam e-partisipasi (ke-58 hingga ke-45) dan ritel internet (ke-58 hingga ke-50). Peningkatan seperti itu diimbangi dengan penurunan faktor teknologi di mana efisiensi layanan perbankan dan keuangan, tingkat investasi di bidang teleko munikasi dan broadband nirkabel (tingkat pene trasi, per 100 orang) menunjukkan penurunan yang tajam. Berdasarkan Tabel. 1 (diatas) dapat kita lihat posisi daya saing Indonesia dari tahun 2019 - 2020 berdasarkan 3 (tiga) faktor penilaian mengalami penurunan:
1. Faktor ilmu pengetahuan (knowledge); yaitu sub-faktor bakat (talent), dan sub-faktor pendidikan/pelatihan (training education),
2. Faktor teknologi yaitu sub-faktor modal (capital) dan
3.
Faktor kesiapan menghadapi masa
depan yaitu sub-faktor business agility
Dewan Riset Nasional mencatat �Untuk menghasilkan produk hilir dalam rangka menciptakan nilai tambah dan kemampuan bersaing, cara yang paling ampuh adalah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta menerapkannya di dunia industri. Penguasaan iptek melalui lembaga penelitian dan pengembangan perguruan tinggi, kementerian, serta lembaga non kementerian serta swasta dalam bentuk invensi ternyata tidak begitu mudah dihilirisasi menjadi produk yang di komersialisasi.�
Tugas pendidikan tinggi (PT) adalah untuk mengimplementasikan Tridharma yaitu: �pendidikan, penelitian dan pengabdian masya rakat.�� Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU-Dikti) menyebutkan; Pendidikan Tinggi berfungsi:
a. Mengembangkan kemampuan dan memben tuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
b. Mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma
c. Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora
� Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai Perguruan Tinggi (universitas), tetapi hasil penelitian mereka belum banyak dirasakan oleh masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum banyak penelitian yang dibuat hanya disimpan atau dinikmati kalangan tertentu, padahal seyog yanya penelitian tersebut bisa manghasilkan manfaat/digunakan masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum selama ini terdapat gap (celah/kesenjangan), �mismatch� antara Perguruan Tingi (akademisi) dalam hal ini sebagai pihak yang melakukan penelitian dan pengembangan (innovation) dengan industri (dunia bisnis) sebagai pihak yang nantinya menggunakan hasil keluaran riset, penelitian dan pengembangan Perguruan Tinggi. Sebagai akibatnya Industri tidak mengetahui riset, penelitian pengembangan apasaja yang telah dilaksanakan oleh Perguruan Tinggi dan sebaliknya Perguruan Tinggi tidak mengetahui apa yang dibutuhkan oleh Industri.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana diutarakan pada latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk meneliti �Politik Hukum Hilirisasi dan Inkubasi Bisnis Hasil Riset dan Penelitian Pengembangan Perguruan Tinggi�.
Metode Penelitian
Berikut ini diuraikan
mengenai beberapa teori-teori pokok yang digunakan dalam menganalisa 2 (dua) rumusan permasalahan yang diajukan dalam
penulisan penelitian ini.
Gambar 1
Kerangka Berpikir
Sumber:
rancangan penelitian disusun penulis
Teori tersebut dapat dibagi menjadi tiga tataran yaitu:
1. Teori Makro (Grand Theory)
2. Teori Meso (Middle Range Theory)
3. Teori Mikto (Applied Range Theory)
Grand Theory yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Negara
Hukum. Middle Range Theory yang digunakan dalam Tesis ini adalah Teori
Politik Hukum, Adapun Applied Range Theory yang digunakan dalam Tesis ini
adalah Teori Sistem Hukum, Teori Struktural Fungsional (Teori
Sibernetika), dan Teori Hukum Progresif
Penulis dalam menganalisa rumusan masalah
penelitian ini cenderung sependapat dengan pengertian politik hukum yang
dikemukakan (diberikan) oleh Satjipto Rahardjo dan Moh. Mahfud M.D, kemudian
penulis mencari titik singgung anasir-nya dengan menggunakan teori sistem hukum
Lawrence Friedman dan Teori Struktur Fungsional (Sibernatika) Talcot Parson,
dan guna menghindari terjebak dalam positivism hukum penulis menggunakan Teori
Hukum Progresif Satjipro Rahardjo
1. Teori
Negara Hukum
Konsep negara hukum adalah konsep yang universal dan
merupakan produk sejarah, dimana pada implementasi terdapat prinsip. model dan
kharateristik beragam karena faktor situasi dan kesejahteraan. Pada negara
�Eropa Kontinental� dinamakan rechstaat, dinegara-negara �Anglo Saxon�
dinamakan rule of law, dinegara �Sosialis�, dinamakan socialist legality,
Negara Hukum Islam (Nomokrasi Islam) dan di Indonesia dinamakan negara hukum
Pancasila (Patamatta,
2020)
Pada abad ke-18 paham rechstaat
berkembang di negara-negara Eropa Kontinental dipelopori oleh; Immanuel Kant
(1724-1804), Friederich Julius Stahl, Paul Laband dan Fitche. Imanuel Kant
memberikan idenya terhadap negara hukum dalam karya ilmiahnya berjudul Methaphysiche
Ansfangs grunde der
Rechtslehre (azas-azas metafysis dari ilmu
hukum) sering disebut negara hukum liberal (negara penjaga malam).(Rani, 2011)
Friderich Julius Stahl (1802-1861) seorang sarjana hukum asal Jerman,
mengemukakan konsep guna memperbaiki kelemahan konsep negara hukum liberal/
negara penjaga malam dari Immanuel Kant dimana dikenal dengan konsep negara
hukum formal. Kriteria negara hukum oleh Immanuel Kant hanya terbagi 2 (dua)
kelompok yaitu: (a). adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, (b).
adayan pemisahan kekuasaan. Sthal berpendapat 2 (dua) kriteria negara tersebut
hanya bertindak memisahkan apabila terjadi perselisihan antar sesame warga
negara tidak mengatur apabila melibatkan negara, disini negara hanya berpungsi
sebagai �penjaga malam� (Nachtwachter Staat). Berdasarkan pemikiran tadi Stahl
menambahkan 2 (dua) unsur pokok negara hukum Immanuel Kant tadi dengan: (c). Setiap
tidakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang yang dibuat terlebih dahulu
(d) Terdapatnya peradilan administrasi yang bertugas menyelesaiakan perselisihan
penguasa dengan Masyarakat (Rusnan,
2014).
Dinegara-negara Anglo Saxon dikenal dengan konsep
negara hukum yang disebut �rule of law� atau pemerintah oleh hukum
dengan tokoh nya Albert Venn Dicey (A.V. Dicey). Berbeda dengan konsep negara
hukum Eropa Kontinental maka dalam rule of law menurut Anglo Saxon tidak
dikenal unsur peradilan administrasi, karena menurut konsep rule of law setiap
peroalan hukum diselesaikan dalam peradilan sama. A.V Dicey mengatakan ada 3
(tiga) unsur penting/ciri setiap negara hukum yaitu: (Wijaya, 2013)
a.
Supremacy of Law:
mengandung pengertian negara diatur oleh hukum dan seorang individu baru
dihukum jika melanggar Hukum. atau dengan kata lain terdapat dominasi dari
aturan-aturan hukum untuk menentang atau meniadakan kesewenang-wenang dari
pemerintah.
b.
Equality Before Law:
artinya terdapat persamaan dihadapan hukum untuk semua golongan, tidak ada lagi
orang yang berada diatas hukum. atau dengan kata lain semua warga negara baik
rakyat maupun pejabat taat pada hukum yang sama (ordinary court) dan jika
melanggar hukum diadili di pengadilan yang sama
c.
Contitution based on Individual
Right artinya secara sederhana yaitu terjaminnya hak-hak
asasi manusia oleh undang-undang (konstitusi) serta melaui putusan pengadilan
2. Teori
Politik Hukum
Politik hukum secara etimologis
(asal usul kata), berasal dari istilah �rechtspolitiek� bahasa Belanda,
yang terdiri 2 (dua) kosa kata �recht� yang berarti hukum dan �politiek�
yang berarti kebijakan (policy)�
Di Inggris politik hukum dikenal dengan banyak (beberapa) istilah yakni:
�legal policy� yang berarti kebijakan hukum, �politic of law�
yang berarti politik hukum, �politic of legal product� yang berarti
politik yang tercermin pada produk-produk hukum, �politik of legislation�
yang berarti politik perundang-undangan, dan �politic and law development�
yang berarti politik pembangunan hukum. Candra Irawan, Politik Hukum Hak Kekayaan
Intelektual Indonesia-Kritik Terhadap WTO/Trips Agreement Dan Uapaya Membangun
Hukum Kekayaan Intelektual Demi Kepentingan Nasional, Cetakan Ke.1 (Bandung: CV. Mandar Maju, 2012).
Politik hukum sangatlah rumit
didefinisikan guna memperoleh pengertian yang utuh tentang apa yang akan
dirumuskan, sudah banyak pengertian dan definisi politik hukum yang diberikan oleh para ahli
hukum dalam berbagai literatur dengan berbagai macam perspektif: (Kalalo, 2018)
a.
Perspektif
positivisme hukum: definisi politik hukum dapat kita temukan dalam
pendapat:� L.J Van Apeldoorn yang
menggunakan istilah politik perundang-undangan (legislation) yaitu �Bagian
hukum yang sengaja dibentuk oleh institusi negara, dan apa yang melatar
belakangi pembentukan dan pember lakuan suatu peraturan perundang-undangan itulah yang disebut dengan
politik hukum�.
b.
Perspektif
sosiologi: definisi politik hukum dapat kita temukan dalam pendapat Satjipto
Rahardjo yaitu: �Aktivitas memilih (hukum hendaknya menyesuaikan dengan tujuan
yang hendak dicapai), dan menetapkan mekanisme (cara-cara yang digunakan) dalam
rangka mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.��� Terdapat 4 (empat) pertanyaan menda sar yang sering muncul dalam studi politik hukum
yakni: (a). tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada, (b)
apakah cara paling tepat (cocok) dalam mencapai tujuan, (c). bagaimana cara hukum
dirubah dan kapan seharusnya (waktu) hukum itu tepat dirubah (d). apakah dapat
dirumuskan suatu pola yang mapan dan baku yang membantu dalam proses pemilihan
tujuan serta cara-cara mencapai tujuan tersebut secara baik.
c.
Perspektif
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan dalam
pemberlakuan hukum: definisi politik hukum dapat ditemui dalam pendapat Padmo
Wahyono yaitu: �Kebijakan dasar penyelenggara negara yang menentukan arah,
bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu.�
d.
Secara harfiah
(arti leksikal) pengertian politik hukum dapat ditemukan dalam pendapat Abdul
Hakim Garuda Nusantara: politik hukum diartikan sebagai kebijakan hukum (legal
policy) yang hendak diterapkan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara
tertentu, yang meliputi; (a). penerapan hukum positif secara konsisten, (b).
pembangunan hukum dan pembaharuan hukum positif yang dianggap telah ketinggalan
zaman atau menciptakan hukum baru sesuai dengan perkem bangan yang terjadi dalam masyarakat, (c). penegasan
fungsi dan kewenangan lembaga penegak hukum dan (d). pening katan kesadaran hukum masyarakat.
e.
Perspektif
operasional pengertian politik hukum dapat ditemui dalam pendapat Moh. Mahfud
M.D: adalah �Kebijaksaan hukum (legal policy) yang hendak atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia, yang implemen tasinya meliputi; Pertama, pembangunan hukum
berintikan pembaharuan hukum (pembuatan hukum) terhadapa bahan-bahan hukum yang
dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang
diperlukan, Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegak hukum
3.
Teori Fungsional
Teori Fungsional secara terminologi (asal kata) dalam
bahasa Inggris disebut dengan functional theory, bahasa Belanda disebut funtionele
theorie, sedangkan dalam bahasa Jermannya yaitu funktionale theorie,
merupakan salah satu teori yang meng analisis (mengakaji) persoalan-persolan
yang timbul dalam kemasyarakat berkaitan dengan fungsinya atau keman faatan
atau kegunaannya. Secara grama tikal, fungsi disamakan dengan kegunaan suatu
hal, sedangkan fungsional sendiri dilihat dari aspek fungsinya.(H.S, 2015)
Pengertian tentang fungsi juga dapat dikaji dan
dianalisis dari pendapat yang dikemukakan oleh para ahli/ pakar diantara lain;
Talcott Parson mengartikan fungsi sebagai berikut; �Kumpulan kegiatan yang
ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem�. K. Merton
memberikan definisi tentang fungsi, Fungsi adalah �Konsekuensi-konsekuensi yang
dapat diamati yang menimbulkan adapatasi atau penyesuaian dari sistem
tertentu�.� Kedua ahli tersebut diatas
menyajikan konsep tentang fungsi dalam kehidupan masyarakat.
4.
Teori Sistem Hukum
Teori Sistem Hukum Menurut Lawrence Friedman:
�Unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal struktur),
substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture)
(Suteki, 2018).
Unsur-unsur tersebut satu sama lain memiliki hubungan saling mempengaruhi.
Substansi hukum adalah norma (aturan) hasil dari produk hukum, struktur hukum
diciptakan oleh sistem hukum yang mungkin memberikan pelayanan dan penegakan
hukum, budaya hukum adalah perilaku, pendapat dan nilai-nilai yang berkaitan
dengan hukum (positif/negative).
5.
Teori Hukum Progresif
Teori hukum progresif ini dikemukakan oleh Prof.
Satjipto Rahardjo yang terkenal dengan filosofi hukumnya: �Hukum itu untuk
manusia dan bukan manusia untuk hukum�.�
Hukum bertugas melayani masyarakat bukan sebaliknya, dan kualitas hukum
ditentukan dengan kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia (Suteki, 2015).
Satjipto Rahardjo dengan pemikirannya yang holistik
terhadap hukum menuntunya berpikir melampaui positivisme terhadap hukum, salah
satu caranya dengan memasukan ranah ilmu hukum keranah ilmu-ilmu sosial
lainnya. Hal ini termasuk langkah progresif karena hal ini memungkinkan hukum
itu dianalisa dan dipahami lebih luas.
Munculnya gagasan hukum progresif disebabkan
keprihatinan terhadap kondisi (keadaan) hukum di Indonesia dimana rakyat lemah
saat berhadapan dengan hukum dan adanya kecendrungan orang yang kuat lolos dari
hukum (Rahardjo, 2009).
A.
Politik Hukum Hilirisasi Dan
Inkubasi Bisnis Hasil Riset Dan Penelitian Pengembangan Perguruan Tinggi
Landasan Ideal berpikir
Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dan mempunyai daya saing merupakan amanat
dari Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
diejawantakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini
dipertegas kembali dalam Undang-Undang yang mengatur Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 dan turunannya
Perpres Nomor 18 Tahun 2020 dengan program �Meningkatkan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang berkualitas dan berdaya saing�.
Gambar 2
Politik Hukum Hilirisasi Riset dan Penelitian
Pengembangan Perguruan Tinggi dalam sebaran Perundang-Undangan
Sumber: Dirangkum penulis
dari berbagai peraturan perundang-undangan
Beberapa peejawantakan Pasal 28 C ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945:
1.
Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2012
tentang Perguruan Tinggi (UU-PT).�
Politik hukumnya terdapat dalam:
a.
Pasal 45 ayat (1) UU-PT: �Peneltian
di Perguruan Tinggi diarahkan untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa�.
b.
Pasal 46 ayat (1) UU-PT: Hasil
penelitian bermanfaat untuk: (a). pengayaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
serta pembelajaran (b). peningkatan mutu Perguruan Tinggi dan kemajuan
peradaban bangsa (c). peningkatan kemandirian, kemajuan, dan daya saing bangsa
(d). pemenuhan kebutuhan strategis pembangunan nasional (e). perubahan
masyarakat Indonesia menjadi masyarakat berbasis pengetahuan.
2.
Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2019
tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU-Sisnas Iptek).� Politik hukumnya terdapat dalam:
a.
Pasal 14 ayat (1) UU-Sisnas Iptek:
�Penyelenggaraan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dilakukan melalui: (a).
Pendidikan (b). Penelitian (c). Pengem bangan (d). Pengkajian (e). Penerapan�.
b.
Pasal 14 ayat (2) UU-Sisnas Ipetek:
�Penyelenggaraan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikoordinasikan oleh Pemerintah Pusat�
c.
Pasal 15 UU-Sisnas Iptek: �Penye
lenggaraan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Pendidikan sebagai mana
dimaksud Pasal 14 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan: (a). penyiapan sumber
daya manusia untuk penye lenggaraan ilmu pengetahuan dan teknogi (b).
peningkatan mutu dan kesesuaian ilmu pengetahuan dan tek nologi (c) pengabdian
kepada masya rakat sebagai wujud penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
d.
Pasal 16 UU-Sisnas Iptek: �Penye
lenggaraan Ilmu Pengetahuan dan Tek nologi melalui Pendidikan sebagaimana
dimaksud Pasal 15 dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kapasitas bangsa dalam
mengelola sumber daya dan diutamakan meningkatkan daya saing serta mewujudkan
kemandirian bangsa�.
e.
Pasal 23 ayat (1) UU-Sisnas Iptek:
�Pengkajian sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) huruf d ditujukan untuk
memastikan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menyelesaikan
permasalahan pembangunan�.
f. ��Pasal 23 ayat (2) UU-Sisnas Iptek:
�Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: (a).
Perekayasaan (b) Kliring teknologi (c) Audit teknologi�.
g.
Pasal 27 ayat (1) UU-Sisnas Iptek:
�Penerapan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) huruf e wajib dilaksanakan
dengan berbasis pada hasil penelitian, pengembangan dan/atau pengkajian�.
h.
Pasal 27 ayat (2) UU-Sisnas Iptek:
�Penerapan sengaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk mendorong
Inovasi sebagai upaya peningkatan produktivitas pembangunan, kemandiri an, dan
daya saing bangsa�.
i. ��Pasal 28 UU-Sisnas Iptek: �Penerapan
sebagaimana dimaksud Pasal 27 dapat dilakukan melalui; (a). Alih Teknologi (b).
Intermediasi Teknologi (c) Difusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (d).
Komersialisasi Teknologi�.
j. ��Pasal 30 UU-Sisnas Iptek: �Intermediasi
Teknologi sebagaimana dimaksud Pasal 28 huruf b merupakan upaya untuk
menjembatani proses terjadinya Invensi dan Inovasi antara penghasil dan calon
pengguna Teknologi
k.
Pasal 31 ayat (1) UU-Sisnas Iptek:
�Intermediasi Teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dapat dilakukan dengan:
(a) mendorong implementasi hasil invensi dari lembaga penghasil Teknologi
kepada calon pengguna (b). mengidentifikasi kebu tuhan calon pengguna terhadap
Tekno logi dibutuhkan�.
l. ��Pasal 31 ayat (2) UU-Sisnas Iptek:
�Intermediasi Teknologi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dapat berupa; (a).
inkubasi teknologi (b). temu bisnis teknologi (c). kemitraan (d). promosi hasil
invensi
m. �Pasal 33 ayat (1) UU-Sisnas Iptek:
�Komersialisasi Teknologi sebgaimana dimaksud Pasal 28 huruf d dapat dilakukan
melalui: (a). inkubasi teknologi (b). kemitraan industri (c). pengem bangan
Kawasan ilmu pengetahuan dan teknologi
n.
Pasal 33 ayat (2) UU-Sisnas Iptek:
�Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah besinergi dalam memfasilitasi
pengembangan inkubasi teknologi, kemitraan industri, dan/atau pengembangan
kawaan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan kesiapan dan keunggulan
daerah
o.
Pasal 34 ayat (1) UU-Sisnas Iptek:
�Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan Invensi dan
Inovasi�.
p.
Pasal 34 ayat (2) UU-Sisnas Iptek:
�Invensi dan Inovasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujuakn untuk: (a).
menjadi solusi permasalahan nasional (b). memadukan sudut pandang dan/atau
konteks teknis, fungsional, binis, sosial budaya dan estetika (c). menghasilkan
nilai tambah dari produk dan/atau proses produksi bagi kesejahteraan
masyarakat�.
q.
Pasal 34 ayat (3) UU-Sisnas Iptek:
�Invensi dan Inovasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihasilkan dari: (a).
Penelitian dasar, penelitian terapan, dan pengembangan (b). Alih Teknologi (c).
Rekayasa balik (d). Intermediasi Teknologi (e). Difusi ilmu pengetahuan dan
teknologi (f). komersialisasi teknologi�.
r. ��Pasal 34 ayat (4) UU-Sisnas Iptek: �Ketentuan
mengenai Invensi dan Inovasi diatur dengan Peraturan Pemerintah�.
s.
Pasal 35 ayat (1) UU-Sisnas Iptek:
�Pemerintah Pusat wajib memfasilitasi perlindungan Kekayaan Intelektual dan
pemanfaatannya sebagai hasil Invensi dan Inovasi nasional�.
t. ��Pasal 35 ayat (2) UU-Sisnas Iptek:
�Perlindungan atas Kekayaan Intelektual dan pemanfaatannya sebagaiman dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
u.
Pasal 36 UU-Sisnas Iptek:
�Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menggunakan hasil Invensi dan
Inovasi Nasional�.
v.
Pasal 37 UU-Sisnas Iptek:
�Pemerintah Pusat wajib menjamin pemanfaatan hasil Penelitian, Pengembangan,
Pengkajian dan Penerapan dalam bentuk Invensi dan Inovasi untuk pembangunan
nasional�.
3.
Peraturan Pemerintah Nomor. 20
Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Kegiatan
Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan
Pengembangan (PP-ALTEKI).� Politik
hukumnya terdapat dalam:
a.
Pasal 2 PP-ALTEKI: �Perguruan
tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan alih teknologi kekayaan
intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan yang dihasilkan
melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang dibiayai sepenuhnya atau
sebagian oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sejauh tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan�.
b.
Pasal 4 PP-ALTEKI: �Tujuan alih
teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan
adalah: (a). menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi (b). meningkatkan
kemampuan rakyat dalam memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi guna kepentingan masyarakat dan negara�.
c.
Pasal 20 PP-ALTEKKI: �Alih
teknologi kekakayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan oleh perguruan tinggi dan lembaga litbang dilaksanakan melalui
mekanisme: (a). lisensi (b). kerja sama (c). pelayanan jasa ilmu pengetahuan
dan teknologi (d) publikasi�.
4.
Peraturan Presiden Nomor. 27 Tahun
2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha (Perpres-PIW), dengan petunjuk
pelaksananya Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan menengah Republik
Indonesia Nomor. 24/Per/M.KUKM/IX/2015 tentang Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria Penyelenggaraan Inkubator Wirausaha (Permenko-UKM NSPK-PIW), politik
hukumnya terdapat dalam:
a.
Pasal 1 ayat (1) Perpres-PIW:
�Inkubator wirausaha adalah suatu lembaga intermediasi yang melakukan proses
inkubasi terhadap peserta inkubasi (tenant)�.
b.
Pasal 1 ayat (2) Perpres-PIW:
�Inkubasi adalah suatu proses pembinaan, pendampingan dan pengembangan yang
diberikan Inkubator Wirausaha kepada peserta inkubasi (tenant)�.
c.
Pasal 2 Perpres-PIW: �Pengembangan
Inkubator Wirausaha bertujuan untuk; (a). menciptakan dan mengembangkan usaha
baru yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi (b). mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya manusia terdidik dalam menggerakan perekonomian dengan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi�.
d.
Pasal 3 Perpres-PIW: �Sasaran
pengembangan incubator wirausaha adalah: (a). penumbuhan wirausaha baru dan
penguatan kapasitas wirausaha pemula (start-up) yang berdaya saing tinggi (b).
penciptaan dan penumbuhan usaha baru yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya
saing tinggi (c). Peningkatan nilai tambah pengelolaan potensi ekonomi melalui
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (d). peningkatan aksebilitas
wirausahawan atau calon wirausahawan untuk mengikuti program inkubasi. (e).
peningkatan kemampuan dan keahlian pengelola incubator wirausaha untuk
memperkuat kompetensi inkubator wirausaha (f). Pengembangan jejaring untuk
memperkuat akses sumber daya manusia, kelembagaan, permodalan, pasar, informasi
dan teknologi�.
e.
Pasal 4 Perpres-PIW:
�Penyelenggaraan inkubator wirausaha dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Dunia Usaha, dan/atau masyarakat�.
f. ��Pasal 8 Permenko-UKM NSPK-PIW: �Tahapan
penyelenggaraan inkubator wirausaha terdiri dari: (a). Prainkubasi (b) Inkubasi
(c) pasca inkubasi.
Penguatan Sistem Inovasi
Nasional menjadi wahana utama dalam meningkatkan daya saing dan kohesi sosial
demi mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, mandiri dan beradab. Khusus
Perguruan Tinggi memegang posisi dan peranan penting (Center of Ecellent)
dalam menemukan inovasi, invensi dan produk yang dapt meningkatkan saya saing
bangsa dan tentunya perkenomian bangsa (Lihat Gambar 3 berikut ini)
Gambar 3
Empat Pilar Perubahan Guna Peningkatan Daya Saing,
Kesejahteraan dan Bangsa
Sumber:
http://diskopukm.jatimprov.go.id/web-bo/file-content/76_238_kanwil%20kumham.pptx
Riset secara terminologi
berasal dari bahasa Perancis �recherche� yang berarti �untuk mencari�
merupakan turunan dari kata �recerchier� yaitu kata �re-� dan �cercier�
yang bermakna �mencari�.� Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan pengertian riset sebagai �Penyelidikan
(penelitian) suatu masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah untuk
meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta yang baru, atau
melakukan penafsiran yang lebih baik.
Kerlinger memberikan definisi
riset: �Scientific research is a systematic, controlled empirical and critical
investigation of proposition about the presumed relationship about various
phenomena�. terjemahan: �Riset ilmiah adalah sistematik, terkontrol dan
investigasi kritis terhadap dalil mengenai dugaan hubungan antar berbagai
fenomena�.
Definisi Penelitian dan
Pengembangan dapat kita temui dalam Pasal 1 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(UU-Sisnas Iptek).
Pasal 1 ayat (6) UU-Sisnas
Iptek: �Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut metode ilmiah untuk
memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan pemahaman tentang fenomena
alam dan/atau sosial, pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi
dan/ atau hipotesis, dan penarikan kesimpulan�.
Pasal 1 ayat (7) UU-Sisnas
Iptek: �Pengembangan adalah kegiatan untuk meningkatkan manfaat dan daya dukung
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah terbukti kebenaran dan keamanannya
untuk meningkatkan fungsi dan manfaat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi�.
Sebuah riset, penelitian dan pengembangan oleh
Perguruan Tinggi agar bermanfaat bagi masyarakat dan industri melewati tahapan
yang disebut dengan komersialisasi teknologi.
Secara umum komersialisasi teknologi bisa dimaknai
sebagai �moving technology to a profitable position�,(Nasution,
Reza.A. Djuanda, Dadan, dan Rachmat, 2009)
maksudnya suatu kondisi dimana teknologi yang telah dikembangkan bisa
diaplikasikan kepada kegiatan produksi atau konsumsi dan mendatangkan
keuntungan bagi penemunya.
Sebelum sampai tahapan komersialisasi tadi, ada fase
intermediasi yakni hilirisasi dan inkubasi bisnis. Pertama, hilirisasi
adalah implementasi hasil penelitian dalam berbagai hal (misal riset
berorientasi pada manfaat seperti cara untuk mencegah banjir), sehingga
masyarakat bisa menikmati hasilnya atau dengan bahasa lainnya yaitu proses
mendekatkan hasil riset dan inovasi kepada penggunanya. Pengguna dalam hal ini
adalah masyarakat bisa masyarakat pengguna umum, lembaga pemerintahan ataupun
juga industri.(Astirin,
2018)
Kedua, Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang
Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi memberikan definisi yang
dimaksud �Inkubasi Teknologi� adalah proses pembinaan, pendampinganm dan
pengembangan terhadap calon perusahaan pemula berbasis Teknologi oleh Inkubator
Teknologi untuk memaksimalkan hasil Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan
Penerapan�
Penulis
menggunakan Teori Sistem Hukum sebagai pisau analisa guna menjelaskan bahwa
upaya mengkomersialisasikan hasil riset, peneltian dan pengembangan (kekayaan
intelektual) oleh Perguruan Tinggi melalui kegiatan hirisasi dan inkubasi
bisnis guna meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa, sudah dilaksanakan
dengan menggu nakan 3 (tiga)
komponen seperti yang di utarakan oleh Lawrence Friedman:
a. Legal Substansi: pengaturan hukum tentang penguasaan, penguatan, pengembangan, dan
pemanfaatan ilmu dan teknologi hasil riset, penelitian dan pengembangan oleh
Perguruan Tinggi diatur melalui dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual
Serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan
Lembaga Peneltian dan Pengem bangan.
b. Legal Struktur: guna penanganan secara terpusat, terpadu dan terkoodinasi serta
menyinergikan semua potensi riset baik yang terdapat di Perguruan Tinggi (P.T),
Lembaga Penelitian dan Pengembangan di Kemen terian, BUMN, Perusahaan Swasta dan di masyarakat
dibentuklah Badan Riset dan Inovasi Nasional (selanjutnya disingkat dan dikenal
dengan istilah BRIN), melalui Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 209).�
Salah satu langkah penting
dalam penguasaan sistem inovasi nasional yaitu penguatan kelembagaan Iptek. Hal
ini agar lembaga Iptek dapat menghasilkan inovasi teknologi yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat (pengguna). Perguruan Tinggi memegang peranan dalam
meningkatkan kemampuan daya saing bangsa melalui riset, penelitian dan
pengembangan sebagaiman konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Pengorganisasian/Kelembagaan Manajemen Inovasi di Perguruan Tinggi diatur dalam
Pasal 4, jo Pasal 6, jo Pasal 7 ayat (2), ayat (4) Peraturan Menteri Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi Nomor 24 Tahun 2019 tentang Manajemen Inovasi Perguruan
Tinggi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 239)�
Salah satu bentuknya yaitu
Pusat Unggulan Ipteks Perguruan Tinggi (selanjutnya disingkat dan disebut dengan
istilah PUI-PT). PUI-PT diharapkan menjadi sentral dari pengembangan Ipteks di
Indonesia serta melibatkan seluruh pemangku kepentingan, Akademisi (Perguruan
Tinggi), Pemerintah dan Dunia Industri.Pembahasan dalam artikel bertujuan untuk
menjawab rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan pene litian, menunjukkan bagaimana temuan-temuan itu
diperoleh, menerangkan arti hasil penelitian, bagaimana hasil penelitian dapat
memecahkan masalah serta kemungkinan pengembangannya. Pembahasan harus menjawab permasalahan dan tujuan
penelitian.
Gambar 4
Arah Pengembangan dan
Tatakelola Perguruan Tinggi
Sumber: Buku Panduan Pusat Unggulan Iptek Tahun 2020
c. Budaya Hukum: Indonesia sudah mempunyai aturan hukum tentang penelitian, alih teknologi
kekayaan intelektual serta hasil penelitian dan pengembangan, pengembangan
inkubator wirausaha, Manajemen Inovasi Perguruan Tinggi juga telah memiliki
lembaga yang tugas pokonya menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian dan
penerapan seta invensi dan inovasi terintegrasi yaitu Badan Riset Inovasi
Nasional dibantu Forum Rektor Perguruan Tinggi Indonesia dan Kadin namu masih
kerap terjadi di Indonesia hasil riset dan penelitian pengembangan oleh
Perguruan Tinggi belum bisa dihilirisasi bahkan dikomersialisasikan
Penulis
berdasarkan pemaparan diatas mencoba merumuskan politik
hukum hilirisasi dan inkubasi bisnis hasil riset dan penelitian pengembangan
perguruan tinggi, yakni:
a.
sebagai bentuk jaminan perlindungan Hak Asasi Manusi sebagai konsekuensi
bentuk negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dinyatakan Pasal 28C
ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
b.
sebagai bentuk politik hukum (legal policy) dari pemerintah yakni
untuk menjadi sebuah negara mandiri dan berdaya saing melalui penguasaan
teknologi
c.
sebagai bentuk iuscontitutm (aturan hukum yang berlaku saat ini) dan
pilihan cara yang dipilih pemerintah kedepan (ius costiendum) dalam
menggubah aturan hukum yang ada
B. Konsep Ideal Sinegritas Elemen
Quadruluple Helix Untuk Hilirisasi Dan Inkubasi Bisnis Hasil Riset Dan
Penelitian Pengembangan Perguruan Tinggi
Kapasitas
perguruan tinggi sebagai sumber inovasi teknologi (center of excellence) saat
ini mengalami kendala dalam hal proses hilirisasi dan inkubasi bisnis hasil
riset dan penelitian pengembangan yakni (Prasetyono, n.d.)�
1. Pertama, tingkat kesiapan teknologi,
kesiapan inovasi dan tingkat kesiapan manufaktur, tanpa ke-3 (tiga) kesiapan
tersebut sebuah proses inovasi akan tersungkur kedalam lembah kematian inovasi
(Valley of Death).� Menteri Riset
dan Teknologi/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Indonesia, Bambang Brodjonegoro
menyatakan banyak produk inovasi layu sebelum berkembang, karena tidak bisa
melewati (valley of death), umumnya terjadi saat tahap dari purwarupa (prototype)
produk menuju industrialisasi hingga komersialisasi
2. Kedua, ketersediaan dana anggaran,
hasil studi bersama antara Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan
Akademi Ilmuwan Muda Indonesia dengan judul �Membangun Pendanaan Penelitian
yang Berkelanjutan dan Mandiri) menyimpulkan faktor pendanaan sangat penting
untuk mewujudkan penelitian disamping infrastruktur penelitian dan kemampuan
ilmiah yang mumpuni.
3. Ketiga, perlindungan dan kepemilikan
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) hasil riset dan penelitian pengembangan
Perguruan Tinggi terkait sumber pendanaan. Dalam pembahasan diperkenankan
mencantumkan subbab, pembabakan dalam bab pembahasan disesuaikan dengan
permasalahan atau pertanyaan penelitian.
Istilah
lembah kematian inovasi (valley of death) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kesenjangan (gap) antara pengembangan ilmu pengetahuan baru dan
pengembangan komersial produk baru. Ekosismtem inovasi itu kompleks yakni
jaringan interaksi antara para pelaku industri, pemerintah dan akademisi yang
mendasari inovasi kegiatan dan kinerja di area tersebut. Ekosistem Inovasi ini
terdiri dari 2 (dua) subsistem yaitu: Pertama, subsitem ekonomi
penelitian (subsystems-research economy) yaitu merupakan produk
penelitian akademik dan kerjasama industri dengan akademik, Kedua,
subsistem ekonomi komersial (subsystem-commercial economy) yang mengubah
hasil penelitian menjadi produk yang layak secara komersial. Lembah kematian (valley
of death) ini muncul dari celah diantara 2 (dua) subsistem tadi dimana
Investor (penyandang dana/pelaku industri) meng hentikan inisiatif inovasi
dengan alasan kebutuhan yang tinggi untuk investasi dan hasil pasar (market)
yang tidak pasti.(Jucevicius
et al., 2016)
Dewasa
ini dirasakan hasil riset dan penelitian pengembangan oleh Perguruan Tinggi
masih kurang di pakai dunia Industri dan menjawab kebutuhan dan persoalan
bangsa. Hal ini disebabkan antara lain masih terdapatnya ego masing-masing
pihak yakni Academics (Perguruan Tinggi), Business (Dunia Industri), dan
Goverment (Pemerintah) sehingga masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Sebuah
penelitian menghasilkan produk teknologi akan memiliki aspek pasar tinggi,
bermanfaat dan laku di pasar apabila memliki tingkat kesiapan teknologi,
kesiapan inovasi dan tingkat kesiapan manufaktur. Itu semua membutuhkan
kerjasama semua pihak dalam siklus inovasi (Triple Helix) (seperti termuat
dalam gambar 5).
Gambar 5
Siklus Inovasi �Triple Helix� Peran dari Komponen Akademis, Pemerintah, dan
dunia Usaha
Sumber: Ditjen Penguatan Riset
dan Pengembangan 2015
Arif
Satria berpendapat, agar inovasi Indonesia tumbuh subur, perlu dilakukan
kolaborasi dengan industri, "strategi pengembangan inovasi dan kerjasama
industri yang dapat dilakukan adalah� (Adit, 2020):
a. Adanya sinergi program
kerjasama penelitian dan pengembangan. Kerjasamaitu dengan lembaga riset
pemerintah, lembaga riset swasta, perguruan tinggi dan dunia usaha. Sebagai
contoh di Jepang dimana inovasinya bersinergi dengan industri dalam satu
kawasan.
b. Langkah kedua adalah
implementasi teknologi baru melalui pilot plant.
c. Ketiga, adanya jaminan risiko
dari pemerintah pada implementasi teknologi baru
Terdapat 3 (tiga) model
Triple Helix:(Anggota Dewan Riset Nasional, 2020)
a. Konfigurasi statis: Pemerintah
memainkan peran utama, mendorong akademisi dan industri, tetapi juga membatasi
kapasitas mereka untuk memulai dan mengembangkan transformasi inovatif (seperti
di Rusia, Tiongkok, serta beberapa negara Amerika Latin dan Eropa Timur).
b. Konfigurasi laissez-faire:
Model ini ditandai dengan intervensi negara terbatas dalam ekonomi (seperti di
Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat), dengan industri sebagai
kekuatan pendorong dan dua bidang lain bertindak sebagai struktur pendukung
tambahan dengan peran terbatas dalam inovasi�universitas yang bertindak
terutama sebagai penyedia modal sumber daya manusia yang terampil dan
pemerintah terutama sebagai pengatur mekanisme sosial dan ekonomi
c. Konfigurasi seimbang: Ini
khusus untuk transisi ke masyarakat pengetahuan. Universitas dan lembaga
pengetahuan lain bertindak dalam kemitraan dengan industri dan pemerintah,
bahkan memimpin inisiatif bersama
Evolusi metafora triple
helix dari hubungan universitas-industri-pemerintah diposisikan dapat
dipelajari dalam konteks perubahan ekonomi global. Juga dapat untuk menyoroti
bagaimana hubungan ini berlanjut dan bermutasi atau berubah. Dapat pula
dicermati kondisi ketika triple helix mungkin terlihat terurai dalam
menghadapi tekanan pada masing-masing dari tiga helix:
universitas-industri-pemerintah.
Gambar 6
Triple Helix
Sumber: Dewan Riset Nasional, Peran
Strategis Inovasi Dalam Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi, 2020
Dinamika
timbal balik dari inovasi dan triple helix dalam ekonomi global telah menjadi
bidang baru yang dieksplorasi secara sistemis, antara lain juga bagaimana
hubungan itu memengaruhi penda patan nasional suatu negara, misalnya melalui
pajak. Ketiga komponen triple helix dihubungkan oleh route atau kepentingan,
yaitu inovasi dan ide produk baru antara universitas dan industri, pendanaan
dan kebutuhan strategis antara universitas dan pemerintah, serta lapangan
kerja, pajak, dan infrastruktur dalam hubungan pemerintah dan industri.
Dengan
sangat cepat, konsepsi triple helix saat ini berkembang. Turunan dari triple
helix menjadi quadruple helix dan lain-lain. Salah satu contoh quadruple
helix memasukkan unsur media, civil society, dan/atau masalah lingkungan (lihat
gambar 7)
Gambar 7
Quadruple Helix
Sumber: Dewan Riset Nasional
Kesimpulan dari penelitian tersebut
adalah politik hukum
hilirisasi dan inkubasi bisnis hasil riset dan penelitian pengembangan
perguruan tinggi, merupakan sebagai bentuk; jaminan perlindungan Hak Asasi
Manusi sebagai konsekuensi bentuk negara Indonesia sebagai negara hukum
sebagaimana dinyatakan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; juga merupakan
bentuk politik hukum (legal policy) dari pemerintah yakni untuk menjadi sebuah
negara mandiri dan berdaya saing melalui penguasaan teknologi; atau juga
sebagai bentuk iuscontitutm (aturan hukum yang berlaku saat ini) dan pilihan
cara yang dipilih pemerintah kedepan (ius costiendum) dalam menggubah aturan
hukum yang ada. Quadruple Helix: merupakan perkembangan
dari Triple Helix, sangat dibutuhkan dalam merumuskan hubungan yang sejajar
antara helix yakni: pemerintah, perguruan tinggi, dan industri.
Adit, A. (2020).
Pentingnya Kolaborasi Inovasi Perguruan Tinggi Dengan Inddustri. Kompas. Google Scholar
Anggota Dewan Riset Nasional. (2020). Peran Strategis
Inovasi Dalam Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi (A. E. Hadi, Sudharto,
Bambang, Setiadi, Sakya (Ed.); 2020th Ed.). Dewan Riset Nasional.
Asmara, C. G. (2020). Daya Saing Ri Melorot 8 Peringkat , Ri
Kalah Cepat ? Cnbc Indonesia, 1�3. Google Scholar
Asnawi, A. (2018). Produktivitas Rakyat Dan Daya Saing
Indonesia Di Pasar Internasional Sebagai Upaya Mendukung Tercapainya
Pembangunan Nasional. Jurnal Ilmiah Administrasi Bisnis Dan Inovasi, 2(1).
Google Scholar
Astirin, O. P. (2018). Hilirisasi Produk Riset Melalui
Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat *). Jurnal Sniemas, 1�5. Google Scholar
H.S, S. (2015). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi Dan Tesis (E. S. Nurbani (Ed.); Buku Ii). Rajawali Pers. Google Scholar
Irawan, C. (2012). Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual
Indonesia-Kritik Terhadap Wto/Trips Agreement Dan Uapaya Membangun Hukum
Kekayaan Intelektual Demi Kepentingan Nasional (Cetakan Ke). Cv. Mandar
Maju. Google Scholar
Jucevicius, G., Juceviciene, R., Gaidelys, V., & Kalman,
A. (2016). The Emerging Innovation Ecosystems And �Valley Of Death�: Towards
The Combination Of Entrepreneurial And Institutional Approaches. Engineering
Economics, 27(4), 430�438. Https://Doi.Org/10.5755/J01.Ee.27.4.14403. Google Scholar
Kalalo, J. J. J. (2018). Politik Hukum Perlindungan Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat Di Daerah Perbatasan. In Makassar: Disertasi
Universitas Hasanuddin. Universitas Hasanuddinmakasar. Google Scholar
Muabezi, Z. A. (2017). Negara Berdasarkan Hukum
(Rechtsstaats) Bukan Kekuasaan (Machtsstaat). Jurnal Hukum Dan Peradilan,
6(3), 421. Https://Doi.Org/10.25216/Jhp.6.3.2017.421-446. Google Scholar
Nasution, Reza.A. Djuanda, Dadan, Dan Rachmat, R. (2009).
Studi Literatur Tentang Komersialisasi Teknologi Di Perguruan Tinggi: Proses,
Potensi, Model, Dan Aktor. Jurnal Manajemen Teknologi, 8(2). Google Scholar
Patamatta, J. D. (2020). Konsep Negara Hukum Di Indonesia
Dalam Perspektif Piagam Madinah. Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu Dan Budaya
Islam, 3(1), 69�82. Google Scholar
Peraturan Presiden No 18 Tahun 2020 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Google Scholar
Prasetyono, A. P. (N.D.). Valley Of Death Inovasi. Google Scholar
Rahardjo, S. (2009). Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia. Genta Publishing. Google Scholar
Rani, F. A. (2011). Konsep Negara Hukum Dan Kekuasaan
Kehakiman Yang Merdeka. In S. D. Harijanti (Ed.), Negara Hukum Yang
Berkeadilan Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir
Manan, S.H, M.Cl. (Pp. 579�605). Pskn-Htn Fh-Unpad.
Rusnan. (2014). Konsep Negara Hukum Dalam Hubungan Kekuasaan
Freiss Ermerssen Dalam Welfare State. Ius-Kajian Hukum Dan Keadilan, Ii(4),
1�10. Google Scholar
Sekretariat Jenderal Mpr. (N.D.). Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah. 1�28. Google Scholar
Soebagyo, H. (2018). Peningkatan Peran Riset Iptek Dan
Pendidikan Tinggi Untuk Abstrak Pendahuluan. Seminar Nasional Instrumentasi,
Kontrol Dan Otomasi (Sniko), 10�11. Google Scholar
Suteki. (2015). Masa Depan Hukum Progresif (Buku I).
Thafa Media. Google Scholar
Suteki. (2018). Metode Penelitian Hukum-Filsafat, Teori,
Dan Praktik (G. Taufani (Ed.); Cetakan I). Rajawali Pers. Google Scholar
Wijaya, M. H. (2013). Keberadaan Konsep Rule By Law
(Negara Berdasarkan Hukum) Dalam Teori Negara Hukum The Rule Of Law. Google Scholar
Zoelva, H. (2015). Prospek Negara Hukum Indonesia: Gagasan
Dan Realita. Hasanuddin Law Review, 1(2), 178. Google Scholar
Copyright
holder: Muhammad Rizki Noveri, I Putu Eka Cakra, Joko
Setiyono (2021) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |