Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
p-ISSN: 2548-1398
Vol.
6, Spesial Issue No.
1, November 2021
�
GAY: DALAM CITRA DAN
DINAMIKA PERTEMANAN
Kuni Kusuma Prahastami, Rini Sugiarti,
Fendy Suhariadi
Magister Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Semarang Indonesia, Program Studi Doktor Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga Surabaya Indonesia
Email: [email protected], [email protected] [email protected]
Abstrak
Relasi pertemanan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia khususnya dalam kehidupan sosial kaum gay, hingga saat ini belum banyak penelitian mengenai relasi pertemanan para kaum gay. Penelitian ini bertujuan melihat relasi pertemanan kaum gay baik dari sisi gambaran hingga dinamikanya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi adalah sebuah metode strategi kualitatif dimana peneliti mengidentifikasi esensi pengalaman manusia tentang fenomena yang diungkap oleh seorang subyek dalam sebuah penelitian. Responden dari penelitian ini yakni para gay yang berasal dan tinggal di Yogyakarta. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara bertahap dan mendalam (in depth interview) dan observasi partisipasi (participant observer). Partisipan pada penelitian ini adalah pria yang memiliki ketertarikan sesama jenis, memahami orientasi seksualnya sejak kecil, saat ini berusia 26 hingga 56 tahun, berprofesi sebagai wiraswasta, memiliki pasangan gay, dan memiliki sahabat dan memiliki karyawan non gay. Hasil wawancara dibuat dalam bentuk transkip dan dianalisis untuk menemukan kumpulan unit tema. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebersamaan dan kecocokan menjadi kunci untuk menghasilkan resiprositas dalam pertemanan, seperti sharing, hubungan timbal balik, dan kerjasama.
Kata Kunci: citra; relasi pertemanan; gay
Abstract
Friendship relationships
are important in human life, especially in the social life of gays, so far
there has not been much research on friendship relations with gays. This study
aims to look at friendship relationships among gay. This study uses qualitative
research methods using a phenomenological approach. Phenomenology is a
qualitative strategy method where researchers identify the essence of human
experience about a phenomenon revealed by a subject in a study. Respondents
from this study were gays who originated and lived in Yogyakarta. The method of
data collection uses stepwise and in-depth interviews and participant
observers. Participants in this study are men who have same-sex interests,
understand their sexual orientation since childhood, are currently 26 to 56
years old, work as an entrepreneur, have gay partners, and have friends and
have non-gay employees. The results of the interviews are made in the form of
transcripts and analyzed to find a collection of theme units. The results of
this study indicate that togetherness and compatibility are the keys to
generate reciprocity in friendship, such as sharing, reciprocity, and
cooperation.
Keywords: image; friendship relations; gay
Received:
2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Kajian tentang LGBT dalam ilmu
psikologi masih menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Meskipun, LGBT
yang masuk dalam kategori homoseksualitas tidak lagi dipandang sebagai gangguan
jiwa. Pandangan ini merujuk pada DSM IV (Diagnostic Manual of Mental Disorder)
yang dibuat oleh APA (American Psychological Association). APA mengklarifikasi
bahwa homoseksualitas (gay dan lesbian) tidak lagi diklasifikasi sebagai kelainan
jiwa atau penyimpangan lainnya karena syarat dari sebuah perilaku untuk dapat
diklasifikasi sebagai sebuah gangguan jiwa adalah perilaku tersebut mengganggu
kehidupan penderitanya (Nicolosi, 2001).
Wacana tentang LGBT telah
menjadi topik hangat yang dibicarakan, bukan hanya oleh masyarakat pada level
akar rumput, tetapi juga para agamawan (ulama, pastor, pendeta, dll), dan
akademisi dari berbagai rumpun ilmu. Para kaum liberal yang menekankan
kebebasan dalam berekspresi menyatakan kesetujuannya dengan LGBT, tetapi kaum
agamawan yang menekankan etika dalam perkawinan dengan tegas menolak LGBT karena
melanggar etika perkawinan yakni relasi antara laki-laki dan perempuan dan
dilanjutkan dengan penerusan keturunan. LGBT dianggap abnormal karena melanggar
kodrat sebagai manusia (Ariyanto & Triawan, 2008).
Dengan demikian, LGBT harus ditolak karena bertentangan dengan nilai dari
ketiga agama yang ada di Indonesia.
Terdapat sikap peneliti
terkait fenomena ini. Pertama, seorang yang berkecimpung dalam dunia psikologi
klinis, peneliti ingin memberikan landasan ilmiah tentang pentingnya relasi
dengan LGBT. Landasan ilmiah bisa membantu masyarakat pada umumnya untuk
memperbaiki cara berpikir dan berelasi yang negatif terhadap para LGBT. Kedua,
LGBT merupakan kelainan mental jika dilihat dari sudut pandang psikologi. Hal
ini bukan berarti bahwa kelainan mental ini tidak dapat dipulihkan. Peneliti
ingin menggaris bawahi bahwa kelainan ini bisa diatasi dengan menggunakan
pendekatan social support (dukungan sosial) dari keluarga, teman, dan
masyarakat. Dengan demikian, sikap peneliti yakni sebagai penghubung (bridge) antara para LGBT dengan
masyarakat pada umumnya untuk memperbaiki cara berpikir.
Penelitian ini berkaitan
dengan LGBT, tetapi memfokuskan diri pada kaum gay. Gay merupakan istilah yang
menyebutkan lelaki yang menyukai sesama lelaki sebagai partner seksual, serta
memiliki ketertarikan secara perasaan atau erotik, baik secara dominan, maupun
eksklusif dan juga dengan atau tanpa adanya hubungan fisik (Wedanthi & Fridari, 2014).
Ketertarikan peneliti dalam mendalami kehidupan kaum gay berangkat dari
berbagai realitas kehidupan mereka.
Peneliti dalam melakukan
penelitian awal (preliminary study) menggunakan metode wawancara dan observasi
pada beberapa kaum gay yang ada di kota Yogyakarta. Dari wawancara dan
observasi, peneliti menemukan beberapa hal penting. Pertama, proses coming out.
Kaum gay pada umumnya selalu melakukan proses coming out yakni menceritakan
orientasi seksual mereka kepada siapa saja. Mereka pada umumnya tidak menyembunyikan
orientasi seksual, entahkah itu kepada teman dekat, maupun orang tua. Bagi para
kaum gay, coming out membawa dampak yang positif secara psikologis karena
mereka akan merasa lega, percaya diri, bangga, tenang dan bebas menjalankan
kehidupannya sebagai seorang gay. Kedua, memiliki identitas kelompok yang kuat.
Para gay memperkuat identitas dengan membentuk komunitas tersendiri. Komunitas
ini pada umumnya bersifat tertutup dalam arti hanya beranggotakan individu yang
menjalani kehidupan sebagai seorang gay. Dalam komunitas tersebut, mereka bisa
berkumpul,berbagi cerita, dan mendukung satu sama lain jika ada yang mempunyai
masalah, khususnya ketika sedang bermasalah dengan pasangan. Ketiga, mencari
relasi demi popularitas. Para gay pada umumnya selalu menginginkan image
terkenal (populer) di kalangan para gay. Demi sebuah popularitas, mereka akan
berusaha memperluas jaringan pertemanan dengan mencari pasangan yang populer
juga, seperti pria metroseksual, artis, public figure, pengusaha bahkan warga
negara asing (WNA). Keempat, bergonta-ganti pasangan. Para gay pada umumnya
selalu bergonta-ganti pasangan, hal ini 4 bertujuan untuk mencari pasangan yang
setia dan kaya demi menunjang kehidupan.
Berdasarkan temuan dalam
preliminary study tersebut, ada tiga kesimpulan penting tentang realitas
kehidupan para gay. Pertama, relasi yang kuat. Para gay pada umumnya mempunyai relasi
pertemanan yang sangat kuat. Relasi pertemanan disini bukan hanya berarti
relasi pasangan seksual (teman kencan), tetapi juga relasi dengan sesama
teman-teman gay. Relasi pertemanan di kalangan para kaum gay bisa dilihat dari
dua sisi, secara positif pertemanan diantara mereka memunculkan motivasi dan
dukungan sosial (social support) ketika di antara mereka ada yang memiliki masalah.
Secara negatif, muncul persaingan yang tidak sehat yakni kemauan untuk lebih
terkenal (populer). Kedua, bersifat terbuka. Para gay pada umumnya bersifat
terbuka satu sama lain. Mereka pada umumnya tidak menyembunyikan identitas
seksualnya kepada siapa saja bahkan kepada orang tua (coming out). Ketiga,
dalam kehidupan para gay itu sendiri ada 2 pola relasi pertemanan yang ditemukan.
Baik relasi dengan sesame gay atau relasi antara gay dan non-gay.
Dalam konteks psikologi,
pertemanan merupakan bentuk relasi yang lebih menekankan pada keadaan saling
mengerti, menghargai dan menerima, memberikan dukungan dan merupakan wujud dari
rasa kasih sayang (Arianto, 2015).
Relasi pertemanan pada masa dewasa melibatkan saling berbagi, pertukaran sumber
daya, dan dukungan emosi yang menonjol (Hartup & Stevens, 1999).
Relasi pertemanan mempunyai pengaruh yang positif, terutama bagi mental seorang
Individu. Penelitian (Halimah, 2017), menyimpulkan bahwa relasi
pertemanan dapat meningkatkan selfesteem dan perasaan sejahtera. Penelitian Bliezsner
& Adams dalam (Saputro, 2014) menunjukkan
bahwa seseorang akan lebih bahagia saat mereka mengalami kualitas pertemanan
yang tinggi dengan teman dekat mereka. Sebuah kualitas pertemanan yang tinggi
ditandai dengan tingginya tingkat perilaku prososial, keakraban dan perilaku
positif lainnya, serta rendahnya tingkat konflik, persaingan dan perilaku
negatif lainnya. Pertemanan pada individu dewasa juga menjadi bentuk dukungan
sosial. (Schaie & Wills, 1991) mengemukakan bahwa teman
sebaya memiliki arti yang sangat penting dan merupakan sumber dukungan sosial
yang terpercaya setelah lingkungan keluarga. Individu dewasa muda menginginkan
hubungan yang akrab dan kepedulian untuk berbagi rasa dengan orang lain.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui citra dalam relasi pertemanan kaum gay dari sisi keilmuan psikologi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Berndt, 2002) menjelaskan bahwa relasi pertemanan akan
mempengaruhi perilaku tolong menolong, keakraban, mengurangi rasa malu, mampu
menekan isolasi diri dan perilaku positif lainnya, serta rendahnya tingkat
konflik dan perilaku negatif lainnya. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat
mengungkapkan ada atau tidaknya gambaran positif dalam relasi pertemanan dari
kaum gay.
Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian
ini, metode penelitian yang dipilih yakni metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis mengacu pada penelitian
terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seorang individu (Moleong, 2011).
Penelitian dengan menggunakan pendekatan fenomenologi merupakan strategi
kualitatif dimana peneliti mengidentifikasi esensi pengalaman manusia tentang
fenomena yang diungkapkan oleh seorang partisipan dalam sebuah penelitian (Creswell, 2010). Pada penelitian fenomenologi, focus
pertanyaan diarahkan pada dua pertanyaan yang saling 30 berhubungan yaitu
fenomena apa yang terjadi atau dialami dan bagaimana fenomena itu muncul.
Partisipan dalam penelitian
ini berjumlah tiga orang, dengan perbedaan rentang usia dan lamanya pengalaman
menjadi seorang gay. Usia partisipan termuda adalah 23 tahun dan yang paling
dewasa berusia 56 tahun. Perbedaan lama pengalaman menjadi seorang gay mulai
dari 6 tahun hingga 15 tahun. Terdapat pula significant others dalam penelitian
ini yang berjumlah 3 orang dengan karakter usia yang berbeda-beda.
Dalam penelitian ini, peneliti
memperoleh partisipan dengan menggunakan teknik snowball sampling dan teknik
purposive sampling. Pengambilan data dilakukan menggunakan semi-structured
interview dan observasi. Keabsahan dan keajegan data disesuaikan dengan kriteria
yang diajukan oleh (Yin, 2003), yaitu Keabsahan konstruk
(Triangulasi data, pengamat, teori dan metode), Keabsahan internal, Keabsahan
eksternal dan reliabilitas. Analisis data dilakukan dengan cara menggunakan
sistem Open Coding. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan
mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan
gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 1998).
Hasil dan Pembahasan
Partisipan
pertama dalam penelitian ini berinisial HI. HI adalah seorang pria berusia 32
tahun dengan latar pendidikan terakhir S1, dimana keseharian HI sebagai
wiraswastawan di daerah palagan, Yogyakarta. HI belum menikah dan hidup seorang
diri. Ketika diwawancara, HI menceritakan awal mulanya ia menjadi seorang gay.
HI menceritakan bahwa awal mula ia menjadi seorang gay ketika pada masa
kecilnya ia merasa orientasinya sudah mengarah ke feminim. HI merasa bahwa jiwa
feminimnya timbul bukan dari lingkungan dan pergaulan tapi melainkan dari
nalurinya.
Aspek 1.
Pemberian dukungan Pierce dalam (Atwater, 2004):
HI menyadari bahwa statusnya sebagai gay tidak semua orang dapat menerimanya.
Sehingga HI memutuskan untuk tidak memperdulikan dan berdamai dengan diri
sendiri. Hal tersebut HI lakukan agar tidak terjadi konflik batin dalam
dirinya. Dukungan tersebut didapatkan dari teman-teman yang menjadi sahabat HI
yang selalu ada menemani HI walaupun hanya melalui alat komunikasi, tetapi
persahabatan mereka selalu berjalan baik. Menurut HI teman temannya merupakan
orang terdekat yang mendukung secara tulus dan respect baik sesama gay maupun
non gay, maksudnya teman temannya tidak memunculkan ekspresi seperti rasa
jijik. Tidak ada hal yang membatasi antara mereka. Kemudian dampak psikologis
yang di rasakan oleh HI sangat ia rasaka,ia merasa teman � temannya membuat dia
menjadi nyaman.menjadi lebih percaya diri. Aspek 2. Adanya konflik
Interpersonal Pierce dalam (Atwater, 2004):
Selain itu, HI juga menjelaskan bahwa selain masalah yang timbul dari sesama
gay, masalah juga muncul dari lingkungan sekitar ketika ia dan teman - temannya
akan memberikan bantuan kepada salah satu panti asuhan di Yogyakarta namun
mendapat penolakan. Namun, setelah HI memutuskan untik berpindah tempat
akhirnya bantuan yang akan mereka bagikan dapat diterima. Aspek 3. Kedalaman
hubungan Pierce dalam (Atwater, 2004)
: Ketika ditanya mengenai kualitas pertemanan para gay dalam kelompok internal
dan antar kelompok HI menjelaskan kualitas yang dimiliki sesama kelompok Gay
dan non Gay.
FN adalah
seorang wiraswasta berusia 32 tahun. FN merupakan teman baik dari HI. FN
bercerita bahwa tidak ada masalah yang timbul saat ia berteman dengan gay.
Berdasarkan penuturan dari significant other FN bahwa hubungan sosialnya dengan
gay tidak memiliki masalah. Selain itu, dalam hubungan kerja kondisi tersebut
juga tidak menemui masalah. Hal tersebut disebabkan bahwa subjek HI memiliki
banyak relasi dan juga supel. FN juga menuturkan bahwa HI memiliki pribadi yang
baik. HI memiliki sikap peduli, hal tersebut terlihat dari sikapnya yang sangat
mudah memberikan pertolongan terhadap teman-teman yang mengalami kesulitan. FN
kembali menjelaskan bahwa pertemanannya saat ini tidak memiliki masalah. Hal
tersebut disebabkan rasa saling menghargai antar teman. FN dan teman-temannya
tetap bergaul dengan HI sekalipun tau HI adalah seorang gay dengan orientasi
seksual yang menyukai sesama jenisnya. Dengan fakta seperti itupun, mereka
tetap saling mendukung dalam lingkup pergaulan sekalipun mereka non gay dan ada
HI yang merupakan seorang gay dalam lingkungan pergaulan mereka.
FN merasa ada
pemahaman dan pemikiran yang semakin terbuka terhadap hal-hal yang selama ini
dia merasa tabu untuk dilihat bahkan berada dalam pergaulannya. FN menjadi
paham bahwa kaum gay sebenarnya sama saja dengan kaum non gay. Mereka punya
perasaan dan tidak mau dihina atau dipandang sebelah mata oleh orang lain.
Tentunya, kita semua mau seperti itu, dihargai, dihormati, dan dianggap sejajar
dalam hak dan kewajiban. Nilai � nilai kebersamaan semakin nyata dalam
kehidupan FN karena mempelajarinya dalam pergaulan bersama HI tanpa harus
terseret menjadi seorang gay. Relasi pun semakin luas dampaknya ada bisnis yang
terbangun dengan baik karena dibimbing oleh HI.
Partisipan
kedua dalam penelitian ini berinisial HS. HS adalah seorang pria berusia 23
tahun dengan latar pendidikan terakhir SMA, dimana keseharian HS sebagai
wiraswastawan yaitu sebagai penjual makanan sop. HS belum menikah dan masih
tinggal bersama orang tua. Ketika diwawancara, HS menceritakan awal mulanya ia
menjadi seorang gay. HS menceritakan bahwa awal mula ia menjadi seorang gay
ketika pada masa kecilnya ia merasa orientasinya sudah mengarah ke feminim. HS
merasa bahwa kondisinya saat ini terjadi karena didikan orang tua yang terlalu
keras.
Aspek 1.
Pemberian dukungan Pierce dalam (Atwater, 2004):
Kondisi pertemanan tersebut berjalan dengan baik, maksudnya tanpa penolakan.
Hal tersebut terjadi karena HS mampu menempatkan diri sesuai dengan
lingkungannya walaupun disisi lain, HS merasa tidak nyaman dengan kondisi
tersebut. HS juga menjelaskan bahwa kondisi hubungan sosialnya dengan sesama
gay dan non gay berjalan dengan baik tanpa ada jarak pemisah dan perasaan
risih. Aspek 2. Adanya konflik interpersonal Pierce dalam (Atwater, 2004):
Penyesuaian diri yang baik dari HS juga terjadi di tempat kerja. HS selalu
menjaga dan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ia tempati sehingga
konflik konflik yang terjadi dapat dihindarkan. Aspek 3. Kedalaman hubungan Pierce
dalam (Atwater, 2004):
HS juga menjelaskan hubungan pertemanan dengan sesame gay dalam kondisi yang
baik. artinya sikap saling tolong menolong antara sesama gay tergolong baik. HS
juga menjelaskan dukungan yang diberikan oleh teman teman baik itu yang berasal
dari gay ataupun non gay dapat meningkatkan penerimaan terhadap dirinya.
SM adalah
seorang wiraswasta berusia 25 tahun. SM mengatakan secara umum hubungan sosial
berjalan baik dengan HS. Ia mengatakan bahwa HS merupakan gay yang lucu. Hal
tersebut disebabkan cerita HS mengenai teman teman sesama gay nya. SM yang
normal merasa bahwa apa yang dijelaskan oleh HS terdengar lucu. SM juga
menjelaskan bahwa HS merupakan mentor yang baik untuk masalah pekerjaan. HS
dengan suka rela menjelaskan pengalaman pengalamannya didunia usaha yang dapat
menjadi pencerahan bagi saya pribadi. Selain itu, SM juga menjelaskan bahwa HS
selalu menghiburnya saat ia mengalami masalah seperti konflik dengan driver
gojek yang selalu terburu buru saat melakukan pemesanan. SM juga menjelaskan
bahwa berkat pertolongan HS, warung miliknya memiliki banyak pelanggan. Secara
umum SM menggambarkan HS sebagai orang yang baik dan asik.
Partisipan
ketiga dalam penelitian ini berinisial T. T adalah seorang pria berusia 56
tahun dengan latar pendidikan terakhir Master of Design Interior, dimana
keseharian T sebagai Designer Interior.T telah menikah sebanyak enam kali,
dimana keenam pasangannya tersebut meninggal. Keenam pasangannya tersebut
terdiri dari tiga wanita dan tiga pria. Dengan meninggalnya ketiga istrinya
tersebut, T memutuskan untuk mencoba menjalin hubungan dengan sesama gay.
Namun, dipernikahan dengan gay tersebut, T juga mengalami kegagalan yaitu
pasangannya tersebut juga meninggal. Kondisi tersebut yang membuat awal mulanya
sodara T memutuskan untuk menjadi gay hingga saat ini. Kegagalan dalam menjalin
hubungan rumah tangga tersebut membuat T menjadi trauma dan memutuskan untuk
tidak menikah.
Aspek 1.
Pemberian dukungan Pierce dalam (Atwater, 2004):
Dengan memutuskan menjadi gay, ternyata hubungan sosial dengan orang lain baik
sesama gay atau non gay terlihat baik. Hal tersebut terlihat dari hasil
percakapan yang di tunjukan oleh sodara T yang menyatakan tidak ada masalah
dengan hubungannya dengan sesama gay atau dengan non-gay. Dengan tidak adanya
penolakan tersebut membuat kehidupan sosial T menjadi lebih baik. T merasa
bahwa kondisi tersebut tidak terlepas dari sikap positif yang diberikannya
terhadap lingkungan sosial sehingga dampak bagi dirinya juga baik. Aspek 2.
Konflik interpersonal dalam profesionalisme kerja Pierce dalam (Atwater, 2004):
T menjelaskan lebih lanjut bahwa ia juga tidak memliki permasalahan dengan
sesama gay. Permasalahan atau konflik yang timbul saat ini terjadi bukan karena
ia memutuskan sebagai gay namun lebih kepada profesionalitas pekerjaan. Aspek
3. Kedalaman hubungan Pierce dalam (Atwater, 2004):
Secara tegas T juga mengatakan setiap bantuan yang ia berikan kepada teman
temannya diterima dengan respon positif. artinya seluruh teman yang telah
dibantu merasa senang dan mendapatkan manfaat lebih.
DT adalah
seorang Fahion Designer berusia 24 tahun. DT merupakan partner kerja dari T. DT
bercerita bahwa T memiliki pemikiran maju karena T dapat membedakan antara
professional dan hubungan sosial. DT juga menjelaskan bahwa hubungannya dengan
T hanya sebatas rekan kerja. Namun DT menjelaskan bahwa T sering membantunya
dalam menyelesaikan gambar. T yang memiliki pengalaman lebih rela untuk
mengajari, memberi masukan atau bahkan mengkritik bila pekerjaan yang saya
kerjakan tidak benar. Secara umum DT juga menjelaskan tidak ada kecanggungan
terhadap pertemanan yang dilakukan bersama T. Ia sangat menghargai prifasi T, begitupun sebaliknya.
Berdasarkan
hasil wawancara dan observasi yang dilakukan pada tiga partisipan gay, nampak
dinamika pertemanan para partisipan secara umum hampir sama namun memiliki
realisasi nilai-nilai yang berbeda. Kondisi tersebut juga divalidasi dengan
pertanyaan significant other untuk masing masing subjek bahwa apa yang mereka
jelaskan sesuai dengan kondisi yang dialami. Adapun dinamika tersebut dapat
dilihat melalui gambar berikut:
Gambar 1. Subjek HI
Selanjutnya, pada subjek
kedua yaitu HS juga memiliki permasalahan yang hampir sama dengan
subjek HI. Permasalahan tersebut seperti stigma negative dari masyarakat, pembatasan yang dilakukan oleh lingkungan dan kualitas obrolan yang kurang baik antar sesama
gay. Namun, disisi lain, guna untuk
mengatasi permasalahan yang
timbul, subjek HI memiliki dukungan yang positif dari beberapa
teman dekatnya. Selain itu, subjek
HS juga memutuskan untuk menjaga sikapnya saat sedang berada
diluar kelompok gay. Hal tersebut ia lakukan
agar permaslaahan yang muncul
tidak semakin besar dan agar ia dapat menjalani kehidupan yang lebih baik. Berikut berupakan
bagan sederhana yang menggambarkan dinamika psikologi subjek HS.
Gambar 2. Dinamika psikologi subjek HS
Selanjutnya adalah
subjek ketiga yaitu T, berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa subjek T tidak begitu memiliki permasalahan berarti terhadap relasi pertemanan selama menjadi seorang gay. Hal tersebut disebabkan rasa saling menghargai dalam pertemanan yang terjadi. Selain itu, subjek T juga memiliki sifat yang baik yaitu rela
membantu terhadap teman teman yang sedang mengalami kesulitan. Guna lebih jelas berikut merupakan
bagan relasi pertemanan subjek T.
Gambar 3. Relasi pertemanan subjek T
Berdasarkan dari
seluruh pembahasan ketiga partisipan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kaum gay masih memiliki relasi pertemanan yang baik, walaupun dalam perjalanan tersebut menemukan berbagai konflik baik dari
lingkungan masyarakat ataupun dari sesama
teman gay namun pecinta sesame jenis tersebut mampu untuk melakukan menejemen terhadap konflik yang muncul. Guna lebih jelas berikut
merupakan tabel rangkuman hasil pembahasan terhadap tiga subjek.
Dapat diketahui bahwa muncul berbagai
dinamika hidup dan sikap yang dialami oleh seorang gay dan sikap yang dimunculkan oleh gay seperti bersikap tidak peduli, tetap merespon
positif terhadap stigma
negative yang diberikan masyarakat
atau dengan menahan untuk bertindak
secara normal. Dilain sisi, dengan stigma yang terjadi dimasyarakat tersebut kaum gay masih dapat menjalin
pertemanan dengan beberapa orang terdekat, tidak banyak namun
tetap memiliki kualitas relasi pertemanan yang baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Pierce dalam (Atwater, 2004)
yang menyatakan bahwa untuk dapat mengetahui
relasi pertemanan yang baik individu harus
memiliki tiga aspek yaitu pemberian
dukungan, tingkat konflik interpersonal dan yang terakhir
adalah kedalaman hubungan atau suatu
relasi pertemanan. Selain itu, relasi
pertemanan positif yang dimiliki kaum gay tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kebahagiaan diri mereka ditengah
tekanan dari masyarakat. Kondisi tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Halimah, 2017)
yang menyimpulkan bahwa relasi pertemanan dapat meningkatkan self-esteem
dan perasaan sejahtera.
Kesimpulan
Fenomena homoseksual
di antara pria dewasa di Indonesia memang belum dapat diterima
di kalangan masyarakat luas dan fenomena tersebut banyak dijumpai di Yogyakarta. Hal tersebut
tidak membuat kaum gay membatasi pertemanan dengan sesamanya. Tingginya toleransi di Yogyakarta membuat
para kaum gay menjadi merasa dihargai baik dalam pekerjaan
maupun dalam lingkup pertemanan. Fenomena tersebut bisa menjadi pelajaran
bahwa hubungan antar manusia hendaknya
saling toleransi dan menghargai sesama manusia agar terjadi hubungan pertemanan yang baik dan kerjasama yang baik, baik dalam
pekerjaan maupun hal lain. Garis besarnya, perbedaan orientasi tidak mempengaruhi kinerja dan hubungan pertemanan gay dengan non gay. Diluar hal tersebut
maka pihak terkait juga memberikan saran dan
masukan terhadap kaum homoseksual tersebut berkaitan dengan menjaga kesehatan alat vital. Selain itu, bagi
kaum homoseksual yang ingin meninggalkan kegiatan menyimpang tersebut agar mampu mengkontrol perilaku diri untuk dapat
lepas dari ruang lingkup homoseksual
tersebut.
1. Bagi mahasiswa
psikologi Hasil penelitian ini kiranya dapat
memperkaya temuan psikologi dalam kaitannya dengan relasi pertemanan para gay dengan non gay. Selain itu, hasil penelitian
ini juga bisa memberikan pengetahuan bagi para mahasiswa psikologi di Universitas di seluruh
Indonesia yang ingin mendalami
kehidupan para gay dari sisi relasi pertemanan.
2. Bagi peneliti
Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan untuk menggunakan metode penelitian kuantitatif agar melihat gambaran relasi pertemanan diantara kaum gay dengan subjek yang lebih besar.
BIBLIOGRAFI
Arianto, Arianto. (2015). �Menuju Persahabatan�
Melalui Komunikasi Antarpribadi Mahasiswa Beda Etnis (Studi Kasus Di Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Tadulako). KRITIS: Jurnal Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 1(2), 219�230. Google Scholar
Ariyanto, & Triawan, Rido. (2008). Jadi,
kau tak merasa bersalah!?: studi kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap
LGBTI. Arus Pelangi. Google Scholar
Atwater, Menurut. (2004). Hubungan antara
kualitas relasi ayah dengan harga diri remaja putra. Jurnal Psikologi Vol,
2(1), 22. Google Scholar
Berndt, Thomas J. (2002). Friendship
quality and social development. Current Directions in Psychological Science,
11(1), 7�10. Google Scholar
Hartup, Willard W., & Stevens, Nan.
(1999). Friendships and adaptation across the life span. Current Directions
in Psychological Science, 8(3), 76�79. Google Scholar
Moleong, L. J. (2011). Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. Remaja. Google Scholar
Nicolosi, Joseph. (2001). The removal of
homosexuality from the psychiatric manual. Catholic Social Science Review,
6, 71�77. Google Scholar
Poerwandari, E. Kristi. (1998). Pendekatan
kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, 2. Google Scholar
Saputro, Dimas Wahyu. (2014). Hubungan antara
relasi pertemanan dengan gaya hidup hedonis pada eksekutif muda.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Google Scholar
Wedanthi, P., & Fridari, I. G. A.
(2014). Dinamika Kesetiaan Pada Kaum Gay. Jurnal Psikologi Udayana, 1(2),
363�371. Google Scholar
Copyright holder: Kuni Kusuma Prahastami Rini Sugiarti, Fendy Suhariadi (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |