Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 11, November 2021

�

LITERASI MEDIA KOMUNIKASI DALAM MANAJEMEN KESEHATAN PADA PENANGANAN BAHAYA DEMAM BERDARAH (DBD) DI KECAMATAN GAMBUT

 

M. Irpan, Yusrina Ulfah, Abdul Gafar, Lukman Hakim, Marhaeni Fajar Kurniawati

Universitas Islam Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari, Banjarmasin

Email:� [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kemajuan teknologi akhir-akhir ini sangat strategis dan begitu signifikan dalam interaksi ditengah kehidupan masyarakat kita, tidak terkecuali pada Kesehatan masyarakat, justru menjadi krusial, karena itu pemerintah sangat konsen terhadap kesehatan masyarakat. Jika Kesehatan masyarakat baik maka akan menopang ekonomi kehidupan masyarakat itu sendiri, sehingga kesadaran akan pentingnya kesehatan dilingkungan masyarakat di kecamatan Gambut merupakan hal utama yang dikedepankan, mengingat bahwa musim penghujan akhir-akhir ini menyebabkan banyaknya genangan air yang tidak mustahil menjadi penyebab penyakit demam berdarah.� Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang menular dengan cepat, khususnya di wilayah tropis dan subtropis. DBD dapat menular dengan cepat karena virus dengue dipindahkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus ke dalam tubuh manusia. Penyebab belum maksimalnya program pengendalian DBD karena belum adanya pemetaan terkait wilayah rentan DBD. Media Komunikasi menjadi bagian penting bagi Kesehatan masyarakat, terutama dalam manajemen Kesehatan pada penanganan bahaya demam berdarah di Kecamatan Gambut, dimana media komunikasi sebagai salah satu unsur komunikasi yang dapat dipergunakan untuk penyampaiann informasi Kesehatan kepada masyarakat terhadap bahaya demam berdarah itu sendiri. Metodologi Penelitian yang penulis gunakan adalah metodologi kualitatif deskiriptif dengan pendekatan kualitatif judgment guna memberikan desktipsi literasi media komunikasi dalam manajemen kesehatan dan bahaya demam berdarah bagi masyarakat. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah terutama pengelolaan manajemen kesehataan dalam penggunaan media komunikasi pada penanganan bahaya deman berdarah.�

 

Kata Kunci: media komunikasi; komunikasi; manajemen kesehatan

 

Abstract

Recent technological advances are very strategic and very significant in the interactions in the midst of our people's lives, including public health, which is even more crucial, because of that the government is very concerned about public health, if public health is good, it will support the economic life of the community itself, So that awareness of the importance of health within the community in the Peat district is the main thing to be put forward, given that the recent rainy season has caused a lot of standing water which is not impossible to cause dengue fever. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a disease that spreads rapidly, especially in tropical and subtropical regions. DHF can be transmitted quickly because the dengue virus is transferred by the Aedes aegypti and Aedes albopictus mosquitoes into the human body. The cause of the inadequate DHF control program is that there is no mapping related to dengue susceptible areas. Communication media is inevitable for health, especially in health management in handling the dangers of dengue fever in Peat District, considering that communication media is an element of communication that can be used to convey health information to the public about the dangers of dengue fever itself. The research methodology that the author uses is descriptive qualitative methodology with a qualitative judgment approach to provide a literacy description of communication media in health management and the dangers of dengue fever for the community. The results of this study are expected to be useful for the government, especially the management of health management in using communication media in handling the dangers of dengue fever itself.

 

Keywords:� communication of media, communication; health management

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20

 

Pendahuluan

Penyakit Demam Berdarah (Demam Berdarah Dengue) atau DHF (Dengue Heamorrahagic Fever) merupakan penyakit yang potensial menimbulkan wabah, karena sulit diprediksi dan mudah menular. Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang bersifat akut, dengan manifestasi pendarahan dan berten-densi menimbulkan shock yang dapat mengakibatkan kematian. Penyebab demam berdarah (DBD) adalah virus Dengue Famili Flaviviridae, ditularkan dari gigitan nyamuk Aedes aegypti. Virus Dengue secara taksonomi termasuk dalam kelompok virus dari RNA genus Flavivirus dan keluarga Flaviviridae, tetapi secara khusus juga diklasifikasikan menjadi dalam kelompok virus yang ditularkan oleh arthropoda (Arbovirus).

Ada 4 jenis serotipe virus demam berdarah yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempat serotipe bisa jadi ditemukan beredar bebas di Indonesia dengan DEN-3 sebagai serotipe yang paling. Orang yang terinfeksi satu serotipe dengue akan kebal terhadap serotipe tersebut se-umur hidup tetapi tidak kebal terhadap serotipe lain (Febrian-to, 2012).

Tingkat keparahan infeksi dengue pada manusia memiliki banyak faktor tergantung interaksi serotipe yang berbeda dengan latar belakang imun seseorang yang juga berbeda satu dengan yang lainnya. Seringkali diduga bahwa respon infeksi yang parah merupakan respon imun terhadap be-berapa serotipe yang berbeda (respon imun serotipe silang), yang sering terjadi pada orang yang mengalami infeksi kedua dengan serotipe virus yang berbeda. Teori ini percaya bahwa ada mekanisme yang bergantung pada antibodi di balik peningkatan ini (ADE). Antibodi dari serotipe lama akan mengganggu reaksi kekebalan terhadap serotipe baru, sehingga memudahkan lebih banyak virus yang masuk ke tubuh inangnya (Dejnirattisai et al., 2010).

Manusia adalah sebagai potensi utama yang terkena virus, meskipun beberapa penelitian menun-jukkan bahwa monyet di beberapa bagian dunia dapat terinfeksi dan dapat bertindak sebagai sumber virus untuk menggigit nyamuk. DBD merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk infektif, khususnya Aedes aegypti. Saat terinfeksi, nyamuk tetap terinfeksi selama sisa hidup mereka, menularkan virus ke individu yang rentan saat menggigit dan menghisap darah. Nyamuk betina yang terinfeksi juga dapat menularkan virus ke generasi-generasi nyamuk dengan penularan transovarian, tetapi ini jarang terjadi dan kemungkinan tidak secara signifikan memperburuk penularan manusia (Wahyuningsih, 2014). Vektor DBD membutuhkan lingkungan yang nyaman untuk berkembangbiak. Faktor lingkungan adalah lingkungan fisik, kimia, biologi dan sosial budaya (Dinata & Dhewantara, 2012). Berhubung dengan perkembangan penyakit, antara lain DBD, perubahan unsur lingkungan fisik Artinya, faktor iklim perlu diwaspadai. Antara Faktor iklim tersebut adalah suhu, kelembaban dan curah hujan (Ramachandran & Madhumathy, 2016). Benda ini bisa dibuktikan dengan beberapa penelitian, misalnya penelitian tentang Pertunjukan di Guangzhou, Cina Selatan ada hubungan yang signifikan antar elemen iklim yaitu suhu dan kelembaban dengan kejadian DBD pada periode 2005 hingga 2014 (Dai, Xiang, Li, & Bai, 2016).

Penelitian di Kolombia, Cerete, menunjukkan bahwa faktor kelembapan, dan curah hujan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian DBD pada periode 2003-2008 dimana peningkatan curah hujan dan kelembaban naik saat kasing meningkat DBD (Mattar, Morales, Cassab, & Rodr�guez-Morales, 2013). Penelitian yang dilakukan di Kota Batam, Kepulauan Riau, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara faktor suhu dan curah hujan dengan kejadian DBD dalam periode 2001-2009 (Arianti & Putra, 2018). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Kota Semarang menunjukkan bahwa faktor iklim berupa suhu, curah hujan, dan kelembaban memiliki hubungan bermakna dengan kejadian DBD periode 2011-2015 (Argintha, Wahyuningsih, & Dharminto, 2016). Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap kasus DBD di DKI Jakarta adalah curah hujan suhu dan kelembaban (Sintorini, 2007).

Dengan mengetahui dampak perubahan faktor iklim terhadap kejadian DBD, dapat membantu pemerintah dan masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan langkah pencegahan DBD. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian di Kabupaten Pandeglang mengenai ada tidaknya pengaruh perubahan pada unsur iklim (suhu, kelembaban dan curah hujan) dengan kejadian DBD sejak tahun 2011 hingga 2016. Senada dengen peelitian sebelumnya, penye-baran DBD di kecamatan Gambut Kabupaten Banjar tampaknya memang kurangnya kesadaran masyarakat pada perubahan faktor iklim terhadap kejadian DBD ditahun 2021 ini, karena adanya genangan tampungan air hujan yang dapat menjadi tempat Virus Aedes Aegypti. Sehingga diperlukan media komunikasi bagi manajemen Kesehatan di dalam penangangan bahaya demam berdarah, dengan penguatan literasi media komunikasi bagi masyarakat, dan diharapkan dapat memudahkan manajemen Kesehatan dalam memberikan be-berapa informasi bahaya demam berdarah kepada masyarakat tersebut.

Penelitian di atas mempertegas pentingnya dilakukan penulis pada penelitian selanjutnya, dalam hal ini tentang pemanfaatan media komunikasi dalam penyebaran informasi kesehatan di tengah kehidupan masyarakat. Jika penelitian di atas menunjukkan informasi kesehatan bagi masyarakat, lain halnya dengan penelitian penulis kali ini yang mengungkapkan tentang media komunikasi dalam penyebaran informasi kesehatan bagi masyarakat.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian kualitatif studi kasus merupakan metode yang relevan digunakan dalam penelitian ini. Dengan menggunakan pendekatan ini penulis juga dapat memberikan pandangan yang komprehensif dan mendalam mengenai media informasi kesehatan. (Creswell, 2016) mendefinisikan studi kasus dengan:

�A case study is an exploration of a �bounded system� or a case (or multiple cases) over time through detailed, in-depth data collection involving multiple sources of inform-ation rich in context.This bounded system is bounded by time and place, and it is the case being studied a program, an event, an activity, or individuals. Multiple sources of infor-mation include observations, inter-views, audio-visual material, and documents and reports�.

Definisi lain mengenai studi kasus diungkapkan oleh Robert K. Yin. Yin menyatakan bahwa studi kasus merupakan suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas dan dimana multi sumber bukti Definisi studi kasus lebih tepat mengarah pada pencarian kasus dengan menggunakan pertanyaan how dan why untuk memperoleh hasil penelitian yang akurat dan lengkap (Yin, 2004).

Adapun data primer dalam penelitian ini telah diperoleh dari pihak-pihak terkait langsung melalui teknik pengumpulan data, sebagai berikut:

1.    Observasi atau pengamatan yang dilakukan terhadap perilaku informan

2.    Wawancara langsung secara men-dalam dari informan penelitian

Studi Literatur yang dilakukan dengan menggunakan berbagai referensi yang relevan misalnya jurnal atau penelitian terdahulu.

 

Hasil dan Pembahasan

Komunikasi kesehatan, kemampuan-kemampuan komunikasi tersebut digunakan untuk kepentingan pencapaian derajad kesehatan di masyarakat. Komunikasi yang efektif tergantung dari beberapa hal, seperti situasi saat kita hendak menyam-paikan suatu informasi, siapa pihak yang akan diajak berkomunikasi, dan bentuk dari pesan itu sendiri, apakah cukup menarik atau tidak. Selain itu, komunikasi yang efektif juga melibatkan pengetahuan pada pengirim pesan, kemampuan interpersonal, intelektual dan kemampuan teknis dalam berkomunikasi (Kourkouta, 2014).

Komunikasi berperan penting dalam pelayanan intervensi keperawatan, meningkatkan kepuasan pasien dalam mendapatkan layanan kepera-watan, serta melindungi petugas kesehatan itu sendiri (Kourkouta, 2014). Individu yang bekerja di tatanan kesehatan dan tidak memiliki kemampuan yang baik dalam komunikasi, cenderung akan menemui masalah dan mencampuradukkan urusan pribadi dengan masalah dalam konteks pekerjaannya. Masalah yang sering muncul dalam komunikasi adalah ketika prinsip ini tidak dapat terpenuhi dengan baik, sehingga interaksi dalam berkomunikasi tidak tercapai. Dalam konteks komunikasi kesehatan, prin-sip komunikasi menitikberatkan pada strategi penyampaian informasi kesehatan, dan melakukan evaluasi terhadap informasi kesehatan yang disampaikan kepada masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk memaksimalkan tujuan komunikasi dapat dicapai secara maksimal, diantaranya:

1.    Persiapan

Persiapan tersebut antara lain; pihak atau orang yang terlibat dalam sebuah tim komunikasi, kemampuan dalam keahlian berkomunikasi serta pendanaan yang diperlukan untuk mendukung hal tersebut. Misalnya, sebuah kampanye area bebas rokok, yang mengikutsertakan tim dari beberpa orang yang berasal dari latar belakang keilmuan terkait, seperti; kesehatan, ekonomi kesehatan, kebija-kan publik dan lain-lain.

2.    Merancang model pesan yang akan digunakan

�Dalam tahap ini juga diperlu-kan merumuskan konsep atau isi pesan yang menarik dan mampu memberikan pengaruh pada publik serta siapa pihak atau orang yang akan menyampaikannya. (Output) terdiri dari hasil yang diharapkan dari tahapan kedua.

Hasil-hasil produk komunikasi ini dapat berupa poster-poster yang akan digunakan untuk diseminasi, maupun media yang akan digunakan untuk pemaparan informasi, seperti website-website organisasi atau link website yang dikaitkan dengan website sebuah organisasi.

3.    Jumlah staff yang telah menerima pelatihan terkait komunikasi

Jumlah staff yang menerima pelatihan terkait komunikasi ini begitu penting untuk menjadi perhatian, karena merekalah yang menjadi kendali informasi yang diolah untuk disampaikan, sehingga hal ini tentu akan mempengaruhi kualitas pesan komunikasi yang akan disampaika atau diinformasikan kepada individu atau masyarakat.

4.    Output

�Output, yaitu berupa hasil yang diharapkan setelah pemberian intervensi komunikasi kesehatan. Hasil-hasil tersebut berupa adanya perubahan perilaku masyarakat setempat setelah menerima informasi kesehatan tertentu, meningkatnya pengetahuan masyarakat serta bergesernya sikap negatif ke postif terhadap suatu masalah kesehatan yang dihadapi. Perubahan-perubahan ini menjadikan hal yang sangat penting dalam mengukur keberhasilan program komunikasi kesehatan dalam menciptakan status kesehatan yang meningkat.

5.    Dampak (impacts), merupakan kriteria pengukuran jangka panjang yang memerlukan perlakuan tahapan-tahapan komunikasi sebelumnya dengan rutin dan berkesinambungan. Dari beberapa intervensi yang diberikan dari beberapa pihak yang terkait dalam sebuah program kesehatan. Oleh karena itu, sistem evaluai sangat diperlukan untuk menilai setelah suatu program kesehatan yang melibatkan aktivitas komunikasi (Ashinyo et al., 2020).

Komunikasi kesehatan yang bersifat publik, seperti kampanye kesehatan, sebagian besar masih bersifat satu arah, dimana ada penyampaian informasi dari pakar (experts) kepada peserta (audience). Idealnya, sebuah komunikasi kesehatan melibatkan komunikasi dalam penyu-sunan rencana kegiatan dan implementtasinya, untuk memastikan program komunikasi kesehatan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penyampai pesan yaitu kondisi literasi kesehatan, kebudayaan, serta perbedaan yang ada di masyarakat.

A.  Literasi Media Komunikasi

Literasi media ini amat penting dalam kehidupan masyarakat sebagai pusat perkembangan literasi media. Dapat diamati bahwa literasi media merupakan serangkaian cara pandang seseorang dalam memanfaatkan secara efektif dan efisien, ketika media komunikasi dipergunakan oleh individu aktif, untuk menginterpretasikan makna dari pesan�pesan yang ada di dalam media komunikasi. Literasi media menunjukkan metode dan tingkatan seseorang dalam menggunakan media komunikasi itu di dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian, media komunikasi seringkali memberikan bentuk konten media komunikasi dengan berbagai macam pengetahuan yang telah terstruktur dalam pemaknaan komunikasi sebagai suatu cara membentuk konten budaya dalam komunikasi lintas budaya (makna; perencanaan komunikasi). Tidak semua yang ada di media komunikasi dapat dijadikan pedoman umum yang baik, pasalnya banyak perilaku pengguna dalam mengatur dan memproses berbagai macam bentuk konten media komunikasi sebagai kegunaan konten media itu yang tidak layak diakses, sehingga memberikan dampak media komunikasi yang kurang memadai atau cukup buruk bagi perilaku pengguna media komunikasi itu.

Kesempatan ini akses media komunikasi ini, seringkali dinipulasi berbagai bentuk perilaku konten media dalam literasi medianya. Tafsiran media sebagai literasi media ini mendapat perhatian lebih ketika literasi media digunakan atau muncul dihadapan publik. Fakta tersebut memperlihatkan efektifitas media komunikasi sangat rentan ditinggalkan oleh seseorang individu dengan individu lainnya, dengan pola komunikasi dalam perencanaan, penyajian atau prosedur, evaluasi penyajian konten tertentu. Karena kesulitan atau ketidakpahaman seseorang dalam perencanaan komunikasi yang dilakukannya.

Literasi media ini memiliki arti penting dalam kehidupan manusia sebagai syarat mutlak dari rangkaian literasi media tersebut. Sebagai analisa data untuk memperoleh data itu sebagai tingkatan literasi media dalam mengakses perencanaan komunikasi. Literasi media dapat dipahami sebagai serangkaian kemampuan memahami, menggunakan, mempelajari, dan stra-tegis komunikasi mengenai perilaku pengguna media dalam memanfaatkan dan memberi akses positif meng-komunikasikan pesan�pesan (simbol�simbol) yang diberikan oleh media massa dengan �literasi� melek medianya (media edukasi maupun edukasi media) (Druick, 2016).

B.  Manajemen Media Komunikasi Kesehatan

Komunikasi kesehatan umum-nya dilakukan dalam bentuk: (1) pemasaran sosial yang bertujuan untuk memperkenalkan atau mengubah perilaku positif, (2) penyebarluasan informasi melalui media, dan (3) advokasi, pendampingan komunitas, kelompok, atau media masa dengan tujuan memperkenalkan kebi-jakan, peraturan, dan program-program untuk memperbaharui kese-hatan (Liliweri, 2011). Dalam penelitian ini, komunikasi kesehatan dilaku-kan oleh Millenium Challenge Account Indonesia dalam bentuk kampanye ke daerah-daerah terpilih (Suryana, Sugiana, & Trulline, 2016). Informasi kesehatan yang disampaikan dalam kampanye ini berupa isu stunting, penyebab, dampak dan cara-cara pencegahannya.

Kegiatan ini juga fokus pada keluarga sehat yang mendorong laki-laki dan perempuan aktif berbagi keputusan rumah tangga, sebagai rangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada khalayak dalam jumlah yang besar, dilakukan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu (Rogers & Storey, 1987).

Menurut (Ukas, 2004),� bahwa fungsi komunikasi adalah; fungsi informasi, fungsi komando akan perintah, fungsi mempengaruhi dan penyaluran serta fungsi integrasi.

�(Koehler, Anatol, & Applbaum, 1981) mengemukakan empat fungsi komunikasi organisasi, yaitu:

a.    Fungsi Informasi.

�Dari fungsi komunikasi tersebut, bahwa fungsi informasi, dengan melalui komunikasi maka apa yang ingin disampaikan oleh nara sumber atau pemimpin kepada bawahannya dapat diberikan dalam bentuk lisan ataupun tertulis. Melalui lisan manajer atau pemimpin dengan bawahan dapat berdialog langsung dalam menyampaikan gagasan dan ide. Seorang administrator organisasi harus membuat keputusan mengenai program yang mesti disusun dalam tahapan tertentu berdasarkan infor-masi dari sejumlah komponen organisasi yang semuanya bermuara pada kebutuhan informasi yang tepat waktu, benar dan memiliki validitas tinggi.

b.    Fungsi Regulatif.

�Fungsi ini dimaksudkan sebagai proses yang dilakukan manajer yaitu mengawasi perpindahan perintah informasi pengiriman pesan kepada bawahan. Perintah itu dipahami oleh bawahan sebagai peraturan yang harus dikerjakan. Fungsi regulasi akan perintah tentunya berkaitan dengan kekua-saan, di mana kekuasaan orang adalah hak untuk memberi perintah kepada bawahan di mana para bawahan tunduk dan taat dan disiplin dalam menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Suatu perintah akan berisikan aba-aba untuk pelaksanaan kerja yang harus dipahami dan dimengerti serta yang dijalankan oleh bawahan. Dengan perintah terjadi hubungan atasan dan bawahan sebagai yang diberikan tugas.

c.    Fungsi Persuasif

Dalam fungsi persuasif berarti memasukkan unsur-unsur yang meyakinkan dari atasan baik bersifat motivasi maupun bimbingan, sehing-ga bawahan merasa berkewajiban harus menjalankan pekerjaan atau tugas yang harus dilaksanakannya. Dalam kegiatan mempengaruhi, komunikator harus luwes untuk melihat situasi dan kondisi di mana bawahan akan diberikan tugas dan tanggung jawab, sehingga tidak merasa bahwa sebenarnya apa yang dilakukan bawahannya itu merupakan beban, ia akan merasakan tugas dan tanggung jawab.

d.    Fungsi Integratif.

�Pada fungsi integrasi bahwa organisasi sebagai suatu sistem harus berintegrasi dalam satu total kesatuan yang saling berkaitan dan semua urusan satu sama lain tak dapat dipisahkan, oleh karena itu orang-orang yang berada dalam suatu organisasi atau kelompok merupakan suatu kesatuan sistem, di mana seseorang itu akan saling berhubungan dan saling memberikan pengaruh kepada satu sama lain dalam rangka terciptanya suatu proses komunikasi untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetap-kan (Koehler et al., 1981).� Untuk itu dalam rangka meningkatkan efekti-vitas komunikasi dalam organisasi perlu ditingkatkan kesadaran akan kebutuhan komunikasi yang efektif untuk memperlancar tugas dan pencapaian tujuan.

C.  Komunikasi Sebagai Sistem Komprehensif

Penyampaian informasi kese-hatan ini, petugas kesehatan perlu memperhatikan kelima unsur penting dalam komunikasi, yaitu komunikator, pesan yang disampaikan, media untuk penyampaian pesan kesehatan, audience dari pesan tersebut, dan efek yang diharapkan dari proses penyampaian suatu pesan. Komunikator atau pihak yang mengirimkan atau menyampaikan pesan harus mampu menyampaikan pesan dengan jelas. Pihak penyampai pesan ini harus sepaham terlebih dahulu apa pentingnya pesan tersebut disampaikan serta efek yang diharapkan dari pengiriman pesan tersebut.

Sedangkan lebih lanjut, komunikasi memiliki peranan sebagai berikut:

a.    Sebagai media pengirim pesan, dengan tujuan agar orang lain memahami isi ide yang dikirimkan

b.    Pengiriman pesan juga memiliki fungsi spesifik untuk meningkatkan pengetahuan orang lain terhadap sesuatu hal. Konteks ini banyak kita dapatkan dalam konteks komunikasi Kesehatan.

c.    Komunikasi juga bertujuan untuk menyampaikan pesan yang berisi komando atau perintah untuk melakukan sesuatu hal, dan,

d.    Lebih jauh lagi, komunikasi ini diharapkan akan memberikan pengaruh pada orang yang menerima pesan tersebut.

 

D.  Pengembangan Sistem Infomasi Kesehatan

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tahap-tahap pengembangan sistem manajemen informasi kesehatan, yaitu sebagai berikut (Act, Ng and Unt, no date):

a.    Melakukan review pada sistem yang telah ada, yang akan berfungsi sebagai need assessment terhadap kebutuhan evaluasi sistem informasi kesehatan.

b.    Menentukan data-data atau informasi apa saja yang dibutuhkan dalam setiap unit dalam sistem kesehatan

c.    Menentukan data yang paling sesuai yang akan digunakan sebagai basis pertimbangan dalam manajemen sistem kesehatan

d.    Merancang bagaimana data akan dikumpulkan dan alat apa yang akan digunakan dalam pengumpulan data tersebut. Hal ini penting untuk diperhatikan, mengingat data-data tertentu juga memerlukan Teknik pengumpulan data yang spesifik. Misalnya data tentang kepuasan pasien terhadap layanan suatu pusat kesehatan, akan dikumpulkan melalui survei berbasis internet untuk menjangkau responden yang lebih luas.

e.    Tahapan selanjutnya yaitu bagaimana prosedur dan mekanisme dalam memproses informasi-informasi dari data yang sudah didapatkan.

f.     Merancang suatu pelatihan yang bertujuan untuk pemanfaatan data dan manajemen data. Kemampuan teknis ini akan sangat berpengaruh terhadap seberapa besar sebuah system informasi kesehatan akan dapat berkontribusi untuk masyarakat. Sistem informasi yang baik, namun dari aspek pengguna (users) ditemui hambatan atau ketidaktepatan pemakaian, maka system informasi tersebut dapat dikatakan belum optimal dalam mendukung ketercapaian implementasi program kesehatan. Demikian pula sebaliknya, pihak penyedia informasi (providers) yang kurang memahami system informasi kesehatan, juga akan mengakibatkan pada penyediaan data yang kurang atau tidak valid.

g.    Mengadakan pre-test, dan jika diperlukan mendesain kembali proses atau prosedur pengambilan data, pengolahan serta pemanfaatan data agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

h.    Tahapan selanjutnya yaitu monitoring (pengawasana) dan evaluasi pada sistem informasi kesehatan. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi baik oleh users atau providers.

i.      Setelah system informasi terbangun dengan baik dan dimanfaatkan dengan optimal, maka diperlukan sebuah tahapan diseminasi data dan mengembangkan system pengolahan tanggapan atau feedback untuk keberlangsungan sistem informasi tersebut.

j.      Tahapan terakhir yaitu perlunya pengembangan yang terus menerus dari Health Management Information System (HMIS). Perubahan sistem pelayanan kesehatan, arus komunikasi yang terbangun di tataran teknis dan kemampuan users-providers dalam memanfaatkan data-data informasi kesehatan, akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana sebuah system perlu untuk dilakukan pengembangan.

Informasi menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah informasi kesehatan karena berhubungan dengan kondisi fisik setiap individu. mengungkapkan pentingnya memba-ngun ketahanan informasi nasional dalam perspektif komunikasi kesehatan bagi perempuan urban di era digital. Ketahanan informasi yang dimaksud dalam hal ini tentunya informasi kesehatan.

Ketika teknologi hadir memberikan kemudahan dalam proses komunikasi bermedia, maka informasi kesehatan pun dengan mudahnya dapat diakses oleh kalangan perempuan urban di era tersebut. Dengan memanfaatkan peran media digital, tetapi dalam rangka membangun ketahanan informasi nasional, maka mereka pun memiliki tahapan yang dilakukan dalam pencarian informasi kesehatan secara bermedia. Tahapan tersebut terdiri dari pemilihan sumber yang kredibel; adanya filterisasi kognitif agar tidak terkena informasi kesehatan yang bersifat hoax; memilih media komunikasi yang tepat; serta aktif mencari komunitas yang peduli kesehatan (Prasanti & Fuady, 2018).

E.  Autokorelasi Spasial Demam Berdarah Dengue

Semakin banyak kasus DBD di suatu wilayah yang padat penduduk maka semakin besar peluang terjadinya autokorelasi spasial, pola sebaran kasus DBD memiliki autokorelasi spasial yang bersifat positif. Selain itu, fenomena autokorelasi spasial kasus DBD juga terjadi, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan pola sebaran kasus DBD. Alasannya karena jarak terbang nyamuk sekitar 50 meter akan memudahkan perpindahan virus dengue pada perumahan yang padat penduduk. Kondisi yang sama juga terjadi di wilayah kerja puskesmas suatu daerah. Sebaran kasus DBD dapat dihitung jarak penyebaran kasusnya dengan menggunakan average nearest neighbor. Beberapa kasus DBD memiliki jarak penyebaran penyakit antara 100-200 meter.

Analisis efektivitas fogging dengan menggunakan buffer. Pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa program fogging belum mampu menjangkau seluruh wilayah rentan DBD (Pertiwi & IP, 2020). Risiko penyebaran DBD pada hotspot yang padat penduduk dapat meningkat jika masyarakat di wilayah tersebut masih belum berperilaku hidup bersih dan sehat, khususnya melaksanakan program 3M (Menguras, Menutup, Mendaur ulang). Maka dari itu, peran ibu rumah tangga menjadi sangat penting dalam memutus mata rantai perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti di sekitar rumah. Pengelompokan rumah tangga berdasarkan kepadatan larva nyamuk Aedes aegypti di sekitar rumah dapat membantu dalam memaksimalkan penanganan penularan DBD (Putra & Kurniawan, 2016).

Program pengendalian penularan DBD di puskesmas harus dilaksanakan secara efektif. Pelaksanaan program pengendalian DBD harus tepat pada radius penyebaran virus dengue. Misalnya pelaksanaan fogging, harus menjangkau seluruh radius yang terdeteksi keberadaan nyamuk Aedes aegypti yang telah membawa virus dengue atau di lokasi yang masyarakatnya telah terkena penyakit DBD. Namun perlu dipahami bahwa pengendalian vektor DBD melalui program thermal fogging dapat menimbulkan permasalahan baru jika tidak dikelolah dengan baik. Penggunaan malation dalam program thermal fogging dapat membuat nyamuk Aedes aegypti menjadi resisten (Sukmawati, Ishak, & Arsin, 2018).

Faktor lingkungan fisik juga memberikan pengaruh terhadap peningkatan radius hotspot DBD. Berdasarkan beberapa penelitian, faktor lingkungan fisik seperti curah hujan dan kepadatan penduduk termasuk faktor risiko yang berkontribusi besar terhadap penyebaran penyakit DBD. Selain itu, faktor lainnya yang menyebabkan mudahnya DBD menjadi wabah yaitu keberadaan tempat bertelur (breeding habit) nyamuk Aedes aegypti pada air jernih dan bersih di sekitar lingkungan rumah. Habitat yang paling disukai oleh nyamuk Aedes aegypti yaitu lingkungan dalam rumah terutama di bak mandi. Kebiasaan menggigit nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik, artinya nyamuk Aedes aegypti lebih cenderung menghisap darah manusia dibandingkan makhluk hidup lainnya. Pada saat nyamuk Aedes aegypti menghisap darah penderita DBD maka virus dengue menginfeksi tubuh nyamuk tersebut. Virus dengue yang masuk ke dalam tubuh nyamuk Aedes aeigypti, akhirnya masuk ke dalam kelenjar ludahnya. Virus dengue membutuhkan lebih dari delapan hari untuk berkembang biak dengan baik sehingga menjadi infektif. Setelah delapan hari, virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti kemudian akan terus bersifat infektif sepanjang hidupnya Penanggulangan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) harus dimulai dengan menghambat perkembangbiakan jentik nyamuk. Salah satu cara untuk mengurangi penyakit DBD dapat dilakukan dengan menekan populasi serangga vektor pembawanya (Syam & Pawenrusi, 2017). Selain itu, pengendalian perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan dengan pendekatan biologi seperti dengan menggunakan Teknik Serangga Mandul (TSM). TSM merupakan suatu metode pengendalian vektor DBD dengan membunuh serangga menggunakan serangga itu sendiri (autocidal technique). Teknik ini dapat mengurangi kepadatan nyamuk Aedes aegypti di suatu wilayah (Sutiningsih, Rahayu, Santoso, & Yuliwati, 2017).

Hasil dan pembahasan pada penelitian ini dapat menunjukkan bahwa literasi masayarakat terhadap media komunikasi dalam penanganan bahaya demam berdarah sangat beragam, hal ini disebakan karena tingkat latar belakang yang berbeda, demikian juga halnya dengan pengetahuan yang dimiliki warga atau masyarakat.

 

Kesimpulan

Program pengendalian penularan DBD di puskesmas harus dilaksanakan secara efektif. Pelaksanaan program pengendalian DBD harus tepat pada radius penyebaran virus dengue. Misalnya pelaksanaan fogging, harus menjangkau seluruh radius yang terdeteksi keberadaan nyamuk Aedes aegypti yang telah membawa virus dengue atau di lokasi yang masyarakatnya telah terkena penyakit DBD. Diperlukan media komunikasi bagi manajemen Kesehatan di dalam penangangan bahaya demam berdarah, dengan penguatan literasi media komunikasi bagi masyarakat, dan diharapkan dapat memudahkan manajemen kesehatan dalam memberikan beberapa informasi bahaya demam berdarah kepada masyarakat tersebut.

Pemanfaatan media komunikasi dalam penyebaran informasi kesehatan mengenai pencegahan maupun pengendalian wabah DBD di tengah kehidupan masyarakat ini sangat diperlukan dalam menekan wabah demam berdarah untuk tidak semakin meluas, karena latar belakang dan minimnya pengetahuan masyarakat lokal mengenai DBD tersebut.�

Dengan mengetahui dampak perubahan faktor iklim terhadap kejadian DBD, dapat membantu pemerintah dan masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan langkah pencegahan DBD. Pengetahuan dan kemampuan tentang media sangatlah penting untuk menunjang kualitas komunikasi dalam upaya menghasilkan manajemen kesehatan pada penanganan bahaya demam berdarah (DBD) di kecamatan gambut dengan baik dan dapat mengcover seluruh daerah dan perihal ini sangat dibutuhkan untuk membantu pemerintah dalam mencapai misi visi menciptakan masyarakat yang sehat dengan manajemen kesehatan terbaik, khususnya dalam penaggulangan DBD.

Berdasarkan hal ini penulis menyarankan agar literasi kesehatan kepada masyarakat lokal dilakukan secara rutin dalam periode tertentu, karena wabah DBD merupakan kejadian tahunan yang sudah bisa diprediksi.� Latar belakang masyarakat lokal, baik pendidikan maupun pola hidup, menjadi faktor penting dalam keberhasilan media komunikasi kesehatan ini, dengan menggunakan penurunan angka wabah sebagai tolak ukur keberhasilannya.�

 

 

 

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Argintha, Widya Gian, Wahyuningsih, Nur Endah, & Dharminto, Dharminto. (2016). Hubungan keberadaan breeding places, container index dan praktik 3M dengan kejadian DBD (studi di kota semarang wilayah bawah). Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 4(5), 220�228. Google Scholar

 

Arianti, Ni Putu Ayu, & Putra, I. Putu Mega Juli Semara. (2018). Pengaruh Profitabilitas Pada Hubungan Corporate Social Responsibility & Good Corporate Governance Terhadap Nilai Perusahaan. Sekolah Tinggi Ilmu (STIE) Ekonomi Triatma Mulya, 24(1), 20�46. Google Scholar

 

Ashinyo, Mary Eyram, Dubik, Stephen Dajaan, Duti, Vida, Amegah, Kingsley Ebenezer, Ashinyo, Anthony, Larsen-Reindorf, Rita, Kaba Akoriyea, Samuel, & Kuma-Aboagye, Patrick. (2020). Healthcare Workers Exposure Risk Assessment: A Survey among Frontline Workers in Designated COVID-19 Treatment Centers in Ghana. Journal of Primary Care and Community Health, 11. Google Scholar

 

Creswell, John W. (2016). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, Dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 5. Google Scholar

 

Dai, Xiaofeng, Xiang, Liangjian, Li, Ting, & Bai, Zhonghu. (2016). Cancer hallmarks, biomarkers and breast cancer molecular subtypes. Journal of Cancer, 7(10), 1281. Google Scholar

 

Dejnirattisai, Wanwisa, Jumnainsong, Amonrat, Onsirisakul, Naruthai, Fitton, Patricia, Vasanawathana, Sirijitt, Limpitikul, Wannee, Puttikhunt, Chunya, Edwards, Carolyn, Duangchinda, Thaneeya, & Supasa, Sunpetchuda. (2010). Cross-reacting antibodies enhance dengue virus infection in humans. Science, 328(5979), 745�748. Google Scholar

 

Dinata, Arda, & Dhewantara, Pandji Wibawa. (2012). Karakteristik lingkungan fisik, biologi, dan sosial di daerah endemis DBD Kota Banjar tahun 2011. Jurnal Ekologi Kesehatan, 11(4), 315�326. Google Scholar

 

Druick, Zo�. (2016). The myth of media literacy. International Journal of Communication, 10, 20. Google Scholar

 

Koehler, Jerry W., Anatol, Karl W. E., & Applbaum, Ronald L. (1981). Organizational communication: Behavioral perspectives. Harcourt School. Google Scholar

 

Kourkouta, L. (2014). Papathanasiou IV. Communication in Nursing Practice. Mater Sociomed, 26(1), 65�67. Google Scholar

 

Liliweri, Alo. (2011). Komunikasi Serba Ada Serba Makna, edisi pertama cetakan ke-1. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Google Scholar

 

Mattar, Salim, Morales, Victor, Cassab, Alexander, & Rodr�guez-Morales, Alfonso J. (2013). Effect of climate variables on dengue incidence in a tropical Caribbean municipality of Colombia, Cerete, 2003�2008. International Journal of Infectious Diseases, 17(5), e358�e359. Google Scholar

 

Pertiwi, Kartika Dian, & IP, Lestari. (2020). Spasial Autokorelasi Sebaran Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Ambarawa. Pro Health Jurnal Ilmiah Kesehatan, 2(1), 29�34. Google Scholar

 

Prasanti, Ditha, & Fuady, Ikhsan. (2018). Pemanfaatan Media Komunikasi Dalam Penyebaran Informasi Kesehatan Kepada Masyarakat (Studi Kualitatif tentang Pemanfaatan Media Komunikasi dalam Penyebaran Informasi Kesehatan di Desa Cimanggu, Kab. Bandung Barat). Reformasi, 8(1), 8�14. Google Scholar

 

Putra, Fikri Handoko, & Kurniawan, Robert. (2016). Clustering for Disaster Areas Endemic Dengue Hemorrhagic Fever Based on Factors Had Caused in East Java Using Fuzzy Geographically Weighted Clustering-Particle Swarm Optimization. Jurnal Aplikasi Statistika & Komputasi Statistik, 8(1), 27. Google Scholar

 

Ramachandran, Dr K. K., & Madhumathy, M. (2016). A study on capital structure and financial performance of Indian textile industry. International Journal of Management, 7(3). Google Scholar

 

Rogers, E. M., & Storey, J. D. (1987). Communication Campaign. Dalam CR Berger & SH Chaffe (Eds.), Handbook of Communication Science. New Burry Park. CA: Sage. Google Scholar

 

Sintorini, Margareta Maria. (2007). Pengaruh iklim terhadap kasus demam berdarah dengue. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National Public Health Journal), 2(1), 11�18. Google Scholar

 

Sukmawati, Sukmawati, Ishak, Hasanuddin, & Arsin, Andi Arsunan. (2018). Uji kerentanan untuk insektisida malathion dan cypermethrine (CYF 50 ec) terhadap populasi nyamuk Aedes aegypti di Kota Makassar dan Kabupaten Barru. HIGIENE: Jurnal Kesehatan Lingkungan, 4(1), 41�47. Google Scholar

 

Suryana, Asep, Sugiana, Dadang, & Trulline, Putri. (2016). Pengaruh atribut agen perubahan (agent of change) pendamping program keluarga harapan (pkh) terhadap perubahan sikap rumah tangga sangat miskin (rtsm) peserta program keluarga harapan (pkh) di kabupaten Bandung. Jurnal Manajemen Komunikasi, 1(1). Google Scholar

 

Sutiningsih, Dwi, Rahayu, Ali, Santoso, Ludfi, & Yuliwati, Sri. (2017). Analisis kepadatan nyamuk dan persepsi masyarakat terhadap penggunaan teknik serangga mandul. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(1), 108�113. Google Scholar

 

Syam, Ilham, & Pawenrusi, Esse Puji. (2017). Efektifitas Ekstrak Buah Pare (Momordica Charantia) dalam Mematikan Jentik Aedes aegypti. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(1), 19�23. Google Scholar

 

Ukas, Maman. (2004). Manajemen: Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Bandung: Penerbit Agnini. Google Scholar

 

Wahyuningsih, Fajriatin. (2014). Analisis spasial kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja puskesmas pengasinan Kota Bekasi Tahun 2011-2013. Google Scholar

 

Yin, Robert K. (2004). The case study anthology. Sage. Google Scholar

 

Copyright holder:

M. Irpan, Yusrina Ulfah, Abdul Gafar, Lukman Hakim, Marhaeni Fajar Kurniawati (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: