Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 11, November 2021

�

PERAN MIKROBIOTA SALURAN CERNA PADA ARTRITIS REUMATOID

 

Teddy Tjahyanto, Eldy, Clarissa Felicia, Karmenia Jessica Kurnia Niaga

Universitas Tarumanagara (UNTAR) Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Artritis rheumatoid merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya proses inflamasi kronis sistemik dan berakibat pada kerusakan sendi. Mekanisme etiopatogenik yang menyebabkan inflamasi yang sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor, termasuk keseimbangan mikrobiota saluran cerna. Tujuan penelitian dilakukan untuk meninjau lebih dalam mengenai peran interaksi inang-mikrobiota terhadap sistem kekebalan inang, mendiskusikan kemungkinan hubungan patofisiologi antara disbiosis mikrobiota saluran cerna dan manifestasi, serta menyarankan langkah preventif dan terapi potensial untuk artritis rheumatoid melalui perbaikan disbiosis mikrobiota saluran cerna. Sumber literatur diambil dari artikel jurnal yang dipublikasikan secara online dalam rentang waktu tahun 2016-2021. Database yang digunakan adalah PubMed, Science Direct, Cochrane, dan Wiley. Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara disbiosis dan inflamasi mukosa saluran cerna dengan patogenesis artritis reumatoid. Disbiosis mikrobiota saluran cerna menyebabkan terbentuknya imunotoleransi yang berakibat pada penyakit autoimun. Peran mikrobiota pada artritis rheumatoid meliputi produksi sitokin proinflamasi dan sel Th17, serta pembentukan autoantibodi ACPA. Metabolit anti inflamasi mikrobiota seperti butirat yang meregulasi keseimbangan TFH/TFR didapatkan menurun pada artritis reumatoid. Disbiosis mikrobiota saluran cerna telah terbukti menjadi salah satu faktor penting dalam manifestasi artritis rheumatoid pada model hewan. Studi tambahan perlu dilakukan untuk mengeksplorasi keterlibatan mikrobiota dalam saluran cerna yang berbeda dalam modulasi imun selama patogenesis artritis reumatoid.

 

Kata Kunci: mikrobiota saluran cerna; patofisiologi; artritis rheumatoid

 

Abstract

Rheumatoid arthritis is an autoimmune disease characterized by a chronic systemic inflammatory process that results in joint damage. The etiopathogenic mechanisms that cause inflammation in rheumatoid arthritis are complex and involve various factors, including the homeostasis of the gastrointestinal microbiota. This study was conducted to review the role of host-microbiota interactions on the host immune system, to discuss possible pathophysiological relationships between gastrointestinal microbiota dysbiosis and manifestations, and to suggest preventive and potential therapeutic options for rheumatoid arthritis through improvement of gastrointestinal microbiota dysbiosis. Literature sources are taken from journal articles published online in the period 2016-2021. The databases used are PubMed, Science Direct, Cochrane, and Wiley. The study showed a strong correlation between dysbiosis and inflammation of the gastrointestinal mucosa with the pathogenesis of rheumatoid arthritis. Gastrointestinal microbiota dysbiosis causes the formation of immunotolerance which results in autoimmune diseases. The role of the microbiota in rheumatoid arthritis includes the production of proinflammatory cytokines and Th17 cells, along with the formation of ACPA autoantibodies. Microbiota anti-inflammatory metabolites such as butyrate that regulate TFH/TFR balance have been found to be decreased in rheumatoid arthritis. Gastrointestinal microbiota dysbiosis has been shown to be an important factor in the manifestation of rheumatoid arthritis in animal models. Additional studies need to be carried out to explore the involvement of different gastrointestinal microbiota in immune modulation during the pathogenesis of rheumatoid arthritis.

 

Keywords: gut microbiota; pathophysiology; rheumatoid arthritis

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20

 

Pendahuluan

Artritis rheumatoid (RA) adalah penyakit inflamasi kronis sistemik yang umumnya ditandai dengan poliartritis simetris persisten dan dapat berakibat pada kerusakan sendi (CDC, 2019; Horta-Baas et al., 2017). Secara global, insiden RA per tahun mencapai 3 kasus per 10.000 penduduk dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dua kali lebih sering menyerang perempuan daripada laki-laki (Howard R Smith, 2021). Prevalensi RA bervariasi dari 0,16% di Asia dan Afrika Utara dan Timur Tengah hingga 0,46% di wilayah Australasia. Prevalensi tertinggi didapati pada populasi Australasia, Eropa Barat dan Amerika Utara (Cross et al., 2014). Pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, RA mempengaruhi lebih dari 18 juta orang, dengan kejadian pada perempuan lima kali lebih banyak daripada laki-laki (Rudan et al., 2015). Di Indonesia, kejadian RA bervariasi dari 0,3%-0,6% dan tersebar di berbagai daerah dengan pelaporan kasus baru RA sebanyak 4,1%-9% per tahun (Indonesia, 2014). Data Riskesdas tahun 2018 menyatakan bahwa jumlah penderita RA di Indonesia mencapai 7,30% dari total populasi (Andri, Padila, Sartika, Putri, & J, 2020).

Mekanisme etiopatogenik yang menyebabkan inflamasi pada RA sangat kompleks dan melibatkan reaksi imunopatogenesis antara respon imunitas bawaan dan didapat, dimana sel penyaji antigen (APC), sel T autoreaktif, dan produksi autoantibodi berperan dalam prosesnya. Faktor reumatoid (RF) dan antibodi protein anti-sitrulinasi (ACPA) sering dikaitkan dengan manifestasi klinis pada pasien dengan RA. Antibodi ini sering ditemukan dalam darah, maka reaksi autoimunitas ekstra artikuler, seperti pada saluran pencernaan atau saluran napas dapat bermanifestasi jauh sebelum tanda-tanda peradangan sendi ditemukan (Malmstr�m, Catrina, & Klareskog, 2017). Studi lainnya menunjukkan bahwa antibodi protein tersitrulinasi anti-siklik (anti-CCP) imunoglobulin A (IgA) dapat dideteksi selama beberapa tahun sebelum RA bermanifestasi pada manusia (Rantap��-Dahlqvist et al., 2003).

Meskipun mekanisme patofisiologi RA belum dapat dipastikan, sebuah studi pada tahun 2017 menyatakan bahwa RA  merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan sistem kekebalan tubuh (Horta-Baas et al., 2017). HLA-DRB merupakan salah satu faktor genetik yang diasosiasikan dengan RA (Bergot, Giri, & Thomas, 2019). Secara keseluruhan, faktor genetik bersama faktor lingkungan berkontribusi pada 60% varian fenotipik RA, yang mengindikasikan bahwa faktor lingkungan berperan secara signifikan dalam perkembangan penyakit RA (Kuo et al., 2017).

Paparan berbagai faktor lingkungan, termasuk merokok, hormonal, infeksi dan komposisi mikrobiota saluran cerna mungkin terlibat dalam induksi penyakit. Mikrobiota saluran cerna telah terbukti sebagai salah satu faktor yang memainkan peran penting dalam perkembangan radang sendi pada hewan coba. Mengingat fakta lainnya bahwa obat antimikroba seperti minosiklin atau sulfalazin efektif pada beberapa pasien RA, mikrobiota tampaknya memiliki korelasi yang signifikan dengan induksi RA (Maeda & Takeda, 2019).

Istilah mikrobiota mengacu pada komunitas mikroba komensal termasuk bakteri, arkea, virus, jamur dan protozoa yang telah membentuk relung mereka sendiri di dalam inang, dan memberikan peran pendukung dalam kekebalan dan metabolisme inang. Pada tubuh manusia yang sehat, diperkirakan terdapat sekitar 30�400 triliun mikrobiota komensal (3�1013 hingga 40�1013), jumlah yang sama dengan total sel somatik dan germinal manusia. Saluran cerna adalah reservoir mikrobiota terbesar dalam tubuh. Mikrobiota saluran cerna biasanya terdiri dari lebih dari 1000 spesies bakteri yang komposisinya relatif stabil pada setiap individu sepanjang masa dewasa tetapi sangat beragam antar individu. Namun, beberapa intervensi seperti penggunaan antibiotik, infeksi, kehamilan dan perubahan gaya hidup jangka panjang dapat mengubah komposisi dan keragaman mikrobiota saluran cerna (Kim, Zeng, & N��ez, 2017).

Baru-baru ini, minat penelitian mengenai peran mikrobiota saluran cerna terhadap kesehatan dan penyakit manusia meningkat seiring dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan metaanalisis genom, protein transkripsi serta metabolit yang dihasilkan oleh mikrobiota (N, SU, GY, & G, 2013). Berkat studi-studi tersebut, saat ini mikrobiota saluran cerna telah diakui secara luas sebagai faktor yang memiliki andil dalam metabolisme manusia, perkembangan sistem kekebalan tubuh, serta resistensi terhadap kolonisasi patogen enterik (Kim et al., 2017). Terkait peran yang beragam dan kritikal dari mikrobiota saluran cerna dalam kesehatan manusia, gangguan dalam komposisi mikrobiota, atau lebih dikenal dengan disbiosis, memiliki dampak negatif yang mendalam pada sistem kekebalan manusia dan berkontribusi pada berbagai gangguan inflamasi kronis, tidak terkecuali RA. 

Perkembangan dalam penelitian peran mikrobiota saluran cerna yang telah terbukti pada uji hewan coba, kami ingin meninjau lebih dalam mengenai peran interaksi inang-mikrobiota terhadap sistem kekebalan inang, mendiskusikan kemungkinan hubungan patofisiologi antara disbiosis mikrobiota saluran cerna dan manifestasi, serta menyarankan langkah preventif dan terapi potensial untuk arthritis rheumatoid pada individu melalui perbaikan disbiosis saluran cerna.

 

Metode Penelitian

Penulis mencari, menyeleksi, dan memilih literatur-literatur yang terkait dengan peran mikrobiota saluran cerna pada artritis rheumatoid (RA) dari beberapa database antara lain PubMed, ScienceDirect, Wiley, dan Cochrane. Kami memprioritaskan penelitian yang diterbitkan dalam jangka waktu lima tahun terakhir. Penulisan dimulai dengan peninjauan isi dari literatur yang memenuhi kriteria, dilanjutkan dengan tukar pikiran dan pemeriksaan silang dengan sumber primer lainnya. 

Hasil diskusi kami susun dalam sebuah format terorganisir mulai dari definisi, konsep dan diagnosis RA, mekanisme patogenesis dan faktor risiko RA, definisi dan konsep mengenai mikrobiota saluran cerna, mekanisme mikrobiota dalam mempengaruhi sistem imunitas, patomekanisme disbiosis mikrobiota saluran cerna dan manifestasinya terhadap RA, dan kemungkinan langkah preventif dan terapi potensial RA melalui koreksi disbiosis mikrobiota saluran cerna.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Konsep dan Diagnosis RA

Artritis reumatoid (RA) merupakan penyakit autoimun berupa inflamasi sistemik yang menyerang persendian dengan gejala khas poliartritis simetris yang berlangsung kronis, sehingga dapat menyebabkan kerusakan sendi dan tendon yang menetap, rasa nyeri berkepanjangan, dan bengkak yang menyakitkan pada sendi sinovial. RA juga dapat melibatkan jaringan dan organ tubuh lainnya, seperti paru-paru, jantung, dan mata (CDC, 2019).

Diagnosis RA di Indonesia mengacu pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap serta menggunakan kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2010 dengan klasifikasi kriteria adanya keterlibatan sendi, tes serologi positif RF atau ACPA, reaktan fase akut, dan durasi gejala.

 

Tabel 1

Kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2010 (Indonesia, 2014)

Kriteria

Skor

Jumlah sendi yang terlibat

�         1 sendi besar

0

�         2-10 sendi besar

1

�         1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar)

2

�         4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar)

3

�         >10 sendi (minimal 1 sendi kecil)

5

Hasil pemeriksaan serologis

�         RF negatif dan ACPA negatif

0

�         RF positif rendah atau ACPA positif rendah

2

�         RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi

3

Reaktan fase akut

�         CRP normal dan LED normal

0

�         CRP abnormal atau LED abnormal

1

Durasi gejala

�         <6 minggu

0

�         >= 6 minggu

1

Keterangan: RF = rheumatoid factor; ACPA = Anti-Citrullinated Peptide Antibody; CRP = C-reactive protein; LED = laju endap darah.

 

Diagnosis penunjang untuk RA sering ditandai dengan ditemukannya faktor rheumatoid (RF) dan ACPA. Faktor reumatoid tidak spesifik untuk RA, namun ACPA spesifik untuk diagnosis RA dan mungkin berperan dalam patogenesis penyakit. Sekitar 50-80% orang dengan RA memiliki hasil pemeriksaan RF (+), ACPA (+) atau keduanya. Pasien dengan RA mungkin memiliki hasil tes antibodi anti nuklear yang positif, dan tes ini merupakan prognostik yang penting untuk RA pada remaja (juvenile rheumatoid arthritis). Kadar protein C-reaktif dan laju sedimentasi terkait dengan progresivitas penyakit dan respons terhadap pengobatan.

B.     Mekanisme Patogenesis dan Faktor Risiko

Proses inflamasi pada RA disebabkan oleh kompleks yang dibentuk oleh sistem imun bawaan dan adaptif. Adanya interaksi antara faktor lingkungan dan genetik mengakibatkan hilangnya toleransi terhadap protein diri yang mengandung residu sitrulin. Residu sitrulin dihasilkan dari proses modifikasi pasca translasi residu arginin dengan enzim peptidylarginine deiminase. Pasien dengan autoimunitas tidak lagi mengenal peptida sitrulin sebagai protein diri, sebaliknya, ACPA dibentuk untuk melawan peptida sitrulin. 

Infiltrasi leukosit di synovium sebagai respons terhadap ekspresi molekul adhesi dan kemokin pada pembuluh darah mikrosinovial dapat menyebabkan sinovitis. Proses ini ditandai dengan keberadaan sel dendritik dalam jalur imun adaptif sebagai antigen-presenting cells (APC) yang mengekspresikan berbagai sitokin dan antigen, molekul HLA kelas II, dan kostimulator sel T. Sel dendritik ditemukan terutama dalam agregat limfositik dan pembuluh perifer, menunjukkan bahwa mereka berasal dari darah perifer. Alel MHC diekspresikan oleh APC yang memproses peptida ekstraseluler menjadi sel T CD4+, mendorong sekresi sitokin proinflamasi yang merangsang sel B untuk memproduksi antibodi. Pasien dengan penyakit ini menunjukkan fungsi yang rusak dari sel T regulator sirkulasi (Treg) dan peningkatan sel T helper 17 (Th17) dalam plasma dan cairan sinovial. Faktor pertumbuhan transformasi turunan sel makrofag dan turunan sel dendritik dan IL-1β, 6, 21, dan 23 menyediakan lingkungan yang mendukung diferensiasi Th17 dan menekan diferensiasi sel T regulator, sehingga menggeser homeostasis sel T menuju peradangan (Horta-Baas et al., 2017).

Sel T membutuhkan dua jenis sinyal untuk teraktivasi; presentasi antigen dari sel dendritik ke reseptor sel T dan kostimulator yang membutuhkan interaksi protein dari sel CD80/86 pada APC dengan protein CD 28 pada sel T.  Setelah sel T teraktivasi maka sel T helper naif akan berdiferensiasi menjadi Th1, Th2, dan Th17 dengan fungsi yang berbeda. Sel dendritik dan makrofag akan mensekresi transforming growth factor (TGF), interleukin (IL)-1β, IL-6, IL-21, IL-23 dan sitokin yang menekan produksi sel T regulator yang dapat mengganggu homeostasis dan bermanifestasi sebagai inflamasi pada sinovium. Adanya produksi IL-17A merangsang fibroblast-like synoviocytes (FLSs) dan macrophage-like synoviocytes (MLSs) untuk meningkatkan produksi IL-26 yang menginduksi produksi sitokin inflamasi IL-1β, IL-6, TNF alfa oleh monosit dan meningkatkan diferensiasi lebih lanjut sel Th17.

Imunitas adaptif humoral dapat berkontribusi terhadap penyakit autoimun melalui beberapa mekanisme potensial. Adanya kecacatan pada check point toleransi sel B akan menyebabkan sel B autoreaktif yang mampu mengaktivasi sel T dan menghasilkan sitokin proinflamasi. Makrofag menjadi efektor penting dari sinovitis yang bekerja melalui fagositosis, presentasi antigen, pelepasan sitokin proinflamasi, ROS, prostanoid dan matrix-degrading enzymes. Patogen yang berikatan dengan reseptor TLR pada monosit, makrofag, dan sel dendritik akan menyebabkan respon inflamasi dan memediasi respon imun untuk merekrut neutrofil, monosit, dan limfosit. Kombinasi respon sistem imun bawaan dan adaptif berguna untuk menghilangkan patogen dan akan berhenti ketika sudah mencapai respon imun yang diharapkan. Namun pada pasien RA, respon inflamasi tetap berlanjut secara kronis meskipun patogen telah dibersihkan.

Faktor genetik dan lingkungan inang dapat mempengaruhi homeostasis mikrobiota. Pada kondisi homeostatik, fungsi yang dikodekan mikrobiota berkontribusi dalam fungsi metabolisme inang, perkembangan kekebalan dan resistensi terhadap patogen eksogen. Faktor genetik yang memiliki kaitan paling erat dengan RA adalah alel pada MHC yang mengkode urutan asam amino yang memprediksi kemiripan struktural pada peptide-binding groove di HLA yang disebut sebagai shared epitope. Alel shared epitope berkontribusi hingga 40% dari faktor risiko genetik dari RA, dan beberapa terletak pada daerah HLA-DRB1 (DAS & Nair, 2019).

Faktor lingkungan yang terlibat dalam kejadian RA meliputi paparan rokok, obesitas, dan diet. Paparan tembakau dari rokok berkontribusi hingga  20-30% dari faktor risiko lingkungan pada RA, dan jika diiringi dengan adanya faktor genetik akan meningkatkan sitrulinasi dan gambaran RF termasuk pada individu yang bukan merupakan pasien RA (Wu, Yang, & Lai, 2020). Paparan polusi atau rokok pada permukaan mukosa memegang peranan penting dalam patogenesis RA. Interaksi antar mikrobiota, inang, dan faktor lingkungan pada permukaan mukosa menyebabkan toleransi imun dan inflamasi yang memfasilitasi penyebaran lokal dan sistemik dari autoimun melalui mimikri molekuler atau pembentukan self-antigen autoimun (Deane et al., 2017). Asupan vitamin D dan antioksidan yang rendah dan tingginya konsumsi daging merah, gula, natrium, dan zat besi juga dapat meningkatkan faktor risiko RA, sementara tingginya konsumsi asam lemak omega-3 berhubungan dengan faktor risiko RA yang rendah (Wu et al., 2020).

C.    Definisi dan Konsep mengenai Mikrobiota Saluran Cerna

Mikrobiota komensal, terutama bakteri, merupakan sejumlah besar mikroorganisme yang mengkolonisasi permukaan kulit dan membran mukosa pada vertebrata. Pada usus manusia yang sehat, diperkirakan sekitar 30�400 triliun mikroorganisme (3�1013 hingga 40�1013) menempati saluran tersebut dan sebagian besar berada di bagian distal (Reinoso Webb, Koboziev, Furr, & Grisham, 2016). Berbagai jenis mikrobiota komensal termasuk mikrobiota saluran cerna telah berevolusi membentuk hubungan simbiosis dengan inangnya dan komposisinya dipengaruhi oleh faktor imunogenetik dan lingkungan (JL & F, 2016; Marietta, Rishi, & Taneja, 2015).

Sejak manusia dilahirkan, kolonisasi mikrobiota saluran cerna tergantung pada beberapa faktor termasuk usia, cara persalinan (persalinan pervaginam atau sesar), komposisi mikrobiota ibu, penggunaan antibiotik sejak dini dan pola makan (menyusui atau susu formula). Persalinan sesar dan penggunaan susu formula telah dikaitkan dengan insiden penyakit menular dan kerentanan terhadap penyakit alergi yang lebih tinggi (Oliveira, Leite, Higuchi, Gonzaga, & Mariano, 2017). Mikrobiota saluran cerna ini berkolaborasi dengan banyak proses fisiologis inang dan sebaliknya, inang juga berkontribusi pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikrobiota dalam menyediakan relung, substrat, dan nutrisi. Peran utama mikrobiota termasuk fermentasi dan pencernaan karbohidrat, sintesis vitamin, perkembangan gut-associated lymphoid tissue (GALT), polarisasi respons imun spesifik, dan pencegahan kolonisasi oleh patogen (AL, PP, NW, AL, & JI, 2011; DR & EG, 2011).

Dua filum bakteri yang dominan dalam usus manusia yang sehat adalah Firmicutes dan Bacteroidetes. Selain itu terdapat filum Proteobacteria, Actinobacteria, Fusobacteria dan Verrucomicrobia tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Genus yang paling umum ditemukan pada usus manusia dewasa mencakup bakteri gram-positif, seperti Clostridium, Bifidobacterium, Lactobacillus, Ruminococcus, Streptococcus, dan bakteri gram-negatif, seperti Bacteroides dan Escherichia (GP, SM, & SK, 2016).

Interaksi kompleks antara sistem imunitas inang dan mikrobiota diperlukan untuk mempertahankan homeostasis saluran cerna. Namun, ketika hubungan mutualistik ini terganggu, akan terjadi perubahan fungsi dan keragaman bakteri, yakni suatu proses yang dikenal sebagai disbiosis. Akibatnya, mikrobiota saluran cerna dapat menyebabkan atau berkontribusi pada induksi penyakit menular dan perkembangan penyakit autoimun (Honda & Littman, 2012; Oliveira et al., 2017).

D.    Mekanisme Mikrobiota dalam Mempengaruhi Sistem Imunitas

Sistem kekebalan tubuh dan mikrobiota berkembang dalam tubuh manusia sejak dilahirkan, bahkan berpotensi dalam proses pembentukan respons imun sejak dalam kandungan untuk menghindari reaksi yang tidak diinginkan terhadap komponen mikrobiota saluran cerna, termasuk berbagai macam penyakit seperti radang usus (Aagaard et al., 2014). Penelitian terhadap model tikus mengungkapkan bahwa kurangnya mikrobiota berdampak pada kurang berkembangnya kekebalan bawaan dan adaptif, antara lain: menurunnya ekspresi peptida antimikroba, produksi IgA yang berkurang, sedikit sel T yang diproduksi, dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi mikroba. Pada ASI terdapat IgA yang dapat mencegah teraktivasinya sistem imun bayi dengan cara mengikat antigen mikroba. Seperti ASI, saluran cerna juga memproduksi IgA sekretori yang penting dalam mempertahankan homeostasis mukosa hingga dewasa. Perkembangan sistem kekebalan tubuh berlangsung bersama pembentukan mikrobiota secara dinamis selama dua tahun pertama kehidupan.

Sistem imun bawaan dapat mendeteksi mikroba dengan Toll-like Receptor (TLR) yang terletak di permukaan sel ataupun di dalam endosom. Pensinyalan TLR terjadi melalui diferensiasi protein MyD88 yang mengandung protein interferon dan mengaktivasi NF- B. TLR2 mengenali salah satu bakteri imunomodulator, yaitu Bacteroides fragilis dengan polisakarida A yang mampu mempengaruhi perkembangan sel T dan menginduksi sekresi IL-10 oleh sel T CD4+ oleh plasmasitoid sel dendritik (pDC), sedangkan bakteri berflagel dikenali oleh reseptor TLR5 yang diekspresikan pada sel epitel saluran cerna dan sel dendritik. Reseptor TLR dengan lektin tipe-C bertugas mengenali komponen dinding sel jamur seperti mannan, glukan, dan kitin, termasuk yang terdapat pada jamur Candida Albicans. Dinding sel Candida albicans yang terglikosilasi dapat menginduksi ekspresi sitokin proinflamasi, proliferasi dan apoptosis pada epitel. Kitin menginduksi sekresi sitokin antiinflamasi IL-10 yang bergantung pada reseptor NOD2, TLR9, dan manosa (Wagener et al., 2012). Parasit seperti cacing memodulasi kekebalan inang dengan menginduksi sel Th2, sel Treg, sitokin seperti IL-10 dan TGF-β (Girgis, Gundra, & Loke, 2013).

Mikrobiota usus dapat dikatakan mempengaruhi sistem imunitas inang baik secara lokal maupun sistemik. Timus dan sel T regulator memiliki peran dalam mencegah autoimunitas dan mempertahankan toleransi terhadap mikrobiota. Sebuah penelitian menyatakan bahwa sebagian besar sel T regulator berasal dari antigen pada mikrobiota kolon, seperti Clostridiales, Bacteroides, dan Lactobacillus. Pemberian antibiotik dapat mengubah reseptor sel T regulator timus dan dapat berakibat pada menurunnya sel T regulator usus. Salah satu mikrobiota saluran cerna yaitu Suterella sp. Juga dapat mengubah kadar IgA feses melalui degradasi SIgA. Antigen SFB juga dapat mempengaruhi kadar IgA dengan meningkatkan pusat germinal dan menginduksi sel pada Peyer�s patch yang mensekresi IgA. Antigen SFB pada MHC II dendritik sel saluran cerna dapat menginduksi diferensiasi sel Th17, sebaliknya pada MHC II ILC membatasi diferensiasi sel Th17.

E.       Patomekanisme Disbiosis Mikrobiota Saluran Cerna dan Manifestasinya terhadap RA

Mikrobiota saluran cerna yang idealnya berada dalam keadaan seimbang disebut sebagai eubiosis. Keadaan ini mencerminkan peran mikrobiota yang stabil dan mampu mengatasi perubahan yang diakibatkan oleh serangan patogen. Apabila keseimbangan populasi mikrobiota tubuh terganggu, maka terjadi suatu kondisi yang disebut disbiosis. Hal ini dapat menyebabkan individu rentan terhadap infeksi dan terbentuknya imunotoleransi yang berakibat pada penyakit autoimun. Disbiosis umumnya disebabkan oleh faktor ekstrinsik seperti obat-obatan dan diet, termasuk penggunaan antibiotik (Gotschlich, Colbert, & Gill, 2019; Zhang & Chen, 2019).

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, mikrobiota memiliki pengaruh besar pada perkembangan dan pemeliharaan sistem imun. Organisme yang tidak memiliki flora normal dalam tubuhnya cenderung mengalami toleransi imunitas, namun dapat dipulihkan secara fungsional setelah inokulasi bakteri komensal. Keterlibatan mikrobiota dalam promosi penyakit autoimun diduga terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu mimikri molekuler, induksi kostimulasi dan produksi sitokin oleh APC selama kejadian infeksi sehingga terjadi amplifikasi autoimun, serta peran saluran cerna manusia. Mimikri molekuler pada pasien RA diinduksi oleh salah satu antigen bakteri yaitu Collinsella sp.  yang menyebabkan seleksi dan maturasi dari sel B autoreaktif dengan afinitas tinggi yang mampu memproduksi berbagai autoantibodi. Selain mimikri molekuler, infeksi dapat menginduksi pelepasan sitokin oleh APC sehingga terjadi amplifikasi autoimunitas, dan peran sistem saluran cerna dalam komunitas dan enzim eksogen yang dihasilkan oleh populasi disbiotik dan aktivitas PTMP yang menghasilkan neo-epitop. 

Dalam kondisi fisiologis, epitel mukosa menjadi barrier antara tubuh manusia dan dunia luar. Sebuah penelitian pada model tikus RA memberikan gambaran kerusakan dari barrier tersebut yang terjadi akibat mekanisme degradasi oleh mikrobiota oral seperti Poryphyromonas gingivalis dan meningkatkan permeabilitas usus terhadap mikroba yang disebut sebagai �leaky gut hypothesis�. Peningkatan permeabilitas menyebabkan bakteri masuk dalam sirkulasi dan menyebar hingga ke jaringan dan menyebabkan respon TLR, NLR, sel B, dan sel T. Hal tersebut didukung oleh penemuan DNA bakteri periodontal pada cairan sinovial pasien RA yang mengalami periodontitis (Pianta et al., 2017). Selain itu, P. gingivalis juga meningkatkan produksi ACPA yang turut berkontribusi terhadap osteoklastogenesis dan mengakibatkan destruksi tulang pada pasien RA (Kalinkovich & Livshits, 2019).

Pada permukaan mukosa, mikrobiota dapat menginduksi neutrophils extracellular traps (NET) pada RA. Perubahan NETosis ini merupakan salah satu mekanisme yang memicu produksi ACPA. Saat proses NETosis, myeloperoxidase (MPO) memicu translokasi protease serin ke nukleus di mana histon mengalami pembelahan dan enzim PAD4 melakukan mobilisasi ke nukleus histon yang mengalami sitrulinasi. Proses NETosis dapat berperan efektif dalam membersihkan patogen dan resolusi infeksi. Namun di sisi lain, proses ini dapat menjadi sumber autoantigen pada individu dengan latar genetik RA yang sesuai (Chriswell & Kuhn, 2019).

Sejumlah spesies bakteri dan profil metabolit tertentu dapat menjadi karakteristik dan prediktor perkembangan RA. Sebuah penelitian menunjukkan peningkatan koloni keluarga bakteri Prevotellaceae, khususnya Prevotella spp., dalam kelompok RA pra-klinis dibandingkan dengan kelompok kontrol kerabat tingkat pertama (FDR) (Li & Wang, 2021). Autoantigen spesifik RA yaitu N-acetylglucosamine-6-sulfatase (GNS) memiliki urutan homolog dengan protein sulfatase P. Copri. Sebuah studi mengungkapkan bahwa subkelompok pasien RA memiliki reaktivitas imun IgG atau IgA diferensial terhadap P. copri yang dikaitkan dengan respons sitokin Th17 proinflamasi dan ACPA yang cukup sering (Pianta et al., 2017). Selain itu, autoantigen filamin A (FLNA) yang diekspresikan pada jaringan sinovial pasien RA memiliki urutan homolog dengan epitop protein Prevotella sp. dan Butyricinomas sp. (A et al., 2017).

Terdapat hipotesis bahwa asal mula RA berkaitan dengan mukosa saluran cerna (Tong, Marion, Schett, Luo, & Liu, 2020). Respons imun yang dimediasi oleh sel Th17 dapat dilihat melalui aktivasi sel ekspresi TLR oleh P. copri yang menyebabkan produksi dari berbagai sitokin proinflamasi oleh sel dendritik dan kemokin oleh Intestinal Epithelial Cells (IECs). Reaksi tersebut berakibat pada aktivasi neutrofil dan makrofag yang berakhir pada pembentukan NET. TNF-a dan IL-1b yang dihasilkan oleh makrofag menyebabkan kerusakan dari barrier IEC yang disertai keluarnya lipopolisakarida patogen. Selain itu, respons sel Th17 juga terbentuk akibat stimulasi sel B melalui presentasi peptida HLA-DR P. Copri dan produksi ACPA (Kalinkovich & Livshits, 2019). Pada tahap pra-klinik ini, ditemukan peningkatan mikrobiota Prevotella copri serta perannya dalam inflamasi RA (Alpizar-Rodriguez et al., 2019).

Terdapat hubungan translokasi bakteri ke ruang sendi dengan ditemukannya DNA bakteri Prevotella pada ruang sendi dan cairan sinovial pasien New-onset untreated RA (NORA). Bakteri fibrolitik mendegradasi polisakarida menjadi bentuk karbohidrat yang lebih kecil yang kemudian difermentasi menjadi asam lemak rantai pendek (SCFA) seperti asetat, propionat, dan butirat yang memiliki sifat imunomodulator dan meningkatkan integritas barrier epitel (Chriswell & Kuhn, 2019). Butirat berperan sebagai faktor antiinflamasi melalui inhibisi aktivasi faktor transkripsi NF-kB yang menurunkan pembentukan sitokin proinflamasi. Selain itu, SCFA dapat meregulasi fungsi dan migrasi neutrofil, menginhibisi ekspresi sel vaskular adhesi molekul-1, serta meningkatkan ekspresi protein tautan lekat pada epitel kolon.

NORA dikaitkan dengan peningkatan bakteri P. copri dan penurunan Clostridium cluster XIVa termasuk Lachnospiraceae yang merupakan penghasil utama butirat. Butirat menurunkan risiko inflamasi pada RA dengan menginduksi diferensiasi dari sel TFR melalui asetilasi histon. Sel TFR ini berperan dalam menekan produksi autoantibodi di jaringan limfoid sistemik pada RA. Keseimbangan TFR sangatlah penting dalam memelihara homeostasis imun dan pembentukan autoantibodi pada pusat germinal karena penurunannya menyebabkan perkembangan sel B yang mengarah pada produksi ANA dan berakibat pada peningkatan autoantibodi dan derajat keparahan RA (Takahashi et al., 2020). Respons ini dapat bertahan bertahun-tahun, dibuktikan dengan penemuan antibodi P. copri  pada pasien NORA dan RA kronis (Alpizar-Rodriguez et al., 2019; Pianta et al., 2021; Tong et al., 2020). Data lain menyatakan adanya peningkatan Bacteroides dan Escherichia-Shigella dan penurunan Lactobacillus, Alloprevotella, Enterobacter, dan Odoribacter pada pasien RA. Hal ini berkorelasi positif dengan banyak faktor reumatoid, seperti RF-IgM, RF-IgA, dan RF-IgG, serta dengan biomarker inflamasi, termasuk tingkat sedimentasi eritrosit dan protein C-reaktif (Sun et al., 2019).

F.     Terapi Potensial RA melalui Koreksi Disbiosis Mikrobiota Saluran Cerna

Berangkat dari fakta bahwa mikrobiota komensal adalah salah satu pemicu lingkungan yang penting dari RA, maka dibutuhkan agen imunosupresif yang dapat mengembalikan keseimbangan komposisi mikrobiota saluran cerna sebagai obat terapeutik RA (Lucchino et al., 2019). Sebuah penelitian mengemukakan bahwa pada sampel feses pasien RA yang menerima DMARDs, unit ekspresi relatif (REU) spesies Bacteroides dan Prevotella meningkat sedangkan REU Clostridium leptum menurun dibandingkan dengan sampel dari kontrol yang sehat (Alpizar-Rodriguez et al., 2019). Sedangkan pada pemberian berberin secara oral, gejala collagen-induced arthritis (CIA) pada tikus� dengan menurunkan regulasi keragaman dan kekayaan bakteri usus, termasuk kelimpahan Prevotella, dan meningkatkan regulasi kelimpahan bakteri penghasil butirat untuk menstabilkan hipoksia usus serta pasokan nitrat (M et al., 2019).

Eksperimen jangka panjang memberikan hasil mikrobiota saluran cerna mungkin memainkan peran besar dalam memediasi efek terapeutik dari total glukosida paeoni (TGP) pada tikus dengan CIA karena kemampuannya untuk dalam meningkatkan kelimpahan relatif bakteri menguntungkan, serta menghambat tingkat sekresi sitokin usus, sIgA dan IFN-γ (Peng et al., 2019). Data lain melaporkan bahwa pemberian clematis triterpenoid saponins (CTSs) pada tikus dengan CIA dapat memperbaiki gejala arthritis dan menurunkan konsentrasi total SCFA (LX et al., 2019).

Saat ini, regulasi ulang disbiosis mikroba usus melalui probiotik, prebiotik, atau FMT dinilai berpotensi menjadi pencegahan dan pengobatan RA. Probiotik merupakan mikroorganisme non-patogen yang dapat berinteraksi dengan mikrobiota saluran cerna dan memberikan manfaat bagi inangnya. Produk metabolisme seperti SCFA dan vitamin dapat diproduksi oleh probiotik dan merupakan sumber energi untuk enterosit (Balakrishnan & Taneja, 2018). Probiotik berperan dalam modulasi mikrobiota saluran cerna dan kekebalan usus untuk mempertahankan homeostasis (Liu et al., 2016).

Pada pasien dengan RA yang diobati dengan campuran probiotik L. rhamnosus GR-1 dan L. reuteri RC-14, suplementasi berperan dalam penurunan kadar sitokin proinflamasi serum seperti IL-1α, IL-6, IL-10, IL-12p70 dan TNF-α. Konsumsi probiotik yang berafiliasi dengan Lactobacillus diprediksi dapat menginduksi modulasi usus pada pasien RA yang dapat membantu mengurangi disbiosis usus dan gejala penyakit. Analisis mikroflora tinja dari subjek manusia sehat yang mengkonsumsi probiotik L. rhamnosus memberikan perubahan sementara dengan sedikit fluktuasi jumlah Lactobacillus dan Bifidobacterium, di mana setelah penghentian konsumsi, sebagian besar populasi bakteri menguntungkan kembali ke jumlah yang lebih rendah dari strain probiotik L. rhamnosus (Bodkhe, Balakrishnan, & Taneja, 2019). Terapi probiotik Bifidobacterium mungkin membantu dalam kasus RA yang diinduksi oleh mikrobiota periodontal karena bakteri ini berkompetisi dengan P. gingivalis dalam mengurangi konsentrasi vitamin K (Bodkhe et al., 2019). Pemberian oral dan injeksi intraperitoneal L. helveticus SBT2171 juga terbukti mencegah gejala CIA pada tikus model (Yamashita et al., 2017). Beberapa studi juga mengemukakan efek proteksi pemberian probiotik terhadap efek samping antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan mencegah kerusakan organ ke tingkat yang lebih besar. Pada tikus Wistar dengan CIA, L. acidophilus menurunkan skor artritis dan mempertahankan histologi normal organ reproduksi dan parameter stres oksidatif di ovarium dan testis (S & V, 2016).

Koloni Faecalibacterium prausnitzii ditemukan pada pasien RA dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol yang sehat (Balakrishnan & Taneja, 2018). Terapi probiotik dengan F. prausnitzii dapat membantu dalam menekan peradangan, karena menghasilkan butirat dalam jumlah tinggi yang mengarah pada produksi IL-10, serta menekan jalur NF- B dan menjaga integritas epitel (Rossi et al., 2016). Butirat berperan sebagai substrat untuk anggota mikrobiota lain yang ada di saluran cerna untuk memodulasi keseimbangan komposisinya. Selain itu, strain baru P. histicola (MCI 001) yang diisolasi dari usus manusia dan diberikan pada model tikus dengan CIA tipe 2 terbukti dapat menekan radang sendi pada tikus yang mengekspresikan HLA-DQ8 dalam sebuah studi terbaru (Balakrishnan et al., 2017).

Intervensi diet yang menargetkan mikrobiota saluran cerna juga dapat menjadi pilihan terapi potensial untuk RA. Sebuah penelitian menggambarkan peningkatan jumlah sel Treg yang bersirkulasi, rasio Th1/Th17 yang menguntungkan, dan perbaikan gejala pada pasien RA setelah dilakukan intervensi 28 hari diet tinggi serat, dan hal ini mungkin disebabkan oleh regulasi mikrobiota saluran cerna dan metabolitnya (J et al., 2019). Dengan demikian, konsumsi probiotik tertentu dikatakan bermanfaat dalam modulasi mikrobiota saluran cerna pada pasien RA melalui pemulihan eubiosis mikrobiota. Namun, laporan tentang pengaruhnya terhadap komunitas mikrobiota saluran cerna masih langka.

 

Kesimpulan

Disbiosis mikrobiota saluran cerna telah terbukti menjadi salah satu faktor penting dalam manifestasi RA pada model hewan. Namun, mekanisme perubahan komposisi mikrobiota saluran cerna yang spesifik pada RA perlu diselidiki lebih lanjut. Interaksi antara mikrobiota dan sel imunomodulator pada saluran cerna berpotensi dalam pengembangan biomarker baru sebagai sarana untuk memahami patofisiologi RA serta menemukan strategi pengobatan RA yang inovatif. Studi juga diperlukan untuk mengeksplorasi mekanisme molekuler potensial dari tindakan terapeutik probiotik untuk RA. Studi tambahan perlu dilakukan untuk mengeksplorasi keterlibatan mikrobiota dalam saluran cerna yang berbeda dalam modulasi imun selama patogenesis RA.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

A, P., SL, A., K, S., EE, D., Q, W., CE, C., & AC, S. (2017). Two rheumatoid arthritis-specific autoantigens correlate microbial immunity with autoimmune responses in joints. The Journal of Clinical Investigation, 127(8), 2946�2956. Google Scholar

 

Aagaard, K., Ma, J., Antony, K. M., Ganu, R., Petrosino, J., & Versalovic, J. (2014). The Placenta Harbors a Unique Microbiome. Science Translational Medicine, 6(237), 237ra65. Google Scholar

 

AL, K., PP, A., NW, G., AL, G., & JI, G. (2011). Human nutrition, the gut microbiome and the immune system. Nature, 474(7351), 327�336. Google Scholar

 

Alpizar-Rodriguez, D., Lesker, T. R., Gronow, A., Gilbert, B., Raemy, E., Lamacchia, C., � Strowig, T. (2019). Prevotella copri in individuals at risk for rheumatoid arthritis. Annals of the Rheumatic Diseases, 78(5), 590�593. Google Scholar

 

Andri, J., Padila, P., Sartika, A., Putri, S. E. N., & J, H. (2020). Tingkat Pengetahuan terhadap Penanganan Penyakit Rheumatoid Artritis pada Lansia. Jurnal Kesmas Asclepius, 2(1), 12�21. Google Scholar

 

Balakrishnan, B., Luckey, D., Marietta, E., Karau, M., Patel, R., Murray, J., & Taneja, V. (2017). Development of a real-time PCR method for quantification of Prevotella histicola from the gut. Anaerobe, 48, 37�41. Google Scholar

 

Balakrishnan, B., & Taneja, V. (2018). Microbial modulation of the gut microbiome for treating autoimmune diseases. Expert Review of Gastroenterology and Hepatology, 12(10), 985�996. Google Scholar

 

Bergot, A. S., Giri, R., & Thomas, R. (2019). The microbiome and rheumatoid arthritis. Best Practice & Research Clinical Rheumatology, 33(6), 101497. Google Scholar

 

Bodkhe, R., Balakrishnan, B., & Taneja, V. (2019). The role of microbiome in rheumatoid arthritis treatment. Therapeutic Advances in Musculoskeletal Disease, 11. Google Scholar

 

CDC. (2019). Rheumatoid Arthritis (RA) | Arthritis | CDC. Google Scholar

 

Chriswell, M. E., & Kuhn, K. A. (2019). Microbiota-mediated mucosal inflammation in arthritis. Best Practice & Research Clinical Rheumatology, 33(6), 101492. Google Scholar

 

Cross, M., Smith, E., Hoy, D., Carmona, L., Wolfe, F., Vos, T., � March, L. (2014). The global burden of rheumatoid arthritis: Estimates from the Global Burden of Disease 2010 study. Annals of the Rheumatic Diseases, 73(7), 1316�1322. Google Scholar

 

DAS, B., & Nair, G. B. (2019). Homeostasis and dysbiosis of the gut microbiome in health and disease. Journal of Biosciences, 44(5). Google Scholar

 

Deane, K. D., Demoruelle, M. K., Kelmenson, L. B., Kuhn, K. A., Norris, J. M., & Holers, V. M. (2017). Genetic and environmental risk factors for rheumatoid arthritis. Best Practice & Research. Clinical Rheumatology, 31(1), 3.Google Scholar

 

DR, L., & EG, P. (2011). Role of the commensal microbiota in normal and pathogenic host immune responses. Cell Host & Microbe, 10(4), 311�323. �Google Scholar

 

Girgis, N. M., Gundra, U. M., & Loke, P. (2013). Immune Regulation during Helminth Infections. PLoS Pathogens, 9(4). Google Scholar

 

Gotschlich, E. C., Colbert, R. A., & Gill, T. (2019). Methods in microbiome research: Past, present, and future. Best Practice & Research Clinical Rheumatology, 33(6), 101498. Google Scholar

 

GP, D., SM, L., & SK, M. (2016). Gut biogeography of the bacterial microbiota. Nature Reviews. Microbiology, 14(1), 20�32. Google Scholar

 

Honda, K., & Littman, D. R. (2012). The microbiome in infectious disease and inflammation. Annual Review of Immunology, 30, 759�795. Google Scholar

 

Horta-Baas, G., Romero-Figueroa, M. D. S., Montiel-Jarqu�n, A. J., Pizano-Z�rate, M. L., Garc�a-Mena, J., & Ram�rez-Dur�n, N. (2017). Intestinal Dysbiosis and Rheumatoid Arthritis: A Link between Gut Microbiota and the Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Journal of Immunology Research, 2017. Google Scholar

 

Howard R Smith. (2021). Rheumatoid Arthritis (RA): Practice Essentials, Background, Pathophysiology. Google Scholar

 

Indonesia, P. R. (2014). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid. In Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Google Scholar

 

J, H., H, B., M, H., M, F., P, T., MV, S., � MM, Z. (2019). The Role of Dietary Fiber in Rheumatoid Arthritis Patients: A Feasibility Study. Nutrients, 11(10). Google Scholar

 

JL, S., & F, B. (2016). Diet-microbiota interactions as moderators of human metabolism. Nature, 535(7610), 56�64. Google Scholar

 

Kalinkovich, A., & Livshits, G. (2019). A cross talk between dysbiosis and gut-associated immune system governs the development of inflammatory arthropathies. Seminars in Arthritis and Rheumatism, 49(3), 474�484. Google Scholar

 

Kim, D., Zeng, M. Y., & N��ez, G. (2017). The interplay between host immune cells and gut microbiota in chronic inflammatory diseases. Experimental and Molecular Medicine, 49(5), e339. Google Scholar

 

Kuo, C. F., Grainge, M. J., Valdes, A. M., See, L. C., Yu, K. H., Steven Shaw, S. W., � Doherty, M. (2017). Familial aggregation of rheumatoid arthritis and co-aggregation of autoimmune diseases in affected families: A nationwide population-based study. Rheumatology (United Kingdom), 56(6), 928�933. Google Scholar

 

Li, M., & Wang, F. (2021). Role of Intestinal Microbiota on Gut Homeostasis and Rheumatoid Arthritis. Journal of Immunology Research, 2021, 1�9. Google Scholar

 

Liu, X., Zhang, J., Zou, Q., Zhong, B., Wang, H., Mou, F., � Fang, Y. (2016). Lactobacillus salivarius Isolated from Patients with Rheumatoid Arthritis Suppresses Collagen-Induced Arthritis and Increases Treg Frequency in Mice. Journal of Interferon and Cytokine Research, 36(12), 706�712. Google Scholar

 

Lucchino, Spinelli, Iannuccelli, Guzzo, Conti, & Di Franco. (2019). Mucosa�Environment Interactions in the Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Cells, 8(7), 700. Google Scholar

 

LX, G., HY, W., XD, L., JY, Z., Q, T., XN, W., � GZ, X. (2019). Saponins from Clematis mandshurica Rupr. regulates gut microbiota and its metabolites during alleviation of collagen-induced arthritis in rats. Pharmacological Research, 149. https://doi.org/10.1016/J.PHRS.2019.104459 Google Scholar

 

M, Y., Y, T., Y, F., X, L., Q, Z., Y, X., � Y, D. (2019). The gut microbiota modulator berberine ameliorates collagen-induced arthritis in rats by facilitating the generation of butyrate and adjusting the intestinal hypoxia and nitrate supply. FASEB Journal : Official Publication of the Federation of American Societies for Experimental Biology, 33(11), 12311�12323. Google Scholar

 

Maeda, Y., & Takeda, K. (2019). Host�microbiota interactions in rheumatoid arthritis. Experimental & Molecular Medicine, 51(12). Google Scholar

 

Malmstr�m, V., Catrina, A. I., & Klareskog, L. (2017). The immunopathogenesis of seropositive rheumatoid arthritis: From triggering to targeting. Nature Reviews Immunology, 17(1), 60�75. Google Scholar

 

Marietta, E., Rishi, A., & Taneja, V. (2015). Immunogenetic control of the intestinal microbiota. Immunology, 145(3), 313. Google Scholar

 

N, K., SU, S., GY, C., & G, N. (2013). Role of the gut microbiota in immunity and inflammatory disease. Nature Reviews. Immunology, 13(5), 321�335. Google Scholar

 

Oliveira, G. L. V. de, Leite, A. Z., Higuchi, B. S., Gonzaga, M. I., & Mariano, V. S. (2017). Intestinal dysbiosis and probiotic applications in autoimmune diseases. Immunology, 152(1), 1. Google Scholar

 

Peng, J., Lu, X., Xie, K., Xu, Y., He, R., Guo, L., � Gong, M. (2019). Dynamic alterations in the gut microbiota of collagen-induced arthritis rats following the prolonged administration of total glucosides of paeony. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 9(JUN), 204. Google Scholar

 

Pianta, A., Arvikar, S., Strle, K., Drouin, E. E., Wang, Q., Costello, C. E., & Steere, A. C. (2017). Evidence for Immune Relevance of Prevotella copri, a Gut Microbe, in Patients with Rheumatoid Arthritis. Arthritis & Rheumatology (Hoboken, N.J.), 69(5), 964. Google Scholar

 

Pianta, A., Chiumento, G., Ramsden, K., Wang, Q., Strle, K., Arvikar, S., � Steere, A. C. (2021). Identification of Novel, Immunogenic HLA‐DR‐Presented Prevotella copri Peptides in Patients with Rheumatoid Arthritis. Arthritis & Rheumatology. Google Scholar

 

Rantap��-Dahlqvist, S., De Jong, B. A. W., Berglin, E., Hallmans, G., Wadell, G., Stenlund, H., � Van Venrooij, W. J. (2003). Antibodies Against Cyclic Citrullinated Peptide and IgA Rheumatoid Factor Predict the Development of Rheumatoid Arthritis. Arthritis and Rheumatism, 48(10), 2741�2749. Google Scholar

 

Reinoso Webb, C., Koboziev, I., Furr, K. L., & Grisham, M. B. (2016). Protective and pro-inflammatory roles of intestinal bacteria. Pathophysiology, 23(2), 67�80. Google Scholar

 

Rossi, O., Van Berkel, L. A., Chain, F., Tanweer Khan, M., Taverne, N., Sokol, H., � Wells, J. M. (2016). Faecalibacterium prausnitzii A2-165 has a high capacity to induce IL-10 in human and murine dendritic cells and modulates T cell responses. Scientific Reports, 6. Google Scholar

 

Rudan, I., Sidhu, S., Papana, A., Meng, S. J., Xin-Wei, Y., Wang, W., � Chan, K. Y. (2015). Prevalence of rheumatoid arthritis in low- and middle-income countries: A systematic review and analysis. Journal of Global Health, 5(1). Google Scholar

 

S, A., & V, S. (2016). Lactobacillus acidophilus maintained oxidative stress from reproductive organs in collagen-induced arthritic rats. Journal of Human Reproductive Sciences, 9(1), 41�46. Google Scholar

 

Sun, Y., Chen, Q., Lin, P., Xu, R., He, D., Ji, W., � Xiao, L. (2019). Characteristics of Gut Microbiota in Patients With Rheumatoid Arthritis in Shanghai, China. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 9. Google Scholar

 

Takahashi, D., Hoshina, N., Kabumoto, Y., Maeda, Y., Suzuki, A., Tanabe, H., � Hase, K. (2020). Microbiota-derived butyrate limits the autoimmune response by promoting the differentiation of follicular regulatory T cells. EBioMedicine, 58, 102913. Google Scholar

 

Tong, Y., Marion, T., Schett, G., Luo, Y., & Liu, Y. (2020). Microbiota and metabolites in rheumatic diseases. Autoimmunity Reviews, 19(8), 102530. Google Scholar

 

Wagener, J., Weindl, G., Groot, P. W. J. de, Boer, A. D. de, Kaesler, S., Thavaraj, S., � Schaller, M. (2012). Glycosylation of Candida albicans Cell Wall Proteins Is Critical for Induction of Innate Immune Responses and Apoptosis of Epithelial Cells. PLoS ONE, 7(11). Google Scholar

 

Wu, C.-Y., Yang, H.-Y., & Lai, J.-H. (2020). Anti-Citrullinated Protein Antibodies in Patients with Rheumatoid Arthritis: Biological Effects and Mechanisms of Immunopathogenesis. International Journal of Molecular Sciences, 21(11). Google Scholar

 

Yamashita, M., Matsumoto, K., Endo, T., Ukibe, K., Hosoya, T., Matsubara, Y., � Miyazaki, T. (2017). Preventive Effect of Lactobacillus helveticus SBT2171 on Collagen-Induced Arthritis in Mice. Frontiers in Microbiology, 8(JUN), 1159. Google Scholar

 

Zhang, S., & Chen, D.-C. (2019). Facing a new challenge: the adverse effects of antibiotics on gut microbiota and host immunity. Chinese Medical Journal, 132(10), 1135. Google Scholar

 

Copyright holder:

Teddy Tjahyanto, Eldy, Clarissa Felicia, Karmenia Jessica Kurnia Niaga (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: