Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 11, November 2021

PERADILAN CAMPURAN DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL (HYBRID TRIBUNAL)

 

Muhammad Ansyar, Dimas Pranowo

Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan Negeri Bangka Selatan dan Kejaksaan Negeri Belitung Timur, Indonesia

Email:[email protected], [email protected]

 

Abstrak

Urgensi dibentuknya pengadilan internasional memiliki keterkaitan dengan kejahatan internasional atau kejahatan di bawah yurisdiksi hukum internasional antara lain seperti, kejahatan "genocide" (''crimes of genocide''), kejahatan terhadap kemanusiaan ("crimes against humanity''), dan kejahatan perang ("war crimes''). Menurut hukum internasional, pelaku kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh dibiarkan atau bebas tanpa hukuman ("impunity'') maupun diberikan amnesti dan terhadap kasusnya harus diselesaikan secara hukum melalui forum pengadilan ("judicial proceedings''), baik nasional maupun internasional, karena pelaku kejahatan-kejahatan tersebut dianggap melanggar norma hukum internasional yang berkategori "jus cogens� atau "peremptory norm". Pengadilan campuran (hybrid tribunal) muncul sebagai forum alternatif penyelesaian atas kejahatan internasional. Hal itu disebabkan dari pemikiran bahwa kejahatan-kejahatan tersebut tidak mengenal kadaluwarsa (''non-statutory limitation''), sehingga tidak ada batas waktu dalam hal penuntutannya. Kemudian setiap negara memiliki hak atau kewenangan berdasarkan prinsip yurisdiksi universal (''universal jurisdiction'') untuk menangkap, mengadili, dan menghukum si pelaku atau mengekstradisikannya ke negara-negara yang memiliki kepentingan atau keterkaitan dengan si pelaku atau kejahatan yang dilakukannya.

 

Kata Kunci: pengadilan internasional; kejahatan internasional; pengadilan campuran

 

Abstract

The urgency to establish an international tribunal has links to international crimes or crimes under the jurisdiction of international law, such as: genocide crimes, crimes against humanity, and crimes. war ("war crimes ''). According to international law, the perpetrators of these crimes may not be allowed or acquitted without punishment (`` impunity '') or given amnesty and their cases must be resolved legally through a forum of courts (``judicial proceedings''), both national and international. Because the perpetrators of these crimes are deemed to have violated international legal norms which are categorized as �jus cogens' or� peremptory norm. �The Hybrid Tribunal emerged as an alternative forum for the resolution of international crimes because of the idea that these crimes were not recognizes expiration ("non-statutory limitation"), so there is no time limit in terms of prosecution. Then, each country has the right or authority based on the principle of universal jurisdiction ("universal ju�risdiction") to arrest, prosecute and punish the perpetrator or extradite him to countries that have an interest in or connection with the perpetrator or the crime he has committed.

 

Keywords:growth rate; capital structure; company size; company age; profitability

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20

 

Pendahuluan

Sebelum kita membahas pengadilan campuran (hybrid tribunal), terlebih dahulu perlu kita ketahui mengenai kejahatan internasional yang terkait. Pentingnya hal tersebut dikarenakan hybrid tribunal dibentuk untuk mengadili pelaku tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional (international crimes) yang menjadi musuh bersama umat manusia (hostis humanis generis). Selain itu, tentunya juga didasari dari sudah adanya pembentukan mahkamah pidana militer internasional yang bersifat ad hoc di Nurnberg Jerman dan di Tokyo Jepang pasca PD II. Mahkamah Pidana Militer Internasional Nurnberg maupun Tokyo dibentuk berdasarkan Piagam London tanggal 8 Agustus 1945, dimaksudkan untuk mengadili para individu yang dianggap paling bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan HAM berat semasa PD II (Atmasasmita, 2003).

Urgensi dibentuknya pengadilan internasional memiliki keterkaitan dengan kejahatan internasional atau kejahatan di bawah yurisdiksi hukum internasional, antara lain, seperti: kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Menurut hukum internasional, pelaku kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh dibiarkan atau bebas tanpa hukuman sekalipun diberikan amnesti dan terhadap kasusnya harus diselesaikan secara hukum melalui forum pengadilan (judicial proceedings), baik nasional maupun internasional, karena pelaku kejahatan-kejahatan tersebut dianggap melanggar norma hukum internasional yang berkategori jus cogens atau peremptory norm.

Pengadilan campuran (hybrid tribunal) muncul sebagai forum alternatif penyelesaian atas kejahatan intemasional. Hal itu disebabkan dari pemikiran bahwa kejahatan-kejahatan tersebut tidak mengenal kadaluarsa ('non-statutory limitation), sehingga tidak ada batas waktu dalam hal penuntutannya. Kemudian setiap negara memiliki hak atau kewenangan berdasarkan prinsip yurisdiksi universal (universal jurisdiction) untuk menangkap, mengadili, dan menghukum si pelaku atau mengekstradisikannya ke negara-negara yang memiliki kepentingan atau keterkaitan dengan si pelaku atau kejahatan yang dilakukannya (Sujatmoko, 2019).

Pada akhir dasawarsa tahun 1990-an terbentuklah mahkamah pidana internasional yang dikategorikan sebagai pengadilan campuran (hybrid tribunal), sebagai pengadilan internasional generasi ketiga setelah Mahkamah Pidana Militer Internasional Nurnberg dan Mahkamah Pidana Militer Internasional Tokyo (generasi pertama) serta International Criminal Tribunal Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR) (generasi kedua).

Istilah pengadilan campuran dipergunakan untuk menunjuk pada lembaga pengadilan yang melibatkan unsur-unsur nasional maupun internasional dalam penyusunan, struktur, dan fungsinya serta penerapan hukum dan prosedur pengadilan. Pengadilan campuran berbeda dari pengadilan nasional, dimana secara eksplisit pengadilan campuran mengandung elemen internasional setidaknya pada struktur atau fungsinya. Dalam pengadilan campuran ini dapat ditemukan campuran antara elemen sistem pengadilan nasional dan pengadilan internasional, latar belakang, dan dasar hukum pembentukannya yang tentu sangat berbeda.

Salah satu dasar hukum pembentukan pengadilan campuran adalah perjanjian antara PBB dengan negara tertentu. Terdapat tiga pengadilan campuran yang dibentuk dengan dasar perjanjian internasional yakni, The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia, Special Court for Sierra Leone, dan Special Tribunal for Lebanon. Pertama, The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia sebagai salah satu pengadilan campuran yang terbentuk berdasarkan perjanjian antara pemerintah Kerajaan Kamboja dengan PBB pada tanggal 6 Juni 2003. Dikatakan oleh Ahza Arzanul Haq bahwa Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC) was one of justice institutions in Cambodia helped by international justice institution and international organizations like United Nations (UN) in the term of its membership. Intervention made by this international institution builds on Cambodia�s inability of solving Human Right problems in its country. As a Hybrid tribunal, ECCC used Cambodian national law and international law provisions (Gray, 2012). Adapun tulisan ini lebih lanjut akan membahas mengenai berbagai peradilan campuran yang ada ditinjau dari Hukum Pidana Internasional.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka belaka (Zainal, 2004). Bahan pustaka yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diantaranya didukung pula oleh data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang kemudian dikumpulkan berdasarkan studi kepustakaan. Bahan hukum primer yang digunakan meliputi berbagai aturan hukum yang Penulis jadikan acuan dalam menyusun tulisan ini seperti, Statuta Roma 1998, Genocide Convention 1948, Geneva Conventions 1949, Regulasi 2000/11, dan Regulasi 2000/15. Kemudian untuk bahan sekunder, Penulis menggunakan berbagai bahan hukum yang memiliki korelasi dengan bahan hukum primer sekaligus secara bersamaan mampu digunakan untuk menganalisis dan mengelaborasi bahan hukum primer tersebut seperti buku teks, karya tulis ilmiah, hingga berbagai jurnal ilmiah. Sedangkan bahan hukum tersier yang Penulis gunakan merupakan bahan hukum penunjang yang dapat memberi petunjuk atau eksplanasi gramatikal terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang sedang digunakan seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.

 

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Peran Hybrid Tribunal

Hybrid Tribunal atau Hybrid Court atau dikenal juga sebagai Mixed Court adalah model peradilan yang berupaya untuk men gkombinasikan elemen-elemen hukum dan peradilan nasional dengan internasional. Pembentukan peradilan dimaksud adalah mengatasi keterbatasan jurisdiction temporis dari ICC sebagai institusi dalam mengadili pelaku HAM berat, sehingga menutup ruang terjadinya impunitas bagi para pelakunya, dimana suatu negara diharapkan tetap dapat mengadili dengan memakai sistem hukum domestiknya tanpa harus sepenuhnya menggunakan mekanisme internasional (Cholidah, 2018).

Penegakan hukum pidana internasional terbagi menjadi direct enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement system (sistem penegakan tidak langsung). Akan tetapi dalam perkembangannya terdapat apa yang disebut dengan hybrid model atau model peradilan campuran yang mengakomodasi penegakan hukum pidana internasional melalui hukum pidana nasional dan hukum internasional (Hiariej, 2009). Hybrid Tribunal adalah bentuk lembaga peradilan internasional yang dipergunakan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights) yang bersifat campuran, dalam artian campuran antara instrumen internasional dengan instrumen nasional suatu negara, termasuk pula di dalamnya campuran antara Jaksa dan Hakimnya.

Hybrid Court atau Mixed Court merupakan sebuah tribunal yang menggabungkan hukum internasional dengan nasional, termasuk aparatur pengadilannya (Silitonga & Anto, 2012).Hybrid Court bertujuan untuk menghindari masalah-masalah proses peradilan secara nasional secara penuh dan proses peradilan secara internasional, seperti International Criminal Tribunals for the former Yugoslavia (ICTY), Rwanda (ICTR) dan International Criminal Court (ICC). Model Hybrid Court ini berusaha untuk mengkombinasikan kekuatan pengadilan ad hoc dengan keuntungan penuntutan secara nasional, jadi dapat dikatakan bahwa model hybrid ini menggabungkan pengadilan nasional dan penuntutan internasional dalam kejahatan internasional.

Hybrid Court atau pengadilan campuran didefinisikan sebagai pengadilan campuran dari komposisi dan yurisdiksi, baik dari aspek nasional dan internasional, biasanya diterapkan di dalam wilayah dimana kejahatan itu terjadi. Model pengadilan ini merupakan pengadilan campuran dari aspek internasional dan nasional, merupakan suatu produk hukum yang buat oleh suatu negara dan entitas internasional yang secara khusus adalah PBB. Jenis pengadilan ini sering kali didirikan dalam hal tersangka atau terdakwa dalam beberapa kasus yang serius seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan yang dituduhkan kepada mereka. Sebagian besar tersangka atau terdakwa menghadapi sistem hukum yang belum siap untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.

Pada situasi-situasi setelah konflik, pengadilan domestik akan menghadapi masalah-masalah sistemik termasuk hukum yang tidak memadai, kesewenang-wenangan, inkompentensi, kondisi yang memprihatinkan, kurangnya akses terhadap keadilan termasuk tidak memadainya perwakilan ahli hukum. Pengadilan ini sering disebut pengadilan campuran adalah pengadilan yang melibatkan majelis hakim yang terdiri dari hakim nasional dan hakim internasional. Di Kosovo, Timor-Leste dan Kamboja, pengadilan ini didirikan sebagai bagian dari pengadilan domestik, melalui undang-undang nasional. Sedangkan di Sierra Leone, negara tersebut membuat perjanjian dengan PBB yang kemudian menjadi landasan hukum untuk pengadilan tersebut. tribunals atau mixed international/national institutions.

Pengadilan campuran sebagai sarana penyelesaian atas kasus-kasus kejahatan internasional lainnya dapat menjadi salah satu alternatif mekanisme penyelesaian kasus-kasus tersebut disamping mekanisme yudisial lainnya di masa yang akan datang. Pengadilan campuran dapat menjadi suatu model pembelajaran dan alih ilmu pengetahuan bagi warga negara setempat yang ikut terlibat didalamnya. Hal ini dimungkinkan karena para personel atau staf internasional yang terlibat didalam pengadilan campuran biasanya adalah para professional yang telah memiliki pengalaman dan reputasi internasional di bidang penyelesaian kejahatan internasional. Selain itu dengan melibatkan unsur-unsur lokal dan internasional dalam pengadilan campuran dapat memberikan dasar yang kuat serta akan lebih memudahkan bagi pengadilan itu sendiri untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Adanya keterlibatan pihak internasional (terutama PBB) juga akan lebih meningkatkan kredibilitas dari pengadilan campuran (Sujatmoko, 2019).

Istilahpengadilan campuranatau pengadilan hibrida dipergunakan untuk menunjuk pada lembaga-lembaga pengadilan yang melibatkan unsur-unsurnasional maupun internasional di dalam penyusunan, struktur dan fungsinya serta dalam penerapan hukum dan prosedur pengadilan. Pengadilan campuran (hybrid tribunal) jelas berbeda dari pengadilan nasional, karena secara eksplisit ia mengandung elemen internasional yang bisa berada pada struktur atau fungsinya. Pengadilan campuran (hybrid tribunal) juga berbeda dari pengadilan-pengadilan internasional karena ia mengakomodasikan elemen-elemen hukum atau struktur hukum nasional di dalamnya.

Hingga saat ini setidaknya ada 6 pengadilan yang dapat digolongkan sebagai pengadilan campuran (hybrid tribunal) yaitu:

1.    The Serious Crimes Panels of the District Court of Dili (Timor Leste)

2.    War Crimes Chamber in the State Court of Bosnia and Herzegovina (Bosnia Herzegovina)

3.    �Regulation 64� Panels in the Courts of Kosovo (Kosovo)

4.    The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (Kamboja)

5.    The Special Court for Sierra Leone (Sierra Leone)

6.    Special Tribunal for Lebanon (Lebanon).

Dalam praktik, terkadang tidak mudah untuk mengandalkan mekanisme dan lembaga hukum nasional untuk menangani kejahatan internasional. Kejahatan internasional dapat dilakukan oleh individu yang secara politik memiliki kekuasaan di suatu negara, sehingga pengadilan nasional yang diharapkan menindak dan menangani kejahatan internasional yang dilakukan bisa berada dalam situasi tidak mampu melakukan fungsi yang diharapkan (expected role) yang semestinya.

Negara yang berada dalam situasitidak mampu melakukan fungsi yang diharapkan (expected role) jika dibiarkan terus menerus berada dalam situasi tersebut maka, pelaku kejahatan internasional tentu saja akan menikmati kebebasan dari jangkauan hukum, yang dalam diskursus tentang Hak Asasi Manusia dikenal dengan istilah impunitas (impunity). Ketika hal tersebut terjadi, mekanisme internasional diperlukan guna memastikan agar pelaku kejahatan internasional tidak dibiarkan bebas tanpa tersentuh hukum. Untuk membahas persoalan apakah norma-norma hukum pidana internasional (khususnya yang berkaitan dengan kejahatan internasional), dapat diadili di forum pengadilan pidana nasional suatu negara, terlebih dahulu perlu dikemukakan apakah norma-norma hukum pidana internasional terdapat di dalam sistem norma hukum pidana nasional dan dapat diterapkan oleh pengadilan nasional. Pada dasarnya ada dua kemungkinan terkait dengan keberadaan norma-norma hukum pidana internasional di dalam hukum nasional.

Kemungkinan pertama, norma-norma hukum pidana internasional ada dan menjadi bagian dari sistem hukum pidana nasional, karena suatu negara sudah meratifikasi instrumen hukum internasional yang mengatur tentangkejahatan internasional. Kemungkinan kedua, tanpa secara formal meratifikasi perjanjian internasional, hukum nasional suatu negara mengembangkan sendiri norma-norma hukum pidana internasional. Norma-norma hukum pidana internasional dapat menjadi bagian dari sistem norma hukum pidana nasional negara-negara melalui proses ratifikasi. Ratifikasi sendiri pada dasarnya adalah tindakan formal dari suatu negara untuk mengikatkan diri pada sebuah perjanjian internasional. Melalui ratifikasi, suatu negara menunjukkan itikadnya untuk tunduk pada kewajiban-kewajiban yang digariskan dalam perjanjian internasional yang diratifikasi engan demikian, ketika sebuah perjanjian internasional menghendaki pemberlakuan norma-norma tertentu dalam lingkup jurisdiksi hukum nasional yang telah mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional, negara tersebut memiliki kewajiban hukum untuk memberlakukan norma-norma hukum yang terkandung di dalam perjanjian internasional. Oleh karena itu, ketika suatu negara meratifikasi Statuta Roma 1998, secara prinsip ia terikat pada substansi norma-norma yang ada di dalam Statuta Roma. Demikian juga halnya dengan perjanjian-perjanjian internasional lain yang berkaitan dengan kejahatan internasional, seperti Genocide Convention 1948 dan Geneva Conventions 1949.

Sudah dikemukakan sebelumnya, dalam keadaan tertentu pengadilan nasional tidak dapat diandalkan untuk merespons kejahatan internasional secara patut. Ada kalanya pengadilan nasional mengalami ketidakmampuan berfungsi ketika ia mengalami kerusakan struktur dan sistem. Kerusakan struktur dan sistem pengadilan nasional dapat terjadi pasca suatu negara dilanda konflik yang serius. Konflik bersenjata yang mengikuti peristiwa pecahnya (dismemberment) negara Yugoslavia pada paruh pertama dekade 1990-an merupakan salah satu contoh yang menunjukkan bagaimana struktur pengadilan nasional tidak dapat lagi diandalkan.

Demikian juga halnya dengan situasi perang saudara di Rwanda yang mengakibatkan tidak dapat berfungsinya pengadilan nasional. Hal yang sama juga terjadi dengan Sierra Leone dan Timor Leste yang pengadilan nasionalnya tidak mampu menjalankan fungsi sebagaimana mestinya karena keruntuhan struktur dan sistemnya. Struktur dan sistem yang masih relatif utuh pun tidak selalu menjamin bahwa pengadilan nasional akanmenjalankan fungsi sebagaimana diharapkan di dalam merespons kejahatan internasional. Kondisi ketidakmauan (unwillingness) igur yang berkuasa, baik secara politik maupun militer. Untuk keadaan seperti ini prosekusi pelaku kejahatan internasional oleh pengadilan nasional sebenarnya dimungkinkan, namun pengadilan nasional secara subjektif memilih untuk tidak melakukan prosekusi karena alasan-alasan tertentu yang umunya berkaitan dengan faktor politik.

Dalam keadaan di mana sistem pengadilan nasional tidak dapat diandalkan untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan internasional, salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya impunitas adalah dengan membentuk pengadilan kriminal yang bersifat internasional seperti halnya Mahkamah Militer Internasional Nurnberg, Mahkamah Militer Internasional Tokyo, ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) dan ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda). Pembentukan mahkamah-mahkamah yang bersifat internasional tersebut juga membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.

Secara praktis, pembentukan dan operasionalisasi mahkamah yang bersifat internasional merupakan sebuah pekerjaan besar yang tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah. Tentang ini Cryer mengatakan: �There are various reasons for avoiding resort to a new international tribunal. International institutions like the ICTY and the ICTR tend to be large and expensive; calls for similar tribunals have been unsuccessful. Their capacity is limited to a few cases and they have hit her to been located away from the State in question for security or other reasons.� Selain kesulitan yang bersifat praktis, pembentukan mahkamah yang bersifat internasional juga dapat memunculkan kesan bahwa pengadilan nasional tidak dianggap berkepentingan dengan proses prosekusi pelaku kejahatan internasional.

Penjatuhan pidana yang dilakukan oleh mahkamah pidana yangbersifat internasional bisa jadi justru akan dianggap sebagai putusan arbiter. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, salah satu alternatif lain yang dapat diambil adalah membentuk pengadilan campuran yang menggabungkan aspek-aspek positif dari pengadilan pidana nasional dan pengadilan pidana internasional. Atas dasar itu, tujuan utama yang hendak dicapai oleh pengadilan campuran (hybrid tribunal) pada hakikatnya adalah mewujudkan perdamaian dan keadilan berdasarkan standar hukum internasional dengan cara mengakhiri impunitas bagi pelaku kejahatan internasional, melalui keterlibatan komponen-komponen hukum nasional.

B.  The Special Court for Sierra Leone (SCSL)

Salah satu kasus dalam dunia internasional yang masih diperangi adalah pelanggaran HAM berat, mengingat perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu fokus utama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat internasional. Oleh karena itu, pembentukan peradilan internasional, utamanya pengadilan campuran atau hybrid tribunal mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat, tersebut menjadi suatu yang penting. Satu diantaranya yang hendak dibahas dalam hal ini adalah The Special Court for Sierra Leone (SCSL).SCSL ini terbentuk karena adanya kejahatan terhadap kemanusiaan yang berlangsung dalam perang saudara selama tahun 1991-2002 di Sierra Leone, Afrika Barat. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi disini memiliki lebih dari 50.000 korban jiwa, banyak pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak-anak.

Melihat kondisini ini dan pemerintah Sierra Leone yang apatis dalam penyelesaiannya, menyebabkan PBB bekerjasama dengan pemerintah Sierra Leone membentuk suatu peradilan khusus yang disebut The Special Court for Sierra Leone (SCSL).SCSL memiliki peran yang cukup besar dalam mengadili pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Sierra Leone. Lembagi peradilan dalam SCSL terbagi dalam tiga (3) tingkat peradilan yaitu trial chamber I, trial chamber II, dan appeal chambers. Masing-masing chambers memiliki jumlah hakim yang berbeda di dalamnya. Trial chamber I terdiri dari dua (2) hakim internasional dan satu (1) hakim Sierra Leone, trial chamber II terdiri dari tiga (3) hakim internasional dan satu (1) hakim alternatif internasional, sementara untuk appeal chambers terdiri dari empat (4) hakim internasional dan dua (2) hakim Sierra Leone.

Trial Chamber I merupakan peradilan tahap pertama dalam SCSL yang melakukan pemeriksaan terhadap proses penuntutan awal kepada tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan. Trial Chamber II berperan untuk memutuskan seorang terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan kesaksiann bukti serta argumen yang dipaparkan para pihak dalam persidangan. Terakhir appeal chambers mendengarkan permohonan yang menolak segala keputusan yang dikeluarkan oleh peradilan sebelumnya. Perjuangan panjang dan kerja keras SCSL ini dibuktikan dengan pada 26 April 2012, pengadilan ini mendakwa mantan presiden Liberia Charles Taylor, yang menjadikannya kepala negara Afrika pertama yang didakwa terlibat dalam kejahatan perang.

Dalam proses pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan di Sierra Leone ini, SCSL mengalami beberapa hambatan dan permasalahan. Pertama, terkait dengan masalah kedaulatan serta yurisdiksi negara Sierra Leone. Selain itu terkait dengan prinsip pertanggungjawaban negara (state responsibility), dimana pemerintah Sierra Leone tidak mampu melindungi tidak hanya warga negara Seirra Leone yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan, namun juga mereka yang menjadi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebenarnya pembentukan SCSL dapat dikatakan efektif bila memenuhi beberapa poin kriteria yaitu preventif dan kuratif.

Preventif dalam hal ini adalah SCSL tidak hanya mengadili kasus kejahatan kemanusiaan, namun juga untuk menanggulangi kasus yang sama di masa depan. Kuratif yang dimaksudkan adalah SCSL dibangun untuk memperbaiki apa yang kurang dalam sistem peradilan nasional Sierra Leone. Selain kedua poin di atas peran organ tambahan yang ada untuk membantu SCSL dalam pengadilan mereka merupakan poin penting lainnya. Peran besar dari beberapa organ SCSL tersebut dapat berjalan secara maksimal jika sumber daya manusia yang berpartisipasi didalamnya mempunyai kapasitas yang cukup untuk melaksanakan tugas sesuai peraturan yang ada. Aturan-aturan hukum yang berada dalam SCSL juga merupakan poin penting sebagai pedoman pelaksanaan persidangan baik berupa hukum nasional Sierra Leone maupun aturan-aturan Hukum Pidana Internasional maupun Hukum Humaniter Internasional. Patut dikemukakan bahwa kurangnya peduli masyarakat Sierra Leone baik para korban maupun saksi dalam pelaksanaan peradilan di SCSL, membuat beberapa kasus yang disidangkan mengalami berbagai hambatan.

C.  The Serious Crimes Panels of the District Court of Dili (Timor Leste)

Pada tanggal 20 September 1999 pasukan internasional INTERFET tiba di Dili Timor Leste untuk mencari tanah yang hancur. Program untuk mengintimidasi dan menghukum penduduk Timor-Leste untuk memilih sebagian besar wilayah Indonesia telah gagal (78,5% memilih kemerdekaan), namun reaksi anggota militer Indonesia dan milisi agen mereka terhadap kekalahan ini lebih efektif. Pada periode sebelum dan sesudah hasil pemungutan suara diperkirakan 70% infrastruktur pemerintah hancur, sekitar 60.000 rumah dibakar, 500.000 warga sipil mengungsi (250.000 ke Timor Barat, Indonesia), 2000 korban tewas, ratusan perempuan diperkosa dan wilayahnya menjadi reruntuhan yang berasap. Menurut Basic freedoms Watch, '' kekerasan adalah bagian dari kebijakan yang direncanakan secara sistematis oleh unsur-unsur pemerintah Indonesia dan TNI (Pasukan militer nasional Indonesia), untuk mencegah rakyat Timor Lorosa'e berpartisipasi secara bebas dalam submission, dan untuk menghukum mereka karena memilih kemerdekaan (Burgess, 2004).

Pada permulaan perlu dijelaskan secara singkat kerangka legislatif Timor Lorosa'e di bawah administrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mekanisme yang tidak biasa yang melaluinya penuntutan ini berlangsung. Visi UNTAET untuk penuntutan pelanggaran berat hak asasi manusia pertama kali terlihat didepan umum ketika disahkan Peraturan 2000/11. Bagian 10 mengatur bahwa Pengadilan Distrik Dili memiliki yurisdiksi eksklusif atas genosida, kejahatan perang, penyiksaan dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan atas pembunuhan dan pelanggaran seksual yang dilakukan antara 1 Januari 1999 dan 25 Oktober 1999 (secara kolektif dikenal sebagai 'Kejahatan Berat'). Administrator Transisi, setelah berkonsultasi dengan Kepresidenan Pengadilan, diberi wewenang untuk mengangkat panel hakim di Pengadilan Distrik Dili, yang terdiri dari hakim Timor-Leste dan hakim internasional. Legislasi lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan kerangka kerja proses tersebut, termasuk pembentukan layanan kejaksaan untuk Timor Lorosa'e. Regulasi 2000/15 memberikan 'mur dan baut' untuk membangun kendaraan keadilan yang digambarkan dalam pasal 10 Regulasi 2000/11 (Linton, 2001).

Terminologi 'Kejahatan Berat' mengacu pada perbedaan dalam Hukum Pidana Indonesia antara kejahatan dan pelanggaran ringan. Kejahatan didefinisikan secara rinci, mengikuti hampir kata demi kata yurisdiksi pokok dari Statuta Roma dari Mahkamah Pidana Internasional.Ketentuan hukum substantif lainnya, seperti pembelaan dan prosedur pengakuan bersalah, juga meniru Statuta Roma. Ketentuan untuk mengajukan tuntutan berdasarkan KUHP Indonesia untuk pembunuhan dan pelanggaran seksual yang dilakukan antara 1 Januari 1999 dan 25 Oktober 1999 memberikan keleluasaan penuntutan dalam menuntut. Kedua putusan Kejahatan Berat yang dibahas dalam makalah ini muncul dari penuntutan kekejaman berdasarkan KUHP Indonesia, bukan hukum internasional. Regulasi 2000/15 menciptakan rezim penuntutan domestik yang 'internasionalisasi' di dalam Pengadilan Distrik Dili.

Di bawah dua hakim pengadilan internasional dan satu hakim Timor Leste duduk di panel yang dikenal sebagai Panel Khusus untuk Kejahatan Berat. Hukum yang berlaku dalam kasus-kasus Kejahatan Berat adalah hukum Indonesia (sebagaimana telah diubah atau diganti oleh UNTAET) dan, jika sesuai, perjanjian yang berlaku dan prinsip-prinsip dan norma-norma yang diakui hukum internasional, termasuk prinsip-prinsip hukum konflik bersenjata yang telah ditetapkan. Jaksa Penuntut Umum didirikan secara bersamaan dalam Regulasi 2000/15. Di dalam layanan ini terletak Kantor Wakil Jaksa Agung untuk Kejahatan Berat, yang memiliki tanggung jawab eksklusif untuk kasus-kasus Kejahatan Berat.

Sistem mutakhir untuk menuntut kejahatan internasional telah dicangkokkan ke dalam sistem peradilan pidana Timor Lorosa'e yang masih baru, menarik banyak hal dari rezim yang dirancang untuk Pengadilan Pidana Internasional yang diusulkan. Ada banyak perhatian LSM dan media yang diungkapkan tentang proyek Kejahatan Berat, khususnya kegagalan UNTAET untuk memberikan dukungan yang memadai, dan anggapan kegagalan mereka yang terlibat dalam proses untuk memahami sejauh mana sebenarnya dari kekejaman yang dilakukan. Perserikatan Bangsa-Bangsa Lainnya lembaga-lembaga juga telah menyuarakan keprihatinan mereka.

Indikasinya adalah bahwa UNTAET telah melampaui batas dirinya sendiri dan belum memenuhi tuntutan proses Kejahatan Berat atau harapan yang meningkat dari rakyat Timor-Leste. Meskipun Panel Khusus tidak diragukan lagi memproses kasus secara efisien mengingat kondisi sulit di mana ia beroperasi, proses yang mahal dan rumit ini dianggap oleh beberapa pengamat Timor Lorosa'e atau internasional sebagai keadilan bagi banyak kekejaman yang dilakukan di Timor Lorosae.

D.  Special Tribunal for Lebanon

Pada tanggal 14 Februari 2005, serangan bom menewaskan mantan Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri dan 22 orang lainnya. Satu bulan kemudian, berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1595, Komisi Investigasi Independen Internasional PBB (UNIIIC) dibentuk untuk "membantu pihak berwenang Lebanon dalam penyelidikan mereka.UNIIIC memulai penyelidikannya pada 16 Juni 2005. Dewan Keamanan memperpanjang mandat UNIIIC setelah resolusi 1636 (2005), 1644 (2005), 1686 (2006) dan 1748 (2007) dan 1815 (2008).

UNIIIC menghasilkan total sebelas laporan dan menghentikan penyelidikannya pada tanggal 28 Februari 2009.Pada akhir Februari 2009, UNIIIC mengakhiri mandatnya dan digantikan oleh Pengadilan Khusus untuk Lebanon pada 1 Maret 2009. Pada tanggal 13 Desember 2005, Perdana Menteri Lebanon, Fouad Siniora, mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan meminta atas nama Pemerintah Lebanon �untuk membentuk pengadilan yang bersifat internasional untuk bersidang di dalam atau di luar Lebanon, untuk mengadili semua pihak. yang ditemukan bertanggung jawab atas kejahatan teroris yang dilakukan terhadap Hariri (Yun, 2009).

Dengan Resolusi 1644 (2005), Dewan Keamanan meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk membantu Pemerintah Lebanon untuk mengidentifikasi sifat dan cakupan bantuan internasional yang diperlukan untuk mengadili mereka yang membunuh mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri dan 22 orang lainnya di hadapan pengadilan. karakter internasional. Sekretaris Jenderal menyampaikan laporannya pada Maret 2006. Dengan Resolusi 1664 (2006), Dewan Keamanan menyetujui laporan tersebut dan meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk merundingkan kesepakatan dengan Pemerintah Lebanon. Pada bulan Januari dan Februari 2007, Sekretaris Jenderal PBB dan Pemerintah Lebanon menyelesaikan negosiasi dan menandatangani kesepakatan tentang pembentukan Pengadilan Khusus untuk Lebanon.

Pada bulan Maret dan April 2007, sesi resmi Parlemen Lebanon untuk meratifikasi Statuta Pengadilan dan perjanjian bilateral dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak diadakan. Pada bulan Mei 2007, Perdana Menteri Lebanon menulis kepada Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan, menekankan bahwapenundaan lebih lanjut dalam pembentukan Pengadilan akan sangat merugikan stabilitas Lebanon, untuk tujuan keadilan, kredibilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri dan bagi perdamaian dan keamanan di wilayah itu.

Pada tanggal 30 Mei 2007, Dewan Keamanan mengeluarkan Resolusi 1757 (2007) yang memutuskan saat bertindak berdasarkan Bab IV bahwa ketentuan "perjanjian" antara Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Republik Lebanon tentang pembentukan Pengadilan Khusus untuk Lebanon mulai berlaku pada 10 Juni 2007. Dibandingkan dengan pengadilan internasional lainnya, STL memiliki lima ciri berbeda:

1.    STL adalah pengadilan internasional pertama dengan yurisdiksi terorisme;

2.    Korban dapat berpartisipasi dalam proses persidangan (di ICTY dan ICTR korban hanya diperbolehkan sebagai saksi);

3.    Proses STL dapat dilakukan dalam persidangan in absentia tanpa kehadiran terdakwa;

4.    STL memiliki Kantor Pertahanan independen dengan status yang sama dengan Kantor Kejaksaan;

5.    dan STL memiliki hakim pra-sidang, yang meninjau dakwaan dan mempersiapkan kasus untuk diadili.

 

Kesimpulan

Hybrid tribunal dibentuk untuk mengadili pelaku tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional (international crimes) yang menjadi musuh bersama umat manusia (hostis humanis generis). Selain itu, tentunya juga didasari dari sudah adanya pembentukan mahkamah pidana militer internasional yang bersifat ad hoc di Nurnberg Jerman dan di Tokyo Jepang pasca PD II. Mahkamah Pidana Militer Internasional Nurnberg maupun Tokyo dibentuk berdasarkan Piagam London tanggal 8 Agustus 1945, dimaksudkan untuk mengadili para individu yang dianggap paling bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan HAM berat semasa PD II.

Istilahpengadilan campuranatau pengadilan hibrida dipergunakan untuk menunjuk pada lembaga-lembaga pengadilan yang melibatkan unsur-unsurnasional maupun internasional di dalam penyusunan, struktur dan fungsinya serta dalam penerapan hukum dan prosedur pengadilan. Pengadilan campuran (hybrid tribunal) jelas berbeda dari pengadilan nasional, karena secara eksplisit ia mengandung elemen internasional yang bisa berada pada struktur atau fungsinya. Pengadilan campuran (hybrid tribunal) juga berbeda dari pengadilan-pengadilan internasional karena ia mengakomodasikan elemen-elemen hukum atau struktur hukum nasional di dalamnya.

Penjatuhan pidana yang dilakukan oleh mahkamah pidana yangbersifat internasional bisa jadi justru akan dianggap sebagai putusan arbiter. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, salah satu alternatif lain yang dapat diambil adalah membentuk pengadilan campuran yang menggabungkan aspek-aspek positif dari pengadilan pidana nasional dan pengadilan pidana internasional. Atas dasar itu, tujuan utama yang hendak dicapai oleh pengadilan campuran (hybrid tribunal) pada hakikatnya adalah mewujudkan perdamaian dan keadilan berdasarkan standar hukum internasional dengan cara mengakhiri impunitas bagi pelaku kejahatan internasional, melalui keterlibatan komponen-komponen hukum nasional.

 

 

 

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Atmasasmita, Romli. (2003). Pengantar Hukum Pidana Internasional. Google Scholar

 

Burgess, Patrick. (2004). Justice and reconciliation in East Timor. The relationship between the Commission for Reception, Truth and Reconciliation and the courts. In Truth Commissions And Courts (pp. 135�158). Springer. Google Scholar

 

Cholidah, Cholidah. (2018). Hybrid Court Sebagai Alternatif Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Legality: Jurnal Ilmiah Hukum, 26(1), 61�80. Google Scholar

 

Gray, Tallyn. (2012). Justice and the Khmer Rouge: concepts of just response to the crimes of the Democratic Kampuchean regime in Buddhism and the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia at the time of the Khmer Rouge tribunal. Google Scholar

 

Hiariej, Eddy O. S. (2009). Pengantar Hukum Pidana Internasional. Google Scholar

 

Linton, Suzannah. (2001). Prosecuting atrocities at the District Court of Dili. Melbourne Journal of International Law, 2(2), 414�458. Google Scholar

 

Silitonga, Benget M., & Anto, J. (2012). Kratos Minus Demos: Demokrasi Indonesia, Catatan dari Bawah. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Google Scholar

 

Sujatmoko, Andrey. (2019). Pengadilan Campuran (� Hybrid Tribunal�) Sebagai Forum Penyelesaian Atas Kejahatan Internasiona. Teras Law Review, 3(5). Google Scholar

 

Yun, Janice. (2009). Special Tribunal for Lebanon: A Tribunal of an International Character Devoid of International Law. Santa Clara J. Int�l L., 7, 181. Google Scholar

 

Zainal, Asikin. (2004). Amiruddin. Pengantar metode penelitian hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Google Scholar

 

Copyright holder:

Muhammad Ansyar, Dimas Pranowo (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: