Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 11, November 2021

�

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK, PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK (PSN) 3M PLUS DAN KEBERADAAN VEKTOR TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

 

Henny Pebrianti, Ilham, Ummi Kalsum

Universitas Jambi, Indonesia

Email:� [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia, tidak terkecuali Indonesia. Sampai saat ini belum ada obat DBD yang spesifik. Cara yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan menghindari atau mencegah gigitan nyamuk penular DBD melalui Pemberantsan Sarang Nyamuk (PSN). Provinsi Jambi pada tahun 2019 menduduki peringkat ke-15 dari 34 Provinsi di Indonesia dengan incidence rate lebih besar dari angka Nasional yaitu sebesar 63,4 per 100.000 penduduk (IR Nasional = 51,48 per 100.000 penduduk). Sedangkan angka kematian DBD yang diukur dengan Case Fatality Rate (CFR) dapat ditekan kurang dari 1% yaitu sebesar 0,74% (lebih besar dari CFR Nasional = 0,67%). Tujuan Penelitian ini adalah menganalisis hubungan lingkungan fisik, perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus dan hubungan Keberadaan vektor serta menentukan faktor dominan yang mempengaruhi kejadian DBD di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi. Penelitian ini menggunakan desain case control. Jumlah sampel kasus sebanyak 66 dengan perbandingan 1:1 untuk kelompok kasus dan kontrol, maka jumlah sampel pada penelitian ini adalah 132. Penelitian dilakukan di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi tahun 2021. Data dianalisis menggunakan chi-square test, multivariate regresi logistic ganda, keeratan hubungan dengan Odds Ratio. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna secara statistik faktor lingkungan (suhu & kelembaban) terhadap kejadian DBD dan faktor dominan penyebab terjadinya DBD adalah perilaku tidak menggunakan kelambu saat tidur, dimana responden dan seluruh anggota keluarga yang tidak menggunakan kelambu pada saat tidur siang berisiko 9,51 kali lebih besar terkena DBD dibandingkan responden dan seluruh anggota keluarga yang menggunakan kelambu pada saat tidur siang.

 

Kata Kunci: kejadian DBD; lingkungan fisik; perilaku PSN; vektor

 

Abstract

Dengue hemorrhagic fever is still a global public health problem, including Indonesia. Until now, there is no specific cure for dengue fever. The way that can be done now is to avoid or prevent mosquito bites that transmit dengue through Mosquito Nests (PSN). Jambi Province in 2019 was ranked 15th out of 34 Provinces in Indonesia with an incidence rate greater than the National figure, which was 63.4 per 100,000 population (National IR = 51.48 per 100,000 population). Meanwhile, the DHF mortality rate as measured by the Case Fatality Rate (CFR) can be reduced to less than 1%, which is 0.74% (greater than the National CFR = 0.67%). The purpose of this study was to analyze the relationship between the physical environment, the behavior of mosquito nest eradication (PSN) 3M Plus and the relationship between the existence of vectors and to determine the dominant factors that influence the incidence of DHF in Paal Merah District, Jambi City. This study used a case control design. The number of case samples was 66 with a ratio of 1: 1 for the case and control groups, so the number of samples in this study was 132. The study was conducted in Paal Merah District, Jambi City in 2021. Data were analyzed using chi-square test, multivariate multiple logistic regression, closeness. relationship with Odds Ratio. The results showed that there was a statistically significant relationship between environmental factors (temperature & humidity) on the incidence of DHF and the dominant factor causing dengue fever was the behavior of not using a mosquito net while sleeping, where respondents and all family members who did not use a mosquito net during nap had a risk of 9,51 times more dengue fever than respondents and all family members who use a mosquito net at nap time.

 

Keywords:� DHF incidence; physical environment; PSN; behavior; vector.

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-18

 

Pendahuluan

Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia terutama di wilayah tropis dan subtropis, tidak terkecuali Indonesia sebagai salah satu negara endemis DBD. Menurut Data WHO, Asia Pasifik menanggung 75% dari beban dengue di dunia, sementara Indonesia dilaporkan sebagai Negara ke-2 dengan kasus DBD terbesar diantara 30 negara wilayah endemis (Pertiwi, 2014).

Mewabahnya penyakit demam berdarah di seluruh Indonesia akhir-akhir ini bukan hanya disebabkan oleh sikap dan pola hidup yang tidak higienis, namun dipicu oleh pemanasan global yang turut memicu pertumbuhan nyamuk yang menjadi kebal (resisten) terhadap insektisida. Hal ini dikarenakan adanya perubahan Bionomik pada nyamuk akibat adaptasi dengan lingkungan dan mobilitas penduduk yang tinggi (Anies, 2015).

Kejadian Luar Biasa DBD terjadi hampir setiap tahun di tempat yang berbeda dan kejadiannya sulit diduga, diperkirakan akan masih cenderung meningkat dan meluas sebarannya. Hal ini karena vektor penular DBD tersebar luas baik di tempat pemukiman maupun ditempat umum. Selain itu kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, urbanisasi yang semakin meningkat terutama sejak 3 dekade yang terakhir. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyebar luasan DBD antara lain adalah: perilaku masyarakat, perubahan iklim (climate change) global, pertumbuhan ekonomi, ketersediaan air bersih.

Provinsi Jambi pada tahun 2019 menduduki peringkat ke-15 dari 34 Provinsi di Indonesia dengan incidence rate lebih besar dari angka Nasional yaitu sebesar 63,4 per 100.000 penduduk (IR Nasional = 51,53 per 100.000 penduduk). Sedangkan angka kematian DBD yang diukur dengan Case Fatality Rate (CFR) dapat ditekan kurang dari 1% yaitu sebesar 0,74% (lebih besar dari CFR Nasional = 0,67%). Dari 11 kabupaten/kota endemis yang ada di Provinsi Jambi, Kota Jambi selalu� dengan angka insiden DBD tertinggi dan dalam 3 tahun terakhir cenderung meningkat bermakna dengan Incidence Rate DBD Tahun 2019 sebesar 113,28 per 100.000 penduduk, tahun 2018 = 36,09 per 100.000 penduduk dan tahun 2017= 18,31 per 100.000 penduduk. (Jambi, 2020). Dari 11 kecamatan di Kota Jambi terlihat bahwa seluruhnya merupakan daerah endemis DBD dan angka kesakitan yang diukur dengan incidence rate serta angka kematian yang diukur dengan case fatality rate sangat fluktuatif. Namun� penyumbang kasus dan kematian DBD tertinggi yaitu Kecamatan Paal Merah, dengan jumlah kasus sebanyak 140 kasus dan 2 kematian (incidence rate = 132, 46 per 100.000 penduduk dan CFR = 1,4%) (Sylviarni, 2021).

Sampai saat ini belum ada obat atau vaksin pencegah DBD yang spesifik, tetapi bila pasien berobat dini, dan mendapat penatalaksanaan yang adekuat, umumnya kasus-kasus penyakit ini dapat diselamatkan. Cara yang dapat dilakukan saat ini dengan menghindari atau mencegah gigitan nyamuk penular DBD. Oleh karena itu upaya pengendalian DBD yang penting pada saat ini adalah melalui upaya pengendalian nyamuk penular dan upaya membatasi kematian karena DBD (Kemenkes, 2016).�

Penyakit DBD dalam penularannya dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu manusia (host), virus (agent) dan lingkungan (enviroment). Faktor lingkungan merupakan faktor terpenting dalam infeksi DBD terutama dalam perkembangan dan persebaran vektor nyamuk Aedes aegypti. Faktor manusia (host) juga memiliki peran dalam infeksi DBD, yaitu perilaku. Salah satu domain perilaku adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di wilayah Kecamatan Paal Merah Kota Jambi juga masih tergolong rendah. Hal tersebut didukung dengan belum tercapainya target Angka Bebas Jentik (ABJ) sebesar 95% pada semua kelurahan yang menjadi wilayah Kecamatan Paal Merah (Jambi, 2020). Pemerintah kota Jambi telah melakukan upaya untuk membatasi penyebaran penyakit DBD seperti PSN 3M Plus yang terus menerus, pengasapan (fogging) dan larvasidasi dan kegiatan Pemantauan Jentik secara berkala, namun angka kejadian DBD tetap meningkat dan cenderung meluas. Peneliti menduga adanya hubungan lingkungan fisik (Suhu, kelembaban dan kepadatan hunian), kurang efektifnya perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus yang telah dilakukan untuk memutus mata rantai penularan DBD� serta keberadaan vektor� (resting and breeding places) yang potensial, sehingga penting untuk melakukan penelitian dalam menemukan model pencegahan DBD yang efektif dalam memutus mata rantai penularan DBD di Kota Jambi, maka penulis penting untuk menganalisis hubungan faktor lingkungan fisik, perilaku PSN DBD 3M Plus dan Keberadaan Vektor terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi.

Penelitian tentang DBD telah banyak dilakukan, faktor yang mempengaruhi DBD menurut para peneliti sebelumnya adalah iklim, perilaku, kepadatan penduduk, mobilitas, kepadatan jentik, ABJ, kepadatan rumah, mobilitas dan PSN 3M, seperti penelitian yang dilakukan Novita Dian Rahmawati, et.al, 2015 dan penelitian lain oleh Winarsih tahun 2013 menyatakan bahwa ada hubungan antara keberadaan barang bekas, luas ventilasi rumah, menguras tempat penampungan air, mengubur barang bekas, dan menabur bubuk Abate pada tempat penampungan air dengan kejadian Demam Berdarah Dengue. Tidak ada hubungan antara keberadaan tanaman hias, kelembaban rumah, dan menutup tempat penampungan air dengan kejadian Demam Berdarah Dengue. Masih banyak penelitian lain tentang faktor yang membengaruhi kejadian DBD, namun penelitian ini dirancang untuk menganalisis keeratan hubungan dengan odds ratio faktor lingkungan terhadap kejadian DBD dan faktor dominan penyebab terjadinya DBD serta menggunakan desain penelitian retrospektif pada kelompok kasus dan kelompok kontrol (case control).

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah: 1). Menganalisis hubungan faktor lingkungan fisik (Suhu, kelembaban, kepadatan hunian) terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi; 2). Menganalisis hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M (Menguras dan menyikat tempat penampungan air, Menutup rapat tempat penampungan air, Mendaur ulang/menyingkirkan/ memanfaatkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat perindukan jentik Aedes) terhadap kejadian DBD di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi; 3). Menganalisis hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Plus (Pemberian larvasida pada tempat penampungan air, Menggunakan repellent/obat anti nyamuk, tidak menggunakan Kelambu saat tidur, Menanam tanaman anti nyamuk, Menggantung Pakaian, Memelihara ikan pemakan jentik) terhadap kejadian DBD di DBD di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi; 4). Menganalisis hubungan hubungan Keberadaan vektor (Container Index) terhadap kejadian DBD di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi dan menganalisis faktor apakah yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan rancangan penelitian survei analitik Case Control (kasus kontrol). Penelitian �Case Control� adalah suatu penelitian (survey) analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan "retrospektif� (Yetti & Wandira, 2015).�

Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Paal Merah� yang menderita demam berdarah dengue tahun 2020 maupun tidak. Sampel kasus adalah Penderita DBD yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota Jambi yang ada di wilayah Kecamatan Paal Merah Kota Jambi pada bulan Maret sampai dengan bulan Desember tahun 2020 yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 66 penderita. Sampel kontrol adalah orang bukan penderita DBD yang ada di wilayah Kecamatan Paal Merah Kota Jambi yang diambil secara acak dengan teknik neighboardhood (lingkungan sekitar tetangga). Penelitian ini menggunakan perbandingan jumlah kasus dan kontrol sebesar 1 : 1, dimana sampel kasus 66, sampel kontrol 66. Dengan demikian jumlah seluruh sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah 132 sampel.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan pengukuran. Pengukuran yang dilakukan yaitu pengukuran Suhu dan kelembaban di dalam rumah menggunakan Thermohygrometer serta pengukuran luas lantai rumah responden menggunakan meteran laser digital.

Data yang diperoleh akan di analisis dengan� menggunakan langkah - langkah sebagai berikut:

1.    Analisis Univariate

Analisa univariat bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari setiap variabel penelitian, baik variabel bebas maupun variabel terikat (Kejadian DBD).

2.    Analisis Bivariate

Analisis� ini dilakukan terhadap dua variabel yaitu variabel bebas (indipenden) dengan yang terikat (dependen) yang di duga memiliki hubungan yang bermakna. Uji statistik yang digunakan adalah uji �Chi Square�� dan untuk melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik digunakan batas kemaknaan 5% (0,05) dan menghitung Odds Ratio (faktor risiko) angka kejadian penyakit pada kelompok terpapar risiko (kasus) dibanding angka kejadian penyakit pada kelompok yang tidak terpapar faktor risiko (kontrol).

3.    Analisis Multivariate

Analisis ini dilakukan terhadap seluruh variabel bebas, untuk mengetahui mana diantara tiga belas variabel bebas tersebut yang mempunyai hubungan yang paling kuat diantara variabel-variabel bebas tersebut. Uji statistik yang digunakan Uji Regresi Logistik Ganda. Adapun tahapan analisis adalah sebagaai berikut:

a.    Pemilihan Kandidat Multivariate (seleksi pemodelan multivariate)

b.    Pemodelan Multivariate

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Gambaran Umum Kota Jambi dan Kecamatan Paal Merah

1.    Geografis

Kota Jambi merupakan pusat wilayah dan Ibukota dari Propinsi Jambi, secara geografis terletak pada koordinat 01��6�40� sampai dengan 103�� 29�31� Lintang Selatan dan 103��41�01 Bujur Timur. Sedangkan secara administrasi wilayah kota Jambi terletak dikelilingi oleh Kabupaten Muaro Jambi, Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sekernan, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mestong, Sebelah Barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Jambi Luar Kota dan Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kumpeh Ulu.

Dilihat dari topografinya, Kota Jambi relatif datar dengan ketinggian 0-60 meter diatas permukaan laut. Bagian bergelombang terdapat di utara dan selatan kota, sedangkan daerah rawa terdapat di sekitar aliran Sungai Batanghari, yang merupakan sungai terpanjang di pulau Sumatera dengan panjang keseluruhan lebih kurang 1.700 km, dari Danau Atas - Danau Bawah (Sumatera Barat) menuju Selat Berhala (11 km yang berada di wilayah Kota Jambi) dengan kelebaran lebih kurang 500 m. Sungai Batanghari membelah Kota Jambi menjadi dua bagian disisi utara dan selatannya.Kota Jambi berada pada ketinggian rata-rata 10 sampai 60 meter di atas permukaan laut (Jambi, 2020).

Kecamatan Paal Merah merupakan salah satu kecamatan dari 11 kecamatan yang ada di Kota Jambi. Menurut BPS Kota Jambi (2020), letak Kecamatan Paal Merah berada di sisi selatan Kota Jambi, dengan ketinggian rata-rata 12 m dari permukaan laut. Kecamatan Paal Merah sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Jambi Timur, sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kota Baru. Keadaan wilayah Kecamatan Paal Merah dengan luas 280,05 Km2 dan terdiri dari 5 Kelurahan, yaitu:

a.    Kelurahan Paal Merah, dengan luas 51 Km2 (18,21% dari luas kecamatan)

b.    Keluarahan Talang Bakung, dengan luas 86,4 Km2 (30,85% dari luas kecamatan)

c.    Kelurahan Eka Jaya, dengan luas 80,73 Km2 (28,83% dari luas kecamatan)

d.    Kelurahan Lingkar Selatan, dengan luas 17,2 Km2 (6,14% dari luas kecamatan)

e.    Kelurahan Payo Selincah, dengan luas 44,72 Km2 (15,97% dari luas kecamatan)

2.    Demografi

Kota Jambi terdiri dari 11 Kecamatan dan 62 Kelurahan , dengan jumlah penduduk sebesar� 609.620 jiwa, terdiri atas 309.456 jiwa penduduk laki-laki dan 300.164 jiwa penduduk perempuan, sedangkan kepadatan penduduk Kota Jambi sebesar 2.965 jiwa/km2, dengan rincian dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini :

 

Tabel 1

Luas Wilayah Per Kecamatan Kota Jambi Tahun 2019

 

No.

 

Kecamatan

Luas Wilayah (km2)

Jumlah Kelurahan

Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk (per km2)

1.

Telanaipura

22,5

6

51.835

2302,75

2.

Jambi Timur

15,9

9

72.930

4575,28

3.

Jambi Selatan

11,4

5

59.872

5247,33

4.

Danau Teluk

15,7

5

10.037

830,38

5.

Pelayangan

15,3

6

14.081

920,93

6.

Pasar

4,0

4

13.906

3459,20

7.

Kota Baru

36,1

5

76.177

2109,58

8.

Jelutung

7,9

7

62.796

7928,79

9.

Danau Sipin

7,9

5

50.222

6373,35

10.

Paal Merah

27,1

5

97.817

3605,49

11.

Alam Barajo

41,7

5

96.947

2326,54

 

Jumlah

205,6

62

609,620

2.965

Sumber: BPS Kota Jambi

 

Sedangkan Kecamatan Paal Merah yang terdiri dari 5 Kelurahan dengan jumlah penduduk sebesar 91.383 Jiwa (Laki-laki = 46215 Jiwa dan Perempuan = 45168 Jiwa), dengan kepadatan penduduk di Kecamatan Paal Merah tahun 2019 sebesar 22.231 per Km2, dengan rincian dapat dilihat pada tabel 2 dibawah:

 

Tabel 2

Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Per Kelurahan di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi Tahun 2019

 

No.

 

Kelurahan

 

Penduduk

Luas Wilayah Area (Km2)

Kepadatan Penduduk (per km2)

1.

Paal Merah

13954

5,38

2594

2.

Talang Bakung

25037

6,84

3660

3.

Lingkar Selatan

18123

1,71

10598

4.

Eka Jaya

20951

8,73

2399

5.

Payo Selincah

13318

4,47

2979

 

Jumlah

91383

27,13

22231

Sumber : BPS Kota Jambi

 

B.  Gambaran Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Responden

 

Tabel 3

Distribusi Karakteristik Responden di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi Tahun 2021 (n=132)

Karakteristik

Kasus

Kontrol

Total

Persentase

n

%

n

%

 

 

Umur

 

 

 

 

 

 

0-5 tahun

10

15,2

1

1,5

11

8,3

6-11 tahun

17

25,8

9

13,6

26

19,7

12-16 tahun

13

19,7

14

21,2

27

20,5

17-25 tahun

10

15,2

25

37,9

35

26,5

26-35 tahun

14

21,2

11

16,7

25

18,9

36-45 tahun

2

3,0

6

9,1

8

6,1

Jenis Kelamin

 

 

 

 

 

 

Laki-laki

33

50,0

29

43,9

62

47,0

Perempuan

33

50,0

37

56,1

70

53,0

Agama

 

 

 

 

 

 

Islam

62

93,9

66

100

128

97,0

Kristen

4

6,1

0

0,0

4

3,0

Pendidikan

 

 

 

 

 

 

Rendah

39

59,1

25

37,9

64

48,5

Tinggi

27

40,9

41

62,1

68

51,5

Penghasilan

 

 

 

 

 

 

Rendah

25

37,9

33

50,0

58

43,9

Tinggi

41

62,1

33

50,0

74

56,1

Sumber : Data Primer Diolah, 2021

 

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden sampel berumur 17 � 25 tahun berjumlah 35 orang (26,5%) dan paling sedikit yang berumur 36-45 tahun berjumlah 8 orang (6,1%). Sebagian besar responden adalah dengan jenis kelamin perempuan (53%) dan mayoritas beragama Islam (97%). Untuk kategori pendidikan responden sebagian besar pendidikan tinggi (51,5%) dan untuk kategori penghasilan sebagian besar responden memiliki penghasilan tinggi (56,1). Namun pada kasus mayoritas responden dengan pendidikan rendah (59,1%).

Sedangkan distribusi responden menurut karakteristik lingkungan fisik rumah di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi dapat dilihat pada tabel 4 di bawah :

 

Tabel 4

Distribusi Responden Menurut Karakteristik Umur, Lingkungan Fisik Rumah dan Container Index di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi Tahun 2021 (n=132)

Karakteristik

Min-Max

Mean (95% CI)

SD

Median

Umur�

2,00-44,00

18,60 (16,83-20,37)

10,26

17,00

Pengukuran Lingkungan Fisik Rumah

Suhu

 

 

 

 

Suhu Ruang Tamu (�C)

20,60-35,70

26,94 (26,56-27,32)

2,20

26,60

Suhu Ruang Keluarga (�C)

19,20-33,90

26,74 (26,36-27,13)

2,25

26,40

Suhu Kamar Tidur (�C)

19,00-35,50

26,39 (26,00-26,78)

2,27

26,20

Suhu Rumah (�C)

19,60-34,47

26,69 (26,33-27,06)

2,12

26,43

Kelembaban

 

 

 

 

Kelembaban Ruang Tamu (%)

52,80-96,00

72,82 (71,09-74,56)

10,08

72,05

Kelembaban Ruang Keluarga (%)

50,80-96,00

69,97 (67,96-71,99)

11,69

68,10

Kelembaban Kamar Tidur (%)

47,80-99,00

68,98 (66,93-71,03)

11,92

68,10

Kelembaban Rumah (%)

50,47-96,33

70,59 (68,70-72,49)

11,01

69,43

Luas Lantai

 

 

 

 

Luas Lantai Ruang Tamu (%)

9,00-42,30

24,76 (22,99-26,52)

10,25

24,00

Luas Lantai Ruang Keluarga (%)

3,00-48,00

13,10 (11,86-14,34)

7,22

11,50

Luas Lantai Kamar Tidur (%)

3,30-20,20

12,39 (11,76-13,02)

3,66

12,00

Luas Lantai Rumah (%)

6,97-33,33

16,75 (15,96-17,54)

4,58

16,36

Jumlah Penghuni (orang)

1,00-6,00

3,77 (3,57-3,96)

1,14

4,00

Kepadatan hunian (m2/orang)

1,49-16,33

5,02 (4,60-5,44)

2,44

4,46

Jumlah container yang diperiksa

2,00-8,00

5,02 (4,79-5,24)

1,31

5,00

Container Index (%)

0,00-100,00

26,86 (22,97-30,76)

22,60

25,00

Sumber : Data Primer Diolah, 2021

 

Tabel di atas memperlihatkan bahwa terkait hasil pengukuran lingkungan fisik rumah diperoleh rata-rata suhu rumah hampir 27�C dengan suhu minimum hampir 20�C dan suhu maksimum 34�C. Selanjutnya, rata-rata kelembaban rumah sebesar 71% dan luas lantai rumah sebesar 17%. Rata-rata jumlah penghuni sebanyak empat orang dengan kepadatan hunian lima meter persegi per orang. Selain itu, rata-rata jumlah container yang diperiksa sebanyak lima container dengan container index sebesar 27%.

 

 

C.  Hubungan Lingkungan Fisik, Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk 3M Plus dan Keberadaan Vektor dengan Kejadian DBD

 

 

Tabel 5

Hubungan Lingkungan Fisik, Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk 3M Plus dan Keberadaan Vektor dengan Kejadian DBD di Kota Jambi Tahun 2021 (n=132)

Variabel

Kasus

Kontrol

Total

OR (95% CI)

P-Value

n

%

N

%

n

%

A.Faktor Lingkungan Fisik :

Suhu

 

 

 

 

 

Memenuhi syarat optimum

37

56,1

53

80,3

90

68,2

0,31 (0,144-0,681)

0,005*

Tidak memenuhi syarat optimum

29

43,9

13

19,7

42

31,8

 

 

Kelembaban Udara�

 

 

 

 

 

 

 

 

Memenuhi syarat optimum

47

71,2

59

89,4

106

80,3

0,29 (0,114-0,757)

0,016*

Tidak memenuhi syarat optimum

19

28,8

7

10,6

26

19,7

 

 

Kepadatan Penghuni

 

 

 

 

 

 

 

 

Padat

4

6,1

7

10,6

11

8,3

0,54 (0,151-1,954)

0,529

Tidak Padat

62

93,9

59

89,4

121

91,7

 

 

B. Perilaku PSN 3M :

Menguras dan menyikat TPA

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak Baik

46

69,7

46

69,7

92

69,7

1,00 (0,476-2,101)

1,000

Baik

20

30,3

20

30,3

40

30,3

 

 

Menutup rapat TPA

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak Baik

23

34,8

21

31,8

44

33,3

1,14 (0,555-2,365)

0,854

Baik

43

65,2

45

68,2

88

66,7

 

 

Mendaur ulang/menyingkirkan/memanfaatkan barang-barang bekas

Tidak Baik

6

9,1

4

6,1

10

7,6

1,55 (0,417-5,768)

0,742

Baik

60

90,9

62

93,9

122

92,4

 

 

C. Perilaku PSN PLUS :

Pemberian Larvasida pada TPA

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak Baik

48

72,7

56

84,8

104

78,8

0,47 (0,201-1,130)

0,136

Baik

18

27,3

10

15,2

28

21,2

 

 

Penggunaan repellent/obat anti nyamuk

Tidak Baik

36

54,5

31

47,0

67

50,8

1,35 (0,683-2,686)

0,486

Baik

30

45,5

35

53,0

65

49,2

 

 

Penggunaan kelambu saat tidur�

Tidak Baik

57

86,4

55

83,3

112

84,8

1,26 (0,487-3,294)

0,808

Baik

9

13,6

11

16,7

20

15,2

 

 

Menanam tanaman anti nyamuk�

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak Baik

59

89,4

58

87,9

117

88,6

1,16 (0,396-3,414)

1,000

Baik

7

10,6

8

12,1

15

11,4

 

 

Menggantung Pakaian

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak Baik

58

87,9

58

87,9

116

87,9

1,00 (0,352-2,844)

1,000

Baik

8

12,1

8

12,1

16

12,1

 

 

Memelihara ikan pemakan jentik

Tidak Baik

55

83,3

56

84,8

111

84,1

0,89 (0,351-2,271)

1,000

Baik

11

16,7

10

15,2

21

15,9

 

 

D. Keberadaan Vektor

Container Indeks

 

 

 

 

 

 

 

 

Padat

53

80,3

46

69,7

99

75,0

1,77 (0,795-3,954)

0,228

Tidak Padat

13

19,7

20

30,3

33

25,0

 

 

Sumber : Data Primer Diolah, 2021

 

D.  Faktor Dominan yang Berpengaruh terhadap Kejadian DBD di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi

Hasil analisis dengan uji regresi logistic ganda, model akhir yang terbentuk adalah suhu, kelembaban udara, menguras dan menyikat TPA, menutup rapat TPA,mendaur ulang/menyingkirkan/memanfaatkan barang-barang bekas, pemberian larvasida pada TPA, menggunakan kelambu saat tidur, menggantung pakaian, memelihara ikan pemakan jentik, dan keberadaan vektor. Model yang terdiri dari 10 variabel ini mampu memprediksi terjadinya Demam Berdarah Dengue (DBD) sebesar 65,9% yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 6

Hasil Analisis Multivariate dengan Uji Regresi Logistik Ganda

Variabel

B

POR (95% CI)

P-Value

Omnibus

Overal Percentage

Suhu

-1,92

0,14 (0,052-0,409)

0,000

0,000

65,9

Kelembaban Udara

-1,60

0,20 (0,067-0,597)

0,004

Menguras dan Menyikat TPA

0,21

1,24 (0,516-3,002)

0,627

Menutup Rapat TPA

-0,35

0,70 (0,261-1,887)

0,483

Mendaur ulang/menyingkirkan/memanfaatkan barang-barang bekas

0,37

1,44 (0,255-8,206)

0,676

Pemberian Larvasida pada TPA

-1,77

0,17 (0,046-0,620)

0,007

Tidak Menggunakan kelambu saat tidur

2,25

9,51 (1,946-46,069)

0,005

Menggantung Pakaian

-1,09

0,33 (0,075-1,503)

0,153

Memelihara Ikan Pemakan Jentik

-0,38

0,67 (0,193-2,387)

0,546

Keberadaan Vektor

1,02

2,79 (1,025-7,591)

0,045

�Sumber : Data Primer Diolah, 2021

 

E.   Diskusi

1.    Hubungan Faktor Lingkungan Fisik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu yang memenuhi syarat optimum yang mendukung perkembangbiakan nyamuk penular DBD banyak terdapat pada kelompok kasus (56,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (43,9%) dengan total suhu yang memenuhi syarat optimum yang mendukung perkembangbiakan nyamuk penular DBD (68,2%). Sedangkan hasil analisis terhadap variabel suhu menunjukkan bahwa ada hubungan suhu dengan kejadian DBD, dibuktikan dengan p-value 0,005 dan nilai OR = 0,31 (95% CI =0,144-0,681) artinya responden yang memiliki rumah dengan suhu memenuhi syarat optimum (25-27�C) justru menurunkan risiko untuk terkena DBD dibandingkan dengan responden yang memiliki rumah dengan suhu yang tidak memenuhi syarat optimum (<25�C dan >27�C). Hasil penelitian yang menyatakan ada hubungan suhu terhadap kejadian DBD ini sejalan dengan penelitian (Fitriana & Yudhastuti, 2018) di Kecamatan Sawahan Surabaya. Suhu adalah parameter lingkungan yang penting dalam meningkatkan perkembangbiakan vektor, siklus gonotropik nyamuk, tingkat gigitan, memperpendek periode inkubasi pathogen dan memperpanjang umur nyamuk dewasa. Selain itu, suhu yang lebih tinggi juga meningkatkan tingkat perkembangan larva. Pada nyamuk dewasa, suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan tingkat gigitan nyamuk (biting rate) dan mengurangi waktu yang dibutuhkan virus untuk bereplikasi dalam tubuh nyamuk, yang dikenal sebagai masa inkubasi ekstrinsik virus dengue. Masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh nyamuk yang lebih cepat diimbangi dengan tingkat gigitan nyamuk menjadi lebih sering akan mengakibatkan risiko penularan DBD semakin meningkat pula (Fitriana & Yudhastuti, 2018).

Bahwa rumah responden dengan suhu memenuhi syarat optimum tidak berisiko menurunkan risiko terkena DBD ini berbeda dengan teori yang meyatakan bahwa suhu optimum sekitar 25-27�C perkembangbiakan nyamuk akan meningkat mengakibatkan kasus DBD akan meningkat. Sebagaimana hasil penelitian Upik Kusumawati, peneliti Parasitologi dan Entomologi Kesehatan IPB ternyata menyimpulkan bahwa binatang pembawa agen penyakit terutama nyamuk dan lalat telah beradaptasi sedemikian rupa terhadap lingkungan, sehingga kemampuan bertahan hidupnya semakin tinggi. Aedes aegypti adalah nyamuk yang mudah beradaptasi dengan baik, Jika suhu meningkat, nyamuk dapat hidup lebih aktif dan menularkan virus DBD dengan lebih cepat (Ismanto, 2010). Nyamuk adalah binatang berdarah dingin sehingga proses metabolisme dan siklus hidupnya bergantung pada suhu lingkungan. Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah (10�C) tetapi proses metabolismenya menurun bahkan terhenti bila suhu turun mencapai suhu kritis (4,5�C). Pada suhu yang lebih tinggi dari 35�C juga mengalami keterbatasan proses fisiologis. Suhu rata-rata untuk pertumbuhan nyamuk adalah 20�C�30�C (Yudhastuti, 2011).

Selanjutnya rumah responden dengan kelembaban udara memenuhi syarat optimum yang mendukung perkembangbiakan nyamuk penular DBD banyak terdapat pada kelompok kasus (71,2%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (28,8%) dengan total kelembaban yang memenuhi syarat optimum yang mendukung perkembangbiakan nyamuk penular DBD (80,3%). Hasil analisis membuktikan bahwa ada hubungan kelembaban udara dengan kejadian DBD, dibuktikan dengan p-value 0,016 dan nilai OR sebesar 0,29 (95%CI= 0,114-0,757) artinya responden dengan kelembaban udara memenuhi syarat optimum menurunkan risiko untuk terkena DBD dibandingkan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat optimum. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Rianasari, Suhartono, & Dharminto, 2016) dan (Wirayoga, 2013) di Kelurahan Mustikajaya Kota Bekasi ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian DBD yang didapatkan p-value = 0,037.

Untuk nilai OR yang tidak mendukung sebagai faktor risiko dapat dijelaskan bahwa sebagaimana hasil penelitian Upik Kusumawati, peneliti Parasitologi dan Entomologi Kesehatan IPB yang menyatakan bahwa binatang pembawa agen penyakit terutama nyamuk dan lalat telah beradaptasi sedemikian rupa terhadap lingkungan, sehingga kemampuan bertahan hidup nyamuk semakin tinggi.

Berdasarkan data hasil penelitian pada tabel 4 terlihat bahwa untuk kepadatan hunian pada kategori tidak padat pada kelompok kasus sebesar 93,9& dan pada kelompok kontrol sebesar 89.4%. Hasil perhitungan hubungan antara kepadatan penghuni dengan kejadian DBD diperoleh nilai p (probability value) = 0,59 dan OR sebesar 0,54 (95%CI = 0,151-1,954) artinya responden dengan kepadatan penghuni dengan kategori padat menurunkan risiko untuk terkena DBD dibandingkan kepadatan pemghuni dengan kategori tidak padat. Hasil penelitian ini sama dengan peneltian (Widiyanto, 2007) di Kota Purwokerto.

2.    Hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)� 3M

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel menguras dan menyikat TPA tidak berisiko untuk terkena DBD dibandingkan responden yang menguras dan menyikat TPA. Selanjutnya, perilaku menutup rapat TPA pada kelompok kasus mayoritas responden memiliki perilaku baik (65,2%) dibandingkan yang tidak baik (34,8%). Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan perilaku menutup rapat TPA dengan kejadian DBD dibuktikan dengan p-value 0,854. Nilai OR pada menutup rapat TPA 1,14 (0,555-2,365) artinya responden yang tidak menutup rapat TPA memiliki risiko 1,14 kali terkena DBD dibandingkan responden yang menutup rapat TPA.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden melakukan tindakan mendaur ulang/menyingkirkan/memanfaatkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan dan menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes (90,9%) dibandingkan yang tidak melakukan Tindakan tersebut (9,1%). Hasil analisis belum terbukti signifikan dengan p-value 0,742 dengan nilai OR 1,55 (0,417-5,768) artinya responden yang tidak melakukan tindakan mendaur ulang/menyingkirkan/memanfaatkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan dan menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes berisiko 1,55 kali terkena DBD dibandingkan responden yang melakukan tindakan tersebut.

3.    Hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) PLUS

Hasil penelitian terhadap variabel pemberian larvasida pada tempat penampungan air menunjukkan bahwa tidak ada hubungan terhadap kejadian demam berdarah dengue, dibuktikan dengan p-value 0,136. Perilaku pemberian larvasida pada tempat penampungan air rumah responden memiliki kasus DBD yang tidak memberikan larvasida pada TPA lebih banyak (72,7%) dibandingkan yang memberikan larvasida pada TPA (27,3%). Nilai OR = 0,47 (95%CI : 0,201-1,130) artinya responden yang tidak memberikan larvasida pada TPA merupakan faktor protektif untuk terkena DBD dibandingkan responden yang memberikan larvasida pada TPA. Hal ini didukung oleh penelitian (Sari & Putri, 2019) di Kecamatan Medan Tembung (p-value = 0,35) dan penelitian (Nasifah & Sukendra, 2021) di Kecamatan Tembalang Kota Semarang (p-value = 0,470)� yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara menabur bubuk abate sebagai larvasida dengan kejadian DBD. Hasil analisis terhadap variabel menggunakan repellent/ obat anti nyamuk� menunjukkan bahwa tidak ada hubungan terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD), dibuktikan dengan p-value 0,486 dan nilai OR = 1,35 (95%CI : 0,683-2,686) artinya risiko responden yang tidak menggunakan repellent/obat anti nyamuk pada pagi sampai sore hari memiliki risiko 1,35 kali terkena DBD dibandingkan responden yang menggunakan repellent/obat anti nyamuk pada pagi sampai sore hari.� Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas kasus tidak menggunakan repellent/obat anti nyamuk pada pagi sampai sore hari (54,5%) dibandingkan yang menggunakan (45,5%).

Hasil penelitian yang sama bahwa tidak ada hubungan menggunakan repellent/ obat anti nyamuk terhadap kejadian DBD bersesuaian dengan penelitian (Kanigia, Cahyono, & Gunawan, 2016) di Kecamatan Purwokerto Timur dan penelitian (Sari & Putri, 2019) di Wilayah Puskesmas Payung Sekaki Kota Pekanbaru dengan p-value sebesar 0,092. Namun hasil penelitian (Zarkasyi, Martini, & Hestiningsih, 2017) menyatakan ada hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk pada usia (6 bulan-14 tahun) dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu didapatkan p-value sebesar 0,003 (p-value < 0,005).

Selanjutnya� proporsi responden yang menggunakan kelambu saat tidur� menunjukkan 86,4% pada kelompok kasus tidak menggunakan kelambu saat tidur dan hanya 13,6% yang menggunakan kelambu, sedangkan proporsi responden kelompok kontrol yang menggunakan kelambu saat tidur hampir sama besar dengan kelompok kasus (84,8%) dan 15,2% responden� pada kelompok kontrol menggunakan kelambu saat tidur. Hasil analisis menunjukkan p- value = 0,808 dengan nilai OR 1,26 (95%CI : 0,487-3,294). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara menggunakan kelambu saat tidur terhadap kejadian DBD, namun dilihat dari Odds Ratio = 1,26� artinya responden yang tidak menggunakan kelambu saat tidur berisiko 1,26 kali terkena DBD dibandingkan responden yang menggunakan kelambu saat tidur. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Zarkasyi et al., 2017) menyatakan bahwa tidak ada hubungan penggunaan kelambu pada usia (6 bulan-14 tahun) dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu dibuktikan dengan p-value sebesar = 0,339. Hasil penelitian ini juga sejalan penelitian yang dilakukan oleh (Muchlis, Ishak, & Ibrahim, 2014), (Mahardika, 2009), dan (Sitio, 2008) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan kelambu dengan kejadian DBD di Makassar, Kendal dan Medan.

Untuk perilaku responden tidak menanam tanaman anti nyamuk lebih banyak (89,4%) dibandingkan yang menanam tanaman anti nyamuk (10,6%). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perilaku menanam tanaman anti nyamuk tidak berhubungan secara signifikan dengan p-value 1,000. Nilai OR 1,16 (95%CI : 0,396-3,414) artinya responden yang tidak menanam tanaman anti nyamuk berisiko 1,16 kali terkena DBD dibandingkan responden yang menanam tanaman anti nyamuk di lingkungan rumah.

Selanjutnya,� proporsi responden yang memiliki kebiasaan menggantung pakaian diluar lemari� lebih banyak pada kelompok kasus (65%) dibanding kelompok control (40%), di mana responden yang memiliki kebiasaan menggantung pakaian berisiko 2,79 kali lebih besar untuk mengalami kejadian DBD dibanding dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan menggantung pakaian. Tidak ditemukan hubungan antara menggantung pakaian dengan kejadian DBD (p-value =1,000). Nilai OR 1,00 (CI 95% : 0,352-2,844) artinya responden yang menggantung pakaian di luar lemari tidak ada pengaruhnya dalam kejadian DBD.

Proporsi responden kelompok kasus sebagian besar tidak memelihara ikan pemakan jentik (83,3%) dibandingkan yang memelihara ikan pemakan jentik (16,7%). Tidak ditemukan hubungan antara memelihara ikan pemakan jentik dengan kejadian DBD (p-value = 1,000). Nilai OR 0,89 (0,351-2,271) artinya responden yang tidak memelihara ikan pemakan jentik menurunkan risiko untuk terkena DBD dibandingkan responden yang memelihara ikan pemakan jentik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara memelihara ikan pemakan jentik dengan kejadian DBD (p=1,000). Berdasarkan pengamatan di lingkungan diketahui responden yang memelihara ikan pemakan jentik umumnya dipelihara sebagai ikan hias dan tidak dimanfaatkan sebagai salah satu metode yang dapat mencegah penyakit DBD. Hal itu tidak sesuai dengan saran Kemenkes RI yang menyatakan bahwa ikan pemakan jentik sebaiknya dipelihara pada tempat penampungan air yang sulit dikuras dan penampungan air yang ukurannya besar sebagai salah satu cara dalam pencegahan penyakit DBD.

Tidak adanya hubungan antara memelihara ikan pemakan jentik dengan kejadian DBD dalam penelitian ini dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti penelitian dilakukan pada musim hujan, Pada musim hujan populasi nyamuk Aedes sp akan

Dari hasil penelitian dapat diringkas bahwa faktor perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) PLUS secara statistik tidak ada yang berhubungan terhadap kejadian DBD, namun dilihat dari nilai OR, maka perilaku PSN PLUS yang memiliki risiko terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue adalah perilaku penggunaan repellent/obat anti nyamuk, perilaku penggunaan kelambu saat tidur pagi sampai sore hari dan menanam tanaman anti nyamuk.

4.    Hubungan Keberadaan Vektor (Container Indeks)

Container Indeks yang diperoleh adalah CI tiap rumah responden, sehingga unit analisisnya adalah individu. Jumlah kontainer yang diperiksa merupakan jumlah kontainer yang berupa tempat penampungan air (TPA) seperti : bak mandi, bak WC, drum, tempayan, ember. Selanjutnya jenis container Non TPA seperti : kaleng bekas, ban bekas, gelas/botol bekas, vas/pot bunga serta habitat alami berupa: tempurung kelapa, pelepah tanaman, lobang pohon. yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan jenis tempat penampungan air yang tidak digunakan untuk keperluan sehari hari bukan tempat penampungan sehari hari dalam setiap rumah.

Pada hasil penelitian ini menunjukkan 80,3% kasus memiliki keberadaan vektor dengan kategori padat lebih banyak dibandingkan dengan kategori tidak padat (19,7%). Tidak ditemukan hubungan antara keberadaan vektor dengan kejadian DBD (p-value = 0,228). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siti (Nasifah & Sukendra, 2021) yang menunjukkan nilai p-value = 0,370, artinya tidak terdapat hubungan antara keberadaan jentik pada TTU dengan kejadian DBD dan penelitian (Restuti, Wahyuningsih, & Hapsari, 2017) dengan nilai p sebesar 0,490 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan Container Index dengan kejadian Demam Berdarah Dengue.

�Nilai OR 1,77 (0,795-3,954) artinya responden dengan keberadaan vektor yang padat berisiko 1,77 kali terkena DBD dibandingkan responden dengan keberadaan vektor tidak padat.

 

Kesimpulan

Bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan fisik (Suhu dan Kelembaban) terhadap kejadian demam berdarah dengue dan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus terhadap kejadian demam berdarah dengue di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi serta faktor dominan yang mempengaruhi kejadian DBD adalah perilaku menggunakan kelambu saat tidur siang, dimana responden dan seluruh anggota keluarga yang tidak menggunakan kelambu pada saat tidur berisiko 9,51 kali lebih besar terkena DBD dibandingkan responden dan seluruh anggota keluarga yang menggunakan kelambu pada saat tidur, sehingga disarankan kepada masyarakat agar menggunakan kelambu saat tidur.

 

 

 

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Anies, A. (2015). Penyakit Berbasis Lingkungan: Berbagai Penyakit Menular & Tidak Menular Yang Disebabkan Oleh Faktor Lingkungan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Google Scholar

 

Fitriana, Bella Rosita, & Yudhastuti, Ririh. (2018). Hubungan faktor suhu dengan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Sawahan Surabaya. The Indonesian Journal of Public Health, 13(1), 83�94. Google Scholar

 

Jambi, Badan Pusat Statistik Kota. (2020). Kota Jambi dalam angka. Jambi: Badan Pusat Statistik Kota Jambi. Google Scholar

 

Kanigia, Taraegi Evani, Cahyono, Tri, & Gunawan, Asep Tata. (2016). Faktor-faktor yang berisiko dengan kejadian demam berdarah dengue di Kecamatan Purwokerto Timur Kabupaten Banyumas Tahun 2016. Buletin Keslingmas, 35(4), 293�300. Google Scholar

 

Kemenkes, RI. (2016). Profil Kesehatan Indonesia 2016. Google Scholar

 

Mahardika, Wahyu. (2009). Hubungan antara perilaku kesehatan dengan Kejadian demam berdarah dengue (dbd) Di wilayah kerja puskesmas cepiring Kecamatan cepiring kabupaten Kendal Tahun 2009. Universitas Negeri Semarang. Google Scholar

 

Muchlis, Sumarni, Ishak, Hasanuddin, & Ibrahim, Erniwati. (2014). Faktor Risiko Upaya Menghindari Gigitan Nyamuk Terhadap Kejadian Dbd Di Puskesmas Pattingalloang Makassar. Google Scholar

 

Nasifah, Siti Lailatin, & Sukendra, Dyah Mahendrasari. (2021). Kondisi Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu. Indonesian Journal of Public Health and Nutrition, 1(1), 62�72. Google Scholar

 

Pertiwi, Dea. (2014). Persyaratan Perencanaan Geoteknik dan keGemPaan. Bandung: Kementerian Pekerjaan Umum Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat ï¿½. Google Scholar

 

Restuti, Christina Tri, Wahyuningsih, Nur Endah, & Hapsari, Hapsari. (2017). Hubungan Container Index dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 5(5), 541�547. Google Scholar

 

Rianasari, Rianasari, Suhartono, Suhartono, & Dharminto, Dharminto. (2016). Hubungan Faktor Risiko Lingkungan Fisik Dan Perilaku Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Mustikajaya Kota Bekasi. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 4(5), 151�159. Google Scholar

 

Sari, Tyagita Widya, & Putri, Retno. (2019). Pemberantasan Sarang Nyamuk 3M Plus terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Payung Sekaki Kota Pekanbaru; Studi Kasus Kontrol. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 3(2), 55�60. Google Scholar

 

Sitio, Anton. (2008). Hubungan Perilaku Tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Kebiasaan Keluarga dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan Tahun 2008. program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Google Scholar

 

Sylviarni, Erika. (2021). Pengaruh Kualitas Pelayanan Kesehatan Terhadap Kepuasan Pasien Lanjut Usia Di Puskesmas Kota Jambi Tahun 2020. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Google Scholar

 

Widiyanto, Teguh. (2007). Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa-Tengah. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Google Scholar

 

Wirayoga, Mustazahid Agfadi. (2013). Hubungan kejadian demam berdarah dengue dengan Iklim di Kota Semarang tahun 2006-2011. Universitas Negeri Semarang. Google Scholar

 

Yetti, O. K., & Wandira, Ayu. (2015). Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Pada Anak Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Di Instalasi Rawat Jalan Rsu Pku Muhammadiyah Delanggu. Cerata Jurnal Ilmu Farmasi, 1(1). Google Scholar

 

Yudhastuti, Ririh. (2011). Pengendalian Vektor dan Rodent. Pustaka Melati. Google Scholar

 

Zarkasyi, Luqman, Martini, Martini, & Hestiningsih, Retno. (2017). Hubungan Faktor Host (Umur 6 Bulan-14 Tahun) Dan Keberadaan Vektor Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Semarang Relationship Of Host Factors (Ages 6 Months-14 Years) And Existence Vector With Dengue Hemorrhagic. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 3(3), 175�185. Google Scholar

 

Copyright holder:

Henny Pebrianti, Ilham, Ummi Kalsum (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: