Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 6,
No. 11, November 2021
�
PEMANFAATAN INSTANT MESSENGER �TELEGRAM� SEBAGAI
ALAT PENYEBARAN PAHAM RADIKAL DI INDONESIA
London School of Public Relation (LSPR) Jakarta, Indonesia
Email:� [email protected]
Abstrak
Telegram adalah aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk mengirim pesan obrolan rahasia atau obrolan terenkripsi end-to-end sebagai keamanan tambahan. Dengan menggunakan Telegram kita dapat mengirim tidak hanya gambar dan video, tetapi juga dapat mengirim dokumen seperti word, excell, pdf, dan lain-lain tanpa menentukan ukuran file yang dikirim. Tetapi pemilik perusahaan kurang memperhatikan faktor-faktor yang dapat memengaruhi kualitas aplikasi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif untuk mengetahui penggunaan instant messenger Telegram oleh kelompok radikal di Indonesia. Didefinisikan sebagai metode penelitian berdasarkan filosofi pasca-positivisme (mengoreksi kelemahan, bahwa realitas itu nyata, dan peneliti tidak bisa mendapatkan kebenaran dari kenyataan jika peneliti tidak terlibat langsung), digunakan untuk memeriksa kondisi objek alam, di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, kemudian untuk menguji validitas para peneliti menggunakan triangulasi (gabungan), Analisis data bersifat induktif/kualitatif. Hasil penelitian Metode Kualitatif menunjukkan bahwa telegram instant messenger benar digunakan oleh banyak kelompok radikal dalam berkomunikasi dan untuk tujuan memperluas jaringan radikalisme. Sehingga Telegram harus memiliki tim atau teknologi yang dapat menyaring konten radikal secara langsung, sehingga kelompok-kelompok ini tidak dapat dengan mudah melancarkan tindakan mereka dengan menyebarkan propaganda atau ideologi kelompok mereka.
Kata Kunci:�� telegram; pemanfaatan; radikal
Abstract
Telegram is an application
that allows users to send secret chat messages or end-to-end encrypted chats as
additional security. By using Telegram we can send not
only pictures and videos, but also can send documents such as word, excell, pdf, and others without specifying the size of the
file sent. But the owner of the company paid little attention to factors that
could affect the quality of the application. This research is a qualitative research to find out the use of Telegram
instant messengers by radical groups in Indonesia. Defined as a research method
based on post-positivism philosophy (correcting weaknesses, that reality is
real, and researchers cannot get the truth from reality if researchers are not
directly involved), used to examine the condition of natural objects, where
researchers are as key instruments, data collection techniques are carried out
by in-depth interviews, then to test the validity of the researchers using
triangulation (combined), data analysis is inductive / qualitative. The results
of the Qualitative Method research show that true instant messenger Telegram is
used by many radical groups in communicating and for the purpose of expanding
the network of radicalism. So that the Telegram should have a team or
technology that can filter radical content directly, so that these groups
cannot easily launch their actions by spreading propaganda or the ideologies of
their groups.
Keywords:� telegram;
utilization; radical
Received: 2021-10-20; Accepted:
2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Indonesia merupakan
salah satu negara di dunia yang memiliki
jumlah populasi penduduk terbanyak di dunia. Setiap ada perubahan
maupun inovasi baru, akan langsung
masuk dan dirasakan oleh masyarakat terutama dalam bidang teknologi.
Dengan jumlah penduduk yang berkisar pada jumlah 200 juta jiwa, Indonesia disebut sebagai pasar yang sangat potensial
untuk dunia digital seperti
internet (Astuti, Noviyanto, & Soyusiawati, 2018).
Internet (interconnection networking) adalah jaringan komunikasi global yang terbuka dan menghubungkan banyak jaringan komputer dengan berbagai tipe dan jenis, dengan menggunakan
tipe komunikasi seperti telepon, satelit dan lain sebagainya. Awalnya internet merupakan jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1.969 melalui sebuah proyek yang disebut dengan ARPANET. Misi awal dari
proyek ini hanya untuk keperluan
militer saja, tetapi lambat laun
terus berkembang dan bisa dinikmati oleh semua kalangan. Terciptanya internet telah membawa perubahan yang sangat berarti dalam berbagai
aspek kehidupan manusia, internet juga telah melahirkan dunia baru yang memiliki pola, corak sekaligus karakteristik yang berbeda dengan dunia nyata (Pramudita & Sumargo, 2019).
Dengan kata lain,
internet adalah jaringan besar yang saling berhubungan dari satu komputer ke
komputer lainnya yang menghubungkan orang-orang untuk berbagi informasi seperti text, gambar, audio,
video, dan lainnya agar dapat
dikirim dan dinikmati bersama. Untuk dapat bertukar informasi, digunakan protokol standar yaitu Transmision Control
Protocol dan Internet Protocol yang lebih dikenal sebagai TCP/IP.
TCP (Transmission Control Protocol) difungsikan
untuk memastikan bahwa semua hubungan
bekerja dengan benar, sedangkan IP (Internet Protocol) yang mentransmisikan data dari satu komputer ke
komputer lain. TPC/IP secara
umum berfungsi memilih rute terbaik
transmisi data, memilih rute alternatif jika suatu rute
tidak dapat digunakan, mengatur dan mengirimkan paket-paket pengiriman data (Nugroho, 2013).
Beberapa contoh instant
messenger yang saat ini
populer antara lain:
Telegram, BlackBerry Mesengger, LINE, Whatsapp, dan lain-lain. Di antara
sekian banyak instant
messenger yang ada saat ini, Telegram adalah salah satu instant
messenger yang sedang menjadi
sorotan Kepolisian, Kominfo, masyarakat dan juga pihak-pihak lainnya. Kata
�Telegram� sudah lama kita kenal dan digunakan jauh sebelum teknologi
berkembang seperti saat ini. Telegram dahulu merupakan fasilitas kantor pos yang digunakan untuk mengirimkan pesan tertulis jarak jauh. Namun
setelah teknologi berkembang, fasilitas kantor pos ini
tak lagi digunakan.
�� Telegram
adalah aplikasi untuk mengirimkan pesan chatting rahasia atau secret chat
yang dienkripsi end-to-end
sebagai keamanan tambahan. Dengan menggunakan Telegram kita bisa mengirim gambar
dan video, selain itu kita juga bisa mengirim dokumen seperti word, excell, pdf, dan lainnya tanpa batas
ukuran file yang kita kirimkan, dan kita juga dapat mengirimkan lokasi dimana kita
berada dengan mudah (Kusuma & Yosrita, 2017).
Telegram mulai
rilis pada tanggal 14 Agustus 2013 ke perangkat IOS, kemudian pada taggal 20 Oktober 2013, mulai rilis ke
perangkat android. Sampai saat ini Telegram sudah berumur kurang
lebih lima tahun. Telegram memiliki prestasi yang cukup baik dan memukau. Di bulan Oktober 2013, atau di tahun pertama rilis,
Telegram sudah memiliki
100.000 pengguna aktif harian. Angka ini melonjak tajam menjadi 15 juta pada bulan Maret 2014. Per bulannya, pengguna aktif Telegram menyentuh angka 35 juta dan terus meningkat ke angka 50 juta
pada bulan Desember 2014. Setahun kemudian, pengguna aktif Telegram menyentuh angka 60 juta per bulan dan terus bertambah ke angka 100 juta
pada bulan Februari 2016 (Ependi & Suhendra Winarso, 2019).
Gambar 1
Diagram peningkatan pengguna
aplikasi Telegram, dari Guta, 2017
Dengan adanya
internet yang menjembatani terjadinya komunikasi dan pertukaran informasi, kini
instant messenger Telegram juga
dimanfaatkan oleh sekelompok orang atau komunitas yang menyukai bidang yang
sama agar dapat terus update dengan minat yang sama tersebut.
Seperti dikutip
dari Rappler.com, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, menjelaskan aplikasi
Telegram kerap dijadikan alat oleh para teroris untuk berkomunikasi secara
rahasia. Beliau menemukan ada sekitar 17 ribu halaman di Telegram yang membahas
mengenai penyebaran paham radikal, termasuk bagaimana cara merakit bom. Salah
satu alasan para teroris memilih berkomunikasi menggunakan Telegram, karena
keamanannya yang sangat terjaga. Keamanan itu pula yang selalu didengungkan
oleh Pavel Durov kepada para penggunanya (Fanada, 2020).
�� Tak hanya di Indonesia, Telegram juga� digunakan oleh kelompok teroris di luar
negeri. Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) menyebut orang-orang yang berada di
belakang aksi pengeboman di stasiun metro Saint Petersburg, Rusia, menggunakan
aplikasi Telegram untuk berkomunikasi. FSB menyebut, kelompok teroris itu
menggunakan aplikasi Telegram saat tahap persiapan serangan teroris (Triantoro, 2019).
Pavel Durov,
pendiri sekaligus CEO layanan pesan instan Telegram, menyadari bahwa ada
aktivitas grup teroris negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Telegram. Namun,
ia bersikeras menjunjung tinggi faktor keamanan privasi yang memang sudah lekat
dan menjadi ciri khas Telegram semenjak dirilis empat tahun lalu (Triantoro, 2019).
Dalam sejumlah
wawancara, Durov membantah pendapat yang menyatakan penggunaan Telegram oleh
ekstremis dan mengatakan sebagian penggunanya menggunakan aplikasi itu dengan
alasan yang sah. Durov menolak permintaan untuk memberi akses bagi pejabat
keamanan untuk melacak percakapan di aplikasi tersebut. Meskipun Telegram
dimatikan, Durov yakin itu tidak akan menghentikan teroris untuk berkomunikasi
satu sama lain (Aichernig, Burghard, & Koro�ec, 2019).
Bahkan, ia
tidak segan-segan menolak permintaan pemerintah dari negara mana pun untuk
membuka identitas pengguna aplikasinya. Disebut-sebut sebagai alat komunikasi
favorit para teroris, Pavel Durov secara tegas membantah bahwa dia dan timnya
berteman dengan teroris.
�Kami bukan
rekan dari teroris. Bahkan, setiap bulan kami memblokir ribuan public channel
yang berkaitan dengan ISIS dan mempublikasikannya di channel @isiswatch� (Fanada, 2020).
Tulis Pavel
dalam channel resminya di akun Telegram pada Minggu, 16 Juli. (Fanada, 2020).
Seperti yang
sudah kita ketahui secara umum dari berbagai pemberitaan terhadap kelompok
teroris, terlihat bahwa kelompok teroris tersebut berusaha untuk mencapai
tujuan kepentingannya melalui tindakan kekerasan. Maka peneliti menyimpulkan
bahwa ada kaitannya antara konsep radikalisme dalam terbentuknya
kelompok-kelompok teroris. Kesimpulan peneliti tersebut selaras dengan apa yang
tertulis di dalam Kamus Besar Bahasan Indonesia (KBBI), yang mengartikan
radikalisme sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara
keras atau drastis (Pendidikan, 1990).
Jika kita
lihat dari pemaknaannya, radikal berasal dari bahasa latin yaitu radix yang
artinya akar. Dalam bahasa Inggris kata radical dapat bermakna ekstrim, menyeluruh,
fanatik, revolusioner, ultra dan fundamental (Pecorari, 2000). Sedangkan radikalisme artinya doktrin atau praktik penganut paham radikal
atau paham ekstrim. (Nuhrison, 2009)
sementara menurut Sartono
Kartodirdjo mengartikan radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak secara
menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan
moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki
hak-hak istimewa dan yang berkuasa (Fatkhan, 2020).
Radikalisme
sering dimaknai berbeda diantara kelompok kepentingan. Dalam lingkup keagamaan,
radikalisme merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara
total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan (Rubaidi, 2008).
Radikalisme agama berarti tindakan-tindakan ekstrim yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang yang cenderung menimbulkan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama.
Sedangkan
dalam studi Ilmu Sosial, Radikalisme diartikan sebagai pandangan yang ingin
melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap
realitas sosial atau
ideologi yang dianutnya (Hasani & Naipospos, 2010). Dengan demikian, radikalisme merupakan gejala umum
yang bisa terjadi dalam suatu masyarakat dengan motif beragam, baik sosial,
politik, budaya maupun agama, yang ditandai oleh tindakan-tindakan keras,
ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.
Dari berbagai
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan radikal adalah
gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan
keyakinan mereka. Sementara agama apapun mengajarkan sikap damai dan mencari
kedamaian, dan semua agama tidak pernah membenarkan praktek penggunaan
kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik (Abror, 2016).
Metode Penelitian
Pendekatan
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif untuk mengemukakan gambaran atau pemahaman (understanding) mengenai
bagaimana dan mengapa sesuatu gejala atau realitas komunikasi
terjadi (Pawito, 2007).
Pendekatan
kualitatif menjadikan peneliti sebagai instrumen utama penelitian dimana penarikan kesimpulan yang dilakukan berdasarkan pada hasil wawancara peneliti, dokumen pendukung penelitian lainnya. Peneliti menggunakan jenis riset deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu.
Penelitian ini menggambarkan realitas yang terjadi antar variabel
tanpa menjelaskan hubungan diantaranya (Kriyantono & Sos, 2014).
1.
Narasumber
Dalam
buku karangan (Denzin & Lincoln, 2009)
menjelaskan bahwa wawancara dapat dilakukan tanpa bantuan seorang informan, tetapi sebaiknya tetap menggunakan informan yang baik. Sebab dengan
begitu seorang peneliti dapat menghemat waktu lebih banyak dan dapat menghindarkan kesalahan-kesalahan selama proses
berlangsung.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan narasumber sebagai medium pengumpulan data. Narasumber yang
ingin peneliti libatkan dalam penelitian ialah narasumber yang sudah ditentukan. Pemilihan narasumber ini ditentukan berdasarkan kriteria purposive/judgmental
sampling, dimana narasumber
dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang sudah ditetapkan oleh peneliti. Kriteria tersebut adalah berupa tindakan keterlibatan narasumber dalam suatu fenomena
yang sedang diteliti, dikarenakan keterlibatan tersebut merupakan bukti bahwa narasumber
terjun langsung dalam kegiatan tersebut untuk medukung misi pemberantasan
penyebaran paham radikal melalui instant messenger Telegram di Indonesia.
Narasumber dalam penelitian ini adalah:
Kepolisian Republik Indonesia:
a.
Kompol.
Fachrul Sugiarto, S.I.K.
(Kanit Analis Subdit Analis
dan Produk Dit Inteligen DS88AT)
b.
Kompol.
Ferli Hidayat, S.H.,
S.I.K., M.H.
(Kaur
Produk Spipim Polri)
Fokus
penelitian ini dibuat dengan menggunakan
teori yang terkait dengan penelitian tujuannya adalah agar penelitian dapat terfokus pada masalah yang ingin dibahas yaitu
media Telegram yang berkaitan dengan
fitur-fitur unggulan dalam aplikasi Telegram guna untuk mencapai
tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah New Media Theory, Political Economics
Theory, dan Cyber Community Theory.
2.
Teknik Pengupulan
Data
Berdasarkan
pada perbedaan teknik-teknik
pengumpulan data yang dibagi
menjadi data primer dan data sekunder.
Berikut adalah teknik yang digunakan dalam pengambilan data dalam penelitian ini:
a.
Data Primer
Data primer
merupakan suatu data yang dicari dan didapatkan oleh peneliti sebagai data utama yang dijadikan acuan dalam melaksanakan
objek penelitian ini. Metode yang akan digunakan oleh peneliti adalah dengan wawancara mendalam (in
depth-interview) untuk memperoleh
data yang sesuai dengan pengalaman dan realita yang terjadi pada narasumber. Penelitian kualitatif biasanya menggunakan metode wawancara semi tersktruktur atau tidak berstruktur, karena wawancara terstruktur dinilai dapat mengarah kepada fleksibilitas yang sangat dihargai dalam penelitian kualitatif (Daymon & Holloway, 2007).
Wawancara
semi terstruktur sering
kali digunakan dalam melakukan penelitian kualitatif. Pertanyaan-pertanyaan
yang ditanyakan berada didalam panduan wawancara yang berfokus pada suatu masalah atau
topik yang ingin ditemukan dalam sebuah penelitian atau penyelidikan. Runtutan pertanyaan pertayaan yang ditanyakan tidak selalu sama,
tergantung pada proses wawancara
masing-masing narasumber dan respon
dari masing-masing individual narasumber
(Daymon & Holloway, 2007).
Wawancara
tidak berstruktur dapat menghasilkan data yang banyak dan terkadang dapat membuka bukti-bukti
yang mengejutkan. Namun wawancara tidak berstruktur juga mempunyai �Dross Rate� tertinggi
bagi seseorang yang tidak berpengalaman dalam melakukan wawancara (Daymon & Holloway, 2007).
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara semi terstruktur yang merupakan teknik wawancara dimana pewawancara sebelumnya telah menyiapkan daftar pertanyaan yang
telah dibuat namun memungkinkan untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan secara bebas yang dinilai terkait dengan permasalahan yang sedang dikupas oleh peneliti.
b.
Data Sekunder
Data sekunder adalah merupakan suatu data yang dicari dan didapatkan oleh peneliti sebagai data pendukung yang dijadikan acuan dalam melaksanakan
objek penelitian. Metode yang akan digunakan oleh peneliti adalah dengan melakukan
studi pustaka untuk memperoleh landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti dengan
cara mempelajari berbagai buku referensi,
jurnal ilmiah, serta penelitian sebelumnya (Sarwono, 2006).
Selain
itu, data sekunder juga dapat diperoleh melalui bentuk data yang sudah jadi (tersedia)
melalui publikasi atau informasi yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi atau perusahaan, termasuk juga majalah jurnal, saham, perbankan, dan keuangan (Sarwono, 2006).
Dalam
penelitian ini data sekunder yang digunakan adalah melalui segala informasi dan berita yang dapat diperoleh dari internet, informasi dari perpustakaan, dan dokumen-dokumen.
Peneliti berusaha menggali informasi dan data-data penunjang yang dapat mendukung penelitian ini menggunakan jajaran buku-buku yang terkait dengan penelitian dan beberapa dokumen yang diberikan oleh narasumber (Sarwono, 2006).
Dalam
penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakan
tiga tahapan teknik analisa data yang di ambil dari interaktif
model untuk memperjelas penelitian ini. Yang pertama adalah tahapan orientasi atau tahapan deskriptif,
peneliti diharuskan untuk menjelaskan secara detail apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan ditanyakan. Kedua, tahapan reduksi dan fokus, peneliti diharuskan melakukan pengurangan terhadap informasi yang telah diperoleh pada tahapan pertama dan menetapkan hal-hal yang menjadi fokus penelitian.
Ketiga, tahapan seleksi, peneliti diharuskan mengurai fokus yang telah ditetapkan secara rinci (Miles & Huberman, 1994).
Hasil dan Pembahasan
Dengan
adanya internet yang menjembatani
terjadinya komunikasi dan pertukaran informasi, kini instant
messenger Telegram juga dimanfaatkan oleh sekelompok orang atau komunitas yang menyukai bidang yang sama agar dapat terus update dengan minat yang sama tersebut.�����
Telegram adalah
aplikasi untuk mengirimkan pesan chatting rahasia atau secret chat yang dienkripsi end-to-end
sebagai keamanan tambahan. Dengan menggunakan Telegram kita bisa mengirimgambar dan video, selain itu kita
juga bisa mengirim dokumen seperti word, excell, pdf, dan lainnya tanpa batas ukuran
file yang kita kirimkan,
dan kita juga dapat mengirimkan lokasi dimana kita berada
dengan mudah. Telegram adalah salah satu instant
messenger yang sedang menjadi
sorotan Kepolisian, Kominfo, masyarakat dan juga pihak-pihak lainnya.
Para pengguna
Telegram, khususnya anggota-anggota
kelompok radikal merasakan kendali penuh terhadap akun dan konten yang mereka miliki. Seperti autonomy
yang merupakan ciri new
media yang ke-empat, pengguna
Telegram sadar betul akan tanggung jawab
yang diberikan Telegram berupa
keamanan dan kenyamanan. Sehingga mereka bebas dalam menyebarkan
konten-konten berbau radikal, mengandung unsur sara, kekerasan dan lain sebagianya. Karena saat mereka mengirim konten-konten tersebut, pihak Telegram tidak memblokir atau menghapus konten-konten yang disebarkan.�
Instant
messenger Telegram memiliki fungsi awal yaitu
untuk berkomunikasi dengan aman dan nyaman. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah playfullness (bermain-main)
juga merupakam ciri dari new media ke-lima. Kelompok radikal menggunakan Telegram sebagai alat menyebarkan hiburan versi mereka.
Disisi lain, mereka menggunakan instant
messenger Telegram untuk berkomunikasi,
mencari dan bertukar informasi antar anggota maupun antar kelompok radikal.
����������� Berdasarkan
hasil wawancara pada beberapa narasumber, kelompok radikal menggunakan instant messanger
Telegram karena aplikasi tersebut sulit untuk diretas atau
dibobol keamanannya. CEO
Telegram mengedepankan prinsip
privasi dimana data-data penggunanya tidak dapat dilihat oleh pihak ketiga maupun
pihak Telegram itu sendiri. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa kelompok-kelompok radikal cenderung menggunakan aplikasi Telegram untuk berkomunikasi, menyebarkan paham-paham kelompok mereka. Serta merekrut anggota baru untuk bergabung
bersama kelompok mereka.
Kesimpulan
Dalam penelitian
ini, peneliti mencoba menyimpulkan dari berbagai sumber
yang peneliti dapatkan bahwa benar adanya
instant messenger Telegram digunakan oleh banyak kelompok radikal dalam melakukan
komunikasi dan untuk tujuan memperluas jaringan paham-paham radikalisme.
Instant messenger Telegram menjadi alat utama
dalam berkomunikasi antar anggota kelompok
dikarenakan adanya fitur-fitur Telegram yang mengedepankan
prinsip privasi, sehingga hal inilah
yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok
tersebut untuk memperluas jaringan mereka tanpa dapat
terdeteksi secara mudah.
Seperti yang sudah
kita ketahui secara umum dari
berbagai pemberitaan terhadap kelompok teroris, terlihat bahwa kelompok teroris tersebut berusaha untuk mencapai tujuan kepentingannya melalui tindakan kekerasan. Maka peneliti menyimpulkan
bahwa ada kaitannya antara konsep radikalisme dalam terbentuknya kelompok-kelompok teroris.
Kesimpulan peneliti tersebut selaras dengan apa yang tertulis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), yang mengartikan radikalisme
sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara keras
atau drastis (Pendidikan,
1990).
Abror, Mufidul.
(2016). Radikalisasi dan deradikalisasi pendidikan agama Islam di Sekolah
Menengah Atas: study multi kasus di SMAN 3 Lamongan dan SMK NU Lamongan.
UIN Sunan Ampel Surabaya. Google Scholar
Aichernig,
Bernhard K., Burghard, Christian, & Koro�ec, Robert. (2019). Learning-based
testing of an industrial measurement device. NASA Formal Methods Symposium,
1�18. Springer. Google Scholar
Astuti,
Nur Rochmah Dyah Puji, Noviyanto, Fiftin, & Soyusiawati, Dewi. (2018).
Forensik Digital Metode RegEx (Regular Expression) dari Grab Google Search Api
dalam Proses Pelacakan Terhadap Kejahatan Online. InfoTekJar: Jurnal
Nasional Informatika Dan Teknologi Jaringan, 3(1), 90�94. Google Scholar
Daymon,
Christine, & Holloway, Immy. (2007). Metode-metode riset kualitatif
dalam public relations dan marketing communications. Bentang Pustaka. Google Scholar
Denzin,
Norman K., & Lincoln, Yvonna S. (2009). Handbook of Qualitative Research
(terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google Scholar
Ependi,
Arfan, & Suhendra Winarso, Beni. (2019). Pengaruh Pengetahuan
Kewirausahaan dan Karakteristik Kewirausahaan Terhadap Keberhasilan Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM) Di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Universitas
Ahmad Dahlan. Google Scholar
Fanada,
Dilla. (2020). Pengaruh Faktor Fundamental Terhadap Harga Saham Pada
Perusahaan Sektor Industri Dasar dan Kimia yang Terdaftar dalam Indeks Saham
Syariah Indonesia Periode 2016-2018. IAIN Kudus. Google Scholar
Fatkhan,
Muh. (2020). Sosok Ratu Adil Dalam Ramalan Jayabaya. Refleksi: Jurnal
Filsafat Dan Pemikiran Islam, 19(2), 241�252. Google Scholar
Hasani,
Ismail, & Naipospos, Bonar Tigor. (2010). Wajah para �pembela�Islam:
Radikalisme agama dan implikasinya terhadap Jaminan kebebasan
beragama/berkeyakinan di Jabodetabek dan Jawa Barat. Jakarta: Tim Setara
Institute Dan Pustaka Masyarakat Setara. Google Scholar
Kriyantono,
Rachmat, & Sos, S. (2014). Teknik praktis riset komunikasi. Prenada
Media. Google Scholar
Kusuma,
Adithya Marhaendra, & Yosrita, Efy. (2017). Aplikasi Buku Digital Bidang
Teknologi Informasi Berbasis Android Mobile Pada Perpustakaan Bppki Surabaya
Badan Litbang Kementerian Kominfo. Jurnal Komunika: Jurnal Komunikasi, Media
Dan Informatika, 5(2), 57�70. Google Scholar
Miles,
Matthew B., & Huberman, A. Michael. (1994). Qualitative data analysis:
An expanded sourcebook. sage. Google Scholar
Nugroho,
Budi. (2013). Pengertian Internet atau Definisi Internet. Google Scholar
Nuhrison,
M. Nuh. (2009). Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham atau Gerakan Islam
Radikal di Indonesia. Jurnal Harmoni, 8(30). Google Scholar
Pawito.
(2007). Penelitian komunikasi kualitatif. Lembaga Kajian Islam dan
Sosial (LKIS). Google Scholar
Pecorari,
Diane Elisabeth. (2000). Oxford advanced learner�s dictionary of current
English. Google Scholar
Pendidikan,
Departemen. (1990). Kebudayaan, kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta:
balai pustaka. Google Scholar
Pramudita,
Disi Amalia, & Sumargo, Bagus. (2019). Pengelompokan Pengguna Internet
dengan Metode K-Means Clustering. Jurnal Statistika Dan Aplikasinya, 3(1),
1�12. Google Scholar
Rubaidi,
Ahmad. (2008). Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama & masa depan
moderatisme Islam di Indonesia. Logung Pustaka. Google Scholar
Sarwono,
Jonathan. (2006). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Google Scholar
Triantoro,
Dony Arung. (2019). Praktik Politik Identitas dalam Akun Media Sosial
Anies-Sandi. Google Scholar
Copyright holder: Alfhatheh Mohammad (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |