Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol.
6, No. 10, Oktober 2021
��������������������������������������������������������
PERTIMBANGAN
HUKUM HAKIM TERHADAP PEMILIKAN DAN PENGEDARAN OBAT KERAS TANPA RESEP DOKTER
Stevanus Miharso
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) IBLAM Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Obat merupakan salah satu unsur penting dalam
pelayanan kesehatan yang harus selalu tersedia
dan tidak tergantikan pada pelayanan kesehatan. Obat dapat merugikan
kesehatan, bila digunakan secara tidak tepat atau
bila disalah gunakan. Terkait
dengan adanya penggolongan obat maka pemberian obat kepada konsumen
ada aturan-aturan yang harus diterapkan. Seperti kasus pelanggaran
atas pemilikan dan pengedaran obat keras yang dilakukan tanpa resep dokter
dan telah diputus oleh Pengadilan dengan putusan Nomor: 59/Pid.Sus/2018/PN.Cbi,
dan pelakunya diganjar dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda sejumlah Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode yuridis
normatif yaitu menganalisis kaitan antara peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang dibahas. Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa Tanggungjawab hukum terhadap pengedaran obat keras tanpa
resep dokter, dapat dijerat dengan
Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa : Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan,
dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Namun dalam Putusan Pengadilan Nomor:�� 59/Pid.Sus/2018/PN.Cbi
terdakwa�
Zainal Abidin Bin Basyah (Alm)
oleh karena itu dengan pidana� penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda sejumlah Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Kata Kunci: putusan hakim; obat
keras; kasus hukum
Abstract:
Medicine
is one of the important elements in health services that must always be
available and irreplaceable in health services. Drugs can be detrimental to
health, when used inappropriately or if misused. Related to the classification
of drugs, the provision of drugs to consumers there are rules that must be
applied. Such as the case of violations of the possession and distribution of
hard drugs carried out without a doctor's prescription and has been decided by
the Court by decision Number: 59 / Pid.Sus / 2018 /
PN. Cbi, and the culprit were rewarded with
imprisonment for 1 (one) year and 4 (four) months and a fine of Rp. 10,000,000
(ten million rupiah). The research method that the author uses is a normative
juridical method that analyzes the relationship between applicable laws and
regulations and the practice of positive legal implementation that concerns the
issues discussed. Finally, the author concludes that the legal responsibility
for the distribution of hard drugs without a prescription, can be ensnared by
Article 196 of Law No. 36 of 2009 on Health, that: Any person who intentionally
produces or distributes pharmaceutical preparations and / or medical devices
that do not meet the standards and / or requirements of safety, efficacy or
benefit, and quality as referred to in Article 98 paragraph (2) is punished
with a maximum prison sentence of 10 (ten) know n and a maximum fine of
Rp1,000,000,000.00 (one billion rupiah). But in court decision Number: 59/Pid.Sus/2018/PN. Cbi defendant
Zainal Abidin Bin Basyah (Alm)
therefore with imprisonment for 1 (one) year and 4 (four) months and a fine of
Rp. 10,000,000 (ten million rupiah).
Keywords: the judge's decision; hard drugs; legal
case
Received:
2021-09-20; Accepted: 2021-10-05; Published: 2021-10-20
Pendahuluan
Kesehatan merupakan hak asasi
manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk
hidup layak, termasuk didalamnya mendapatkan kesehatan yang baik. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk memperhatikan derajat kesehatan demi menaikkan kualitas hidupnya. Obat merupakan salah satu unsur penting
dalam pelayanan kesehatan yang harus selalu tersedia dan tidak tergantikan pada pelayanan Kesehatan (Meitasari, 2017). Secara
umum pengertian Obat adalah suatu
bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,luka
atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan,
memperelok badan atau bagian badan manusia (Anief, 1997). Namun
di sisi lain, obat dapat merugikan kesehatan bila tidak memenuhi persyaratan, bila digunakan secara tidak tepat atau
bila disalahgunakan. Ketepatan penggunaan ini menjadi aspek
penting dalam penggunaan obat karena ketidaktepatan penggunaan obat dapat menyebabkan banyak kerugian, baik itu kerugian
dari sisi finansial maupun kerugian bagi Kesehatan. BPOM
awal nya dibentuk oleh organisasi apoteker dan hingga tahun 2000 masih berada dibawah Departemen Kesehatan sedang melalui Keputusan Presiden No.
103 Tahun 2000 mengalami perubahan dan akhir nya melalui Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2003 menjadi sebuah lembaga pemerintah non departemen dibawah presiden langsung yang bertugas mengawasi peredaran obat dan makanan dengan skala nasional. Apoteker sendiri mempunyai arti menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian �Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker� (Oh, 2016).
Menurut Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM), ada dua golongan
obat yang dipasarkan, yakni:
1. Obat yang diperoleh
tanpa resep dokter, yaitu obat
bebas dan obat bebas terbatas atau dikenal dengan
sebutan Over The Counter
(OTC). Obat bebas maksudnya obat yang dapat diperoleh dari toko obat,
pedagang eceran obat berizin yang dipimpin oleh asisten apoteker dan dari apotek. Golongan obat ini ditandai
dengan lingkaran bulat berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam
(Anief, 1997).
2. Obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter
(Ethical) dan dibeli di apotek,
dengan tanda khusus yaitu lingkaran
yang berwarna merah dan bergaris tepi berwarna
hitam dengan huruf K warna hitam
yang menyentuh garis tepi dalam lingkaran tersebut. Adapun obat ethical ini terdiri dari :
Terkait dengan adanya penggolongan obat tersebut dan bagaimana aturan yang seharusnya dalam memperolehnya, maka tentu saja ada
jalur resmi dan proses penjualan yang harus dilalui oleh pelaku usaha dalam memperdagangkan
atau mendistribusikan jenis obat kepada
masyarakat, khususnya terhadap konsumen. Konsumen menjadi sasaran aktivitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya
oleh pelaku usaha melalui kiat promosi,
cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang terkadang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen, adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak nya
masih rendah (Atmoko & Kurniawati, 2009).
Undang Undang
Kesehatan pertama kali di Indonesia diundangkan yaitu No. 23 Tahun 1992 dan telah direvisi menjadi No. 36 Tahun 2009 dikarenakan sudah tidak relevan
lagi. Sebagai pelaksana dari Undang Undang Kesehatan dikeluarkanlah salah satunya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian� mengatur� Pekerjaan Kefarmasian� dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi (Indonesia, 2009). Yang
dimaksud dengan sediaan Farmasi adalah obat, bahan
obat, obat tradisional dan kosmetika (Nomor, 72AD). Terkait obat keras, yang diatur dalam PP Farmasi adalah bahwa dalam melakukan
Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat kepada masyarakat
atas resep dari dokter sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Indonesia, 2009). Selain
itu menurut pasal 1 mengenai ketentuan umum dari Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 disebutkan bahwa � Apotek adalah sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker� (Pemerintah, 2009).
Peredaran menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan� Pasal 1 angka 4;
�Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan sediaan farmasi dan alat� kesehatan baik dalam rangka perdagangan,
bukan perdagangan, atau pemindah tanganan
� (Nomor, 72AD).
Memang penyerahan sediaan farmasi itu sendiri terbagi
menjadi 2 yaitu melalui resep dokter
dan tanpa resep dokter, (Nomor, 72AD)� namun masyarakat seringkali dihadapkan kepada fenomena tentang peredaran obat yang masuk dalam katagori
untuk mendapatkannya harus dengan resep
dokter tetapi beberapa toko obat
bahkan apotek menjualnya secara bebas.� Dalam penulisan penelitian ini penulis mengambil studi kasus pelanggaran
pengedaran obat keras tanpa resep
dari dokter dan diperjualbelikan diluar Apotek yang perkaranya sudah ditangani oleh Pengadilan Negeri Cibinong dengan
Putusan Nomor: 59/Pid.Sus/2018/PN.Cbi.
Dalam kasus ini terdakwa Zaenal
Abidin Bin Basyah (Alm),
yang dalam persidangan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap bukti bahwa Terdakwa Zaenal Abidin Bin Basyah (Alm) didakwa telah
memiliki dan mengedarkan obat sediaan farmasi
berbentuk obat keras dengan� dakwaan
yaitu Pasal 196 UU. RI No.36
tahun 2009 tentang
Kesehatan.� Dalam
kasus ini Zaenal Abidin Bin Basyah (Alm) oleh karena itu dipidana� penjara
selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda sejumlah Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Metode
Penelitian
Penelitian
yang di gunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative, yaitu menganalisis kaitan antara peraturan
perundang-undangan yang berlaku
dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang dibahas. Penelitian ini akan menganalisis masalah hukum, fakta, dan gejala hukum lainnya yang berkaitan dengan pendekatan hukum, kemudian di peroleh gambaran yang menyeluruh mengenai masalah yang akan di teliti penelitian yang berbentuk deskriptif analisis ini hanya akan
menggambarkan keadaan objek atau persoalan
dan tidak dimaksudkan mengambil atau menarik kesimpulan yang berlaku umum mengenai� tanggungjawab hukum pelaku pelanggaran
pengedaran obat keras (Soekanto, 2014).
Penelitian
ini meliputi penelitian mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia
yang berkaitan tanggungjawab
hukum pelaku pelanggaran pengedaran obat keras. Penelitian
dengan yuridis normatif ini lebih
menitik beratkan kepada studi kepustakaan,
baik bahan hukum primer, sekunder dan bahan hukum hukum
tertier yaitu berupa:
a.
Bahan
Hukum Primer
1) Undang-Undang No 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan ;
2) Undang-Undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan ;�
3) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian ;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998
5) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 917/Menkes/Per/X/l993 tentang Wajib Daftar Obat Jadi ;
6) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas,
b.
Bahan
Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan implementasinya, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, makalah-makalah seminar, dan lain-lain. Dalam penelitian dan penulisan penelitian ini meliputi bahan-bahan bacaan yang ada hubungannya dengan tanggungjawab hukum pelaku pelanggaran pengedaran obat keras, sebagai objek yang teliti yaitu literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan di teliti.
c.
Bahan
Hukum Tersier
Bahan hukum yang memberikan penjelasan
lebih lanjut dari bahan hukum primer dan sekunder yaitu, kamus, baik kamus
terjemahan maupun kamus hukum, majalah dan internet (virtual research) (Soekanto, 1986).
Hasil
dan Pembahasan
A.
Pengaturan Hukum Pidana Materiil Terhadap Perkara Pidana Pemilikan Dan Pengedaran Obat Keras Tanpa
Resep Dokter Putusan Pengadilan Nomor: 59/Pid.Sus/2018/PN.Cbi
Berdasarkan
Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 2 telah dijelaskan
dan dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan arah pembangunan kesehatan. Asas-asas� tersebut dilaksanakan melalui upaya kesehatan,
sebagai berikut (Hendrik, 2011):
1. Asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan
kesehatan harus dilandasi atas prikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak
membedakan golongan, agama,
dan bangsa.
2. Asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan
kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan indiviu dan masyarakat, antara fisik dan mental serta antara material dan spiritual.
3. Asas manfaat berarti bahwa pembangunan
kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan prikehidupan yang
sehat bagi setiap warga negara.
4. Asas perlindungan berarti bahwa pembangunan
kesehatan harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi
dan penerima pelayanan kesehatan.�������������
��������������������������������������������
5. Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
6. Asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan
kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua
lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.
7. Asas gender dan non diskriminatif berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.
8. Asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan
agama yang dianut masyarakat.
Pengaturan mengenai pengamanan dan penggunaan
sediaan farmasi di
Indonesia diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor� 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan Pasal
108 ayat (1) dan (2). Adapun dalam hal ini hak pasien
tertera dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen salah satu larangan bagi pelaku
usaha (tenaga kesehatan) dalam menjalankan kegiatan usahanya adalah (Abdul R Saliman, 2005):��������������������������������������������������������
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dari ketentuan perundang-undangan.
2. Tidak sesuai dengan berat bersih,
isi bersih atau netto,
dan jumlah dalam hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut.
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya.
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/ jasa tersebut.
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi
barang dan/atau jasa tersebut.
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu. Jangka waktu penggunaan/pemanfaatan nya yang paling baik adalah
terjemahan dari kata �best
before� yang biasanya digunakan
dalam label produk makanan.
8. Tak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana dinyatakan �halal� yang dicantumkan
dalam label.
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan
barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau neto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama, dan alamat pelaku usaha,
serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
11. Memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi yang lengkap.
12. Memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap.
Berbagai jenis pengobatan
tidak selamanya bersifat menyembuhkan, bahkan tidak jarang
bila menggunakan obat-obatan yang tidak sesuai justru akan
menimbulkan penyakit yang baru (Wibowo, 2012).
Karena hal tersebut dan
sangat pentingnya fungsi obat, banyak masyarakat
yang menyalahgunakan. Misalnya
masyarakat yang dengan sengaja mengedarkan obat-obatan diluar fasilitas pelayanan kefarmasian serta tidak
memiliki keahlian dan kewenangan yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Salah satu contoh kasus pengedaran
obat keras atau tertentu yang seharusnya dengan resep dokter tapi
karena ulah oknum tertentu yang ingin mengambil keuntungan pribadi, obat keras dapat
beredar dengan bebas, sehingga hal tersebut dapat
dikatagorikan sebagai pelanggaran atau bahkan sebagai tindak pidana sebagaimana
penulis contohkan dalam Putusan Pengadilan
negeri Cibinong Nomor : 59/Pid.Sus/2018/PN.Cbi, yang pelakunya dihukum dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda sejumlah Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Semakin maraknya peredaran obat ilegal yang salah satu contohnya yaitu peredaran sediaan farmasi yang seharusnya dengan resep dokter
malah dapat dibeli bebas tanpa
resep dokter bahkan seringkali kita temukan di salah satu fasilitas pelayanan
kefarmasian contoh apotek.
Hal ini membuktikan bahwa masih lemahnya
pertahanan Indonesia dari serbuan hal-hal yang membahayakan masyarakat. Membiarkan beredarnya obat keras secara
ilegal sama saja dengan membiarkan
masyarakat menghadapi berbagai risiko buruk, membiarkan kejahatan berkembang di masyarakat, dan merendahkan kepercayaan, martabat, serta harga diri
bangsa di mata dunia internasional. Hal ini terjadi juga karena faktor yang berhubungan dengan adanya kesempatan
terjadinya kriminalitas baik pelanggaran-pelanggaran kecil maupun besar
(Soerjono Soekanto, 2019).
B.
Sanksi
Hukum Tindak �Pidana Peredaran
Sediaan Farmasi Tanpa Resep Dokter
Setiap hubungan hukum pasti mempunyai 2 (dua) sisi hak
dan kewajiban. Hak dan kewajiban harus dibedakan dengan hukum karena hak
dan kewajiban mempunyai sifat individual, melekat pada individu, sedangkan hukum bersifat umum, berlaku pada setiap orang. Hak pasien dapat muncul
dari hubungan hukum antara tenaga
kesehatan dan pasien dan muncul dari kewajiban
profesional tenaga kesehatan berdasarkan ketentuan-ketentuan profesi. Menurut Fred Ameln hak pasien meliputi
hak atas informasi, hak memilih sarana kesehatan, hak atas rahasia kedokteran,
hak menolak pengobatan, hak menolak suatu tindakan
medik tertentu, hak untuk menghentikan
pengobatan, hak melihat rekam medis,
hak second opinion. Tanggung
jawab hukum tenaga kesehatan dimaksudkan sebagai keterkaitan seorang tenaga kesehatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan
profesinya. Tanggung jawab hukum tersebut
meliputi (Hendrik, 2011):
1. Bidang hukum pidana,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, Pasal 190-200 dan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti Pasal 224, 267-268, 322,
344-350, 531 dan pasal 535.
2. Bidang hukum perdata,
khususnya mengenai ketentuan-ketentuan pada buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang perikatan dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36. Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Sehubungan
dengan tanggung jawab hukum tenaga
kesehatan di bidang hukum perdata ini,
ada 2 (dua) bentuk pertanggungjawaban tenaga kesehatan yang pokok yaitu Pertanggungjawaban
atas kerugian yang disebabkan karena wanperstasi dan pertanggungjawaban
atas kerugian yang disebabkan karena melawan hukum. Pada dasarnya pertanggungjawaban perdata bertujuan untuk memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita selain untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Karena itu baik wanprestasi
maupun perbuatan melawan hukum merupakan
dasar untuk menuntut tanggung jawab tenaga kesehatan.
Ketentuan
mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi diatur dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 196, rumusan yang terdapat dalam pasal ini adalah : �Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan,khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu
miliar rupiah)�.
Sedangkan Undang-Undang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 98:
1. Sediaan farmasi dan alat
kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
2. Setiap orang yang tidak
memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah,
mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
3. Ketentuan mengenai pengadaan,
penyimpanan, pengolahan, promosi, peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan
harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah
4. Pemerintah berkewajiban
membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan,
promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Namun demikian masih begitu banyak masyarakat
yang masih saja mengedarkan
obat-obatan yang seharusnya melalui resep dokter, tetapi diperjualbelikan secara
bebas. Masalah ini merupakan
masalah serius yang terjadi dimasyarakat luas, kurangnya informasi terhadap obat-obatan serta minimnya informasi tentang akibat-akibat yang ditimbulkan karena adanya peredaran
obat keras
dan sanksi yang mereka terima apabila mengedarkan obat keras tanpa resep dokter tersebut juga mempengaruhi tindakan ini.
Menurut pendapat penulis, pengaturan tentang Peredaran Obat sudah mendapat pengaturan yang lengkap, diantaranya adalah sudah diberlakukannya Undang Undang� Republik Indonesia Nomor� 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan,� Peraturan
Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, serta Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 20396/A/SK/VIII/86
tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G. Dalam Perkara
Tindak Pidana Nomor
59/Pid.Sus.2018/PN.Cbi
telah diproses dan ditangani perkara hukumnya oleh aparat penegak hukum sesuai
dengan pengaturan peundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif
di Negara Indonesia, yaitu dengan
melalui proses penyidikan,
proses penuntutan, dan proses persidangan
di pengadilan negeri sebagaimana
kompetensi relatif maupun kompetensi absolut kewenangan pengadilan didalam menangani dan memutus suatu perkara.
C. Pertimbangan
Hukum Hakim Dalam Perkara Pidana Nomor 59/Pid.Sus/2018/Pn.Cbi
1. Posisi
Kasus:
a) Bahwa pada hari Rabu, tanggal 20 September 2017, sekira jam 17.00
wib, bertempat di tepi jalan Raya Taman Pagelaran Ciomas, Kec.
Ciomas, Kabupaten Bogor, terdakwa ditangkap oleh saksi yang saat itu sedang melakukan
piket dikantor Polres
b) Bahwa saksi Noerman dan saksi Brigadir
Danny Setiawan mendatangi lokasi dan melihat terdakwa sedang menjaga toko milik
sdr. Muzakir (belum tertangkap) yang menjual obat-obatan dan ditemukan serta disita Tramadol Polos sebanyak 6 (enam)
butir,
Hexymer sebanyak 20 (dua puluh)
butir,10 (sepuluh) butir/1 strip Tramadol HCL, Trihexypheridyl sebanyak 5 (lima) butir yang semua nya disimpan dalam toko yang dijaga
terdakwa setelah sebelumnya mendapat informasi telpon dari masyarakat ;
c) Bahwa terdakwa dalam hal ini sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu.
d) Bahwa terdakwa dihadapkan ke persidangan
telah didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu dakwaan Kesatu
Pasal 196 UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan atau dakwaan Kedua Pasal
197 UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
e) Bahwa berdasarkan uraian fakta dan pertimbangan sebagaimana terurai, maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa menjual,
mengedarkan, menyimpan, membawa, memiliki,
menguasai, menyediakan atau menyerahkan obat-obatan yaitu jenis Tramadol Polos, Hexymer,
Tramadol HCL dan
Trihexipheridyl tanpa dilengkapi dengan surat izin dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia atau instansi terkait lainnya
merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.
2. Fakta
Persidangan
a) Bahwa dalam persidangan, majelis hakim tidak menemukan
hal-hal yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan
pembenar dan atau alasan pemaaf, maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya;
b) Bahwa dalam perkara ini terhadap terdakwa telah dikenakan
penangkapan dan penahanan terhadap terdakwa tetap berada dalam tahanan;
c) Bahwa oleh karena terdakwa ditahan dan penahanan terhadap
terdakwa dilandasi alasan yang cukup, maka perlu ditetapkan agar terdakwa tetap
berada dalam tahanan;
d) Bahwa barang bukti berupa pecahan uang Rp. 5.000 (lima
ribu rupiah); sebanyak 10 (sepuluh) lembar yang merupakan hasil dari kejahatan
serta mempunyai nilai ekonomis, maka perlu ditetapkan agar barang bukti
tersebut dirampas untuk negara;
e) Bahwa barang bukti berupa Tramadol Polos 6 butir, Hexymer
20 butir, Tramadol HCL 10 butir/1 strip, Trihexipheridyl 5 butir, yang telah
dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan dikhawatirkan akan dipergunakan
untuk mengulangi kejahatan, maka perlu ditetapkan agar barang bukti tersebut dimusnahkan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi;
3. Pertimbangan
Hakim
Dengan memperhatikan fakta-fakta hukum tersebut diatas memilih langsung
dakwaan alternatif Kesatu sebagaimana diatur dalam Pasal 196 UU RI No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan tersebut, bila diurakan
unsurnya adalah sebagai berikut:
1)
Unsur
Setiap orang;
a) Menimbang, bahwa unsur setiap orang diartikan setiap orang
laki-laki maupun perempuan yang dihadapkan dimuka persidangan sebagai subjek
hukum yang mempunyai jasmani dan rohani sehat dan dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum;
b) Menimbang, bahwa Terdakwa yang bernama Zaenal Abidin Bin Basyah (Alm) dengan
segala identitasnya yang tersebut dalam surat dakwaan dan diawal surat tuntutan
ini, yang pada awal persidangan identitas tersebut telah diteliti dengan
seksama oleh majelis hakim dimana identitas tersebut telah dibenarkan pula oleh
terdakwa sebagai identitas jati dirinya, selanjutnya tentu saja yang dimaksud
orang adalah orang yang dapat atau mampu mempertanggungjawabkan setiap
perbuatan atau tindakannya, dimana secara objektif terdakwa Zaenal Abidin Bin
Basyah (Alm) dipersidangan telah menunjukkan kecakapan dan kemampuan dimana
terdakwa dalam keberadaannya secara objektif mempunyai fisik dan psikis yang
sehat dan memadai dan tidak terbukti adanya halangan untuk dapat mempertanggungjawabkannya
secara hukum;
2)
Unsur
yang dengan sengaja melawan hukum mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat
atau kemanfaatan dan mutu.
a) Bahwa yang dimaksud �Dengan sengaja� adalah suatu
perbuatan itu telah dilakukan dengan disadari atau telah ada niat dari pelaku,
baik untuk melakukan perbuatan itu sendiri ataupun timbulnya suatu akibat dari
perbuatan yang akan dilakukannya itu;
b) Bahwa yang dimaksud dengan �sediaan farmasi� menurut pasal
1 ayat (4) Undang � undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah obat, bahan obat,obat traditional
dan kosmetika;
c) Berdasarkan faka-fakta yang terungkap dalam
persidangan dari keterangan saksi-saksi, Ahli dan keterangan terdakwa pada hari
Rabu tanggal 20 September 2017,sekitar jam : 17.00 Wib, di Jalan Raya Taman
Pagelaran Ciomas, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Terdakwa dilakukan
penangkapan kemudian pihak Kepolisian melakukan penggeledahan ditemukan
barang� bukti berupa : Tramadol Polos 6 butir,
Hexymer 20 butir, Tramadol HCL 10 butir/1 strip, Trihexipheridyl 5 butir
semuanya disimpan atau ditemukan didalam etalase toko tempat terdakwa berjualan.
d) Bahwa obat-obatan yaitu berupa Tramadol Polos 6 butir,
Hexymer 20 butir, Tramadol HCL 10 butir/1 strip, Trihexipheridyl 5 butir yang
diduga sediaan farmasi jenis obat kesehatan yang disimpan atau ditemukan
didalam kios yang terdakwa jaga tersebut yaitu milik sdr. Muzakir dan adapun
saya hanya sebagai penjaga atau pelayan toko yang disuruh sdr. Muzakir untuk
menjaga, menjualatau mengedarkan sediaan farmasi jenis obat kesehatan tersebut
dan terdakwa disuruh sdr. Muzakir untuk menjualnya dengan harga untuk Tramadol
Polos 3 butir seharga Rp. 5.000 (lima ribu rupiah), Hexymer 10 butir seharga
Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah), Tramadol HCL 1 strip seharga Rp. 20.000 (dua
puluh ribu rupiah), Trihexipheridyl 5 butir seharga Rp. 5.000 (lima ribu
rupiah) kepada pembeli atau konsumen;
Berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan diatas maka majelis hakim
menilai bahwasanya perbuatan terdakwa menjual, mengedarkan, menyimpan, membawa,
memiliki, menguasai, menyediakan, atau menyerahkan obat-obatan yaitu jenis
Tramadol Polos, Hexymer, Tramadol HCL, Trihexipheridyl tanpa dilengkapi dengan
surat izin dari Departemen Kesehatan RI atau Instansi terkait lainnya merupakan
perbuatan yang dilarang undang-undang. Bahwa dengan demikian unsur �dengan sengaja melawan
hukum mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi
standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu� telah
terpenuhi.
4. Putusan
Hakim
Memperhatikan, Pasal 196 Undang-undang Nomor 36
tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Majelis Hakim menetapkan putusan sebagai berikut:
a) Menyatakan terdakwa Zaenal Abidin Bin Basyah (Alm) telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan dan mutu�
b) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Zaenal Abidin Bin Basyah (Alm) oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda sejumlah Rp. 10.000.000 (sepuluh juta
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;����
c) Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Jika diteliti lebih dalam
dari pertimbangan hukum hakim
dalam memutuskan perkara nomor 59/Pid.Sus/2018/PN. Cbi apakah sudah memenuhi
aspek keadilan? Dalam perkara tersebut hakim
memutuskan bahwa terdakwa Zaenal Abidin Bin Basyah telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
alat kesehatan yang tidak memenuhi standard an/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan dan mutu�. Sesuai dengan dakwaan kesatu dari penuntut umum seperti dimaksud dalam
pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Mengenai kesalahan terdakwa, yaitu terdakwa bukan merupakan orang yang memiliki
keahlian dan kewenangan dalam mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan,
dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat, sesuai dengan pasal 98
ayat (2) Undang-Undang Kesehatan.
Sudah dijelaskan dalam kronologis
perkara bahwa terdakwa adalah bukan pemilik
toko, karena pemilik toko sampai saat ini
belum tertangkap, terdakwa
hanyalah seorang pekerja yang hanya disuruh menjaga toko dan menjual serta
mendapat gaji Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Kesimpulan yang didapat
adalah terdakwa tidak mengerti sama sekali peraturan perundang-undangan yang berlaku
mengenai pemilikan dan peredaran sediaan farmasi atau alat kesehatan terutama
obat keras dimana seharusnya obat keras harus diperjualbelikan melalui resep
dokter serta harus diserahkan oleh apoteker.
Adapun menurut penulis hal-hal yang harus dipertimbangkan lagi oleh hakim
disamping pertimbangan-pertimbangan
yang ada, sebelum menjatuhkan vonis Majelis Hakim juga harus mempertimbangkan beberapa hal penting
sebagai berikut ;
a) Terdakwa bukan merupakan
pelaku utama, dan juga tidak memperoleh keuntungan dalam perbuatannya, karena posisi terdakwa hanyalah seorang yang bekerja dengan upah sebesar Rp.500.000,- per bulan.
b) Keberadaan Terdakwa dalam hal ini
hanya sebagai pekerja yang menjalankan perintah dari pemilik
toko sebagai majikannya.
c) Pekerja baru bekerja
3 (tiga) bulan dan selama 3 bulan baru mendapatkan upah Rp.1.500.000,-
d) Tidak ada korban jiwa yang dapat dibuktikan karena perbuatan terdakwa.
Mengenai pertimbangan
di atas penulis berpendapat bahwa seharus nya terdakwa tidak
tepat dijadikan tersangka, karena peran tersangka hanya sebagai pekerja
yang menjalankan perintah dari pemilik toko
atau majikan. Terhadapnya akan lebih tepat jika
dijadikan sebagai saksi dalam kasus
tersebut yang dapat diminta keterangannya sputar keberadaan tersangka dan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan ditoko tersebut yang semuanya dikelola dan dikendalikan oleh pemilik toko atau
majikan.
Penulis juga berpendapat, apabila terdakwa tetap harus dijerat dalam
kasus ini, akan lebih tepat
jika Majelis Hakim memberikan keputusan berupa vonis hukuman
percobaan kepada Terdakwa, karena vonis penjara sangat tidak sepadan dengan
perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa bahkan terdakwa pun tidak memperoleh keuntungan dari kegiatan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas jika Majelis Hakim mengadili terdakwa dengan hukuman penjara, penulis berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan Majelis
Hakim tidak memenuhi aspek keadilan. Akan lebih tepat jika
Majelis Hakim mengadili terdakwa dengan Hukuman Bersyarat atau lebih dikenal
dengan Hukuman Percobaan.
Kesimpulan
Peraturan
Perundang-undangan telah mengatur bagaimana jalur pengedaran obat keras yaitu:
a). Haruslah melalui resep dokter. b). Melalui fasilitas pelayanan kefarmasian yang ditentukan undang-undang. c). Penyerahan dan pelayanan harus melalui tenaga
teknis kefarmasian dalam hal ini
adalah apoteker.
Memperjual
belikan obat keras dapat dikenai
sanksi pidana yaitu Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, bahwa : Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memenuhi
standard dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (Sepuluh) Tahun
Dan Denda Paling Banyak Rp.1.000.000.000 (Satu Miliar Rupiah).
1.
Dalam
Putusan Pengadilan Nomor 59/Pid.Sus/2018/PN. Cbi terdakwa Zaenal
Abidin Bin Basyah (Alm) telah dipidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda sejumlah Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) akan tetapi putusan
hakim haruslah mempunyai tujuan sebagai:
Dalam
memutuskan vonis hendaknya hakim lebih jeli dalam memeriksa
sebuah perkara. Suatu putusan pengadilan
yang berkualitas, adalah putusan yang dapat dipertanggungjawabkan bukan saja dari sisi
dan aspek kepastian hukum (rumusan pasal-pasal dalam undang-undang) dan kemanfaatan bagi para pihak semata tetapi juga mencerminkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam putusan perkara
nomor 59/Pid.Sus/2018/PN. Cbi menurut penulis
sebaiknya putusan hakim hanya hukuman pidana
bersyarat atau percobaan serta bukan hukuman penjara
dan denda dikarenakan:
a.
Terdakwa
bukan lah pelaku utama
b.
Terdakwa
hanyalah seorang pekerja dan baru bekerja selama 3 bulan
c.
Belum ada
korban
Oleh sebab itu penulis berpendapat
bahwa aspek keadilan dari putusan
hakim dengan nomor perkara 59/Pid.Sus/2018/PN. Cbi tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Abdul R Saliman, Dkk. (2005). Hukum Bisnis Untuk
Perusahaan. Jakarta: Pranada Media Grup.
Anief, Moh. (1997). Apa yang perlu diketahui tentang obat.
Gadjah Mada University Press. Google Scholar
Atmoko, Widi, & Kurniawati, I. (2009). Swamedikasi:
Sebuah respon realistik perilaku konsumen di masa krisis. Bisnis Dan
Kewirausahaan, 2(3), 233�247. Google Scholar
Daud, L. I. A. Rizky Amalia. (2016). Implementasi Pasal 196
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Pelaku Peredaran
Obat Batuk Yang Mengandung Dextromethorphan Tunggal. Skripsi, 1(271412016).
Google Scholar
DepKes, R. I. (2006). Pedoman penggunaan obat bebas dan bebas
terbatas. Jakarta, Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
Hendrik. (2011). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta:
EGC.
Indonesia, Presiden Republik. (2009). Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Meitasari, Meitasari. (2017). Perilaku Seksual Remaja
Pengguna Smartphone (Studi Kasus Di Ma Raudlatul Hidayah Ma�arif Nu 03 Lampung
Timur). Jurnal Bimbingan Dan Konseling Ar-Rahman, 3(1), 1�5. Google Scholar
Nomor, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (72AD). Tahun
1998 tentang Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal.
Oh, Rita Sri Hastuti. (2016). Pelaksanaan Pekerjaan
Kefarmasian Dalam Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit Kota Semarang Setelah
Berlakunya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
Unika Soegijapranata. Google Scholar
Pemerintah, R. I. (2009). Peraturan Pemerintah No. 51
tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. (1986). Pengantar Penelitian Hukum, UI. Press,
Jakarta. Google Scholar
Soekanto, Soerjono. (2014). Sosiologi suatu pengantar.
Google Scholar
Soerjono Soekanto. (2019). Pengantar Penelitian Hukum.
Jakarta: UI Press.
Wibowo, Teguh. (2012). 100 Ramuan Herbal Warisan Leluhur. Jogjakarta,
Ozura. Google Scholar
Copyright
holder: Stevanus Miharso (2021) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article
is licensed under: |