Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6,
Spessial Issue No. 11,
November 2021
� ���������
PENERAPAN
HORTICULTURAL THERAPY UNTUK MENINGKATKAN SUBJECTIVE WELL-BEING LANSIA DI PANTI
WERDHA X
Mahesti Pertiwi, Monty P. Satiadarma, Untung Subroto
Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji program horticultural therapy dalam meningkatkan subjective
well-being pada lansia. Partisipan
dalam penelitian ini adalah lansia
di panti werdha X di
Tangerang Selatan. Diharapkan dengan
menerapkan program horticultural therapy efektif dalam meningkatkan
subjective well-being lansia. Jumlah subyek dalam
penelitian ini 6 lansia yang terbagi menjadi dua kelompok
yaitu 3 subyek pada kelompok eksperimen dan 3 subyek pada kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen akan diberikan program horticultural therapy. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik berupa uji beda mean melalui Independent sample t-test, nilai
t = 4,451 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa skor kedua kelompok berbeda secara signifikan. Maka, tolak H0 terima Ha.
Artinya, terdapat perbedaan yang signifikan pada skor subjective well-being (SWB) lansia
di panti werdha X yang mendapatkan kegiatan sehari-hari dan horticultural therapy pada pengukuran akhir dengan yang mendapatkan kegiatan sehari-hari saja.
Kata Kunci: lansia (dewasa akhir); horticultural
therapy; dan subjective well-being
Abstract
This study aimed to test the horticultural therapy
program in improving subjective well-being in the elderly. Participants in this
study were elderly in nursing Werdha X in South
Tangerang. Participants in this study were elderly in nursing Werdha X in South Tangerang. Expected by applying the
horticultural therapy program is effective in improving subjective well-being
of the elderly. The number of subjects in this study 6 elderly people divided
into two groups: 3 subjects in the experimental group and 3 subjects in the
control group. In the experimental group will be given a horticultural therapy
program. Measurements in this study using statistical analysis in the form of
different test mean by Independent sample t-test, t =
4.451 (p <0.05). This indicates that a score of two groups differed
significantly. That is, there are significant differences in the score of
subjective well-being (SWB) elderly in nursing X get daily activities and
horticultural therapy at the end of measurement with which to get daily
activities only.
Keywords: elderly;
horticultural therapy and subjective well-being
Received: 2021-10-20; Accepted:
2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Saat
ini Indonesia menempati peringkat ke empat
dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat (Mariani, & Kadir, 2014).
Komnas Lansia menyebutkan bahwa selama 30 tahun terakhir proporsi penduduk lansia di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). (Hamid, 2007)
pada salah satu artikel
Kementerian Sosial RI mengungkapkan
bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia dari tahun ke
tahun cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan laporan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Hamid, 2007)
pada tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) lansia adalah 52,2 tahun dan jumlah lansia mencapai 7.998.543 orang
(5,45%). Pada tahun 2006, terjadi
peningkatan jumlah lansia menjadi 19 juta orang (8,9%) dan UHH juga meningkat
yaitu 66,2 tahun. Tahun 2010 jumlah penduduk lansia mencapai 23,9 juta (9,77%) dan
UHH mencapai 67,4 tahun.
Pada tahun 2020, perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta (11,34%) dan
UHH sekitar 71,1 tahun. Sementara, Bappenas memperkirakan pada tahun
2050 akan ada 80 juta lansia di Indonesia dengan komposisi usia 60-69 tahun berjumlah 35,8 juta, usia 70-79 tahun berjumlah 21,4 juta, dan 80 tahun ke atas
adalah 11,8 juta.
Peningkatan
populasi pada lansia dapat dimaknai sebagai keberhasilan pembangunan manusia; karena, keberhasilan pembangunan manusia dalam bidang kesejahteraan
dan kesehatan berdampak terhadap meningkatnya usia harapan hidup.
Akan tetapi, hal tersebut diikuti pula oleh berbagai persoalan yang harus dihadapi lansia itu sendiri
(Nugraheni, 2007).
Permasalahan fisik yang dialami lansia meliputi keadaan fisik yang menurun, sehingga lansia rentan terhadap berbagai penyakit dan memerlukan bantuan bahkan harus bergantung
pada orang lain (Weiten & Lloyd, 2006).
Penurunan fisik yang dialami oleh lansia juga menyebabkan penurunan fungsi mental. Salah satu contohnya adalah perubahan fisik pada lansia mengakibatkan ia merasa tidak
dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda. Lansia akan
merasa tidak produktif lagi dan merasa tidak berguna
di dalam keluarga. Mereka merasa menjadi
beban bagi keluarga yang merawat mereka (Santrock, 2002).
Permasalahan
lain yang dialami oleh lansia
adalah kemunduran dalam kemampuan kognitif. (Kurniawati, 2018)
menyatakan bahwa salah satu karakteristik yang paling sering dihubungkan dengan lansia adalah
penurunan daya ingat. Hal tersebut senada dengan Weiten dan Lloyd (2006) yang menyatakan
bahwa individu lansia mengalami penurunan daya ingat dan pemrosesan informasi yang melambat. Selain itu, kendala
lain yang dialami oleh lansia
adalah masalah psikososial yaitu penyesuaian diri terhadap pendapatan yang menurun bahkan tidak ada sama
sekali karena tidak bekerja, kebutuhan akan teman baru untuk
menggantikan pasangan atau teman lama yang sudah lebih dahulu
meninggal, kebutuhan akan kegiatan baru
untuk mengganti kegiatan lama dan mengisi waktu luang yang semakin bertambah serta beradaptasi dengan kegiatan baru yang lebih cocok tersebut, merasa kesepian karena ditinggalkan oleh anak-anak mereka, dan permasalahan tempat tinggal.
Untuk
mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi lansia, diperlukan adanya suatu perhatian
besar dan penanganan khusus bagi lansia
tersebut. Pemerintah dalam hal ini
departemen sosial maupun yayasan dari pihak swasta,
mengupayakan suatu wadah atau sarana
untuk menampung lansia dalam satu
institusi yang disebut panti werdha. Di panti werdha, para lansia menemukan teman yang relatif seusia mereka di mana mereka dapat berbagi
cerita bersama. Selain mendapatkan pelayanan berupa pemenuhan kebutuhan dasar, lansia juga diberikan fungsi positif lainnya yaitu berupa program-program pelayanan sosial yang dapat memberikan kesibukan bagi mereka. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi mereka
(Mariani, & Kadir, 2014).
Akan tetapi, adanya berbagai hambatan seperti keterbatasan dalam dukungan sosial, kegiatan harian yang monoton, keterbatasan dalam mendapatkan akses hiburan, dan penurunan dari segi keaktifan
dan kesehatan fisik, kemudian membuat lansia di panti werdha berpotensi bermasalah (Tjubandrio, Rahaju, & Prihanto, 2012).
Lansia
yang tinggal di panti werdha biasanya memiliki keterbatasan, dan ada yang sama sekali
tidak lagi mendapatkan dukungan dari keluarga. Hal tersebut berpotensi untuk memiliki subjective well-being yang rendah (Tjubandrio, Rahaju, & Prihanto, 2012).
Subjective well-being merupakan suatu keadaan ketika individu mempersepsi dan mengevaluasi tentang segala hal yang terjadi di dalam kehidupan mereka, baik evaluasi kognitif
maupun afektif. Cara individu memandang kehidupannya dapat dilakukan secara kognitif yaitu dalam bentuk kepuasan
hidup maupun secara afektif dalam bentuk suasana
hati dan reaksi emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
(Ed Diener, 2000).
Seseorang dikatakan memiliki subjective
well-being (SWB) yang tinggi apabila
ia merasa puas dengan kondisi
hidupnya, sering merasakan emosi positif, dan jarang merasakan emosi negatif (Edward Diener, Lucas, & Oishi, 2002)
dikutip dalam (Eddington & Shuman, 2005).
Berdasarkan
hasil penelitian Kuntz, dukungan dari keluarga
merupakan faktor utama yang dapat memengaruhi well-being
seseorang. Kemudian selanjutnya adalah dukungan dari teman-teman
dan lingkungan sekitar dalam (Hoyer & Rodin, 2003). Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia dan Oxford Institute of Aging juga mengatakan bahwa lansia yang diabaikan dan kurang memiliki aktivitas berpotensi tidak bahagia (memiliki subjective
well-being yang rendah) dan mengalami
depresi (Tjubandrio,
Rahaju, & Prihanto, 2012).
(Eddington & Shuman, 2005)
mengemukakan beberapa faktor demografis dan lingkungan yang dapat memengaruhi subjective
well-being seseorang, yaitu
jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, pernikahan, kepuasan kerja, kesehatan, religiusitas, waktu luang, life events, dan kompetensi. Kemudian, faktor safety (keamanan)
berupa adanya keadaan yang penuh damai dan aman, faktor knowledge
(pengetahuan) berupa tersedianya informasi melalu berbagai media, faktor freedom berupa kebebasan diri dan kebebasan ekonomi, serta faktor equality berupa kesetaraan dalam relasi sosial
terbukti berkorelasi positif dan dapat meningkatkan subjective
well-being seseorang.
Tjubandrio,
Rahaju, dan Prihanto (2012) mengemukakan bahwa lansia yang tinggal di panti werdha memang
berada pada kondisi demografis yang lebih beresiko terhadap subjective well-being yang rendah, karena mereka tinggal terpisah dari keluarga,
biasanya sudah tidak memiliki pasangan, dan terlihat bahwa faktor freedom berupa kebebasan
diri dan kebebasan ekonomi mereka juga rendah. Hal tersebut senada dengan pernyataan
(Perveen, 2013)
bahwa lansia yang berada di panti merasa kehilangan kebebasan, kehilangan kontrol, merasa kesepian, dan tidak ada kebebasan berpindah
tempat.
Melalui
beragam fasilitas yang ditawarkan oleh panti werdha, diharapkan para lansia dapat melakukan
berbagai kegiatan untuk mengisi waktu
luang mereka, yaitu dengan mengembangkan
dan meneruskan potensi yang
dimiliki, sehingga mereka merasa sejahtera
dan tetap produktif di masa
tuanya (Nurlailiwangi & Coralia, 2013).
Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh (Eddington & Shuman, 2005)
bahwa salah satu faktor yang dapat memengaruhi subjective
well-being seseorang adalah
waktu luang. Terbukti bahwa kepuasan terhadap waktu luang dan jenis kegiatannya dapat memengaruhi subjective well-being individu.
Berbagai
program dapat dirancang untuk membuat para lansia di panti werdha tetap aktif
dan produktif dalam mengisi waktu luang
mereka. Beberapa program
yang dapat diberikan adalah art therapy,
music therapy, animal-assisted therapy, dan horticultural
therapy. Beberapa contoh
program terapi tersebut dapat membuat para lansia merasa lebih
berarti karena terlibat aktif secara langsung, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka (Perkins, 2010).
Horticultural
therapy dalam bentuk yang sederhana menawarkan program dengan berbagai ragam fungsi. Burgess (2008) menyatakan
bahwa horticultural
therapy adalah seni budidaya buah, bunga, dan sayuran, yang digunakan sebagai modalitas terapi dalam (Perveen, 2013).
American Horticultural Therapy
Association (2007) menyatakan bahwa
horticultural therapy adalah proses perbaikan di mana tanaman dan kegiatan berkebun digunakan untuk memperbaiki fungsi fisik dan psikis individu.
Nuall�in (2003) mengemukakan bahwa horticultural therapy adalah suatu proses terapi yang memanfaatkan kegiatan berkebun bagi kesejahteraan fisik dan mental seseorang. Kegiatan berkebun merupakan salah satu kegiatan yang disukai oleh lansia dalam mengisi
waktu luang mereka (Burgess (1990), dikutip
dalam (Predny, 1999).
Kegiatan berkebun telah diidentifikasi sebagai salah satu kegiatan rekreasi bagi lansia, dan sebagai terapi aktifitas yang dapat meningkatkan fungsi fisik dan mental mereka (Simson & Straus, 1997),
dikutip dalam (Barnicle & Midden, 2003).
(Perveen, 2013)
menyatakan bahwa horticultural therapy dapat menjadi suatu
strategi baru untuk meningkatkan fungsi fisik, mental, sosial, dan kognitif bagi lansia.
Kegiatan
dalam program horticultural
therapy dapat mendorong
aktivitas fisik, seperti menggali tanah di kebun, menanam bunga di pot dengan menggunakan sekop kecil, menanam
benih di pot, atau merangkai bunga di dalam vas (Perkins, 2010).
Melalui partisipasi aktif dalam program horticultural therapy, individu dapat meningkatkan kekuatan, ketahanan dan fleksibilitas pada
kaki, lengan dan tangan mereka. Hal tersebut dapat memperbaiki keterampilan motorik mereka. Selain itu, program horticultural
therapy juga dapat meningkatkan
kemampuan kognitif. Hal tersebut misalnya ketika individu memberi nama pada tanaman, mengukur jarak penanaman, menghitung jumlah benih, dan membaca instruksi dalam tata cara menanam seperti
instruksi untuk menabur dan menanam benih (Nuall�in, 2003).
Salah satu
manfaat psikologis dari horticultural
therapy adalah membantu
meningkatkan self-esteem
seseorang. Berkebun dapat meningkatkan self-esteem seorang
individu, dengan mengharuskan individu tersebut bertanggung jawab terhadap suatu benda hidup.
Tanggung jawab ini mendorong adanya
rasa kepemilikan, meningkatkan
rasa percaya diri, merasakan suatu pencapaian dan kepuasan (S�derback, S�derstr�m,
& Sch�lander, dikutip
dalam (Perkins, 2010).
Horticultural therapy juga dapat meningkatkan kemampuan dalam mengatasi dan memecahkan masalah. Misalnya, ketika mengalami kesulitan dalam berkebun seperti tanah yang sulit untuk digali, benih
yang sudah ditanam namun tidak tumbuh,
atau adanya serangan hama (Relf, 1998)
dikutip dalam (Perkins, 2010).
S�derback, S�derstr�m, dan Sch�lander (2004)
mengemukakan bahwa program horticultural
therapy membantu meningkatkan
well-being seseorang.
Hal tersebut
diperoleh dari laporan partisipan dalam program horticultural
therapy yang merasakan kedamaian
dan ketenangan. Mereka merasakan penurunan kecemasan, penurunan depresi, pelepas ketegangan, dan kemampuan untuk menikmati suatu kegiatan dalam (Perkins, 2010).
Hal tersebut senada dengan pernyataan (Hewson, 2013)
bahwa bau, sentuhan, dan nuansa yang berasal dari tanaman
dapat membantu mengurangi kecemasan dan stres yang dialami individu.
Nuall�in (2003) menyatakan bahwa kombinasi dari udara segar dan tugas yang bersifat fisik dari program horticultural
therapy, dapat membantu
melancarkan peredaran darah yang kaya oksigen, menghasilkan energi positif bagi tubuh,
dan melepaskan hormon endorfin yang berperan dalam mengurangi stres. Hal tersebut didukung oleh pendapat sejumlah ahli bahwa
dengan berada di taman atau melakukan
aktifitas berkebun dapat dipergunakan sebagai meditasi untuk menenangkan pikiran. Hal tersebut didukung dengan bukti bahwa dengan
berada di kebun dan menikmati kegiatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah seseorang. Selain memberikan efek menenangkan dan menyenangkan, horticultural
therapy dapat membangun
positive thinking, yaitu menumbuhkan rasa optimis pada individu. Hal tersebut dengan berharap bahwa benih yang telah ditanam akan tumbuh
dan menghasilkan.
Hal positif
lain yang dapat meningkat karena program horticultural
therapy adalah kemampuan
fungsi sosial. Horticultural therapy hampir selalu dilakukan
dalam setting kelompok, yaitu di rumah sakit, rumah sakit
jiwa, yayasan tuna daksa, panti jompo,
panti asuhan, tempat rehabilitasi, maupun sekolah (Perkins, 2010).
Terapi kelompok merupakan suatu terapi yang bertujuan untuk memfasilitasi penyesuaian sosial, perilaku, dan emosional individu melalui proses di dalam kelompok (Zastrow, dikutip dalam Suharto, 2007). Horticultural therapy yang dilaksanakan dalam setting kelompok, memberikan peluang untuk meningkatkan
interaksi sosial antar lansia. Melalui
program horticultural therapy mereka dapat saling
berkomunikasi dengan saling memberikan pendapat (Perkins, 2010).
Seberapa
efektif penerapan program horticultural therapy dapat menimbulkan perasaan berguna dan produktif sehingga memunculkan kepuasan, meningkatkan suasana hati dan reaksi emosi menyenangkan serta menurunkan perasaan negatif pada lansia di panti werdha, masih perlu
diteliti lebih lanjut. Hal-hal tersebut di atas membuat peneliti mengangkat judul dalam penelitian ini, yaitu Penerapan
Horticultural Therapy untuk Meningkatkan Subjective Well-Being pada Lansia di Panti Werdha X.
Metode Penelitian
1. Partisipan
Subyek dalam penelitian ini adalah individu lansia berusia minimal 60 tahun yang merupakan penghuni Panti Werdha X. Pemilihan batas usia minimal 60 tahun ditentukan peneliti dengan mempertimbangkan peraturan batasan usia lansia
di Indonesia menurut Undang-Undang
No 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah individu
yang berusia 60 tahun atau lebih (Hamid, 2007). Penetapan lansia dalam penelitian ini dikontrol dengan
menggunakan teknik konstansi, yaitu kontrol untuk penetapan
kriteria inklusif dan eksklusif. Kriteria inklusif yaitu berusia lebih dari
60 tahun, mendapatkan nilai lebih dari
23 pada tes Mini Mental State Examinations (MMSE),
memiliki kategori skor subjective well-being (SWB) rendah
dan rata-rata, bersedia menandatangani
informed consent, serta bersedia
mengikuti seluruh proses pengambilan data dan intervensi. Penetapan nilai lebih dari 23 untuk
tes MMSE dilakukan berdasarkan referensi dari Kurlowicz dan Wallace (1999) yang mengatakan
bahwa jumlah skor di bawah 23 mengindikasikan adanya gangguan kognitif dan indikasi demensia. Sedangkan kriteria eksklusif yaitu memiliki keterbatasan pendengaran atau berbicara dan tidak mampu berbahasa Indonesia.
Jumlah subyek yang direncanakan dalam penelitian ini adalah 10 orang. Penentuan jumlah subyek dipilih
berdasarkan pernyatan (Brammer, Abrego, & Shostrom, 1993) bahwa para terapis
pada umumnya menyepakati delapan adalah angka optimal dalam tiap kelompok, dan empat anggota adalah
angka minimum. Hal tersebut
karena memungkinkan terjadinya interaksi yang mendalam. Akan tetapi, dari sepuluh orang subyek yang direncanakan dalam penelitian ini, hanya terdapat
delapan orang subyek yang memenuhi kriteria inklusif dan ekslusif. Dengan demikian, terdapat masing-masing empat
orang dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol penelitian ini. Akan tetapi, dua orang subyek tidak dapat mengikuti
penelitian ini sampai akhir. Satu orang dari kelompok kontrol
(VN) meninggal dunia pada waktu
pretest, dan satu orang dari
kelompok eksperimen (ET) sakit pada saat akan berlangsung sesi intervensi. Dengan demikian terdapat enam orang subyek dalam penelitian
ini, yaitu masing-masing tiga orang dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Teknik sampling dalam penelitian
ini adalah accidential sampling dan purposive
sampling, yaitu peneliti
memilih beberapa panti di Tangerang Selatan, dan panti
werdha X yang terlebih dahulu memberikan izin. Selain itu,
berkaitan dengan intervensi yang akan dilaksanakan yaitu horticultural
therapy, peneliti mendapatkan
informasi bahwa kota Tangerang Selatan merupakan daerah yang relatif
datar. Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan yang dilihat
dari sebaran jenis tanahnya, pada umumnya berupa asosiasi latosol merah dan
latosol coklat kemerahan
yang secara umum cocok untuk pertanian
atau perkebunan (Dinas Kota
Tangerang Selatan, 2012). Selanjutnya, penentuan subyek pada penelitian ini, yaitusubyek dipilih berdasarkan kriteria inklusif dan eksklusif penelitian. Setelah mendapatkan subyek yang sesuai, peneliti melakukan teknik randomized dan membagi
subyek ke dalam dua kelompok,
yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
2. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Dalam penelitian ini, akan terdapat dua
kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen, selain mendapatkan kegiatan sehari-hari di panti werdha X, yaitu doa, misa,
dan senam bersama, juga akan
mendapatkan intervensi berupa horticultural therapy. Sementara
pada kelompok kontrol hanya mendapatkan kegiatan sehari-hari di panti werdha X, yaitu doa, misa,
senam, dan menyanyi bersama.
Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pretest-posttest
control group design. Dalam desain
tersebut, pengukuran dilakukan dengan membandingkan skor pada dua kelompok, sebelum
dan sesudah intervensi diberikan. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teknik mixed-method, yaitu
penggabungan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian ini melibatkan dua variabel di mana horticultural therapy berfungsi sebagai variabel bebas dan subjective
well-being sebagai variabel
terikat. Definisi operasional dari subjective
well-being adalah evaluasi
kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya. Evaluasi ini meliputi reaksi
emosional terhadap suatu kejadian dan penilaian kognitif terhadap hidup. Sehingga, subjective well-being mencakup
pengalaman emosi yang menyenangkan yang tinggi, pengalaman emosi negatif yang rendah, dan kepuasan hidup yang tinggi. Semakin rendah skor subjective
well-being pada alat ukur
yang digunakan, semakin rendah tingkat subjective
well-being subyek tersebut.
Program intervensi yang diberikan
adalah horticultural therapy, yaitu suatu terapi
dalam bentuk yang sederhana, dengan memanfaatkan kegiatan berkebun, yaitu proses pertumbuhan tanaman, untuk mencapai suatu tujuan tertentu,
yakni untuk dapat meningkatkan subjective
well-being pada lansia.
3. Setting Lokasi dan Perlengkapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Panti Werdha X yang terletak di daerah Tangerang Selatan. Panti Werdha X merupakan panti yang di kelola oleh Yayasan Katolik X di Jakarta, dan berdiri sejak 17 Mei 1980. Sebagian penghuni panti merupakan titipan sejumlah paroki, akan tetapi panti ini juga menerima penghuni beragama lain. Pada awalnya, lansia yang diterima di panti tersebut adalah lansia yang tidak memiliki keluarga lagi dan tidak memiliki kemampuan finansial. Dalam perjalanannya, kini penghuni panti tersebut bervariasi, ada juga yang mampu secara ekonomi tetapi ditinggal atau tidak diurus oleh sanak saudara mereka.
Syarat menjadi penghuni panti werdha tersebut yaitu minimal berusia 60 tahun dan masih mampu untuk mandiri dalam kegiatan sehari-hari. Lansia yang sakit setelah tinggal di panti menjadi tanggungan yayasan, dan di tempatkan di bagian poli klinik panti (terpisah dengan lansia yang masih sehat dan mampu secara mandiri). Rata-rata lansia penghuni panti tersebut telah menempati panti selama lima tahun, dan usia lansia penghuni panti tersebut rata-rata di atas 70 tahun. Penghuni panti werdha tersebut merupakan lansia yang menetap, bukan sebagai pengunjung harian, dan mendapat pelayanan oleh petugas panti. Hingga saat ini panti tersebut menampung sebanyak 44 lansia, 20 diantaranya menjadi penghuni poli klinik panti.
Panti Werdha X memiliki misi yaitu melayani para lansia yang membutuhkan bimbingan, perhatian, dan kekurangan dalam kebersamaan. Untuk memenuhi seluruh kebutuhan penghuni yang ada, Panti Werdha X memiliki pengurus yang bertugas untuk merawat dan memenuhi kebutuhan setiap penghuni. Jumlah pengurus terbagi dalam pengurus harian dan pengurus yayasan (manajemen panti). Terdapat 17 pengurus harian yang terbagi dalam bagian dapur, kesehatan, dan kebersihan ruangan, serta dua orang penanggung jawab harian. Para karyawan panti tersebut diarahkan untuk membantu lansia mengisi hari tua mereka dalam kemantapan jasmani dan rohani dengan berlandaskan cinta kasih tanpa membeda-bedakan ras, suku dan agama.
Panti Werdha X memiliki berbagai macam kegiatan. Kegiatan rutin yang dilakukan bersama-sama adalah doa, misa, senam, menyanyi, dan menari bersama, serta pemeriksaan kesehatan, dan sharing. Selain itu, panti ini kerapkali menerima kunjungan dari pihak luar yang memberikan bantuan dana dan melakukan kegiatan bernyanyi dan berdoa serta makan siang bersama para penghuni panti. Meskipun terdapat berbagai macam kegiatan yang diadakan oleh panti, namun para penghuni panti jarang berinteraksi satu sama lain. Setelah menjalani aktivitas bersama, mereka kembali ke kamar masing-masing tanpa banyak berinteraksi satu sama lain. Biasanya mereka lebih banyak menjalani aktivitas sehari-harinya secara individual.
Waktu pengambilan data dan intervensi akan dilakukan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Panti Werdha X. Waktu tersebut adalah pada saat jam besuk atau istirahat, yakni antara pukul 07.30-11.30 WIB dan 15.30-17.00 WIB; dengan tetap menyesuaikan dengan jadwal kegiatan rutin harian dan jadwal kunjungan. Perlengkapan pengambilan data dalam penelitian ini terdiri dari lembar persetujuan (informed consent), pedoman wawancara, alat tes Mini Mental State Examination (MMSE), skala subjective well-being, alat tulis untuk mencatat hal-hal penting selama proses wawancara, dan audio recorder untuk merekam temuan hasil wawancara. Perlengkapan intervensi pada penelitian ini terdiri dari segala material yang diperlukan untuk kegiatan intervensi horticultural therapy. Hewson (dalam Canadian Garden Center, 2006) menyatakan bahwa tanaman yang dipilih untuk intervensi horticultural therapy sebaiknya memiliki beberapa kriteria yaitu mudah dan cepat untuk tumbuh dan berkembang, tidak beracun, dapat bermanfaat, serta lebih baik apabila menarik dari segi warna, bentuk atau tekstur. Selain itu, lamanya tiap sesi horticultural therapy untuk lansia adalah tidak lebih dari satu setengah jam atau 90 menit. Rancangan program intervensi horticultural therapy dalam penelitian ini diadaptasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Perkins, 2010), yaitu Impact of horticultural therapy program on the well-being of low income community dwelling older adults dan oleh (Barnicle & Midden, 2003), adalah The effects of a horticulture activity program on the psychological well-being of older people in a long-term care facility.
Hasil dan Pembahasan
A. Gambaran Data Subyek
Dari 44 penghuni
Panti Werdha X, terdapat 20 penghuni poli klinik panti
dan 24 penghuni mandiri.
Dari 24 penghuni mandiri tersebut, terdapat 12 subyek yang bersedia diwawancarai dan mampu berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia
dengan baik. Dari 12 subyek tersebut, sepuluh orang di antaranya memenuhi kriteria inklusif dengan skor subjective
well-being (SWB) rendah dan rata-rata. Dari sepuluh orang subyek tersebut, terdapat delapan orang subyek yang memenuhi kriteria inklusif untuk nilai skor MMSE. Dari kedelapan subyek yang memenuhi kriteria inklusif dan eksklusif penelitian, pembagian subyek ke dalam
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan dengan melakukan teknik randomized. Dengan
demikian terdapat
masing-masing empat orang dalam
setiap kelompok. Namun, dua orang subyek tidak dapat
mengikuti penelitian ini sampai akhir.
Satu orang dari kelompok kontrol (VN) meninggal dunia pada
saat pretest,
dan satu orang dari kelompok eksperimen (ET) sakit pada saat akan berlangsung sesi intervensi. Oleh karena itu, terdapat
enam subyek dalam penelitian ini, yaitu masing-masing tiga orang dalam setiap kelompok.
1.
Subyek
MM
MM adalah seorang lansia berjenis kelamin perempuan yang telah menjadi penghuni Panti Werdha X sejak 12 Juni 2013. MM mulai tinggal di panti ketika berusia
69 tahun. MM lahir di Solo,
Jawa Tengah pada 9 Januari
1944. Selama proses pengambilan
data dan intervensi, MM berusia
71 tahun. MM memiliki ciri-ciri fisik dengan tekstur wajah oval, kulit berwarna coklat, dan rambut lurus hitam
tetapi sebagian besar sudah memutih
yang dipotong sependek pangkal leher. MM memiliki postur tubuh yang cenderung kurus dan pendek, dengan berat badan sekitar 45kg dan tinggi badan sekitar 155cm. MM bersuku bangsa Jawa dan beragama Katolik. Selama proses wawancara, MM menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Selain itu, MM memiliki kondisi medis berupa
hipertensi.
MM merupakan
anak ke empat
dari tujuh bersaudara. MM memiliki tiga kakak yang berjenis kelamin laki-laki, seorang adik perempuan, dan dua orang adik laki-laki. Saat ini, ketiga kakak
MM telah meninggal dunia.
MM memiliki tiga adik yaitu seorang
perempuan dan dua orang laki-laki yang masih hidup. Adik perempuan
MM yang merupakan anak ke lima (PS) memiliki dua anak, yaitu
laki-laki dan perempuan.
Anak perempuan PS sudah berkeluarga dan saat ini tinggal di daerah Rempoa, yang berlokasi tidak jauh dari Panti
Werdha X. Saat ini PS tinggal di Rempoa bersama dengan anak perempuannya
tersebut. Kemudian, adik MM urutan lahir ke enam
seorang laki-laki (J). Saat ini J tinggal
bersama anak bungsunya di daerah Bekasi. Kemudian, adik bungsu MM seorang lelaki (B) tinggal di daerah Tomang, memiliki tiga orang anak, dua orang perempuan dan seorang laki-laki. Sampai saat ini, tidak
satu pun dari keluarga MM tersebut yang pernah mengunjungi MM di panti.
Hubungan MM dengan
adik-adiknya tidak terlalu dekat. Kakak pertama MM yang berjenis kelamin laki-laki membawa mereka semua ke
Jakarta ketika ayah MM meninggal
dunia. Ketiga adik MM melanjutkan sekolah dan bekerja di Jakarta. MM menetap tinggal di Solo bersama ibunya. Pada tahun 1994, ibu MM meninggal karena penyakit infeksi saluran pencernaan. MM merasa sedih dan sangat kehilangan. Menurut MM diantara saudara lainnya, hanya MM yang paling dekat dengan ibunya. Ketika ibu MM sakit, MM berhenti bekerja sebagai pegawai apotek dan memilih merawat ibunya. MM tidak menikah karena
tiga kali dikecewakan oleh laki-laki. Ketiga laki-laki tersebut mengkhianati MM dan batal menikahinya. MM merasa sakit hati. MM trauma dan memutuskan untuk tidak menikah. MM lebih memilih merawat
ibunya.
Setelah ayah, ibu,
dan ketiga kakak laki-laki mereka meninggal, ketiga adik MM meminta MM untuk menjual rumah
orangtua mereka di Solo,
dan mengajak MM tinggal di
Jakarta. Pada tahun 2000 MM ke
Jakarta dan tinggal bersama
adik lelakinya di Tomang. Setelah dua bulan tinggal di sana, MM pindah ke tempat adiknya
di Rempoa. Beberapa minggu kemudian, MM mendapat pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di daerah Bintaro. MM bekerja di rumah seorang duda dengan
tiga anak. MM mengaku betah selama
hampir tiga tahun bekerja di sana dan merasa senang, karena atasannya baik dan memperlakukannya seperti keluarga sendiri. Akan tetapi, semua berubah
ketika atasannya menikah lagi. MM diusir oleh istri atasannya ketika atasannya sedang tidak berada di rumah, dengan alasan
semua sudah dapat dikerjakan sendiri olehnya. Padahal seingat MM atasannya pernah mengatakan bahwa ia menginginkan MM tetap bekerja di rumahnya walaupun ia menikah lagi.
MM merasa sedih namun tidak dapat
berbuat apa-apa karena saat itu
atasannya sedang tidak berada di rumah.
MM kemudian
kembali ke rumah adik perempuannya
di Rempoa. Selama dua minggu berada
di sana, MM mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari adik iparnya, dengan
alasan perbedaan agama. MM kemudian pergi ke rumah adik
lelakinya di Bekasi. Selama
beberapa hari di sana MM merasa tidak betah karena
perilaku adik iparnya yang mengacuhkan MM. Kemudian, MM memutuskan untuk pergi ke
rumah adiknya di Tomang. Baru satu
hari tinggal di sana, MM sudah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari adiknya. MM bingung dengan perlakuan yang ia terima dari adik-adiknya,
kemudian ia kembali ke rumah
adik perempuannya di Rempoa, dengan alasan adik perempuannya
tersebut kemungkinan dapat lebih memahaminya.
Ternyata adiknya juga tidak dapat menerima
MM di rumahnya dengan alasan menghormati suaminya. MM merasa sedih dan mengaku kecewa. MM menyesal datang ke Jakarta sesuai ajakan adiknya.
MM merasa adiknya hanya menginginkan uang hasil penjualan rumah orang tua mereka. Akhirnya MM pergi ke rumah
temannya ketika bekerja sebagai asisten rumah tangga
di Bintaro. Temannya tersebut membawa MM kepada atasannya (SL). SL mendengarkan keluh kesah MM. MM berharap dapat bekerja di rumah SL. Akan tetapi SL tidak dapat menampung
MM lebih lama. Kemudian SL membawa MM ke Gereja
X di Bintaro, dan ke Panti Werdha X. SL menyarankan agar MM tinggal di panti saja, MM akhirnya menyetujuinya karena merasa tidak
memiliki pilihan lain.
Selama tinggal
di panti, MM termasuk penghuni yang aktif mengikuti kegiatan, namun cenderung malu-malu dan menghindar apabila diminta untuk tampil di depan umum. Ketika sedang tidak ada
kegiatan, MM menghabiskan waktu duduk-duduk di depan area kamarnya sembari melamun atau membaca
Al Kitab dan buku-buku bacaan
rohani pemberian panti. Apabila ada penghuni lain yang menghampiri MM dan mengajak berbicara, baru lah MM akan menanggapinya.
Berdasarkan hasil
kuesioner dan wawancara ditemukan bahwa MM memiliki skor subjective well-being yang tergolong rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa MM merasa tidak bahagia karena
afek negatif yang lebih dominan daripada
afek positif dan kepuasan hidup secara keseluruhan. Pada item perasaan dimensi positive affect (seperti
senang, merasa didukung, dicintai, merasa sukses, dan percaya diri) MM menjawab bahwa ia jarang merasa
seperti itu, kemudian MM menjawab sering dan selalu pada dimensi negative
affect (seperti kesepian,
putus asa, sedih, kecewa, dan gagal).
MM merasa lebih banyak mengalami
kedukaan dalam hidup dibandingkan kebahagiaan. MM merasa bahwa nasibnya buruk dibandingkan kebanyakan orang. MM senantiasa mengatakan bahwa hidupnya biasa saja dan tidak ada yang istimewa. MM mengatakan, �hidup banyakan rekosonya, banyakan sedihnya, kehilangan ibu bapak, harta, calon
suami..
saiki nggak punya apa-apa, nggak bisa berbuat apa-apa.�
MM selalu merasa hidupnya sengsara karena kehilangan orang tua, harta, dan tidak berdaya karena
tidak mampu berbuat apa-apa. Hal tersebut MM ungkapkan karena ia merasakan
beberapa kali kesedihan, yaitu pada saat kehilangan orangtua (terutama ibu), diusir oleh adik-adiknya, dan terusir dari rumahnya
sendiri karena adiknya menjual rumah orangtuanya. Selain itu, MM juga merasa sedih karena
tiga kali dikecewakan dan ditinggalkan oleh kekasihnya, dan
diusir oleh istri atasan tempat MM bekerja menjadi asisten rumah tangga.
Kemudian, selama dua tahun tinggal
di panti werdha X, MM belum pernah dijenguk
oleh adik-adiknya padahal
MM sudah berusaha menghubungi mereka. MM mengaku merasa kesepian, karena tidak pernah dikunjungi
atau dihubungi oleh keluarganya dan tidak memiliki teman dekat di panti. MM merasa kecewa dengan
adik-adiknya, ia merasa tidak didukung,
tidak diterima, dan tidak dicintai oleh keluarga.
Negative
affect
yang lebih dominan pada diri MM juga terlihat dari rasa tidak percaya diri yang ia ungkapkan bahwa
ia malu apabila
diminta tampil ketika ada kunjungan
dari pihak luar panti. MM tampak sering menghindar
apabila diminta untuk tampil oleh pengurus harian panti. MM juga merasa tidak sepadan dengan
penghuni lain yang pendidikannya
lebih tinggi darinya. MM mengungkapkan bahwa ia bersekolah
hanya sampai SMP, karena ayahnya berpandangan bahwa anak perempuan tidak perlu memiliki
jenjang pendidikan yang tinggi. Hal ini membuat MM tidak memiliki teman dekat di panti dan lebih sering menghabiskan
waktu dengan melamun. Hal-hal tersebut memberikan dampak yang negatif terhadap penilaian MM mengenai hidupnya secara keseluruhan, dan membuat hidupnya jauh dari rasa kepuasan. Menurut MM hidup yang memuaskan adalah apabila dapat hidup berkumpul
bersama orangtua dan sanak saudara, merasa bahagia, tidak ada yang sakit, dan memiliki uang yang cukup. MM juga mengatakan bahwa cita-citanya tidak tercapai dan ia tidak pernah
merasa sukses. Hal tersebut ia ungkapkan
karena hubungan di dalam keluarganya tidak harmonis, dan ia tidak memiliki
uang. MM
Mengatakan bahwa
cita-citanya adalah, �keluarga masih lengkap bapak ibu
kumpul, saudara kumpul semua, tentrem,
rukun, makanan enak gak kurang, pakaian ada, uang ada. wes seneng.�
MM mengungkapkan
bahwa ia masih memiliki keinginan dapat bekerja kembali dan memiliki uang, bukan tinggal di panti. Meskipun begitu, MM masih berusaha menerima keadannya saat ini dengan
mengaku tetap berusaha tabah dan kuat menjalaninya, serta mencoba tetap
bersyukur karena ia tidak memiliki
pilihan lain. Hal tersebut ia tunjukkan
dengan berusaha tetap aktif mengikuti
berbagai kegiatan di panti, serta berusaha
tidak pernah membuat konflik dengan sesama penghuni
dan para karyawan.
2.
Subyek
HD
HD merupakan lansia berjenis kelamin perempuan yang lahir di
Banjarmasin pada 11 Oktober 1942. HD telah menempati panti werdha X selama kurang lebih
12 tahun. HD tinggal di Panti Werdha X sejak ia berusia
61 tahun, yaitu pada 6
April 2003. Selama proses pengambilan
data dan intervensi, HD berusia
73 tahun. HD memiliki ciri-ciri fisik dengan kulit berwarna
putih, rambut lurus dipotong sependek leher, dan tekstur wajah agak
panjang. HD bersuku bangsa Tionghoa dan beragama Katolik. HD mengatakan bahwa mulanya ia beragama
Budha dan berpindah agama Katolik semenjak tinggal dengan kakaknya di Jakarta. HD juga mengatakan
bahwa ia memiliki kondisi medis berupa penyakit
vertigo yang cukup sering kambuh. Selama di panti, sehari-hari HD sangat senang mengenakan daster panjang selutut bermotif bunga-bunga dan sandal jepit berbahan karet berwarna dasar putih dengan garis ungu.
HD adalah anak bungsu
dari lima bersaudara. HD memiliki dua kakak
perempuan dan dua kakak laki-laki. Kakak yang pertama perempuan (SI), bekerja di
Jakarta, dan tinggal di daerah
Jakarta Barat bersama suami
dan anak-anaknya. Saat ini SI sudah meninggal
dunia. SI meninggal pada awal
tahun 2003, beberapa bulan sebelum HD tinggal di Panti Werdha X. Kakak laki-laki HD urutan lahir ke dua
meninggal dunia karena kecelakaan kerja saat bekerja di Banjarmasin. Kakak HD ke tiga
dan ke empat meninggal karena ibu HD mengalami keguguran. Hal tersebut membuat ayah dan ibu HD sangat menyayangi HD, dan memanjakan HD.
HD hanya bersekolah sampai kelas 1 SMP. HD mengaku malas dan sering membolos dari sekolah.
HD tidak takut karena ayah dan ibunya tidak pernah memarahinya.
Sekitar
tahun 1970, ketika ayah dan
ibunya meninggal, HD dijemput oleh kakaknya (SI) dan diajak tinggal bersama. Selama tinggal bersama SI di Jakarta Barat,
HD masih berperilaku yang sama seperti ketika
tinggal dengan orangtuanya. Sehari-hari, HD hanya bermalas-malasan dan menghabiskan waktu dengan menonton televisi di rumah. Ketika membutuhkan sesuatu, ia meminta uang kepada SI. Setelah beberapa tahun, SI menganjurkan HD mengikuti kursus menjahit. Pada awalnya HD enggan untuk mengikuti
kegiatan tersebut, kemudian SI memberikan uang saku kepada HD. Selama kurang lebih
dua tahun HD mengikuti kursus menjahit. Setelah selesai, ia bekerja di salah satu salon di daerah Pasar Baru, dan membantu merancang pakaian. Selain itu, SI juga membelikan HD mesin jahit dan meminta HD membuatkan pakaian untuk keluarganya. Setelah beberapa tahun bekerja di salon tersebut, HD mengundurkan diri. Kemudian HD bekerja di salah satu perusahaan garment di daerah
Jelambar atas rekomendasi kakak iparnya. HD bekerja selama kurang lebih
tiga tahun. HD mengaku bosan dan akhirnya kembali mengundurkan diri dari pekerjaannya. Akhirnya HD memutuskan untuk di rumah saja. HD tidak menikah karena mengaku tidak ingin
salah pilih. HD mengungkapkan
bahwa banyak yang menyukai dirinya sejak dahulu, tetapi
ia tidak ingin gagal karena
salah pilih, seperti yang terjadi pada pernikahan saudara maupun temannya.
Setelah SI meninggal, HD tinggal bersama keponakannya, yaitu anak pertama
SI (AL). AL tinggal bersama
istri dan anak-anaknya.
Atas anjuran istrinya, AL membawa HD ke Panti
Werdha X. Selama berada di panti, HD termasuk salah satu penghuni yang tidak aktif mengikuti kegiatan sehari-hari. HD sering beralasan karena memiliki penyakit vertigo. Biasanya HD hanya mengikuti kegiatan doa dan misa bersama. Ketika penghuni lain berkumpul untuk makan bersama,
HD biasanya makan sendiri di kamar. HD jarang ikut makan
bersama penghuni lain. Sehari-hari HD lebih sering berdiam
diri atau hanya berbaring di kamar.
Hasil kuesioner dan wawancara menunjukkan bahwa HD memiliki skor subjective well-being yang tergolong rendah. Artinya, HD banyak merasakan negative
affect dalam dirinya. Apabila dilihat kembali pada setiap butir kuesioner, tingginya skor negative affect karena
HD menjawab bahwa ia memang pernah
mengalami berbagai macam negative affect
seperti putus asa, kesepian, sedih, marah, gagal,
dan kecewa. Hal tersebut terlihat dari hasil
wawancara, HD sering mengatakan bahwa lebih baik apabila
ia meninggal dunia daripada hidup dengan keadaan seperti saat ini.
HD mengatakan, �enak waktu masih ada mama, papa, sama cici...lebih baik
mati.
ikut mereka, sekarang nggak enak lagi, ponakan
banyak tapi beda-beda.� Kehilangan
orangtua dan kakaknya yang selama ini menjadi
tumpuan hidup HD, membuatnya merasa frustrasi karena kehilangan sumber finansial. HD juga sering mengatakan, �iya...sering putus asa
masalah keuangan, kalo nggak ada
uang nggak ada dibantu, bakal makan apa, cuma
dapet uang jajan dari gereja.� HD mengaku sering berdoa supaya Tuhan
cepat memanggilnya, karena menurut HD lebih baik meninggal
dunia daripada hidup tetapi tidak memiliki
uang, dan menurutnya tinggal
di panti adalah menunggu waktu dipanggil Tuhan.
Selain
itu, penilaian negatif HD terhadap diri sendiri adalah
terkait kegagalannya dalam bidang pendidikan,
yang menurutnya menjadi penyebab kehidupannya menjadi seperti saat ini. HD mengakui
bahwa hal tersebut karena kesalahannya sendiri di masa lalu. Hal tersebut terlihat dari HD sering mengeluhkan keuangannya akibat masalah pendidikannya. HD beberapa kali mengatakan, �kalo dulu enggak males-malesan, ugal-ugalan, sekolah sampe selesai, masih bisa punya uang sendiri pasti sekarang.�
Kemudian, HD juga mengungkapkan
bahwa ia adalah anak paling malas di keluarga dan sekarang menyesal. Ia mengaku
merasa bersalah.
HD mengaku tidak aktif
dan tidak antusias apabila ada kegiatan
di panti. HD lebih memilih untuk beristirahat
di kamar. HD mengungkapkan bahwa ia memang
pemalas sejak kecil. HD mengatakan, �merasa ugal-ugalan di panti, bebas aja
gitu, suka-suka. Yah kadang mau nggak
mau aktif karena terpaksa, kadang harus diuber-uber
dulu haha. Di sini nggak bebas,
musti ikut kegiatan, terus bantu mahasiswa, kalo lagi ada
mahasiswa. Pengennya ugal-ugalan kayak dulu, keluar, keluyuran, ke pasar, belanja...tapi musti ada
duit ya. Kalo ada duit
lebih baik keluyuran. Males kalo bantu mahasiswa, ngantuk, enakan tidur.� Ketika ditanya mengenai perasaan selama tinggal di panti, HD langsung mengatakan, �sedih
di panti, tapi kalo ada pengunjung
seneng, kalo bawaannya bagus duitnya dikasihnya banyak.� HD mengungkapkan bahwa kadang-kadang ia masih bersyukur,
jika diberikan uang saku dari pihak
gereja atau dari pengunjung panti. HD juga berusaha mencoba senang, ia mengatakan, �mau nggak mau
diseneng-senengin aja, dipaksain...kalau ada rame pengunjung
ya baru seneng,
apalagi kalau kunjungan yang bagus bukan abal-abal, bawa barang-barang bagus, kasih makanan
enak, uang banyak, haha.� HD juga mengaku belum merasa puas
dengan hidupnya. Ia merasa puas
apabila memiliki uang sendiri dan dapat digunakan untuk bepergian, jalan-jalan, serta membeli makanan
enak. Selain itu, HD mengatakan bahwa ia memiliki
cita-cita menjadi orang
kaya. Hal tersebut menurutnya
belum dapat tercapai karena ia malas.
3.
Subyek
NL
NL adalah seorang lansia berjenis kelamin perempuan yang telah menempati panti werdha X sejak Juni 2006. NL lahir di Manado pada 16 Oktober
1938. Selama proses pengambilan
data dan intervensi, NL berusia
77 tahun. NL memiliki� ciri-ciri fisik dengan
kulit berwarna putih, tekstur wajah yang persegi, hidung mancung,dan rambut ikal berpotongan
pendek yang sudah memutih semua. NL memiliki postur tubuh yang tidak tinggi, dengan tinggi badan sekitar 155cm dan berat badan sekitar 50kg. Selain itu, NL memiliki kondisi medis berupa hipertensi
dan diabetes.
NL adalah anak ke
tiga dari enam bersaudara. Keempat saudara NL sudah meninggal, hanya NL dan kakak perempuan keduanya yang masih hidup, dan saat ini sedang
berada di Belanda. NL mengungkapkan
bahwa ia bersekolah sampai SMA. NL juga kerap membanding-bandingkan dirinya dengan saudara-saudaranya terkait pendidikan. NL selalu merasa dirinya yang paling bodoh dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Hal tersebut karena ayah NL sering membanding-bandingkan mereka. NL menceritakan bahwa ia telah
memiliki tiga orang anak, yang terdiri dari seorang laki-laki
dan dua orang perempuan. Namun, dua orang anak perempuan NL telah meninggal dunia sejak dalam kandungan.
Suami NL telah meninggal tahun 1997 karena sakit liver. Sebelum tinggal di Panti Werdha X, NL tinggal di daerah Cengkareng bersama dengan anak lelaki
satu-satunya. Anak lelaki
NL (R) tidak menikah, karena terlalu sibuk bekerja. Alasan NL memilih tinggal di panti werdha adalah atas
saran dari adik sepupunya (L) dan karena R kurang memedulikannya. NL mengatakan bahwa sebenarnya ia akan
lebih senang jika dapat tinggal
bersama dengan anak laki-lakinya, daripada tinggal bersama sepupunya maupun tinggal di panti. NL merasa sedih karena anaknya
sekalipun belum pernah mengunjunginya selama ia tinggal
di panti, walaupun sepupunya kerap menghubungi NL melalui telepon.
Selama
tinggal di panti, NL termasuk penghuni yang cukup aktif mengikuti
kegiatan. Apabila panti sedang mengadakan
acara atau mendapatkan kunjungan dari pihak luar, NL tidak segan untuk
tampil di depan umum. Ketika sedang tidak ada kegiatan,
NL biasanya menghabiskan waktu dengan memasak
sendiri di dapur khusus untuk penghuni
atau berdoa di kapel dan bermain alat musik organ di kapel. Selama tinggal
di panti, NL sudah empat kali berganti teman kamar. Hal tersebut terjadi karena ada ketidakcocokan
di antara mereka.
Berdasarkan
hasil kuesioner dan wawancara terlihat bahwa NL memiliki skor subjective well-being yang tergolong
rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa NL kurang bahagia. NL merasa kurang bahagia
karena afek negatif yang lebih dominan daripada afek positif dan kepuasan hidup secara keseluruhan. Afek negatif ini berasal
dari hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya
dan penilaian NL terhadap diri sendiri. NL menilai negatif dirinya dengan selalu merasa tidak
berguna. NL seringkali mengatakan, �ya non..
sudah tua bagaimana bisa berguna.� NL juga mengaku jarang merasa bangga,
ia mengatakan �baru bangga kalo bisa buat
sesuatu yang bikin senang dan berhasil, oma belum pernah
sejak dulu.� Selain itu, NL juga sering merasa putus
asa. Kemudian ia akan berdoa.
�ya sering, putus asa, bawa
dalam doa, cuma Tuhan. Sodara
atau teman belum tentu bisa
tolong, pada gak bisa. berdoa banyak-banyak, cuma Tuhan yang bisa tolong, apa-apa.�
NL juga merasa bersalah apabila tidak pergi
beribadah ke gereja. Selain itu, NL kerap menyalahkan
diri karena merasa bersalah terhadap anaknya, karena menurutnya anaknya tidak menginginkan
NL berada di panti. Meskipun sibuk NL merasa anaknya masih menginginkan agar NL dapat tinggal bersamanya.
Afek negatif juga berasal dari hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya.
Hubungan yang kurang baik dengan pengurus
harian panti, membuat NL lebih mudah merespon secara negatif terhadap hal-hal yang dilakukan pengurus tersebut. Selama dua tahun pertama
di panti, NL merasa senang, karena merasa dekat dengan
IR (salah satu pengurus harian panti). Sekarang sudah tidak merasa dekat,
karena penghuni lain iri dengan kedekatan
mereka. Menurut NL saat ini IR lebih
dekat dengan penghuni lain yang memiliki uang lebih banyak darinya.
Selain itu, hubungan yang kurang baik dengan sesama
penghuni panti, terutama teman sekamarnya, membuat NL menjadi mudah tersinggung,
berprasangka buruk, dan menilai buruk temannya
tersebut. NL mengatakan,
�NK lebih banyak uangnya, dia punya uang pensiun. NK lebih disayang oleh karyawan panti dibanding saya.� Hal-hal tersebut juga membuat NL tidak merasa puas
dengan hidupnya. Menurut NL, hidup memuaskan apabila selalu memiliki uang. NL mengaku sempat merasakan kepuasan ketika masih mampu
bekerja. NL mengatakan, �kalau sudah tidak ada uang, tidak menyenangkan, yang menyenangkan semua, mau beli ini
itu ada uang, mau makan mau
apa aja semua.
Kalau ada uang, senang.�
Menurut
NL, tidak ada saling harga-menghargai di panti. NL menambahkan tidak ada kedamaian
karena teman sekamar sering melapor yang tidak benar mengenai NL kepada pengurus harian. NL merasa sedih, karena NK lebih didengarkan oleh karyawan panti karena NK memiliki uang lebih banyak dibanding
NL. Hal-hal tersebut membuat NL sering merasa kesepian, karena tidak memiliki
teman di panti dan tidak pernah mendapat
kunjungan dari anaknya. Biasanya NL akan mencoba mengatasinya
dengan berdoa sendiri atau bermain
alat musik organ di kapel panti. Di kapel biasanya NL akan merenung dan selalu berusaha bersyukur karena masih hidup, masih
dapat bernafas.
NL menganggap dirinya lebih rendah dan kurang mampu dibandingkan
teman-temannya. Meskipun NL
menyangkal bahwa ia tidak merasa
rendah diri, tetapi sebenarnya ada perasaan bahwa
ia tidak sama dan tidak memiliki materi sebanyak temannya tersebut. Secara tidak langsung NL membuat penilaian negatif terhadap dirinya sendiri dan tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan olehnya. Meskipun pada akhirnya NL berusaha mengatasinya dengan kembali berpegang pada agama, tetapi hal tersebut tidak
cukup untuk mengatasi afek negatif yang muncul.
4.
Subyek
PN
PN lahir 1 April 1941 di Cepu, Jawa Tengah. Ia mulai tinggal di Panti Werdha X sejak Juli 2013. Selama proses pengambilan data
dan intervensi, PN berusia
74 tahun. PN memiliki ciri-ciri fisik dengan tekstur wajah panjang, kulit berwarna coklat, dan rambut lurus hitam tetapi
sebagian sudah memutih yang dipotong sependek bahu. PN memiliki postur tubuh yang cenderung tinggi besar, dengan berat
badan sekitar 60kg dan tinggi
badan sekitar 165cm. PN bersuku
bangsa Jawa dan beragama Katolik.
PN adalah anak ke
tiga dari sembilan bersaudara. PN mengungkapkan bahwa ia bersekolah sampai
jenjang strata satu. PN
juga pernah bekerja di beberapa perusahaan di Jakarta
dan Bogor. PN tidak menikah.
PN tidak menikah karena ayahnya beberapa kali tidak menyetujui hubungan PN dengan kekasihnya. Sebelum tinggal di Panti Werdha X, PN tinggal di daerah Ulujami, Jakarta Selatan bersama dengan kakaknya. Menurut PN, alasannya memilih tinggal di panti adalah karena
saran dari teman dekatnya. PN memutuskan mengikuti saran temannya tersebut karena ia hanya hidup
seorang diri. PN juga tidak enak apabila
harus terus-menerus tinggal bersama kakak maupun adiknya
dan bersama keluarga mereka. PN berharap mendapatkan keluarga baru di panti. PN termasuk salah satu penghuni yang aktif mengikuti berbagai kegiatan di panti. Ketika sedang tidak ada
kegiatan, PN biasanya menghabiskan waktu membaca koran di depan area kamarnya.
Hasil kuesioner dan wawancara menunjukkan bahwa PN memiliki skor subjective
well-being yang tergolong rendah,
PN merasa tidak bahagia karena afek negatif yang tinggi dibandingkan afek positif atau
kepuasan hidup. PN cenderung membatasi diri dalam hubungan
dengan penghuni lain karena mengganggap pendidikan PN lebih tinggi dibandingkan penghuni panti lainnya.
Hubungan
yang kurang baik dengan beberapa penghuni panti, membuat PN lebih mudah merespon secara negatif terhadap hal-hal yang dilakukan oleh mereka. Hal tersebut juga membuat PN menjadi mudah tersinggung
dan menilai buruk teman-temannya tersebut. Hal tersebut PN ungkapkan dengan �bingung dengan perilaku oma-oma di panti ini, ya saya
berusaha belajar memahami, tinggal dengan yang seumuran itu bagaimana, tetapi ya tidak
terima kalau tidak dihargai.� Selain itu, afek
negatif terlihat dari penilaian PN terhadap diri sendiri.
PN menilai negatif dirinya dengan tidak pernah merasa
bangga terhadap dirinya sendiri, meskipun berpendidikan tinggi. PN juga mengatakan bahwa ia merasa
tidak puas dengan hidupnya, tetapi masih dapat
ia terima. Hidup yang memuaskan menurut PN adalah apabila memiliki uang banyak, tabungan melimpah, serta memiliki suami, anak, dan cucu. Menurut PN kondisinya saat ini jauh
dari hal tersebut.
5.
Subyek
NI
NI lahir di Purwokerto pada 25 Desember 1941. NI merupakan lansia berjenis kelamin perempuan yang sudah tinggal di panti werdha X selama lebih dari
5 tahun, tepatnya sejak 2 Oktober 2010. Selama proses pengambilan data
dan intervensi, NI berusia
71 tahun. NI bersuku bangsa Jawa dan beragama Katolik. NI memiliki ciri-ciri fisik dengan tekstur
wajah oval, kulit berwarna coklat, dan rambut lurus hitam
yang dipotong sependek pangkal leher. NI memiliki postur tubuh yang cenderung gemuk dan pendek, dengan berat badan sekitar 85kg dan tinggi badan sekitar 150cm. Selain itu, NI memiliki kondisi medis berupa
hipertensi, diabetes, kolesterol,
dan asam urat. Saat ini, NI terkadang
menggunakan alat bantu untuk berjalan
karena kakinya sedang� sakit.
NI merupakan anak bungsu dari tujuh
bersaudara. NI memiliki enam orang kakak, yaitu empat orang kakak laki-laki dan dua orang kakak perempuan. Saat ini semua kakak
NI sudah meninggal. NI masih memiliki beberapa keponakan yang merupakan anak kakak-kakaknya. Penanggungjawab
NI di panti adalah keponakan perempuan NI (LN) yang merupakan anak perempuan kakaknya. Sejak kecil NI tinggal di Purwokerto. NI bersekolah sampai SMP di Purwokerto. Setelah lulus SMP, ia
bekerja di salah satu salon
di dekat tempat tinggalnya. Kemudian, atas saran ayah dan ibunya, NI pindah ke Jakarta dan tinggal bersama kakaknya. Setelah ayah dan ibunya
meninggal dunia, NI tinggal
menetap di Jakarta. Selama
di Jakarta, NI pernah bekerja
pada bagian administrasi di
salah satu gereja di
Jakarta Pusat. Selain itu,
NI juga kerap membantu mengurus makanan untuk acara di gereja. Setelah itu, NI tinggal bersama kakaknya di daerah Tangerang Selatan, dan bekerja
sebagai kasir di Apotek di daerah Pamulang, Tangerang Selatan. Setelah kakak
NI meninggal, keponakan NI menganjurkan agar NI tinggal di Panti Werdha X saja, agar NI mendapatkan teman seusianya untuk bercerita-cerita.
Selama
tinggal di panti, NI merupakan salah satu penghuni yang cukup aktif mengikuti kegiatan. NI mengikuti hampir semua kegiatan
yang ada di panti. Ketika sedang tidak ada
kegiatan, NI biasanya menghabiskan waktu dengan memasak sendiri di dapur khusus untuk penghuni.
Kemudian NI akan membagi-bagikan makanan hasil masakannya tersebut kepada pengurus dan beberapa penghuni panti. Saat ini NI harus
berhati-hati saat berjalan dan harus menggunakan alat bantu, karena ia
telah terjatuh sebanyak tiga kali, salah satunya di kamar mandi. Akibat jatuh ini,
NI tidak dapat bergerak bebas, dan sering meminta pertolongan. Hal ini membuatnya merasa bahwa dirinya kurang
kuat. Hal tersebut membuat NI sering meminta bantuan kepada karyawan maupun teman sekamar.
Secara
keseluruhan, NI memiliki skor subjective
well-being yang tergolong rendah.
Hal tersebut didapatkan dari hasil kuesioner
dan wawancara yang menunjukkan
bahwa tingkat kebahagiaan yang dimiliki NI rendah. Terlihat bahwa pada diri NI afek negatif lebih
dominan daripada afek positif dan kepuasan hidup. NI mengaku sering merasa putus asa
karena perilaku karyawan panti dan teman sesama penghuni
panti. NI melihat bahwa karyawan dan teman sesama penghuni
tidak ada yang tulus dalam memberikan
bantuan, padahal pengurus harian selalu menekankan agar mereka senantiasa saling tolong-menolong. Akan tetapi, karyawan akan segera menolong
apabila segera diberi imbalan, sedangkan teman sesama penghuni setelah menolong biasanya akan membicarakan
dibelakang NI. Hal tersebut
membuat NI lebih memilih diam saja dan membatasi komunikasi dengan sesama penghuni
maupun karyawan. Hal tersebut membuat NI merasa kesepian. Padahal ia berharap
akan mendapatkan teman.
Selama
tinggal di panti, NI mengatakan bahwa NI merasa tidak didukung
karena merasa dikucilkan oleh sanak saudaranya. NI mengatakan, �pada
boong sih katanya di panti enak, nggak taunya
begini.� NI mengungkapkan
bahwa sanak saudaranya memberitahu dirinya bahwa tinggal
di panti menyenangkan karena banyak teman
seusia NI. Akan tetapi ternyata mengecewakan. NI mengaku kecewa karena setelah ia jalani, tinggal
di panti lebih banyak sedihnya. Kesedihan NI diperparah dengan tidak adanya
kunjungan dari pihak keluarga, yang membuatnya merasa telah dilupakan oleh keponakannya. Selain itu, NI tidak memiliki
cita-cita. NI hanya berharap ingin menjadi orang kaya, agar dapat memberikan sesuatu kepada orang lain. Hal tersebut membuatnya senang. NI juga tidak pernah merasa
sukses, karena menurutnya walaupun ia pernah bekerja
di beberapa tempat, tetapi masa tuanya dihabiskan untuk tinggal di panti dan tidak dapat bermanfaat.
NI merasa hidupnya jauh dari rasa puas.
6.
Subyek
JA
JA lahir di Bandung pada 5 Februari
1945. JA tinggal di panti sejak 11 Agustus 2005. Selama proses pengambilan data
dan intervensi, JA berusia
70 tahun. JA memiliki ciri-ciri fisik dengan tekstur wajah bulat, kulit
berwarna coklat, dan rambut lurus hitam
yang dipotong sependek telinga. JA memiliki postur tubuh yang cenderung kurus dan pendek, dengan berat badan sekitar 50kg dan tinggi badan sekitar 145cm. Selain itu, JA memiliki kondisi medis berupa
hipertensi.
JA adalah anak bungsu dari
enam bersaudara. JA mengungkapkan bahwa ia bersekolah sampai
tingkat diploma jurusan keperawatan. JA juga pernah bekerja di salah satu rumah sakit di Jakarta, dan� di yayasan kanker di Jakarta. JA menceritakan bahwa ia memiliki seorang
anak laki-laki. Suami JA telah meninggal dunia saat usia pernikahan mereka empat tahun
karena gugur dalam tugas dinas.
Sebelum tinggal di Panti Werdha X, JA tinggal di Jakarta bersama dengan anak laki-laki,
menantu, dan cucunya. Menurut JA, alasannya memilih tinggal di panti adalah karena
anaknya kurang memedulikannya dan atas saran dari temannya. JA mengatakan bahwa ia akan lebih
senang jika dapat tinggal bersama
dengan anaknya, daripada tinggal di panti. Namun, JA merasa kurang dekat
dengan menantunya. Selain itu, anak
laki-lakinya pun telah mengungkapkan tidak dapat membawa JA untuk tinggal bersama
keluarganya karena istrinya tidak mengijinkan JA tinggal bersama mereka. JA mengaku sedih dan kecewa karena telah
merawat anaknya tersebut dengan penuh perjuangan, tetapi anaknya seperti tidak tahu
diri. JA mengungkapkan bahwa ia tidak
pernah mendapatkan kunjungan dari keluarga. Ia menceritakan
bahwa selama tinggal di panti anaknya hanya mengirimkan
biaya pembayaran panti melalui rekening.
Selama
tinggal di panti, JA termasuk salah satu penghuni yang tidak aktif mengikuti kegiatan. JA hanya mengikuti beberapa kegiatan yang ada di panti, seperti doa dan misa, serta
menyanyi bersama. Ketika sedang tidak ada
kegiatan, JA biasanya menghabiskan waktu dengan duduk-duduk sembari melamun di depan area kamarnya.
Hasil kuesioner dan wawancara menunjukkan bahwa JA memiliki skor subjective
well-being yang tergolong rendah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan
yang dimiliki JA rendah. JA
merasa tidak bahagia karena afek negatif yang lebih dominan daripada
afek positif dan kepuasan hidup secara keseluruhan. JA merasa sedih karena
tidak dapat membesarkan anaknya dengan baik dan benar. JA merasa kecewa karena perilaku
anaknya yang mencampakannya.
Padahal JA berharap dapat hidup bersama-sama
dengan anak tunggalnya tersebut sampai ia meninggal
dunia. Menurut JA hidup
yang memuaskan adalah apabila berhasil dalam membesarkan anak dan dirawat oleh anak ketika sudah
lansia. JA merasa hidupnya sama sekali
tidak memuaskan, karena telah gagal
dalam mendidik anaknya. Walapun JA pernah merasa dipercaya
ketika bekerja, menurutnya hal tersebut sudah masa lalu dan tidak ada gunanya lagi.
Saat ini JA mengaku hanya berpasrah
diri karena merasa sudah tidak
berguna dan bersiap menanti dipanggil oleh Tuhan.
Tabel 1
Identitas Subyek Penelitian
|
Kelompok Eksperimen |
Kelompok Kontrol |
||||
Inisial nama |
MM |
HD |
NL |
PN |
NI |
JA |
Jenis kelamin |
P |
P |
P |
P |
P |
P |
Tempat lahir |
Solo |
Banjarmasin |
Manado |
Cepu |
Purwokerto |
Bandung |
Tanggal lahir |
9 Januari 1944 |
11 Oktober 1942 |
16 Oktober 1938 |
1 April 1941 |
25 Desember 1941 |
5 Februari 1945 |
Usia |
71 tahun |
73 tahun |
77 tahun |
74 tahun |
74 tahun |
70 tahun |
Urutan kelahiran |
4 dari 7 |
5 dari 5 |
3 dari 6 |
3 dari 9 |
7 dari 7 |
6 dari 6 |
Status pernikahan |
Tidak menikah |
Tidak menikah |
Menikah (janda) |
Tidak menikah |
Tidak menikah |
Menikah (janda) |
Jumlah anak |
- |
- |
1 (laki-laki) |
- |
- |
1 (laki-laki) |
Jumlah cucu |
- |
- |
- |
- |
- |
1 (perempuan) |
Agama |
Katolik |
Katolik |
Katolik |
Katolik |
Katolik |
Katolik |
Pendidikan |
SMP |
1 SMP |
SMA |
S1 |
SMP |
Diploma jurusan keperawatan |
Tanggal masuk panti |
12 Juni 2013 |
6 April 2003 |
6 Juni 2006 |
28 Juli 2013 |
2 Oktober 2010 |
11 Agustus 2005 |
Lama tinggal di panti (September 2015) |
2 tahun 3 bulan |
12 tahun 5 bulan |
9 tahun 3 bulan |
2 tahun 2 bulan |
5 tahun |
10 tahun 1 bulan |
Penanggung jawab di panti |
Pihak gereja dan atasan teman |
Pihak gereja dan keponakan |
Sepupu |
Pihak gereja dan teman |
Keponakan |
Anak |
Terakhir kali dikunjungi keluarga, teman, kerabat |
Tidak pernah |
Tidak pernah |
Tidak pernah |
Tidak pernah |
Tidak pernah |
Tidak pernah |
B. Intervensi
Sesi
pertama dilakukan pada tanggal 26 September 2015. Kegiatan
yang pertama dilakukan adalah melihat foto-foto tanaman
dan video pertumbuhan tanaman,
kemudian diskusi mengenai bercocok tanam (psikoedukasi mengenai bercocok tanam), dan diskusi mengenai pengalaman bercocok tanam yang sudah pernah dilakukan
sebelumnya (jika ada), serta berdiskusi
mengenai bercocok tanam dengan menggunakan
benih. Semua subyek mengikuti kegiatan hari ini.
Pada saat melihat foto-foto tanaman dan video pertumbuhan tanaman mereka tampak serius
memperhatikan sembari sesekali memberikan komentar. NL beberapa kali menunjuk-nunjuk pada video. Ketika video berakhir, MM berkomentar bahwa senang apabila
tanaman timun sudah berbuah, senang sudah berharap
dan berhasil. Ketika mendengar
hal tersebut, NL juga memberikan komentar bahwa senang juga apabila timunnya besar. HD tampak tersenyum lebar ketika melihat buah timun sudah
dipanen dan beberapa kali mengatakan berapa lama tanaman timun dapat
dipanen. Pada saat berdiskusi, NL mengingat tanaman bunga-bunga yang pernah ia tanam
di rumahnya. Ia juga pernah mencoba menanam cabai di panti tetapi tidak
tumbuh. Ia mengira hal tersebut
karena tanah di panti tidak subur,
karena tidak ada yang merawat. Ia merasa kecewa
karena tanah di panti menurutnya cukup besar tetapi
tidak dimanfaatkan. MM lebih banyak mendengarkan,
dan ketika ditanya ia menceritakan pengalamannya ketika membantu ibunya merawat tanaman buah timbul, ia
mengaku senang karena tanaman timbul tersebut berbuah beberapa kali dan dapat dibagikan ke tetangga-tetangganya. MM juga mengingat ketika memasak sayur timbul
bersama ibunya (ketika menceritakan hal ini MM tampak
sedikit berubah). HD lebih sering bertanya
kapan timun dapat dipanen. Di akhir diskusi NL kembali mengatakan kapan dapat memulai
bercocok tanam agar segera dapat melihat
timun. HD memberikan komentar balasan dengan kembali menanyakan berapa lama timun dapat dipanen.
MM menanggapi sembari tertawa dengan komentar bahwa bercocok tanam belum juga dimulai tetapi sudah menanyakan
hasil. Ketika peneliti berpamitan akan pulang, NL kembali menanyakan kapan memulai kegiatan bercocok tanam.
Sesi ke
dua dilakukan pada 27
September 2015. Kegiatan pada sesi
dua adalah memulai bercocok tanam bersama:, yaitu mempersiapkan
lahan dan mengolah tanah. Kegiatan mengolah tanah hari itu diikuti
oleh NL, HD, dan MM. HD beberapa kali mengeluh kesulitan ketika mengolah tanah, dan beberapa kali berhenti untuk melihat ke arah
MM dan NL. Tampak HD berharap
akan mendapatkan bantuan MM. MM berkomentar semoga berhasil karena sudah bersusah
payah. NL berkomentar, sesuai yang sudah pernah ia katakan
tanah di panti kurang subur karena
tidak pernah ada yang mau merawat
padahal ada pengurus kebun.
Sesi ke
tiga dilaksanakan pada 4 Oktober 2015. Kegiatan pada sesi ke tiga
adalah menanam bersama, yaitu menyiapkan benih timun, dan menghitung jumlahnya, membuat garitan atau ubang
pada lahan dan menyesuaikan
jaraknya, menebarkan benih timun secara
merata pada lubang yang sudah dibuat, menutup
benih yang sudah ditebarkan pada lubang dengan tanah di sekitar lubang, serta berdiskusi mengenai kesan setelah bercocok tanam. Kegiatan hari itu diikuti
oleh HD, NL, dan MM. Mereka tampak
menanam timun bersama-sama. Terlihat beberapa kali HD meminta tolong kepada MM. Hal tersebut membuat NL memberikan komentar agar HD mengerjakan sendiri. HD menanggapi dengan tertawa dan mengatakan bahwa MM bersedia membantunya.
Sesi ke
empat dilaksanakan pada 13 Oktober 2015. Kegiatan hari itu adalah
menyiram tanaman dan memonitor pertumbuhan tanaman, serta berdiskusi mengenai pertumbuhan tanaman.� Pada hari itu ketiga subyek
belum melakukan penyulaman karena semua benih timun
tumbuh dengan baik. Selanjutnya, sesi ke lima dilaksanakan
pada 20 Oktober 2015. Kegiatan
sesi lima adalah melakukan penyiangan, melakukan penjarangan, melakukan pemupukan dan pendangiran tanah, memasang lanjaran, menyiram tanaman dan memonitor pertumbuhan tanaman. Ketika melakukan penyiangan, HD datang terlambat. MM dan NL memulai terlebih dahulu. MM mengatakan kepada peneliti bahwa oma HD malas, sementara NL tertawa melihat HD terlambat.
Sesi ke
enam dilaksanakan pada 29 Oktober 2015. Kegiatan sesi ke enam
adalah melakukan penyulaman, penyiram tanaman, dan memonitor pertumbuhan tanaman. Hari itu dilakukan penyulaman
karena tanaman timun milik bersama
mati. Penyulaman dilakukan oleh MM, dan diperhatikan
oleh NL. HD tidak ikut seta
kegiatan hari itu karena mengaku
sakit perut. NL hanya tertawa mendengar
alasan HD, sedangkan MM berkomentar dibelakang HD, bahwa HD malas. Kemudian sesi ke tujuh
dilakukan pada 3 November 2015. Kegiatan
hari itu adalah menyiram tanaman dan memonitor pertumbuhan tanaman. Pada hari itu, MM mengeluhkan
kepada peneliti bahwa hanya ia
yang rajin menyiram tanaman.
Sesi ke
delapan dilakukan pada 10
November 2015. Kegiatan pada hari
itu adalah melakukan penyiangan dan pendangiran tanah, menyiram tanaman dan memonitor pertumbuhan tanaman, serta berdiskusi. Kemudian hanya MM dan NL yang mengikuti kegiatan hari itu.
Pada hari itu sudah muncul calon/
bakal buah timun. MM mengatakan senang sekali sudah
terlihat bakal calon buah. NL sembari tertawa juga mengatakan hal yang serupa namun ia
mengaku sedih karena tanamannya hanya terdapat satu calon bakal
buah, sedangkan HD yang
malas terdapat banyak calon buah. MM menanggapi dengan mengatakan bahwa tidak apa-apa siapapun
yang berhasil, yang penting
ada buah yang berhasil dipanen, tidak masalah punya siapapun. Akan tetapi kepada peneliti MM mengatakan memang HD pemalas dan awas saja apabila HD meminta buah milik
MM.
Sesi ke
sembilan dilaksanakan pada
27 November 2015, kegiatan pada hari
itu adalah memonitor� perkembangan
buah timun, melakukan pendangiran tanah dan memberikan pupuk tambahan (apabila diperlukan), serta memanen timun
yang sudah dapat dipanen. Kegiatan hari itu, sebelum
memanen bersama, dilakukan pemberian pupuk tambahan dan pendangiran tanah. Ketiga subyek tampak
bersemangat melakukan kegiatan tersebut. Mereka tidak sabar
untuk memetik buah timun yang sudah siap di panen.
HD tampak bangga dan senang karena timun
miliknya yang memiliki bakal calon buah
paling banyak dibandingkan milik MM dan NL. Panen hari itu dipetik
tiga buah timun. Satu buah berasal dari pohon
MM, dan dua buah dari HD. Terlihat HD kecewa ketika melihat
dua buah timunnya dimakan hama (kemungkinan tikus). Ia sedih
melihat dua buah timunnya tersebut
masih menggantung tetapi separuh sudah busuk bekas
dimakan hama. NL tampak sedih karena
satu buah timunnya miliknya hilang, (tanpa bekas), kemungkinan ada yang mengambil.
Selanjutnya adalah
sesi sembilan (panen tahap dua)
yang dilaksanakan pada 1 Desember
2015. Kegiatan sesi ini adalah memanen
timun yang sudah dapat dipanen, memonitor bakal/ calon buah yang lain, mengolah atau memakan
langsung hasil timun tersebut bersama-sama, dan berdiskusi. Panen tahap ke
dua dipetik empat buah timun,
dua buah berasal dari pohon
MM dan satu buah berasal dari pohon
NL, dan satu buah dari pohon milik
karyawan. Tiga buah timun yang dipanen sebelumnya (panen tahap pertama)
masih tersisa 1 buah milik MM dan setengah buah milik
HD, dan di simpan di lemari
es (satu buah timun milik HD sudah dipotong-potong dan dimakan oleh dua orang karyawan/ pengurus harian, dan yang separuh sudah dimakan oleh HD sendiri). Melihat timun-timun tersebut, NL mengusulkan membuat asinan Manado (gohu). MM setuju saja. Kemudian
NL menyiapkan bahan-bahan
dan meminta bantuan MM untuk mengupas dan memotong-motong timun. NL membuat sambal kuahnya, dibantu dua orang karyawan. HD ikut duduk sesekali sambil memperhatikan MM mengupas timun dan NL menyiapkan bumbu kuah. Kemudian
ketiga makan bersama sembari berbincang-bincang. NL mengatakan
akan memasak apa lagi jika
ada timun yang dapat dipanen kembali.
MM langsung mengatakan ia memiliki tiga
calon buah timun yang sudah hampir besar. MM mengatakan akan memakannya langsung, sebagai lalapan. NL tertawa dan menawarkan apabila ada buah
timun yang siap dipanen ia siap
untuk memasak kembali. Kemudian HD tertawa lalu menanyakan
calon buah timunnya masih ada berapa. NL tertawa, kemudian MM mengatakan bahwa HD harus melihat dan memeriksa sendiri ke kebun. HD tertawa
dan menanyakan akan menanam apa lagi
setelah ini. MM tersenyum dan menjawab, menanam apapun boleh asal rajin
merawatnya. NL tertawa. HD menjawab ia rajin
mendoakan. Kemudian mereka tertawa. NL berkomentar kembali, bagus apabila tanah
di panti ditanami banyak sayuran, cabaii, buah-buahan. MM menimpali dengan mengatakan menanam apa saja bagus,
asalkan niatnya ada dan mau merawat
mulai dari mengolah tanahnya, merawat setiap hari, hingga memberikan
hasil. (Gambaran kegiatan
program intervensi horticultural therapy dan dinamika subyek pada masing-masing sesi tertera dalam lampiran
8 dan lampiran 9).
C. Hasil Analisis Kuantitatif
(Uji Hipotesis)
Uji hipotesis
dilakukan dengan menggunakan uncorrelated
data / independent sample t-test. Skor yang dijadikan
perhitungan adalah gain score, yaitu
selisih antara skor posttest dengan pretest (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2005).
Dari hasil uji independent
sample t-test, terlihat bahwa
nilai t pada baris pertama
(equal variance assumed), yaitu nilai t = 4,451 (p <
0,05). Hal ini menunjukkan bahwa skor kedua
kelompok berbeda secara signifikan. Maka, tolak H0 terima Ha. Artinya, terdapat perbedaan yang signifikan pada skor subjective well-being (SWB) lansia di Panti Werdha X yang mendapatkan kegiatan sehari-hari dan horticultural therapy pada pengukuran akhir dengan yang mendapatkan kegiatan sehari-hari saja. Perbedaan yang signifikan tersebut lebih jelas terlihat
dari hasil mean atau
rata-rata skor SWB pada kedua
kelompok. Pada kelompok eksperimen, nilai mean = 25,33; sedangkan
pada kelompok kontrol, nilai mean =
6,33. Artinya, penerapan
program intervensi horticultural therapy dan kegiatan sehari-hari di Panti Werdha X, yaitu doa, misa, dan senam bersama pada kelompok eksperimen terbukti lebih efektif dalam
meningkatkan SWB lansia dibandingkan yang didapatkan pada
kelompok kontrol yaitu kegiatan sehari-hari di Panti Werdha X, berupa doa, misa, senam, dan menyanyi bersama. Hal tersebut menunjukkan bahwa yang diberikan kepada kelompok eksperimen telah terbukti dapat meningkatkan skor SWB, sekaligus menunjukkan bahwa variabel lain, seperti perlakuan
dari pihak panti, kunjungan dari pihak luar
ke panti, serta kegiatan sehari-hari lainnya tidak memberikan efek signifikan dalam meningkatkan skor SWB subyek penelitian.
D. Hasil Analisis Kualitatif
Penelitian ini
menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada skor subjective
well-being (SWB) lansia di Panti
Werdha X yang mendapatkan kegiatan sehari-hari dan horticultural therapy pada pengukuran akhir dengan yang mendapatkan kegiatan sehari-hari saja. Pada penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa penerapan
horticultural therapy terbukti dalam meningkatkan subjective well-being (SWB) pada lansia di Panti Werdha X. Hal tersebut terlihat dari perbedaan
skor SWB sebelum dan sesudah intervensi.
Seluruh subyek
(MM, HD, dan NL) yang mengikuti program intervensi horticultural therapy, mengalami peningkatan skor SWB. Dari ketiga subyek tersebut, semua mengalami peningkatan positive
affect dan penurunan negative affect, walaupun hanya satu orang (MM) yang mengalami peningkatan life satisfaction. Ketiga
subyek mengalami perubahan jawaban pada beberapa butir kuesioner dimensi positive affect, seperti
bangga dan berguna. Pada saat sebelum intervensi,
ketiga subyek menjawab tidak pernah. Kemudian, setelah intervensi, ketiga subyek menjawab
sering. MM, HD, dan NL merasa
bangga karena tanaman mereka membuahkan hasil. MM, HD, dan NL sama-sama merasa masih mampu dan dapat berguna ketika
melihat, merawat, memetik, dan mengonsumsi tanaman timun mereka.
Selain itu, mereka juga mengalami perubahan jawaban pada butir kuesioner dimensi negative
affect, seperti kesepian.
Sebelum intervensi, ketiga subyek mengaku
sering merasa kesepian. Jawaban berbeda didapatkan setelah intervensi, ketiga subyek mengungkapkan
bahwa mereka tidak pernah kesepian.
Penelitian ini
menunjukkan bahwa dari seluruh subyek
yang mengikuti horticultural therapy, hanya MM yang mengalami peningkatan kepuasan yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari adanya
ungkapan rasa puas yang MM kemukakan saat tanaman timun memberikan
hasil dan dapat MM bagikan kepada penghuni panti maupun kepada karyawan
panti. Hal tersebut juga didukung oleh peningkatan skor life
satisfaction dalam
skala SWB.
Penelitian ini
juga menunjukkan adanya peningkatan dalam interaksi sosial. Hal tersebut terbukti dapat mengurangi perasaan kesepian yang selama ini dialami
oleh ketiga subyek. Selama sesi intervensi
sedang berlangsung, kebersamaan antar subyek terlihat ketika MM dan NL duduk bersama
dan saling berkomunikasi di
depan kamar MM sembari menunggu waktu makan siang.
MM biasanya lebih sering duduk menyendiri di area depan kamar MM, sedangkan NL berdoa sendiri dan bermain alat musik organ di kapel atau memasak
sendiri di dapur, dan HD lebih sering berdiam
diri atau hanya berbaring di kamar. Setelah sesi terakhir, HD ikut duduk bergabung dengan MM dan NL, walaupun hanya sesekali ikut berkomunikasi.
HD juga sudah beberapa kali
terlihat mengikuti kegiatan makan bersama dengan para penghuni lainnya di ruang makan panti.
Selain itu, menurut beberapa karyawan panti, selama sesi sedang
berlangsung, HD dan NL beberapa
kali sudah bertegur sapa. Hal tersebut juga tampak pada saat kegiatan sesi sedang
berlangsung.
Tabel 2
Perbedaan skor SWB sebelum dan sesudah intervensi
|
Skor SWB sebelum intervensi |
Skor SWB sesudah intervensi |
|
Kelompok Eksperimen |
MM |
Skor SWB tergolong rendah (-0,77) |
Skor SWB tergolong tinggi (1,23) |
HD |
Skor SWB tergolong rendah (-2,1) |
Skor SWB tergolong rata-rata (0,27) |
|
NL |
Skor SWB tergolong rendah (-0,6) |
Skor SWB tergolong tinggi (1,03) |
|
Kelompok Kontrol |
PN |
Skor SWB tergolong rendah (-1,12) |
Skor SWB tergolong rendah (-2) |
NI |
Skor SWB tergolong rendah (-0,81) |
Skor SWB tergolong rendah (-0,88) |
|
JA |
Skor SWB tergolong rendah (-0,68) |
Skor SWB tergolong rendah (-1,06) |
Kesimpulan
Barnicle, Tom, & Midden, Karen Stoelzle. (2003).
The effects of a horticulture activity program on the psychological well-being
of older people in a long-term care facility. HortTechnology, 13(1),
81�85. Google Scholar
Brammer, Lawrence M., Abrego, Philip J., &
Shostrom, Everett L. (1993). Therapeutic counseling and psychotherapy.
Prentice-Hall, Inc. Google Scholar
Diener, Ed. (2000). Subjective well-being: The science
of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist,
55(1), 34. Google Scholar
Diener, Edward, Lucas, Richard E., & Oishi,
Shigehiro. (2002). Subjective well-being: The science of happiness and life
satisfaction. Handbook of Positive Psychology, 2, 63�73. Google Scholar
Eddington, Neil, & Shuman, Richard. (2005).
Subjective well-being (happiness). Continuing Psychology Education, 6.
Google Scholar
Hamid, Almisar. (2007). Penduduk lanjut usia di
Indonesia dan masalah kesejahteraannya. Diakses Dari: Http://Www. Kemsos.
Go. Id//Modul Es. Google Scholar
Hewson, M. (2013). Horticultural therapy. Retrieved
from hospitalnews.com website:
http://www.hospitalnews.com/horticultural-therapy/. Google Scholar
Kurniawati, Dwi Esti. (2018). Peranan Dukungan Sosial
Terhadap Aktualisasi Diri Anak Pada Komunitas Saung Mimpi. Fakultas
Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Google Scholar
Mariani, & Kadir, S. (2014). Panti werdha sebuah
pilihan. Retrieved from subhankadir.wordpress.com website:
http://subhankadir.wordpress.com/2007/08/20/panti-werdha-adalah-pilihan/. Google Scholar
Nugraheni, Septiyani Dwi. (2007). Hubungan Antara
Kecerdasar Ruhaniah Dengan Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lanjut Usia. Indigenous:
Jurnal Ilmiah Psikologi. Google Scholar
Nurlailiwangi, Eneng, & Coralia, Farida. (2013). Studi
mengenai kesejahteraan psikologis lansia di balai perlindungan sosial Tresna
Werdha (BPSTW) Ciparay Bandung. Google Scholar
Perkins, P. (2010). Impact of a horticultural therapy
program on the well-being of low-income community dwelling older adults. X
International People-Plant Symposium on Digging Deeper: Approaches to Research
in Horticultural Therapy and Therapeutic 954, 123�132. Google Scholar
Perveen, Farida. (2013). Effects of Horticulture
Therapy for Elderly With Dementia in an institutional setting. Google Scholar
Predny, Mary Lorraine. (1999). Assessing an
intergenerational horticulture therapy program for elderly adults and preschool
children. Virginia Tech. Google Scholar
Relf, Paula Diane. (1998). People-plant
relationship. Google Scholar
Santrock, John W. (2002). Life-span development:
perkembangan masa hidup 5th ed. A. Chusairi & J. Damanik, Pengalih
Bhs.). Dalam H. Sinaga & Y. Sumiharti (Eds.). Jakarta: Erlangga. Google Scholar
Seniati, Liche, Yulianto, Aries, & Setiadi,
Bernadette N. (2005). Psikologi eksperimen. Jakarta: PT Indeks, 37�118. Google Scholar
Simson, Sharon, & Straus, Martha. (1997). Horticulture
as therapy: Principles and practice. CRC Press. Google Scholar
Copyright holder: Mahesti Pertiwi, Monty P. Satiadarma, Untung Subroto (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |