Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN :
2548-1398
Vol.
6, No. 10,
Oktober 2021
�
ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN PRODUK KECANTIKAN
YANG DIPASARKAN SECARA ONLINE
Yani Kamasturyani
Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIKES) Mahardika Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum�
bagi konsumen produk kecantikan yang dipasarkan secara online serta
mengetahui upaya yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan
(BBPOM) dalam melindungi konsumen produk kecantikan yang diperdagangkan secara
online. Penelitian kualitatif ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian
lapangan (field research). Penelitian
lapangan dilakukan secara yuridis empiris, Selain metode yuridis empiris,
digunakan juga metode yuridis normatif dengan bahan hukum sekunder. Populasi
terdiri dari para mahasiswi di lingkungan Sekolah Tinggi Ilmu� Kesehatan Mahardika� Cirebon, Jawa Barat, Indonesia. Hasil
penelitian menunjukkan Jenis Produk Produk Kecantikan yang Sering dikonsumsi
masyarakat dan di beli secara online terbanyak adalah pemutih kulit wajah
sebanyak 70%, dan secara umum belum semua orang memahami tentang perlindungan
hukum bagi konsumen akibat mengonsumsi obat-obat kecantikan yang mengakibatkan
konsumen menderita kerugian. Para pelaku perdagangan online dapat diberikan sanksi administrasi (teguran sampai
pembekuan izin edar), sanksi keperdataan (ganti rugi dalam hal perbuatan
melawan hukum dan wanprestasi), dan sanksi pidana (hukuman fisik kurungan
penjara dalam waktu tertentu).
Kata Kunci: perlindungan hukum konsumen; produk
kecantikan; perdagangan online
Abstract
The study aims to analyze legal
protections for consumers of beauty products marketed online as well as to find
out the efforts made by the Food and Drug Control Center (BBPOM) in protecting
consumers of beauty products traded online. This qualitative research uses
library research techniques and field research. Field research is conducted in
empirical juridical, in addition to empirical juridical methods, normative
juridical methods are also used with secondary legal materials. The population
consists of students in the Mahardika Cirebon College
of Health Sciences, West Java, Indonesia. The results showed that the type of
beauty products that are often consumed by the public and purchased online the
most is facial skin whitening as much as 70%, and in general not everyone
understands about legal protections for consumers due to taking beauty drugs
that result in consumers suffering losses. Online traffickers can be given
administrative sanctions (reprimand until freezing of licenses), civil
sanctions (compensation in the case of unlawful acts and default), and criminal
sanctions (corporal punishment of imprisonment within a certain time).
Keywords: protection
of consumerlaw; beauty products; online trading
Received: 2021-09-20;
Accepted: 2021-10-05; Published: 2021-10-20
Pendahuluan
Perlindungan
hukum� konsumen� produk kecantikan yang dipasarkan secara online menjadi hal yang harus
diperhatikan. Konsumen produk kecantikan, dalam hal ini konsumen produk
kecantikan untuk tujuan mempercantik diri, pada dasarnya menginginkan
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan terhadap produk kecantikan yang mereka
konsumsi. Namun, karena keterbatasan yang mereka miliki sebagai akibat dari
tingkat pendidikan yang rendah, tingkat literasi yang rendah, dan pengaruh
promosi, konsumen bisa terjebak dan atau terjerumus membeli untuk selanjutnya
mengonsumsi obat-obat produk kecantikan tertentu baik melalui toko obat
kecantikan yang umum atau belanja online
yang di kemudian hari ternyata mendatangkan risiko berbahaya. Konsumen yang
termasuk kategori ini jelas perlu dilindungi (Amelia & Rismawati, 2018).
� Kini, banyak beredar jenis produk kecantikan
yang terdiri dari obat pemutih wajah, obat jerawat, obat pelangsing tubuh,
dll., merupakan representasi dari artifak upaya seseorang untuk mengubah
dirinya menjadi cantik atau tergolong cantik. (Hall, 1997) menyatakan bahwa representasi adalah penghubung
antara konsep dan bahasa yang membuat seseorang mampu mengacu pada dunia nyata
maupun hayalan.kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh para pengusaha kecantikan
yang hanya mementingkan segi keuntungan, sehingga pada akhirnya konsumen dirugikan (Fiske, 2004).
���� Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disingkat UU Kesehatan), kosmetik
termasuk ke dalam jenis sediaan farmasi berkaitan dengan obat-obatan, Obat
(atau yang sering disebut sebagai obat modern) adalah suatu bahan atau paduan
bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis,
mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala
penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan
untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.
Hingga kini
setidaknya terdapat dua kebijakan pemerintah Indonesia yang secara operasional
melindungi para konsumen produk-produk kecantikan (Hamid & SH, 2017).
Pertama, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kedua,
Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam
Wilayah Indonesia. Hasil penelitian (Masputra, Setiyono, & Irawati, 2020) penggunaan obat ataupun krim yang diberikan oleh
dokter klinik kecantikan tidak lepas dari supervisi yang berasal dari BPOM. Hal
ini relatif akan mengurangi risiko dampak negatif obat kecantikan sebab dokter
kecantikan diasumsikan telah memahami betul jenis obat kecantikan serta
dosisnya.
Dalam upaya
melindungi konsumen produk maka hukum yang sesuai adalah hukum perlindungan
konsumen. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2015 seperti telah disebutkan di muka. Obat yang masuk dan diedarkan ke
dalam wilayah Indonesia (termasuk obat kecantikan) harus memiliki izin edar
dari BPOM (Pasal 3, ayat 1) (Rahmayani, 2018). Izin edar berupa notifikasi dari BPOM dinilai
menjamin bahwa obat yang diperdagangkan aman untuk dikonsumsi.
Penelitian ini
bertujuan untuk (1) mengetahui jenis produk kecantikan yang dikonsumsi
masyarakat dan didapatkan melalui online; (2) menganalisis upaya hukum apa saja
yang dapat dilakukan oleh konsumen terhadap produk produk kecantikan yang
diperdagangkan secara online dan merugikan, dan (3) mengetahui upaya yang
dilakukan oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) dalam melindungi
konsumen produk kecantikan yang diperdagangkan secara online.
Metode Penelitian
Penelitian
kualitatif ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan (library research) (Rahayu, SH, & Ke, 2020)
dan penelitian lapangan (field research). Penelitian
lapangan dilakukan secara yuridis empiris, yaitu metode penelitian untuk mendapatkan data primer dari data di lapangan tentang peraturan-peraturan hukum perdagangan obat-obat kecantikan secara online dikaitkan dengan data perilaku konsumen obat-obat kecantikan. Selain metode yuridis empiris, digunakan juga metode yuridis normatif dengan bahan hukum sekunder
(Gustiani, 2019). Populasi terdiri dari para mahasiswi di lingkungan sekolah� tinggi kesehatan Mahardika Cirebon, Jawa Barat, Indonesia.
Sampel
diambil dengan purposive sampling atau
judgement sampling. Sampel penelitian
ini merupakan para mahasiswi yang memiliki kriteria khusus yaitu pernah membeli
produk kecantikan secara online sehingga dianggap memiliki pengalaman sebagai konsumen produk kecantikan online.
Teknik analisis
data menggunakan deskriptif
analitik (Nazir, 1988)
�dengan unit analisis terdiri dari: jenis obat-obat
kecantikan yang dikonsumsi dengan cara membeli
secara online,
perlindungan hukum yang diterima konsumen, upaya hukum yang dilakukan konsumen, dan upaya BBPOM untuk melindungi konsumen produk produk kecantikan.
Hasil dan Pembahasan
Data hasil
wawancara dan jawaban atas pertanyaan tentang jenis-jenis obat kecantikan yang
dikonsumsi dengan cara membeli secara online
terkumpul data yang disajikan alam Tabel 2 berikut ini.
�
Tabel 1
Jenis Produk Produk Kecantikan yang Dikonsumsi (Menurut
Jumlah Pemakai)
No. |
Jenis Produk Kecantikan |
Jumlah Pemakai |
% |
1. |
Obat Pemutih Kulit Wajah |
45 |
45% |
2. |
Obat Penyembuh Jerawat |
20 |
20% |
4. |
Obat Pewarna/Penghitam Rambut |
10 |
10% |
6. |
Obat Penghalus/ Pelembut Kulit |
25 |
25% |
Jumlah |
100
orang |
100% |
Sumber:
Data Hasil Wawancara dan Angket (Diolah untuk Jurnal)
Analisis
terhadap data jawaban dari responden tersebut dapat dirinci berikut ini. Temuan penelitian pertama, jenis-jenis obat produk
kecantikan yang sering dibeli secara online di kalangan mahasiswi STIKes
Mahardika Cirebon terdiri dari: obat pemutih kulit wajah, obat jerawat, dan
obat pelembut kulit.
Pada umumnya
obat-obat produk kecantikan yang terbanyak beredar secara online dan dikonsumsi
oleh konsumen diperuntukkan bagi perbaikan kondisi wajah. Hal ini senada dengan
pernyataan (Stufflebeam & Shinkfield, 2012) dan (Vidyarini, 2007) yang menyebutkan bahwa wajah merupakan bagian fisik
manusia yang unik, lunak, dan bersifat publik, serta menjadi dasar persepsi
tentang arti kecantikan atau ketidakcantikan seseorang.
Obat pemutih
dan pencerah wajah merupakan obat kecantikan yang paling banyak dikonsumsi
secara online oleh responden di
kalangan mahasiswi STIKes Mahardika. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Vidyarini,
2007)
yang menyebutkan bahwa kebanyakan produk kecantikan yang dipasarkan di
Indonesia adalah produk yang bisa menjadikan kulit menjadi lebih terang.
Menurut temuannya, label whitening (memutihkan) dan brightening (mencerahkan)
adalah label yang terpampang di hampir semua produk perawatan kulit dan wajah.
Setelah
obat-obat kecantikan untuk wajah, obat-obat produk kecantikan yang banyak
diperdagangkan secara online adalah obat-obat yang diperuntukkan bagi
kelembutan kulit. Urutan ketiga terbanyak dikonsumsi adalah obat-obat
kecantikan penyembuh jerawat.
Jenis-jenis
obat produk kecantikan tersebut banyak diperdagangkan secara online sebab sejak dulu, produk
kecantikan dibuat sesuai dengan persepsi masyarakat tentang kecantikan itu
sendiri. Kecantikan dimaknai berbeda oleh berbagai orang di belahan dunia yang
berbeda. Oleh karena itu dalam perdagangan online jenis produk produk
kecantikan berbeda-beda di setiap belahan dunia. Temuan berikutnya menunjukkan
bahwa responden pada umumnya menyatakan kecantikan direpresentasikan dalam
wujud model perempuan yang tinggi dan kurus/langsing, berkulit putih, berambut
hitam lurus, dan berwajah Indo.
Bentuk iklan
produk produk kecantikan yang disebarluaskan di berbagai media umumnya memiliki
ciri utama yaitu menggunakan gambar atau sosok perempuan cantik berkulit putih
dan tinggi semampai. Temuan ini memperkuat hasil penelitian (Dayanti, 2006) yang menemukan bahwa produk-produk yang ditujukan
untuk perempuan umumnya menggunakan model h yang secara fisik sempurna.
Kondisi
tersebut sesuai pula dengan hasil penelitian (Vidyarini, 2007) yang menyimpulkan bahwa kecantikan yang ditampilkan
dalam iklan adalah kecantikan ideal yang ditampilkan di media massa pada
umumnya. Berdasarkan penelitiannya, kecantikan ideal adalah pada wajah yang
memilki kualitas kulit putih, halus, dan bersih.
Temuan
penelitian ketiga, masih banyak konsumen produk-produk kecantikan yang diperdangkan secara online
belum terlindungi sepenuhnya, khususnya adanya kerugian yang disebabkan oleh
akibat buruk dari obat kecantikan tersebut. Hal ini terjadi karena produsen yang
menawarkan produk produk kecantikan tersebut tidak menyantumkan informasi
tentang produk dimaksud secara benar dan jelas.
Hal ini
bertentangan dengan keharusan bagi produsen (termasuk produsen produk produk
kecantikan) untuk menyantumkan hal-hal terkait produknya. Menurut (Sukandar, Andrajati, Adnyana, Setiadi, & Kusnandar, 2009) produsen produk obat ketika obat tersebut
diperdagangkan harus menyantumkan: nama dagang, nama generik, bentuk sediaan,
komposisi, indikasi, kontraindikasi, efek samping, interaksi obat, cara kerja
obat, aturan pakai, peringatan, nomor batch/lot,
nomor registrasi, nama dan alamat industri farmasi, dan tanggal kadaluwarsa.
Informasi
tentang produk kecantikan yang diperdagangkan secara online penting diberikan sebab selain menyebabkan dampak positif,
obat juga menyebabkan dampak negatif. Ketika cukup banyak obat kecantikan yang
diperdagangkan secara online ternyata
tidak mendapat izin dari BPOM dan informasi lain tentang obat tersebut tidak
jelas, maka perlindungan terhadap konsumen terancam.
Meskipun efek
negatifnya berbahaya, namun karena serbuan iklan obat kecantikan yang mudah
masuk secara online ke HP konsumen, mudahnya transaksi online, menyebabkan
konsumen obat kecantikan yang berbahaya ini tetap banyak jumlahnya. Di sisi
lain, konsumen yang memperoleh produk kecantikan dari dokter kecantikan pun
bisa saja dirugikan jika ternyata obat yang diperolehnya melalui dokter
kecantikan juga belum terdaftar di BPOM.
Jika sudah
seperti itu kondisinya, maka perlindungan konsumen akan pentingnya kesehatan
mereka menjadi lemah. Padahal kesehatan sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia yang stratanya sama dengan kebutuhan akan
sandang, pangan, dan papan. Menurut WHO kesehatan merupakan keadaan sejahtera
dari fisik, mental, spiritual dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif baik secara sosial dan ekonomis dan untuk menjamin kualitas
kesehatan tersebut diperlukan hukum kesehatan.
WHO dalam Effective Drug Regulation (A
Multicountry Study) tahun 2002 dinyatakan bahwa kegiatan pengawasan
bertujuan untuk menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat yang tersedia untuk
masyarakat, pengawasan ini perlu diatur dalam suatu legislasi di bidang obat
yang mengatur secara komprehensif persyaratan terkait produk dan seluruh
rangkaian kegiatan yang harus dilakukan sebelum dan sesudah produk diedarkan,
termasuk di dalamnya seluruh aspek kegiatan terkait produksi, importasi,
peredaran termasuk penyaluran, dan kegiatan promosi produk.
Pentingnya
perlindungan hukum terhadap konsumen obat kecantikan yang diberikan oleh dokter
kecantikan pun diperlukan, sebab dokter juga manusia yang memiliki kekurangan
dan lupa (Mariam, 2017). Ketika lupa telah memberikan obat kepada pasien
padahal obat tersebut belum terdaftar di BPOM. Misalnya seperti temua
penelitian (Masputra et al., 2020)
atas kasus Dr. Trifena yang memberikan obat kecantikan kepada pasien, padahal
obat tersebut belum terdaftar di BPOM. Dr. Trifena dinyatakan secara legal
bersalah oleh pengadilan dengan Putusan Nomor 2008K/Pid.Sus/2016.
Pentingnya
perlindungan hukum bagi pasien akibat mengonsumsi produk kecantikan yang
diperoleh dari tenaga medis juga sesuai dengan hasil penelitian (Poli, 2018) yang menyebutkan tanggung jawab dan sanksi yang
diterapkan bagi tenaga kesehatan ataupun apoteker yang melakukan kesalahan atau
kelalaian dalam memberikan obat sehingga mengakibatkan pasien/konsumen
menderita kerugian dapat diberikan sanksi administrasi (teguran sampai
pembekuan izin tenaga kesehatan), sanksi keperdataan (ganti rugi dalam hal
perbuatan melawan hukum dan wanprestasi), dan sanksi pidana (hukuman fisik
kurungan penjara dalam waktu tertentu).
Temuan
penelitian keempat, terdapat beberapa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
konsumen terhadap produk� kecantikan yang
diperdagangkan secara online, meliputi: (a) 5% konsumen melaporkan kerugian
kepada pemerintah untuk mendapatkan ganti rugi, (b) 41% konsumen tidak
melaporkan kerugian kepada siapapun, (c) 17% konsumen berhenti mengonsumsi obat
kecantikan yang merugikan tersebut, (d) 37 % konsumen tetap mengonsumsi obat
kecantikan dengan cara mengganti obat kencantikan yang merugikan tersebut
dengan obat sejenis namun berbeda merek.
Besarnya
persentase konsumen yang tidak melaporkan kerugiannya menunjukkan adanya
ketidaksadaran atau kekurangsadaran hukum di kalangan konsumen. Kondisi ini
sekaligus menunjukkan diperlukannya peranan yang lebih besar dari pemerintah
untuk melakukan dua hal. Pertama, meningkatkan kesadaran hukum pada kalangan
konsumen produk kecantikan yang berbelanja secara online. Kedua, lebih intensif dan tegas mengawasi perdagangan
produk kecantikan secara online.
Ketiga, menegakkan proses hukum di pengadilan terhadap berkas aduan kasus obat
kecantikan yang masuk.
Upaya kedua
yang dimaksud memang sudah pernah dilakukan, misalnya pada kasus aduan pasien
terhadap Dr. Trifena binti Yusuf seperti telah dikemukakan di atas. Menurut
hasil penelitian (Masputra et al., 2020) Dr. Trifena
diputus bersalah dalam Putusan Nomor 2008 K/Pid.Sus/2016 bukan karena meracik
obat, namun karena menggunakan produk yang belum terdaftar di BPOM.
Temuan
penelitian kelima, upaya Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) dalam
melindungi konsumen produk kecantikan yang diperdagangkan secara online adalah
telah� melakukan upaya perlindungan
konsumen.
Secara
terjadwal BPOM sudah menyosialisasikan berbagai peraturan yang berlaku terkait
obat dan makanan yang boleh dan tidak boleh diedarkan (diperdagangkan) baik
secara konvensional maupun secara online.
Implikasinya penggunaan semua produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat
adiktif, obat tradisional, kosmetik (baik obat atau krim) kecantikan (yang
diberikan oleh dokter atau membeli secara online) harus memenuhi aturan yaitu
memiliki izin edar dari BPOM.
Jika ada yang
mengedarkan obat-obat kecantikan yang tidak terdaftar di BPOM, memperdagangkan,
bahkan memberikan resep sekalipun (tindakan ini dilakukan dokter kecantikan),
dapat dikenai sanksi pidana.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan di atas diperoleh simpulan berikut ini. Pertama, Obat pemutih dan
pencerah wajah merupakan obat kecantikan yang paling banyak dikonsumsi dan di
beli secara online oleh responden di
STIKes Mahardika Cirebon. Kedua� masih
banyak konsumen produk produk kecantikan yang dipasarkan secara online belum
terlindungi sepenuhnya, khususnya adanya kerugian yang disebabkan oleh akibat
buruk dari obat kecantikan tersebut. Ketiga�
Besarnya persentase konsumen yang tidak melaporkan kerugiannya
menunjukkan adanya ketidaksadaran atau kekurangsadaran hukum di kalangan
konsumen. Keempat BPOM telah mengeluarkan syarat peredaran obat harus memiliki
izin BPOM,
tetapi para pelaku perdagangan online
masih banyak yang kurang peduli atas keselamatan konsumen.
BIBLIOGRAFI
Amelia, Natasha, & Rismawati,
Rismawati. (2018). Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Kecantikan Yang
Diperdagangkan Secara Online Terkait Dengan Obat Pelangsing. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan, 2(3), 629�638. Google Scholar
Dayanti, Liestianingsih Dwi. (2006). Potret
Kekerasan Gender dalam Sinetron Komedi. �di Televisi. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan
Dan Politik, 19(3). Google Scholar
Fiske, John. (2004). Culture and
communication studies. Jalasutra, Yogyakarta. Google Scholar
Gustiani, Sri. (2019). Research And
Development (R&D) Method As A Model Design In Educational Research And Its
Alternatives. Holistics, 11(2). Google Scholar
Hall, Stuart. (1997). Representation:
Cultural representations and signifying practices (Vol. 2). Sage. Google Scholar
Hamid, Abd Haris, & SH, M. H. (2017). Hukum
Perlindungan Konsumen Indonesia (Vol. 1). Sah Media. Google Scholar
Mariam, Mariam. (2017). Perlindungan Hukum
Terhadap Konsumen Atas Peredaran Produk Kecantikan Yang Tidak Memiliki Izin
Edar (Studi di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Mataram.
Universitas Mataram. Google Scholar
Masputra, M. Hendra Cordova, Setiyono,
Joko, & Irawati, Irawati. (2020). Keadilan Terhadap Dokter Pada Kasus
Penggunaan Obat Yang Belum Terdaftar Di Bpom Republik Indonesia. Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia, 2(1), 102�116. Google Scholar
Nazir, Moh. (1988). MetodePenelitian. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Google Scholar
Poli, Mirza N. R. (2018). Kesalahan
Pemberian Obat Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Lex Privatum, 6(4). Google Scholar
Rahayu, Derita Prapti, SH, M. H., & Ke,
Sesi. (2020). Metode Penelitian Hukum. Yogyakarta: Thafa Media. Google Scholar
Rahmayani, Nuzul. (2018). Tinjauan Hukum
Perlindungan Konsumen Terkait Pengawasan Perusahaan Berbasis Financial
Technology di Indonesia. Pagaruyuang Law Journal, 2(1), 24�41. Google Scholar
Stufflebeam, Daniel L., & Shinkfield,
Anthony J. (2012). Systematic evaluation: A self-instructional guide to
theory and practice (Vol. 8). Springer Science & Business Media. Google Scholar
Sukandar, Elin Yulinah, Andrajati, R.
Sigit, Adnyana, J. I., Setiadi, I. K., & Kusnandar, A. P. (2009). ISO:
Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbit Jakarta. Google Scholar
Vidyarini, Titi Nur. (2007). Representasi
kecantikan dalam iklan kosmetik The Face Shop. Scriptura, 1(2). Google Scholar
Copyright holder: Yani Kamasturyani
(2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |