Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol.
6, Spesial Issue No.
1, November 2021
�
PERDEBATAN DEFINISI DAN
KRITERIA POSISI DOMINAN DALAM PERSPEKTIF REGULASI DAN EKONOMI
M. Afif Hasbullah
Fakultas Hukum Universitas Islam Darul Ulum Lamongan, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Perdebatan terkait konsep posisi dominan dan implementasi penafsiran ekonomi dalam kasus persaingan usaha seringkali menjadi perhatian stakeholder persaingan usaha di dunia internasional. Di sisi lain, perdebatan menjadi makin menarik jika disandingkan dengan acuan konsep posisi dominan dalam ranah regulasi relatif tetap. Penelitian ini membahas perdebatan dan kontroversi terkait definisi posisi dominan yang tertuang dalam rumusan hukum persaingan usaha di beberapa negara. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pendapat dan perdebatan terkait dengan definisi dan kriteria dari posisi dominan dalam perspektif regulasi yang berlaku di Indonesia serta perspektif ekonomi yang berkembang di berbagai negara. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach), perundang-undangan (statue approach) dan perbandingan (comparative approach). Penelitian menyimpulkan bahwa Perdebatan mengenai konsep posisi dominan masih akan terus berkembang, sebagaimana perkembangan konsep ilmu ekonomi dan hukum yang melandasinya. Perbedaan substansial dalam definisi posisi dominan terdapat antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat. Assessment posisi dominan dalam era ekonomi digital serta data driven market dan bigdata masih menjadi tantangan yang substansial ke depan.
Kata Kunci: persaingan usaha; posisi dominan; penyalahgunaan posisi dominan
Abstract
Debates related to the
concept of dominant position and the implementation of economic interpretation
in the case of business competition often become the attention of stakeholders
in international business competition. On the other hand, the debate becomes
even more interesting if it is juxtaposed with the reference to the concept of
a dominant position in the realm of relatively fixed regulation. This study
discusses the debates and controversies related to the definition of dominant
position contained in the formulation of business competition law in several
countries. This study aims to describe the opinions and debates related to the
definition and criteria of the dominant position in the perspective of
regulations that apply in Indonesia and the perspective of the developing
economy in various countries. This research is a normative juridical research
using a conceptual approach, statue approach and comparison approach. The
research concludes that the debate on the concept of dominant position will
continue to develop, as will the development of the concepts of economics and
the law that underlie it. Substantial differences in the definition of dominant
position exist between the European Union and the United States. Assessment of
the dominant position in the digital economy era as well as data driven markets
and big data will still be a substantial challenge going forward.
�����������������������������������
Keywords: competition; dominant position; abuse of
dominant position
Received:
2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-18
Pendahuluan
Terdapat tiga hal pokok yang
menjadi substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU Nomor 5 Tahun
1999), yakni: perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan
penyalahgunaan posisi dominan. Pada dasarnya, hak setiap pelaku usaha untuk
menjadi besar. Dari pelaku usaha level kecil meningkat menjadi level menengah,
dan dari level menengah menjadi pelaku usaha besar.
Monopoli tidak dilarang, yang
dilarang adalah praktik monopoli. Demikian juga menjadi dominan tidak dilarang,
yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi dominan. UU Nomor 5 Tahun 1999 lebih
menekankan kepada larangan terhadap pelaku usaha untuk berpraktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Apabila pelaku usaha menjadi monopolis dan
mempunyai posisi dominan, namun dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar
UU 5 Tahun 1999 maupun peraturan lainnya, maka pelaku usaha tersebut tentu
tidak melanggar UU 5 Tahun 1999.
Pada hakekatnya, UU Nomor 5 Tahun
1999 sangat mendorong setiap pelaku usaha untuk mempunyai daya saing. Karena
dengan daya saing, akan muncul inovasi dalam rangka menghasilkan barang
dan/atau jasa yang berkualitas dan kompetitif. Apabila pelaku usaha makin
inovatif, berkualitas dan kompetitif, kemungkinan besar akan menjadi unggul di
pasar (market leader) sehingga akan mencapai posisi dominan.
Sedangkan penyalahgunaan
posisi dominan muncul ketika pelaku usaha memiliki kekuatan secara ekonomi yang
memungkinkan ia untuk beroperasi di pasar tanpa terpengaruh oleh persaingan dan
kemudian melakukan tindakan yang dapat mengurangi persaingan (Hasbullah, 2020).� Pasal 25-28 UU Nomor 5 Tahun 1999 telah
mengatur larangan penyalahgunaan posisi dominan, termasuk di dalamnya adalah
terkait larangan kepemilikan saham di sektor usaha yang sama, larangan
seseorang rangkap jabatan di dua atau lebih perusahaan sejenis atau yang
memiliki usaha yang terkait, serta larangan penggabungan, peleburan dan
pengambilalihan perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat.
Penegakan hukum persaingan di
Indonesia telah berjalan selama 21 tahun. Hal ini dihitung sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada tanggal 5 Maret 2000.� Selama kurun waktu 21 tahun, KPPU telah
beberapa kali memeriksa perkara dengan tuduhan pelanggaran pasal penyalahgunaan
posisi dominan, diantaranya: Perkara 05/KPPU-L/2002 mengenai Dugaan Pelanggaran
terhadap Undang- undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berkaitan dengan bidang
perfilman dan perbioskopan; Perkara�
01/KPPU-L/2003 mengenai Dugaan Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor
5 Tahun 1999 dalam penjualan tiket penerbangan domestik; Perkara 04/KPPU-I/2003
mengenai Dugaan Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
berkaitan dengan Jasa Terminal Pelayanan Bongkar Muat Petikemas ; Perkara
07/KPPU-L/2007 mengenai Dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 yang secara
bersama-sama dilakukan oleh Kelompok Usaha Temasek dan dugaan pelanggaran UU
No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT Telekomunikasi Seluler; Perkara
09/KPPU-L/2009 mengenai Dugaan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak
Sehat Atas Akuisisi PT. Alfa Retailindo oleh PT. Carrefour Indonesia; Perkara
17/KPPU-L/2010 mengenai Dugaan Pelanggaran Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, Pasal
25 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh
Kelompok Usaha Pfizer dan PT Dexa Medica dalam Industri Farmasi Kelas Terapi
Calcium Antagonis Plain dengan zat aktif Amlodipine; dan Perkara 14/KPPU-L/2015
(Perkom Nomor 01 Tahun 2010) tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 19 huruf (a) dan
(b) dan Pasal 25 ayat 1 huruf (a) dan (c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
dilakukan oleh PT Forisa Nusapersada dalam Produk Minuman Olahan Serbuk
Berperisa Buah yang Mengandung Susu dalam Kemasan Sachet.
Dinamika dan perubahan konsep
serta doktrin ekonomi persaingan usaha terus berlangsung. Perubahan konsep dan
doktrin tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kegiatan ekonomi,
model bisnis baru yang dapat kita saksikan bersama seperti fenomena industri
4.0, disruptive innovations serta era internet of things. Salah satu diskusi
atau perdebatan yang seringkali menjadi perhatian stakeholder persaingan usaha
di dunia internasional adalah terkait konsep posisi dominan dan implementasi
penafsiran ekonomi dalam kasus persaingan usaha. Di sisi lain, perdebatan
menjadi makin menarik jika disandingkan dengan acuan konsep posisi dominan
dalam ranah regulasi relatif tetap.
Sebagai bagian dari komunitas
dan stakeholder persaingan usaha internasional, kontroversi dan perdebatan
tersebut juga dirasakan di Indonesia, khususnya terkait dengan perkara-perkara
penyalahgunaan posisi dominan yang ditangani Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU). Penelitian ini akan membahas mengenai perdebatan dan kontroversi
terkait pengertian atau definisi posisi dominan yang tertuang dalam rumusan
hukum persaingan usaha di beberapa negara. Tujuan paper ini adalah untuk
menyajikan berbagai pendapat dan perdebatan terkait dengan definisi dan
kriteria dari posisi dominan dalam perspektif regulasi yang berlaku di
Indonesia serta perspektif ekonomi.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual
(conceptual approach), perundang-undangan (statue approach) dan perbandingan
(comparative approach). Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, yakni UU Nomor 5 Tahun 1999. Bahan hukum sekunder meliputi
buku teks, kamus, jurnal dan putusan pengadilan.
Hasil dan Pembahasan
A.
Definisi Posisi Dominan
dan Perdebatannya
Sebagai definisi konseptual
yang seringkali menjadi dasar dari penegakan
hukum persaingan usaha, tentunya tidak terlepas dari berbagai kritikan,
bahkan dari kalangan sesama otoritas persaingan. Definisi posisi dominan oleh European
Court of Justice dapat dijadikan
contoh sebagai berikut: �The dominant position referred to in this
Article relates to a position of economic strength enjoyed by undertaking which
enables it to prevent effective competition being maintained on the relevant
market by giving it the power to behave to and appreciable extent independently
of its competitors, customers and ultimately of its consumers.�
Definisi posisi dominan tersebut digunakan oleh Majelis Hakim ECJ terkait kasus United Brands (1976)
dan selanjutnya pada kasus
Hoffman LaRoche (1978). Definisi tersebut
menjadi semacam yurisprudensi dan referensi bagi kasus kasus
posisi dominan selanjutnya di wilayah jurisdiksi
Uni Eropa dan oleh masing masing
negara anggota Uni Eropa.
Sementara, untuk contoh
di negara Asia, Jepang menggunakan
istilah private
monopolization dengan definisi
�such business activities, by which any entrepreneur, individually or by
combination or conspiracy with other entrepreneurs, or in any other manner,
excludes or controls the business activities of other entrepreneurs, thereby
causing, contrary to the public interest, a substantial restraint of
competition in any particular field of trade.�
Sedangkan Korea Selatan menggunakan istilah market
dominant business dengan definisi
�companies with market dominance that can determine, maintain or change prices,
quantity or quality of commodities or services or other terms and conditions of
business as a supplier or customer in a particular business area individually
or jointly with other enterprisers.�
Definisi posisi dominan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat ditemukan dalam dua pasal, yaitu
pasal 1 ayat 4 dengan definisi sebagai berikut:
�Posisi dominan
adalah keadaan dimana pelaku usaha
tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa
pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai
posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan
barang atau jasa tertentu�.
Sementara definisi yang juga terkait
posisi dominan dapat dijumpai di pasal 25 ayat 2, yang merupakan bagian dari pasal 25 mengenai
penyalahgunaan posisi dominan. Berikut adalah penjabaran mengenai posisi dominan dalam pasal
25 ayat (1) dan (2):
(1) Pelaku Usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan;
(2) Pelaku usaha
memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a. satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha menguasai
50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu; atau b. dua atau tiga
pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih
pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu.
Sekalipun diatur dalam dua pasal yang berbeda, pengertian posisi dominan tidak saling bertentangan
atau tumpang tindih. Penjabaran di pasal 25 ayat 2 lebih fokus pada kriteria pangsa pasar dengan threshold 50 % dan 75%. Sementara
pengertian di pasal 1 ayat 4 relatif lebih luas karena
juga menggunakan beberapa
parameter selain pangsa
pasar seperti �kemampuan keuangan�, �akses pada pasokan dan atau penjualan� serta �kemampuan untuk menyesuaikan permintaan pasokan pada barang atau jasa tertentu�.
Penggunaan kriteria pada pasal 1 ayat 4 juga dapat diterapkan pada beberapa perilaku yang seringkali dikaitkan dengan posisi dominan
lain seperti contohnya pada
tying/bundling dan perjanjian eksklusif (pasal 15) dan diskriminasi serta penguasaan pasar (pasal 19) serta praktek jual rugi
(pasal 20).
Amerika serikat, di satu sisi menggunakan istilah monopoly power dibanding posisi dominan. Berdasarkan Sherman Act (sect 2), monopoly power didefinisikan melalui dua pengertian yaitu kemampuan untuk menetapkan harga di atas ambang kompetitif serta mampu melakukan hal tersebut selama kurun waktu yang substansial tanpa ada gangguan atau ancaman dari new entrant atau ekspansi pesaing. Dalam konteks tersebut, pengujian market power menjadi salah satu poin penting dalam pembuktian ada atau tidaknya posisi dominan dalam penyelidikan kasus persaingan usaha di Amerika Serikat.
Mengutip dari (Foreclosure, n.d.),
salah satu poin perdebatan yang mengemuka terjadi antara delegasi Amerika Serikat yang menyatakan definisi yang digunakan ECJ cenderung �unhelpful� khususnya
terkait pengertian independensi. Dalam kasus yang terjadi di Amerika Serikat terkait Perusahaan
Microsoft Corp, perusahaan yang bersangkutan
mengajukan argumen bahwa perusahaan sekelas Microsoft pun tidak dapat bertindak sepenuhnya independen terutama terhadap selera dan preferensi konsumen. Microsoft Corp akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan pereferensi konsumen untuk dapat menjual produknya.
Pandangan tersebut sejalan
dengan pendapat akademisi yang pada intinya menyebutkan bahwa pembuktian unsur independen sebagaimana definisi yang digunakan Hakim Uni
Eropa� dalam kasus Hoffman LaRoche, relatif sulit untuk
dijabarkan pembuktianya, mengacu kepada pendapat (Arezanoo, 2006) sebagai berikut:�Because all undertakings, even
near-monopolists, face a downward sloping demand curve and the pressure of
competition from substitute products or services, economists claim that no firm
will ever have the power to behave independently from any constraints; hence,
independence is not a good proxy to infer dominance�.
Terlepas dari kritikan terhadap definisi posisi dominan versi Uni Eropa tersebut, tidak otomatis menjadikan Konsep posisi dominan
versi Amerika Serikat juga bebas dari kritikan.
Kasus DuPont dengan
Cellophane fallacies menunjukkan potensi
kelemahan dari tafsir versi Amerika Serikat yang menggunakan parameter pengujian harga dan harga tingkat kompetitif tersebut. Di tahun 1956, US Supreme Court membatalkan
tuduhan penyalahgunaan monopoli power oleh DuPont dengan
pertimbangan pasar bersangkutan
yang digunakan otoritas persiangan terlalu sempit. Dengan menggunakan metode SSNIP standar, US Supreme
Court menyimpulkan bahwa
pasar yang digunakan dalam kasus tersebut adalah pasar wrapping
secara umum, tidak hanya yang berbasis cellophane sebagaimana digunakan dalam tuntutan otoritas persaingan. Implikasinya keputusan dari otoritas persaingan
dibatalkan.
Sebagaimana yang diuraikan oleh (Bresnahan, 1989)
bahwa secara konseptual, penggunakan estimasi langsung terhadap market power
utamanya melalui lerner index dengan
parameter Price dan Marginal Cost mengacu
pada konsep Structure
Conduct Performance (SCP) yang dipopulerkan oleh
Bain pada era 1950an. Namun pendekatan
estimasi langsung tersebut dalam perjalanannya menimbulkan kritikan oleh beberapa akademisi, yang mengajukan konsep dan metode estimasi tidak langsung terhadap parameter Price dan Marginal Cost (dalam perkembangan
selanjutnya, pendekatan ini seringkali disebut New Empirical
Industrial Organization atau NEIO). Beberapa dasar pertimbangan dari estimasi tidak langsung adalah bahwa accounting
profit berikut data biaya
dalam laporan keuangan atau laporan
statistik perusahaan tidak dapat mencerminkan
marginal cost sehingga
tidak dapat dijadikan proxy dari market power
(White, 2013). Oleh karena itu, estimasi marginal cost harus
didasarkan pada estimasi biaya secara tidak
langsung, diantaranya melalui comparative
static baik terhadap fungsi permintaan dan fungsi biaya. Beberapa model estimasi dan pengujian market
power NEIO yang banyak digunakan
adalah model Panzar-Rosse
dan model Bresnahan-Lau. Aplikasi kedua
model tersebut di Indonesia dapat
ditelusuri dengan mengacu pada beberapa studi, antara lain (Lubis,
2012) dan juga� (Syafri & Lubis, 2008). Lebih jauh lagi kompleksitas
akan meningkat apabila estimasi dilakukan terhadap produk yang terdiffrensiasi atau diffrentiated market, terkait
dengan banyak nya parameter elastisitas permintaan produk yang harus dilakukan (Bresnahan, 1989).
Masih mengacu
pada definisi market
power pada kasus DuPont, keputusan
US Supreme Court belum mempertimbangkan
faktor jangka waktu terkait apakah
perusahaan yang bersangkutan
memiliki market
power atau tidak. Mengacu pada (Schmalensee, 1985)
menjelaskan bahwa perusahaan dapat saja dominan dalam
jangka pendek dan atau jangka panjang.
Dominan dalam jangka pendek apabila
perusahaan memiliki share kapasitas
produksi yang signifikan sehingga dapat dieksploitasi untuk short term profit. Sementara
untuk dominan jangka Panjang, perusahaan tersebut harus memiliki kemampuan untuk membatasi persaingan terutama terhadap eksisting pesaing dan potensial entrant. Kemampuan
tersebut bersifat posisi �long run
advantages� yang dapat mencegah
rival untuk mengembangkan kapasitasnya, dan potential entrant untuk invest dan masuk ke
pasar. Dan dalam hal ini, size perusahaan bukan factkr yang menentukan seberapa besar �long run
advantages� tersebut.
Terkait dengan durasi dari posisi dominan,
(Schmalensee, 1985)
menyatakan bahwa perusahaan yang memperoleh posisi dominan dalam jangka pendek
biasanya melalui merger akuisisi, yang tanpa memiliki advantages
terhadap pesaing eksisting, cenderung menunjukkan kinerja yang buruk dan akan kehilangan dominannya dalam waktu singkat.
Dalam kondisi yang berbeda, perusahaan dengan posisi dominan
dapat mempertahankan keunggulan nya apabia mereka memiliki
dan memanfaatkan keunggulan
yang bersifat strategis dan
operasional. Dengan adanya keunggulan strategis dan operasional tersebut, perusahaan dapat mempertahankan posisi dominannya, bahkan dapat saja
melakukan tindakan untuk melepas profit jangka pendek dalam
rangka mempertahankan pangsa pasar nya.
B. Kriteria posisi dominan
Perdebatan juga muncul dalam
penentuan posisi dominan seolah ingin menjawab pertanyaan How much
is too much. Berbeda dengan
definisi posisi dominan, terdapat kesamaan pandangan terkait beberapa kriteria atau parameter mengenai posisi dominan. Assesment terhadap sejauhmana pelaku usaha yang diduga memenuhi posisi dominan, menggunakan beberapa kriteria antara lain:
1. Pangsa
pasar
Sebagai indikator pertama (setelah melewati tahapan pendefinisian pasar bersangkutan), ukuran pangsa pasar diyakini memiliki korelasi positif dengan posisi dominan. Makin tinggi market share, makin dominan perusahaan tertentu di pasar yang bersangkutan. Perdebatan terjadi pada batasan sejauhmana perusahaan dikatakan memiliki posisi dominan dengan tingkat pangsa pasar tertentu. Competition tribunal Kanada dalam contohnya menyebutkan pangsa pasar 80% dapat disebut otomatis memiliki market power, sementara pangsa pasar dibawah 50% tidak dapat menjadi dasar bagi dugaan adanya posisi dominan.
Otoritas persaingan di Korea Selatan menggunakan indikator yang diatur dalam undang undang persaingan, dalam menentukan posisi dominan suatu perusahaan yaitu:
-
Perusahaan market leader
memiliki pangsa pasar 50% atau lebih;
-
Dalam pasar tertentu, tiga
besar perusahan memiliki pangsa pasar gabungan sebesar 75%;
-
Perusahaan dengan
pangsa pasar kurang dari 10% tidak diikutsertakan dalam assessment
posisi dominan;
Dalam penerapannya, di kasus yang melibatkan perusahaan Microsoft, KFTC menyatakan bahwa perusahaan memiliki pangsa pasar 77% untuk pasar operating system PC server dan hampir 99% untuk windows operating system untuk PC biasa. Dengan indikator tersebut, Microsoft dikatakan telah memenuhi definisi market dominant company. Dalam kasus lain, perusahaan BC Card, LG Capital dan Samsung Card secara gabungan memiliki pangsa pasar 72,3% untuk pasar cash advance services. Besaran pangsa pasar tersebut belum memenuhi kriteria market dominant company untuk tiga perusahaan terbesar (masih dibawah 75%).
Otoritas persaingan Amerika Serikat menggunakan indikator 50% untuk menduga bahwa perusahaan memiliki market power. Dimana pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar dibawah 50% dianggap tidak memiliki market power. Dalam beberapa kasus, pengadilan menyatakan perusahaan memiliki monopoly power dengan indikator market share 70-75% untuk periode 5 tahun baru dapat dikatakan ada indikasi monopoly power. Dalam pendekatan lain, perusahaan yang memiliki pangsa pasar diatas 50% dianggap tidak memiliki monopoly power karena tidak terbukti memiliki kemampuan untuk menentukan harga diatas kompetitif dalam jangka waktu tertentu.
Sementara otoritas persaingan EU juga menggunakan indikator pangsa pasar yang bervariasi. Dalam kasus yang melibatkan perusahaan telekomunikasi Wanadoo, didapat bukti peningkatan pangsa pasar perusahaan dari kisaran 40-50% menjadi 70-80% dalam periode 2 tahun (selama 2000-2002). Dalam kasus lain yang melibatkan Perusahaan AztraZaneca, perusahaan tersebut dianggap memiliki posisi dominan selama lima tahun dengan pangsa pasar sekitar 80-90% di Belgia dan sekitar 75% di Denmark.
Beberapa kasus terkait posisi dominan yang sudah ditangani oleh KPPU (khususnya pasal 25) juga menggunakan indikator pangsa pasar sebagai kriteria posisi dominan (sebagaimana memenuhi unsur pasal 25 ayat 2). Contoh kasus tersebut antara lain adalah perkara nomor 06/KPPU-L/2004 terkait dugaan penyalahgunaan posisi dominan untuk pasar produk batu baterai. Dalam kasus tersebut majelis komisi menilai terlapor sudah memenuhi kriteria sebagai perusahaan dengan posisi dominan berdasarkan kriteria pasal 25 ayat 2 dimana pangsa pasar mencapai 88% (melebihi batasan threshold 50% untuk satu pelaku usaha). Dalam kasus lain yang masih terkait dengan dugaan pelanggaran penyalahgunaan posisi dominan (Perkara Nomor: 14/KPPU-L/2015 terkait produk minuman olahan serbuk berperisa buah), Majelis Komisi menyatakan perusahaan terlapor, memenuhi kriteria posisi dominan berdasarkan kriteria pangsa pasar yang mengacu pada definisi posisi dominan di pasal 1 ayat 4 (pangsa pasar antara 80-84% selama periode pelanggaran). Berbeda dengan contoh kasus batu baterai yang menggunakan kriteria pangsa pasar berdasarkan pasal 25 ayat 2, Majelis komisi perkara menyimpulkan bahwa perusahaan terlapor memiliki posisi dominan karena �tidak memiliki pesaing yang berarti dalam pasar bersangkutan� berdasarkan indikator penguasaan pangsa pasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat 4.
2.
Entry barrier (hambatan masuk
pasar)
Entry barrier terbagi atas barrier regulasi dan barrier yang dibangun oleh incumbent (dalam bentuk skala ekonomi dan atau efek network). Hambatan regulasi pada umumnya paling banyak dijumpai dalam bentuk regulasi atau peraturan perijinan dan akses untuk masuk ke pasar. Sementara hambatan yang berupa skala ekonomi atau network effect, umumnya bersifat akumulatif jangka panjang, dimana pelaku usaha (incumbent) membutuhkan waktu dan skala investasi yang besar untuk mengembangkan kapasitas produksi dan jaringan distrbusi yang bersifat barrier bagi perusahaan lain. Makin tinggi barrier dikonotasikan dengan dampaknya yang memperkuat posisi dominan oleh incumbent, dan sebaliknya.
Penerapan analisa terkait entry barrier juga bervariasi antar otoritas karena tidak ada bentuk, kriteria atau parameter yang bersifat universal sebagaimana pangsa pasar. Otoritas pengadilan Amerika serikat dalam kasus Microsoft Corp dengan pangsa pasar mencapai 95% menyatakan bahw walaupun pangsa pasar Microsoft mencapai 95% (dengan istilah dominant-persistent dan increasing market share) tetap belum cukup untuk dikatakan memenuhi definisi monopoly power. Otoritas pengadilan menyatakan bahwa faktor entry barrier dalam kasus ini berupa teknologi aplikasi yang mempertimbangkan kebutuhan dan preferensi paling tidak dua pihak yaitu user konsumen dan para pembuat aplikasi. Pendekatan pasar bersangkutan yang digunakan dalam kasus ini dikenal dengan istilah two sided market atau multisided market. Suatu kondisi dimana terdapat operator (platform) yang berinteraksi dengan dua atau lebih pengguna, dimana terdapat cross network effect antar pengguna. Konsep multisided market seperti� ini mengacu ke beberapa publikasi, diantaranya (Hagiu & Wright, 2015) dan (Yang, 2018).
Penerapan analisa entry barrier di Korea
Selatan menunjukkan kondisi
yag serupa. Dalam kasus yag
melibatkan Microsoft untuk
pasar OS PC server dan OS PC, otoritas persaingan berpendapat bahwa dibutuhkan skala teknologi, SDM dan waktu serta investasi
modal yang substansial sebagai
yang disebut economic and technological entry
barrier. Dalam kasus
lain yang melibatkan perusahaan
kartu kredit, regulsi yang mensyaratkan perijinan dari government
agency dianggap sebagai
salah satu entry barrier karena
sejak 1995 tidak ada perijinan baru
untuk new comers, secara
tidak langsung menjadikan struktur pasar stabil bagi incumbent.
Penerapan analisa entry barrier di otoritas
EU dapat dijumpai pada contoh kasus Wanadoo
(perusahaan telekomunikasi-OTT).
Otoritas pengadilan persaingan berpendapat bahawa penguasaan jaringan distribusi serta Kerjasama eksklusif dengan perusahaan perusahaan advertising dapat dianggap sebagai hambatan untuk masuk ke pasar oleh pesaing potensial. Dalam kasus lain yang melibatkan Astra Zaneca di sektor farmasi, bentuk entry barrier dijumpai
dalam bentuk penguasaan HAKI (IP rights) dimana
sampai patennya habis, ijin untuk
masuk ke pasar produk obat tertentu
membutuhkan proses dan biaya
signifikan terkait ujicoba pre klinis dan klinis.
3.
Buyer power (Daya tawar Pembeli)
Parameter buyer power terkait dengan pihak yang berlawanan dalam transaksi dengan perusahaan yang diduga memiliki posisi dominan. Sejauhmana pihak tersebut memiliki daya tawar dan kekuatan untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan yang diduga dominan. Makin tinggi daya tawar atau kekuatan negosiasi para pembeli, makin rendah potensi dominan oleh perusahaan yang bersangkutan, dan sebaliknya. Sebagaimana entry barrier, assessment terhadap buyer power juga cenderung tidak memiliki kriteria atau indikator yang universal atau cenderung kualitatif.
Contoh penerapan assessment terhadap buyer power dapat dijumpai di Korea Selatan, dimana dalam kasus yang melibatkan perusahaan kartu kredit, salah satu jasa yang ditawarkan adalah cash advance services. Bentuk jasa tersebut dianggap sebagai alternatif dari jasa pemberian kredit yang umumnya membutuhkan prosedur formal yang panjang. Karena produk pembiayaan sulit untuk dijangkau atau dijumpai oleh konsumen, maka penawaran cash advancement oleh perusahaan kartu kredit dianggap satu satunya alternatif pembiayaan yang feasible bagi konsumen. Pengamatan otoritas persainhgan menunjukkan elastisitas permintaan yang makin kecil untuk produk tersebut. Bahkan dalam kondisi terjadi kenaikan suku bunga untuk cash advancement tersebut, permintaan terhadap produk yang bersangkutan tetap meningkat.
Contoh lain mengenai buyer power juga dapat dijumpai dalam kasus Astra Zaneca yang ditangani oleh otoritas persaingan Uni Eropa. Sebagaia bagian dari pembelaan
perusahaan, adanya posisi pembeli yang bersifat monopsoni dan peraturan batasan harga menjadi faktor
yang mematahkan tuduhan adanya posisi dominan
oleh perusahaan yang bersangkutan.
Posisi monopsoni
buyer dikaitkan dengan kebijakan asuransi dan perlindungan kesehatan sosial (social coverage) dimana
pihak penyelenggaran jaminan akan menjadi
pihak yang melakukan negosiasi lansung dengan perusahaan farmasi berdasarkan aturan harga yang ditetapkan regulator. Pertimbangan
dari otoritas persaingan EU untuk menolak arguman yang disampaikan perusahaan didasarkan pada dua kondisi yaitu demand terhadap obat cenderung
inelastic dimana pasien
pada umumnya tidak melakukan negosiasi langsung dan telah menjadi bagian dari sistem asuransi
kesehatan. Faktor kedua adalah walau
harga telah diregulasi, namun yang menentukan berapa banyak produk obat
untuk dikonsumsi (dosis penggunaan) adalah tenaga medis,
sehingga biaya pembelian obat (harga dikali volume pembelian) tidak menjadi keputusan pasien semata.
4.
Teknologi, inovasi dan efek
jaringan
Perkembangan teknologi dan innovasi
umumnya mengarah kepada efisiensi dan produktifitas. Namun dalam konteks ini,
inovasi dan teknologi yang berkembang diduga dapat menguatkan posisi dominan pelaku usaha tertentu
sebagaimana yang terjadi dengan perusahaan-perusahaan teknologi yang harus berurusan dengan otoritas persaingan di berbagai negara (kasus yang melibatkan google, Microsoft facebook
dan lain-lain). Dalam kondisi
ini, kemungkinan posisi dominan yang dikaitkan dengan teknologi dan inovasi, banyak berhubungan dengan konsep data driven
market dan atau penguasaan
bigdata. Pendalaman mengenai
posisi dominan dan bigdata ini dapat mengacu
pada beberapa publikasi, antara lain MGI:
(Manyika et al., 2011).
Efek jaringan dan skala
ekonomi dalam penguasaan dan pengolahan bigdata
dapat menjadi salah satu faktor entry barrier
yang menguatkan posisi dominan perusahaan tertentu, sebagaimana pendapat beberapa studi yang dirangkum oleh (Ciuriak, 2018).
Efek entry barrier juga dapat
ditimbulkan oleh penguasaan
HAKI (IP rights) terkait teknologi
yang berpotensi meningkatkan
konsentrasi pasar (Wagner, 2015).
Terdapat semacam kesamaan
pandangan bahwa kriteria market share dapat
menjadi indikator awal sebuah perusahaan
memiliki posisi dominan, namun satu indikator tersebut saja tidak
cukup. Assessment harus
dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria lain seperti yang sudah dibahas diatas. Poin perdebatan pro kontra banyak berkisar
kepada sejauhmana satu kriteria bisa
mempengaruhi analisa posisi dominan berbanding dengan kriteria lainnya.
Belum lagi terdapat kondisi yang menunjukan bahwa kriteria non market share lebih
banyak bersifat subyektif dan kualitatif, sehingga penggunaanya dari sisi validitas
masih banyak menjadi perdebatan para pihak. Sebagaimana diuraikan oleh Eberhard (2006) bahwa
Komisioner EU beberapa kali
menggunakan parameter sosial
dan politik untuk memperkuat assessment terkait
posisi dominan. Kondisi terdebut berpotensi melewati cakupan hukum persaingan
usaha seperti masuk dalam wilayah perlindungan UMKM dan aspek lain. Dalam paper yang sama, Eberhard (2006) juga menyampaikan:
�The Commission� s flexible criteria of analysis increase the problem of legal
uncertainty that undertakings face when they act on the European market. This
legal uncertainty has grown with the Court of First Instance holding that the
Commission must restate the actual relevant market and the conditions of
competition whenever it applies Article 82 EC�.
Sebagaimana disampaikan oleh Arezano (2006) bahwa penggunaan faktor di luar market share cenderung menimbulkan ketidakjelasan dalam penentuan dominan terutama terkait interaksi antar berbagai kriteria tersebut. Apakah diperlukan mekanisme pembobotan dimana kriteria market share memperoleh bobot yang lebih besar dibanding kriteria lain. Skenario yang mungkin terjadi dengan implementasi multiparameter terkait dugaan posisi dominan dapat mengarah ke dua bentuk kemungkinan.
Skenario pertama dimana ada perusahaan (PT. A) dengan market share secara
meyakinkan diatas batas dominan (> 80%). Terdapat kekhawatiran bahwa parameter pangsa pasar yang
signifikan akan melaihrkan presumptions bahwa perusahaan tersebut harus terbukti dominan, sehingga otoritas persaingan akan mencari justifikasi
tambahan melalui tiga kriteria lain (dengan argumen kualitatif dan kuantitatif). Dalam kondisi ini,
pihak perusahaan dan pengacara akan berusaha (secara all out) untuk menggunakan tiga parameter lain (entry barrier, buyer power dan teknologi innovasi) untuk mematahkan dugaan awal posisi
dominan berdasarkan pangsa pasar. Concern ini disampaikan oleh White (2013) yang pada intinya
adalah menyampaikan bahwa penghitungan market power melalui selisih antara price dengan marginal
cost cenderung beresiko
dalam penafsirannya. Setiap selisih positif antara harga dengan marginal cost
akan selalu dikonotasikan dengan market
power. Bahkan dalam kondisi dimana perusahaan yang efisien berusaha untuk memperbesar posisi startegis nya dibanding
pesaing, yang kemungkinan akan mengakibatkan deviasi harga diatas
marginal cost.
Skenario kedua, dimana ada perusahaan yang penguasaan pangsa pasar nya masih di bawah
threshold tertentu (contoh
< 30%) akan tetapi terdapat informasi yang menunjukkan adanya entry
barrier yang signifikan, kesulitan
konsumen untuk beralih ke produk
lain serta terdapat skala teknologi-jaringan yang memungkinkan perusahaan tersebut untuk mengeksploitasi pasar yang bersangkutan
secara unfair. Sejauhmana
respon dari otoritas persaingan yang �terikat� untuk menggunakan parameter pangsa
pasar sebagai indikator awal. Tentunya kembali akan terjadi
adu argumentasi terkait pembuktian ketiga parameter (selain pangsa pasar) yang akan menentukan sebuah perusahaan memiliki posisi dominan atau tidak.
Kesimpulan
Perdebatan mengenai
konsep posisi dominan masih akan
terus berkembang, sebagaimana perkembangan konsep ilmu ekonomi
dan hukum yang melandasinya.
Perbedaan substansial dalam definisi posisi dominan terdapat antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat. Namun demikian, tafsir dan metodologi dalam penentuan posisi dominan yang terjadi antar otoritas
persaingan relatif homogen terutama mengenai krieria yang digunakan. Masih terdapat ruang dimana perdebatan
konsep dan metodologi terutama terkait interaksi antar kriteria yang diperlukan untuk menentukan seberapa besar peluang perusahaan untuk memenuhi kriteria posisi dominan. Lebih jauh lagi, assessment posisi dominan dalam era ekonomi digital serta data driven market dan bigdata juga akan menjadi tantangan
yang substansial ke depan.
Bresnahan, Timothy F. (1989). Empirical studies of
industries with market power. Handbook of Industrial Organization, 2,
1011�1057. Google Scholar
Ciuriak, Dan. (2018). The economics of
data: implications for the data-driven economy. Google Scholar
Foreclosure, Predatory. (n.d.). Evidentiary
Issues in Proving Dominance. Google Scholar
Hagiu, Andrei, & Wright, Julian.
(2015). Multi-sided platforms. International Journal of Industrial
Organization, 43, 162�174. Google Scholar
Hasbullah, M. Afif. (2020). Penegakan Hukum
Persaingan Usaha Dalam Sektor Ekonomi Digital. Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen,
Ekonomi, & Akuntansi), 4(1), 582�597. Google Scholar
Lubis, Andi Fahmi. (2012). Market Power
Perbankan Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 14(3),
235�255. Google Scholar
Manyika, James, Chui, M., Brown, B.,
Bughin, J., Dobbs, R., Roxburgh, C., & Byers, A. H. (2011). Big data:
the next frontier for innovation, competition, and productivity. McKinsey
Global Institute, McKinsey & Company. Insights & Publications.
http://www. mckinsey. com/Insights/MGI/Research �. Google Scholar
Schmalensee, Richard. (1985). Standards
for dominant firm conduct: what can economics contribute? Google Scholar
Syafri, Yan, & Lubis, Andi Fahmi.
(2008). Estimasi Tingkat Persaingan Dalam Industri Perbankan Indonesia:
Pendekatan Panzar�Rosse Model. Jurnal Kebijakan Ekonomi, 4(1),
1�16. Google Scholar
Wagner, Stefan. (2015). Are �Patent
Thickets� Smothering Innovation? Yale Insights, 22. Google Scholar
Yang, Sung Yoon. (2018). Rethinking modes
of market definition for multi-sided platforms. International Journal of
Trade, Economics and Finance, 9(4), 164�169. Google Scholar
Copyright holder: M. Afif Hasbullah (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |