Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6,
No. 11, November 2021
� ���������
PENGARUH SUBJECTIVE WELL BEING
DAN STRES KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA KARYAWAN GEN X DAN GEN Y DI
MASA PANDEMI COVID
Ajheng Mulamukti
Asih Pratiwi, Mahesti Pertiwi, Anissa Rizky Andriany
Fakultas Psikologi,
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta, Indonesia
Email:� [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Komitmen organisasi
adalah aspek penting yang harus diperhatikan oleh organisasi. Sebab, karyawan dengan komitmen organisasi yang baik akan bekerja keras
membantu organisasi mencapai tujuan. Dunia kerja saat ini
didominasi oleh generasi X
dan Y, masing-masing dari generasi
ini memiliki karakteristik yang unik yang kemungkinan dapat mempengaruhi komitmen organisasi, seperti subjective
well-being dan stres kerja
yang sifatnya personal antara
karyawan kepada organisasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh subjective well-being stres
kerja terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis uji regresi linear sederhana yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh variabel subjective well-being dan stres
kerja terhadap komitmen organisasi. Hasil yang diperoleh berdasarkan pengolahan data 51 responden karyawan generasi X dan Y, menunjukkan pengaruh yang diberikan oleh subjective well-being dan stres kerja terhadap
komitmen organisasi sebesar 2% sedangkan 98% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak ketahui oleh peneliti. Artinya, tidak terdapat pengaruh yang signifikan baik positif maupun negatif dari subjective
well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y.
Kata Kunci: generasi
x dan y; kesejahteraan subjektif;
komitmen organisasi; stres kerja
Abstract
Organizational commitment is
an important aspect that must be considered by the organization. Because
employees with good organizational commitment will work hard to help the
organization achieve its goals. Today's world of work is dominated by
generations X and Y, each of which has unique characteristics that are likely
to affect organizational commitment, such as subjective well- being and
personal work stress between employees to the organization. The goal of the
study was� to determine
the effect of subjective well-being work stress on organizational commitment to
generation X and Y employees. The study used a quantitative approach with a
simple linear regression test analysis used to find out how much influence
subjective well-being variables and work stress exert on organizational
commitment. The results, based on data processing of 51 generation X and Y
employee respondents, showed the effect exerted by subjective well-being and
work stress on an organizational commitment by 2% while the other 98% was
influenced by other factors that were not known by researchers. That is, there
is no significant positive or negative influence of subjective well-being and
work stress on organizational commitment to generation X and Y employees.
Keywords: generation
x and y; organizational commitment; subjective well-being; job stress
Received: 2021-10-20; Accepted:
2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Suatu organisasi
atau perusahaan sudah pasti memiliki
visi dan misi guna mencapai tujuan
utamanya. Demi mewujudkan hal tersebut, maka
sebuah organisasi memiliki sistem yang diharapkan membantu mencapai tujuan organisasi. Sumber daya manusia menjadi
salah satu unsur yang penting dalam sistem
organisasi ketika ingin bergerak ke depan mencapai
tujuan organisasi, dalam hal ini
adalah karyawan. Membahas tentang tujuan, komitmen organisasi menjadi faktor penting yang diharapkan oleh organisasi ada pada setiap karyawannya. Komitmen organisasi adalah perilaku dan pola pikir karyawan yang memihak dan berpegang kuat pada organisasi dan tujuan yang hendak dicapai. Karyawan dengan komitmen organisasi yang baik akan memiliki keinginan
untuk menjadi bagian dari organisasinya
dan memelihara keanggotaannya
tersebut (Robbins, 2013).
Karyawan adalah
aset penting dalam organisasi. (McCrindle, 2006)
mengatakan terdapat tiga generasi angkatan
kerja dalam organisasi atau perusahaan, yaitu Baby Boomers
yang lahir antara tahun 1943-1960, Xers (generasi
X) yang lahir antara tahun 1961-1979 dan Generasi Y
yang lahir antara tahun 1980-1994. Diantara tipe generasi ini,
sebagian besar tenaga kerja kini
ditempati oleh generasi X
dan generasi Y (Yigit & Aksay, 2015).
Kedua generasi ini masing-masing memiliki karakteristik yang unik dan terkadang menjadi tantangan bagi organisasi untuk menyikapinya berkaitan dengan komitmen organisasi.
(Eid & Larsen, 2008)
mengatakan bahwa sarana seseorang agar dapat mencapai tujuan lain di luar dirinya berkaitan dengan persoalan subjective well-being, sebab subjective
well-being memiliki fungsi
sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh individu dan ini menjadi sarana untuk mencapai tujuan lainnya. Sebagai manusia yang utuh (fisik dan psikis), seorang karyawan memiliki tingkat subjective
well-being yang berbeda-beda. kondisi
sebaliknya yang dapat berkaitan dengan keadaan psikis karyawan adalah stres kerja dalam
organisasi. Stres kerja merupakan keadaan dimana karyawan merasa tertekan ketika melakukan pekerjaannya (Mangkunegara, 2016).
Stres kerja juga dianggap sebagai respons dari karyawan
secara fisiologis dan psikologis terhadap permintaan atau keinginan organisasi.
Mencapai tujuan
organisasi yang terwujud dalam bentuk perilaku
komitmen organisasi merupakan keinginan atau dapat dikatakan
permintaan tidak tertulis organisasi kepada karyawannya. Akan tetapi, komitmen organisasi tidak bisa digerakkan secara paksa, melainkan
sebuah respons psikologis yang tumbuh dalam bentuk perilaku
karyawan kepada organisasi. Dalam penelitian ini peneliti ingin berfokus pada karyawan generasi X dan generasi Y, mengingat jumlah tenaga kerja saat
ini didominasi oleh kedua generasi ini. Keberhasilan organisasi dalam mengelola sistem dan mencapai tujuannya serta mendapatkan komitmen organisasi yang baik dari karyawannya,
dapat terjadi apabila organisasi tersebut memperhatikan sumber daya manusia
yang menjadi faktor penentu dan kontributor atas pencapaian tujuan organisasi (Cholil & Asri, 2003).
Komitmen organisasi disini sangatlah penting untuk keberhasilan
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai karyawan.
Komitmen organisasi
adalah keinginan kuat untuk tetap
sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan
organisasi, serta keyakinan tertentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan
dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthans, 2011).
Sedangkan menurut (Darmawan, 2013)
komitmen berarti keinginan karyawan untuk tetap mempertahankan
keanggotaanya dalam organisasi dan bersedia melakukan usaha yang tinggi bagi pencapaian
tujuan organisasi. Mathis dalam (Sopiah, 2008)
menjelaskan komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan karyawan dan menerima tujuan organisasi serta akan menetap
dalam suatu organisasi. Komitmen organisasi menjadikan karyawan akan berupaya
memberikan yang terbaik untuk membantu organisasi mencapai tujuannya (Martins & Martins, 2011).
Menurut (Robbins, 2013)
terdapat 3 macam dimensi komitmen organisasional yaitu Komitmen Afektif, Komitmen Normatif, dan Komitmen Berkelanjutan. Komitmen Afektif yaitu Perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. Komitmen Normatif yaitu perasaan wajib untuk tetap
berada dalam organisasi karena memang harus begitu,
tindakan tersebut merupakan hal benar
yang harus dilakukan. Komitmen berkelanjutan yaitu nilai ekonomi
yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. Sedangkan menurut (Meyer & Allen, 1991)
menjelaskan terdapat tiga dimensi dari
komitmen organisasi, yaitu: Affective Commitment, berkaitan
dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Ketika seseorang memiliki affective commitment yang tinggi akan terus
bertahan dalam organisasi karena karyawan tersebut memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota
organisasi tersebut, Continuance Commitment pada dimensi ini anggota
organisasi memiliki kesadaran bahwa ia akan mengalami
kerugian jika meninggalkan organisasi. Seorang karyawan dengan continuance commitment yang tinggi akan terus
bertahan dalam organisasi karena karyawan tersebut memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota
organisasi tersebut. Normative
Commitment, karyawan dengan
normative commitment yang tinggi akan terus menjadi
anggota organisasi karena merasa dirinya
harus berada dalam organisasi tersebut.
Dari kedua aspek yang disebutkan oleh tokoh-tokoh di atas, terdapat kemiripan dari setiap aspek. Penelitian
kali ini, disimpulkan aspek-aspek komitmen organisasi adalah Affective Commitment Continuance Commitment, dan normative commitment. Aspek-aspek ini mengacu pada pendapat (Meyer, Allen, & Smith, 1993)
yang dirasa memiliki penjelasan yang mudah dipahami. Keberhasilan yang dicapai dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawab sebagai karyawan
juga tidak lepas dari kesejahteraan para karyawan itu sendiri.
Kesejahteraan dapat dicapai apabila karyawan mampu bekerja secara optimal.� Selain itu keterlibatan karyawan dalam bekerja dan adanya kebahagiaan di tempat kerja juga dapat memunculkan well-being pada karyawan
itu sendiri (Bakker & Oerlemans, 2011).
Subjective well-being adalah penilaian individu terhadap kehidupannya secara subjektif. Penilaian yang melibatkan aspek kognitif dan afektif terhadap kehidupan, termasuk kesehatan, karir dan lain sebagainya (Keyes, 2006).
(Diener, 2009)
mendefinisikan subjective
well-being sebagai kondisi
yang merujuk pada kualitas hidup individu terhadap kehidupannya. Hasil penelitian (Keyes, 2006)
menunjukkan bahwa pada individu yang memiliki kesejahteraan mental dalam tingkat baik maka
akan lebih produktif dalam pekerjaannya. Salah satu aspek kesejahteraan yang berkembang adalah subjective well-being. Subjective well-being sendiri dapat didefinisikan
sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang dalam menilai aspek kehidupan
yang meliputi kepuasan hidup, rasa aman dan nyaman, serta kebahagiaan
(Diener, Lucas, & Oishi, 2002).
Menurut (Miranda & Amna, 2016)
subjective well-being secara relatif merupakan atribut psikologi yang stabil dan mampu merefleksikan tingkat kehidupan yang positif pada individu. Individu yang mengalami subjective well-being yang tinggi akan mengalami
kepuasan hidup dan merasakan kegembiraan yang lebih sering dari
pada merasakan emosi yang kurang menyenangkan. Subjective well-being digunakan untuk menggambarkan kualitas hidup seseorang berdasarkan evaluasi kehidupannya. Evaluasi ini meliputi afek
positif dan negatif, seperti penilaian dan perasaan mengenai kepuasan hidup, reaksi terhadap perasaan senang dan sedih, serta kepuasan
terhadap kehidupan sosial, kesehatan, lingkungan kerja, dan domain penting lainnya (Diener, 2009)
membagi komponen subjective well-being menjadi dua, yaitu
komponen kognitif, berupa kepuasan hidup dan penilaian, serta komponen afektif berupa afek positif dan afek negatif. Komponen
kognitif merupakan hasil evaluasi terhadap kepuasan hidup. Kepuasan hidup terbagi menjadi
dua, yaitu kepuasan hidup secara global, adalah evaluasi individu terhadap kehidupan secara menyeluruh dan kepuasan hidup pada domain tertentu, yaitu penilaian yang dibuat individu dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya. Komponen afektif merupakan refleksi pengalaman dasar dalam peristiwa
yang terjadi di dalam kehidupan seseorang. Komponen afektif ini terbagi menjadi
afek positif, yaitu refleksi emosi dan suasana hati yang menyenangkan dan afek negatif, yaitu
representasi emosi dan suasana hati yang tidak menyenangkan. Selain itu salah satu faktor yang menyebabkan turunnya komitmen organisasi adalah stress kerja (Winarno, 2019).
Stress kerja atau job stress adalah ketegangan
yang dirasakan oleh karyawan,
menghasilkan ketidakseimbangan
fisik dan psikis, berpengaruh pada emosi, proses berpikir dan kondisi karyawan (King, 2010).
Selain itu, stres kerja juga dapat menjadi ancaman
psikologis bagi suatu organisasi (Hlatywayo, Zingwe, Mhlanga, & Mpofu, 2014).
Generasi Xers atau
kerap disebut generasi X merupakan generasi yang dikenal memiliki kemandirian dan bekerja dengan aturan yang berlaku namun tidak kaku.
(Ball, 2011)
menjelaskan, generasi X menyukai lingkungan dan suasana kerja yang nyaman serta bekerja
dengan efisien. Sehingga kemajuan teknologi dianggap oleh generasi ini sebagai
sesuatu yang membantu efisiensi pekerjaan. Selain itu, prinsip
loyalitas pada organisasi atau perusahaan sudah tertanam dalam generasi X ini yang disebabkan oleh pengalaman masa sulit perekonomian pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.
Generasi Y dikenal
juga sebagai generasi milenial yang lahir di era
digital, sehingga mereka terbiasa mendapatkan informasi dengan cepat yang menjadikan perilaku mereka dalam dunia kerja tidak suka menunggu.
Generasi ini menyukai keberagaman dalam pekerjaannya, sebab mereka merasa
akan banyak belajar dan mengembangkan diri. Kedua generasi
ini sama-sama menginginkan lingkungan kerja yang memberikan kenyamanan dalam bekerja. Oleh karena itu, ketika mereka
telah berada dalam organisasi atau perusahaan dengan lingkungan kerja yang nyaman, kedua generasi ini akan menjaganya.
Berdasarkan penjelasan
di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah terdapat pengaruh dari subjective
well-being dan stres kerja
terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y. Hipotesa dalam penelitian adalah yang pertama (H0), terdapat pengaruh yang signifikan antara subjective well-being dan stres kerja terhadap
komitmen organisasi
pada� karyawan generasi X dan Y. Kedua (HA), tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara subjective
well-being dan stres kerja
terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Tiga variabel yang diukur adalah subjective well- being, stres kerja dan komitmen organisasi. Responden penelitian berjumlah 51 karyawan generasi X dan Y. Skala Subjective
well-being terdiri dari
49 item dan setelah uji validitas
jumlahnya menjadi 39 item (corrected item total correlation dari -0,262 hingga 0,674), skala ini dinyatakan
reliabel dengan nilai Cronbach�s alpha sebesar
0,743.
Skala Stres Kerja terdiri
dari 23 item yang dinyatakan
valid (corrected item total correlation
dari 0,034 hingga 0,635)
dan dinyatakan reliabel dengan Cronbach�s alpha sebesar
0,837. Skala Komitmen Organisasi
terdiri dari 23 item dan setelah dilakukan uji validitas, jumlahnya menjadi 20 item valid (corrected
item total correlation dari -0,038 hingga 0,784) dan dinyatakan reliabel dengan Cronbach�s alpha sebesar 0,839. Teknik analisa
yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi linear sederhana dengan bantuan software SPSS.
Hasil dan Pembahasan
A.
Profile Responden
Berdasarkan data yang diperoleh selama bulan April-Juni 2021, jumlah responden yang mengisi kuesioner sebanyak 54 orang, beberapa informasi terkait jenis kelamin, pekerjaan, dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Profil Responden
|
Jumlah |
Persentase (%) |
|
|
|
Jenis kelamin |
|
|
Laki-laki |
23 |
43% |
Perempuan |
31 |
57% |
|
|
|
Usia (dalam tahun) |
|
|
<20 |
1 |
1% |
21-35 |
49 |
93% |
36-45 |
3 |
5% |
>46 |
1 |
1% |
|
|
|
Jenjang Pendidikan Terakhir |
|
|
SMA D3 S1 S2 |
8 5 30 11 |
14% 9% 55% 22% |
Status Pekerjaan |
|
|
Pegawai kontrak Pegawai tetap Assosiated Wiraswasta |
20 25 5 4 |
37% 46% 9% 8% |
Masa Kerja |
|
|
< 3 tahun 3 � 5 tahun > 5 tahun |
21 12 21 |
38% 24% 38% |
Berdasarkan tabel
1 terlihat bahwa responden terbanyak adalah jenis kelamin
wanita yaitu sebesar 57%. Responden dengan rentang usia 21-35 th merupakan
responden terbanyak yaitu 93%. Sedangkan latar belakang pendidikan yang paling banyak adalah pendidikan sarjana/S1 yaitu sebanyak 55%. Status pegawai tetap menjadi jumlah
terbanyak responden yaitu sebesar 46%, lalu dengan masa kerja kurang dari
3 tahun dan lebih dari 5 tahun sebanyak
38%. Dari tabel diatas juga
dapat disimpulkan bahwa generasi Y dengan rentang usia (27-41) mendominasi dari responden yaitu sebanyak 93%. Sedangkan generasi X usia 42-60 tahun sebanyak 4 % yaitu usia 43 th dan 50 th.
Tabel 2
Model
Summary
|
|
Model Summar |
ry |
|
Model |
R |
R Square |
Adjusted R Square |
Std. Error of
the Estimate |
1 |
.143a |
.020 |
-.020 |
8.94160 |
a. Predictors: (Constant), Stres
Kerja, Subjective
Well-Being
Berdasarkan analisa subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi didapatkan koefisien R sebesar 0,143 dan R Square sebesar 0,020. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi sebesar 2%, sedangkan 98% berasal dari kontribusi variabel lain yang tidak diketahui oleh peneliti.
|
|
ANOVAa |
|
|
|
|
Model |
Sum of Squares |
df |
Mean Square |
F |
Sig. |
|
1 |
Regression |
79.980 |
2 |
39.990 |
.500 |
.610b |
Residual |
3837.706 |
48 |
79.952 |
|
|
|
Total |
3917.686 |
50 |
|
|
|
Tabel 3
ANOVAa
a.
Dependent
Variable: Komitmen
Organisasi
b. Predictors: (Constant), Stres Kerja,
Subjective Well-Being
Hal ini didukung oleh analisa anova yang menghasilkan nilai F sebesar 0,500 dengan probability value sebesar 0,610 (P. Sig > 0,05). Hasil anova mengarahkan peneliti untuk menerima H0 dan menolak HA. Dimana, tidak terdapat pengaruh signifikan antara subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi.
Tabel 4
Coefficientsa
|
Coefficientsa |
|
|
|
||
Model |
Unstandardized
Coefficients |
Standardized
Coefficients |
t |
Sig. |
||
B |
Std. Error |
Beta |
||||
1 |
(Constant) |
45.023 |
17.788 |
|
2.531 |
.015 |
SubjectiveWellBeing |
.125 |
.148 |
.121 |
.845 |
.403 |
|
StressKerja |
-.061 |
.132 |
-.066 |
-.463 |
.645 |
a. Dependent Variable: Komitmen Organisasi
Pada tabel Coefficients di atas dapat dilihat bahwa nilai probability value bernilai lebih besar dari�alpha penelitian (P. Sig > 0,05). Artinya, penelitian ini menerima H0, bahwa�tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi. Kontribusi variabel subjective well-being dan stres kerja terhadap komitmen organisasi sangat kecil, berarti terdapat faktor-faktor lain yang lebih memberikan pengaruh besar terhadap komitmen organisasi. Selaras dengan pendapat (Boon & Arumugam, 2006) yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah antara lain, (a) Karakter personal; (b) Karakteristik pekerjaan dan peran; (c) Karakteristik struktur organisasi; (d) Pengalaman kerja; dan (e) Dukungan organisasi.
Variabel subjective well-being kurang memiliki peran dalam mempengaruhi komitmen organisasi, sebab faktor yang lebih berperan adalah karakteristik personal karyawan. Keduanya merupakan hal yang berbeda, karakter personal merujuk pada hal-hal umum seperti usia, lama kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, ras dan lainnya. Sedangkan subjective well-being lebih daripada itu, yaitu dianggap sebagai atribut psikologi yang merefleksikan tinggi atau rendahnya kehidupan positif individu (Utami, 2009). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh (Pratiwi, Mulamukti, Pertiwi, & Andriany, 2020), menemukan bahwa antara subjective well-being dan komitmen organisasi tidak terdapat korelasi satu sama lain.
Selanjutnya pada variabel stres kerja juga dianggap tidak begitu berpengaruh pada komitmen organisasi. Hal ini dikarenakan komitmen organisasi cenderung dipengaruhi oleh pengalaman karyawan. Pengalaman ini meliputi ketergantungan karyawan pada organisasinya, kepentingan personal pada organisasi dan seberapa berpengalaman dia bekerja. Karyawan generasi X dan Y memiliki komitmen yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh (Nindyati, 2017) menunjukkan bahwa pada karyawan generasi X, mereka tumbuh dan mengembangkan karirnya dengan penuh perjuangan dalam keadaan yang tidak stabil. Sehingga, hal ini menjadi pengaruh besar komitmen organisasi pada dirinya untuk loyal terhadap organisasi, generasi X lebih dulu mengalami sulitnya mencari pekerjaan, oleh karena itu karyawan generasi ini cenderung lebih loyal dibandingkan dengan generasi Y.
Karyawan generasi X dan Y memandang komitmen organisasi dengan berbeda. Bertolak belakang dengan generasi X yang cenderung mempertahankan pekerjaannya (loyal) karena tidak ingin mengalami masa-masa sulit, generasi Y memandang komitmen organisasi sebagai kondisi karyawan yang tidak ingin keluar dari zona nyamannya. Selain itu, karyawan generasi Y cenderung berpindah-pindah tempat kerja dikarenakan keinginannya untuk mengejar passion dan mengembangkan karir. Selain itu, generasi X dikenal mampu menjaga keseimbangan antara kehidupannya dan pekerjaan (Luntungan, 2014). Sehingga variabel subjective well-being yang sifatnya subjektif (personal) dan ketika karyawan generasi ini berada dalam tekanan kerja yang mengakibatkan stres, mereka masih dapat mengatasinya dengan baik dan tidak begitu memberikan pengaruh pada komitmen organisasinya.
Pada karyawan generasi Y, komitmen organisasi yang didalamnya termasuk loyalitas terhadap organisasi dipengaruhi oleh seberapa mampu organisasi memenuhi harapan mereka dalam bekerja. Sebagian besar karyawan generasi Y menginginkan lingkungan kerja yang membuat dirinya belajar dan berkembang, memberikan kesempatan bagi dirinya untuk mengembangkan karir dan sama halnya dengan generasi X, generasi Y juga menginginkan work-life balance (Nurhasan, 2018). Generasi ini memandang komitmen organisasi seperti loyalitas yang sifatnya dua arah, tidak hanya dari karyawan kepada organisasi atau atasan, melainkan organisasi dan atasan juga harus loyal terhadap mereka (Dhevabanchachai & Muangasame, 2013). Artinya, karyawan generasi Y mengharapkan feedback yang sifatnya bukan hanya materi seperti upah, melainkan seperti sanjungan atau tindakan-tindakan yang membuat pekerjaannya merasa dihargai.
Oleh karena itu, variabel seperti subjective well-being dan stres kerja hanya sedikit saja peranannya, yaitu dalam penelitian ini diperoleh sebesar 2% pengaruh yang diberikan terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y. Masih terdapat banyak faktor-faktor lain yang lebih memberikan pengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi pada karyawan generasi X dan Y.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa subjective well-being dan stres kerja tidak
memberikan pengaruh secara signifikan terhadap komitmen organisasi. Artinya, kedua variabel ini tidak mempengaruhi
komitmen organisasi baik secara negatif
maupun positif pada karyawan generasi X dan Y.
Perusahaan perlu memperhatikan
kondisi subjective
well-being dalam bekerja
di organisasi maupun perusahaan. Karena hal tersebut akan berpengaruh
pada produktifitas pekerja
dan juga mempengaruhi proses pembentukan
komitmen organisasi. Akan tetapi pandemi covid mungkin saja menjadi
salah satu faktor yang menghambat, karena banyak sekali karyawan
yang di PHK karena perusahaan
tutup, atau tidak mampu membayar
karyawannya. Serta sulitnya
mencari pekerjaan di masa pandemi ini membuat
karyawan akan berusaha tetap bertahan dalam kondisi apapun.
Bakker, Arnold B., & Oerlemans, Wido. (2011).
Subjective well-being in organizations. The Oxford Handbook of Positive
Organizational Scholarship, 49, 178�189. Google Scholar
Ball, Ken. (2011). Surviving the baby
boomer exodus: Capturing knowledge for Gen X & Y Employees. Cengage
Learning. Google Scholar
Boon, Ooi Keng, & Arumugam, Veeri.
(2006). The influence of corporate culture on organizational commitment: case
study of semiconductor organizations in Malaysia. Sunway Academic Journal,
3(1), 99�115. Google Scholar
Cholil, Muhammad, & Asri, L. R. (2003).
Kepuasan Kerja dan Karakteristik Individual dengan Komitmen Organisasional
Tenaga Dosen Ilmu Ekonomi Perguruan Tinggi Swasta di Kota Madya Surakarta. Perspektif,
8(1), 13�25. Google Scholar
Darmawan, Didit. (2013). Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Surabaya: Pena Semesta. Google Scholar
Dhevabanchachai, Nate tra, &
Muangasame, Kaewta. (2013). The Preferred Work Paradigm for Generation Y in the
Hotel Industry: A Case Study of the International Tourism and Hospitality
International Programme, Thailand. International Education Studies, 6(10),
27�38. Google Scholar
Diener, Edward. (2009). The science of
well-being: The collected works of Ed Diener (Vol. 37). Springer. Google Scholar
Diener, Edward, Lucas, Richard E., &
Oishi, Shigehiro. (2002). Subjective well-being: The science of happiness and
life satisfaction. Handbook of Positive Psychology, 2, 63�73. Google Scholar
Eid, Michael, & Larsen, Randy J.
(2008). The science of subjective well-being. Guilford Press. Google Scholar
Hlatywayo, Clifford Kendrick, Zingwe,
Tawanda, Mhlanga, Tatenda Shaleen, & Mpofu, Bukhosi Dumoluhle. (2014).
Precursors of emotional stability, stress, and work-family conflict among
female bank employees. International Business & Economics Research
Journal (IBER), 13(4), 861�866. Google Scholar
Keyes, Corey L. M. (2006). Subjective
well-being in mental health and human development research worldwide: An
introduction. Social Indicators Research, 77(1), 1�10. Google Scholar
King, Laura A. (2010). Psikologi Umum:
Sebuah Pandangan Apresiatif, Buku 2 Alih Bahasa: Brian Marwensdy. Jakarta:
Salemba Humanika.
Luntungan, Irving Ignatius Paul. (2014). Strategi
pengelolaan" generasi y" di industri perbankan. Institut
Pertanian Bogor. Google Scholar
Luthans, Fred. (2011). Organizational
Behavior: An Evidence -Based Approach. McGraw -Hill Irwin. Google Scholar
Mangkunegara, A. A. Anwar Prabu. (2016). Manajemen
sumber daya manusia perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Google Scholar
Martins, E. C., & Martins, N. (2011).
The role of organisational factors in combating tacit knowledge loss in
organisations. Southern African Business Review, 15(1). Google Scholar
McCrindle, Mark. (2006). New generations
at work: Attracting, recruiting, retaining and training generation Y. the
ABC of XYZ. Google Scholar
Meyer, John P., & Allen, Natalie J.
(1991). A three-component conceptualization of organizational commitment. Human
Resource Management Review, 1(1), 61�89. Google Scholar
Meyer, John P., Allen, Natalie J., &
Smith, Catherine A. (1993). Commitment to organizations and occupations:
Extension and test of a three-component conceptualization. Journal of
Applied Psychology, 78(4), 538. Google Scholar
Miranda, Nadhira, & Amna, Zaujatul.
(2016). Perbedaan subjective well-being pada dewasa awal ditinjau dari status
pernikahan di Kota Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi, 1(4).
Google Scholar
Nindyati, Ayu Dwi. (2017). Pemaknaan
loyalitas karyawan pada generasi x dan generasi y (Studi Pada Karyawan Di
Indonesia). Journal of Psychological Science and Profession, 1(3),
59�66. Google Scholar
Nurhasan, Rohimat. (2018). Kepuasan kerja
dan loyalitas generasi-y. Jurnal Wacana Ekonomi, 17(1), 13�23. Google Scholar
Pratiwi, A., Mulamukti, Ajheng, Pertiwi,
Mahesti, & Andriany, Anissa Rizky. (2020). Hubungan Subjective Well Being
dengan Komitmen Organisasi pada Pekerja yang Melakukan Work From Home di Masa
Pandemi Covid 19. Syntax Idea, 2(11), 824�833. Google Scholar
Robbins, Stephen P. (2013). Perilaku
Organisasi, Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jilid II, Alih Bahasa Hadyana
Pujaatmaka dan Benyamin Molan (2nd ed.). Jakarta: Prenhallindo. Google Scholar
Sopiah, Mowday. (2008). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi. Google Scholar
Utami, Muhana S. (2009). Keterlibatan dalam
kegiatan dan kesejahteraan subjektif mahasiswa. Jurnal Psikologi, 36(2),
144�163. Google Scholar
Winarno, Agnes Filindawati. (2019).
Pengaruh Keselamatan, Dan Kesehatan Kerja, Lingkungan Kerja, Semangat Kerja,
Dan Stres Kerja Terhadap Kinarja Karyawan Pt. Maspion I Pada Divisi Maxim
Departemen Spray Coating Sidoarjo. JEM17: Jurnal Ekonomi Manajemen, 4(2).
Google Scholar
Yigit, Sema, & Aksay, Kadir. (2015). A
comparison between generation X and generation Y in terms of individual
innovativeness behavior: the case of Turkish health professionals. International
Journal of Business Administration, 6(2), 106. Google Scholar
Copyright holder: Ajheng Mulamukti
Asih Pratiwi, Mahesti Pertiwi, Anissa Rizky Andriany (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |