Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 11, November
2021
PROBLEMATIKA HUKUM DALAM PENANGGULANGAN ILLEGAL
FISHING DI PROVINSI KEPULAUAN MALUKU
Wilshen Leatemia, Ricky Marthen
Wattimena
Fakultas Hukum, Universitas Pattimura,
Ambon, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Illegal Fishing merupakan masalah yang tidak dapat terselesaikan secara substansial, dilihat intensitas kejadian maupun kerugian yang ditimbulkan. Problem Illegal Fishing terjadi karena penegakan hukum yang lemah, koordinasi antar lembaga penegak hukum, luasnya wilayah laut dan rendahnya hukuman. Kebijakan menenggelamkan kapal illegal fishing, menjadi suatu harapan baru yang mesti dilakukan secara konsisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hukum penanggulangan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia khususnya di wilayah perairan laut Provinsi Maluku. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan diratifikasinya United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar intemasional. Akan tetapi, kondisi ini menimbulkan persoalan baru, terutama banyaknya kapal asing maupun kapal dalam negeri yang secara ilegal beroperasi melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Nusantara, terutama di wilayah laut Provinsi Maluku. Meskipun� pemanfaatan wilayah laut di Indonesia telah di atur dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan akan tetapi pelaksanaan di lapangan masih terkendala akibat kegiatan illegal fising oleh kapal-kapal asing untuk itu� instrumen kebijakan� yang dapat di gunakan pemerintah yaitu mengakomodir dalam suatu sistem yang utuh dan komprehensif dengan mengintegrasikan dimensi penegakan hukum yang terkoordinir antar institusi, melibatkan masyarakat hukum adat, dan dilaksanakan dengan orientasi pembangunan kelautan serta mengutamakan pengembangan kawasan perbatasan Negara terkhususnya peningkatan pengawasan pada wilayah-wilayah yang sering menjadi target illegal fishing di Provinsi Maluku.
Kata Kunci: fishing; illegal; hukum; koordinasi; kapal
Abstract
Illegal fishing is a problem that
cannot be substantially resolved, judging by the intensity of the incident and
the losses caused. Problem Illegal Fishing occurs due to weak law enforcement,
coordination between law enforcement agencies, wide sea area and low penalties.
The policy of sinking illegal fishing boats has become a new hope that must be
carried out consistently. This study aims to determine the legal policy of
overcoming illegal fishing in Indonesian waters, especially in the marine
waters of Maluku Province. The research method used is a normative juridical
method, with a statutory approach and a conceptual approach. The results show
that with the ratification of the 1982 United Nations Convention on the Law of
the Sea, the Unitary State of the Republic of Indonesia has the right to use,
conserve, and manage fish resources in Indonesian waters, the Indonesian
Exclusive Economic Zone and the high seas which are implemented based on
international requirements or standards. However, this condition raises new
problems, especially the large number of foreign vessels and domestic vessels
that illegally operate to fish in the territorial waters of the archipelago,
especially in the marine area of Maluku Province. Although the
use of marine areas in Indonesia has been regulated in various statutory
provisions, implementation in the field is still hampered due to illegal
fishing activities by foreign ships. by integrating the dimensions of law
enforcement that are coordinated between institutions, involving indigenous
peoples, and carried out with a maritime development orientation and
prioritizing the development of state border areas, especially increasing
supervision in areas that are often targets of illegal fishing in Maluku
Province.
Keywords: fishing; illegal; law;
coordination; ship
Received: 2021-10-20; Accepted:
2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Laut
pada dasarnya mempunyai banyak fungsi diantaranya
sebagai sumber bahan makanan, jalan raya perdagangan,
sarana rekreasi, dan sebagai alat pemisah
atau pemersatu bangsa (Hasjim Djalal,
1979). Laut merupakan
keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut
mempunyai arti yang penting
bagi riset mengingat 2/3 dari permukaan bumi terdiri dari laut
(Boer
Mauna, 2000). Indonesia
sebagai negara kepulauan, terdiri dari 13.446 pulau yang memiliki garis pantai
hingga mencapai 99.093 kilometer. Luas wilayah Indonesia mencapai 7,81 juta km2� dengan luas
laut mencapai 2/3 (dua pertiga) wilayah daratan dengan 12.827 desa pesisir (Hadiwinata, 2015).
Dengan demikian, perikanan menjadi sumber daya ekonomi yang strategis untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Makna strategis itu tercermin dari kondisi
objektif wilayah Indonesia yang luasnya kurang lebih 7,81 juta km2, yang terdiri atas 74,3% laut dan 25,7% daratan.
Perairan lautnya seluas 5,8 juta km2, mencakup 0,3 juta km2 laut teritorial (territorial sea), 2,8 juta
km2 perairan
nusantara (archipelagic waters), dan 2,7 juta km2 zona ekonorni eksklusif. Diratifikasinya United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982, dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 1985, maka wilayah perairan indonesia menjadi lebih bertambah.
Luas wilayah
laut Indonesia tidak sebanding dengan potensi perikanan laut Indonesia. Dalam
hal ini sumber daya perikanan Indonesia telah banyak mengalami tingkat over
ekploitasi, apabila dilihat pada estimasi potensi sumberdaya ikan yang
diperbaharui dari waktu ke waktu. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya
penegakan hukum terhadap sumber daya kelautan dan perikanan (Hadiwinata, 2015).
Dari hasil reevaluasi cadangan tahun 2000 sampai sekarang memperlihatkan bahwa
jumlah cadangan ikan pertahun adanya penurunan sampai 6,1 juta ton tahun 2010
dan 6,52 juta ton pada tahun 2014/2015, dibandingkan dengan 6,9 juta ton pada
tahun 1999 (Rahmat, Nurbeti, & Suparman, 2021).
Hal ini menunjukkan adanya penurunan sistematis pada jumlah stok ikan yang
dapat ditangkap per tahun. Penurunan jumlah stok ikan yang bisa ditangkap ini,
menimbulkan akibat akan cepat terjadinya tingkat eksploitasi berlebihan pada
perikanan laut. Kenyataan menunjukkan bahwa wilayah perairan utara Pulau Jawa
ternyata sudah overexploited.
Secara umum,
ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pemanfaatan tidak sah (used
and abused) atas sumber daya ikan di wilayah perairan dan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, (1) adanya kekosongan armada penangkapan ikan di beberapa
kawasan, misalnya di Laut Arafura, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik; (2) law enforcement yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya; (3) tidak lancarnya investasi akibat krisis ekonomi dan
politik, sehingga hanya sedikit kapal yang dapat beroperasi di perairan ZEE Indonesia; (4) kondisi geografis perairan Indonesia yang memungkinkan terjadinya
pencurian ikan tanpa mudah dideteksi (hit and run), sehingga menyulitkan
dalam pendeteksian illegal fishing (Fauzi, 2005).
Beberapa
modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan KII, antara lain:
penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI)),
memiliki izin tapi melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan (pelanggaran
daerah penangkapan ikan, pelanggaran alat tangkap, pelanggaran ketaatan
berpangkalan), pemalsuan/manipulasi dokumen (dokumen pengadaan, registrasi, dan
perizinan kapal), transshipment di laut, tidak mengaktifkan transmitter (khusus
bagi kapal-kapal yang diwajibkan memasang transmitter), dan penangkapan ikan
yang merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
membahayakan melestarikan sumberdaya ikan (Khairi, 2016).
Berdasarkan
hasil pantauan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara dan Badan Riset
Kelautan dan Perikanan (BRKP) dengan menggunakan radar satelit dan patroli
udara, fenomena pelanggaran tersebut meliputi: penangkapan yang tidak memiliki
dokumen izin sama sekali, memiliki dokumen tetapi tidak melapor, pelanggaran fishing
ground, penggunaan alat tangkap yang dilarang, dan transhipment di
laut. Problematika illegal fishing�
di perairan Maluku terjadi karena, (a) wilayah Maluku yang berkarakter
kepulauan dengan pulau-pulau kecil dan lautan yang luas menjadi tempat untuk melakukan
kegiatan penangkapam ikan secara ilegal; (b) kepulauan Maluku berada pada
kawasan perbatasan negara dengan 18 pulau kecil terluar menjadi pintu masuk
yang strategis bagi kapal-kapal penangkap ikan; (c) wilayah perairan Maluku di
lalui kapal-kapal asing melalui penetapannya sebagai
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI IIIa, b dan
c).
Faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya Illegal fishing di perairan Indonesia
terutama perairan kepulauan Maluku, tidak terlepas dari lingkungan strategis
global terutama kondisi perikanan di negara lain yang memiliki perbatasan laut,
dan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia itu sendiri. Secara garis besar
faktor penyebab illegal fishing dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh)
faktor penting. Pertama, Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, terjadi
overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna, sehingga
mendorong armada perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal atau
illegal. Kedua, Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole
fish) di negara lain dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga
membuat masih adanya surplus pendapatan. Ketiga, Fishing ground� di negara-negara lain sudah mulai habis,
sementara di Indonesia masih menjanjikan. Keempat, Laut Indonesia sangat luas
dan terbuka, di sisi lain armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih
sangat terbatas. Kelima, Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem
perizinan saat ini bersifat terbuka (open acces), pembatasannya hanya
pada alat tangkap (input restriction). Keenam, masih terbatasnya sarana
dan prasarana pengawasan serta sumberdaya manusia pengawas. Ketujuh, persepsi
dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih belum solid (Khairi, 2016).
Masih tingginya kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum, terjadi karena
berbagai faktor yaitu: (1) masih adanya beberapa faktor insentif, baik yang
dikondisikan oleh kebijakan yang ada maupun karena kondisi ketidakmampuan dalam
manajemen; (2) kegiatan ilegal juga terjadi karena adanya disparitas
(perbedaan) harga ikan di dalam dan luar negeri karena adanya mekanisme pasar;
(3) pelaksanaan hukum atau penegakan hukum (Amelia Wn, 2016).
Kejahatan
illegal fishing yang terjadi di wilayah Perairan
Maluku yaitu di laut
Arafura sudah berlangsung sejak tahun 1976. Pencurian ikan yang sering terjadi pada wilayah laut ini masih cukup
tinggi. Studi tentang perikanan IUU yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap (PRPT) DKP yang
dalam hal ini bekerja sama
dengan FAO pada tahun
2007-2008 menunjukkan bahwa
pada periode 2001-2005, sekitar
1, 258 juta ton ikan setiap
tahun yang hilang karena praktek IUU. Jumlah ini terdiri
dari 239,7 ribu ton ikan setiap tahun dibuang
atau sering juga disebut by catch (hasil tangkapan sampingan). 364,4 ribu ton ikan hasil tangkapan yang tidak dilapor dan 654,6 ribu ton ikan hasil tangkapan yang ditangkap (Victor PH Nikijuluw, 2008).
Banyak sekali
terjadi kegiatan Illegal Fishing di wilayah Indonesia yang melakukan
pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing yang berasal dari beberapa negara
tetangga (neighboring countries). Walaupun sulit untuk memetakan dan
mengestimasi tingkat illegal fishing yang terjadi di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), namun dari hasil pengawasan yang
dilakukan selama ini, dapat disimpulkan bahwa illegal fishing oleh KIA
sebagian besar terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif dan juga cukup banyak terjadi
di perairan kepulauan. Jenis alat tangkap yang sering dipakai oleh KIA atau
kapal eks Asing illegal di Indonesia adalah alat-alat tangkap produktif seperti
purse seine dan trawl. Banyak juga
kapal-kapal ikan Indonesia (KII) yang sering melakukan aktifitas illegal
fishing (KII) (Khairi, 2016).
Pentingnya
penelitian ini di lakukan karena perairan Indonesia khususnya laut Provinsi Maluku yang kaya akan sumberdaya ikan dan sebagai provinsi kepulauan Perairan Maluku juga rawan akan eksploitasi
sumberdaya perikanan secara ilegal mengingat
lemahnya kordinasi antar sektor maupun
institusi dalam pengawasan dan penegakan hukum di wilayah kepulauan Provinsi Maluku.
Metode Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan adalah metode yuridis
normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual. Bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, berupa pendapat sarjana, dan bahan hukum tersier, berupa dokumen pemerintahan. Bahan-bahan hukum yang terkumpul dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulam yang akurat.
Hasil Dan Pembahasan
1.
Kepastian
Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan
Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa �Bumi dan air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat�. Berdasarkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD
1945, maka sumber daya alam perikanan harus dikelola sedemikian rupa sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini dijabarkan dalam pengaturan
hukum sesuai konsiderans Undang-Undang (UU) Nomor 45 tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang antara
lain menegaskan: (a) perairan yang berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas
mengandung sumber daya ikan yang potensial dan sebagai lahan pembudidayaan
ikan; (b) merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa
Indonesia yang memiliki falsafah hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; (c) dikelola dengan memperhatikan daya dukung
yang ada dan kelestariannya; dan (d) untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia�.
Apabila dilihat dari hasil evaluasi sumber daya ikan setiap tahun yang
selalu mengalami penurunan secara sistematis, maka dapat dikatakan terjadinya
tingkat eksploitasi yang berlebihan. Demikian juga di beberapa wilayah lain di
Indonesia, yang rata-rata menunjukkan kecenderungan serupa, dilihat dari
lamanya operasi kapal untuk satu periode penangkapan. Akhmad Fauzi mengakui,
akibat ini merupakan overfishing, artinya jumlah ikan yang ditangkap
melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stock ikan dalam suatu
daerah tertentu (Fauzi, 2005).
Persoalannya adalah bahwa masih banyaknya kapal-kapal asing yang secara illegal
beroperasi, dan melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Nusantara (Pramono, 2005).
Berdasarkan data dari FAO (Food and Agriculture Organization),
dalam kurun waktu dua dekade terakhir, terdapat penurunan yang luar biasa
persediaan sumberdaya perikanan, sehingga menempatkan sumberdaya perikanan
berada dalam kondisi krisis, salah satunya adalah illegal fishing.
Praktek illegal fishing yang terjadi merupakan pelanggaran yang secara
umum meliputi: (1) Penangkapan yang tidak memiliki ijin sama sekali; (2)
Memiliki dokumen tetapi tidak melapor; (3) Pelanggaran fishing ground, dan transhipment di laut. Oleh
CCRF-FAO (Code of Conduct for Responsible Fishery-Food and Agriculture
Organization), pelanggaran-pelanggaran tersebut kemudian dikelompokkan
sebagai perbuatan illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing
dan transhipment di laut. Sebab dan peluang praktek Illegal Fishing� terjadi karena, (1) Lemahnya Kebijakan Perlindungan, dalam hal ini
kebijakan perlindungan pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia selama
ini;� (2) Kerjasama Antar Instansi
Pemerintah, terkait dengan Zonasi (ruang) laut dilakukan oleh beberapa instansi
pemerintah; (3)� Kuatnya Budaya Praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Situasi demikian diperburuk lagi oleh besarnya bantuan atau subsidi yang
diberikan oleh negara pengirim fleet migration dalam mendorong armada mereka
mencari daerah baru. Illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia umumnya
dilakukan oleh kapal-kapal dari negara Thailand, Jepang, Taiwan, maupun� negara-negara lainnya (Fauzi, 2005). Persoalan menarik
dari perspektif penyelenggaraan otonomi daerah adalah, bagaimana dengan
kewenangan yang ada pada daerah provinsi maupun kabupaten/kota yang memiliki
hak mengelola wilayah laut bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini
dibutuhkan adanya kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan. Kepastian
hukum dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan perikanan maupun kelautan.
Dalam hal ini UU Nomor: 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Kelautan.
Dalam UU Nomor 45 Tahun 2009, telah diatur mengenai kewajiban bagi setiap
orang atau badan hukum yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan
perikanan untuk memperhatikan: (a) jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan
ikan; (b) jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
(c) daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; (d) persyaratan atau
standar prosedur operasional penangkapan ikan; (e) sistem pemantauan kapal
perikanan; (f) pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya; (g) ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
(h) kawasan konservasi perairan; dan lain-lain (Pasal 7).
UU Nomor 45 Tahun 2009 mengharuskan orang dan/atau badan hukum yang
melaksanakan usaha perikanan (tangkap) harus memiliki (a) Surat Ijin Usaha
Perikanan (SIUP); (b) Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI); dan (c) Surat Ijin
Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Selanjutnya dalam Pasal 28A diatur larangan
untuk memalsukan SIUP, SIPI dan SIKPI dan menggunakan SIUP, SIPI dan SIKPI
palsu. Adanya SIUP, SIPI dan SIKPI serta larangan memalsukan dan/atau
menggunakan SIUP, SIPI dan SIKPI palsu, menjadi penting dalam konteks penegakan
hukum terhadap praktek penangkapan ikan secara illegal. Dari fakta hukum yang
terjadi berkaitan dengan penegakan hukum praktek illegal fishing, maka perlu
adanya kesepahaman dan penyamaan persepsi antara aparatur penegak hukum,
terkait dengan dokumen perijinan yang dibutuhkan dalam usaha perikanan tangkap.
Ketidakberdayaan aparat penegak hukum dalam menjabarkan rumusan norma dalam UU
Nomor� 45 Tahun 2009 sebagai tindak
pidana khusus sangat menghambat tercapainya konsep penegakan hukum praktek illegal
fishing di Provinsi Maluku.
UU Nomor 32� Tahun 2014 tentang
Kelautan menegaskan bahwa, (a) Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
negara kepulauan memiliki sumber daya alam yang melimpah yang merupakan rahmat
dan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang
harus dikelola secara berkelanjutan untuk memajukan kesejahteraan umum; (b)
wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki
posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan merupakan modal dasar
pembangunan nasional; (c) pengelolaan sumber daya kelautan dilakukan melalui
sebuah kerangka hukum untuk memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh
masyarakat sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara (lihat
pertimbangan). Dalam pengelolaan dan pemamfaatan sumberdaya kelautan dan
perikanan, maka dalam konteks pengendalian pemanfaatan ruang Laut, dilakukan
melalui perizinan, pemberian insentif, dan pengenaan sanksi (Pasal 46).
Keefektitan peraturan dapat dilihat dari kepatuhan berkenaan dengan
peraturan itu sendiri dan dapat dilihat dari pelaksanaan sanksinya.
Mispresepresi antara aparatur penegak hukum sangat berpengaruh terhadap proses
peradilan perkara tindak pidana di bidang perikanan. Kenyataan ini berakibat
terhadap penjatuhan pidana yang terlalu ringan terhadap pelaku illegal fishing
yang selama ini terjadi di Provinsi Maluku. Padahal tujuan pemidanaan pada
hakikatnya untuk memperbaiki sikap mental pelaku yang tadinya melakukan perbuatan
melanggar hukum menjadi sadar atas perbuatannya dan kembali menjadi anggota
masyarakat yang taat hukum. Tujuan pemidanaan inipun merupakan prinsip
pemidanaan yang diatur dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 dan UU Nomor 32 Tahun 2014.
Penegakan hukum di bidang perikanan dengan menggunakan sarana hukum pidana
(penal) dilakukan dengan memberikan pengenaan sanksi terhadap perbuatan yang
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
2.
Provinsi
Maluku sebagai Provinsi Kepulauan
Provinsi Maluku merupakan Provinsi Kepulauan yang terdiri dari sekitar
1.344 (seribu tiga ratus empat puluh empat) pulau besar dan kecil. Pulau
terbesar adalah Pulau Seram seluas 18.625 km�, disusul Pulau Buru seluas 9.000
km� dan Pulau Yamdena seluas 5.085 km� dan Pulau Wetar seluas 3.624 km�. Dengan
kondisi yang dominan wilayah perairan, Provinsi Maluku sangat terbuka untuk
berinteraksi dengan provinsi maupun negara di sekitarnya, seperti� (a) dengan Provinsi Maluku Utara di bagian
Utara; (b) dengan Provinsi Papua Barat�
di bagian Timur; (c) dengan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara
Timur di bagian Barat; serta (d) dengan Negara Timor Leste dan Australia di
bagian Selatan.
Sesuai karakteristik wilayah Maluku sebagai wilayah kepulauan, maka
penataan pemerintahan dan pembangunan daerah didasarkan pada konsep Gugus
Pulau, Laut Pulau dan Pintu Jamak (multygate) dengan pengembangan
pusat-pusat pertumbuhan yang berfungsi sebagai pusat pelayanan publik, pusat
perdagangan serta lalu lintas arus barang dan jasa. Percepatan pembangunan
Provinsi Maluku berdasarkan Gugus Pulau, Kawasan Laut Pulau dan Pintu Jamak,
dilakukan dengan memperhatikan aspek kesejahteraan (prosperity) dan
aspek keamanan (security). Pengembangan kepulauan Maluku yang berbasis
Gugus Pulau dan� Laut Pulau� dilakukan dengan membentuk pintu-pintu (gates)
keluar untuk perdagangan internasional, regional dan nasional yang jamak. Akan
tetapi, pembentukan pintu keluar masuk yang banyak (jamak) terutama dengan
negara tetangga melalui laut, justru dapat dimanfaatkan bagi dilakukannya
kegiatan illegal fishing dalam perairan Indonesia di Maluku. Wilayah perairan
kepulauan Maluku yang ditetapkan dilalui Alur Laut Kepulauan Indonesia IIIa, b
dan c menjadi faktor determinan selain keberadaannya pada kawasan perbatasan
negara dan terdiri dari pulau-pulau kecil dengan perairan yang luas.
Provinsi Maluku sebagai provinsi kepulauan, secara geografis memiliki
luas 712.479,69 Km2, dengan luas lautan sebesar 658.294,69 Km2 atau (92,4%) dan
luas daratan 54.185 Km2 atau (7,6%). Dengan luas lautan yang (92,4%) tersebut, tersimpan potensi kekayaan alam
berupa ikan, yang umumnya terdapat di sekitar Laut Seram, Laut Banda dan Laut
Arafura, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan secara nasional sebesar (26,3%)
per tahunnya, dimana tergambar bahawa potensi perikanan nasional sebesar 6,26
juta ton/tahun, sedangkan potensi perikanan Provinsi Maluku adalah sebesar 1,64
juta ton/tahun atau (26,3%) dari potensi nasional. Akan tetapi, dari segi
produksi perikanan tangkap terlihat adanya penurunan hasil tangkapan. Pada
tahun 2005 perikanan tangkap di Kepulauan Maluku mencapai 964.116 ton, menurun
menjadi 513.071 ton pada tahun 2014 (Rahmat et al., 2021).
Secara nasional laut Provinsi Maluku memiliki peranan penting dan
strategis bagi kegiatan perikanan laut nasional. Hal ini beralasan, karena
sekitar (25%) potensi perikanan tangkap Indonesia berada di wilayah perairan
laut Provinsi Maluku. Potensi perikanan tersebut tersebar pada tiga Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP RI). Menurut Peraturan Menteri Perikanan dan
Kelautan Nomor 1 Tahun 2009 tentang WPP RI, ketiga WPP RI tersebut adalah : (1)
WPP RI 714 yang meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; (2) WPP RI 715
meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan
Teluk Berau; dan (3)� WPP RI 718 meliputi
perairan Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor Bagian Timur (Nikijuluw et al., 2013).
Dari perairan Maluku yang ada pada ketiga WPP RI ini, secara
kumulatif mengandung potensi sumberdaya ikan sebesar 1,64 juta ton per tahun.
Dari keseluruhan potensi sumberdaya ikan tersebut, menurut Dinas Perikanan
Provinsi Maluku,� pemanfaatannya baru
mencapai sekitar (42%) pada tahun 2002.
Praktek illegal fishing dan transhipment di laut yang marak
terjadi di Indonesia, termasuk juga di perairan laut Provinsi Maluku karena
merupakan zona fishing ground yang potensial dan berakibat terhadap tingginya
intensitas pencurian ikan. Fenomena pelanggaran tersebut antara lain meliputi:
(1) Penangkapan yang tidak memiliki dokumen ijin; (2) Memiliki dokumen tetapi
tidak melapor; (3) Pelanggaran fishing ground; (4) Penggunaan alat
tangkap yang dilarang, dan; (5) Transhipment di laut (Sitanala, 2019).
3.
Kebijakan
Hukum Penanggulangan Illegal Fishing
Kebijakan penanggulangan illegal fishing dapat dilihat secara
makro dalam konteks kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan, maupun dari
segi mikro dalam konteks penegakan hukum. Secara ekonomi-politik, sangat logis
jika di bidang kelautan dan perikanan dijadikan tumpuan dalam pembangunan
ekonomi nasional (Kusumastanto, 2008).
Penataan kebijakan kelautan dan perikanan dilakukan dengan melakukan penataan
wilayah sesuai hukum yang berlaku.
Wilayah merupakan faktor penting dalam pembentukan suatu negara, baik
dilihat dari hukum tata negara maupun hukum internasional. Wilayah suatu negara
terdiri dari unsur� daratan, lautan
maupun udara, yang dianggap sebagai wilayah territorial. Penentuan batas
wilayah laut senantiasa dilakukan memperhatikan pertimbangan, berupa: (1)
Keadaan geografis; (2) Pertimbangan strategi (keuntungan dan kerugian di dalam
pertahanan dan keamanan, dan kesamarataan (tingkatan). Bagi negara-negara yang
wilayahnya berbatasan dengan wilayah negara lain tidak ditentukan secara
sepihak, melainkan memperhatikan historisnya dan perjanjian yang dilakukan (Defilla, Haryono, & Edorita, 2016).
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai wilayah kedaulatan
di darat, laut dan udara memiliki keadaan geografis yang unik sebagai negara
kepulauan (archipelagic state). Keadaan geografis yang unik ini menjadi faktor
determinan dalam sektor perikanan laut nasional. Banyaknya kapal asing yang
secara ilegal beroperasi melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan
Nusantara, membuat sektor perikanan dan kelautan mengalami kerugian besar.
Dalam 2016 sampai dengan bulan November, Kapal Pengawas Perikanan setidaknya
telah menangkap 141 kapal ilegal, yang diantaranya terdiri dari 118 Kapal
Perikanan� Asing (KIA) dan 23 Kapal
Perikanan Indonesia (KII) (Khairi, 2016).
Hal ini dapat menimbulkan masalah overfishing pada perairan Indonesia, sehingga
yang berakibat pada berkurangnya potensi sumberdaya perikanan. Dalam skala
makro, overfishing dapat menimbulkan suatu fenomena yang disebut sebagai
fleet migration.
Dengan ditandatanganinya United Nation Convention on the Law of the
Sea 1982 oleh Pemerintah Indonesia, dikeluarkan undang-undang mengenai
perikanan. Hukum positif mengenai perikanan yang berlaku sekarang adalah UU
Nomor 45 Tahun 2009. Melalui pengaturan ketentuan perikanan dalam
undang-undang, maka kebijakan pembangunan hukum perikanan dan kelautan mulai
diperhatikan, teristimewa diarahkan pada pentingnya perlindungan dan penegakan
hukum di laut, di samping perhatian terhadap besarnya sumber kekayaan alam yang
terkandung di wilayah laut. Upaya perlindungan hukum sektor perikanan dapat
dilihat dengan diaturnya hak pengelolaan perikanan, dimana setiap usaha
perikanan dilakukan dalam wilayah perikanan yang meliputi: (1) Perairan
Indonesia; (2) Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan (3) laut lepas. Di dalam
wilayah ini ditegaskan bahwa pengelolaan hanya diperbolehkan oleh warga negara
Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pengecualian terhadap ketentuan
ini hanya dapat diberikan dalam bidang penangkapan ikan, sepanjang hal tersebut
menyangkut kewajiban Negara berdasarkan ketentuan persetujuan internasional
atau hukum internasional yang berlaku (Pasal�
9 UU nomor 31 Tahun 2004).
UU Nomor 32 Tahun 2014� menegaskan
bahwa Wilayah Laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta
laut lepas dan kawasan dasar laut internasional (Pasal 6 ayat (1). Di dalam
wilayah laut Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak melakukan pengelolaan
dan pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan Laut, berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional (Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3). Oleh
karena itu, usaha-usaha perikanan dan kelautan, baik yang dilakukan oleh
perorangan maupun badan hukum, diwajibkan memiliki surat ijin usaha perikanan
(SIUP) dan surat ijin penangkapan ikan (SIPI). Selanjutnya bagi kapal yang
digunakan untuk mengangkut ikan harus memiliki surat ijin kapal pengangkut ikan
(SIKPI).
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang pentingnya sektor
kelautan dan perikanan serta masalah kemaritiman yang lain, telah menyebabkan
ditetapkannya Kementerian Perikanan dan Kelautan untuk mengurus masalah
kelautan dan perikanan. Di lain pihak, agar masalah kemaritiman lain menjadi
sektor yang diunggulkan, maka dibentuk lagi Kementerian Koordinator Kemaritiman
untuk mengkoordinasikan kemaritiman, kelautan, perikanan, perhubungan,
pariwisata kelautan dalam satu dinamikan yang mengutamakan kesatuan kebijakan
yang utuh dan menyeluruh. Pada bagian lain adanya kebijakan �menenggelamkan
kapal� penangkap ikan yang melakukan illegal fishing, telah menjadi
primadona kebijakan penanggulangan illegal fishing di Indonesia. Hal ini
berkaitan dengan masalah penegakan hukum dalam penanggulangan illegal
fishing di Indonesia.
Masalah penanggulangan Illegal Fishing di Provinsi Maluku sebagai
suatu provinsi dengan karakteristik kepulauan merupakan suatu masalah yang
rumit. Oleh karena itu, masalah penanggulangan illegal fishing� di Provinsi Maluku haruslah dianalisis dalam
konteks kebijakan negara. Dalam konteks ini, menurut E.S. Quade dalam buku Analysis
for Public Decisions (Dunn, 2003),
analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan
menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan bagi para
pembuat kebijakan dalam membuat keputusan.
Untuk dapat menganalisis kebijakan penanggulangan illegal fishing,
perlu diketahui terlebih dahulu permasalahannya. Berdasarkan hasil wawancara
terstruktur, dapat diketahui bahwa penanggulangan illegal fishing di
Provinsi Maluku, menghadapi masalah yang selalu terjadi dalam pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yaitu lemahnya penegakan hukum. Lemahnya penegakan
hukum di laut, menurut Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) (Romeantenan, 2011),
bahwa di dalam penyelenggaraan penegakan hukum di laut masih terdapat
permasalahan, seperti: (1) belum adanya kesamaan persepsi tentang penegakan
keamanan di laut yang diimplementasikan dalam bentuk penegakan kedaulatan dan
penegakan hukum di laut; (2) tidak adanya kesatuan komando, sehingga kegiatan
operasional di laut sulit dipadukan; (3) kurang tegasnya peraturan dan
perundang-undangan yang ada; (4) keterbatasan sarana dan prasarana serta
sumberdaya yang dimiliki aparat penegakan hukum di laut; dan (5) sistem
perizinan yang pengaturannya tidak satu atap sehingga dapat mengakibatkan
penyalagunaan wewenang oleh aparat maupun para pengguna perizinan.
Konteks di atas sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto (Soekanto, 2002),
bahwa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum meliputi : (a) faktor hukumnya
sendiri, terutama peraturan perundang-undangan; (b) faktor penegak hukum, yakni
pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; (c) faktor sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum; (d) faktor masyarakat yakni
lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan (e) faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Pasal 59 UU Nomor 32 Tahun 2014 menegaskan penegakan kedaulatan dan hukum
di perairan Indonesia, dasar Laut, dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang
sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan hukum internasional
(bandingkan Pasal Pasal 69, 71 dan 73 UU Nomor 45 Tahun 2009). Atas dasar ketentuan dalam kedua undang-undang di
atas, Menteri Perikanan dan Kelautan menerapkan hukuman pembakaran kapal ikan
yang melakukan illegal fishing terutama kepada kapal-kapal asing.
Faktor Penegakan hukum dalam penanggulangan illegal fishing,
hendaknya memperhatikan faktor lain. Pertama, lemahnya koordinasi lintas
institusional. Dalam pelaksanaan pembangunan, pendekatan yang selalu
dipergunakan adalah pendekatan sektoral. Kedua, pengaruh orientasi pembangunan
yang dilakukan pemerintah, yang menitikberatkan pada pengelolaan sumber
kekayaan alam di darat, telah bergeser ke laut; Dalam konteks Illegal
Fishing, adanya orientasi penangkapan perikanan yang bergeser dari wilayah
Barat Indonesia ke wilayah Timur Indonesia.
Ketiga, masyarakat (terutama masyarakat hukum adat) belum dilibatkan
secara maksimal dalam menjaga sumber kekayaan alam di laut terkait dengan illegal
fishing. Keempat, kedudukan Provinsi Maluku sebagai provinsi kepulauan yang
berada pada Kawasan Perbatasan Negara. Provinsi Maluku dengan karakteristik
kepulauan dengan lautan yang luas dan pulau-pulau kecil, berbatasan dengan 2
(dua) negara tetangga, yakni Australia dan Timor Leste.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka kebijakan penanggulangan illegal
fishing di Provinsi Maluku sebagai suatu provinsi kepulauan hendaknya
dikembangkan dalam suatu sistem yang utuh dan komprehensif. Kebijakan penanggulangan illegal
fishing di Provinsi Maluku yang komprehensif dan utuh merupakan suatu kebijakan yang menampakkan
atau memperlihatkan karakteristik sistem dengan ciri-ciri di atas, (1)
Penegakan hukum di laut dilakukan secara terintegrasi yang melibatkan
keseluruhan komponen secara bersama melalui pembagian peran secara proporsional
berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing; (2) Suatu kerjasama lintas
institusional patut dikembangkan dalam konteks peran bersama melaksanakan
penegakan hukum dan mengamankan perairan Indonesia dari berbagai tindakan
merusak yang dapat menimbulkan kesengsaraan rakyat Indonesia; (3) Kerjasama
lintas institusional ini kemudian dikembangkan dalam memberikan ruang
partisipasi masyarakat terutama masyarakat hukum adat dalam menjaga wilayah
petuanan (ulayat) nya; (4)
Mendorong berkembangnya orientasi pembangunan kelautan melalui pemberdayaan
masyarakat untuk dapat memanfaatkan secara maksimal potensi sumberdaya alam
kelautan yang tersedia; (5) Mendorong percepatan pembangunan pada Kawasan
Perbatasan yang berfungsi sebagai Beranda Depan Negara melalui dua pendekatan
yaitu (1) pendekatan keamanan (security approach), yang dilakukan
bersamaan dengan (2) pendekatan kesejahteraan (prosperity approach)
dalam suatu �tarikan nafas� keterpaduan yang proporsional.
Kesimpulan���
Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia terutama
UU Nomor 45 Tahun 2009 dan
UU Nomor 32 Tahun 2014 telah dapat mengatur
dan memberikan kepastian hukum dalam kerangka
penanggulangan kegiatan illegal
fishing yang banyak terjadi
di perairan Kepulauan
Maluku. Dengan diratifikasinya
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk
melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar intemasional.
Akan tetapi, kondisi ini menimbulkan persoalan baru, terutama banyaknya kapal asing maupun
kapal dalam negeri yang secara ilegal beroperasi
melakukan penangkapan ikan
di wilayah perairan Nusantara, terutama
di wilayah laut Provinsi
Maluku.
Instrumen
kebijakan yang dapat digunakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk
menanggulangi permasalahan kegiatan illegal fishing di Indonesia terutama di
wilayah Perairan Provinsi Maluku; (1) mengakomodir dalam suatu sistem yang utuh
dan komprehensif dengan mengintegrasikan dimensi penegakan hukum yang
terkoordinir antar institusi, melibatkan masyarakat hukum adat, dan
dilaksanakan dengan orientasi pembangunan kelautan serta mengutamakan
pengembangan kawasan perbatasan Negara; (2) memperhatikan faktor-faktor; (a)
insentif, berupa murahnya resources fee, baik untuk kapal berbendera
asing maupun kapal berbendera Indonesia; (b) meminimalisasi adanya disparitas
(perbedaan) harga ikan di dalam dan luar negeri karena adanya mekanisme pasar;
(c) pelaksanaan hukum atau penegakan hukum.
Amelia Wn, Rahma. (2016). Sekuritisasi
Foreign Illegal Fishing Pada Pemerintahan Joko Widodo (2014-2016). Google Scholar
Defilla, Fella, Haryono, Dodi, &
Edorita, Widia. (2016). Reklamasi Singapura Terhadap Kedaulatan wilayah
Republik Indonesia Berdasarkan Hukum Laut Internasional. Riau University. Google Scholar
Dunn, William N. (2003). Pengantar
analisis kebijakan publik. Google Scholar
Fauzi, Akhmad. (2005). Kebijakan
perikanan dan kelautan: isu, sintesis, dan gagasan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. Google Scholar
Hadiwinata, Ahmad Marthin. (2015). Analisis
Hukum Terhadap Pengaturan Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat Di
Indonesia. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 2(1), 1�29. Google Scholar
Khairi, Mawardi. (2016). Politik Hukum
Pemerintah Dalam Penanganan Tindak Pidana Perikanan (Illegal Fishing) Di
Indonesia. Fiat Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, 10(2). Google Scholar
Kusumastanto, T. Makalah. (2008). Ocean Policy dalam Membangun Negara Bahari. PKSPL IPB. Google Scholar
Nikijuluw, Victor P. H., Adrianto, Luky,
Bengen, Dietriech G., Sondita, M. Fedi A., Monintja, Daniel, Siry, Hendra
Yusran, Nainggolan, Pahala, Susanto, Handoko Adi, Megawanto, Rony, &
Koropitan, Alan F. (2013). Coral governance. IPB Press. Google Scholar
Pramono, Djoko. (2005). Budaya bahari.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Google Scholar
Rahmat, Aguslim, Nurbeti, Nurbeti, &
Suparman, Khan. (2021). Peranan Dinas kelautan dan Perikanan Terhadap
Pelestarian Terumbu Karang di Kawasan Pesisir dan Pulau�pulau Kecil Peraturan
Daerah Provinsi Sumatera Barat. Universitas Bung Hatta. Google Scholar
Romeantenan, Matheus Ramses. (2011). Penegakan
hukum di wilayah laut teritorial indonesia oleh tni-al berdasarkan
undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara. UNS (Sebelas
Maret University). Google Scholar
Sitanala, Reinier Sukarnolus Dimitri.
(2019). Efektifitas Penegakan Hukum Terhadap Eksploitasi Sumber Daya Perikanan
Di Zona Ekonomi Eksklusif Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983. Sasi,
24(2), 161�167. Google Scholar
Soekanto, Soerjono. (2002). Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Jakarata: PT Raja Grafindo Persada.
Indonesia. Google Scholar
Victor PH Nikijuluw. (2008). Blue Water
Crime. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Google Scholar
�
Copyright holder: Wilshen Leatemia,
Ricky Marthen Wattimena (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |