Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 11, November 2021
�
HUBUNGAN FAKTOR
LINGKUNGAN FISIK, PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK (PSN) 3M PLUS DAN
KEBERADAAN VEKTOR TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
Henny Pebrianti, Ilham, Ummi Kalsum
Universitas Jambi, Indonesia
Email:� [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Demam Berdarah
Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia, tidak terkecuali Indonesia. Sampai saat ini belum
ada obat DBD yang spesifik. Cara yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan
menghindari atau mencegah gigitan nyamuk penular DBD melalui Pemberantsan Sarang Nyamuk (PSN). Provinsi Jambi pada
tahun 2019 menduduki peringkat ke-15 dari 34 Provinsi di Indonesia dengan
incidence rate lebih besar dari angka Nasional yaitu sebesar 63,4 per 100.000 penduduk (IR Nasional = 51,48 per 100.000 penduduk). Sedangkan angka kematian DBD yang diukur dengan Case Fatality
Rate (CFR) dapat ditekan
kurang dari 1% yaitu sebesar 0,74% (lebih besar dari
CFR Nasional = 0,67%). Tujuan Penelitian
ini adalah menganalisis hubungan lingkungan fisik, perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus dan hubungan Keberadaan vektor serta menentukan
faktor dominan yang mempengaruhi kejadian DBD di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi. Penelitian
ini menggunakan desain case control. Jumlah
sampel kasus sebanyak 66 dengan perbandingan 1:1 untuk kelompok kasus dan kontrol, maka jumlah
sampel pada penelitian ini adalah 132. Penelitian dilakukan di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi tahun
2021. Data dianalisis menggunakan
chi-square test, multivariate regresi logistic ganda, keeratan hubungan dengan Odds Ratio. Hasil
penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna
secara statistik faktor lingkungan (suhu & kelembaban) terhadap kejadian DBD dan faktor dominan penyebab terjadinya DBD adalah perilaku tidak menggunakan kelambu saat tidur,
dimana responden dan seluruh anggota keluarga yang tidak menggunakan kelambu pada saat tidur siang
berisiko 9,51 kali lebih besar terkena DBD dibandingkan responden dan seluruh anggota keluarga yang menggunakan kelambu pada saat tidur siang.
Kata Kunci: kejadian DBD; lingkungan fisik; perilaku PSN; vektor
Abstract
Dengue hemorrhagic fever is
still a global public health problem, including Indonesia. Until now, there is
no specific cure for dengue fever. The way that can be done now is to avoid or
prevent mosquito bites that transmit dengue through Mosquito Nests (PSN). Jambi
Province in 2019 was ranked 15th out of 34 Provinces in Indonesia with an
incidence rate greater than the National figure, which was 63.4 per 100,000
population (National IR = 51.48 per 100,000 population). Meanwhile, the DHF
mortality rate as measured by the Case Fatality Rate (CFR) can be reduced to
less than 1%, which is 0.74% (greater than the National CFR = 0.67%). The
purpose of this study was to analyze the relationship between the physical
environment, the behavior of mosquito nest
eradication (PSN) 3M Plus and the relationship between the existence of vectors
and to determine the dominant factors that influence the incidence of DHF in
Paal Merah District, Jambi City. This study used a case control design. The
number of case samples was 66 with a ratio of 1: 1 for the case and control
groups, so the number of samples in this study was 132. The study was conducted
in Paal Merah District, Jambi City in 2021. Data were analyzed using chi-square
test, multivariate multiple logistic regression, closeness. relationship with
Odds Ratio. The results showed that there was a statistically significant
relationship between environmental factors (temperature & humidity) on the
incidence of DHF and the dominant factor causing dengue fever was the behavior
of not using a mosquito net while sleeping, where respondents and all family
members who did not use a mosquito net during nap had a risk of 9,51 times more
dengue fever than respondents and all family members who use a mosquito net at
nap time.
Keywords:� DHF
incidence; physical environment; PSN; behavior; vector.
Received: 2021-10-20; Accepted:
2021-11-05; Published: 2021-11-18
Pendahuluan
Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia terutama di wilayah tropis dan subtropis, tidak terkecuali Indonesia sebagai
salah satu negara endemis
DBD. Menurut Data WHO, Asia Pasifik
menanggung 75% dari beban dengue di dunia, sementara
Indonesia dilaporkan sebagai
Negara ke-2 dengan kasus
DBD terbesar diantara 30
negara wilayah endemis (Pertiwi, 2014).
Mewabahnya penyakit demam berdarah di seluruh Indonesia akhir-akhir ini bukan hanya disebabkan
oleh sikap dan pola hidup yang tidak higienis, namun dipicu oleh pemanasan global yang
turut memicu pertumbuhan nyamuk yang menjadi kebal (resisten) terhadap insektisida. Hal ini dikarenakan adanya perubahan Bionomik pada nyamuk akibat adaptasi
dengan lingkungan dan mobilitas penduduk yang tinggi (Anies, 2015).
Kejadian Luar Biasa DBD terjadi hampir setiap tahun di tempat yang berbeda dan kejadiannya sulit diduga, diperkirakan akan masih cenderung
meningkat dan meluas sebarannya. Hal ini karena vektor penular
DBD tersebar luas baik di tempat pemukiman maupun ditempat umum. Selain itu kepadatan
penduduk, mobilitas penduduk, urbanisasi yang semakin meningkat terutama sejak 3 dekade yang terakhir. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
penyebar luasan DBD antara lain adalah: perilaku masyarakat, perubahan iklim (climate change) global, pertumbuhan ekonomi, ketersediaan air bersih.
Provinsi Jambi pada tahun 2019 menduduki peringkat ke-15 dari 34 Provinsi di Indonesia dengan
incidence rate lebih besar dari angka Nasional yaitu sebesar 63,4 per 100.000 penduduk (IR Nasional = 51,53 per 100.000 penduduk). Sedangkan angka kematian DBD yang diukur dengan Case Fatality Rate (CFR) dapat ditekan kurang
dari 1% yaitu sebesar 0,74% (lebih besar dari CFR Nasional = 0,67%).
Dari 11 kabupaten/kota endemis yang ada di Provinsi Jambi, Kota Jambi selalu� dengan angka insiden DBD tertinggi dan dalam 3 tahun terakhir cenderung meningkat bermakna dengan Incidence Rate DBD
Tahun 2019 sebesar 113,28
per 100.000 penduduk, tahun
2018 = 36,09 per 100.000 penduduk dan tahun 2017= 18,31 per 100.000 penduduk.
(Jambi, 2020). Dari 11 kecamatan di Kota Jambi terlihat bahwa seluruhnya merupakan daerah endemis DBD dan angka kesakitan yang diukur dengan incidence rate
serta angka kematian yang diukur dengan case fatality
rate sangat fluktuatif. Namun� penyumbang kasus dan kematian DBD tertinggi yaitu Kecamatan Paal Merah, dengan jumlah kasus sebanyak
140 kasus dan 2 kematian
(incidence rate = 132, 46 per 100.000 penduduk dan
CFR = 1,4%) (Sylviarni, 2021).
Sampai saat ini belum
ada obat atau vaksin pencegah
DBD yang spesifik, tetapi bila pasien berobat
dini, dan mendapat penatalaksanaan yang adekuat, umumnya kasus-kasus penyakit ini dapat
diselamatkan. Cara yang dapat
dilakukan saat ini dengan menghindari
atau mencegah gigitan nyamuk penular DBD. Oleh karena itu upaya pengendalian
DBD yang penting pada saat ini adalah melalui
upaya pengendalian nyamuk penular dan upaya membatasi kematian karena DBD (Kemenkes, 2016).�
Penyakit DBD dalam penularannya dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu
manusia (host),
virus (agent) dan lingkungan
(enviroment).
Faktor lingkungan merupakan faktor terpenting dalam infeksi DBD terutama dalam perkembangan dan persebaran vektor nyamuk Aedes aegypti. Faktor manusia (host)
juga memiliki peran dalam infeksi DBD, yaitu perilaku. Salah satu domain perilaku adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di wilayah Kecamatan
Paal Merah Kota Jambi juga masih tergolong
rendah. Hal tersebut didukung dengan belum tercapainya target Angka Bebas Jentik (ABJ) sebesar 95% pada semua kelurahan yang menjadi wilayah Kecamatan Paal Merah (Jambi, 2020). Pemerintah kota Jambi telah melakukan upaya untuk membatasi
penyebaran penyakit DBD seperti PSN 3M Plus yang terus menerus, pengasapan (fogging) dan larvasidasi
dan kegiatan Pemantauan Jentik secara berkala,
namun angka kejadian DBD tetap meningkat dan cenderung meluas. Peneliti menduga adanya hubungan lingkungan fisik (Suhu, kelembaban
dan kepadatan hunian), kurang efektifnya perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus yang telah dilakukan untuk memutus mata
rantai penularan DBD� serta keberadaan vektor� (resting
and breeding places) yang potensial, sehingga penting untuk melakukan penelitian dalam menemukan model pencegahan DBD
yang efektif dalam memutus mata rantai
penularan DBD di Kota Jambi, maka
penulis penting untuk menganalisis hubungan faktor lingkungan fisik, perilaku PSN DBD 3M Plus dan Keberadaan
Vektor terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan
Paal Merah Kota Jambi.
Penelitian tentang
DBD telah banyak dilakukan, faktor yang mempengaruhi DBD menurut para peneliti sebelumnya adalah iklim, perilaku,
kepadatan penduduk, mobilitas, kepadatan jentik, ABJ, kepadatan rumah, mobilitas dan PSN 3M, seperti penelitian yang dilakukan Novita
Dian Rahmawati, et.al, 2015 dan penelitian
lain oleh Winarsih tahun
2013 menyatakan bahwa
ada hubungan antara
keberadaan barang bekas,
luas ventilasi rumah, menguras tempat penampungan air, mengubur barang bekas, dan menabur bubuk Abate pada tempat penampungan air dengan kejadian Demam Berdarah Dengue. Tidak ada hubungan antara
keberadaan tanaman hias, kelembaban rumah, dan menutup tempat penampungan air dengan kejadian Demam Berdarah Dengue. Masih banyak penelitian lain tentang faktor yang membengaruhi kejadian DBD, namun penelitian ini dirancang untuk menganalisis keeratan hubungan dengan odds ratio faktor
lingkungan terhadap kejadian DBD dan faktor
dominan penyebab terjadinya DBD serta menggunakan desain penelitian retrospektif pada kelompok kasus dan kelompok kontrol (case control).
Adapun
tujuan dalam penelitian ini adalah: 1). Menganalisis hubungan faktor lingkungan fisik (Suhu, kelembaban, kepadatan hunian) terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue di Kecamatan Paal
Merah Kota Jambi; 2). Menganalisis hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
3M (Menguras dan menyikat tempat penampungan air, Menutup rapat tempat
penampungan air, Mendaur ulang/menyingkirkan/ memanfaatkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat perindukan jentik Aedes) terhadap kejadian DBD di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi; 3). Menganalisis
hubungan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Plus (Pemberian larvasida
pada tempat penampungan
air, Menggunakan repellent/obat
anti nyamuk, tidak menggunakan Kelambu saat tidur, Menanam
tanaman anti nyamuk, Menggantung Pakaian, Memelihara ikan pemakan jentik) terhadap kejadian DBD di DBD di Kecamatan
Paal Merah Kota Jambi; 4). Menganalisis hubungan hubungan Keberadaan vektor (Container Index) terhadap
kejadian DBD di Kecamatan
Paal Merah Kota Jambi dan menganalisis faktor apakah yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi.
Metode Penelitian
Metode
penelitian menggunakan rancangan penelitian survei analitik Case Control (kasus
kontrol). Penelitian �Case
Control� adalah suatu penelitian (survey)
analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan "retrospektif� (Yetti & Wandira, 2015).�
Populasi
penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Paal Merah�
yang menderita demam
berdarah dengue tahun 2020 maupun tidak. Sampel
kasus adalah Penderita DBD yang tercatat di
Dinas Kesehatan Kota Jambi yang ada di wilayah Kecamatan Paal Merah Kota Jambi pada bulan
Maret sampai dengan bulan Desember
tahun 2020 yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 66 penderita. Sampel kontrol adalah orang bukan penderita DBD yang ada di wilayah Kecamatan Paal
Merah Kota Jambi yang diambil secara
acak dengan teknik neighboardhood (lingkungan sekitar tetangga). Penelitian ini menggunakan perbandingan jumlah kasus dan kontrol sebesar 1 : 1, dimana sampel kasus 66, sampel kontrol 66. Dengan demikian jumlah seluruh sampel dalam penelitian
ini adalah sejumlah 132 sampel.
Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan pengukuran. Pengukuran yang dilakukan yaitu pengukuran Suhu dan kelembaban di dalam rumah menggunakan Thermohygrometer serta pengukuran luas lantai rumah responden
menggunakan meteran laser
digital.
Data yang diperoleh
akan di analisis dengan� menggunakan langkah - langkah sebagai berikut:
1.
Analisis
Univariate
Analisa univariat bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari setiap variabel
penelitian, baik variabel bebas maupun variabel terikat (Kejadian DBD).
2.
Analisis
Bivariate
Analisis� ini dilakukan terhadap dua variabel yaitu
variabel bebas (indipenden) dengan yang terikat (dependen) yang di duga memiliki hubungan
yang bermakna. Uji statistik
yang digunakan adalah uji
�Chi Square�� dan untuk
melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik digunakan batas kemaknaan 5% (0,05) dan menghitung Odds Ratio (faktor risiko) angka kejadian
penyakit pada kelompok terpapar risiko (kasus) dibanding angka kejadian penyakit pada kelompok yang tidak terpapar faktor risiko (kontrol).
3.
Analisis
Multivariate
Analisis
ini dilakukan terhadap seluruh variabel bebas, untuk mengetahui mana diantara tiga belas
variabel bebas tersebut yang mempunyai hubungan yang paling kuat diantara variabel-variabel bebas tersebut. Uji statistik yang digunakan Uji Regresi Logistik Ganda. Adapun tahapan analisis adalah sebagaai berikut:
a.
Pemilihan
Kandidat Multivariate (seleksi
pemodelan multivariate)
b.
Pemodelan
Multivariate
Hasil dan Pembahasan
A. Gambaran Umum Kota Jambi dan Kecamatan
Paal Merah
1. Geografis
Kota Jambi merupakan
pusat wilayah dan Ibukota dari Propinsi Jambi, secara geografis terletak pada koordinat 01��6�40�
sampai dengan 103�� 29�31� Lintang Selatan dan 103��41�01 Bujur Timur. Sedangkan secara administrasi wilayah kota Jambi terletak dikelilingi oleh Kabupaten Muaro Jambi, Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sekernan, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mestong, Sebelah Barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Jambi Luar Kota dan Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kumpeh Ulu.
Dilihat dari
topografinya, Kota Jambi relatif
datar dengan ketinggian 0-60 meter diatas permukaan laut. Bagian bergelombang terdapat di utara dan selatan kota, sedangkan daerah rawa terdapat
di sekitar aliran Sungai
Batanghari, yang merupakan sungai
terpanjang di pulau
Sumatera dengan panjang keseluruhan lebih kurang 1.700 km, dari Danau Atas - Danau Bawah
(Sumatera Barat) menuju Selat
Berhala (11 km yang berada
di wilayah Kota Jambi) dengan kelebaran
lebih kurang 500 m. Sungai
Batanghari membelah Kota Jambi menjadi
dua bagian disisi utara dan selatannya.Kota Jambi berada pada
ketinggian rata-rata 10 sampai
60 meter di atas permukaan laut (Jambi, 2020).
Kecamatan Paal Merah merupakan salah satu kecamatan dari 11 kecamatan yang ada di Kota Jambi.
Menurut BPS Kota Jambi (2020), letak
Kecamatan Paal Merah berada
di sisi selatan Kota Jambi,
dengan ketinggian rata-rata
12 m dari permukaan laut. Kecamatan Paal Merah sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Jambi Timur, sebelah Selatan dan Timur berbatasan
dengan Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kota Baru. Keadaan wilayah Kecamatan Paal Merah dengan luas 280,05 Km2 dan terdiri dari 5 Kelurahan, yaitu:
a. Kelurahan Paal Merah, dengan luas 51 Km2 (18,21% dari luas kecamatan)
b. Keluarahan Talang
Bakung, dengan luas 86,4 Km2 (30,85% dari luas kecamatan)
c. Kelurahan Eka Jaya, dengan luas 80,73 Km2 (28,83% dari luas kecamatan)
d. Kelurahan Lingkar
Selatan, dengan luas 17,2
Km2 (6,14% dari luas kecamatan)
e. Kelurahan Payo
Selincah, dengan luas 44,72 Km2 (15,97% dari luas kecamatan)
2. Demografi
Kota Jambi terdiri
dari 11 Kecamatan dan 62 Kelurahan , dengan jumlah penduduk sebesar� 609.620 jiwa, terdiri atas
309.456 jiwa penduduk laki-laki dan 300.164 jiwa penduduk perempuan, sedangkan kepadatan penduduk Kota Jambi sebesar 2.965
jiwa/km2, dengan rincian dapat dilihat
pada tabel 1 dibawah ini :
Tabel 1
Luas Wilayah Per Kecamatan
Kota Jambi Tahun 2019
No. |
Kecamatan |
Luas Wilayah (km2) |
Jumlah Kelurahan |
Jumlah Penduduk |
Kepadatan Penduduk (per km2) |
1. |
Telanaipura |
22,5 |
6 |
51.835 |
2302,75 |
2. |
Jambi Timur |
15,9 |
9 |
72.930 |
4575,28 |
3. |
Jambi Selatan |
11,4 |
5 |
59.872 |
5247,33 |
4. |
Danau Teluk |
15,7 |
5 |
10.037 |
830,38 |
5. |
Pelayangan |
15,3 |
6 |
14.081 |
920,93 |
6. |
Pasar |
4,0 |
4 |
13.906 |
3459,20 |
7. |
Kota Baru |
36,1 |
5 |
76.177 |
2109,58 |
8. |
Jelutung |
7,9 |
7 |
62.796 |
7928,79 |
9. |
Danau Sipin |
7,9 |
5 |
50.222 |
6373,35 |
10. |
Paal Merah |
27,1 |
5 |
97.817 |
3605,49 |
11. |
Alam Barajo |
41,7 |
5 |
96.947 |
2326,54 |
|
Jumlah |
205,6 |
62 |
609,620 |
2.965 |
Sumber: BPS Kota Jambi
Sedangkan Kecamatan
Paal Merah yang terdiri dari
5 Kelurahan dengan jumlah penduduk sebesar 91.383 Jiwa (Laki-laki =
46215 Jiwa dan Perempuan = 45168 Jiwa), dengan kepadatan penduduk di Kecamatan Paal Merah tahun 2019 sebesar 22.231 per Km2, dengan rincian dapat dilihat
pada tabel 2 dibawah:
Tabel 2
Jumlah Penduduk, Luas
Wilayah dan Kepadatan Penduduk
Per Kelurahan di Kecamatan
Paal Merah Kota Jambi Tahun 2019
No. |
Kelurahan |
Penduduk |
Luas Wilayah Area (Km2) |
Kepadatan Penduduk (per km2) |
1. |
Paal Merah |
13954 |
5,38 |
2594 |
2. |
Talang Bakung |
25037 |
6,84 |
3660 |
3. |
Lingkar Selatan |
18123 |
1,71 |
10598 |
4. |
Eka Jaya |
20951 |
8,73 |
2399 |
5. |
Payo Selincah |
13318 |
4,47 |
2979 |
|
Jumlah |
91383 |
27,13 |
22231 |
Sumber : BPS Kota Jambi
B. Gambaran Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Responden
Tabel 3
Distribusi Karakteristik Responden di Kecamatan Paal Merah
Kota Jambi Tahun 2021 (n=132)
Karakteristik |
Kasus |
Kontrol |
Total |
Persentase |
||||
n |
% |
n |
% |
|
|
|||
Umur |
|
|
|
|
|
|
||
0-5 tahun |
10 |
15,2 |
1 |
1,5 |
11 |
8,3 |
||
6-11 tahun |
17 |
25,8 |
9 |
13,6 |
26 |
19,7 |
||
12-16 tahun |
13 |
19,7 |
14 |
21,2 |
27 |
20,5 |
||
17-25 tahun |
10 |
15,2 |
25 |
37,9 |
35 |
26,5 |
||
26-35 tahun |
14 |
21,2 |
11 |
16,7 |
25 |
18,9 |
||
36-45 tahun |
2 |
3,0 |
6 |
9,1 |
8 |
6,1 |
||
Jenis Kelamin |
|
|
|
|
|
|
||
Laki-laki |
33 |
50,0 |
29 |
43,9 |
62 |
47,0 |
||
Perempuan |
33 |
50,0 |
37 |
56,1 |
70 |
53,0 |
||
Agama |
|
|
|
|
|
|
||
Islam |
62 |
93,9 |
66 |
100 |
128 |
97,0 |
||
Kristen |
4 |
6,1 |
0 |
0,0 |
4 |
3,0 |
||
Pendidikan |
|
|
|
|
|
|
||
Rendah |
39 |
59,1 |
25 |
37,9 |
64 |
48,5 |
||
Tinggi |
27 |
40,9 |
41 |
62,1 |
68 |
51,5 |
||
Penghasilan |
|
|
|
|
|
|
||
Rendah |
25 |
37,9 |
33 |
50,0 |
58 |
43,9 |
||
Tinggi |
41 |
62,1 |
33 |
50,0 |
74 |
56,1 |
||
Sumber : Data Primer Diolah, 2021
Pada tabel 3 dapat
dilihat bahwa sebagian besar responden sampel berumur 17 � 25 tahun berjumlah 35 orang (26,5%) dan paling sedikit
yang berumur 36-45 tahun berjumlah 8 orang (6,1%). Sebagian besar
responden adalah dengan jenis kelamin
perempuan (53%) dan mayoritas
beragama Islam (97%). Untuk
kategori pendidikan responden sebagian besar pendidikan tinggi (51,5%) dan untuk kategori penghasilan sebagian besar responden memiliki penghasilan tinggi (56,1). Namun pada kasus mayoritas responden dengan pendidikan rendah (59,1%).
Sedangkan distribusi
responden menurut karakteristik lingkungan fisik rumah di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi dapat
dilihat pada tabel 4 di bawah :
Tabel 4
Distribusi Responden Menurut Karakteristik Umur, Lingkungan Fisik Rumah dan Container Index di
Kecamatan Paal Merah Kota Jambi Tahun
2021 (n=132)
Karakteristik |
Min-Max |
Mean (95% CI) |
SD |
Median |
Umur� |
2,00-44,00 |
18,60 (16,83-20,37) |
10,26 |
17,00 |
Pengukuran Lingkungan Fisik Rumah |
||||
Suhu |
|
|
|
|
Suhu Ruang Tamu (�C) |
20,60-35,70 |
26,94 (26,56-27,32) |
2,20 |
26,60 |
Suhu Ruang Keluarga (�C) |
19,20-33,90 |
26,74 (26,36-27,13) |
2,25 |
26,40 |
Suhu Kamar Tidur (�C) |
19,00-35,50 |
26,39 (26,00-26,78) |
2,27 |
26,20 |
Suhu Rumah (�C) |
19,60-34,47 |
26,69 (26,33-27,06) |
2,12 |
26,43 |
Kelembaban |
|
|
|
|
Kelembaban Ruang Tamu (%) |
52,80-96,00 |
72,82 (71,09-74,56) |
10,08 |
72,05 |
Kelembaban Ruang Keluarga (%) |
50,80-96,00 |
69,97 (67,96-71,99) |
11,69 |
68,10 |
Kelembaban Kamar Tidur (%) |
47,80-99,00 |
68,98 (66,93-71,03) |
11,92 |
68,10 |
Kelembaban Rumah (%) |
50,47-96,33 |
70,59 (68,70-72,49) |
11,01 |
69,43 |
Luas Lantai |
|
|
|
|
Luas Lantai Ruang Tamu (%) |
9,00-42,30 |
24,76 (22,99-26,52) |
10,25 |
24,00 |
Luas Lantai Ruang Keluarga (%) |
3,00-48,00 |
13,10 (11,86-14,34) |
7,22 |
11,50 |
Luas Lantai Kamar Tidur (%) |
3,30-20,20 |
12,39 (11,76-13,02) |
3,66 |
12,00 |
Luas Lantai Rumah (%) |
6,97-33,33 |
16,75 (15,96-17,54) |
4,58 |
16,36 |
Jumlah Penghuni (orang) |
1,00-6,00 |
3,77 (3,57-3,96) |
1,14 |
4,00 |
Kepadatan hunian (m2/orang) |
1,49-16,33 |
5,02 (4,60-5,44) |
2,44 |
4,46 |
Jumlah
container yang diperiksa |
2,00-8,00 |
5,02 (4,79-5,24) |
1,31 |
5,00 |
Container Index (%) |
0,00-100,00 |
26,86 (22,97-30,76) |
22,60 |
25,00 |
Sumber : Data Primer Diolah, 2021
Tabel di atas
memperlihatkan bahwa terkait hasil pengukuran
lingkungan fisik rumah diperoleh rata-rata suhu rumah hampir
27�C dengan suhu minimum hampir 20�C dan suhu maksimum 34�C. Selanjutnya,
rata-rata kelembaban rumah sebesar 71% dan luas lantai rumah sebesar
17%. Rata-rata jumlah penghuni
sebanyak empat orang dengan kepadatan hunian lima meter persegi per
orang. Selain itu,
rata-rata jumlah container yang diperiksa
sebanyak lima container dengan
container index sebesar 27%.
C. Hubungan Lingkungan
Fisik, Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk 3M
Plus dan Keberadaan Vektor dengan Kejadian DBD
Tabel 5
Hubungan Lingkungan
Fisik, Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk 3M
Plus dan Keberadaan Vektor dengan Kejadian DBD di Kota Jambi
Tahun 2021 (n=132)
Variabel |
Kasus |
Kontrol |
Total |
OR (95% CI) |
P-Value |
||||||||
n |
% |
N |
% |
n |
% |
||||||||
A.Faktor Lingkungan
Fisik : Suhu |
|
|
|
|
|
||||||||
Memenuhi syarat optimum |
37 |
56,1 |
53 |
80,3 |
90 |
68,2 |
0,31 (0,144-0,681) |
0,005* |
|||||
Tidak memenuhi syarat optimum |
29 |
43,9 |
13 |
19,7 |
42 |
31,8 |
|
|
|||||
Kelembaban
Udara� |
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
Memenuhi syarat optimum |
47 |
71,2 |
59 |
89,4 |
106 |
80,3 |
0,29 (0,114-0,757) |
0,016* |
|||||
Tidak memenuhi syarat optimum |
19 |
28,8 |
7 |
10,6 |
26 |
19,7 |
|
|
|||||
Kepadatan Penghuni |
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
Padat |
4 |
6,1 |
7 |
10,6 |
11 |
8,3 |
0,54 (0,151-1,954) |
0,529 |
|||||
Tidak Padat |
62 |
93,9 |
59 |
89,4 |
121 |
91,7 |
|
|
|||||
B. Perilaku PSN 3M : Menguras dan menyikat TPA |
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
Tidak Baik |
46 |
69,7 |
46 |
69,7 |
92 |
69,7 |
1,00 (0,476-2,101) |
1,000 |
|||||
Baik |
20 |
30,3 |
20 |
30,3 |
40 |
30,3 |
|
|
|||||
Menutup rapat TPA |
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
Tidak Baik |
23 |
34,8 |
21 |
31,8 |
44 |
33,3 |
1,14 (0,555-2,365) |
0,854 |
|||||
Baik |
43 |
65,2 |
45 |
68,2 |
88 |
66,7 |
|
|
|||||
Mendaur ulang/menyingkirkan/memanfaatkan barang-barang bekas |
|||||||||||||
Tidak Baik |
6 |
9,1 |
4 |
6,1 |
10 |
7,6 |
1,55 (0,417-5,768) |
0,742 |
|||||
Baik |
60 |
90,9 |
62 |
93,9 |
122 |
92,4 |
|
|
|||||
C. Perilaku PSN PLUS : Pemberian Larvasida pada TPA |
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
Tidak Baik |
48 |
72,7 |
56 |
84,8 |
104 |
78,8 |
0,47 (0,201-1,130) |
0,136 |
|||||
Baik |
18 |
27,3 |
10 |
15,2 |
28 |
21,2 |
|
|
|||||
Penggunaan
repellent/obat anti nyamuk
|
|||||||||||||
Tidak Baik |
36 |
54,5 |
31 |
47,0 |
67 |
50,8 |
1,35 (0,683-2,686) |
0,486 |
|||||
Baik |
30 |
45,5 |
35 |
53,0 |
65 |
49,2 |
|
|
|||||
Penggunaan kelambu saat tidur� |
|||||||||||||
Tidak Baik |
57 |
86,4 |
55 |
83,3 |
112 |
84,8 |
1,26 (0,487-3,294) |
0,808 |
|||||
Baik |
9 |
13,6 |
11 |
16,7 |
20 |
15,2 |
|
|
|||||
Menanam tanaman anti nyamuk� |
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
Tidak Baik |
59 |
89,4 |
58 |
87,9 |
117 |
88,6 |
1,16 (0,396-3,414) |
1,000 |
|||||
Baik |
7 |
10,6 |
8 |
12,1 |
15 |
11,4 |
|
|
|||||
Menggantung Pakaian |
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
Tidak Baik |
58 |
87,9 |
58 |
87,9 |
116 |
87,9 |
1,00 (0,352-2,844) |
1,000 |
|||||
Baik |
8 |
12,1 |
8 |
12,1 |
16 |
12,1 |
|
|
|||||
Memelihara ikan pemakan jentik |
|||||||||||||
Tidak Baik |
55 |
83,3 |
56 |
84,8 |
111 |
84,1 |
0,89 (0,351-2,271) |
1,000 |
|||||
Baik |
11 |
16,7 |
10 |
15,2 |
21 |
15,9 |
|
|
|||||
D. Keberadaan Vektor Container Indeks |
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
Padat |
53 |
80,3 |
46 |
69,7 |
99 |
75,0 |
1,77 (0,795-3,954) |
0,228 |
|||||
Tidak Padat |
13 |
19,7 |
20 |
30,3 |
33 |
25,0 |
|
|
Sumber : Data Primer Diolah, 2021
D. Faktor Dominan
yang Berpengaruh terhadap Kejadian DBD di Kecamatan Paal
Merah Kota Jambi
Hasil analisis
dengan uji regresi logistic
ganda, model akhir yang terbentuk adalah suhu, kelembaban udara, menguras dan menyikat TPA, menutup rapat TPA,mendaur ulang/menyingkirkan/memanfaatkan barang-barang bekas, pemberian larvasida pada TPA, menggunakan kelambu saat tidur,
menggantung pakaian, memelihara ikan pemakan jentik, dan keberadaan vektor. Model yang terdiri dari 10 variabel ini mampu memprediksi
terjadinya Demam Berdarah Dengue (DBD) sebesar
65,9% yang dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
Tabel 6
Hasil Analisis
Multivariate dengan Uji Regresi
Logistik Ganda
Variabel |
B |
POR (95% CI) |
P-Value |
Omnibus |
Overal Percentage |
Suhu |
-1,92 |
0,14 (0,052-0,409) |
0,000 |
0,000 |
65,9 |
Kelembaban Udara |
-1,60 |
0,20 (0,067-0,597) |
0,004 |
||
Menguras dan Menyikat TPA |
0,21 |
1,24 (0,516-3,002) |
0,627 |
||
Menutup Rapat TPA |
-0,35 |
0,70 (0,261-1,887) |
0,483 |
||
Mendaur ulang/menyingkirkan/memanfaatkan barang-barang bekas |
0,37 |
1,44 (0,255-8,206) |
0,676 |
||
Pemberian Larvasida pada TPA |
-1,77 |
0,17 (0,046-0,620) |
0,007 |
||
Tidak Menggunakan kelambu saat tidur |
2,25 |
9,51 (1,946-46,069) |
0,005 |
||
Menggantung Pakaian |
-1,09 |
0,33 (0,075-1,503) |
0,153 |
||
Memelihara Ikan Pemakan Jentik |
-0,38 |
0,67 (0,193-2,387) |
0,546 |
||
Keberadaan Vektor |
1,02 |
2,79 (1,025-7,591) |
0,045 |
�Sumber : Data Primer
Diolah, 2021
E. Diskusi
1. Hubungan Faktor
Lingkungan Fisik
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suhu yang memenuhi syarat optimum yang mendukung perkembangbiakan nyamuk penular DBD banyak terdapat pada kelompok kasus (56,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (43,9%) dengan total suhu yang memenuhi syarat optimum yang mendukung perkembangbiakan nyamuk penular DBD (68,2%). Sedangkan hasil analisis terhadap variabel suhu menunjukkan bahwa ada hubungan
suhu dengan kejadian DBD, dibuktikan dengan p-value 0,005 dan nilai OR
= 0,31 (95% CI =0,144-0,681) artinya responden yang memiliki rumah dengan suhu
memenuhi syarat optimum
(25-27�C) justru menurunkan
risiko untuk terkena DBD dibandingkan dengan responden yang memiliki rumah dengan suhu yang tidak memenuhi syarat optimum (<25�C dan >27�C). Hasil penelitian yang menyatakan ada hubungan suhu
terhadap kejadian DBD ini sejalan dengan
penelitian (Fitriana & Yudhastuti, 2018)
di Kecamatan Sawahan
Surabaya. Suhu adalah
parameter lingkungan yang penting
dalam meningkatkan perkembangbiakan vektor, siklus gonotropik nyamuk, tingkat gigitan, memperpendek periode inkubasi pathogen dan memperpanjang umur nyamuk dewasa. Selain itu, suhu
yang lebih tinggi juga meningkatkan tingkat perkembangan larva. Pada nyamuk dewasa, suhu yang lebih tinggi dapat
meningkatkan tingkat gigitan nyamuk (biting rate) dan mengurangi
waktu yang dibutuhkan virus
untuk bereplikasi dalam tubuh nyamuk,
yang dikenal sebagai masa inkubasi ekstrinsik virus dengue.
Masa inkubasi ekstrinsik
virus dalam tubuh nyamuk yang lebih cepat diimbangi dengan tingkat gigitan nyamuk menjadi lebih sering
akan mengakibatkan risiko penularan DBD semakin meningkat pula (Fitriana & Yudhastuti, 2018).
Bahwa rumah
responden dengan suhu memenuhi syarat
optimum tidak berisiko menurunkan risiko terkena DBD ini berbeda dengan teori yang meyatakan bahwa suhu optimum sekitar 25-27�C perkembangbiakan nyamuk akan meningkat
mengakibatkan kasus DBD akan meningkat. Sebagaimana hasil penelitian Upik Kusumawati, peneliti Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan IPB ternyata menyimpulkan
bahwa binatang pembawa agen penyakit
terutama nyamuk dan lalat telah beradaptasi
sedemikian rupa terhadap lingkungan, sehingga kemampuan bertahan hidupnya semakin tinggi. Aedes aegypti adalah
nyamuk yang mudah beradaptasi dengan baik, Jika suhu meningkat, nyamuk dapat hidup lebih
aktif dan menularkan virus
DBD dengan lebih cepat (Ismanto,
2010). Nyamuk adalah
binatang berdarah dingin sehingga proses metabolisme dan siklus hidupnya bergantung pada suhu lingkungan. Nyamuk dapat bertahan
hidup pada suhu rendah (10�C) tetapi proses metabolismenya menurun bahkan terhenti bila suhu turun
mencapai suhu kritis (4,5�C). Pada suhu yang lebih tinggi dari
35�C juga mengalami keterbatasan
proses fisiologis. Suhu
rata-rata untuk pertumbuhan
nyamuk adalah 20�C�30�C (Yudhastuti, 2011).
Selanjutnya rumah
responden dengan kelembaban udara memenuhi syarat optimum yang mendukung perkembangbiakan nyamuk penular DBD banyak terdapat pada kelompok kasus (71,2%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (28,8%) dengan total kelembaban yang memenuhi syarat optimum yang mendukung perkembangbiakan nyamuk penular DBD (80,3%). Hasil
analisis membuktikan bahwa ada hubungan
kelembaban udara dengan kejadian DBD, dibuktikan dengan p-value 0,016
dan nilai OR sebesar 0,29
(95%CI= 0,114-0,757) artinya responden
dengan kelembaban udara memenuhi syarat optimum menurunkan risiko untuk terkena
DBD dibandingkan kelembaban
udara yang tidak memenuhi syarat optimum. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Rianasari, Suhartono, & Dharminto, 2016)
dan (Wirayoga, 2013) di Kelurahan
Mustikajaya Kota Bekasi ada
hubungan antara kelembaban dengan kejadian DBD yang didapatkan
p-value = 0,037.
Untuk nilai
OR yang tidak mendukung sebagai faktor risiko dapat dijelaskan
bahwa sebagaimana hasil penelitian Upik Kusumawati, peneliti Parasitologi dan Entomologi Kesehatan IPB yang menyatakan
bahwa binatang pembawa agen penyakit
terutama nyamuk dan lalat telah beradaptasi
sedemikian rupa terhadap lingkungan, sehingga kemampuan bertahan hidup nyamuk semakin tinggi.
Berdasarkan data hasil
penelitian pada tabel 4 terlihat
bahwa untuk kepadatan hunian pada kategori tidak padat pada kelompok kasus sebesar 93,9& dan pada kelompok kontrol sebesar 89.4%. Hasil perhitungan hubungan antara kepadatan penghuni dengan kejadian DBD diperoleh nilai p (probability value) = 0,59 dan OR sebesar 0,54 (95%CI = 0,151-1,954) artinya
responden dengan kepadatan penghuni dengan kategori padat menurunkan risiko untuk terkena
DBD dibandingkan kepadatan pemghuni dengan kategori tidak padat. Hasil penelitian ini sama dengan
peneltian (Widiyanto, 2007)
di Kota Purwokerto.
2. Hubungan Perilaku
Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN)� 3M
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa variabel menguras dan menyikat TPA tidak berisiko untuk terkena DBD dibandingkan responden yang menguras dan menyikat TPA. Selanjutnya, perilaku menutup rapat TPA pada kelompok kasus mayoritas responden memiliki perilaku baik (65,2%) dibandingkan yang tidak baik (34,8%). Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan perilaku
menutup rapat TPA dengan kejadian DBD dibuktikan dengan p-value 0,854.
Nilai OR pada menutup rapat
TPA 1,14 (0,555-2,365) artinya responden
yang tidak menutup rapat TPA memiliki risiko 1,14 kali terkena DBD dibandingkan responden yang menutup rapat TPA.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa responden melakukan tindakan mendaur ulang/menyingkirkan/memanfaatkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan dan menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes (90,9%) dibandingkan yang tidak melakukan Tindakan tersebut
(9,1%). Hasil analisis belum
terbukti signifikan dengan p-value 0,742 dengan nilai OR 1,55 (0,417-5,768) artinya responden
yang tidak melakukan tindakan mendaur ulang/menyingkirkan/memanfaatkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan dan menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes berisiko 1,55 kali terkena DBD dibandingkan responden yang melakukan tindakan tersebut.
3. Hubungan Perilaku
Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) PLUS
Hasil penelitian
terhadap variabel pemberian larvasida pada tempat penampungan air menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
terhadap kejadian demam berdarah dengue, dibuktikan dengan p-value 0,136. Perilaku pemberian larvasida pada tempat penampungan air rumah responden memiliki kasus DBD yang tidak memberikan larvasida pada TPA lebih banyak (72,7%) dibandingkan yang memberikan larvasida pada TPA (27,3%). Nilai OR = 0,47 (95%CI :
0,201-1,130) artinya responden
yang tidak memberikan larvasida pada TPA merupakan faktor protektif untuk terkena DBD dibandingkan responden yang memberikan larvasida pada TPA. Hal
ini didukung oleh penelitian
(Sari & Putri, 2019)
di Kecamatan Medan Tembung
(p-value = 0,35) dan penelitian (Nasifah & Sukendra, 2021)
di Kecamatan Tembalang Kota
Semarang (p-value = 0,470)� yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara menabur bubuk abate sebagai larvasida dengan kejadian DBD. Hasil analisis terhadap variabel menggunakan repellent/ obat anti nyamuk� menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD), dibuktikan dengan p-value 0,486
dan nilai OR = 1,35 (95%CI : 0,683-2,686) artinya risiko responden yang tidak menggunakan repellent/obat anti nyamuk pada pagi sampai sore hari memiliki risiko 1,35 kali terkena DBD dibandingkan responden yang menggunakan
repellent/obat anti nyamuk
pada pagi sampai sore hari.� Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas kasus tidak menggunakan repellent/obat anti nyamuk pada pagi sampai sore hari (54,5%) dibandingkan yang menggunakan (45,5%).
Hasil penelitian
yang sama bahwa tidak ada hubungan
menggunakan repellent/ obat
anti nyamuk terhadap kejadian DBD bersesuaian dengan penelitian (Kanigia, Cahyono, & Gunawan, 2016)
di Kecamatan Purwokerto
Timur dan penelitian (Sari & Putri, 2019)
di Wilayah Puskesmas Payung
Sekaki Kota Pekanbaru dengan p-value sebesar 0,092. Namun hasil penelitian
(Zarkasyi, Martini, & Hestiningsih, 2017)
menyatakan ada hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk pada usia (6 bulan-14 tahun) dengan kejadian
DBD di wilayah kerja Puskesmas
Kedungmundu didapatkan
p-value sebesar 0,003 (p-value < 0,005).
Selanjutnya� proporsi responden yang menggunakan kelambu saat tidur� menunjukkan 86,4%
pada kelompok kasus tidak menggunakan kelambu saat tidur
dan hanya 13,6% yang menggunakan
kelambu, sedangkan proporsi responden kelompok kontrol yang menggunakan kelambu saat tidur hampir
sama besar dengan kelompok kasus (84,8%) dan 15,2% responden� pada kelompok kontrol menggunakan kelambu saat tidur.
Hasil analisis menunjukkan
p- value = 0,808 dengan nilai
OR 1,26 (95%CI : 0,487-3,294). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara menggunakan kelambu saat tidur terhadap
kejadian DBD, namun dilihat dari Odds Ratio =
1,26� artinya responden yang tidak menggunakan kelambu saat tidur berisiko
1,26 kali terkena DBD dibandingkan
responden yang menggunakan kelambu saat tidur.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Zarkasyi et al., 2017)
menyatakan bahwa tidak ada hubungan
penggunaan kelambu pada usia (6 bulan-14 tahun) dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu dibuktikan dengan p-value sebesar = 0,339.
Hasil penelitian ini juga sejalan penelitian yang dilakukan oleh (Muchlis, Ishak, & Ibrahim, 2014), (Mahardika, 2009),
dan (Sitio, 2008)
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara penggunaan kelambu dengan kejadian DBD di Makassar, Kendal dan Medan.
Untuk perilaku
responden tidak menanam tanaman anti nyamuk lebih banyak
(89,4%) dibandingkan yang menanam
tanaman anti nyamuk
(10,6%). Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa perilaku menanam tanaman anti nyamuk tidak berhubungan secara signifikan dengan p-value 1,000. Nilai OR 1,16 (95%CI : 0,396-3,414) artinya responden yang tidak menanam tanaman
anti nyamuk berisiko 1,16
kali terkena DBD dibandingkan
responden yang menanam tanaman anti nyamuk di lingkungan rumah.
Selanjutnya,� proporsi responden yang memiliki kebiasaan menggantung pakaian diluar lemari� lebih banyak pada kelompok kasus (65%) dibanding kelompok control (40%),
di mana responden yang memiliki
kebiasaan menggantung pakaian berisiko 2,79 kali lebih besar untuk
mengalami kejadian DBD dibanding dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan menggantung pakaian. Tidak ditemukan hubungan antara menggantung pakaian dengan kejadian DBD (p-value
=1,000). Nilai OR 1,00 (CI 95% : 0,352-2,844) artinya
responden yang menggantung pakaian di luar lemari tidak ada
pengaruhnya dalam kejadian DBD.
Proporsi responden
kelompok kasus sebagian besar tidak memelihara ikan pemakan jentik (83,3%) dibandingkan yang memelihara ikan
pemakan jentik (16,7%). Tidak ditemukan hubungan antara memelihara ikan pemakan jentik dengan kejadian
DBD (p-value = 1,000). Nilai OR 0,89 (0,351-2,271) artinya
responden yang tidak memelihara ikan pemakan jentik menurunkan risiko untuk terkena
DBD dibandingkan responden
yang memelihara ikan pemakan
jentik. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan
oleh. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan
antara memelihara ikan pemakan jentik dengan kejadian DBD (p=1,000). Berdasarkan pengamatan di lingkungan diketahui responden yang memelihara ikan pemakan jentik umumnya dipelihara sebagai ikan hias dan tidak dimanfaatkan sebagai salah satu metode yang dapat mencegah penyakit DBD. Hal itu tidak sesuai
dengan saran Kemenkes RI
yang menyatakan bahwa ikan pemakan jentik sebaiknya dipelihara pada tempat penampungan air yang sulit dikuras dan penampungan air yang ukurannya besar sebagai salah satu cara dalam
pencegahan penyakit DBD.
Tidak adanya
hubungan antara memelihara ikan pemakan jentik dengan kejadian
DBD dalam penelitian ini dapat dipengaruhi
oleh faktor lain seperti penelitian dilakukan pada musim hujan, Pada musim hujan populasi
nyamuk Aedes sp akan
Dari hasil penelitian dapat diringkas bahwa faktor perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) PLUS secara statistik tidak ada yang berhubungan terhadap kejadian DBD, namun dilihat dari
nilai OR, maka perilaku PSN PLUS yang memiliki risiko terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue adalah perilaku penggunaan repellent/obat anti nyamuk, perilaku penggunaan kelambu saat tidur pagi
sampai sore hari dan menanam tanaman anti nyamuk.
4. Hubungan Keberadaan
Vektor (Container
Indeks)
Container Indeks
yang diperoleh adalah CI tiap rumah responden,
sehingga unit analisisnya adalah individu. Jumlah kontainer yang diperiksa merupakan jumlah kontainer yang berupa tempat penampungan
air (TPA) seperti : bak
mandi, bak WC, drum, tempayan,
ember. Selanjutnya jenis
container Non TPA seperti : kaleng
bekas, ban bekas, gelas/botol bekas,
vas/pot bunga serta habitat
alami berupa: tempurung kelapa, pelepah tanaman, lobang pohon. yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan jenis tempat penampungan
air yang tidak digunakan untuk keperluan sehari hari bukan
tempat penampungan sehari hari dalam
setiap rumah.
Pada hasil penelitian ini menunjukkan 80,3% kasus memiliki keberadaan vektor dengan kategori
padat lebih banyak dibandingkan dengan kategori tidak padat (19,7%). Tidak ditemukan hubungan antara keberadaan vektor dengan kejadian DBD (p-value =
0,228). Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Siti (Nasifah & Sukendra, 2021) yang menunjukkan
nilai p-value = 0,370, artinya
tidak terdapat hubungan antara keberadaan jentik pada TTU dengan kejadian DBD dan penelitian (Restuti, Wahyuningsih, & Hapsari, 2017) dengan nilai
p sebesar 0,490 yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan Container Index dengan kejadian Demam Berdarah Dengue.
�Nilai OR 1,77 (0,795-3,954) artinya responden dengan keberadaan vektor yang padat berisiko 1,77 kali terkena DBD dibandingkan responden dengan keberadaan vektor tidak padat.
Kesimpulan
Bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan
fisik (Suhu dan Kelembaban) terhadap kejadian demam berdarah dengue dan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara perilaku pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M Plus terhadap kejadian demam berdarah dengue di Kecamatan Paal Merah Kota Jambi serta
faktor dominan yang mempengaruhi kejadian DBD adalah perilaku menggunakan kelambu saat tidur siang,
dimana responden dan seluruh anggota keluarga yang tidak menggunakan kelambu pada saat tidur berisiko
9,51 kali lebih besar terkena DBD dibandingkan responden dan seluruh anggota keluarga yang menggunakan kelambu pada saat tidur, sehingga
disarankan kepada masyarakat agar menggunakan kelambu saat tidur.
Anies, A. (2015). Penyakit Berbasis
Lingkungan: Berbagai Penyakit Menular & Tidak Menular Yang Disebabkan Oleh
Faktor Lingkungan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Google Scholar
Fitriana, Bella Rosita, & Yudhastuti,
Ririh. (2018). Hubungan faktor suhu dengan kasus demam berdarah dengue (DBD) di
Kecamatan Sawahan Surabaya. The Indonesian Journal of Public Health, 13(1),
83�94. Google Scholar
Jambi, Badan Pusat Statistik Kota. (2020).
Kota Jambi dalam angka. Jambi: Badan Pusat Statistik Kota Jambi. Google Scholar
Kanigia, Taraegi Evani, Cahyono, Tri, &
Gunawan, Asep Tata. (2016). Faktor-faktor yang berisiko dengan kejadian demam
berdarah dengue di Kecamatan Purwokerto Timur Kabupaten Banyumas Tahun 2016. Buletin
Keslingmas, 35(4), 293�300. Google Scholar
Kemenkes, RI. (2016). Profil Kesehatan
Indonesia 2016. Google Scholar
Mahardika, Wahyu. (2009). Hubungan
antara perilaku kesehatan dengan Kejadian demam berdarah dengue (dbd) Di
wilayah kerja puskesmas cepiring Kecamatan cepiring kabupaten Kendal Tahun 2009.
Universitas Negeri Semarang. Google Scholar
Muchlis, Sumarni, Ishak, Hasanuddin, &
Ibrahim, Erniwati. (2014). Faktor Risiko Upaya Menghindari Gigitan Nyamuk
Terhadap Kejadian Dbd Di Puskesmas Pattingalloang Makassar. Google Scholar
Nasifah, Siti Lailatin, & Sukendra,
Dyah Mahendrasari. (2021). Kondisi Lingkungan dan Perilaku dengan Kejadian DBD
di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu. Indonesian Journal of Public Health
and Nutrition, 1(1), 62�72. Google Scholar
Pertiwi, Dea. (2014). Persyaratan
Perencanaan Geoteknik dan keGemPaan. Bandung: Kementerian Pekerjaan Umum
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat �. Google Scholar
Restuti, Christina Tri, Wahyuningsih, Nur
Endah, & Hapsari, Hapsari. (2017). Hubungan Container Index dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue di Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 5(5),
541�547. Google Scholar
Rianasari, Rianasari, Suhartono, Suhartono,
& Dharminto, Dharminto. (2016). Hubungan Faktor Risiko Lingkungan Fisik Dan
Perilaku Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kelurahan Mustikajaya Kota
Bekasi. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 4(5), 151�159. Google Scholar
Sari, Tyagita Widya, & Putri, Retno.
(2019). Pemberantasan Sarang Nyamuk 3M Plus terhadap Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Puskesmas Payung Sekaki Kota Pekanbaru; Studi Kasus Kontrol. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 3(2), 55�60. Google Scholar
Sitio, Anton. (2008). Hubungan Perilaku
Tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Kebiasaan Keluarga dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan Tahun 2008.
program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Google Scholar
Sylviarni, Erika. (2021). Pengaruh
Kualitas Pelayanan Kesehatan Terhadap Kepuasan Pasien Lanjut Usia Di Puskesmas
Kota Jambi Tahun 2020. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Google Scholar
Widiyanto, Teguh. (2007). Kajian
Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota
Purwokerto Jawa-Tengah. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Google Scholar
Wirayoga, Mustazahid Agfadi. (2013). Hubungan
kejadian demam berdarah dengue dengan Iklim di Kota Semarang tahun 2006-2011.
Universitas Negeri Semarang. Google Scholar
Yetti, O. K., & Wandira, Ayu. (2015). Kerasionalan
Penggunaan Antibiotik Pada Anak Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(Ispa) Di Instalasi Rawat Jalan Rsu Pku Muhammadiyah Delanggu. Cerata Jurnal
Ilmu Farmasi, 1(1). Google Scholar
Yudhastuti, Ririh. (2011). Pengendalian
Vektor dan Rodent. Pustaka Melati. Google Scholar
Zarkasyi, Luqman, Martini, Martini, &
Hestiningsih, Retno. (2017). Hubungan Faktor Host (Umur 6 Bulan-14 Tahun) Dan
Keberadaan Vektor Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja
Puskesmas Kedungmundu Semarang Relationship Of Host Factors (Ages 6 Months-14
Years) And Existence Vector With Dengue Hemorrhagic. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (Undip), 3(3), 175�185. Google Scholar
Copyright holder: Henny Pebrianti, Ilham, Ummi Kalsum (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |