Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 11,
November 2021
PERADILAN CAMPURAN
DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL (HYBRID TRIBUNAL)
Muhammad Ansyar, Dimas Pranowo
Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan Negeri
Bangka Selatan dan Kejaksaan Negeri Belitung Timur,
Indonesia
Email:� [email protected], [email protected]
Abstrak
Urgensi dibentuknya pengadilan internasional memiliki keterkaitan dengan kejahatan internasional atau kejahatan di bawah yurisdiksi hukum internasional antara lain seperti, kejahatan "genocide" (''crimes of genocide''), kejahatan terhadap kemanusiaan ("crimes against humanity''), dan kejahatan perang ("war crimes''). Menurut hukum internasional, pelaku kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh dibiarkan atau bebas tanpa hukuman ("impunity'') maupun diberikan amnesti dan terhadap kasusnya harus diselesaikan secara hukum melalui forum pengadilan ("judicial proceedings''), baik nasional maupun internasional, karena pelaku kejahatan-kejahatan tersebut dianggap melanggar norma hukum internasional yang berkategori "jus cogens� atau "peremptory norm". Pengadilan campuran (hybrid tribunal) muncul sebagai forum alternatif penyelesaian atas kejahatan internasional. Hal itu disebabkan dari pemikiran bahwa kejahatan-kejahatan tersebut tidak mengenal kadaluwarsa (''non-statutory limitation''), sehingga tidak ada batas waktu dalam hal penuntutannya. Kemudian setiap negara memiliki hak atau kewenangan berdasarkan prinsip yurisdiksi universal (''universal jurisdiction'') untuk menangkap, mengadili, dan menghukum si pelaku atau mengekstradisikannya ke negara-negara yang memiliki kepentingan atau keterkaitan dengan si pelaku atau kejahatan yang dilakukannya.
Kata Kunci: pengadilan internasional; kejahatan internasional; pengadilan campuran
Abstract
The urgency to establish an
international tribunal has links to international crimes or crimes under the
jurisdiction of international law, such as: genocide crimes, crimes against
humanity, and crimes. war ("war crimes ''). According to international
law, the perpetrators of these crimes may not be allowed or acquitted without
punishment (`` impunity '') or given amnesty and their cases must be resolved
legally through a forum of courts (``judicial proceedings''), both national and
international. Because the perpetrators of these crimes are deemed to have
violated international legal norms which are categorized as �jus cogens' or� peremptory
norm. �The Hybrid Tribunal emerged as an alternative forum for the resolution
of international crimes because of the idea that these crimes were not
recognizes expiration ("non-statutory limitation"), so there is no time
limit in terms of prosecution. Then, each country has the right or authority
based on the principle of universal jurisdiction ("universal ju�risdiction") to arrest, prosecute and punish the
perpetrator or extradite him to countries that have an interest in or
connection with the perpetrator or the crime he has committed.
Keywords:� growth
rate; capital structure; company size; company age; profitability
Received: 2021-10-20; Accepted:
2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Sebelum kita membahas pengadilan
campuran (hybrid
tribunal), terlebih dahulu
perlu kita ketahui mengenai kejahatan internasional yang terkait. Pentingnya hal tersebut dikarenakan
hybrid tribunal dibentuk untuk
mengadili pelaku tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional (international crimes) yang menjadi musuh bersama
umat manusia (hostis humanis generis). Selain itu, tentunya juga didasari dari sudah
adanya pembentukan mahkamah pidana militer internasional yang bersifat ad hoc di Nurnberg Jerman
dan di Tokyo Jepang pasca
PD II. Mahkamah Pidana Militer Internasional Nurnberg maupun Tokyo dibentuk berdasarkan Piagam London tanggal 8 Agustus 1945, dimaksudkan untuk mengadili para individu yang dianggap paling bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan HAM berat semasa PD II (Atmasasmita, 2003).
Urgensi dibentuknya pengadilan internasional memiliki keterkaitan dengan kejahatan internasional atau kejahatan di bawah yurisdiksi hukum internasional, antara lain, seperti: kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Menurut hukum internasional, pelaku kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh dibiarkan atau bebas tanpa
hukuman sekalipun diberikan amnesti dan terhadap kasusnya harus diselesaikan secara hukum melalui
forum pengadilan (judicial
proceedings), baik nasional
maupun internasional, karena pelaku kejahatan-kejahatan
tersebut dianggap melanggar norma hukum internasional yang berkategori jus cogens atau
peremptory norm.
Pengadilan campuran (hybrid
tribunal) muncul sebagai
forum alternatif penyelesaian
atas kejahatan intemasional. Hal itu disebabkan dari pemikiran bahwa kejahatan-kejahatan tersebut tidak mengenal kadaluarsa ('non-statutory
limitation), sehingga tidak
ada batas waktu dalam hal
penuntutannya. Kemudian setiap negara memiliki hak atau kewenangan
berdasarkan prinsip yurisdiksi universal (universal
jurisdiction) untuk menangkap,
mengadili, dan menghukum si pelaku atau
mengekstradisikannya ke
negara-negara yang memiliki kepentingan
atau keterkaitan dengan si pelaku
atau kejahatan yang dilakukannya (Sujatmoko, 2019).
Pada akhir dasawarsa tahun 1990-an terbentuklah mahkamah pidana internasional yang dikategorikan sebagai pengadilan campuran (hybrid
tribunal), sebagai pengadilan
internasional generasi ketiga setelah Mahkamah Pidana Militer Internasional Nurnberg
dan Mahkamah Pidana Militer Internasional Tokyo (generasi pertama) serta International
Criminal Tribunal Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR) (generasi kedua).
Istilah pengadilan campuran dipergunakan untuk menunjuk pada lembaga pengadilan yang melibatkan unsur-unsur nasional maupun internasional dalam penyusunan, struktur, dan fungsinya serta penerapan hukum dan prosedur pengadilan. Pengadilan campuran berbeda dari pengadilan nasional, dimana secara eksplisit pengadilan campuran mengandung elemen internasional setidaknya pada struktur atau fungsinya.
Dalam pengadilan campuran ini dapat
ditemukan campuran antara elemen sistem
pengadilan nasional dan pengadilan internasional, latar belakang, dan dasar hukum pembentukannya
yang tentu sangat berbeda.�
Salah satu dasar hukum pembentukan
pengadilan campuran adalah perjanjian antara PBB dengan negara tertentu. Terdapat tiga pengadilan campuran yang dibentuk dengan dasar perjanjian
internasional yakni, The Extraordinary Chambers in the Courts of
Cambodia, Special Court for Sierra Leone, dan Special Tribunal for Lebanon. Pertama, The
Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia sebagai
salah satu pengadilan campuran yang terbentuk berdasarkan perjanjian antara pemerintah Kerajaan Kamboja dengan PBB pada tanggal 6 Juni 2003. Dikatakan oleh Ahza Arzanul Haq bahwa
Extraordinary Chambers in the Courts of
Cambodia (ECCC) was one of justice institutions
in Cambodia helped by international justice institution and international
organizations like United Nations (UN) in the term of its membership.
Intervention made by this international institution builds on Cambodia�s
inability of solving Human Right problems in its country. As a Hybrid tribunal,
ECCC used Cambodian national law and international law provisions (Gray, 2012).
Adapun tulisan ini lebih lanjut akan membahas
mengenai berbagai peradilan campuran yang ada ditinjau dari
Hukum Pidana Internasional.
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka belaka (Zainal, 2004).
Bahan pustaka yang digunakan dalam menyusun tulisan ini diantaranya didukung pula oleh
data sekunder yang mencakup
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang kemudian dikumpulkan berdasarkan studi kepustakaan. Bahan hukum primer yang digunakan meliputi berbagai aturan hukum yang Penulis jadikan acuan dalam menyusun
tulisan ini seperti, Statuta Roma 1998, Genocide Convention 1948, Geneva
Conventions 1949, Regulasi 2000/11, dan Regulasi 2000/15. Kemudian untuk bahan sekunder,
Penulis menggunakan berbagai bahan hukum yang memiliki korelasi dengan bahan hukum primer sekaligus secara bersamaan mampu digunakan untuk menganalisis dan mengelaborasi bahan hukum primer tersebut seperti buku teks, karya
tulis ilmiah, hingga berbagai jurnal ilmiah. Sedangkan bahan hukum tersier yang Penulis gunakan merupakan bahan hukum penunjang yang dapat memberi petunjuk
atau eksplanasi gramatikal terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
yang sedang digunakan seperti Kamus Besar
Bahasa Indonesia.
Hasil dan Pembahasan
A. Peran Hybrid Tribunal
Hybrid
Tribunal atau Hybrid Court atau
dikenal juga sebagai Mixed
Court adalah model peradilan
yang berupaya untuk men gkombinasikan elemen-elemen hukum dan peradilan nasional dengan internasional. Pembentukan peradilan dimaksud adalah mengatasi keterbatasan jurisdiction temporis
dari ICC sebagai institusi dalam mengadili pelaku HAM berat, sehingga menutup ruang terjadinya
impunitas bagi para pelakunya, dimana suatu negara diharapkan tetap dapat mengadili
dengan memakai sistem hukum domestiknya
tanpa harus sepenuhnya menggunakan mekanisme internasional (Cholidah, 2018).
Penegakan
hukum pidana internasional terbagi menjadi direct
enforcement system (sistem penegakan
langsung) dan indirect enforcement system (sistem penegakan tidak langsung). Akan tetapi dalam perkembangannya
terdapat apa yang disebut dengan hybrid model atau model peradilan campuran yang mengakomodasi penegakan hukum pidana internasional melalui hukum pidana
nasional dan hukum internasional (Hiariej, 2009).
Hybrid Tribunal adalah bentuk
lembaga peradilan internasional yang dipergunakan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang berat (gross
violation of human rights) yang bersifat campuran, dalam artian campuran antara instrumen internasional dengan instrumen nasional suatu negara, termasuk pula di dalamnya campuran antara Jaksa dan Hakimnya.
Hybrid Court atau Mixed Court
merupakan sebuah tribunal
yang menggabungkan hukum internasional dengan nasional, termasuk aparatur pengadilannya (Silitonga & Anto, 2012).� Hybrid
Court bertujuan untuk menghindari masalah-masalah
proses peradilan secara nasional secara penuh dan proses peradilan secara internasional, seperti International Criminal
Tribunals for the former Yugoslavia (ICTY), Rwanda (ICTR) dan International Criminal Court (ICC).
Model Hybrid Court ini berusaha
untuk mengkombinasikan kekuatan pengadilan ad hoc dengan keuntungan penuntutan secara nasional, jadi dapat dikatakan bahwa model hybrid ini menggabungkan pengadilan nasional dan penuntutan internasional dalam kejahatan internasional.
Hybrid
Court atau pengadilan campuran didefinisikan sebagai pengadilan campuran dari komposisi
dan yurisdiksi, baik dari aspek nasional
dan internasional, biasanya
diterapkan di dalam wilayah
dimana kejahatan itu terjadi. Model pengadilan ini merupakan pengadilan campuran dari aspek
internasional dan nasional,
merupakan suatu produk hukum yang buat oleh suatu negara dan entitas internasional yang secara khusus adalah
PBB. Jenis pengadilan ini sering kali didirikan dalam hal tersangka atau
terdakwa dalam beberapa kasus yang serius seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan yang dituduhkan kepada mereka. Sebagian besar tersangka atau terdakwa menghadapi
sistem hukum yang belum siap untuk
menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Pada situasi-situasi setelah konflik, pengadilan domestik akan menghadapi
masalah-masalah sistemik termasuk hukum yang tidak memadai, kesewenang-wenangan, inkompentensi,
kondisi yang memprihatinkan,
kurangnya akses terhadap keadilan termasuk tidak memadainya perwakilan ahli hukum. Pengadilan
ini sering disebut pengadilan campuran adalah pengadilan yang melibatkan majelis hakim yang terdiri dari hakim nasional dan hakim internasional. Di Kosovo, Timor-Leste dan Kamboja, pengadilan ini didirikan sebagai
bagian dari pengadilan domestik, melalui undang-undang nasional. Sedangkan di Sierra
Leone, negara tersebut membuat
perjanjian dengan PBB yang kemudian menjadi landasan hukum untuk pengadilan tersebut. tribunals atau mixed
international/national institutions.
Pengadilan
campuran sebagai sarana penyelesaian atas kasus-kasus kejahatan internasional lainnya dapat menjadi
salah satu alternatif mekanisme penyelesaian kasus-kasus tersebut disamping mekanisme yudisial lainnya di masa yang akan datang. Pengadilan
campuran dapat menjadi suatu model pembelajaran dan alih ilmu pengetahuan bagi warga negara setempat yang ikut terlibat didalamnya. Hal ini dimungkinkan karena para personel atau staf internasional
yang terlibat didalam pengadilan campuran biasanya adalah para professional
yang telah memiliki pengalaman dan reputasi internasional di bidang penyelesaian kejahatan internasional. Selain itu dengan melibatkan
unsur-unsur lokal dan internasional dalam pengadilan campuran dapat memberikan dasar yang kuat serta akan lebih
memudahkan bagi pengadilan itu sendiri untuk melaksanakan
fungsi-fungsinya. Adanya keterlibatan pihak internasional (terutama PBB) juga
akan lebih meningkatkan kredibilitas dari pengadilan campuran (Sujatmoko, 2019).
Istilah
�pengadilan campuran� atau pengadilan hibrida dipergunakan untuk menunjuk pada lembaga-lembaga pengadilan yang melibatkan unsur-unsurnasional maupun internasional di dalam penyusunan, struktur dan fungsinya serta dalam penerapan
hukum dan prosedur pengadilan. Pengadilan campuran (hybrid
tribunal) jelas berbeda
dari pengadilan nasional, karena secara eksplisit ia mengandung elemen
internasional yang bisa berada pada struktur atau fungsinya. Pengadilan campuran (hybrid tribunal) juga berbeda dari pengadilan-pengadilan
internasional karena ia mengakomodasikan elemen-elemen hukum atau struktur hukum
nasional di dalamnya.
Hingga
saat ini setidaknya ada 6 pengadilan yang dapat digolongkan sebagai pengadilan campuran (hybrid tribunal)
yaitu:
1.
The
Serious Crimes Panels of the District Court of Dili (Timor Leste)
2.
War
Crimes Chamber in the State Court of Bosnia and Herzegovina
(Bosnia Herzegovina)
3.
�Regulation
64� Panels in the Courts of Kosovo (Kosovo)
4.
The
Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (Kamboja)
5.
The
Special Court for Sierra Leone (Sierra Leone)
6.
Special
Tribunal for Lebanon (Lebanon).
Dalam
praktik, terkadang tidak mudah untuk
mengandalkan mekanisme dan lembaga hukum nasional
untuk menangani kejahatan internasional. Kejahatan internasional dapat dilakukan oleh individu yang secara politik memiliki kekuasaan di suatu negara, sehingga pengadilan nasional yang diharapkan menindak dan menangani kejahatan internasional yang dilakukan bisa berada dalam situasi
tidak mampu melakukan fungsi yang diharapkan (expected
role) yang semestinya.
Negara yang
berada dalam situasitidak mampu melakukan fungsi yang diharapkan (expected
role) jika dibiarkan terus menerus berada
dalam situasi tersebut maka, pelaku kejahatan internasional tentu saja akan menikmati
kebebasan dari jangkauan hukum, yang dalam diskursus tentang Hak Asasi
Manusia dikenal dengan istilah impunitas (impunity).
Ketika hal tersebut terjadi, mekanisme internasional diperlukan guna memastikan agar pelaku kejahatan internasional tidak dibiarkan bebas tanpa tersentuh hukum. Untuk membahas
persoalan apakah norma-norma hukum pidana internasional (khususnya yang berkaitan dengan kejahatan internasional), dapat diadili di forum pengadilan pidana nasional suatu negara, terlebih dahulu perlu dikemukakan
apakah norma-norma hukum pidana internasional
terdapat di dalam sistem norma hukum
pidana nasional dan dapat diterapkan oleh pengadilan nasional. Pada dasarnya ada dua
kemungkinan terkait dengan keberadaan norma-norma hukum pidana internasional di dalam hukum nasional.
Kemungkinan
pertama, norma-norma hukum pidana internasional
ada dan menjadi bagian dari sistem
hukum pidana nasional, karena suatu negara sudah meratifikasi instrumen hukum internasional yang mengatur tentangkejahatan internasional. Kemungkinan kedua, tanpa secara
formal meratifikasi perjanjian
internasional, hukum nasional suatu negara mengembangkan sendiri norma-norma hukum pidana internasional. Norma-norma hukum pidana
internasional dapat menjadi bagian dari sistem norma
hukum pidana nasional negara-negara melalui
proses ratifikasi. Ratifikasi
sendiri pada dasarnya adalah tindakan formal dari suatu negara untuk mengikatkan diri pada sebuah perjanjian internasional. Melalui ratifikasi, suatu negara menunjukkan itikadnya untuk tunduk pada kewajiban-kewajiban
yang digariskan dalam perjanjian internasional yang diratifikasi engan demikian, ketika sebuah perjanjian internasional menghendaki pemberlakuan norma-norma tertentu dalam lingkup jurisdiksi hukum nasional yang telah mengikatkan diri terhadap perjanjian
internasional, negara tersebut
memiliki kewajiban hukum untuk memberlakukan
norma-norma hukum yang terkandung di dalam perjanjian internasional. Oleh karena itu, ketika
suatu negara meratifikasi Statuta Roma 1998, secara prinsip ia terikat
pada substansi norma-norma
yang ada di dalam Statuta Roma. Demikian juga halnya dengan perjanjian-perjanjian
internasional lain yang berkaitan
dengan kejahatan internasional, seperti Genocide
Convention 1948 dan Geneva Conventions 1949.
Sudah
dikemukakan sebelumnya, dalam keadaan tertentu
pengadilan nasional tidak dapat diandalkan
untuk merespons kejahatan internasional secara patut. Ada kalanya pengadilan nasional mengalami ketidakmampuan berfungsi ketika ia mengalami
kerusakan struktur dan sistem. Kerusakan struktur dan sistem pengadilan nasional dapat terjadi pasca
suatu negara dilanda konflik yang serius. Konflik bersenjata yang mengikuti peristiwa pecahnya (dismemberment)
negara Yugoslavia pada paruh pertama
dekade 1990-an merupakan
salah satu contoh yang menunjukkan bagaimana struktur pengadilan nasional tidak dapat lagi diandalkan.
Demikian
juga halnya dengan situasi perang saudara di Rwanda yang mengakibatkan
tidak dapat berfungsinya pengadilan nasional. Hal yang sama juga terjadi dengan Sierra Leone dan
Timor Leste yang pengadilan
nasionalnya tidak mampu menjalankan fungsi sebagaimana mestinya karena keruntuhan struktur dan sistemnya. Struktur dan sistem yang masih relatif utuh pun tidak selalu menjamin
bahwa pengadilan nasional akanmenjalankan fungsi sebagaimana diharapkan di dalam merespons kejahatan internasional. Kondisi ketidakmauan (unwillingness)
igur yang berkuasa, baik secara politik
maupun militer. Untuk keadaan seperti
ini prosekusi pelaku kejahatan internasional oleh pengadilan nasional sebenarnya dimungkinkan, namun pengadilan nasional secara subjektif memilih untuk tidak
melakukan prosekusi karena alasan-alasan tertentu yang umunya berkaitan dengan faktor politik.
Dalam
keadaan di mana sistem pengadilan nasional tidak dapat diandalkan
untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan internasional, salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya impunitas adalah dengan membentuk
pengadilan kriminal yang bersifat internasional seperti halnya Mahkamah Militer Internasional Nurnberg, Mahkamah Militer Internasional Tokyo, ICTY
(International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia) dan ICTR (International
Criminal Tribunal for Rwanda). Pembentukan mahkamah-mahkamah yang bersifat internasional tersebut juga membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Secara
praktis, pembentukan dan operasionalisasi mahkamah yang bersifat internasional merupakan sebuah pekerjaan besar yang tidak selalu dapat
dilakukan dengan mudah. Tentang ini Cryer mengatakan: �There are various reasons for avoiding
resort to a new international tribunal. International institutions like the
ICTY and the ICTR tend to be large and expensive; calls for similar tribunals
have been unsuccessful. Their
capacity is limited to a few cases and they have hit her to been located away
from the State in question for security or other reasons.� Selain kesulitan yang bersifat praktis, pembentukan mahkamah yang bersifat internasional juga dapat memunculkan kesan bahwa pengadilan
nasional tidak dianggap berkepentingan dengan proses prosekusi pelaku kejahatan internasional.
Penjatuhan
pidana yang dilakukan oleh mahkamah pidana yangbersifat internasional bisa jadi justru
akan dianggap sebagai putusan arbiter. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut,
salah satu alternatif lain
yang dapat diambil adalah membentuk pengadilan campuran yang menggabungkan aspek-aspek positif dari pengadilan
pidana nasional dan pengadilan pidana internasional. Atas dasar itu, tujuan utama
yang hendak dicapai oleh pengadilan campuran (hybrid
tribunal) pada hakikatnya adalah
mewujudkan perdamaian dan keadilan berdasarkan standar hukum internasional
dengan cara mengakhiri impunitas bagi pelaku kejahatan
internasional, melalui keterlibatan komponen-komponen hukum nasional.
B. The Special Court for
Sierra Leone (SCSL)
Salah satu kasus dalam
dunia internasional yang masih
diperangi adalah pelanggaran HAM berat, mengingat perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu fokus utama
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat internasional. Oleh karena itu, pembentukan
peradilan internasional, utamanya pengadilan campuran atau hybrid tribunal mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat, tersebut menjadi suatu yang penting. Satu diantaranya yang hendak dibahas dalam hal
ini adalah The Special
Court for Sierra Leone (SCSL).� SCSL ini terbentuk karena
adanya kejahatan terhadap kemanusiaan yang berlangsung dalam perang saudara selama tahun 1991-2002 di Sierra
Leone, Afrika Barat. Kejahatan terhadap
kemanusiaan yang terjadi disini memiliki lebih dari 50.000 korban jiwa, banyak pelecehan
seksual dan kekerasan terhadap anak-anak.
Melihat
kondisini ini dan pemerintah Sierra Leone yang apatis
dalam penyelesaiannya, menyebabkan PBB bekerjasama dengan pemerintah Sierra Leone membentuk suatu peradilan khusus yang disebut The Special
Court for Sierra Leone (SCSL).� SCSL memiliki peran yang cukup besar dalam
mengadili pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di
Sierra Leone. Lembagi peradilan
dalam SCSL terbagi dalam tiga (3) tingkat peradilan yaitu trial chamber I, trial chamber II, dan appeal
chambers. Masing-masing chambers memiliki jumlah hakim yang berbeda di dalamnya. Trial chamber I terdiri
dari dua (2) hakim internasional dan satu (1) hakim
Sierra Leone, trial chamber II terdiri dari tiga (3) hakim internasional dan satu (1) hakim alternatif internasional, sementara untuk appeal chambers terdiri dari empat
(4) hakim internasional dan dua
(2) hakim Sierra Leone.
Trial
Chamber I merupakan peradilan
tahap pertama dalam SCSL yang melakukan pemeriksaan terhadap proses penuntutan awal kepada tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan. Trial Chamber II berperan
untuk memutuskan seorang terdakwa bersalah atau tidak
berdasarkan kesaksiann bukti serta argumen
yang dipaparkan para pihak dalam persidangan. Terakhir appeal chambers mendengarkan
permohonan yang menolak segala keputusan yang dikeluarkan oleh peradilan sebelumnya. Perjuangan panjang dan kerja keras SCSL ini dibuktikan dengan pada 26 April
2012, pengadilan ini mendakwa mantan presiden Liberia Charles Taylor, yang menjadikannya
kepala negara Afrika pertama
yang didakwa terlibat dalam kejahatan perang.
Dalam
proses pengadilan kejahatan
terhadap kemanusiaan di
Sierra Leone ini, SCSL mengalami
beberapa hambatan dan permasalahan. Pertama, terkait dengan masalah kedaulatan serta yurisdiksi negara Sierra
Leone. Selain itu terkait dengan prinsip pertanggungjawaban negara
(state responsibility), dimana pemerintah Sierra Leone tidak mampu melindungi
tidak hanya warga negara Seirra Leone yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan, namun juga mereka yang menjadi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebenarnya pembentukan SCSL dapat dikatakan efektif bila memenuhi
beberapa poin kriteria yaitu preventif dan kuratif.�
Preventif
dalam hal ini adalah SCSL tidak hanya mengadili
kasus kejahatan kemanusiaan, namun juga untuk menanggulangi kasus yang sama di masa depan. Kuratif yang dimaksudkan adalah SCSL dibangun untuk memperbaiki apa yang kurang dalam sistem
peradilan nasional Sierra
Leone. Selain kedua poin di atas peran
organ tambahan yang ada untuk membantu SCSL dalam pengadilan mereka merupakan poin penting lainnya.
Peran besar dari beberapa organ SCSL tersebut dapat berjalan secara maksimal jika sumber daya
manusia yang berpartisipasi
didalamnya mempunyai kapasitas yang cukup untuk melaksanakan tugas sesuai peraturan
yang ada. Aturan-aturan hukum yang berada dalam SCSL juga merupakan poin penting sebagai
pedoman pelaksanaan persidangan baik berupa hukum nasional
Sierra Leone maupun aturan-aturan
Hukum Pidana Internasional maupun Hukum Humaniter Internasional. Patut dikemukakan bahwa kurangnya peduli masyarakat Sierra Leone baik para
korban maupun saksi dalam pelaksanaan peradilan di SCSL, membuat beberapa kasus yang disidangkan mengalami berbagai hambatan.
C. The Serious Crimes Panels
of the District Court of Dili (Timor Leste)
Pada tanggal 20 September 1999 pasukan
internasional INTERFET tiba
di Dili Timor Leste untuk mencari tanah yang hancur. Program untuk mengintimidasi dan menghukum penduduk Timor-Leste untuk memilih sebagian besar wilayah Indonesia telah gagal (78,5% memilih kemerdekaan), namun reaksi anggota militer Indonesia dan milisi agen mereka terhadap
kekalahan ini lebih efektif. Pada periode sebelum dan sesudah hasil pemungutan
suara diperkirakan 70% infrastruktur pemerintah hancur, sekitar 60.000 rumah dibakar, 500.000 warga sipil mengungsi
(250.000 ke Timor Barat, Indonesia), 2000 korban tewas, ratusan perempuan diperkosa dan wilayahnya menjadi reruntuhan yang berasap. Menurut Basic freedoms Watch, '' kekerasan
adalah bagian dari kebijakan yang direncanakan secara sistematis oleh unsur-unsur pemerintah Indonesia dan TNI (Pasukan
militer nasional
Indonesia), untuk mencegah rakyat Timor Lorosa'e berpartisipasi secara bebas dalam submission, dan untuk menghukum mereka karena memilih
kemerdekaan (Burgess, 2004).
Pada permulaan perlu dijelaskan secara singkat kerangka legislatif Timor Lorosa'e di bawah administrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mekanisme yang tidak biasa yang melaluinya penuntutan ini berlangsung. Visi UNTAET untuk penuntutan pelanggaran berat hak asasi manusia
pertama kali terlihat didepan umum ketika
disahkan Peraturan 2000/11.
Bagian 10 mengatur bahwa Pengadilan Distrik Dili memiliki yurisdiksi eksklusif atas genosida, kejahatan perang, penyiksaan dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan atas pembunuhan dan pelanggaran seksual yang dilakukan antara 1 Januari 1999 dan 25 Oktober 1999 (secara kolektif dikenal sebagai 'Kejahatan Berat'). Administrator Transisi, setelah berkonsultasi dengan Kepresidenan Pengadilan, diberi wewenang untuk mengangkat panel hakim di Pengadilan
Distrik Dili, yang terdiri dari hakim Timor-Leste dan hakim internasional.
Legislasi lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan kerangka kerja proses tersebut, termasuk pembentukan layanan kejaksaan untuk Timor Lorosa'e. Regulasi 2000/15 memberikan 'mur dan baut' untuk membangun
kendaraan keadilan yang digambarkan dalam pasal 10 Regulasi 2000/11 (Linton, 2001).
Terminologi
'Kejahatan Berat' mengacu pada perbedaan dalam Hukum Pidana Indonesia antara kejahatan dan pelanggaran ringan. Kejahatan didefinisikan secara rinci, mengikuti
hampir kata demi kata yurisdiksi
pokok dari Statuta Roma dari Mahkamah Pidana Internasional.Ketentuan hukum substantif lainnya, seperti pembelaan dan prosedur pengakuan bersalah, juga meniru Statuta Roma. Ketentuan untuk mengajukan tuntutan berdasarkan KUHP
Indonesia untuk pembunuhan
dan pelanggaran seksual
yang dilakukan antara 1 Januari 1999 dan 25 Oktober 1999 memberikan keleluasaan penuntutan dalam menuntut. Kedua putusan Kejahatan Berat yang dibahas dalam makalah ini
muncul dari penuntutan kekejaman berdasarkan KUHP Indonesia, bukan
hukum internasional. Regulasi 2000/15 menciptakan rezim penuntutan domestik yang 'internasionalisasi'
di dalam Pengadilan Distrik Dili.
Di bawah dua hakim pengadilan internasional dan satu hakim Timor Leste duduk di
panel yang dikenal sebagai
Panel Khusus untuk Kejahatan Berat. Hukum yang berlaku dalam kasus-kasus
Kejahatan Berat adalah hukum Indonesia (sebagaimana telah diubah atau diganti
oleh UNTAET) dan, jika sesuai,
perjanjian yang berlaku dan
prinsip-prinsip dan norma-norma
yang diakui hukum internasional, termasuk prinsip-prinsip hukum konflik bersenjata yang telah ditetapkan. Jaksa Penuntut Umum didirikan secara bersamaan dalam Regulasi 2000/15. Di dalam layanan ini
terletak Kantor Wakil Jaksa
Agung untuk Kejahatan Berat, yang memiliki tanggung jawab eksklusif untuk kasus-kasus Kejahatan Berat.
Sistem
mutakhir untuk menuntut kejahatan internasional telah dicangkokkan ke dalam sistem peradilan
pidana Timor Lorosa'e yang masih baru, menarik
banyak hal dari rezim yang dirancang untuk Pengadilan Pidana Internasional yang diusulkan. Ada
banyak perhatian LSM dan
media yang diungkapkan tentang
proyek Kejahatan Berat, khususnya kegagalan UNTAET untuk memberikan dukungan yang memadai, dan anggapan kegagalan mereka yang terlibat dalam proses untuk memahami sejauh mana sebenarnya dari kekejaman yang dilakukan. Perserikatan Bangsa-Bangsa Lainnya lembaga-lembaga juga telah menyuarakan keprihatinan mereka.
Indikasinya
adalah bahwa UNTAET telah melampaui batas dirinya sendiri
dan belum memenuhi tuntutan proses Kejahatan Berat atau harapan
yang meningkat dari rakyat Timor-Leste. Meskipun
Panel Khusus tidak diragukan lagi memproses kasus secara efisien mengingat kondisi sulit di mana ia beroperasi, proses yang mahal dan rumit
ini dianggap oleh beberapa pengamat Timor Lorosa'e atau internasional
sebagai keadilan bagi banyak kekejaman
yang dilakukan di Timor Lorosae.
D. Special Tribunal for
Lebanon
Pada tanggal 14 Februari 2005, serangan bom menewaskan
mantan Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri dan 22
orang lainnya. Satu bulan kemudian, berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1595, Komisi Investigasi Independen Internasional PBB (UNIIIC) dibentuk
untuk "membantu pihak berwenang Lebanon dalam penyelidikan mereka.UNIIIC memulai penyelidikannya pada 16 Juni
2005. Dewan Keamanan memperpanjang
mandat UNIIIC setelah resolusi 1636 (2005), 1644 (2005), 1686 (2006) dan 1748
(2007) dan 1815 (2008).
UNIIIC menghasilkan total sebelas laporan dan menghentikan penyelidikannya pada tanggal 28 Februari 2009.Pada akhir Februari 2009, UNIIIC mengakhiri mandatnya dan digantikan oleh Pengadilan Khusus untuk Lebanon pada 1 Maret 2009.
Pada tanggal 13 Desember
2005, Perdana Menteri Lebanon, Fouad Siniora, mengirim
surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi
Annan meminta atas nama Pemerintah Lebanon �untuk membentuk pengadilan yang bersifat internasional untuk bersidang di dalam atau di luar Lebanon, untuk mengadili semua pihak. yang ditemukan bertanggung jawab atas kejahatan
teroris yang dilakukan terhadap Hariri (Yun, 2009).
Dengan
Resolusi 1644 (2005), Dewan Keamanan
meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk membantu Pemerintah Lebanon untuk mengidentifikasi sifat dan cakupan bantuan internasional yang diperlukan untuk mengadili mereka yang membunuh mantan Perdana Menteri
Lebanon Rafik Hariri dan 22 orang lainnya di hadapan pengadilan. karakter internasional. Sekretaris Jenderal menyampaikan laporannya pada Maret 2006. Dengan Resolusi 1664 (2006), Dewan Keamanan
menyetujui laporan tersebut dan meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk merundingkan kesepakatan dengan Pemerintah Lebanon. Pada bulan Januari dan Februari 2007, Sekretaris Jenderal PBB dan Pemerintah Lebanon menyelesaikan negosiasi dan menandatangani kesepakatan tentang pembentukan Pengadilan Khusus untuk Lebanon.
Pada bulan Maret dan April 2007, sesi resmi Parlemen
Lebanon untuk meratifikasi Statuta Pengadilan dan perjanjian bilateral dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak diadakan. Pada bulan Mei 2007, Perdana Menteri Lebanon menulis
kepada Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan, menekankan bahwa �penundaan lebih lanjut dalam
pembentukan Pengadilan akan sangat merugikan stabilitas Lebanon, untuk tujuan keadilan, kredibilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri dan bagi perdamaian dan keamanan di wilayah itu.
Pada tanggal 30 Mei 2007, Dewan Keamanan
mengeluarkan Resolusi 1757
(2007) yang memutuskan saat
bertindak berdasarkan Bab
IV bahwa ketentuan "perjanjian" antara Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Republik Lebanon tentang pembentukan Pengadilan Khusus untuk Lebanon mulai berlaku pada 10 Juni 2007. Dibandingkan dengan pengadilan internasional lainnya, STL memiliki lima ciri berbeda:
1.
STL adalah
pengadilan internasional pertama dengan yurisdiksi terorisme;
2.
Korban dapat
berpartisipasi dalam proses
persidangan (di ICTY dan ICTR korban hanya diperbolehkan sebagai saksi);
3.
Proses STL dapat
dilakukan dalam persidangan in absentia tanpa kehadiran terdakwa;
4.
STL memiliki
Kantor Pertahanan independen
dengan status yang sama dengan Kantor Kejaksaan;
5.
dan STL memiliki
hakim pra-sidang, yang meninjau
dakwaan dan mempersiapkan kasus untuk diadili.
Kesimpulan
Hybrid tribunal dibentuk untuk mengadili pelaku tindak pidana
yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional (international crimes) yang menjadi musuh bersama
umat manusia (hostis humanis generis). Selain itu, tentunya juga didasari dari sudah
adanya pembentukan mahkamah pidana militer internasional yang bersifat ad hoc di Nurnberg Jerman
dan di Tokyo Jepang pasca
PD II. Mahkamah Pidana Militer Internasional Nurnberg maupun Tokyo dibentuk berdasarkan Piagam London tanggal 8 Agustus 1945, dimaksudkan untuk mengadili para individu yang dianggap paling bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan HAM berat semasa PD II.
Istilah �pengadilan
campuran� atau pengadilan hibrida dipergunakan untuk menunjuk pada lembaga-lembaga pengadilan yang melibatkan unsur-unsurnasional maupun internasional di dalam penyusunan, struktur dan fungsinya serta dalam penerapan hukum dan prosedur pengadilan. Pengadilan campuran (hybrid
tribunal) jelas berbeda
dari pengadilan nasional, karena secara eksplisit ia mengandung elemen
internasional yang bisa berada pada struktur atau fungsinya. Pengadilan campuran (hybrid tribunal) juga berbeda dari pengadilan-pengadilan
internasional karena ia mengakomodasikan elemen-elemen hukum atau struktur hukum
nasional di dalamnya.
Penjatuhan pidana
yang dilakukan oleh mahkamah
pidana yangbersifat internasional bisa jadi justru akan
dianggap sebagai putusan arbiter. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, salah satu alternatif lain yang dapat diambil adalah membentuk pengadilan campuran yang menggabungkan aspek-aspek positif dari pengadilan pidana nasional dan pengadilan pidana internasional. Atas dasar itu, tujuan utama
yang hendak dicapai oleh pengadilan campuran (hybrid
tribunal) pada hakikatnya adalah
mewujudkan perdamaian dan keadilan berdasarkan standar hukum internasional
dengan cara mengakhiri impunitas bagi pelaku kejahatan
internasional, melalui keterlibatan komponen-komponen hukum nasional.
Atmasasmita, Romli. (2003). Pengantar
Hukum Pidana Internasional. Google Scholar
Burgess, Patrick. (2004). Justice and
reconciliation in East Timor. The relationship between the Commission for
Reception, Truth and Reconciliation and the courts. In Truth Commissions And
Courts (pp. 135�158). Springer. Google Scholar
Cholidah, Cholidah. (2018). Hybrid Court
Sebagai Alternatif Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Legality:
Jurnal Ilmiah Hukum, 26(1), 61�80. Google Scholar
Gray, Tallyn. (2012). Justice and the
Khmer Rouge: concepts of just response to the crimes of the Democratic
Kampuchean regime in Buddhism and the Extraordinary Chambers in the Courts of
Cambodia at the time of the Khmer Rouge tribunal. Google Scholar
Hiariej, Eddy O. S. (2009). Pengantar
Hukum Pidana Internasional. Google Scholar
Linton, Suzannah. (2001). Prosecuting
atrocities at the District Court of Dili. Melbourne Journal of International
Law, 2(2), 414�458. Google Scholar
Silitonga, Benget M., & Anto, J.
(2012). Kratos Minus Demos: Demokrasi Indonesia, Catatan dari Bawah.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Google Scholar
Sujatmoko, Andrey. (2019). Pengadilan
Campuran (� Hybrid Tribunal�) Sebagai Forum Penyelesaian Atas Kejahatan
Internasiona. Teras Law Review, 3(5). Google Scholar
Yun, Janice. (2009). Special Tribunal for
Lebanon: A Tribunal of an International Character Devoid of International Law. Santa
Clara J. Int�l L., 7, 181. Google Scholar
Zainal, Asikin. (2004). Amiruddin.
Pengantar metode penelitian hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Google Scholar
Copyright holder: Muhammad Ansyar, Dimas Pranowo (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |