����� �Syntax
Literate : Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
������
e-ISSN : 2548-1398
������
Vol. 3. No. 10 Oktober 2018
NILAI-NILAI DAKWAH ISLAM DAN BUDAYA SUNDA DALAM WAYANG
GOLEK PADA TOKOH ASTRAJINGGA LAKON CEPOT KEMBAR (ANALISIS SEMIOTIKA UMBERTO
ECO)
Andri Hendrawan dan Rizka Yulianti
Sekolah Tinggi
Ilmu Agama Persatuan Islam (STAIPI) Persis Bandung
Email: [email protected]
dan [email protected]
Abstrak
Nilai-Nilai
dakwah adalah pesan yang berisi intisari ajaran agama Islam yang meliputi
aqidah, syariah, dan akhlak yang harus disampaikan kepada seluruh umat manusia
khususnya umat Islam. Dalam proses berdakwah seorang da�i harus menguasai pengetahuan tentang kondisi objek
dakwahnya. Salah satu objek
dakwah. adalah masyarakat Sunda yang bertempat di Jawa Barat. Di samping itu.
nilai dakwah dalam proses penyampaiannya diperlukan sebuah media. Salah satu
media dakwah yang ada di Jawa Barat adalah wayang golek. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai dakwah apa sajakah yang ada dibalik
pertunjukkan sebuah wayang. Salah satunya
adalah� Lakon Cepot Kembar sekaligus
untuk mengetahui karakteristik masyarakat Sunda sebagai salah satu objek
dakwah. Penelitian ini dilakukan dengan mengobservasi video Lakon Cepot Kembar
untuk kemudian dianalisis video mana sajakah yang mengandung nilai-nilai dakwah
dan budaya Sunda. Hampir semua 11 video dalam lakon Cepot Kembar tersebut
teridentifikasi mengandung nilai-nilai dakwah dan budaya Sunda. Yang dapat
dilihat dari dialog atau bahasa yang digunakannya. Adapun nilai-nilai dakwah
Islam yang ada di dalamnya meliputi [1] Aqidah: iman kepada Allah. [2] iman
kepada Kitab-Nya. [3] iman kepada Rasul-Nya. [4] iman kepada takdir (qadha dan qadar). [5] iman kepada hari akhir. Yang tidak dibahas dalam video ini hanyalah iman kepada
malaikat. Adapun karakteristik masyarakat suku Sunda sangat terlihat jelas
dalam video lakon ini dari segi budaya bahasanya. Lakon Cepot Kembar ini secara
kesuluruhan ditinjau dari an�lisis semiotika Umberto Eco dari segi kata-kata
dan atau bahasa. banyak mengungkapkan tentang nilai-nilai dakwah Islam yang
meliputi akidah. syariah. dan akhlak. Sekaligus mencerminkan bagaimana
karakteristik budaya masyarakat Sunda yang tergambar dalam peribahasa-peribahasanya.
Sebab itu. kegiatan menulis buku mengenai gagasan dan pengetahuan mengenai
wayang golek dan budaya Sunda sudah semestinya untuk lebih giat dilaksanakan
lagi guna membangun masyarakat yang berbudaya dan berperadaban.
Kata Kunci: Nilai Dakwah, Wayang Gole, Analisis Semiotik.
Pendahuluan
Islam diturunkan ke bumi dengan membawa misi rahmatan lil alamin (kesejahteraan
untuk seluruh alam). dengan misi tersebut Islam memposisikan diri sebagai agama
yang akomodatif dan persuasif dalam menghimpun dan
menyempurnakan ajaran keagamaan yang telah ada sebelumnya. Sejak awal
kehadirannya di muka bumi. Islam terus melakukan sebuah ekspansi dalam menyebarkan
ajaran rahmatnya ke seluruh penjuru bumi. Kegiatan tersebut dikenal dengan
istilah Dakwah.
Dakwah adalah upaya mentransformasikan pesan-pesan ajaran keagamaan
(Islam). �kepada seluruh manusia di penjuru bumi sebagai
ajaran yang membawa misi Rahmatan lil alamin (kesejahateraan bagi
seluruh alam). Dalam proses menginternalisasikannya. dakwah memiliki materi
atau pembahasan tertentu. yang disebut dengan pesan dakwah atau nilai-nilai
dakwah. Niali-nilai dakwah Islam sebagai sebuah ajaran agama memiliki tiga
dimensi. diantaranya akidah. syariah dan muamalah atau akhlak.
Akidah secara harfiah artinya ialah ikatan. Akidah menjadi sangat urgent
untuk diinternalisasikan ke dalam pemahaman manusia karena akidah akan
menghasilkan sebuah sikap iman kepada Allah swt. kitab-kitab Allah. rasul-rasul
Allah. juga kepada qadha dan qadhar-Nya atau takdir. Dari
pemahaman terhadap akidah akan menghasilkan sebuah sikap yang disebut dengan
kesadaran bersyari�ah (beribadah kepada Allah dengan ikhlas). Dari
kesadaran untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas itulah kemudian
menghasilkan sebuah sikap hidup yang lurus dan berintegritas satu sama lain
untuk kebenaran dan kesejahteraan yang disebut akhlak.
Sebab itulah
dakwah menjadi penting dan merupakan kebutuhan bagi setiap manusia. Tetapi
meskipun dakwah adalah sebuah hal yang penting dan dibutuhkan bagi setiap
manusia. pada realitanya terdapat anomaly bahwa tidak semua manusia suka
dan mau untuk menerima dakwah. Dalam hal ini. dakwah juga erat kaitannya dengan
hidayah atau petunjuk dalam berdakwah. juga dibutuhkan sebuah media atau
alat yang dapat digunakan sebagai penyampai nilai ajaran Islam. dan salah satu
media yang dapat digunakan untuk berdakwah di daerah Jawa Barat (untuk orang
Sunda) adalah wayang golek. Wayang golek dalam substansinya sebagai sebuah
karya seni yang luhur juga memiliki banyak simbol yang di tunjukkan dalam
bentuk warna. ekspresi. bahasa. dan lainnya yang dapat diketahui melalui kajian
semiotika.
Di samping itu. wayang golek yang mempunyai fungsi sebagai media
komunikasi (penyampai pesan). ternyata memiliki karakteristik yang unik
dibandingkan dengan media komunikasi lainnya. sebab didalam setiap lakon dan
cerita pewayangan tersebut mengandung unsur kebudayaan yang menjadi sebuah
representasi atas kehidupan masyarakat di suatu wilayah tertentu. yang dalam
hal ini adalah masyarakat Sunda.
Metode
Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
yaitu dengan memperhatikan permasalahan yang ada. sebuah metode penelitian yang
bersifat normatif dan deduktif. Pendekatan yang digunakan dalam metode
penelitian ini adalah kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku.
persepsi. motivasi. tindakan. dan lain-lain. Secara holistik. dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
menempatkan berbagai metode alamiah.
Pendekatan kualitatif� adalah
jenis penelitian yang meghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai
(diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan
cara-cara lain atau kuantifikasi (pengukuran).
Penelitian ini dilakukan dengan cara melihat sebuah video mengenai tokoh
Astrajingga/Cepot dalam sebuah pertunjukkan wayang yang berjudul �Cepot
Kembar�. Untuk kemudian dilakukan sebuah penelitian dalam bentuk metode
deskriptif yakni suatu jenis penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan
mneginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya. Sedangkan tujuan utama dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui variabel dan indikator tentang suatu
makna dari simbol budaya Sunda yang dimiliki atau dipakai oleh tokoh
Astrajingga/Cepot yang memiliki nilai-nilai dakwah. Biasanya. penelitian
deskriptif seperti ini menggunakan metode survey.
1. Jenis Data����������������������������������������������������������������������������������
����������� Jenis data yang digunakan adalah
kualitatif yang menggambarkan makna-makna dibalik simbol budaya Sunda pada
tokoh Astrajingga/Cepot yang memiliki nilai-nilai dakwah didalamnya. dalam
sebuah video pertunjukkan atau lakon wayang golek yang berjudul �Cepot Kembar�
.
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer : adalah video
pertunjukkan wayang golek yang berjudul �Cepot Kembar�.
b. Sumber
Data Sekunder : adalah berupa dokumentasi dari catatan. buku-buku. majalah.
foto. video. film. dan arsip data juga data lainnya yang ada hubungannya dengan
penelitian ini.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan video dan gambar Cepot. peneliti menonton file dari
media internet. Gambar atau video itulah yang kemudian
dijadikan bahan untuk menganalisis penelitian ini. Untuk melengkapi data
penelitian dipergunakan pula studi kepustakaan untuk mencari referensi yang
sesuai dengan tujuan penelitian.
����������� Adapun untuk pelaksanaan penelitian ini. teknik
pengumpulan data yang akan dilakukan adalah melalui: �����������������������������������
a. Observasi (pengamatan)
����������� Observasi adalah studi yang
disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala alam dengan jalan
pengamatan dan pencatatan. Observasi adalah pengujian secara intensional atau
bertujuan untuk sesuatu hal. khususnya untuk maksud pengumpulan data. yang
merupakan satu verbalisasi mengenai hal-hal yang diamati.
����������� Observasi
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengamati video pertunjukkan wayang
golek yang berjudul �Cepot Kembar�.
b.� Wawancara
����������� Wawancara
(interview) adalah suatu percakapan. tanya jawab lisan antara dua orang
atau lebih yang duduk berhadapan secara fisik dengan bertatap muka dengan
tujuan untuk memperoleh informasi faktual.
c.
Dokumentasi
����������� Metode
dokumentasi adalah suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen
berupa catatan yang tersimpan, yaitu catatan, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen, agenda. dan sebagainya. Dokumen sebagai sumber data banyak
dimanfaatkan oleh para peneliti, terutama untuk menguji, menafsirkan dan bahkan
untuk meramalkan.�
4.
Analisis Data
����������� Analisis
data adalah menguraikan data, mencari. mengkaji dan mengolah data yang telah
terkumpul dengan sistematis dari pencatatan hasil wawancara, observasi,
dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai masalah yang sedang
diteliti sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang bermanfaat dengan cara dianalisis
menggunakan pendekatan kualitatif.
����������� Teknis
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
semiotika model Umberto Eco seperti signifikasi dan komunikasi yang dibingkai
dalam sebuah metode yang disebut teori kode dan teori produksi tanda, yang
digunakan untuk menguraikan makna dibalik sebuah simbol, dalam hal ini simbol-simbol
yang terdapat pada tokoh Astrajingga/Cepot dalam sebuah video pertunjukkan
wayang golek yang berjudul �Cepot Kembar�. Eco menyebutnya, bahwa signifikasi
adalah sebuah metode untuk mengurai makna secara hakikat dari adanya sebuah
simbol itu diciptakan. Adapun interpretasi komunikasi adalah sebuah metedo
pengurai makna untuk mengetahui maksud (fungsi) dibalik si pembuat tanda dengan
yang memberi tanda.
Konten Analisis pada teori semiotika umum menggunakan teori signifikasi
dan komunikasi yang terdiri dari teori kode dan teori produksi tanda kemudian
menyimpulkan.
Hasil dan Pembahasan�
�1. Sinopsis Lakon Cepot Kembar
Lakon Cepot
Kembar ini bukan dalam arti Cepot mempunyai saudara kembar. melainkan ada satu
wayang yang menyamar menjadi Cepot, sehingga seolah-olah dalam lakon tersebut
Cepot mempunyai saudara kembar. Dewa Sang Hyang Tunggal sengaja menyamar
menjadi Cepot untuk memberikan satu pengajaran kepada masyarakat wayang yang
tinggal di suatu negeri yang bernama Amarta. �Konon di negeri tersebut sering sekali terjadi
huru-hara. rakyatnya banyak yang berdemo. alamnya banyak terjadi musibah. dan
huru-hara lainnya. Usut punya usut. kekacauan yang terjadi pada saat itu.
dikarenakan banyak masyarakatnya yang sudah meninggalkan norma-norma masyarakat
yang seharusnya mereka laksanakan. yang sudah tertuang dalam point-point Layang
Jamuskalimusada.
Amarta ini
merupakan suatu negara bagian dari Hastinapura. Hastinapura merupakan pusat
kerajaan dalam cerita pewayangan dalam kitab Mahabharata. Jika dibandingkan
dengan kerajaan yang ada di Nusantara. maka Hastinapura ini ibarat kerajaan
Majapahit yang mempunyai kerajaan-kerajaan turunan yang memiliki raja dan
sistem pemerintahan tersendiri. seperti kerajaan Demak. Mataram. Blambangan dan
lainnya.
Amarta ini
merupakan kerajaan yang didirikan oleh para Pandawa. karena kerajaan
Hastinapura yang merupakan kerajaan peninggalan dari ayah Pandawa dikuasai
secara licik oleh saudaranya yakni dari golongan Kurawa.
Amarta adalah
sebuah negara yang mempunyai falsafah negara yang disebut Pancadharma. dan
diwujudkan dalam bentuk simbol Layang Jamuskalimusada. Layang Jamuskalimusada
ini adalah simbol dari keagungan negara Amarta yang berisikan falsafah
bernegara. masyarakat Amarta.
Pada suatu waktu.
diceritakan di tempat itu banyak masyarakat mulai dari petinggi-petingginya
samapai dengan rakyat jelatanya telah banyak melupakan intisari dari Layang
Jamuskalimusada tersebut yang mengakibatkan banyak terjadi kehancuran dan
kekacauan dalam negara tersebut. Karena itu Dewa Sang Hyang Tunggal turun ke
Amarta berwujud si Cepot untuk kemudian mencuri Layang Jamuskalimusada agar
kemudian para petinggi pemerintahan sibuk mencarinya. dan pada saat itulah
kemudian Dewa Sang Hyang Tunggal bisa menyampaikan suatu pengajaran kepada
masyarakat supaya kembali kepada dasar falsafah bernegara mereka.
������ Layang
Jamuskalimusada ini merupakan lambang keagungan bagi sebuah negara di pawayangan
yakni negara Amarta. Layang Jamuskalimusada ini bisa mempunyai dua makna yakni
sebagai simbol keagungan falsafah negara dan kalau dalam keagamaan berupa kitab
suci. Masyarakat petinggi dan rakyat selalu membanggakan lambang tersebut
tetapi tidak paham terhadap apa yang menjadi isi dari lambang keagungan
tersebut. Mereka berbangga dengan Layang Jamuskalimusada ini. sebab hanya
kerajaan merekalah yang memiliki lambang keagungan tersebut yang dengannya masyarakat
yang plural dapat disatukan dalam satu falsafah negara yang mampu menyatukan
mereka dalam ideologi hingga aktivitas diri dalam bernegara.
Point-point yang
terkandung dalam Layang Jamuskalimusada ini ada lima yang disebut dengan
Pancadharma. Panca artinya lima dharma artinya dasar. Diantaranya ialah:
ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Setelah
mengetahui bahwa Layang Jamuskalimusada telah dicuri oleh si Cepot, kemudian
para tentara negara atau wayang dari kalangan ponggawa sibuk mencari keberadaan
si Cepot yang konon katanya melarikan diri ke sebuah hutan bernama Tumaritis. Setelah
bertemu. Cepot dan para Ponggawa berdebat atau beradu argumen, diantaranya ada
yang sadar ada yang tidak, Diantara yang sadar adalah Bima yang berperan
sebagai Gubernur dalam kerajaan Amarta.
Kisah akhir dari
lakon Cepot Kembar ini ialah, bahwa semua petinggi atau semua staf pemerintahan
dalam kerajaan Amarta menjadi sadar, bahwa selama ini mereka terlalu memuja
simbol Layang Jamuskalimusada tetapi tidak pernah mengamalkan satu point pun
dalam kelima pancadharmanya. Diantaranya. para pemimpin selalu berlaku
sewenang-wenang kepada rakyat, selalu main hakim sendiri dan berlaku kasar
kepada� rakyat jelata, tetapi saling
bersatu dan berkasih sayang kepada rakyat yang memang mempunyai kedudukan
tinggi dalam kerajaan. Sedangkan Layang Jamuskalimusada mengajarkan agar
masyarakat senantiasa berlaku kemanusiaan dengan mengedepankan rasa kasih dan
sayang.
2.
Deskriptif Naratif Lakon Cepot Kembar
a. Backsound: Kawih (Lagu)
Sinden� : �Ngawitan bubuka lagu anu asli warisan
pujangga urang nu wajib dipusti-pusti dasar pangiring dina pagelaran wayang.�
Nayaga : �Kabudayaan. kasenian ka putra putri
Indonesia dangerkeun�
Sinden� : �Imarjina seni wayang lir jalma. wayang
hirup ku dalangna jalma hirup ku gustina. Lalakon di pawayangan mangrupi hiji
gambaran. Timbul seni dina wayang lir jalma nu kumeledang boga ciri anu pasti
watek nu ngancik na diri. Wayang simbol keur manusa masing-masing teu sarua
gelaran di alam dunya boga watek anu beda. watek anu beda-beda.�
b. Pembukaan: Narasi
Dalang: �Nyalindung abdi ka gusti dina
mangpirang-pirang godaan setan anu dilaknat. Kalayan asma-Na Allah anu kagungan
sifat murah sifat asih. Maksad medar carita wayang nu jadi perlambang hirup
manusa nu gelar di marcapada. Hasil nulis para wali anu di reka ku para pujangga
disusun ku para empu linuhung. Hasil gawe bareng. para leluhur anu parantos
ngantunkeun. Margi ieu carita wayang teh teu lepas tina simbul silip sindir
siloka jeung sasmita. eta nu jadi pipinding guareun urang sadaya di ieu alam
marcapada. Kacarios di hiji tempat. nyaeta hiji tempat anu kalingkung ku
gunung-gunung, hejo lemok tutumuhan rajegna, hejo lemok dangdaunan rajegna
tutumuhan, cur cor cai anu harerang, margasatwa ti sarada. Manuk
gede manuk leutik pasuliweur, kembang-kembang warna-warni mapaes pantes. Teu aya sanes ieu patempatan teh, nyaeta pertapaan
parewana dialas Saptarengga.�
3. Analisis Semiotika Nilai-Nilai
Dakwah dan Budaya Sunda Pada Tokoh Astrajingga Dalam Lakon Cepot Kembar.
Identifikasi dan klasifikasi tanda pada
penelitian ini dilakukan dengan mengadaptasi jenis-jenis tanda dalam �Lakon
Cepot Kembar� berdasarkan hubungan objek dengan tanda yang dikemukakan oleh
Umberto Eco mengenai Teori Kode dan Teori Produksi Tanda (Fungsi-Tanda) pada
kata-kata dan makna dengan mengikuti teori Hjelmslev yang membagi kajian
linguistik kepada dua objek yakni ekspresi (penanda) dan isi (petanda).
Pada dialog yang dibawakan oleh tokoh
Astrajingga dalam �Lakon Cepot Kembar�, dapat diidentifikasi dan
diklasifikasikan beberapa jenis tanda yang mempunyai keterkaitan antara objek
dengan tanda, diantaranya adalah pada tabel berikut:
a.
naon
anu di pi lahir ku nabi eta naon? Nyaeta depe-depe handaap asor, tawadhu,
nyaahan, deudeuhan, welasan, asihan.
Artinya:
apa yang dilahirkan oleh nabi. Yaitu
tawadhu (rendah hati), pengasih dan penyayang.�
Signifikasi (Teori Kode) |
||
Isi |
Substansi |
Ajaran agama
yang disampaikan oleh nabi. |
Bentuk |
|
|
Ekspresi |
Bentuk |
naon anu di pi
lahir ku nabi? apa yang dilahirkan oleh nabi |
Substansi |
tawadhu,
nyaahan, deudeuhan, welasan, asihan |
Tabel 1.
Signifikasi (Teori Kode)
Komunikasi (Teori Produksi Tanda) |
||
Pesan |
Wahana Tanda (Penanda) |
naon anu di pi lahir ku nabi eta naon. Nyaeta
depe-depe handaap asor, tawadhu, nyaahan, deudeuhan, welasan, asihan. apa
yang dilahirkan oleh nabi. Yaitu tawadhu
(rendah hati), pengasih dan penyayang |
Makna (Petanda) |
Ajaran agama yang dibawakan oleh nabi itu adalah
sebuah sikap berupa tawadhu, dan saling mengasihi. |
Tabel 2. Komunikasi (Kode Produksi Tanda)
Substansi
ekspresi yang ada dalam teori kode semiotika signifikasi dalam dialog Cepot
Kembar tersebut, adalah manifestasi nilai dakwah mengenai aqidah yakni keimanan
kepada nabi dan ajarannya. Salah satunya adalah ajaran mengenai urgensi akhlak
berupa tawadhu dan saling menyayangi sesama. Agama
yang mengajarkan akhlak tersebut adalah Islam, yang disampaikan oleh nabi yang
bernama Muhammad SAW. Kemudian, itu pun menjadi makna pesan komunikasi
berdasarkan teori produksi tanda (fungsi tanda) dalam fenomena kutipan
kata-kata dalam dialog Lakon Cepot Kembar tersebut.� Berdasarkan wahana tanda dalam teori produksi
tanda semiotika komunikasi, dapat dipastikan bahwa tanda tersebut disampaikan
dengan membawa tujuan tertentu sesuai dengan kehendak dari Penanda.
Ungkapan Cepot
tersebut, jika dikaitkan dengan realita masyarakat saat ini, bermakna sangat
dalam, supaya jangan sampai ketika mengaku cinta kepada nabi kemudian
diwujudkan dengan hanya memperingati hari kelahirannya saja. Disamping hal itu
memang tidak pernah dicontohkan oleh Rasul dan para sahabat, tetapi makna
paling dalam dari mengaku cinta kepada nabi menurut Cepot adalah dengan
mengamalkan semua ajaran yang disampaikan-Nya. Pengakuan cinta kepada nabi,
akan menjadi batal apabila hanya direfleksikan dalam bentuk hura-hura
mengadakan pekan raya dalam rangka memperingati maulid nabi tetapi
menjalankan ibadah shalatnya masih jarang, zakat enggan, shaum tidak pernah,
maka menurut Cepot hal yang demikian adalah hal yang tidak esensial (tidak
bermakna).
Kesimpulan
Dari hasil temuan penelitian dan pembahasan simpulan yang diperoleh dari
data objek penelitian yakni video dialog dalam Wayang Golek Pada Tokoh Astrajingga
Lakon Cepot Kembar, adalah sebagai berikut:
1. Nilai-Nilai Dakwah
����������� Nilai-nilai dakwah yang ditemukan
dalam video dialog Wayang Golek Pada Tokoh Astrajingga Lakon Cepot Kembar yang
diteliti menyimpulkan bahwa sang dalang maestro alm. Asep Sunandar Sunarya.
memasukan nilai-nilai dakwah yang meliputi:
2. Budaya Sunda
����������� Nilai mengenai budaya Sunda yang
menjelaskan mengenai karakteristik masyarakat Sunda pun terkandung dalam video
dialog Wayang Golek Pada Tokoh Astrajingga Lakon Cepot Kembar. diantaranya
adalah dialog-dialog yang memakai bahasa Sunda dan peribahasa Sunda. seperti:
BIBLIOGRAFI
Abuddin Nata. 2013. Metodologi
Studi Islam. Jakarta. Rajawali Pers.
Asy
Syaikh �Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh.Terjemah Fathul Majid Syarah Kitab
Tauhid. Banyumas. Buana Ilmu Islami. cet. ke-1. Jilid-1.
Sobana
Hardjasaputra. 2005. Ngahuma: Suatu Pola Pertanian Tradisional di Jawa� Barat Tinjauan Sejarah. Jurnal
Universitas Padjadjaran Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah.
Abdullah Gymnastiar. 2012. �Istiqamah Jalan Kemuliaan. Bandung. SMS Tauhid. cet.ke- 2.
Alex Sobur. 2009. �Semiotika Komunikasi. Bandung. Rosdakarya. cet.ke-4.
AD. EL. Marzdedeq. 2012. Parasit Akidah. Bandung. Sygma Arkanleema.
Ajip Rosidi. 2010. Mencari Sosok
Manusia Sunda. Jakarta. Pustaka Jaya. cet.
ke-1.�
Asep
Sunandar Sunarya. Wayang Golek Lakon Cepot Kembar. Youtube.
Antara Layang
Jamuskalimusada dan Pancasila. www.google.com
Bambang
S. Ma�arif. 2010. Komunikasi Dakwah Paradigma Untuk Aksi. Bandung.� Remaja Rosadakarya. cet.ke-1.
Chris
Jenks. 2013. Culture Studi Kebudayaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. cet.ke-1.
�
Deden Sumpena. 2012. Islam dan Budaya
Lokal: Kajian terhadap Interelasi Islam dan�����
Budaya Sunda. Jurnal Ilmu Dakwah Dosen UIN
Sunan Gunung Djati Bandung. vol. 6 No. 19. Edisi Januari-Juni.
Dedi Mulyana. 2015.
Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung. Remaja
Rosdakarya. �Cet.Ke-15.
Erni Hastuti. 2015. Petatah Petitih
Kearifan Lokal Ekonomi dan Bisnis Masyarakat �Minang Pedagang Rantau di Jakarta. Jurnal Prosiding PESAT (Psikologi. Ekonomi. Sastra.
Arsitektur & Teknik Sipil) Uiversitas Gunadarma- Depok-20-21 Oktober (2015).
Emmanuel
Sujatmoko. 2010. Hak Warga Negara Dalam Memperoleh Pendidikan. �Jurnal Konstitusi. Volume 7. Nomor 1.
Februari.
Faizal. 2014. �Sosisologi Dakwah: Studi Tentang Obyek Forma dan
Material Sosiologi �Dakwah. Jurnal Ilmu Dakwah da Perkembangan Komunitas Vol. 9
No.1 Januari.
Firdaus
Saleh. 2005. Teknologi Tepat Guna. Masyarakat dan Kebudayaan. Bandung.� Kreasi Wacana. cet.ke-1.
Ghofir.
2013. Nilai Dakwah Dalam Kebudayaan Wayang: Pemaknaan Atas Cerita� Dewa Ruci. Jurnal Dakwah. �
Hayu
A�la Aslami. 2016. �Konsep Tazkiyatun
Nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali. Skripsi Fakultas
Tarbiyyah Ilmu Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam. Salatiga:
Institut Agama Islam Negeri.
John Fiske. 2012. Pengantar Ilmu
Komunikasi. Jakarta. Rajagrafindo
Persada. ed. 3.� �cet.ke-1.
Jamalia Idrus. 2011. Makna Fi
Sabilillah Dalam Al-Qur�an (Suatu Kajian Tafsir�
Maudu�iy). Skripsi Sarjana
Ushuluddin. (Riau: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.
Ki Moesa A. Machfoeld. 2004. Filsafat Dakwah
Ilmu Dakwah dan Penerapannya.� Jakarta. Bulan Bintang. cet. ke-2.�
Mohammad
Natsir. 2015. Islam dan Akal Merdeka. Bandung. Sega Arsy. cet.ke-1.
Maman Sumantri. Atjep
Djamaludin. dkk.
1985. Kamus
Sunda-Indonesia. (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nashruddin
Syarief. 2010. Menangkal Virus Islam Liberal. Bandung. Persispers. �cet.ke-1.
Nurudin.
2012. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta. Rajawali Pers. ed-1. cet.ke-6.�
Onong
Uchjana Effendy. �2008. Dinamika Komunikasi.
Bandung. Remaja Rosdakarya. �cet.ke-7.
R.
Gunawan Djajakusumah. 1973. Pengenalan Wayang Golek Purwa Di Jawa Barat. Bandung.
Lembaga Kesenian Bandung/Perpustakaan ASTI � Bandung.
Ramdani
Wahyu. 2008. Ilmu Budaya Dasar. Bandung. Pustaka Setia. cet.ke-1.
Shiddiq Amin. Entang Mukhtar.
dkk.
2007. Panduan Hidup Berjama�ah
Dalam� Jam�iyyah Persis.
Bandung:
Pimpinan Pusat Persatuan Islam. cet.ke-1.
Surajiyo.
Jurnal Desain Keindahan Seni Dalam Perspektif Filsafat. Program Studi �Teknik
Informatika. Fakultas Teknik dan� MIPA.
Universitas Indraprasta PGRI. Jakarta Selatan.
Tata Sukayat. 2005. Ilmu Dakwah. Bandung. Simbiosa Rekatama Media. cet.ke-1. �
Umberto Eco. 2015. Teori Semiotika
Signifikasi Komunikasi. Teori Kode. Serta Teori�
Produksi-Tanda. Bantu. Kreasi
Wacana. cet.ke-5.
Udin
(Pecinta Wayang Golek asal Subang). Hasil Wawancara: Bandung 2 Agustus �2018.
Wahyu Ilaihi. Hefni Harjani. 2007. �Sejarah Dakwah. Jakarta. Kencana. cet. ke-1.
Wahidin
Saputra. 2011. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta. Rajawali Pers. ed-1.
Yusuf al-Wabil. 2006. Yaumul Qiyamah
Tanda-tanda dan Gambaran Hari Kiamat� Berdasarkan
Sumber-sumber yang Otentik. Jakarta. Qisthi Press. cet.ke-1.
Yuli
Kurniat Werdiningsih. Nazla Maharani Umaya. Variasi Nama Tuhan Dalam Teks
Serat Sastra Gendhing Kajian Akulturasi Terhadap Sastra Suluk. (Universitas
Negeri Semarang).
Zakaria.
2004. �Materi Dakwah Untuk Da�I dan
Muballigh. �Bandung:� Risalah Press.