Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 11, November 2021

�

URGENSI PEMBENTUKAN JAKSA AGUNG MUDA PIDANA MILITER DALAM KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA

 

Dimas Pranowo

Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan Negeri Belitung Timur, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Hukum pidana Indonesia secara adressat diklasifikasikan menjadi dua yaitu hukum pidana yang berlaku bagi sipil dan juga hukum pidana militer. Hal itu tertuang dalam kekuasaan kehakiman yang juga mengakomodasi adanya pengadilan militer yang berpangkal pada Mahkamah Agung. Namun Kejaksaan selaku pelaksana kewenangan penuntut tertinggi tidak memiliki fungsi tersebut di dalam Kejaksaan Agung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan Jaksa Agung Muda Pidana Militer selaku pelaksana penuntutan dalam Kejaksaan Agung Indonesia.

 

Kata Kunci: hukum pidana; militer; kejaksaan

 

Abstract

Indonesian criminal law is classified adressatly into two, namely criminal law that applies to civilians and also military criminal law. This is stated in the judicial power which also accommodates the existence of a military court based on the Supreme Court. However, the Attorney General�s Office as the executor of the highest prosecuting authority does not have this function within the Attorney General�s Office. This study intends to analyze the formation of the Junior Attorney General for Military Crimes as prosecutors in the Indonesian Attorney General�s Office.

 

Keywords:� penal law, military, attorney

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-18

 

Pendahuluan

Sejalan dengan reformasi lembaga penegak hukum yang gencar dilakukan oleh pemerintah, gaung tentang pentingnya penguatan kejaksaan secara kelembagaan marak diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Beragam isu seperti kedudukan kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan, penerapan asas single prosecution system, maupun konfigurasi hubungan antara fungsi penuntutan dengan subsistem peradilan pidana lainnya telah dibahas begitu panjang di dalam forum akademik in casu berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Menurut (Barda Nawawi Arief, 2016) dalam perkembangannya perhatian yang dipusatkan pada sistem peradilan tampaknya cukup serius. Sistem peradilan pidana tidak hanya dilihat sebagai social problem yang sama dengan kejahatan itu sendiri. Dikatakan demikian, karena di samping kenyataan menunjukkan bahwa kejahatan tetap terus meningkat, yang dapat dilihat sebagai indicator tidak efektifnya sistem peradilan pidana, juga karena sistem peraadilan pidana itu sendiri dalam hal hal tertentu dapat dilihat sebagai faktor kriminogen dan viktimogen (Muladi & Arief, 2002). Lebih lanjut dalam paparannya mengenai sistem peradilan pidana, (Barda Nawawi Arief, 2016) menyatakan bahwa pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang undangan pidana itu sendiri baik hukum pidana substantive maupun hukum acara pidana, karena perundang undangan pidana itu pada dasarnya merupakan kewenangan penegakan hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum in concreto.

Hampir 23 tahun sudah reformasi berlangsung dan masyarakat mengharapkan reformasi dalam bidang penegakan hukum, termasuk halnya kejaksaan selaku kekuasaan negara dalam pelaksana kewenangan menuntut. Namun dalam praktiknya masih banyak permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia baik itu dari sisi pidana, perdata, administratf hingga tata negara. Penulis setidaknya mengkategorikan permasalahan dalam penegakan hukum Indonesia menjadi dua yakni permasalahan sumber daya manusia (SDM) maupun permasalahan secara institusi.

Secara kualitas SDM, masih sering dijumpainya aparat dan hakim yang ditangkap karena suap dan korupsi. Sedangkan permasalahan institusi masih sering dijumpai tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara dalam menangani suatu perkara. Berkaca dari situasi ini, patutnya direnungkan apa yang dikatakan oleh Bernardus Maria Taverne sebagaimana yang dikutip oleh Jan S Marinka yang mengatakan �geef me geode rechter, geode rechter commissarisen, geode officieren van justitien, geode politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboeken van strafprocessrecht het geode beruke.� Pernyataan tersebut memiliki arti berikan aku hakim, jaksa, polisi, an advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang undang sekalipun� (Maringka, 2019).

Sedangkan terkait dengan fenomena penegakan hukum, Soerjono Soekamto mengemukakan bahwa efektifitas hukum mempunyai 5 (lima) faktor yang saling berkaitan dengan erat karena merupakan esensi dari proses penegakan hukum serta juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor efektifitas hukum menurut (Soerjono Soekanto, 2019) antara lain: pertama, faktor hukum sendiri, masalah yang terjadi atau gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari hukum/undang-undang, disebabkan karena (a) tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang; (b) belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang; (c) ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya (Soebagijo, 2011).

Dalam kaitannya dengan kejaksaan selaku lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melaksanakan fungsi penuntutan, kejaksaan juga berproses untuk meningkatkan serta membenahi kualitas maupun alur penanganan perkara di kejaksaan.� Salah satu permasalahan di dalam kejaksaan adalah bahwa lembaga Adyaksa ini hingga saat ini belum memiliki Jaksa Agung Muda Pidana Militer (pada saat penelitian ini ditulis, Presiden Joko Widodo telah membentuk Jaksa Agung Muda Pidana Militer dalam Perpres 15 Tahun 2021, namun belum sampai pada pembentukan satuan kerja nya secara resmi).

Selama ini ketiadaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer menjadi permasalahan yang cukup vital sebab kejaksaan adalah bagian dari sistem peradilan pidana yang juga berfungsi dalam menangani pidana yang dilakukan oleh militer sebagaimana lembaga yudikatif yang diambil oleh Pengadilan Militer. Namun permasalahannya adalah tidak seperti kekuasaan kehakiman dimana kekuasaan kehakiman meliputi peradilan umum, agama, tata usaha negara dan militer yang hierarkinya jelas sampai Mahkamah Agung, hal demikian tidak ditemui di dalam fungsi penuntutan yang seharusnya dimiliki oleh kejaksaan.

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian hukum, terdapat beberapa jenis (metode) pendekatan, yang setidaknya akan menggunakan satu, dalam usaha mengumpulkan dan mendaatkan informasi dari berbagai aspek untuk menjawab sebuah permasalahan hukum (Putra, 2017). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka (Muchtar, 2015). Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah (Diantha & SH, 2016).

����������� Metode penelitian ditujukan untuk mengtahui serangkaian metode yang digunakan dalam penulisan hukum dan diharapkan dapat diperoleh sebuah penelitian yang sistematis dan juga untuk memperoleh hasil penelitian yang diharapkan dapat menjadi penelitian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. penelitian yuridis normatif ini, yakni penelitian berdasarkan aturan aturan yang diatur dalam peraturan perundang undangan kemudian mendeskripsikan secara faktual tentang pengaturan pembentukan Jaksa Agung Muda Pidana Militer di Indonesia.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Fungsi Penuntutan yang Dilakukan Oleh Kejaksan Sebelum Dibentuknya Jaksa Agung Muda Pidana Militer

1.   Peran Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana

Kejaksaan memiliki peran yang signifikan dalam penegakan hukum Indonesia. Dalam konteks sistem peradilan pidana, jaksa adalah pemegang peran penuntut tertinggi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Menurut Romli Atmasmita sebagaimana yang dikutip oleh (Waskito, 2018), Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu proses penegakan hukum pidana, oleh karena itu sistem peradilan pidana berhubungan berhubungan erat sekali dengan peraturan perundang-undangan pidana itu sendiri baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana.

Dikatakan demikian karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum in abstracto yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum pidana (Waskito, 2018). Lebih lanjut, (Romli Atmasasmita, 2011) mengatakan bahwa pendekatan Sistem Peradilan Pidana (SPP) adalah titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana. Efesiensi sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari penyelesaian perkara, penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration ofjustice.

Kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana berperan dalam fungsi penuntutan. Dalam diskursus hukum acara pidana, kejaksaan ditempatkan sebagai pemegang fungsi penuntutan, Tugas utama kejaksaan dalam system peradilan pidana Indonesia adalah penuntutan, dan sebaliknya, penuntutan merupakan kewenangan satu-satunya yang hanya dimiliki oleh kejaksaan, dan tidak dimiliki oleh lembaga lain. Bahkan jaksa diposisikan sebagai penuntut umum tunggal (single prosecution system).

Tugas utama kejaksaan dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah penuntutan, dan sebaliknya, penuntutan merupakan kewenangan satu-satunya yang hanya dimiliki oleh kejaksaan, dan tidak dimiliki oleh lembaga lain.������� Menurut (Maringka, 2019), secara etimologi, kata prosecution senditi berasal dari bahasa latin: prosecutes dan terdiri dari pro (sebelum) dan sequi (mengikuti) yang dapat dipahami sebagai proses perkara dari awal hingga berakhir. Fungsi penuntutan yang dilakukan oleh jaksa harus dimaknai sebagai implementasi dari prinsip penuntut umum tunggal (single prosecution system) dalam sistem peradilan pidana. Istilah tersebut merupakan makna sesungguhnya dari asas satu dan tak terpisahkan (een en ondelbaar) sebagai landasan pelaksanaan tugas kejaksaan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan penuntutan yang menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja kejaksaan.

Sebagai salah satu unsur dalam sistem peradilan pidana di dalam KUHAP sebagai panduan hukum acara pidana, kejaksaan termasuk dalam bagian dari kerangka diferensiasi fungsional dalam KUHAP. Maksud dari konsep kerangka tersebut adalah bahwa penyidikan adalah ranah wewenang dari kepolisian, dan kejaksaan adalah sebagai pelaksana penuntutan dan pelaksana putusan hakim. Gagasan yang hendak dibangun di dalam KUHAP tersebut adalah untuk meletakkan suatu asas penjernihan (clarification) dan modifikasi (modification) fungsi dan wewenang antara instansi penegak hukum.

2.   Peran Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Militer

Hukum militer Indonesia menurut (Kanter & Sianturi, 2002) sebagaimana yang dikutip oleh (Soebagijo, 2011) adalah berpangkal tolak dari tugas militer Indonesia (TNI) dan adalah merupakan bagian dan merupakan salah satu sistem dari hukum nasional Indonesia. Karenanya hukum militer Indonesia mempunyai landasan, sumber-sumber dan cakupan yang sejalan dengan hukum nasional (Soebagijo, 2011). Menurut (Soebagijo, 2011), dalam arti formilnya, peradilan militer sudah ada sejak tahun 1946, hanya pelaksanaannya dirangkap oleh Ketua, wakil ketua serta anggota Pengadilan Negeri, karena belum ada tenaga terdidik ahli hukum bagi anggota militer, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka tahun 1952 didirikan Akademi Hukum Militer dan berkembang menjadi Perguruan Tinggi Hukum Militer (sekarang Sekolah Tinggi Hukum Militer).

Sehingga sekitar tahun 1961/1962 tenaga terdidik dikalangan militer dapat memenuhi persyaratan dan sejak itu terjadi peralihan, kalau tadinya jabatan Ketua, Wakil Ketua serta anggota dijabat baik dari Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri dialihkan kepada tenaga militer aktif berpendidikan ahli hukum militer. Sejak itulah Peradilan Militer secara formil dan materiil berdiri. Ditinjau dari sudut justisiabel maka Hukum Pidana Militer (dalam arti materiil dan formal) adalah bagian dari hukum positif, yang berlaku bagi justisiabel peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakanyang merupakan larang-an dan keharusan serta terhadap pelang-garnya diancam dengan pidana, yang menentukan dalam hal apa dan bilamana pelanggar dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang menentukan juga cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya ketertiban hukum. Suatu catatan penting untuk pengertian tersebut diatas ialah bahwa pengertian itu didasarkan kepada: terhadap siapa hukum pidana tersebut berlaku. Jadi bukan mendasari: hukum pidana apa saja yang berlaku bagi justisiabel tersebut. Dari uraian tersebut mudah kiranya dipahami bahwa karena yang berlaku bagi seseorang militer (atau justisiabel peradilan militer) bukan saja hanya hukum pidana militer melainkan juga hukum pidana umum dan ketentuan-ketentuandalam hukum pidana umum (yang pada dasarnya digunakan juga oleh hukum pidana militer dengan beberapa pengecualian).

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa reformasi penegakan hukum di Indonesia masih harus menempuh jalan yang panjang. Berbagai permasalahan dalam hukum tersebut dapat disebabkan oleh faktor dari aparatnya (SDM) maupun kelembagaan (struktur). Dalam penegakan hukum, Mengenai penguatan lembaga penegak hukum di Indonesia merupakan hal� yang sangat penting khususnya dalam hal kewenangan dari lembaga penegak hukum� itu sendiri karena jika kewenangan dari lembaga penegak hukum tersebut tidak� diperkuat dan diperjelas maka menimbulkan adanya dualisme kewenangan antara� dua lembaga atau lebih dalam penanganan suatu perkara pidana (Kusuma, 2021). Ditinjau dari sudut justisiabel maka Hukum Pidana Militer (dalam arti materiil dan formal) adalah bagian dari hukum positif, yang berlaku bagi justisiabel peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakanyang merupakan larang-an dan keharusan serta terhadap pelang-garnya diancam dengan pidana, yang menentukan dalam hal apa dan bilamana pelanggar dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang menentukan juga cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya ketertiban hukum.

Suatu catatan penting untuk pengertian tersebut diatas ialah bahwa pengertian itu didasarkan kepada: terhadap siapa hukum pidana tersebut berlaku. Jadi bukan mendasari: hukum pidana apa saja yang berlaku bagi justisiabel tersebut. Dari uraian tersebut mudah kiranya dipahami bahwa karena yang berlaku bagi seseorang militer (atau justisiabel peradilan militer) bukan saja hanya hukum pidana militer melainkan juga hukum pidana umum dan ketentuan-ketentuandalam hukum pidana umum (yang pada dasarnya digunakan juga oleh hukum pidana militer dengan beberapa pengecualian).

Salah satu contoh adanya dualisme penanganan perkara yaitu antara Kejaksaan dengan Orditur Militer dalam hal penanganan perkara pidana militer. Hukum pidana umum yang berlaku bagi setiap orang juga berlaku bagi setiap anggota militer. Jadi apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh tentara tidak diatur dalam KUHPM maka yang berlaku adalah ketentuan dalam KUHP maupun perundang-undangan yang lebih khusus. Anggota tentara yang melakukan tindak pidana haruslah mendapatkan hukuman yang lebih berat dari warga sipil.

Hal ini dikarenakan bahwa anggota tentara haruslah mempunyai sikap disiplin yang tinggi, karena tentaralah yang bertugas menjaga pertahanan dan keamanan negara dari gangguan apapun (Ramadhani & Setyawan, 2016). Hal yang senada juga pernah� disampaikan oleh �Tiarsen Buaton yang menyebutkan bahwa terdapat kemungkinan� permasala han atas penundukan prajurit pada peradilan umum yang meliputi� beberapa aspek yaitu 1) masalah penyidikan, 2) masalah lembaga Keankuman dan� Kepaperaan, 3) masalah penuntut, 4) masalah hakim persidangan, 5) masalah� locus� delicti 6) masalah pelaksanaan ekse kusi, 7) penjatuhan hukum tambahan berupa� pemecatan dari dinas keprajuritan dan 8) masalah sociocultural dan psikologis (Syahrin, 2016).

Dalam kaitannya dengan hukum acara pidana militer, KUHAP sebagai kitab hukum acara ternyata mengatur berbeda dengan apa yang diatur di dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Perbedaan tersebut diantaranya dapat dijumpai dalam pengaturan nomenklatur yang berbeda dalam hukum acara in casu fungsi penuntutan. Dalam rezim hukum KUHAP disebutkan bahwa fungsi penuntutan dijalankan oleh jaksa yang bertindak sebagai penuntut umum, namun dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 menyebutkan bahwa fungsi penuntutan dilakukan oleh Oditur Militer. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 menentukan bahwa yang dimaksud dengan Oditur Militer adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.Menyimak bunyi pasal tersebut di atas terdapat tiga hal yang menjadi tugas pokok Oditur Militer yaitu:

1)    sebagai pejabat negara yang melaksanakan tugas di bidang penuntutan;

2)    sebagai pejabat negara yang melaksanakan penetapan pengadilan, baik penetapan peradilan militer, maupun penetapan peradilan umum; dan

3)    pejabat negara yang diserahi tugas untuk mengadakan penyidikan awal atau penyidikan lanjutan.

Sedangkan oditurat militer terdiri dari:

1)    Oditurat Militer

2)    Oditurat Militer Tinggi

3)    Oditurat Jenderal

4)    Oditurat Militer Perempuan

Hal ini menunjukkan bahwa belum adanya kesatuan sistem penuntutan pada sistem peradilan pidana, in casu pada dalam kebijakan dan penuntutan tindak pidana militer. Hal itu disebabkan karena UU Nomor 31 Tahun 1997 karena di dalam ketentuan UU a quo berusaha membangun relasi fungsional dalam subsistem yang berbeda antara Militer dengan Kejaksaan Agung selaku pelaksana fungsi penuntutan. Hal tersebut dapat dijumpai di dalam ketentuan Pasal 57 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1997 dimana yang menyebutkan bahwa �Oditur Jenderal dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut umum tertinggi di Negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada Panglima.

Hal yang senada dengan Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 juga tercermin dari Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang intinya menyebutkan bahwa �Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan maka Jaksa Agung adalah juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan�.�

Apabila dicermati maka antara Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 dan� Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU No.16 Tahun 2004) menyiratkan bahwa di satu sisi terdapat adanya korelasi kewenangan� penuntutan yang dimiliki Jaksa Agung selaku penanggung jawab tertinggi dalam hal penuntutan perkara pidana baik perkara pidana sipil maupun perkara pidana militer� tetapi di sisi lain terjadi adanya disharmonisasi hukum karena cenderung setiap� perkara pidana militer yang ditangani oleh oditur militer tidak melaporkan kegiatan� penuntutan yang telah dilaksanakan kepada Jaksa Agung selaku penanggung jawab tertinggi penuntutan di negara Indonesia.

Lebih lanjut, kekuasaan penuntutan dlam peradilan militer dijalankan oleh oditurat militer yang secara keorganisasian berada dibawah Markas Besar TNI. Oditurat Militer terdiri atas oditurat militer, oditurat militer tinggi, oditurat jenderal, dan oditurat militer perempuan. Oditurat Militer mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a.   melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang terdakwanya: Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah; yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan Prajurit dengan tingkat kepangkatan Kapten ke bawah; dan anggota suatu golongan atau jawatan atau Badan atau yang dipersamakan atau dianggap senagai Prajurit berdasarkan Undang-Undang dengan tingkat kepangkatan Kapten ke bawah.

b.   melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum;

c.   melakukan pemeriksaan tambahan;

d.   Oditurat Militer dapat berwenang melakukan penyidikan

 

Oditurat Militer Tinggi mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a.   melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang terdakwanya adalah: prajurit atau salah satu prajurit berpangkat Mayor ke atas; yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan Prajurit; anggota suatu golongan atau jawatantau badan atau dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-Undang dengan tinkat kepangkatan Mayor ke atas; mereka yang harus diadili oleh Pengadilan Militer.

b.   melaksanakan penetapan hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum;

c.   melakukan pemeriksaan tambahan;

d.   melakukan penyidikan. Kedudukkan Oditurat Militer Tinggi adalah suatu badan yustisi di lingkungan Peradilan Militer yang secara organisatoris, administratif berkedudukan di lingkungan Mabes TNI, secara teknis yustisi berada di bawah pembinaan Oditurat Jenderal TNI, yang bertugas membantu Pangabdian dalam mewujudkan fungsi Peradilan Militer di lingkungan TNI, yaitu melaksanakan penuntutan umum sesuai dengan peraturan yang berlaku.

 

Oditurat Jenderal TNI adalah penuntut umum tertinggi di lingkungan Angkatan Bersenjata, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Oditurat yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat. Kekuasaan Oditurat Jenderal TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 yaitu: Oditurat Jenderal mempunyai tugas dan wewenang: a) melaksanakan pembinaan, pengendalian dan pengawasan pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat militer; b) menyelenggarakan pengkajian masalah kejahatan guna kepentingan pencegahan, penegakan hukum serta kebijaksanaan pemidanaan; dan c) dalam rangka penyelesaian dan pelaksanaan penuntutan perkara tindak pidana tertentu yang acaranya diatur secara khusus, mengadakan koordinasi dengan kejaksaan Agung, Polisi Militer dan badan penegak hukum lainnya. Oditurat Militer Pertempuran mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a.   melakukan penuntutan perkara pidana yang terdakwanya adalah: (1) prajurit; (2) yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan prajurit; (3) anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang; (4) seseorang yang tidak termasuk golongan tersebut diatas, tetapi dengan keputusan Panglima dengan persetujuan menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer, yakni orang-orang sipil yang bekerja pada militer (angkatan bersenjata); dan

b.   melaksanakan penetapan hakim atau putusan Pengadilan Militer Pertempuran

3.   Peran Jaksa Agung Muda Pidana Militer dalam Sistem Peradilan Pidana

Sebagaimana yang telah dipaparkan bahwa saat ini masih terdapat ketidaksamaan sistem dalam fungsi adanya kesatuan sistem penuntutan pada sistem peradilan pidana, in casu pada dalam kebijakan dan penuntutan tindak pidana militer. Maka untuk menanggulangi situasi tersebut, maka pembentukan Jaksa Agung Muda Pidana Militer dapat menjadi jalan untuk mengintegrasikan fungsi penuntutan yang selama ini ditangani oleh Militer dan juga Kejaksaan. Dengan hadirnya Jaksa Agung Muda Pidana Militer dapat mengurangi adanya dualisme lembaga penuntutan dalam penanganan perkara pidana mi litewr di Indonesia. Bahwa kehadiran Jaksa Agung Muda Pidana Militer berfungsi sebagai jembatan penghubung antara Jaksa Agung dengan Panglima TNI untuk lebih meningkatkan koordinasi dalam penanganan tindak pidana militer.

Menilik urgensi yang telah berlangsung sekian lama, akhirnya baru pada Tahun 2021 ini Presiden Joko Widodo menekan Peraturan Presiden tentang perubahan kedua atas Perpres Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Aturan anyar ini mengatur keberadaan struktur baru Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer Kejaksaan Agung (Jaksa Pidana Militer). Dengan begitu, kini Jaksa Agung Muda Pidana Militer menjadi direktorat yang baru dalam struktur organisasi kejaksaan dari yang sebelumnya 11 direktorat kini menjadi 12 direktorat. Pasal 5 terkait organisasi Kejaksaan Agung terdiri dari: (a) Jaksa Agung; (b) Wakil Jaksa Agung, (c) Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan; (d) Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen; (e) Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum; (f) Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus; (g) Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara; (h) Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan; (i) Badan Pendidikan dan Pelatihan, (j) Staf Ahli; dan (k) Pusat.

Dilihat dari pengorganisasian Jaksa Agung Muda Pidana Militer dalam struktur organisasi kejaksaaan, maka ke depannya dikaji dari teori kebijakan hukum pidana maka� ketenuan mengenai kedudukan dan kewenangan Kejaksaan dalam penanganan perkara pidana militer perlu dipertegas dengan perubahan Peraturan Perundang undangan yang baru termasuk didalamnya untuk membentuk Jaksa Agung Muda� Pidana Militer dan sebaiknya dengan hadir nya Jaksa Agung Muda Pidana Militer� maka setidaknya penuntutan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana dapat dibuat dalam satu atap dengan tujuan untuk memudahkan adanya koordinasi� dan komunikasi antara Oditur Militer dengan Jaksa.

 

Kesimpulan

Sejalan dengan reformasi lembaga penegak hukum yang gencar dilakukan oleh pemerintah, gaung tentang pentingnya penguatan kejaksaan secara kelembagaan marak diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Beragam isu seperti kedudukan kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan, penerapan asas single prosecution system, maupun konfigurasi hubungan antara fungsi penuntutan dengan subsistem peradilan pidana lainnya telah dibahas begitu panjang di dalam forum akademik in casu berkaitan dengan sistem peradilan pidana.�

�� Dalam kaitannya dengan kejaksaan selaku lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melaksanakan fungsi penuntutan, kejaksaan juga berproses untuk meningkatkan serta membenahi kualitas maupun alur penanganan perkara di kejaksaan.� Salah satu permasalahan di dalam kejaksaan adalah bahwa lembaga Adyaksa ini hingga saat ini belum memiliki Jaksa Agung Muda Pidana Militer (pada saat penelitian ini ditulis, Presiden Joko Widodo telah membentuk Jaksa Agung Muda Pidana Militer dalam Perpres 15 Tahun 2021, namun belum sampai pada pembentukan satuan kerja nya secara resmi).

�� Selama ini ketiadaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer menjadi permasalahan yang cukup vital sebab kejaksaan adalah bagian dari sistem peradilan pidana yang juga berfungsi dalam menangani pidana yang dilakukan oleh militer sebagaimana lembaga yudikatif yang diambil oleh Pengadilan Militer. Namun permasalahannya adalah tidak seperti kekuasaan kehakiman dimana kekuasaan kehakiman meliputi peradilan umum, agama, tata usaha negara dan militer yang hierarkinya jelas sampai Mahkamah Agung, hal demikian tidak ditemui di dalam fungsi penuntutan yang seharusnya dimiliki oleh kejaksaan. adanya dualisme penanganan perkara yaitu antara Kejaksaan dengan Orditur Militer dalam hal penanganan perkara pidana militer.

�� Hukum pidana umum yang berlaku bagi setiap orang juga berlaku bagi setiap anggota militer. Jadi apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh tentara tidak diatur dalam KUHP maka yang berlaku adalah ketentuan dalam KUHP maupun perundang-undangan yang lebih khusus. Anggota tentara yang melakukan tindak pidana haruslah mendapatkan hukuman yang lebih berat dari warga sipil. Namun dalam hal penanganan perkara tindak pidana militer in casu kewenangan menuntut, masih terdapat tumpang tindih antara kejaksaan dan oditurat militer yang secara organisasi berada di bawah Markas Besar TNI. Maka untuk menanggulangi situasi tersebut, maka pembentukan Jaksa Agung Muda Pidana Militer dapat menjadi jalan untuk mengintegrasikan fungsi penuntutan yang selama ini ditangani oleh Militer dan juga Kejaksaan. Dengan hadirnya Jaksa Agung Muda Pidana Militer dapat mengurangi adanya dualisme lembaga penuntutan dalam penanganan perkara pidana mi litewr di Indonesia. Bahwa kehadiran Jaksa Agung Muda Pidana Militer berfungsi sebagai jembatan penghubung antara Jaksa Agung dengan Panglima TNI untuk lebih meningkatkan koordinasi dalam penanganan tindak pidana militer.

 

 

 

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Barda Nawawi Arief, S. H. (2016). Bunga rampai kebijakan hukum pidana. Prenada Media. Google Scholar

 

Diantha, I. Made Pasek, & SH, M. S. (2016). Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum. Prenada Media. Google Scholar

 

Kanter, E. Y., & Sianturi, S. R. (2002). Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya. Storia Grafika. Google Scholar

 

Kusuma, Indah Ayu Prajna Santi. (2021). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Formulate Share Listen Create Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas Vii B SMP Negeri 7 Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha. Google Scholar

 

Maringka, Jan S. (2019). Reformasi kejaksaan dalam sistem hukum nasional. Sinar Grafika. Google Scholar

 

Muchtar, Henni. (2015). Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan Hak Asasi Manusia. Humanus, 14(1), 80�91. Google Scholar

 

Muladi, & Arief, Barda Nawawi. (2002). Teori-teori dan kebijakan pidana. Alumni.

 

Putra, Nugraha Dwi. (2017). The History of Mentoring Word. Artikel Dari Http://Www. Mentoringindonesia. Com. Google Scholar

 

Ramadhani, Astutiningsih Trias, & Setyawan, Yoga. (2016). Upaya Hukum Oditur Militer Terhadap Pengadilan Militer I-05 Pontianak yang Membebaskan Terdakwa Tindak Pidana Militer. Verstek, 4(1). Google Scholar

 

Romli Atmasasmita. (2011). Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum. Bandung.: Mandar Maju. Google Scholar

 

Soebagijo, Hari. (2011). Kebijakan Hukum Pidana dalam Pemeriksaan terhadap Prajurit TNI Pelaku Tindak Pidana Umum. LAW REFORM, 7(1), 21�49. Google Scholar

 

Soerjono Soekanto. (2019). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Google Scholar

 

Syahrin, Alvi. (2016). Demi keadilan: antologi hukum pidana dan sistem peradilan pidana: enam dasawarsa Harkristuti Harkrisnowo. Pustaka Kemang. Google Scholar

 

Waskito, Achmad Budi. (2018). Implementasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Integrasi. Jurnal Daulat Hukum, 1(1), 287�304. Google Scholar

 

Waskito, Achmad Budi. (2018). Implementasi Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Integrasi. Jurnal Daulat Hukum, 1(1). Google Scholar

 

Copyright holder:

Dimas Pranowo (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: