Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol.
6, No. 11, November 2021
�
PERAN MIKROBIOTA
SALURAN CERNA PADA ARTRITIS REUMATOID
Teddy Tjahyanto, Eldy, Clarissa Felicia, Karmenia Jessica Kurnia Niaga
Universitas Tarumanagara (UNTAR) Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Artritis rheumatoid merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya proses inflamasi kronis sistemik dan berakibat pada kerusakan sendi. Mekanisme etiopatogenik yang menyebabkan inflamasi yang sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor, termasuk keseimbangan mikrobiota saluran cerna. Tujuan penelitian dilakukan untuk meninjau lebih dalam mengenai peran interaksi inang-mikrobiota terhadap sistem kekebalan inang, mendiskusikan kemungkinan hubungan patofisiologi antara disbiosis mikrobiota saluran cerna dan manifestasi, serta menyarankan langkah preventif dan terapi potensial untuk artritis rheumatoid melalui perbaikan disbiosis mikrobiota saluran cerna. Sumber literatur diambil dari artikel jurnal yang dipublikasikan secara online dalam rentang waktu tahun 2016-2021. Database yang digunakan adalah PubMed, Science Direct, Cochrane, dan Wiley. Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara disbiosis dan inflamasi mukosa saluran cerna dengan patogenesis artritis reumatoid. Disbiosis mikrobiota saluran cerna menyebabkan terbentuknya imunotoleransi yang berakibat pada penyakit autoimun. Peran mikrobiota pada artritis rheumatoid meliputi produksi sitokin proinflamasi dan sel Th17, serta pembentukan autoantibodi ACPA. Metabolit anti inflamasi mikrobiota seperti butirat yang meregulasi keseimbangan TFH/TFR didapatkan menurun pada artritis reumatoid. Disbiosis mikrobiota saluran cerna telah terbukti menjadi salah satu faktor penting dalam manifestasi artritis rheumatoid pada model hewan. Studi tambahan perlu dilakukan untuk mengeksplorasi keterlibatan mikrobiota dalam saluran cerna yang berbeda dalam modulasi imun selama patogenesis artritis reumatoid.
Kata Kunci:
mikrobiota saluran cerna; patofisiologi; artritis rheumatoid
Abstract
Rheumatoid arthritis is
an autoimmune disease characterized by a chronic systemic inflammatory process
that results in joint damage. The etiopathogenic mechanisms that cause
inflammation in rheumatoid arthritis are complex and involve various factors,
including the homeostasis of the gastrointestinal microbiota. This study was
conducted to review the role of host-microbiota interactions on the host immune
system, to discuss possible pathophysiological relationships between
gastrointestinal microbiota dysbiosis and manifestations, and to suggest
preventive and potential therapeutic options for rheumatoid arthritis through
improvement of gastrointestinal microbiota dysbiosis. Literature sources are
taken from journal articles published online in the period 2016-2021. The
databases used are PubMed, Science Direct, Cochrane, and Wiley. The study
showed a strong correlation between dysbiosis and inflammation of the
gastrointestinal mucosa with the pathogenesis of rheumatoid arthritis.
Gastrointestinal microbiota dysbiosis causes the formation of immunotolerance
which results in autoimmune diseases. The role of the microbiota in rheumatoid
arthritis includes the production of proinflammatory cytokines and Th17 cells,
along with the formation of ACPA autoantibodies. Microbiota anti-inflammatory
metabolites such as butyrate that regulate TFH/TFR balance have been found to
be decreased in rheumatoid arthritis. Gastrointestinal microbiota
dysbiosis has been shown to be an important factor in the manifestation of rheumatoid
arthritis in animal models. Additional studies need to be carried out to
explore the involvement of different gastrointestinal microbiota in immune
modulation during the pathogenesis of rheumatoid arthritis.
Keywords: gut microbiota; pathophysiology; rheumatoid arthritis
Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05;
Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Artritis rheumatoid (RA) adalah penyakit inflamasi kronis sistemik yang
umumnya ditandai dengan poliartritis simetris persisten dan dapat berakibat
pada kerusakan sendi (CDC,
2019; Horta-Baas et al., 2017). Secara global, insiden RA per tahun mencapai 3
kasus per 10.000 penduduk dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dua
kali lebih sering menyerang perempuan daripada laki-laki (Howard R Smith, 2021).
Prevalensi RA bervariasi dari 0,16% di Asia dan Afrika Utara dan Timur Tengah
hingga 0,46% di wilayah Australasia. Prevalensi tertinggi didapati pada
populasi Australasia, Eropa Barat dan Amerika Utara (Cross et al., 2014).
Pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, RA mempengaruhi lebih
dari 18 juta orang, dengan kejadian pada perempuan lima kali lebih banyak
daripada laki-laki (Rudan et al., 2015).
Di Indonesia, kejadian RA bervariasi dari 0,3%-0,6% dan tersebar di berbagai
daerah dengan pelaporan kasus baru RA sebanyak 4,1%-9% per tahun (Indonesia, 2014).
Data Riskesdas tahun 2018 menyatakan bahwa jumlah penderita RA di
Indonesia mencapai 7,30% dari total populasi (Andri, Padila, Sartika, Putri, & J,
2020).
Mekanisme etiopatogenik
yang menyebabkan inflamasi pada RA sangat kompleks dan melibatkan reaksi
imunopatogenesis antara respon imunitas bawaan dan didapat, dimana sel penyaji
antigen (APC), sel T autoreaktif, dan produksi autoantibodi berperan dalam
prosesnya. Faktor reumatoid (RF) dan antibodi protein anti-sitrulinasi (ACPA)
sering dikaitkan dengan manifestasi klinis pada pasien dengan RA. Antibodi ini
sering ditemukan dalam darah, maka reaksi autoimunitas ekstra artikuler,
seperti pada saluran pencernaan atau saluran napas dapat bermanifestasi jauh
sebelum tanda-tanda peradangan sendi ditemukan (Malmstr�m, Catrina, & Klareskog,
2017).
Studi lainnya menunjukkan bahwa antibodi protein tersitrulinasi anti-siklik
(anti-CCP) imunoglobulin A (IgA) dapat dideteksi selama beberapa tahun sebelum
RA bermanifestasi pada manusia (Rantap��-Dahlqvist et al., 2003).
Meskipun mekanisme
patofisiologi RA belum dapat dipastikan, sebuah studi pada tahun 2017
menyatakan bahwa RA merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor
genetik, lingkungan dan sistem kekebalan tubuh (Horta-Baas et al., 2017).
HLA-DRB merupakan salah satu faktor genetik yang diasosiasikan dengan RA (Bergot, Giri, & Thomas, 2019).
Secara keseluruhan, faktor genetik bersama faktor lingkungan berkontribusi pada
60% varian fenotipik RA, yang mengindikasikan bahwa faktor lingkungan berperan
secara signifikan dalam perkembangan penyakit RA (Kuo et al., 2017).
Paparan berbagai faktor
lingkungan, termasuk merokok, hormonal, infeksi dan komposisi mikrobiota saluran
cerna mungkin terlibat dalam induksi penyakit. Mikrobiota saluran cerna telah
terbukti sebagai salah satu faktor yang memainkan peran penting dalam
perkembangan radang sendi pada hewan coba. Mengingat fakta lainnya bahwa obat
antimikroba seperti minosiklin atau sulfalazin efektif pada beberapa pasien RA,
mikrobiota tampaknya memiliki korelasi yang signifikan dengan induksi RA (Maeda & Takeda, 2019).
Istilah mikrobiota
mengacu pada komunitas mikroba komensal termasuk bakteri, arkea, virus, jamur
dan protozoa yang telah membentuk relung mereka sendiri di dalam inang, dan
memberikan peran pendukung dalam kekebalan dan metabolisme inang. Pada tubuh
manusia yang sehat, diperkirakan terdapat sekitar 30�400 triliun mikrobiota
komensal (3�1013 hingga 40�1013), jumlah yang sama dengan
total sel somatik dan germinal manusia. Saluran cerna adalah reservoir
mikrobiota terbesar dalam tubuh. Mikrobiota saluran cerna biasanya terdiri dari
lebih dari 1000 spesies bakteri yang komposisinya relatif stabil pada setiap
individu sepanjang masa dewasa tetapi sangat beragam antar individu. Namun,
beberapa intervensi seperti penggunaan antibiotik, infeksi, kehamilan dan
perubahan gaya hidup jangka panjang dapat mengubah komposisi dan keragaman
mikrobiota saluran cerna (Kim, Zeng, & N��ez, 2017).
Baru-baru ini, minat
penelitian mengenai peran mikrobiota saluran cerna terhadap kesehatan dan
penyakit manusia meningkat seiring dengan perkembangan teknologi yang
memungkinkan metaanalisis genom, protein transkripsi serta metabolit yang
dihasilkan oleh mikrobiota (N, SU, GY, & G, 2013). Berkat
studi-studi tersebut, saat ini mikrobiota saluran cerna telah diakui secara
luas sebagai faktor yang memiliki andil dalam metabolisme manusia, perkembangan
sistem kekebalan tubuh, serta resistensi terhadap kolonisasi patogen enterik (Kim et al., 2017).
Terkait peran yang beragam dan kritikal dari mikrobiota saluran cerna dalam
kesehatan manusia, gangguan dalam komposisi mikrobiota, atau lebih dikenal
dengan disbiosis, memiliki dampak negatif yang mendalam pada sistem kekebalan
manusia dan berkontribusi pada berbagai gangguan inflamasi kronis, tidak
terkecuali RA.
Perkembangan dalam
penelitian peran mikrobiota saluran cerna yang telah terbukti pada uji hewan
coba, kami ingin meninjau lebih dalam mengenai peran interaksi inang-mikrobiota
terhadap sistem kekebalan inang, mendiskusikan kemungkinan hubungan
patofisiologi antara disbiosis mikrobiota saluran cerna dan manifestasi, serta
menyarankan langkah preventif dan terapi potensial untuk arthritis rheumatoid
pada individu melalui perbaikan disbiosis saluran cerna.
Metode Penelitian
Penulis mencari, menyeleksi, dan memilih
literatur-literatur yang terkait dengan peran mikrobiota saluran cerna pada
artritis rheumatoid (RA) dari beberapa database antara lain PubMed,
ScienceDirect, Wiley, dan Cochrane. Kami memprioritaskan
penelitian yang diterbitkan dalam jangka waktu lima tahun terakhir. Penulisan
dimulai dengan peninjauan isi dari literatur yang memenuhi kriteria, dilanjutkan
dengan tukar pikiran dan pemeriksaan silang dengan sumber primer lainnya.
Hasil diskusi kami susun dalam sebuah format
terorganisir mulai dari definisi, konsep dan diagnosis RA, mekanisme
patogenesis dan faktor risiko RA, definisi dan konsep mengenai mikrobiota
saluran cerna, mekanisme mikrobiota dalam mempengaruhi sistem imunitas,
patomekanisme disbiosis mikrobiota saluran cerna dan manifestasinya terhadap
RA, dan kemungkinan langkah preventif dan terapi potensial RA melalui koreksi
disbiosis mikrobiota saluran cerna.
Hasil dan Pembahasan
A.
Konsep
dan Diagnosis RA
Artritis
reumatoid (RA) merupakan penyakit autoimun berupa inflamasi sistemik yang
menyerang persendian dengan gejala khas poliartritis simetris yang berlangsung
kronis, sehingga dapat menyebabkan kerusakan sendi dan tendon yang menetap,
rasa nyeri berkepanjangan, dan bengkak yang menyakitkan pada sendi sinovial. RA
juga dapat melibatkan jaringan dan organ tubuh lainnya, seperti paru-paru,
jantung, dan mata (CDC, 2019).
Diagnosis RA di Indonesia mengacu pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap serta menggunakan kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2010 dengan klasifikasi kriteria adanya keterlibatan sendi, tes serologi positif RF atau ACPA, reaktan fase akut, dan durasi gejala.
Tabel 1
Kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology/European
League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2010 (Indonesia, 2014)
Kriteria |
Skor |
Jumlah sendi yang terlibat |
|
�
1 sendi besar |
0 |
�
2-10 sendi besar |
1 |
�
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) |
2 |
�
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) |
3 |
�
>10 sendi (minimal 1 sendi kecil) |
5 |
Hasil pemeriksaan serologis |
|
�
RF negatif dan ACPA negatif |
0 |
�
RF positif rendah atau ACPA positif rendah |
2 |
�
RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi |
3 |
Reaktan fase akut |
|
�
CRP normal dan LED normal |
0 |
�
CRP abnormal atau LED abnormal |
1 |
Durasi gejala |
|
�
<6 minggu |
0 |
�
>= 6 minggu |
1 |
Keterangan: RF = rheumatoid factor; ACPA = Anti-Citrullinated
Peptide Antibody; CRP = C-reactive protein; LED = laju endap darah.
Diagnosis penunjang untuk RA sering ditandai
dengan ditemukannya faktor rheumatoid (RF) dan ACPA. Faktor reumatoid tidak
spesifik untuk RA, namun ACPA spesifik untuk diagnosis RA dan mungkin berperan
dalam patogenesis penyakit. Sekitar 50-80% orang dengan RA memiliki hasil
pemeriksaan RF (+), ACPA (+) atau keduanya. Pasien dengan RA mungkin memiliki
hasil tes antibodi anti nuklear yang positif, dan tes ini merupakan prognostik
yang penting untuk RA pada remaja (juvenile rheumatoid arthritis). Kadar
protein C-reaktif dan laju sedimentasi terkait dengan progresivitas penyakit
dan respons terhadap pengobatan.
B. Mekanisme Patogenesis dan Faktor Risiko
Proses inflamasi pada RA disebabkan oleh kompleks yang
dibentuk oleh sistem imun bawaan dan adaptif. Adanya interaksi antara faktor
lingkungan dan genetik mengakibatkan hilangnya toleransi terhadap protein diri
yang mengandung residu sitrulin. Residu sitrulin dihasilkan dari proses
modifikasi pasca translasi residu arginin dengan enzim peptidylarginine deiminase.
Pasien dengan autoimunitas tidak lagi mengenal peptida sitrulin sebagai protein
diri, sebaliknya, ACPA dibentuk untuk melawan peptida sitrulin.
Infiltrasi leukosit di synovium sebagai respons terhadap
ekspresi molekul adhesi dan kemokin pada pembuluh darah mikrosinovial dapat
menyebabkan sinovitis. Proses ini ditandai dengan keberadaan sel dendritik
dalam jalur imun adaptif sebagai antigen-presenting cells (APC) yang
mengekspresikan berbagai sitokin dan antigen, molekul HLA kelas II, dan
kostimulator sel T. Sel dendritik ditemukan terutama dalam agregat limfositik
dan pembuluh perifer, menunjukkan bahwa mereka berasal dari darah perifer. Alel
MHC diekspresikan oleh APC yang memproses peptida ekstraseluler menjadi sel T
CD4+, mendorong sekresi sitokin proinflamasi yang merangsang sel B untuk
memproduksi antibodi. Pasien dengan penyakit ini menunjukkan fungsi yang rusak
dari sel T regulator sirkulasi (Treg) dan peningkatan sel T helper 17 (Th17)
dalam plasma dan cairan sinovial. Faktor pertumbuhan transformasi turunan sel
makrofag dan turunan sel dendritik dan IL-1β, 6, 21, dan 23 menyediakan
lingkungan yang mendukung diferensiasi Th17 dan menekan diferensiasi sel T
regulator, sehingga menggeser homeostasis sel T menuju peradangan (Horta-Baas et al., 2017).
Sel T membutuhkan dua jenis sinyal untuk teraktivasi;
presentasi antigen dari sel dendritik ke reseptor sel T dan kostimulator yang
membutuhkan interaksi protein dari sel CD80/86 pada APC dengan protein CD 28
pada sel T. Setelah sel T teraktivasi maka sel T helper naif akan
berdiferensiasi menjadi Th1, Th2, dan Th17 dengan fungsi yang berbeda. Sel
dendritik dan makrofag akan mensekresi transforming growth factor (TGF),
interleukin (IL)-1β, IL-6, IL-21, IL-23 dan sitokin yang menekan
produksi sel T regulator yang dapat mengganggu homeostasis dan bermanifestasi
sebagai inflamasi pada sinovium. Adanya produksi IL-17A merangsang fibroblast-like
synoviocytes (FLSs) dan macrophage-like synoviocytes (MLSs) untuk
meningkatkan produksi IL-26 yang menginduksi produksi sitokin inflamasi
IL-1β, IL-6, TNF alfa oleh monosit dan meningkatkan diferensiasi lebih
lanjut sel Th17.
Imunitas adaptif humoral dapat berkontribusi terhadap
penyakit autoimun melalui beberapa mekanisme potensial. Adanya kecacatan pada check
point toleransi sel B akan menyebabkan sel B autoreaktif yang mampu
mengaktivasi sel T dan menghasilkan sitokin proinflamasi. Makrofag menjadi
efektor penting dari sinovitis yang bekerja melalui fagositosis, presentasi
antigen, pelepasan sitokin proinflamasi, ROS, prostanoid dan matrix-degrading
enzymes. Patogen yang berikatan dengan reseptor TLR pada monosit, makrofag,
dan sel dendritik akan menyebabkan respon inflamasi dan memediasi respon imun
untuk merekrut neutrofil, monosit, dan limfosit. Kombinasi respon sistem imun
bawaan dan adaptif berguna untuk menghilangkan patogen dan akan berhenti ketika
sudah mencapai respon imun yang diharapkan. Namun pada pasien RA, respon
inflamasi tetap berlanjut secara kronis meskipun patogen telah dibersihkan.
Faktor genetik dan lingkungan inang dapat mempengaruhi
homeostasis mikrobiota. Pada kondisi homeostatik, fungsi yang dikodekan
mikrobiota berkontribusi dalam fungsi metabolisme inang, perkembangan kekebalan
dan resistensi terhadap patogen eksogen. Faktor genetik yang memiliki kaitan
paling erat dengan RA adalah alel pada MHC yang mengkode urutan asam amino yang
memprediksi kemiripan struktural pada peptide-binding groove di
HLA yang disebut sebagai shared epitope. Alel shared epitope
berkontribusi hingga 40% dari faktor risiko genetik dari RA, dan beberapa
terletak pada daerah HLA-DRB1 (DAS & Nair, 2019).
Faktor lingkungan yang terlibat dalam kejadian RA meliputi
paparan rokok, obesitas, dan diet. Paparan tembakau dari rokok berkontribusi
hingga 20-30% dari faktor risiko lingkungan pada RA, dan jika diiringi
dengan adanya faktor genetik akan meningkatkan sitrulinasi dan gambaran RF
termasuk pada individu yang bukan merupakan pasien RA (Wu, Yang, & Lai, 2020). Paparan
polusi atau rokok pada permukaan mukosa memegang peranan penting dalam
patogenesis RA. Interaksi antar mikrobiota, inang, dan faktor lingkungan pada
permukaan mukosa menyebabkan toleransi imun dan inflamasi yang memfasilitasi
penyebaran lokal dan sistemik dari autoimun melalui mimikri molekuler atau
pembentukan self-antigen autoimun (Deane et al., 2017).
Asupan vitamin D dan antioksidan yang rendah dan tingginya konsumsi daging
merah, gula, natrium, dan zat besi juga dapat meningkatkan faktor risiko RA,
sementara tingginya konsumsi asam lemak omega-3 berhubungan dengan faktor
risiko RA yang rendah (Wu et al., 2020).
C.
Definisi dan
Konsep mengenai Mikrobiota Saluran Cerna
Mikrobiota komensal,
terutama bakteri, merupakan sejumlah besar mikroorganisme yang mengkolonisasi
permukaan kulit dan membran mukosa pada vertebrata. Pada usus manusia yang
sehat, diperkirakan sekitar 30�400 triliun mikroorganisme (3�1013
hingga 40�1013) menempati saluran tersebut dan sebagian besar berada
di bagian distal (Reinoso Webb, Koboziev, Furr,
& Grisham, 2016). Berbagai jenis mikrobiota komensal termasuk
mikrobiota saluran cerna telah berevolusi membentuk hubungan simbiosis dengan
inangnya dan komposisinya dipengaruhi oleh faktor imunogenetik dan lingkungan (JL
& F, 2016; Marietta, Rishi, & Taneja, 2015).
Sejak manusia dilahirkan, kolonisasi mikrobiota saluran cerna tergantung pada beberapa faktor termasuk usia, cara persalinan
(persalinan pervaginam atau sesar), komposisi mikrobiota ibu, penggunaan antibiotik sejak dini dan pola
makan (menyusui atau susu formula). Persalinan
sesar dan penggunaan susu formula telah dikaitkan dengan insiden penyakit
menular dan kerentanan terhadap penyakit alergi yang lebih tinggi (Oliveira, Leite, Higuchi, Gonzaga, &
Mariano, 2017).
Mikrobiota saluran cerna ini berkolaborasi dengan banyak proses fisiologis
inang dan sebaliknya, inang juga berkontribusi pada pertumbuhan dan
kelangsungan hidup mikrobiota dalam menyediakan relung, substrat, dan nutrisi.
Peran utama mikrobiota termasuk fermentasi dan pencernaan karbohidrat, sintesis
vitamin, perkembangan gut-associated lymphoid tissue (GALT), polarisasi
respons imun spesifik, dan pencegahan kolonisasi oleh patogen (AL, PP, NW, AL, & JI, 2011; DR & EG, 2011).
Dua filum bakteri yang
dominan dalam usus manusia yang sehat adalah Firmicutes dan Bacteroidetes.
Selain itu terdapat filum Proteobacteria, Actinobacteria, Fusobacteria dan
Verrucomicrobia tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Genus yang paling
umum ditemukan pada usus manusia dewasa mencakup bakteri gram-positif, seperti Clostridium,
Bifidobacterium, Lactobacillus, Ruminococcus, Streptococcus, dan bakteri
gram-negatif, seperti Bacteroides dan Escherichia (GP, SM, & SK, 2016).
Interaksi kompleks antara
sistem imunitas inang dan mikrobiota diperlukan untuk mempertahankan
homeostasis saluran cerna. Namun, ketika hubungan mutualistik ini terganggu, akan
terjadi perubahan fungsi dan keragaman bakteri, yakni suatu proses yang dikenal
sebagai disbiosis. Akibatnya, mikrobiota saluran cerna dapat menyebabkan atau
berkontribusi pada induksi penyakit menular dan perkembangan penyakit autoimun (Honda & Littman, 2012; Oliveira et
al., 2017).
D.
Mekanisme
Mikrobiota dalam Mempengaruhi Sistem Imunitas
Sistem kekebalan tubuh dan
mikrobiota berkembang dalam tubuh manusia sejak dilahirkan, bahkan berpotensi
dalam proses pembentukan respons imun sejak dalam kandungan untuk menghindari
reaksi yang tidak diinginkan terhadap komponen mikrobiota saluran cerna,
termasuk berbagai macam penyakit seperti radang usus (Aagaard et al., 2014).
Penelitian terhadap model tikus mengungkapkan bahwa kurangnya mikrobiota berdampak
pada kurang berkembangnya kekebalan bawaan dan adaptif, antara lain: menurunnya
ekspresi peptida antimikroba, produksi IgA yang berkurang, sedikit sel T yang
diproduksi, dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi mikroba. Pada ASI
terdapat IgA yang dapat mencegah teraktivasinya sistem imun bayi dengan cara mengikat
antigen mikroba. Seperti ASI, saluran cerna juga memproduksi IgA sekretori yang
penting dalam mempertahankan homeostasis mukosa hingga dewasa. Perkembangan
sistem kekebalan tubuh berlangsung bersama pembentukan mikrobiota secara dinamis
selama dua tahun pertama kehidupan.
Sistem imun bawaan dapat mendeteksi
mikroba dengan Toll-like Receptor (TLR) yang terletak di permukaan sel ataupun
di dalam endosom. Pensinyalan TLR terjadi melalui diferensiasi protein MyD88
yang mengandung protein interferon dan mengaktivasi NF-
Mikrobiota usus dapat
dikatakan mempengaruhi sistem imunitas inang baik secara lokal maupun sistemik.
Timus dan sel T regulator memiliki peran dalam mencegah autoimunitas dan
mempertahankan toleransi terhadap mikrobiota. Sebuah penelitian menyatakan
bahwa sebagian besar sel T regulator berasal dari antigen pada mikrobiota
kolon, seperti Clostridiales, Bacteroides, dan Lactobacillus.
Pemberian antibiotik dapat mengubah reseptor sel T regulator timus dan dapat berakibat
pada menurunnya sel T regulator usus. Salah satu mikrobiota saluran cerna yaitu
Suterella sp. Juga dapat mengubah kadar IgA feses melalui degradasi SIgA.
Antigen SFB juga dapat mempengaruhi kadar IgA dengan meningkatkan pusat
germinal dan menginduksi sel pada Peyer�s patch yang mensekresi IgA.
Antigen SFB pada MHC II dendritik sel saluran cerna dapat menginduksi
diferensiasi sel Th17, sebaliknya pada MHC II ILC membatasi diferensiasi sel Th17.
E.
Patomekanisme
Disbiosis Mikrobiota Saluran Cerna dan Manifestasinya terhadap RA
Mikrobiota saluran cerna yang idealnya berada dalam
keadaan seimbang disebut sebagai eubiosis. Keadaan ini mencerminkan peran mikrobiota yang stabil dan mampu mengatasi perubahan yang diakibatkan oleh serangan patogen.
Apabila keseimbangan populasi mikrobiota
tubuh terganggu, maka
terjadi suatu kondisi yang disebut disbiosis. Hal ini dapat menyebabkan individu rentan terhadap infeksi dan terbentuknya
imunotoleransi yang berakibat pada penyakit autoimun. Disbiosis umumnya
disebabkan oleh faktor ekstrinsik seperti obat-obatan dan diet, termasuk penggunaan antibiotik (Gotschlich, Colbert, & Gill, 2019; Zhang & Chen, 2019).
Seperti
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, mikrobiota memiliki pengaruh besar pada perkembangan dan
pemeliharaan sistem imun. Organisme yang tidak memiliki flora
normal dalam tubuhnya
cenderung mengalami toleransi imunitas, namun
dapat dipulihkan secara fungsional setelah inokulasi bakteri komensal. Keterlibatan
mikrobiota dalam promosi penyakit autoimun diduga terjadi melalui beberapa
mekanisme, yaitu mimikri molekuler, induksi kostimulasi dan produksi sitokin
oleh APC selama kejadian infeksi sehingga terjadi amplifikasi autoimun, serta peran
saluran cerna manusia. Mimikri molekuler pada pasien
RA diinduksi oleh salah satu antigen bakteri yaitu Collinsella sp.
yang menyebabkan seleksi dan maturasi dari sel B autoreaktif dengan afinitas tinggi yang mampu memproduksi berbagai
autoantibodi. Selain mimikri molekuler, infeksi dapat menginduksi pelepasan
sitokin oleh APC sehingga terjadi amplifikasi autoimunitas, dan peran sistem
saluran cerna dalam komunitas dan enzim eksogen yang dihasilkan oleh populasi
disbiotik dan aktivitas PTMP yang menghasilkan neo-epitop.
Dalam kondisi fisiologis,
epitel mukosa menjadi barrier antara tubuh manusia dan dunia luar. Sebuah penelitian pada model tikus RA
memberikan gambaran kerusakan dari barrier
tersebut yang terjadi akibat mekanisme degradasi oleh
mikrobiota oral seperti
Poryphyromonas gingivalis dan meningkatkan permeabilitas usus terhadap mikroba yang disebut
sebagai �leaky gut hypothesis�. Peningkatan permeabilitas menyebabkan
bakteri masuk dalam sirkulasi dan menyebar hingga ke jaringan dan menyebabkan
respon TLR, NLR, sel B, dan sel T. Hal tersebut didukung oleh penemuan DNA
bakteri periodontal pada cairan sinovial pasien RA yang
mengalami periodontitis (Pianta et al., 2017). Selain itu, P. gingivalis juga meningkatkan produksi ACPA yang turut
berkontribusi terhadap osteoklastogenesis dan mengakibatkan destruksi tulang
pada pasien RA (Kalinkovich &
Livshits, 2019).
Pada permukaan mukosa,
mikrobiota dapat menginduksi neutrophils extracellular traps (NET) pada
RA. Perubahan NETosis ini merupakan salah satu mekanisme yang
memicu produksi ACPA. Saat proses NETosis, myeloperoxidase (MPO) memicu translokasi protease serin ke nukleus
di mana histon mengalami pembelahan dan enzim PAD4 melakukan
mobilisasi ke nukleus histon yang mengalami sitrulinasi. Proses NETosis dapat
berperan efektif dalam membersihkan patogen dan resolusi infeksi. Namun
di sisi lain, proses ini dapat menjadi sumber autoantigen pada individu dengan
latar genetik RA yang sesuai (Chriswell & Kuhn,
2019).
Sejumlah spesies bakteri dan
profil metabolit tertentu dapat menjadi karakteristik dan prediktor perkembangan RA. Sebuah penelitian menunjukkan
peningkatan koloni keluarga bakteri Prevotellaceae, khususnya Prevotella
spp., dalam kelompok RA pra-klinis dibandingkan dengan kelompok kontrol
kerabat tingkat pertama (FDR) (Li & Wang, 2021). Autoantigen
spesifik RA yaitu N-acetylglucosamine-6-sulfatase (GNS) memiliki urutan
homolog dengan protein sulfatase P. Copri. Sebuah studi mengungkapkan bahwa subkelompok pasien RA memiliki
reaktivitas imun IgG atau IgA diferensial terhadap P. copri yang
dikaitkan dengan respons sitokin Th17 proinflamasi dan
ACPA yang cukup sering (Pianta et al., 2017). Selain itu, autoantigen filamin A (FLNA) yang diekspresikan pada jaringan sinovial
pasien RA memiliki urutan homolog dengan epitop protein Prevotella sp. dan
Butyricinomas sp. (A et al., 2017).
Terdapat hipotesis bahwa asal mula RA berkaitan dengan mukosa saluran
cerna (Tong, Marion, Schett, Luo, & Liu,
2020). Respons imun yang dimediasi oleh sel
Th17 dapat dilihat melalui aktivasi sel ekspresi TLR oleh P. copri yang menyebabkan
produksi dari berbagai sitokin proinflamasi oleh sel dendritik dan kemokin oleh Intestinal Epithelial Cells (IECs). Reaksi tersebut berakibat pada aktivasi neutrofil dan makrofag yang berakhir pada pembentukan NET. TNF-a dan
IL-1b yang dihasilkan oleh makrofag menyebabkan kerusakan dari barrier
IEC yang disertai keluarnya lipopolisakarida patogen. Selain itu, respons sel
Th17 juga terbentuk akibat stimulasi sel B melalui presentasi peptida HLA-DR P. Copri dan produksi ACPA (Kalinkovich & Livshits, 2019).
Pada tahap pra-klinik ini, ditemukan peningkatan mikrobiota Prevotella copri
serta perannya dalam inflamasi RA (Alpizar-Rodriguez et al., 2019).
Terdapat
hubungan translokasi bakteri ke ruang sendi dengan ditemukannya
DNA bakteri Prevotella pada ruang sendi dan cairan sinovial pasien New-onset
untreated RA (NORA). Bakteri fibrolitik mendegradasi polisakarida menjadi bentuk
karbohidrat yang lebih kecil yang kemudian difermentasi menjadi asam lemak
rantai pendek (SCFA) seperti asetat, propionat, dan butirat yang memiliki sifat
imunomodulator dan meningkatkan integritas barrier epitel (Chriswell & Kuhn, 2019).
Butirat berperan
sebagai faktor antiinflamasi melalui inhibisi
aktivasi faktor transkripsi NF-kB yang menurunkan pembentukan sitokin
proinflamasi. Selain itu, SCFA dapat meregulasi fungsi dan migrasi neutrofil,
menginhibisi ekspresi sel vaskular adhesi molekul-1, serta meningkatkan
ekspresi protein tautan lekat pada epitel kolon.
NORA dikaitkan dengan
peningkatan bakteri P. copri dan penurunan Clostridium cluster XIVa termasuk Lachnospiraceae
yang merupakan penghasil utama butirat. Butirat menurunkan risiko inflamasi
pada RA dengan menginduksi diferensiasi dari sel TFR melalui asetilasi histon.
Sel TFR ini berperan dalam menekan produksi autoantibodi di jaringan limfoid
sistemik pada RA.
Keseimbangan TFR sangatlah penting dalam memelihara homeostasis imun dan pembentukan autoantibodi
pada pusat
germinal karena penurunannya
menyebabkan perkembangan sel B yang mengarah pada produksi ANA dan berakibat pada peningkatan autoantibodi dan derajat keparahan RA (Takahashi et al., 2020). Respons
ini dapat bertahan bertahun-tahun, dibuktikan dengan penemuan antibodi P. copri pada pasien NORA dan RA kronis (Alpizar-Rodriguez et al.,
2019; Pianta et al., 2021; Tong et al., 2020). Data
lain menyatakan
adanya peningkatan Bacteroides dan Escherichia-Shigella
dan penurunan Lactobacillus, Alloprevotella, Enterobacter,
dan Odoribacter pada pasien RA. Hal ini
berkorelasi positif dengan banyak faktor reumatoid, seperti RF-IgM, RF-IgA, dan
RF-IgG, serta dengan biomarker inflamasi, termasuk tingkat sedimentasi
eritrosit dan protein C-reaktif (Sun et al., 2019).
F.
Terapi
Potensial RA melalui Koreksi Disbiosis Mikrobiota Saluran Cerna
Berangkat dari fakta bahwa mikrobiota komensal adalah salah
satu pemicu lingkungan yang penting dari RA, maka dibutuhkan agen imunosupresif
yang dapat mengembalikan keseimbangan komposisi mikrobiota saluran cerna
sebagai obat terapeutik RA (Lucchino et al., 2019). Sebuah penelitian mengemukakan
bahwa pada sampel feses pasien RA yang menerima DMARDs, unit ekspresi relatif
(REU) spesies Bacteroides dan Prevotella meningkat sedangkan REU Clostridium
leptum menurun dibandingkan dengan sampel dari kontrol yang sehat (Alpizar-Rodriguez et al., 2019).
Sedangkan pada pemberian berberin secara oral, gejala collagen-induced
arthritis (CIA) pada tikus� dengan
menurunkan regulasi keragaman dan kekayaan bakteri usus, termasuk kelimpahan Prevotella,
dan meningkatkan regulasi kelimpahan bakteri penghasil butirat untuk
menstabilkan hipoksia usus serta pasokan nitrat (M et al., 2019).
Eksperimen jangka panjang memberikan hasil mikrobiota saluran
cerna mungkin memainkan peran besar dalam memediasi efek terapeutik dari total
glukosida paeoni (TGP) pada tikus dengan CIA karena kemampuannya untuk dalam
meningkatkan kelimpahan relatif bakteri menguntungkan, serta menghambat tingkat
sekresi sitokin usus, sIgA dan IFN-γ (Peng et al., 2019).
Data lain melaporkan bahwa pemberian clematis triterpenoid saponins
(CTSs) pada tikus dengan CIA dapat memperbaiki gejala arthritis dan menurunkan
konsentrasi total SCFA (LX et al., 2019).
Saat ini, regulasi ulang disbiosis mikroba usus melalui
probiotik, prebiotik, atau FMT dinilai berpotensi menjadi pencegahan dan
pengobatan RA. Probiotik merupakan mikroorganisme non-patogen yang dapat
berinteraksi dengan mikrobiota saluran cerna dan memberikan manfaat bagi
inangnya. Produk metabolisme seperti SCFA dan vitamin dapat diproduksi oleh
probiotik dan merupakan sumber energi untuk enterosit (Balakrishnan & Taneja, 2018).
Probiotik berperan dalam modulasi mikrobiota saluran cerna dan kekebalan usus
untuk mempertahankan homeostasis (Liu et al., 2016).
Pada pasien dengan RA yang diobati dengan campuran
probiotik L. rhamnosus GR-1 dan L. reuteri RC-14, suplementasi berperan
dalam penurunan kadar sitokin proinflamasi serum seperti IL-1α, IL-6,
IL-10, IL-12p70 dan TNF-α. Konsumsi probiotik yang berafiliasi dengan Lactobacillus
diprediksi dapat menginduksi modulasi usus pada pasien RA yang dapat membantu
mengurangi disbiosis usus dan gejala penyakit. Analisis mikroflora tinja dari
subjek manusia sehat yang mengkonsumsi probiotik L. rhamnosus memberikan
perubahan sementara dengan sedikit fluktuasi jumlah Lactobacillus dan Bifidobacterium,
di mana setelah penghentian konsumsi, sebagian besar populasi bakteri
menguntungkan kembali ke jumlah yang lebih rendah dari strain probiotik L.
rhamnosus (Bodkhe, Balakrishnan, & Taneja,
2019).
Terapi probiotik Bifidobacterium mungkin membantu dalam kasus RA yang
diinduksi oleh mikrobiota periodontal karena bakteri ini berkompetisi dengan P.
gingivalis dalam mengurangi konsentrasi vitamin K (Bodkhe et al., 2019).
Pemberian oral dan injeksi intraperitoneal L. helveticus SBT2171 juga
terbukti mencegah gejala CIA pada tikus model (Yamashita et al., 2017).
Beberapa studi juga mengemukakan efek proteksi pemberian probiotik terhadap
efek samping antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan mencegah kerusakan organ
ke tingkat yang lebih besar. Pada tikus Wistar dengan CIA, L. acidophilus
menurunkan skor artritis dan mempertahankan histologi normal organ reproduksi
dan parameter stres oksidatif di ovarium dan testis (S & V, 2016).
Koloni Faecalibacterium prausnitzii ditemukan pada
pasien RA dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol yang
sehat (Balakrishnan & Taneja, 2018).
Terapi probiotik dengan F. prausnitzii dapat membantu dalam menekan
peradangan, karena menghasilkan butirat dalam jumlah tinggi yang mengarah pada
produksi IL-10, serta menekan jalur NF-
Intervensi diet yang menargetkan mikrobiota saluran cerna
juga dapat menjadi pilihan terapi potensial untuk RA. Sebuah penelitian
menggambarkan peningkatan jumlah sel Treg yang bersirkulasi, rasio Th1/Th17
yang menguntungkan, dan perbaikan gejala pada pasien RA setelah dilakukan
intervensi 28 hari diet tinggi serat, dan hal ini mungkin disebabkan oleh
regulasi mikrobiota saluran cerna dan metabolitnya (J et al., 2019).
Dengan demikian, konsumsi probiotik tertentu dikatakan bermanfaat dalam
modulasi mikrobiota saluran cerna pada pasien RA melalui pemulihan eubiosis
mikrobiota. Namun, laporan tentang pengaruhnya terhadap komunitas mikrobiota
saluran cerna masih langka.
Kesimpulan
Disbiosis mikrobiota saluran cerna telah
terbukti menjadi salah satu faktor penting dalam manifestasi RA pada model
hewan. Namun, mekanisme perubahan komposisi mikrobiota saluran cerna yang
spesifik pada RA perlu diselidiki lebih lanjut. Interaksi antara mikrobiota dan
sel imunomodulator pada saluran cerna berpotensi dalam pengembangan biomarker
baru sebagai sarana untuk memahami patofisiologi RA serta menemukan strategi
pengobatan RA yang inovatif. Studi juga diperlukan untuk mengeksplorasi
mekanisme molekuler potensial dari tindakan terapeutik probiotik untuk RA.
Studi tambahan perlu dilakukan untuk mengeksplorasi keterlibatan mikrobiota
dalam saluran cerna yang berbeda dalam modulasi imun selama patogenesis RA.
A, P., SL, A., K, S., EE, D., Q, W., CE, C., & AC,
S. (2017). Two rheumatoid arthritis-specific autoantigens correlate microbial
immunity with autoimmune responses in joints. The Journal of Clinical
Investigation, 127(8), 2946�2956. Google Scholar
Aagaard, K., Ma, J., Antony, K. M., Ganu, R.,
Petrosino, J., & Versalovic, J. (2014). The Placenta Harbors a Unique
Microbiome. Science Translational Medicine, 6(237), 237ra65. Google Scholar
AL, K., PP, A., NW, G., AL, G., & JI, G. (2011).
Human nutrition, the gut microbiome and the immune system. Nature, 474(7351),
327�336. Google Scholar
Alpizar-Rodriguez, D., Lesker, T. R., Gronow, A.,
Gilbert, B., Raemy, E., Lamacchia, C., � Strowig, T. (2019). Prevotella copri
in individuals at risk for rheumatoid arthritis. Annals of the Rheumatic
Diseases, 78(5), 590�593. Google Scholar
Andri, J., Padila, P., Sartika, A., Putri, S. E. N.,
& J, H. (2020). Tingkat Pengetahuan terhadap Penanganan Penyakit Rheumatoid
Artritis pada Lansia. Jurnal Kesmas Asclepius, 2(1), 12�21. Google Scholar
Balakrishnan, B., Luckey, D., Marietta, E., Karau, M.,
Patel, R., Murray, J., & Taneja, V. (2017). Development of a real-time PCR
method for quantification of Prevotella histicola from the gut. Anaerobe,
48, 37�41. Google Scholar
Balakrishnan, B., & Taneja, V. (2018). Microbial
modulation of the gut microbiome for treating autoimmune diseases. Expert
Review of Gastroenterology and Hepatology, 12(10), 985�996. Google Scholar
Bergot, A. S., Giri, R., & Thomas, R. (2019). The
microbiome and rheumatoid arthritis. Best Practice & Research Clinical
Rheumatology, 33(6), 101497. Google Scholar
Bodkhe, R., Balakrishnan, B., & Taneja, V. (2019).
The role of microbiome in rheumatoid arthritis treatment. Therapeutic
Advances in Musculoskeletal Disease, 11. Google Scholar
CDC. (2019). Rheumatoid Arthritis (RA) | Arthritis |
CDC. Google Scholar
Chriswell, M. E., & Kuhn, K. A. (2019).
Microbiota-mediated mucosal inflammation in arthritis. Best Practice &
Research Clinical Rheumatology, 33(6), 101492. Google Scholar
Cross, M., Smith, E., Hoy, D., Carmona, L., Wolfe, F.,
Vos, T., � March, L. (2014). The global burden of rheumatoid arthritis:
Estimates from the Global Burden of Disease 2010 study. Annals of the
Rheumatic Diseases, 73(7), 1316�1322. Google Scholar
DAS, B., & Nair, G. B. (2019). Homeostasis and
dysbiosis of the gut microbiome in health and disease. Journal of
Biosciences, 44(5). Google Scholar
Deane, K. D., Demoruelle, M. K., Kelmenson, L. B.,
Kuhn, K. A., Norris, J. M., & Holers, V. M. (2017). Genetic and
environmental risk factors for rheumatoid arthritis. Best Practice &
Research. Clinical Rheumatology, 31(1), 3.Google Scholar
DR, L., & EG, P. (2011). Role of the commensal
microbiota in normal and pathogenic host immune responses. Cell Host &
Microbe, 10(4), 311�323. �Google Scholar
Girgis, N. M., Gundra, U. M., & Loke, P. (2013).
Immune Regulation during Helminth Infections. PLoS Pathogens, 9(4).
Google Scholar
Gotschlich, E. C., Colbert, R. A., & Gill, T.
(2019). Methods in microbiome research: Past, present, and future. Best
Practice & Research Clinical Rheumatology, 33(6), 101498. Google Scholar
GP, D., SM, L., & SK, M. (2016). Gut biogeography
of the bacterial microbiota. Nature Reviews. Microbiology, 14(1),
20�32. Google Scholar
Honda, K., & Littman, D. R. (2012). The microbiome
in infectious disease and inflammation. Annual Review of Immunology, 30,
759�795. Google Scholar
Horta-Baas, G., Romero-Figueroa, M. D. S.,
Montiel-Jarqu�n, A. J., Pizano-Z�rate, M. L., Garc�a-Mena, J., &
Ram�rez-Dur�n, N. (2017). Intestinal Dysbiosis and Rheumatoid Arthritis: A Link
between Gut Microbiota and the Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Journal
of Immunology Research, 2017. Google Scholar
Howard R Smith. (2021). Rheumatoid Arthritis (RA):
Practice Essentials, Background, Pathophysiology. Google Scholar
Indonesia, P. R. (2014). Rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid. In Jakarta:
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Google Scholar
J, H., H, B., M, H., M, F., P, T., MV, S., � MM, Z.
(2019). The Role of Dietary Fiber in Rheumatoid Arthritis Patients: A
Feasibility Study. Nutrients, 11(10). Google Scholar
JL, S., & F, B. (2016). Diet-microbiota
interactions as moderators of human metabolism. Nature, 535(7610),
56�64. Google Scholar
Kalinkovich, A., & Livshits, G. (2019). A cross
talk between dysbiosis and gut-associated immune system governs the development
of inflammatory arthropathies. Seminars in Arthritis and Rheumatism, 49(3),
474�484. Google Scholar
Kim, D., Zeng, M. Y., & N��ez, G. (2017). The
interplay between host immune cells and gut microbiota in chronic inflammatory
diseases. Experimental and Molecular Medicine, 49(5), e339. Google Scholar
Kuo, C. F., Grainge, M. J., Valdes, A. M., See, L. C.,
Yu, K. H., Steven Shaw, S. W., � Doherty, M. (2017). Familial aggregation of
rheumatoid arthritis and co-aggregation of autoimmune diseases in affected
families: A nationwide population-based study. Rheumatology (United Kingdom),
56(6), 928�933. Google Scholar
Li, M., & Wang, F. (2021). Role of Intestinal
Microbiota on Gut Homeostasis and Rheumatoid Arthritis. Journal of
Immunology Research, 2021, 1�9. Google Scholar
Liu, X., Zhang, J., Zou, Q., Zhong, B., Wang, H., Mou,
F., � Fang, Y. (2016). Lactobacillus salivarius Isolated from Patients with
Rheumatoid Arthritis Suppresses Collagen-Induced Arthritis and Increases Treg
Frequency in Mice. Journal of Interferon and Cytokine Research, 36(12),
706�712. Google Scholar
Lucchino, Spinelli, Iannuccelli, Guzzo, Conti, &
Di Franco. (2019). Mucosa�Environment Interactions in the Pathogenesis of
Rheumatoid Arthritis. Cells, 8(7), 700. Google Scholar
LX, G., HY, W., XD, L., JY, Z., Q, T., XN, W., � GZ,
X. (2019). Saponins from Clematis mandshurica Rupr. regulates gut microbiota
and its metabolites during alleviation of collagen-induced arthritis in rats. Pharmacological
Research, 149. https://doi.org/10.1016/J.PHRS.2019.104459 Google Scholar
M, Y., Y, T., Y, F., X, L., Q, Z., Y, X., � Y, D.
(2019). The gut microbiota modulator berberine ameliorates collagen-induced
arthritis in rats by facilitating the generation of butyrate and adjusting the
intestinal hypoxia and nitrate supply. FASEB Journal : Official
Publication of the Federation of American Societies for Experimental Biology,
33(11), 12311�12323. Google Scholar
Maeda, Y., & Takeda, K. (2019). Host�microbiota
interactions in rheumatoid arthritis. Experimental & Molecular Medicine,
51(12). Google Scholar
Malmstr�m, V., Catrina, A. I., & Klareskog, L.
(2017). The immunopathogenesis of seropositive rheumatoid arthritis: From
triggering to targeting. Nature Reviews Immunology, 17(1), 60�75.
Google Scholar
Marietta, E., Rishi, A., & Taneja, V. (2015).
Immunogenetic control of the intestinal microbiota. Immunology, 145(3),
313. Google Scholar
N, K., SU, S., GY, C., & G, N. (2013). Role of the
gut microbiota in immunity and inflammatory disease. Nature Reviews.
Immunology, 13(5), 321�335. Google Scholar
Oliveira, G. L. V. de, Leite, A. Z., Higuchi, B. S.,
Gonzaga, M. I., & Mariano, V. S. (2017). Intestinal dysbiosis and probiotic
applications in autoimmune diseases. Immunology, 152(1), 1. Google Scholar
Peng, J., Lu, X., Xie, K., Xu, Y., He, R., Guo, L., �
Gong, M. (2019). Dynamic alterations in the gut microbiota of collagen-induced
arthritis rats following the prolonged administration of total glucosides of
paeony. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 9(JUN),
204. Google Scholar
Pianta, A., Arvikar, S., Strle, K., Drouin, E. E.,
Wang, Q., Costello, C. E., & Steere, A. C. (2017). Evidence for Immune
Relevance of Prevotella copri, a Gut Microbe, in Patients with Rheumatoid
Arthritis. Arthritis & Rheumatology (Hoboken, N.J.), 69(5),
964. Google Scholar
Pianta, A., Chiumento, G., Ramsden, K., Wang, Q.,
Strle, K., Arvikar, S., � Steere, A. C. (2021). Identification of Novel,
Immunogenic HLA‐DR‐Presented Prevotella copri Peptides in Patients
with Rheumatoid Arthritis. Arthritis & Rheumatology. Google Scholar
Rantap��-Dahlqvist, S., De Jong, B. A. W., Berglin,
E., Hallmans, G., Wadell, G., Stenlund, H., � Van Venrooij, W. J. (2003).
Antibodies Against Cyclic Citrullinated Peptide and IgA Rheumatoid Factor
Predict the Development of Rheumatoid Arthritis. Arthritis and Rheumatism,
48(10), 2741�2749. Google Scholar
Reinoso Webb, C., Koboziev, I., Furr, K. L., &
Grisham, M. B. (2016). Protective and pro-inflammatory roles of intestinal
bacteria. Pathophysiology, 23(2), 67�80. Google Scholar
Rossi, O., Van Berkel, L. A., Chain, F., Tanweer Khan,
M., Taverne, N., Sokol, H., � Wells, J. M. (2016). Faecalibacterium prausnitzii
A2-165 has a high capacity to induce IL-10 in human and murine dendritic cells
and modulates T cell responses. Scientific Reports, 6. Google Scholar
Rudan, I., Sidhu, S., Papana, A., Meng, S. J.,
Xin-Wei, Y., Wang, W., � Chan, K. Y. (2015). Prevalence of rheumatoid arthritis
in low- and middle-income countries: A systematic review and analysis. Journal
of Global Health, 5(1). Google Scholar
S, A., & V, S. (2016). Lactobacillus acidophilus
maintained oxidative stress from reproductive organs in collagen-induced
arthritic rats. Journal of Human Reproductive Sciences, 9(1),
41�46. Google Scholar
Sun, Y., Chen, Q., Lin, P., Xu, R., He, D., Ji, W., �
Xiao, L. (2019). Characteristics of Gut Microbiota in Patients With Rheumatoid
Arthritis in Shanghai, China. Frontiers in Cellular and Infection
Microbiology, 9. Google Scholar
Takahashi, D., Hoshina, N., Kabumoto, Y., Maeda, Y.,
Suzuki, A., Tanabe, H., � Hase, K. (2020). Microbiota-derived butyrate limits
the autoimmune response by promoting the differentiation of follicular
regulatory T cells. EBioMedicine, 58, 102913. Google Scholar
Tong, Y., Marion, T., Schett, G., Luo, Y., & Liu,
Y. (2020). Microbiota and metabolites in rheumatic diseases. Autoimmunity
Reviews, 19(8), 102530. Google Scholar
Wagener, J., Weindl, G., Groot, P. W. J. de, Boer, A.
D. de, Kaesler, S., Thavaraj, S., � Schaller, M. (2012). Glycosylation of
Candida albicans Cell Wall Proteins Is Critical for Induction of Innate Immune
Responses and Apoptosis of Epithelial Cells. PLoS ONE, 7(11). Google Scholar
Wu, C.-Y., Yang, H.-Y., & Lai, J.-H. (2020).
Anti-Citrullinated Protein Antibodies in Patients with Rheumatoid Arthritis:
Biological Effects and Mechanisms of Immunopathogenesis. International
Journal of Molecular Sciences, 21(11). Google Scholar
Yamashita, M., Matsumoto, K., Endo, T., Ukibe, K.,
Hosoya, T., Matsubara, Y., � Miyazaki, T. (2017). Preventive Effect of
Lactobacillus helveticus SBT2171 on Collagen-Induced Arthritis in Mice. Frontiers
in Microbiology, 8(JUN), 1159. Google Scholar
Zhang, S., & Chen, D.-C. (2019). Facing a new
challenge: the adverse effects of antibiotics on gut microbiota and host
immunity. Chinese Medical Journal, 132(10), 1135. Google Scholar
Copyright holder: Teddy Tjahyanto, Eldy, Clarissa
Felicia, Karmenia Jessica Kurnia Niaga (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |