Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 11, November 2021

���������

PENGARUH SUBJECTIVE WELL BEING DAN STRES KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN GEN X DAN GEN Y DI MASA PANDEMI COVID

 

Ajheng Mulamukti Asih Pratiwi, Mahesti Pertiwi, Anissa Rizky Andriany

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta, Indonesia

Email:[email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Komitmen organisasi adalah aspek penting yang harus diperhatikan oleh organisasi. Sebab, karyawan dengan komitmen organisasi yang baik akan bekerja keras membantu organisasi mencapai tujuan. Dunia kerja saat ini didominasi oleh generasi X dan Y, masing-masing dari generasi ini memiliki karakteristik yang unik yang kemungkinan dapat mempengaruhi komitmen organisasi, seperti subjective well-being dan stres kerja yang sifatnya personal antara karyawan kepada organisasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh subjective well-being stres kerja terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis uji regresi linear sederhana yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh variabel subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi. Hasil yang diperoleh berdasarkan pengolahan data 51 responden karyawan generasi X dan Y, menunjukkan pengaruh yang diberikan oleh subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi sebesar 2% sedangkan 98% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak ketahui oleh peneliti. Artinya, tidak terdapat pengaruh yang signifikan baik positif maupun negatif dari subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y.

 

Kata Kunci: generasi x dan y; kesejahteraan subjektif; komitmen organisasi; stres kerja

 

Abstract

Organizational commitment is an important aspect that must be considered by the organization. Because employees with good organizational commitment will work hard to help the organization achieve its goals. Today's world of work is dominated by generations X and Y, each of which has unique characteristics that are likely to affect organizational commitment, such as subjective well- being and personal work stress between employees to the organization. The goal of the study wasto determine the effect of subjective well-being work stress on organizational commitment to generation X and Y employees. The study used a quantitative approach with a simple linear regression test analysis used to find out how much influence subjective well-being variables and work stress exert on organizational commitment. The results, based on data processing of 51 generation X and Y employee respondents, showed the effect exerted by subjective well-being and work stress on an organizational commitment by 2% while the other 98% was influenced by other factors that were not known by researchers. That is, there is no significant positive or negative influence of subjective well-being and work stress on organizational commitment to generation X and Y employees.

 

Keywords: generation x and y; organizational commitment; subjective well-being; job stress

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20

 

Pendahuluan

Suatu organisasi atau perusahaan sudah pasti memiliki visi dan misi guna mencapai tujuan utamanya. Demi mewujudkan hal tersebut, maka sebuah organisasi memiliki sistem yang diharapkan membantu mencapai tujuan organisasi. Sumber daya manusia menjadi salah satu unsur yang penting dalam sistem organisasi ketika ingin bergerak ke depan mencapai tujuan organisasi, dalam hal ini adalah karyawan. Membahas tentang tujuan, komitmen organisasi menjadi faktor penting yang diharapkan oleh organisasi ada pada setiap karyawannya. Komitmen organisasi adalah perilaku dan pola pikir karyawan yang memihak dan berpegang kuat pada organisasi dan tujuan yang hendak dicapai. Karyawan dengan komitmen organisasi yang baik akan memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari organisasinya dan memelihara keanggotaannya tersebut (Robbins, 2013).

Karyawan adalah aset penting dalam organisasi. (McCrindle, 2006) mengatakan terdapat tiga generasi angkatan kerja dalam organisasi atau perusahaan, yaitu Baby Boomers yang lahir antara tahun 1943-1960, Xers (generasi X) yang lahir antara tahun 1961-1979 dan Generasi Y yang lahir antara tahun 1980-1994. Diantara tipe generasi ini, sebagian besar tenaga kerja kini ditempati oleh generasi X dan generasi Y (Yigit & Aksay, 2015). Kedua generasi ini masing-masing memiliki karakteristik yang unik dan terkadang menjadi tantangan bagi organisasi untuk menyikapinya berkaitan dengan komitmen organisasi.

(Eid & Larsen, 2008) mengatakan bahwa sarana seseorang agar dapat mencapai tujuan lain di luar dirinya berkaitan dengan persoalan subjective well-being, sebab subjective well-being memiliki fungsi sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh individu dan ini menjadi sarana untuk mencapai tujuan lainnya. Sebagai manusia yang utuh (fisik dan psikis), seorang karyawan memiliki tingkat subjective well-being yang berbeda-beda. kondisi sebaliknya yang dapat berkaitan dengan keadaan psikis karyawan adalah stres kerja dalam organisasi. Stres kerja merupakan keadaan dimana karyawan merasa tertekan ketika melakukan pekerjaannya (Mangkunegara, 2016). Stres kerja juga dianggap sebagai respons dari karyawan secara fisiologis dan psikologis terhadap permintaan atau keinginan organisasi.

Mencapai tujuan organisasi yang terwujud dalam bentuk perilaku komitmen organisasi merupakan keinginan atau dapat dikatakan permintaan tidak tertulis organisasi kepada karyawannya. Akan tetapi, komitmen organisasi tidak bisa digerakkan secara paksa, melainkan sebuah respons psikologis yang tumbuh dalam bentuk perilaku karyawan kepada organisasi. Dalam penelitian ini peneliti ingin berfokus pada karyawan generasi X dan generasi Y, mengingat jumlah tenaga kerja saat ini didominasi oleh kedua generasi ini. Keberhasilan organisasi dalam mengelola sistem dan mencapai tujuannya serta mendapatkan komitmen organisasi yang baik dari karyawannya, dapat terjadi apabila organisasi tersebut memperhatikan sumber daya manusia yang menjadi faktor penentu dan kontributor atas pencapaian tujuan organisasi (Cholil & Asri, 2003). Komitmen organisasi disini sangatlah penting untuk keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai karyawan.

Komitmen organisasi adalah keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan organisasi, serta keyakinan tertentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthans, 2011). Sedangkan menurut (Darmawan, 2013) komitmen berarti keinginan karyawan untuk tetap mempertahankan keanggotaanya dalam organisasi dan bersedia melakukan usaha yang tinggi bagi pencapaian tujuan organisasi. Mathis dalam (Sopiah, 2008) menjelaskan komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan karyawan dan menerima tujuan organisasi serta akan menetap dalam suatu organisasi. Komitmen organisasi menjadikan karyawan akan berupaya memberikan yang terbaik untuk membantu organisasi mencapai tujuannya (Martins & Martins, 2011).

Menurut (Robbins, 2013) terdapat 3 macam dimensi komitmen organisasional yaitu Komitmen Afektif, Komitmen Normatif, dan Komitmen Berkelanjutan. Komitmen Afektif yaitu Perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. Komitmen Normatif yaitu perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu, tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Komitmen berkelanjutan yaitu nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. Sedangkan menurut (Meyer & Allen, 1991) menjelaskan terdapat tiga dimensi dari komitmen organisasi, yaitu: Affective Commitment, berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Ketika seseorang memiliki affective commitment yang tinggi akan terus bertahan dalam organisasi karena karyawan tersebut memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut, Continuance Commitment pada dimensi ini anggota organisasi memiliki kesadaran bahwa ia akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Seorang karyawan dengan continuance commitment yang tinggi akan terus bertahan dalam organisasi karena karyawan tersebut memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut. Normative Commitment, karyawan dengan normative commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut.

Dari kedua aspek yang disebutkan oleh tokoh-tokoh di atas, terdapat kemiripan dari setiap aspek. Penelitian kali ini, disimpulkan aspek-aspek komitmen organisasi adalah Affective Commitment Continuance Commitment, dan normative commitment. Aspek-aspek ini mengacu pada pendapat (Meyer, Allen, & Smith, 1993) yang dirasa memiliki penjelasan yang mudah dipahami. Keberhasilan yang dicapai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai karyawan juga tidak lepas dari kesejahteraan para karyawan itu sendiri. Kesejahteraan dapat dicapai apabila karyawan mampu bekerja secara optimal.Selain itu keterlibatan karyawan dalam bekerja dan adanya kebahagiaan di tempat kerja juga dapat memunculkan well-being pada karyawan itu sendiri (Bakker & Oerlemans, 2011). Subjective well-being adalah penilaian individu terhadap kehidupannya secara subjektif. Penilaian yang melibatkan aspek kognitif dan afektif terhadap kehidupan, termasuk kesehatan, karir dan lain sebagainya (Keyes, 2006). (Diener, 2009) mendefinisikan subjective well-being sebagai kondisi yang merujuk pada kualitas hidup individu terhadap kehidupannya. Hasil penelitian (Keyes, 2006) menunjukkan bahwa pada individu yang memiliki kesejahteraan mental dalam tingkat baik maka akan lebih produktif dalam pekerjaannya. Salah satu aspek kesejahteraan yang berkembang adalah subjective well-being. Subjective well-being sendiri dapat didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang dalam menilai aspek kehidupan yang meliputi kepuasan hidup, rasa aman dan nyaman, serta kebahagiaan (Diener, Lucas, & Oishi, 2002). Menurut (Miranda & Amna, 2016) subjective well-being secara relatif merupakan atribut psikologi yang stabil dan mampu merefleksikan tingkat kehidupan yang positif pada individu. Individu yang mengalami subjective well-being yang tinggi akan mengalami kepuasan hidup dan merasakan kegembiraan yang lebih sering dari pada merasakan emosi yang kurang menyenangkan. Subjective well-being digunakan untuk menggambarkan kualitas hidup seseorang berdasarkan evaluasi kehidupannya. Evaluasi ini meliputi afek positif dan negatif, seperti penilaian dan perasaan mengenai kepuasan hidup, reaksi terhadap perasaan senang dan sedih, serta kepuasan terhadap kehidupan sosial, kesehatan, lingkungan kerja, dan domain penting lainnya (Diener, 2009) membagi komponen subjective well-being menjadi dua, yaitu komponen kognitif, berupa kepuasan hidup dan penilaian, serta komponen afektif berupa afek positif dan afek negatif. Komponen kognitif merupakan hasil evaluasi terhadap kepuasan hidup. Kepuasan hidup terbagi menjadi dua, yaitu kepuasan hidup secara global, adalah evaluasi individu terhadap kehidupan secara menyeluruh dan kepuasan hidup pada domain tertentu, yaitu penilaian yang dibuat individu dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya. Komponen afektif merupakan refleksi pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan seseorang. Komponen afektif ini terbagi menjadi afek positif, yaitu refleksi emosi dan suasana hati yang menyenangkan dan afek negatif, yaitu representasi emosi dan suasana hati yang tidak menyenangkan. Selain itu salah satu faktor yang menyebabkan turunnya komitmen organisasi adalah stress kerja (Winarno, 2019).

Stress kerja atau job stress adalah ketegangan yang dirasakan oleh karyawan, menghasilkan ketidakseimbangan fisik dan psikis, berpengaruh pada emosi, proses berpikir dan kondisi karyawan (King, 2010). Selain itu, stres kerja juga dapat menjadi ancaman psikologis bagi suatu organisasi (Hlatywayo, Zingwe, Mhlanga, & Mpofu, 2014).

Generasi Xers atau kerap disebut generasi X merupakan generasi yang dikenal memiliki kemandirian dan bekerja dengan aturan yang berlaku namun tidak kaku. (Ball, 2011) menjelaskan, generasi X menyukai lingkungan dan suasana kerja yang nyaman serta bekerja dengan efisien. Sehingga kemajuan teknologi dianggap oleh generasi ini sebagai sesuatu yang membantu efisiensi pekerjaan. Selain itu, prinsip loyalitas pada organisasi atau perusahaan sudah tertanam dalam generasi X ini yang disebabkan oleh pengalaman masa sulit perekonomian pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.

Generasi Y dikenal juga sebagai generasi milenial yang lahir di era digital, sehingga mereka terbiasa mendapatkan informasi dengan cepat yang menjadikan perilaku mereka dalam dunia kerja tidak suka menunggu. Generasi ini menyukai keberagaman dalam pekerjaannya, sebab mereka merasa akan banyak belajar dan mengembangkan diri. Kedua generasi ini sama-sama menginginkan lingkungan kerja yang memberikan kenyamanan dalam bekerja. Oleh karena itu, ketika mereka telah berada dalam organisasi atau perusahaan dengan lingkungan kerja yang nyaman, kedua generasi ini akan menjaganya.

Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dari subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y. Hipotesa dalam penelitian adalah yang pertama (H0), terdapat pengaruh yang signifikan antara subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi padakaryawan generasi X dan Y. Kedua (HA), tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Tiga variabel yang diukur adalah subjective well- being, stres kerja dan komitmen organisasi. Responden penelitian berjumlah 51 karyawan generasi X dan Y. Skala Subjective well-being terdiri dari 49 item dan setelah uji validitas jumlahnya menjadi 39 item (corrected item total correlation dari -0,262 hingga 0,674), skala ini dinyatakan reliabel dengan nilai Cronbach�s alpha sebesar 0,743.

Skala Stres Kerja terdiri dari 23 item yang dinyatakan valid (corrected item total correlation dari 0,034 hingga 0,635) dan dinyatakan reliabel dengan Cronbach�s alpha sebesar 0,837. Skala Komitmen Organisasi terdiri dari 23 item dan setelah dilakukan uji validitas, jumlahnya menjadi 20 item valid (corrected item total correlation dari -0,038 hingga 0,784) dan dinyatakan reliabel dengan Cronbach�s alpha sebesar 0,839. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi linear sederhana dengan bantuan software SPSS.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Profile Responden

Berdasarkan data yang diperoleh selama bulan April-Juni 2021, jumlah responden yang mengisi kuesioner sebanyak 54 orang, beberapa informasi terkait jenis kelamin, pekerjaan, dapat dilihat pada tabel 1.

 

Tabel 1

Profil Responden

 

Jumlah

Persentase (%)

 

 

 

Jenis kelamin

 

 

Laki-laki

23

43%

Perempuan

31

57%

 

 

 

Usia (dalam tahun)

 

 

<20

1

1%

21-35

49

93%

36-45

3

5%

>46

1

1%

 

 

 

Jenjang Pendidikan Terakhir

 

 

SMA

D3

S1

S2

8

5

30

11

14%

9%

55%

22%

Status Pekerjaan

 

 

Pegawai kontrak

Pegawai tetap

Assosiated

Wiraswasta

20

25

5

4

37%

46%

9%

8%

Masa Kerja

 

 

< 3 tahun

3 � 5 tahun

> 5 tahun

21

12

21

38%

24%

38%

 

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa responden terbanyak adalah jenis kelamin wanita yaitu sebesar 57%. Responden dengan rentang usia 21-35 th merupakan responden terbanyak yaitu 93%. Sedangkan latar belakang pendidikan yang paling banyak adalah pendidikan sarjana/S1 yaitu sebanyak 55%. Status pegawai tetap menjadi jumlah terbanyak responden yaitu sebesar 46%, lalu dengan masa kerja kurang dari 3 tahun dan lebih dari 5 tahun sebanyak 38%. Dari tabel diatas juga dapat disimpulkan bahwa generasi Y dengan rentang usia (27-41) mendominasi dari responden yaitu sebanyak 93%. Sedangkan generasi X usia 42-60 tahun sebanyak 4 % yaitu usia 43 th dan 50 th.

Tabel 2

Model Summary

 

 

 

Model Summar

ry

 

Model

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1

.143a

.020

-.020

8.94160

a. Predictors: (Constant), Stres Kerja, Subjective Well-Being

 

Berdasarkan analisa subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi didapatkan koefisien R sebesar 0,143 dan R Square sebesar 0,020. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi sebesar 2%, sedangkan 98% berasal dari kontribusi variabel lain yang tidak diketahui oleh peneliti.

 

 

 

ANOVAa

 

 

 

Model

Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

1

Regression

79.980

2

39.990

.500

.610b

Residual

3837.706

48

79.952

 

 

Total

3917.686

50

 

 

 

Tabel 3

ANOVAa

a.   Dependent Variable: Komitmen Organisasi

b.  Predictors: (Constant), Stres Kerja, Subjective Well-Being

 

Hal ini didukung oleh analisa anova yang menghasilkan nilai F sebesar 0,500 dengan probability value sebesar 0,610 (P. Sig > 0,05). Hasil anova mengarahkan peneliti untuk menerima H0 dan menolak HA. Dimana, tidak terdapat pengaruh signifikan antara subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi.

 

Tabel 4

Coefficientsa

 

Coefficientsa

 

 

 

 

 

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

 

 

t

 

 

Sig.

B

Std. Error

Beta

1

(Constant)

45.023

17.788

 

2.531

.015

SubjectiveWellBeing

.125

.148

.121

.845

.403

StressKerja

-.061

.132

-.066

-.463

.645

a. Dependent Variable: Komitmen Organisasi

 

Pada tabel Coefficients di atas dapat dilihat bahwa nilai probability value bernilai lebih besar darialpha penelitian (P. Sig > 0,05). Artinya, penelitian ini menerima H0, bahwatidak terdapat pengaruh yang signifikan antara subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi. Kontribusi variabel subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi sangat kecil, berarti terdapat faktor-faktor lain yang lebih memberikan pengaruh besar terhadap komitmen organisasi. Selaras dengan pendapat (Boon & Arumugam, 2006) yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah antara lain, (a) Karakter personal; (b) Karakteristik pekerjaan dan peran; (c) Karakteristik struktur organisasi; (d) Pengalaman kerja; dan (e) Dukungan organisasi.

Variabel subjective well-being kurang memiliki peran dalam mempengaruhi komitmen organisasi, sebab faktor yang lebih berperan adalah karakteristik personal karyawan. Keduanya merupakan hal yang berbeda, karakter personal merujuk pada hal-hal umum seperti usia, lama kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, ras dan lainnya. Sedangkan subjective well-being lebih daripada itu, yaitu dianggap sebagai atribut psikologi yang merefleksikan tinggi atau rendahnya kehidupan positif individu (Utami, 2009). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh (Pratiwi, Mulamukti, Pertiwi, & Andriany, 2020), menemukan bahwa antara subjective well-being dan komitmen organisasi tidak terdapat korelasi satu sama lain.

Selanjutnya pada variabel stres kerja juga dianggap tidak begitu berpengaruh pada komitmen organisasi. Hal ini dikarenakan komitmen organisasi cenderung dipengaruhi oleh pengalaman karyawan. Pengalaman ini meliputi ketergantungan karyawan pada organisasinya, kepentingan personal pada organisasi dan seberapa berpengalaman dia bekerja. Karyawan generasi X dan Y memiliki komitmen yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh (Nindyati, 2017) menunjukkan bahwa pada karyawan generasi X, mereka tumbuh dan mengembangkan karirnya dengan penuh perjuangan dalam keadaan yang tidak stabil. Sehingga, hal ini menjadi pengaruh besar komitmen organisasi pada dirinya untuk loyal terhadap organisasi, generasi X lebih dulu mengalami sulitnya mencari pekerjaan, oleh karena itu karyawan generasi ini cenderung lebih loyal dibandingkan dengan generasi Y.

Karyawan generasi X dan Y memandang komitmen organisasi dengan berbeda. Bertolak belakang dengan generasi X yang cenderung mempertahankan pekerjaannya (loyal) karena tidak ingin mengalami masa-masa sulit, generasi Y memandang komitmen organisasi sebagai kondisi karyawan yang tidak ingin keluar dari zona nyamannya. Selain itu, karyawan generasi Y cenderung berpindah-pindah tempat kerja dikarenakan keinginannya untuk mengejar passion dan mengembangkan karir. Selain itu, generasi X dikenal mampu menjaga keseimbangan antara kehidupannya dan pekerjaan (Luntungan, 2014). Sehingga variabel subjective well-being yang sifatnya subjektif (personal) dan ketika karyawan generasi ini berada dalam tekanan kerja yang mengakibatkan stres, mereka masih dapat mengatasinya dengan baik dan tidak begitu memberikan pengaruh pada komitmen organisasinya.

Pada karyawan generasi Y, komitmen organisasi yang didalamnya termasuk loyalitas terhadap organisasi dipengaruhi oleh seberapa mampu organisasi memenuhi harapan mereka dalam bekerja. Sebagian besar karyawan generasi Y menginginkan lingkungan kerja yang membuat dirinya belajar dan berkembang, memberikan kesempatan bagi dirinya untuk mengembangkan karir dan sama halnya dengan generasi X, generasi Y juga menginginkan work-life balance (Nurhasan, 2018). Generasi ini memandang komitmen organisasi seperti loyalitas yang sifatnya dua arah, tidak hanya dari karyawan kepada organisasi atau atasan, melainkan organisasi dan atasan juga harus loyal terhadap mereka (Dhevabanchachai & Muangasame, 2013). Artinya, karyawan generasi Y mengharapkan feedback yang sifatnya bukan hanya materi seperti upah, melainkan seperti sanjungan atau tindakan-tindakan yang membuat pekerjaannya merasa dihargai.

Oleh karena itu, variabel seperti subjective well-being dan stres kerja hanya sedikit saja peranannya, yaitu dalam penelitian ini diperoleh sebesar 2% pengaruh yang diberikan terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y. Masih terdapat banyak faktor-faktor lain yang lebih memberikan pengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa subjective well-being dan stres kerja tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap komitmen organisasi. Artinya, kedua variabel ini tidak mempengaruhi komitmen organisasi baik secara negatif maupun positif pada karyawan generasi X dan Y. Perusahaan perlu memperhatikan kondisi subjective well-being dalam bekerja di organisasi maupun perusahaan. Karena hal tersebut akan berpengaruh pada produktifitas pekerja dan juga mempengaruhi proses pembentukan komitmen organisasi. Akan tetapi pandemi covid mungkin saja menjadi salah satu faktor yang menghambat, karena banyak sekali karyawan yang di PHK karena perusahaan tutup, atau tidak mampu membayar karyawannya. Serta sulitnya mencari pekerjaan di masa pandemi ini membuat karyawan akan berusaha tetap bertahan dalam kondisi apapun.


BIBLIOGRAFI

 

Bakker, Arnold B., & Oerlemans, Wido. (2011). Subjective well-being in organizations. The Oxford Handbook of Positive Organizational Scholarship, 49, 178�189. Google Scholar

 

Ball, Ken. (2011). Surviving the baby boomer exodus: Capturing knowledge for Gen X & Y Employees. Cengage Learning. Google Scholar

 

Boon, Ooi Keng, & Arumugam, Veeri. (2006). The influence of corporate culture on organizational commitment: case study of semiconductor organizations in Malaysia. Sunway Academic Journal, 3(1), 99�115. Google Scholar

 

Cholil, Muhammad, & Asri, L. R. (2003). Kepuasan Kerja dan Karakteristik Individual dengan Komitmen Organisasional Tenaga Dosen Ilmu Ekonomi Perguruan Tinggi Swasta di Kota Madya Surakarta. Perspektif, 8(1), 13�25. Google Scholar

 

Darmawan, Didit. (2013). Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Surabaya: Pena Semesta. Google Scholar

 

Dhevabanchachai, Nate tra, & Muangasame, Kaewta. (2013). The Preferred Work Paradigm for Generation Y in the Hotel Industry: A Case Study of the International Tourism and Hospitality International Programme, Thailand. International Education Studies, 6(10), 27�38. Google Scholar

 

Diener, Edward. (2009). The science of well-being: The collected works of Ed Diener (Vol. 37). Springer. Google Scholar

 

Diener, Edward, Lucas, Richard E., & Oishi, Shigehiro. (2002). Subjective well-being: The science of happiness and life satisfaction. Handbook of Positive Psychology, 2, 63�73. Google Scholar

 

Eid, Michael, & Larsen, Randy J. (2008). The science of subjective well-being. Guilford Press. Google Scholar

 

Hlatywayo, Clifford Kendrick, Zingwe, Tawanda, Mhlanga, Tatenda Shaleen, & Mpofu, Bukhosi Dumoluhle. (2014). Precursors of emotional stability, stress, and work-family conflict among female bank employees. International Business & Economics Research Journal (IBER), 13(4), 861�866. Google Scholar

 

Keyes, Corey L. M. (2006). Subjective well-being in mental health and human development research worldwide: An introduction. Social Indicators Research, 77(1), 1�10. Google Scholar

 

King, Laura A. (2010). Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif, Buku 2 Alih Bahasa: Brian Marwensdy. Jakarta: Salemba Humanika.

 

Luntungan, Irving Ignatius Paul. (2014). Strategi pengelolaan" generasi y" di industri perbankan. Institut Pertanian Bogor. Google Scholar

 

Luthans, Fred. (2011). Organizational Behavior: An Evidence -Based Approach. McGraw -Hill Irwin. Google Scholar

 

Mangkunegara, A. A. Anwar Prabu. (2016). Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Google Scholar

 

Martins, E. C., & Martins, N. (2011). The role of organisational factors in combating tacit knowledge loss in organisations. Southern African Business Review, 15(1). Google Scholar

 

McCrindle, Mark. (2006). New generations at work: Attracting, recruiting, retaining and training generation Y. the ABC of XYZ. Google Scholar

 

Meyer, John P., & Allen, Natalie J. (1991). A three-component conceptualization of organizational commitment. Human Resource Management Review, 1(1), 61�89. Google Scholar

 

Meyer, John P., Allen, Natalie J., & Smith, Catherine A. (1993). Commitment to organizations and occupations: Extension and test of a three-component conceptualization. Journal of Applied Psychology, 78(4), 538. Google Scholar

 

Miranda, Nadhira, & Amna, Zaujatul. (2016). Perbedaan subjective well-being pada dewasa awal ditinjau dari status pernikahan di Kota Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi, 1(4). Google Scholar

 

Nindyati, Ayu Dwi. (2017). Pemaknaan loyalitas karyawan pada generasi x dan generasi y (Studi Pada Karyawan Di Indonesia). Journal of Psychological Science and Profession, 1(3), 59�66. Google Scholar

 

Nurhasan, Rohimat. (2018). Kepuasan kerja dan loyalitas generasi-y. Jurnal Wacana Ekonomi, 17(1), 13�23. Google Scholar

 

Pratiwi, A., Mulamukti, Ajheng, Pertiwi, Mahesti, & Andriany, Anissa Rizky. (2020). Hubungan Subjective Well Being dengan Komitmen Organisasi pada Pekerja yang Melakukan Work From Home di Masa Pandemi Covid 19. Syntax Idea, 2(11), 824�833. Google Scholar

 

Robbins, Stephen P. (2013). Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jilid II, Alih Bahasa Hadyana Pujaatmaka dan Benyamin Molan (2nd ed.). Jakarta: Prenhallindo. Google Scholar

 

Sopiah, Mowday. (2008). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi. Google Scholar

 

Utami, Muhana S. (2009). Keterlibatan dalam kegiatan dan kesejahteraan subjektif mahasiswa. Jurnal Psikologi, 36(2), 144�163. Google Scholar

 

Winarno, Agnes Filindawati. (2019). Pengaruh Keselamatan, Dan Kesehatan Kerja, Lingkungan Kerja, Semangat Kerja, Dan Stres Kerja Terhadap Kinarja Karyawan Pt. Maspion I Pada Divisi Maxim Departemen Spray Coating Sidoarjo. JEM17: Jurnal Ekonomi Manajemen, 4(2). Google Scholar

 

Yigit, Sema, & Aksay, Kadir. (2015). A comparison between generation X and generation Y in terms of individual innovativeness behavior: the case of Turkish health professionals. International Journal of Business Administration, 6(2), 106. Google Scholar

 

Copyright holder:

Ajheng Mulamukti Asih Pratiwi, Mahesti Pertiwi, Anissa Rizky Andriany (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: