Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, Spessial Issue No. 11, November 2021

� ���������

PENERAPAN HORTICULTURAL THERAPY UNTUK MENINGKATKAN SUBJECTIVE WELL-BEING LANSIA DI PANTI WERDHA X

 

Mahesti Pertiwi, Monty P. Satiadarma, Untung Subroto

Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menguji program horticultural therapy dalam meningkatkan subjective well-being pada lansia. Partisipan dalam penelitian ini adalah lansia di panti werdha X di Tangerang Selatan. Diharapkan dengan menerapkan program horticultural therapy efektif dalam meningkatkan subjective well-being lansia. Jumlah subyek dalam penelitian ini 6 lansia yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu 3 subyek pada kelompok eksperimen dan 3 subyek pada kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen akan diberikan program horticultural therapy. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik berupa uji beda mean melalui Independent sample t-test, nilai t = 4,451 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa skor kedua kelompok berbeda secara signifikan. Maka, tolak H0 terima Ha. Artinya, terdapat perbedaan yang signifikan pada skor subjective well-being (SWB) lansia di panti werdha X yang mendapatkan kegiatan sehari-hari dan horticultural therapy pada pengukuran akhir dengan yang mendapatkan kegiatan sehari-hari saja.

 

Kata Kunci: lansia (dewasa akhir); horticultural therapy; dan subjective well-being

 

Abstract

This study aimed to test the horticultural therapy program in improving subjective well-being in the elderly. Participants in this study were elderly in nursing Werdha X in South Tangerang. Participants in this study were elderly in nursing Werdha X in South Tangerang. Expected by applying the horticultural therapy program is effective in improving subjective well-being of the elderly. The number of subjects in this study 6 elderly people divided into two groups: 3 subjects in the experimental group and 3 subjects in the control group. In the experimental group will be given a horticultural therapy program. Measurements in this study using statistical analysis in the form of different test mean by Independent sample t-test, t = 4.451 (p <0.05). This indicates that a score of two groups differed significantly. That is, there are significant differences in the score of subjective well-being (SWB) elderly in nursing X get daily activities and horticultural therapy at the end of measurement with which to get daily activities only.

 

Keywords: elderly; horticultural therapy and subjective well-being

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20

 

Pendahuluan

Saat ini Indonesia menempati peringkat ke empat dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat (Mariani, & Kadir, 2014). Komnas Lansia menyebutkan bahwa selama 30 tahun terakhir proporsi penduduk lansia di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). (Hamid, 2007) pada salah satu artikel Kementerian Sosial RI mengungkapkan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan laporan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Hamid, 2007) pada tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) lansia adalah 52,2 tahun dan jumlah lansia mencapai 7.998.543 orang (5,45%). Pada tahun 2006, terjadi peningkatan jumlah lansia menjadi 19 juta orang (8,9%) dan UHH juga meningkat yaitu 66,2 tahun. Tahun 2010 jumlah penduduk lansia mencapai 23,9 juta (9,77%) dan UHH mencapai 67,4 tahun. Pada tahun 2020, perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta (11,34%) dan UHH sekitar 71,1 tahun. Sementara, Bappenas memperkirakan pada tahun 2050 akan ada 80 juta lansia di Indonesia dengan komposisi usia 60-69 tahun berjumlah 35,8 juta, usia 70-79 tahun berjumlah 21,4 juta, dan 80 tahun ke atas adalah 11,8 juta.

Peningkatan populasi pada lansia dapat dimaknai sebagai keberhasilan pembangunan manusia; karena, keberhasilan pembangunan manusia dalam bidang kesejahteraan dan kesehatan berdampak terhadap meningkatnya usia harapan hidup. Akan tetapi, hal tersebut diikuti pula oleh berbagai persoalan yang harus dihadapi lansia itu sendiri (Nugraheni, 2007). Permasalahan fisik yang dialami lansia meliputi keadaan fisik yang menurun, sehingga lansia rentan terhadap berbagai penyakit dan memerlukan bantuan bahkan harus bergantung pada orang lain (Weiten & Lloyd, 2006). Penurunan fisik yang dialami oleh lansia juga menyebabkan penurunan fungsi mental. Salah satu contohnya adalah perubahan fisik pada lansia mengakibatkan ia merasa tidak dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda. Lansia akan merasa tidak produktif lagi dan merasa tidak berguna di dalam keluarga. Mereka merasa menjadi beban bagi keluarga yang merawat mereka (Santrock, 2002).

Permasalahan lain yang dialami oleh lansia adalah kemunduran dalam kemampuan kognitif. (Kurniawati, 2018) menyatakan bahwa salah satu karakteristik yang paling sering dihubungkan dengan lansia adalah penurunan daya ingat. Hal tersebut senada dengan Weiten dan Lloyd (2006) yang menyatakan bahwa individu lansia mengalami penurunan daya ingat dan pemrosesan informasi yang melambat. Selain itu, kendala lain yang dialami oleh lansia adalah masalah psikososial yaitu penyesuaian diri terhadap pendapatan yang menurun bahkan tidak ada sama sekali karena tidak bekerja, kebutuhan akan teman baru untuk menggantikan pasangan atau teman lama yang sudah lebih dahulu meninggal, kebutuhan akan kegiatan baru untuk mengganti kegiatan lama dan mengisi waktu luang yang semakin bertambah serta beradaptasi dengan kegiatan baru yang lebih cocok tersebut, merasa kesepian karena ditinggalkan oleh anak-anak mereka, dan permasalahan tempat tinggal.

Untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi lansia, diperlukan adanya suatu perhatian besar dan penanganan khusus bagi lansia tersebut. Pemerintah dalam hal ini departemen sosial maupun yayasan dari pihak swasta, mengupayakan suatu wadah atau sarana untuk menampung lansia dalam satu institusi yang disebut panti werdha. Di panti werdha, para lansia menemukan teman yang relatif seusia mereka di mana mereka dapat berbagi cerita bersama. Selain mendapatkan pelayanan berupa pemenuhan kebutuhan dasar, lansia juga diberikan fungsi positif lainnya yaitu berupa program-program pelayanan sosial yang dapat memberikan kesibukan bagi mereka. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi mereka (Mariani, & Kadir, 2014). Akan tetapi, adanya berbagai hambatan seperti keterbatasan dalam dukungan sosial, kegiatan harian yang monoton, keterbatasan dalam mendapatkan akses hiburan, dan penurunan dari segi keaktifan dan kesehatan fisik, kemudian membuat lansia di panti werdha berpotensi bermasalah (Tjubandrio, Rahaju, & Prihanto, 2012).

Lansia yang tinggal di panti werdha biasanya memiliki keterbatasan, dan ada yang sama sekali tidak lagi mendapatkan dukungan dari keluarga. Hal tersebut berpotensi untuk memiliki subjective well-being yang rendah (Tjubandrio, Rahaju, & Prihanto, 2012). Subjective well-being merupakan suatu keadaan ketika individu mempersepsi dan mengevaluasi tentang segala hal yang terjadi di dalam kehidupan mereka, baik evaluasi kognitif maupun afektif. Cara individu memandang kehidupannya dapat dilakukan secara kognitif yaitu dalam bentuk kepuasan hidup maupun secara afektif dalam bentuk suasana hati dan reaksi emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan (Ed Diener, 2000). Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being (SWB) yang tinggi apabila ia merasa puas dengan kondisi hidupnya, sering merasakan emosi positif, dan jarang merasakan emosi negatif (Edward Diener, Lucas, & Oishi, 2002) dikutip dalam (Eddington & Shuman, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian Kuntz, dukungan dari keluarga merupakan faktor utama yang dapat memengaruhi well-being seseorang. Kemudian selanjutnya adalah dukungan dari teman-teman dan lingkungan sekitar dalam (Hoyer & Rodin, 2003). Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia dan Oxford Institute of Aging juga mengatakan bahwa lansia yang diabaikan dan kurang memiliki aktivitas berpotensi tidak bahagia (memiliki subjective well-being yang rendah) dan mengalami depresi (Tjubandrio, Rahaju, & Prihanto, 2012).

(Eddington & Shuman, 2005) mengemukakan beberapa faktor demografis dan lingkungan yang dapat memengaruhi subjective well-being seseorang, yaitu jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, pernikahan, kepuasan kerja, kesehatan, religiusitas, waktu luang, life events, dan kompetensi. Kemudian, faktor safety (keamanan) berupa adanya keadaan yang penuh damai dan aman, faktor knowledge (pengetahuan) berupa tersedianya informasi melalu berbagai media, faktor freedom berupa kebebasan diri dan kebebasan ekonomi, serta faktor equality berupa kesetaraan dalam relasi sosial terbukti berkorelasi positif dan dapat meningkatkan subjective well-being seseorang.

Tjubandrio, Rahaju, dan Prihanto (2012) mengemukakan bahwa lansia yang tinggal di panti werdha memang berada pada kondisi demografis yang lebih beresiko terhadap subjective well-being yang rendah, karena mereka tinggal terpisah dari keluarga, biasanya sudah tidak memiliki pasangan, dan terlihat bahwa faktor freedom berupa kebebasan diri dan kebebasan ekonomi mereka juga rendah. Hal tersebut senada dengan pernyataan (Perveen, 2013) bahwa lansia yang berada di panti merasa kehilangan kebebasan, kehilangan kontrol, merasa kesepian, dan tidak ada kebebasan berpindah tempat.

Melalui beragam fasilitas yang ditawarkan oleh panti werdha, diharapkan para lansia dapat melakukan berbagai kegiatan untuk mengisi waktu luang mereka, yaitu dengan mengembangkan dan meneruskan potensi yang dimiliki, sehingga mereka merasa sejahtera dan tetap produktif di masa tuanya (Nurlailiwangi & Coralia, 2013). Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh (Eddington & Shuman, 2005) bahwa salah satu faktor yang dapat memengaruhi subjective well-being seseorang adalah waktu luang. Terbukti bahwa kepuasan terhadap waktu luang dan jenis kegiatannya dapat memengaruhi subjective well-being individu.

Berbagai program dapat dirancang untuk membuat para lansia di panti werdha tetap aktif dan produktif dalam mengisi waktu luang mereka. Beberapa program yang dapat diberikan adalah art therapy, music therapy, animal-assisted therapy, dan horticultural therapy. Beberapa contoh program terapi tersebut dapat membuat para lansia merasa lebih berarti karena terlibat aktif secara langsung, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka (Perkins, 2010).

Horticultural therapy dalam bentuk yang sederhana menawarkan program dengan berbagai ragam fungsi. Burgess (2008) menyatakan bahwa horticultural therapy adalah seni budidaya buah, bunga, dan sayuran, yang digunakan sebagai modalitas terapi dalam (Perveen, 2013). American Horticultural Therapy Association (2007) menyatakan bahwa horticultural therapy adalah proses perbaikan di mana tanaman dan kegiatan berkebun digunakan untuk memperbaiki fungsi fisik dan psikis individu.

Nuall�in (2003) mengemukakan bahwa horticultural therapy adalah suatu proses terapi yang memanfaatkan kegiatan berkebun bagi kesejahteraan fisik dan mental seseorang. Kegiatan berkebun merupakan salah satu kegiatan yang disukai oleh lansia dalam mengisi waktu luang mereka (Burgess (1990), dikutip dalam (Predny, 1999). Kegiatan berkebun telah diidentifikasi sebagai salah satu kegiatan rekreasi bagi lansia, dan sebagai terapi aktifitas yang dapat meningkatkan fungsi fisik dan mental mereka (Simson & Straus, 1997), dikutip dalam (Barnicle & Midden, 2003). (Perveen, 2013) menyatakan bahwa horticultural therapy dapat menjadi suatu strategi baru untuk meningkatkan fungsi fisik, mental, sosial, dan kognitif bagi lansia.

Kegiatan dalam program horticultural therapy dapat mendorong aktivitas fisik, seperti menggali tanah di kebun, menanam bunga di pot dengan menggunakan sekop kecil, menanam benih di pot, atau merangkai bunga di dalam vas (Perkins, 2010). Melalui partisipasi aktif dalam program horticultural therapy, individu dapat meningkatkan kekuatan, ketahanan dan fleksibilitas pada kaki, lengan dan tangan mereka. Hal tersebut dapat memperbaiki keterampilan motorik mereka. Selain itu, program horticultural therapy juga dapat meningkatkan kemampuan kognitif. Hal tersebut misalnya ketika individu memberi nama pada tanaman, mengukur jarak penanaman, menghitung jumlah benih, dan membaca instruksi dalam tata cara menanam seperti instruksi untuk menabur dan menanam benih (Nuall�in, 2003).

Salah satu manfaat psikologis dari horticultural therapy adalah membantu meningkatkan self-esteem seseorang. Berkebun dapat meningkatkan self-esteem seorang individu, dengan mengharuskan individu tersebut bertanggung jawab terhadap suatu benda hidup. Tanggung jawab ini mendorong adanya rasa kepemilikan, meningkatkan rasa percaya diri, merasakan suatu pencapaian dan kepuasan (S�derback, S�derstr�m, & Sch�lander, dikutip dalam (Perkins, 2010). Horticultural therapy juga dapat meningkatkan kemampuan dalam mengatasi dan memecahkan masalah. Misalnya, ketika mengalami kesulitan dalam berkebun seperti tanah yang sulit untuk digali, benih yang sudah ditanam namun tidak tumbuh, atau adanya serangan hama (Relf, 1998) dikutip dalam (Perkins, 2010).

S�derback, S�derstr�m, dan Sch�lander (2004) mengemukakan bahwa program horticultural therapy membantu meningkatkan well-being seseorang. Hal tersebut diperoleh dari laporan partisipan dalam program horticultural therapy yang merasakan kedamaian dan ketenangan. Mereka merasakan penurunan kecemasan, penurunan depresi, pelepas ketegangan, dan kemampuan untuk menikmati suatu kegiatan dalam (Perkins, 2010). Hal tersebut senada dengan pernyataan (Hewson, 2013) bahwa bau, sentuhan, dan nuansa yang berasal dari tanaman dapat membantu mengurangi kecemasan dan stres yang dialami individu.

Nuall�in (2003) menyatakan bahwa kombinasi dari udara segar dan tugas yang bersifat fisik dari program horticultural therapy, dapat membantu melancarkan peredaran darah yang kaya oksigen, menghasilkan energi positif bagi tubuh, dan melepaskan hormon endorfin yang berperan dalam mengurangi stres. Hal tersebut didukung oleh pendapat sejumlah ahli bahwa dengan berada di taman atau melakukan aktifitas berkebun dapat dipergunakan sebagai meditasi untuk menenangkan pikiran. Hal tersebut didukung dengan bukti bahwa dengan berada di kebun dan menikmati kegiatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah seseorang. Selain memberikan efek menenangkan dan menyenangkan, horticultural therapy dapat membangun positive thinking, yaitu menumbuhkan rasa optimis pada individu. Hal tersebut dengan berharap bahwa benih yang telah ditanam akan tumbuh dan menghasilkan.

Hal positif lain yang dapat meningkat karena program horticultural therapy adalah kemampuan fungsi sosial. Horticultural therapy hampir selalu dilakukan dalam setting kelompok, yaitu di rumah sakit, rumah sakit jiwa, yayasan tuna daksa, panti jompo, panti asuhan, tempat rehabilitasi, maupun sekolah (Perkins, 2010). Terapi kelompok merupakan suatu terapi yang bertujuan untuk memfasilitasi penyesuaian sosial, perilaku, dan emosional individu melalui proses di dalam kelompok (Zastrow, dikutip dalam Suharto, 2007). Horticultural therapy yang dilaksanakan dalam setting kelompok, memberikan peluang untuk meningkatkan interaksi sosial antar lansia. Melalui program horticultural therapy mereka dapat saling berkomunikasi dengan saling memberikan pendapat (Perkins, 2010).

Seberapa efektif penerapan program horticultural therapy dapat menimbulkan perasaan berguna dan produktif sehingga memunculkan kepuasan, meningkatkan suasana hati dan reaksi emosi menyenangkan serta menurunkan perasaan negatif pada lansia di panti werdha, masih perlu diteliti lebih lanjut. Hal-hal tersebut di atas membuat peneliti mengangkat judul dalam penelitian ini, yaitu Penerapan Horticultural Therapy untuk Meningkatkan Subjective Well-Being pada Lansia di Panti Werdha X.

 

Metode Penelitian

1.   Partisipan

Subyek dalam penelitian ini adalah individu lansia berusia minimal 60 tahun yang merupakan penghuni Panti Werdha X. Pemilihan batas usia minimal 60 tahun ditentukan peneliti dengan mempertimbangkan peraturan batasan usia lansia di Indonesia menurut Undang-Undang No 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah individu yang berusia 60 tahun atau lebih (Hamid, 2007). Penetapan lansia dalam penelitian ini dikontrol dengan menggunakan teknik konstansi, yaitu kontrol untuk penetapan kriteria inklusif dan eksklusif. Kriteria inklusif yaitu berusia lebih dari 60 tahun, mendapatkan nilai lebih dari 23 pada tes Mini Mental State Examinations (MMSE), memiliki kategori skor subjective well-being (SWB) rendah dan rata-rata, bersedia menandatangani informed consent, serta bersedia mengikuti seluruh proses pengambilan data dan intervensi. Penetapan nilai lebih dari 23 untuk tes MMSE dilakukan berdasarkan referensi dari Kurlowicz dan Wallace (1999) yang mengatakan bahwa jumlah skor di bawah 23 mengindikasikan adanya gangguan kognitif dan indikasi demensia. Sedangkan kriteria eksklusif yaitu memiliki keterbatasan pendengaran atau berbicara dan tidak mampu berbahasa Indonesia.

Jumlah subyek yang direncanakan dalam penelitian ini adalah 10 orang. Penentuan jumlah subyek dipilih berdasarkan pernyatan (Brammer, Abrego, & Shostrom, 1993) bahwa para terapis pada umumnya menyepakati delapan adalah angka optimal dalam tiap kelompok, dan empat anggota adalah angka minimum. Hal tersebut karena memungkinkan terjadinya interaksi yang mendalam. Akan tetapi, dari sepuluh orang subyek yang direncanakan dalam penelitian ini, hanya terdapat delapan orang subyek yang memenuhi kriteria inklusif dan ekslusif. Dengan demikian, terdapat masing-masing empat orang dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol penelitian ini. Akan tetapi, dua orang subyek tidak dapat mengikuti penelitian ini sampai akhir. Satu orang dari kelompok kontrol (VN) meninggal dunia pada waktu pretest, dan satu orang dari kelompok eksperimen (ET) sakit pada saat akan berlangsung sesi intervensi. Dengan demikian terdapat enam orang subyek dalam penelitian ini, yaitu masing-masing tiga orang dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah accidential sampling dan purposive sampling, yaitu peneliti memilih beberapa panti di Tangerang Selatan, dan panti werdha X yang terlebih dahulu memberikan izin. Selain itu, berkaitan dengan intervensi yang akan dilaksanakan yaitu horticultural therapy, peneliti mendapatkan informasi bahwa kota Tangerang Selatan merupakan daerah yang  relatif datar. Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan yang dilihat dari sebaran jenis tanahnya, pada umumnya berupa asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan yang secara umum cocok untuk pertanian atau perkebunan (Dinas Kota Tangerang Selatan, 2012). Selanjutnya, penentuan subyek pada penelitian ini, yaitusubyek dipilih berdasarkan kriteria inklusif dan eksklusif penelitian. Setelah mendapatkan subyek yang sesuai, peneliti melakukan teknik randomized dan membagi subyek ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

2.   Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Dalam penelitian ini, akan terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen, selain mendapatkan kegiatan sehari-hari di panti werdha X, yaitu doa, misa, dan senam bersama, juga akan mendapatkan intervensi berupa horticultural therapy. Sementara pada kelompok kontrol hanya mendapatkan kegiatan sehari-hari di panti werdha X, yaitu doa, misa, senam, dan menyanyi bersama. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretest-posttest control group design. Dalam desain tersebut, pengukuran dilakukan dengan membandingkan skor pada dua kelompok, sebelum dan sesudah intervensi diberikan. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teknik mixed-method, yaitu penggabungan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Penelitian ini melibatkan dua variabel di mana horticultural therapy berfungsi sebagai variabel bebas dan subjective well-being sebagai variabel terikat. Definisi operasional dari subjective well-being adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional terhadap suatu kejadian dan penilaian kognitif terhadap hidup. Sehingga, subjective well-being mencakup pengalaman emosi yang menyenangkan yang tinggi, pengalaman emosi negatif yang rendah, dan kepuasan hidup yang tinggi. Semakin rendah skor subjective well-being pada alat ukur yang digunakan, semakin rendah tingkat subjective well-being subyek tersebut. Program intervensi yang diberikan adalah horticultural therapy, yaitu suatu terapi dalam bentuk yang sederhana, dengan memanfaatkan kegiatan berkebun, yaitu proses pertumbuhan tanaman, untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yakni untuk dapat meningkatkan subjective well-being pada lansia.

3.   Setting Lokasi dan Perlengkapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Werdha X yang terletak di daerah Tangerang Selatan. Panti Werdha X merupakan panti yang di kelola oleh Yayasan Katolik X di Jakarta, dan berdiri sejak 17 Mei 1980. Sebagian penghuni panti merupakan titipan sejumlah paroki, akan tetapi panti ini juga menerima penghuni beragama lain. Pada awalnya, lansia yang diterima di panti tersebut adalah lansia yang tidak memiliki keluarga lagi dan tidak memiliki kemampuan finansial. Dalam perjalanannya, kini penghuni panti tersebut bervariasi, ada juga yang mampu secara ekonomi tetapi ditinggal atau tidak diurus oleh sanak saudara mereka.

Syarat menjadi penghuni panti werdha tersebut yaitu minimal berusia 60 tahun dan masih mampu untuk mandiri dalam kegiatan sehari-hari. Lansia yang sakit setelah tinggal di panti menjadi tanggungan yayasan, dan di tempatkan di bagian poli klinik panti (terpisah dengan lansia yang masih sehat dan mampu secara mandiri). Rata-rata lansia penghuni panti tersebut telah menempati panti selama lima tahun, dan usia lansia penghuni panti tersebut rata-rata di atas 70 tahun. Penghuni panti werdha tersebut merupakan lansia yang menetap, bukan sebagai pengunjung harian, dan mendapat pelayanan oleh petugas panti. Hingga saat ini panti tersebut menampung sebanyak 44 lansia, 20 diantaranya menjadi penghuni poli klinik panti.

Panti Werdha X memiliki misi yaitu melayani para lansia yang membutuhkan bimbingan, perhatian, dan kekurangan dalam kebersamaan. Untuk memenuhi seluruh kebutuhan penghuni yang ada, Panti Werdha X memiliki pengurus yang bertugas untuk merawat dan memenuhi kebutuhan setiap penghuni. Jumlah pengurus terbagi dalam pengurus harian dan pengurus yayasan (manajemen panti). Terdapat 17 pengurus harian yang terbagi dalam bagian dapur, kesehatan, dan kebersihan ruangan, serta dua orang penanggung jawab harian. Para karyawan panti tersebut diarahkan untuk membantu lansia mengisi hari tua mereka dalam kemantapan jasmani dan rohani dengan berlandaskan cinta kasih tanpa membeda-bedakan ras, suku dan agama.

Panti Werdha X memiliki berbagai macam kegiatan. Kegiatan rutin yang dilakukan bersama-sama adalah doa, misa, senam, menyanyi, dan menari bersama, serta pemeriksaan kesehatan, dan sharing. Selain itu, panti ini kerapkali menerima kunjungan dari pihak luar yang memberikan bantuan dana dan melakukan kegiatan bernyanyi dan berdoa serta makan siang bersama para penghuni panti. Meskipun terdapat berbagai macam kegiatan yang diadakan oleh panti, namun para penghuni panti jarang berinteraksi satu sama lain. Setelah menjalani aktivitas bersama, mereka kembali ke kamar masing-masing tanpa banyak berinteraksi satu sama lain. Biasanya mereka lebih banyak menjalani aktivitas sehari-harinya secara individual.

Waktu pengambilan data dan intervensi akan dilakukan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Panti Werdha X. Waktu tersebut adalah pada saat jam besuk atau istirahat, yakni antara pukul 07.30-11.30 WIB dan 15.30-17.00 WIB; dengan tetap menyesuaikan dengan jadwal kegiatan rutin harian dan jadwal kunjungan. Perlengkapan pengambilan data dalam penelitian ini terdiri dari lembar persetujuan (informed consent), pedoman wawancara, alat tes Mini Mental State Examination (MMSE), skala subjective well-being, alat tulis untuk mencatat hal-hal penting selama proses wawancara, dan audio recorder untuk merekam temuan hasil wawancara. Perlengkapan intervensi pada penelitian ini terdiri dari segala material yang diperlukan untuk kegiatan intervensi horticultural therapy. Hewson (dalam Canadian Garden Center, 2006) menyatakan bahwa tanaman yang dipilih untuk intervensi horticultural therapy sebaiknya memiliki beberapa kriteria yaitu mudah dan cepat untuk tumbuh dan berkembang, tidak beracun, dapat bermanfaat, serta lebih baik apabila menarik dari segi warna, bentuk atau tekstur. Selain itu, lamanya tiap sesi horticultural therapy untuk lansia adalah tidak lebih dari satu setengah jam atau 90 menit. Rancangan program intervensi horticultural therapy dalam penelitian ini diadaptasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Perkins, 2010), yaitu Impact of horticultural therapy program on the well-being of low income community dwelling older adults dan oleh (Barnicle & Midden, 2003), adalah The effects of a horticulture activity program on the psychological well-being of older people in a long-term care facility.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Gambaran Data Subyek

Dari 44 penghuni Panti Werdha X, terdapat 20 penghuni poli klinik panti dan 24 penghuni mandiri. Dari 24 penghuni mandiri tersebut, terdapat 12 subyek yang bersedia diwawancarai dan mampu berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik. Dari 12 subyek tersebut, sepuluh orang di antaranya memenuhi kriteria inklusif dengan skor subjective well-being (SWB) rendah dan rata-rata. Dari sepuluh orang subyek tersebut, terdapat delapan orang subyek yang memenuhi kriteria inklusif untuk nilai skor MMSE. Dari kedelapan subyek yang memenuhi kriteria inklusif dan eksklusif penelitian, pembagian subyek ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan dengan melakukan teknik randomized. Dengan demikian terdapat masing-masing empat orang dalam setiap kelompok. Namun, dua orang subyek tidak dapat mengikuti penelitian ini sampai akhir. Satu orang dari kelompok kontrol (VN) meninggal dunia pada saat pretest, dan satu orang dari kelompok eksperimen (ET) sakit pada saat akan berlangsung sesi intervensi. Oleh karena itu, terdapat enam subyek dalam penelitian ini, yaitu masing-masing tiga orang dalam setiap kelompok.

1.   Subyek MM

MM adalah seorang lansia berjenis kelamin perempuan yang telah menjadi penghuni Panti Werdha X sejak 12 Juni 2013. MM mulai tinggal di panti ketika berusia 69 tahun. MM lahir di Solo, Jawa Tengah pada 9 Januari 1944. Selama proses pengambilan data dan intervensi, MM berusia 71 tahun. MM memiliki ciri-ciri fisik dengan tekstur wajah oval, kulit berwarna coklat, dan rambut lurus hitam tetapi sebagian besar sudah memutih yang dipotong sependek pangkal leher. MM memiliki postur tubuh yang cenderung kurus dan pendek, dengan berat badan sekitar 45kg dan tinggi badan sekitar 155cm. MM bersuku bangsa Jawa dan beragama Katolik. Selama proses wawancara, MM menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Selain itu, MM memiliki kondisi medis berupa hipertensi.

MM merupakan anak ke empat dari tujuh bersaudara. MM memiliki tiga kakak yang berjenis kelamin laki-laki, seorang adik perempuan, dan dua orang adik laki-laki. Saat ini, ketiga kakak MM telah meninggal dunia. MM memiliki tiga adik yaitu seorang perempuan dan dua orang laki-laki yang masih hidup. Adik perempuan MM yang merupakan anak ke lima (PS) memiliki dua anak, yaitu laki-laki dan perempuan. Anak perempuan PS sudah berkeluarga dan saat ini tinggal di daerah Rempoa, yang berlokasi tidak jauh dari Panti Werdha X. Saat ini PS tinggal di Rempoa bersama dengan anak perempuannya tersebut. Kemudian, adik MM urutan lahir ke enam seorang laki-laki (J). Saat ini J tinggal bersama anak bungsunya di daerah Bekasi. Kemudian, adik bungsu MM seorang lelaki (B) tinggal di daerah Tomang, memiliki tiga orang anak, dua orang perempuan dan seorang laki-laki. Sampai saat ini, tidak satu pun dari keluarga MM tersebut yang pernah mengunjungi MM di panti.

Hubungan MM dengan adik-adiknya tidak terlalu dekat. Kakak pertama MM yang berjenis kelamin laki-laki membawa mereka semua ke Jakarta ketika ayah MM meninggal dunia. Ketiga adik MM melanjutkan sekolah dan bekerja di Jakarta. MM menetap tinggal di Solo bersama ibunya. Pada tahun 1994, ibu MM meninggal karena penyakit infeksi saluran pencernaan. MM merasa sedih dan sangat kehilangan. Menurut MM diantara saudara lainnya, hanya MM yang paling dekat dengan ibunya. Ketika ibu MM sakit, MM berhenti bekerja sebagai pegawai apotek dan memilih merawat ibunya. MM tidak menikah karena tiga kali dikecewakan oleh laki-laki. Ketiga laki-laki tersebut mengkhianati MM dan batal menikahinya. MM merasa sakit hati. MM trauma dan memutuskan untuk tidak menikah. MM lebih memilih merawat ibunya.

Setelah ayah, ibu, dan ketiga kakak laki-laki mereka meninggal, ketiga adik MM meminta MM untuk menjual rumah orangtua mereka di Solo, dan mengajak MM tinggal di Jakarta. Pada tahun 2000 MM ke Jakarta dan tinggal bersama adik lelakinya di Tomang. Setelah dua bulan tinggal di sana, MM pindah ke tempat adiknya di Rempoa. Beberapa minggu kemudian, MM mendapat pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di daerah Bintaro. MM bekerja di rumah seorang duda dengan tiga anak. MM mengaku betah selama hampir tiga tahun bekerja di sana dan merasa senang, karena atasannya baik dan memperlakukannya seperti keluarga sendiri. Akan tetapi, semua berubah ketika atasannya menikah lagi. MM diusir oleh istri atasannya ketika atasannya sedang tidak berada di rumah, dengan alasan semua sudah dapat dikerjakan sendiri olehnya. Padahal seingat MM atasannya pernah mengatakan bahwa ia menginginkan MM tetap bekerja di rumahnya walaupun ia menikah lagi. MM merasa sedih namun tidak dapat berbuat apa-apa karena saat itu atasannya sedang tidak berada di rumah.

MM kemudian kembali ke rumah adik perempuannya di Rempoa. Selama dua minggu berada di sana, MM mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari adik iparnya, dengan alasan perbedaan agama. MM kemudian pergi ke rumah adik lelakinya di Bekasi. Selama beberapa hari di sana MM merasa tidak betah karena perilaku adik iparnya yang mengacuhkan MM. Kemudian, MM memutuskan untuk pergi ke rumah adiknya di Tomang. Baru satu hari tinggal di sana, MM sudah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari adiknya. MM bingung dengan perlakuan yang ia terima dari adik-adiknya, kemudian ia kembali ke rumah adik perempuannya di Rempoa, dengan alasan adik perempuannya tersebut kemungkinan dapat lebih memahaminya. Ternyata adiknya juga tidak dapat menerima MM di rumahnya dengan alasan menghormati suaminya. MM merasa sedih dan mengaku kecewa. MM menyesal datang ke Jakarta sesuai ajakan adiknya. MM merasa adiknya hanya menginginkan uang hasil penjualan rumah orang tua mereka. Akhirnya MM pergi ke rumah temannya ketika bekerja sebagai asisten rumah tangga di Bintaro. Temannya tersebut membawa MM kepada atasannya (SL). SL mendengarkan keluh kesah MM. MM berharap dapat bekerja di rumah SL. Akan tetapi SL tidak dapat menampung MM lebih lama. Kemudian SL membawa MM ke Gereja X di Bintaro, dan ke Panti Werdha X. SL menyarankan agar MM tinggal di panti saja, MM akhirnya menyetujuinya karena merasa tidak memiliki pilihan lain.

Selama tinggal di panti, MM termasuk penghuni yang aktif mengikuti kegiatan, namun cenderung malu-malu dan menghindar apabila diminta untuk tampil di depan umum. Ketika sedang tidak ada kegiatan, MM menghabiskan waktu duduk-duduk di depan area kamarnya sembari melamun atau membaca Al Kitab dan buku-buku bacaan rohani pemberian panti. Apabila ada penghuni lain yang menghampiri MM dan mengajak berbicara, baru lah MM akan menanggapinya.

Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara ditemukan bahwa MM memiliki skor subjective well-being yang tergolong rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa MM merasa tidak bahagia karena afek negatif yang lebih dominan daripada afek positif dan kepuasan hidup secara keseluruhan. Pada item perasaan dimensi positive affect (seperti senang, merasa didukung, dicintai, merasa sukses, dan percaya diri) MM menjawab bahwa ia jarang merasa seperti itu, kemudian MM menjawab sering dan selalu pada dimensi negative affect (seperti kesepian, putus asa, sedih, kecewa, dan gagal).

MM merasa lebih banyak mengalami kedukaan dalam hidup dibandingkan kebahagiaan. MM merasa bahwa nasibnya buruk dibandingkan kebanyakan orang. MM senantiasa mengatakan bahwa hidupnya biasa saja dan tidak ada yang istimewa. MM mengatakan, �hidup banyakan rekosonya, banyakan sedihnya, kehilangan ibu bapak, harta, calon suami.. saiki nggak punya apa-apa, nggak bisa berbuat apa-apa.� MM selalu merasa hidupnya sengsara karena kehilangan orang tua, harta, dan tidak berdaya karena tidak mampu berbuat apa-apa. Hal tersebut MM ungkapkan karena ia merasakan beberapa kali kesedihan, yaitu pada saat kehilangan orangtua (terutama ibu), diusir oleh adik-adiknya, dan terusir dari rumahnya sendiri karena adiknya menjual rumah orangtuanya. Selain itu, MM juga merasa sedih karena tiga kali dikecewakan dan ditinggalkan oleh kekasihnya, dan diusir oleh istri atasan tempat MM bekerja menjadi asisten rumah tangga. Kemudian, selama dua tahun tinggal di panti werdha X, MM belum pernah dijenguk oleh adik-adiknya padahal MM sudah berusaha menghubungi mereka. MM mengaku merasa kesepian, karena tidak pernah dikunjungi atau dihubungi oleh keluarganya dan tidak memiliki teman dekat di panti. MM merasa kecewa dengan adik-adiknya, ia merasa tidak didukung, tidak diterima, dan tidak dicintai oleh keluarga.

Negative affect yang lebih dominan pada diri MM juga terlihat dari rasa tidak percaya diri yang ia ungkapkan bahwa ia malu apabila diminta tampil ketika ada kunjungan dari pihak luar panti. MM tampak sering menghindar apabila diminta untuk tampil oleh pengurus harian panti. MM juga merasa tidak sepadan dengan penghuni lain yang pendidikannya lebih tinggi darinya. MM mengungkapkan bahwa ia bersekolah hanya sampai SMP, karena ayahnya berpandangan bahwa anak perempuan tidak perlu memiliki jenjang pendidikan yang tinggi. Hal ini membuat MM tidak memiliki teman dekat di panti dan lebih sering menghabiskan waktu dengan melamun. Hal-hal tersebut memberikan dampak yang negatif terhadap penilaian MM mengenai hidupnya secara keseluruhan, dan membuat hidupnya jauh dari rasa kepuasan. Menurut MM hidup yang memuaskan adalah apabila dapat hidup berkumpul bersama orangtua dan sanak saudara, merasa bahagia, tidak ada yang sakit, dan memiliki uang yang cukup. MM juga mengatakan bahwa cita-citanya tidak tercapai dan ia tidak pernah merasa sukses. Hal tersebut ia ungkapkan karena hubungan di dalam keluarganya tidak harmonis, dan ia tidak memiliki uang. MM

Mengatakan bahwa cita-citanya adalah, �keluarga masih lengkap bapak ibu kumpul, saudara kumpul semua, tentrem, rukun, makanan enak gak kurang, pakaian ada, uang ada. wes seneng.�

MM mengungkapkan bahwa ia masih memiliki keinginan dapat bekerja kembali dan memiliki uang, bukan tinggal di panti. Meskipun begitu, MM masih berusaha menerima keadannya saat ini dengan mengaku tetap berusaha tabah dan kuat menjalaninya, serta mencoba tetap bersyukur karena ia tidak memiliki pilihan lain. Hal tersebut ia tunjukkan dengan berusaha tetap aktif mengikuti berbagai kegiatan di panti, serta berusaha tidak pernah membuat konflik dengan sesama penghuni dan para karyawan.

2.   Subyek HD

HD merupakan lansia berjenis kelamin perempuan yang lahir di Banjarmasin pada 11 Oktober 1942. HD telah menempati panti werdha X selama kurang lebih 12 tahun. HD tinggal di Panti Werdha X sejak ia berusia 61 tahun, yaitu pada 6 April 2003. Selama proses pengambilan data dan intervensi, HD berusia 73 tahun. HD memiliki ciri-ciri fisik dengan kulit berwarna putih, rambut lurus dipotong sependek leher, dan tekstur wajah agak panjang. HD bersuku bangsa Tionghoa dan beragama Katolik. HD mengatakan bahwa mulanya ia beragama Budha dan berpindah agama Katolik semenjak tinggal dengan kakaknya di Jakarta. HD juga mengatakan bahwa ia memiliki kondisi medis berupa penyakit vertigo yang cukup sering kambuh. Selama di panti, sehari-hari HD sangat senang mengenakan daster panjang selutut bermotif bunga-bunga dan sandal jepit berbahan karet berwarna dasar putih dengan garis ungu.

HD adalah anak bungsu dari lima bersaudara. HD memiliki dua kakak perempuan dan dua kakak laki-laki. Kakak yang pertama perempuan (SI), bekerja di Jakarta, dan tinggal di daerah Jakarta Barat bersama suami dan anak-anaknya. Saat ini SI sudah meninggal dunia. SI meninggal pada awal tahun 2003, beberapa bulan sebelum HD tinggal di Panti Werdha X. Kakak laki-laki HD urutan lahir ke dua meninggal dunia karena kecelakaan kerja saat bekerja di Banjarmasin. Kakak HD ke tiga dan ke empat meninggal karena ibu HD mengalami keguguran. Hal tersebut membuat ayah dan ibu HD sangat menyayangi HD, dan memanjakan HD. HD hanya bersekolah sampai kelas 1 SMP. HD mengaku malas dan sering membolos dari sekolah. HD tidak takut karena ayah dan ibunya tidak pernah memarahinya.

Sekitar tahun 1970, ketika ayah dan ibunya meninggal, HD dijemput oleh kakaknya (SI) dan diajak tinggal bersama. Selama tinggal bersama SI di Jakarta Barat, HD masih berperilaku yang sama seperti ketika tinggal dengan orangtuanya. Sehari-hari, HD hanya bermalas-malasan dan menghabiskan waktu dengan menonton televisi di rumah. Ketika membutuhkan sesuatu, ia meminta uang kepada SI. Setelah beberapa tahun, SI menganjurkan HD mengikuti kursus menjahit. Pada awalnya HD enggan untuk mengikuti kegiatan tersebut, kemudian SI memberikan uang saku kepada HD. Selama kurang lebih dua tahun HD mengikuti kursus menjahit. Setelah selesai, ia bekerja di salah satu salon di daerah Pasar Baru, dan membantu merancang pakaian. Selain itu, SI juga membelikan HD mesin jahit dan meminta HD membuatkan pakaian untuk keluarganya. Setelah beberapa tahun bekerja di salon tersebut, HD mengundurkan diri. Kemudian HD bekerja di salah satu perusahaan garment di daerah Jelambar atas rekomendasi kakak iparnya. HD bekerja selama kurang lebih tiga tahun. HD mengaku bosan dan akhirnya kembali mengundurkan diri dari pekerjaannya. Akhirnya HD memutuskan untuk di rumah saja. HD tidak menikah karena mengaku tidak ingin salah pilih. HD mengungkapkan bahwa banyak yang menyukai dirinya sejak dahulu, tetapi ia tidak ingin gagal karena salah pilih, seperti yang terjadi pada pernikahan saudara maupun temannya.

Setelah SI meninggal, HD tinggal bersama keponakannya, yaitu anak pertama SI (AL). AL tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Atas anjuran istrinya, AL membawa HD ke Panti Werdha X. Selama berada di panti, HD termasuk salah satu penghuni yang tidak aktif mengikuti kegiatan sehari-hari. HD sering beralasan karena memiliki penyakit vertigo. Biasanya HD hanya mengikuti kegiatan doa dan misa bersama. Ketika penghuni lain berkumpul untuk makan bersama, HD biasanya makan sendiri di kamar. HD jarang ikut makan bersama penghuni lain. Sehari-hari HD lebih sering berdiam diri atau hanya berbaring di kamar.

Hasil kuesioner dan wawancara menunjukkan bahwa HD memiliki skor subjective well-being yang tergolong rendah. Artinya, HD banyak merasakan negative affect dalam dirinya. Apabila dilihat kembali pada setiap butir kuesioner, tingginya skor negative affect karena HD menjawab bahwa ia memang pernah mengalami berbagai macam negative affect seperti putus asa, kesepian, sedih, marah, gagal, dan kecewa. Hal tersebut terlihat dari hasil wawancara, HD sering mengatakan bahwa lebih baik apabila ia meninggal dunia daripada hidup dengan keadaan seperti saat ini. HD mengatakan, �enak waktu masih ada mama, papa, sama cici...lebih baik mati.

ikut mereka, sekarang nggak enak lagi, ponakan banyak tapi beda-beda.� Kehilangan orangtua dan kakaknya yang selama ini menjadi tumpuan hidup HD, membuatnya merasa frustrasi karena kehilangan sumber finansial. HD juga sering mengatakan, �iya...sering putus asa masalah keuangan, kalo nggak ada uang nggak ada dibantu, bakal makan apa, cuma dapet uang jajan dari gereja.� HD mengaku sering berdoa supaya Tuhan cepat memanggilnya, karena menurut HD lebih baik meninggal dunia daripada hidup tetapi tidak memiliki uang, dan menurutnya tinggal di panti adalah menunggu waktu dipanggil Tuhan.

Selain itu, penilaian negatif HD terhadap diri sendiri adalah terkait kegagalannya dalam bidang pendidikan, yang menurutnya menjadi penyebab kehidupannya menjadi seperti saat ini. HD mengakui bahwa hal tersebut karena kesalahannya sendiri di masa lalu. Hal tersebut terlihat dari HD sering mengeluhkan keuangannya akibat masalah pendidikannya. HD beberapa kali mengatakan, �kalo dulu enggak males-malesan, ugal-ugalan, sekolah sampe selesai, masih bisa punya uang sendiri pasti sekarang.� Kemudian, HD juga mengungkapkan bahwa ia adalah anak paling malas di keluarga dan sekarang menyesal. Ia mengaku merasa bersalah.

HD mengaku tidak aktif dan tidak antusias apabila ada kegiatan di panti. HD lebih memilih untuk beristirahat di kamar. HD mengungkapkan bahwa ia memang pemalas sejak kecil. HD mengatakan, �merasa ugal-ugalan di panti, bebas aja gitu, suka-suka. Yah kadang mau nggak mau aktif karena terpaksa, kadang harus diuber-uber dulu haha. Di sini nggak bebas, musti ikut kegiatan, terus bantu mahasiswa, kalo lagi ada mahasiswa. Pengennya ugal-ugalan kayak dulu, keluar, keluyuran, ke pasar, belanja...tapi musti ada duit ya. Kalo ada duit lebih baik keluyuran. Males kalo bantu mahasiswa, ngantuk, enakan tidur.� Ketika ditanya mengenai perasaan selama tinggal di panti, HD langsung mengatakan, �sedih di panti, tapi kalo ada pengunjung seneng, kalo bawaannya bagus duitnya dikasihnya banyak.� HD mengungkapkan bahwa kadang-kadang ia masih bersyukur, jika diberikan uang saku dari pihak gereja atau dari pengunjung panti. HD juga berusaha mencoba senang, ia mengatakan, �mau nggak mau diseneng-senengin aja, dipaksain...kalau ada rame pengunjung ya baru seneng, apalagi kalau kunjungan yang bagus bukan abal-abal, bawa barang-barang bagus, kasih makanan enak, uang banyak, haha.� HD juga mengaku belum merasa puas dengan hidupnya. Ia merasa puas apabila memiliki uang sendiri dan dapat digunakan untuk bepergian, jalan-jalan, serta membeli makanan enak. Selain itu, HD mengatakan bahwa ia memiliki cita-cita menjadi orang kaya. Hal tersebut menurutnya belum dapat tercapai karena ia malas.

3.   Subyek NL

NL adalah seorang lansia berjenis kelamin perempuan yang telah menempati panti werdha X sejak Juni 2006. NL lahir di Manado pada 16 Oktober 1938. Selama proses pengambilan data dan intervensi, NL berusia 77 tahun. NL memiliki� ciri-ciri fisik dengan kulit berwarna putih, tekstur wajah yang persegi, hidung mancung,dan rambut ikal berpotongan pendek yang sudah memutih semua. NL memiliki postur tubuh yang tidak tinggi, dengan tinggi badan sekitar 155cm dan berat badan sekitar 50kg. Selain itu, NL memiliki kondisi medis berupa hipertensi dan diabetes.

NL adalah anak ke tiga dari enam bersaudara. Keempat saudara NL sudah meninggal, hanya NL dan kakak perempuan keduanya yang masih hidup, dan saat ini sedang berada di Belanda. NL mengungkapkan bahwa ia bersekolah sampai SMA. NL juga kerap membanding-bandingkan dirinya dengan saudara-saudaranya terkait pendidikan. NL selalu merasa dirinya yang paling bodoh dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Hal tersebut karena ayah NL sering membanding-bandingkan mereka. NL menceritakan bahwa ia telah memiliki tiga orang anak, yang terdiri dari seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Namun, dua orang anak perempuan NL telah meninggal dunia sejak dalam kandungan. Suami NL telah meninggal tahun 1997 karena sakit liver. Sebelum tinggal di Panti Werdha X, NL tinggal di daerah Cengkareng bersama dengan anak lelaki satu-satunya. Anak lelaki NL (R) tidak menikah, karena terlalu sibuk bekerja. Alasan NL memilih tinggal di panti werdha adalah atas saran dari adik sepupunya (L) dan karena R kurang memedulikannya. NL mengatakan bahwa sebenarnya ia akan lebih senang jika dapat tinggal bersama dengan anak laki-lakinya, daripada tinggal bersama sepupunya maupun tinggal di panti. NL merasa sedih karena anaknya sekalipun belum pernah mengunjunginya selama ia tinggal di panti, walaupun sepupunya kerap menghubungi NL melalui telepon.

Selama tinggal di panti, NL termasuk penghuni yang cukup aktif mengikuti kegiatan. Apabila panti sedang mengadakan acara atau mendapatkan kunjungan dari pihak luar, NL tidak segan untuk tampil di depan umum. Ketika sedang tidak ada kegiatan, NL biasanya menghabiskan waktu dengan memasak sendiri di dapur khusus untuk penghuni atau berdoa di kapel dan bermain alat musik organ di kapel. Selama tinggal di panti, NL sudah empat kali berganti teman kamar. Hal tersebut terjadi karena ada ketidakcocokan di antara mereka.

Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara terlihat bahwa NL memiliki skor subjective well-being yang tergolong rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa NL kurang bahagia. NL merasa kurang bahagia karena afek negatif yang lebih dominan daripada afek positif dan kepuasan hidup secara keseluruhan. Afek negatif ini berasal dari hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya dan penilaian NL terhadap diri sendiri. NL menilai negatif dirinya dengan selalu merasa tidak berguna. NL seringkali mengatakan, �ya non.. sudah tua bagaimana bisa berguna.� NL juga mengaku jarang merasa bangga, ia mengatakan �baru bangga kalo bisa buat sesuatu yang bikin senang dan berhasil, oma belum pernah sejak dulu.� Selain itu, NL juga sering merasa putus asa. Kemudian ia akan berdoa. �ya sering, putus asa, bawa dalam doa, cuma Tuhan. Sodara atau teman belum tentu bisa tolong, pada gak bisa. berdoa banyak-banyak, cuma Tuhan yang bisa tolong, apa-apa.� NL juga merasa bersalah apabila tidak pergi beribadah ke gereja. Selain itu, NL kerap menyalahkan diri karena merasa bersalah terhadap anaknya, karena menurutnya anaknya tidak menginginkan NL berada di panti. Meskipun sibuk NL merasa anaknya masih menginginkan agar NL dapat tinggal bersamanya.

Afek negatif juga berasal dari hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Hubungan yang kurang baik dengan pengurus harian panti, membuat NL lebih mudah merespon secara negatif terhadap hal-hal yang dilakukan pengurus tersebut. Selama dua tahun pertama di panti, NL merasa senang, karena merasa dekat dengan IR (salah satu pengurus harian panti). Sekarang sudah tidak merasa dekat, karena penghuni lain iri dengan kedekatan mereka. Menurut NL saat ini IR lebih dekat dengan penghuni lain yang memiliki uang lebih banyak darinya. Selain itu, hubungan yang kurang baik dengan sesama penghuni panti, terutama teman sekamarnya, membuat NL menjadi mudah tersinggung, berprasangka buruk, dan menilai buruk temannya tersebut. NL mengatakan, �NK lebih banyak uangnya, dia punya uang pensiun. NK lebih disayang oleh karyawan panti dibanding saya.� Hal-hal tersebut juga membuat NL tidak merasa puas dengan hidupnya. Menurut NL, hidup memuaskan apabila selalu memiliki uang. NL mengaku sempat merasakan kepuasan ketika masih mampu bekerja. NL mengatakan, �kalau sudah tidak ada uang, tidak menyenangkan, yang menyenangkan semua, mau beli ini itu ada uang, mau makan mau apa aja semua. Kalau ada uang, senang.�

Menurut NL, tidak ada saling harga-menghargai di panti. NL menambahkan tidak ada kedamaian karena teman sekamar sering melapor yang tidak benar mengenai NL kepada pengurus harian. NL merasa sedih, karena NK lebih didengarkan oleh karyawan panti karena NK memiliki uang lebih banyak dibanding NL. Hal-hal tersebut membuat NL sering merasa kesepian, karena tidak memiliki teman di panti dan tidak pernah mendapat kunjungan dari anaknya. Biasanya NL akan mencoba mengatasinya dengan berdoa sendiri atau bermain alat musik organ di kapel panti. Di kapel biasanya NL akan merenung dan selalu berusaha bersyukur karena masih hidup, masih dapat bernafas.

NL menganggap dirinya lebih rendah dan kurang mampu dibandingkan teman-temannya. Meskipun NL menyangkal bahwa ia tidak merasa rendah diri, tetapi sebenarnya ada perasaan bahwa ia tidak sama dan tidak memiliki materi sebanyak temannya tersebut. Secara tidak langsung NL membuat penilaian negatif terhadap dirinya sendiri dan tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan olehnya. Meskipun pada akhirnya NL berusaha mengatasinya dengan kembali berpegang pada agama, tetapi hal tersebut tidak cukup untuk mengatasi afek negatif yang muncul.

4.   Subyek PN

PN lahir 1 April 1941 di Cepu, Jawa Tengah. Ia mulai tinggal di Panti Werdha X sejak Juli 2013. Selama proses pengambilan data dan intervensi, PN berusia 74 tahun. PN memiliki ciri-ciri fisik dengan tekstur wajah panjang, kulit berwarna coklat, dan rambut lurus hitam tetapi sebagian sudah memutih yang dipotong sependek bahu. PN memiliki postur tubuh yang cenderung tinggi besar, dengan berat badan sekitar 60kg dan tinggi badan sekitar 165cm. PN bersuku bangsa Jawa dan beragama Katolik.

PN adalah anak ke tiga dari sembilan bersaudara. PN mengungkapkan bahwa ia bersekolah sampai jenjang strata satu. PN juga pernah bekerja di beberapa perusahaan di Jakarta dan Bogor. PN tidak menikah. PN tidak menikah karena ayahnya beberapa kali tidak menyetujui hubungan PN dengan kekasihnya. Sebelum tinggal di Panti Werdha X, PN tinggal di daerah Ulujami, Jakarta Selatan bersama dengan kakaknya. Menurut PN, alasannya memilih tinggal di panti adalah karena saran dari teman dekatnya. PN memutuskan mengikuti saran temannya tersebut karena ia hanya hidup seorang diri. PN juga tidak enak apabila harus terus-menerus tinggal bersama kakak maupun adiknya dan bersama keluarga mereka. PN berharap mendapatkan keluarga baru di panti. PN termasuk salah satu penghuni yang aktif mengikuti berbagai kegiatan di panti. Ketika sedang tidak ada kegiatan, PN biasanya menghabiskan waktu membaca koran di depan area kamarnya.

Hasil kuesioner dan wawancara menunjukkan bahwa PN memiliki skor subjective well-being yang tergolong rendah, PN merasa tidak bahagia karena afek negatif yang tinggi dibandingkan afek positif atau kepuasan hidup. PN cenderung membatasi diri dalam hubungan dengan penghuni lain karena mengganggap pendidikan PN lebih tinggi dibandingkan penghuni panti lainnya.

Hubungan yang kurang baik dengan beberapa penghuni panti, membuat PN lebih mudah merespon secara negatif terhadap hal-hal yang dilakukan oleh mereka. Hal tersebut juga membuat PN menjadi mudah tersinggung dan menilai buruk teman-temannya tersebut. Hal tersebut PN ungkapkan dengan �bingung dengan perilaku oma-oma di panti ini, ya saya berusaha belajar memahami, tinggal dengan yang seumuran itu bagaimana, tetapi ya tidak terima kalau tidak dihargai.� Selain itu, afek negatif terlihat dari penilaian PN terhadap diri sendiri. PN menilai negatif dirinya dengan tidak pernah merasa bangga terhadap dirinya sendiri, meskipun berpendidikan tinggi. PN juga mengatakan bahwa ia merasa tidak puas dengan hidupnya, tetapi masih dapat ia terima. Hidup yang memuaskan menurut PN adalah apabila memiliki uang banyak, tabungan melimpah, serta memiliki suami, anak, dan cucu. Menurut PN kondisinya saat ini jauh dari hal tersebut.

5.   Subyek NI

NI lahir di Purwokerto pada 25 Desember 1941. NI merupakan lansia berjenis kelamin perempuan yang sudah tinggal di panti werdha X selama lebih dari 5 tahun, tepatnya sejak 2 Oktober 2010. Selama proses pengambilan data dan intervensi, NI berusia 71 tahun. NI bersuku bangsa Jawa dan beragama Katolik. NI memiliki ciri-ciri fisik dengan tekstur wajah oval, kulit berwarna coklat, dan rambut lurus hitam yang dipotong sependek pangkal leher. NI memiliki postur tubuh yang cenderung gemuk dan pendek, dengan berat badan sekitar 85kg dan tinggi badan sekitar 150cm. Selain itu, NI memiliki kondisi medis berupa hipertensi, diabetes, kolesterol, dan asam urat. Saat ini, NI terkadang menggunakan alat bantu untuk berjalan karena kakinya sedang� sakit.

NI merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. NI memiliki enam orang kakak, yaitu empat orang kakak laki-laki dan dua orang kakak perempuan. Saat ini semua kakak NI sudah meninggal. NI masih memiliki beberapa keponakan yang merupakan anak kakak-kakaknya. Penanggungjawab NI di panti adalah keponakan perempuan NI (LN) yang merupakan anak perempuan kakaknya. Sejak kecil NI tinggal di Purwokerto. NI bersekolah sampai SMP di Purwokerto. Setelah lulus SMP, ia bekerja di salah satu salon di dekat tempat tinggalnya. Kemudian, atas saran ayah dan ibunya, NI pindah ke Jakarta dan tinggal bersama kakaknya. Setelah ayah dan ibunya meninggal dunia, NI tinggal menetap di Jakarta. Selama di Jakarta, NI pernah bekerja pada bagian administrasi di salah satu gereja di Jakarta Pusat. Selain itu, NI juga kerap membantu mengurus makanan untuk acara di gereja. Setelah itu, NI tinggal bersama kakaknya di daerah Tangerang Selatan, dan bekerja sebagai kasir di Apotek di daerah Pamulang, Tangerang Selatan. Setelah kakak NI meninggal, keponakan NI menganjurkan agar NI tinggal di Panti Werdha X saja, agar NI mendapatkan teman seusianya untuk bercerita-cerita.

Selama tinggal di panti, NI merupakan salah satu penghuni yang cukup aktif mengikuti kegiatan. NI mengikuti hampir semua kegiatan yang ada di panti. Ketika sedang tidak ada kegiatan, NI biasanya menghabiskan waktu dengan memasak sendiri di dapur khusus untuk penghuni. Kemudian NI akan membagi-bagikan makanan hasil masakannya tersebut kepada pengurus dan beberapa penghuni panti. Saat ini NI harus berhati-hati saat berjalan dan harus menggunakan alat bantu, karena ia telah terjatuh sebanyak tiga kali, salah satunya di kamar mandi. Akibat jatuh ini, NI tidak dapat bergerak bebas, dan sering meminta pertolongan. Hal ini membuatnya merasa bahwa dirinya kurang kuat. Hal tersebut membuat NI sering meminta bantuan kepada karyawan maupun teman sekamar.

Secara keseluruhan, NI memiliki skor subjective well-being yang tergolong rendah. Hal tersebut didapatkan dari hasil kuesioner dan wawancara yang menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan yang dimiliki NI rendah. Terlihat bahwa pada diri NI afek negatif lebih dominan daripada afek positif dan kepuasan hidup. NI mengaku sering merasa putus asa karena perilaku karyawan panti dan teman sesama penghuni panti. NI melihat bahwa karyawan dan teman sesama penghuni tidak ada yang tulus dalam memberikan bantuan, padahal pengurus harian selalu menekankan agar mereka senantiasa saling tolong-menolong. Akan tetapi, karyawan akan segera menolong apabila segera diberi imbalan, sedangkan teman sesama penghuni setelah menolong biasanya akan membicarakan dibelakang NI. Hal tersebut membuat NI lebih memilih diam saja dan membatasi komunikasi dengan sesama penghuni maupun karyawan. Hal tersebut membuat NI merasa kesepian. Padahal ia berharap akan mendapatkan teman.

Selama tinggal di panti, NI mengatakan bahwa NI merasa tidak didukung karena merasa dikucilkan oleh sanak saudaranya. NI mengatakan, �pada boong sih katanya di panti enak, nggak taunya begini.� NI mengungkapkan bahwa sanak saudaranya memberitahu dirinya bahwa tinggal di panti menyenangkan karena banyak teman seusia NI. Akan tetapi ternyata mengecewakan. NI mengaku kecewa karena setelah ia jalani, tinggal di panti lebih banyak sedihnya. Kesedihan NI diperparah dengan tidak adanya kunjungan dari pihak keluarga, yang membuatnya merasa telah dilupakan oleh keponakannya. Selain itu, NI tidak memiliki cita-cita. NI hanya berharap ingin menjadi orang kaya, agar dapat memberikan sesuatu kepada orang lain. Hal tersebut membuatnya senang. NI juga tidak pernah merasa sukses, karena menurutnya walaupun ia pernah bekerja di beberapa tempat, tetapi masa tuanya dihabiskan untuk tinggal di panti dan tidak dapat bermanfaat. NI merasa hidupnya jauh dari rasa puas.

6.   Subyek JA

JA lahir di Bandung pada 5 Februari 1945. JA tinggal di panti sejak 11 Agustus 2005. Selama proses pengambilan data dan intervensi, JA berusia 70 tahun. JA memiliki ciri-ciri fisik dengan tekstur wajah bulat, kulit berwarna coklat, dan rambut lurus hitam yang dipotong sependek telinga. JA memiliki postur tubuh yang cenderung kurus dan pendek, dengan berat badan sekitar 50kg dan tinggi badan sekitar 145cm. Selain itu, JA memiliki kondisi medis berupa hipertensi.

JA adalah anak bungsu dari enam bersaudara. JA mengungkapkan bahwa ia bersekolah sampai tingkat diploma jurusan keperawatan. JA juga pernah bekerja di salah satu rumah sakit di Jakarta, dan� di yayasan kanker di Jakarta. JA menceritakan bahwa ia memiliki seorang anak laki-laki. Suami JA telah meninggal dunia saat usia pernikahan mereka empat tahun karena gugur dalam tugas dinas. Sebelum tinggal di Panti Werdha X, JA tinggal di Jakarta bersama dengan anak laki-laki, menantu, dan cucunya. Menurut JA, alasannya memilih tinggal di panti adalah karena anaknya kurang memedulikannya dan atas saran dari temannya. JA mengatakan bahwa ia akan lebih senang jika dapat tinggal bersama dengan anaknya, daripada tinggal di panti. Namun, JA merasa kurang dekat dengan menantunya. Selain itu, anak laki-lakinya pun telah mengungkapkan tidak dapat membawa JA untuk tinggal bersama keluarganya karena istrinya tidak mengijinkan JA tinggal bersama mereka. JA mengaku sedih dan kecewa karena telah merawat anaknya tersebut dengan penuh perjuangan, tetapi anaknya seperti tidak tahu diri. JA mengungkapkan bahwa ia tidak pernah mendapatkan kunjungan dari keluarga. Ia menceritakan bahwa selama tinggal di panti anaknya hanya mengirimkan biaya pembayaran panti melalui rekening.

Selama tinggal di panti, JA termasuk salah satu penghuni yang tidak aktif mengikuti kegiatan. JA hanya mengikuti beberapa kegiatan yang ada di panti, seperti doa dan misa, serta menyanyi bersama. Ketika sedang tidak ada kegiatan, JA biasanya menghabiskan waktu dengan duduk-duduk sembari melamun di depan area kamarnya.

Hasil kuesioner dan wawancara menunjukkan bahwa JA memiliki skor subjective well-being yang tergolong rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan yang dimiliki JA rendah. JA merasa tidak bahagia karena afek negatif yang lebih dominan daripada afek positif dan kepuasan hidup secara keseluruhan. JA merasa sedih karena tidak dapat membesarkan anaknya dengan baik dan benar. JA merasa kecewa karena perilaku anaknya yang mencampakannya. Padahal JA berharap dapat hidup bersama-sama dengan anak tunggalnya tersebut sampai ia meninggal dunia. Menurut JA hidup yang memuaskan adalah apabila berhasil dalam membesarkan anak dan dirawat oleh anak ketika sudah lansia. JA merasa hidupnya sama sekali tidak memuaskan, karena telah gagal dalam mendidik anaknya. Walapun JA pernah merasa dipercaya ketika bekerja, menurutnya hal tersebut sudah masa lalu dan tidak ada gunanya lagi. Saat ini JA mengaku hanya berpasrah diri karena merasa sudah tidak berguna dan bersiap menanti dipanggil oleh Tuhan.

 

Tabel 1

Identitas Subyek Penelitian

 

Kelompok Eksperimen

Kelompok Kontrol

Inisial nama

MM

HD

NL

PN

NI

JA

Jenis kelamin

P

P

P

P

P

P

Tempat lahir

Solo

Banjarmasin

Manado

Cepu

Purwokerto

Bandung

Tanggal lahir

9 Januari 1944

11 Oktober 1942

16 Oktober 1938

1 April 1941

25 Desember 1941

5 Februari 1945

Usia

71 tahun

73 tahun

77 tahun

74 tahun

74 tahun

70 tahun

Urutan kelahiran

4 dari 7

5 dari 5

3 dari 6

3 dari 9

7 dari 7

6 dari 6

Status pernikahan

Tidak menikah

Tidak menikah

Menikah (janda)

Tidak menikah

Tidak menikah

Menikah (janda)

Jumlah anak

-

-

1 (laki-laki)

-

-

1 (laki-laki)

Jumlah cucu

-

-

-

-

-

1 (perempuan)

Agama

Katolik

Katolik

Katolik

Katolik

Katolik

Katolik

Pendidikan

SMP

1 SMP

SMA

S1

SMP

Diploma jurusan keperawatan

Tanggal masuk panti

12 Juni 2013

6 April 2003

6 Juni 2006

28 Juli 2013

2 Oktober 2010

11 Agustus 2005

Lama tinggal di panti

(September 2015)

2 tahun 3 bulan

12 tahun 5 bulan

9 tahun 3 bulan

2 tahun 2 bulan

5 tahun

10 tahun 1 bulan

Penanggung jawab di panti

Pihak gereja dan atasan teman

Pihak gereja dan keponakan

Sepupu

Pihak gereja dan teman

Keponakan

Anak

Terakhir kali dikunjungi keluarga, teman, kerabat

Tidak pernah

Tidak pernah

Tidak pernah

Tidak pernah

Tidak pernah

Tidak pernah

 

B.  Intervensi

Sesi pertama dilakukan pada tanggal 26 September 2015. Kegiatan yang pertama dilakukan adalah melihat foto-foto tanaman dan video pertumbuhan tanaman, kemudian diskusi mengenai bercocok tanam (psikoedukasi mengenai bercocok tanam), dan diskusi mengenai pengalaman bercocok tanam yang sudah pernah dilakukan sebelumnya (jika ada), serta berdiskusi mengenai bercocok tanam dengan menggunakan benih. Semua subyek mengikuti kegiatan hari ini. Pada saat melihat foto-foto tanaman dan video pertumbuhan tanaman mereka tampak serius memperhatikan sembari sesekali memberikan komentar. NL beberapa kali menunjuk-nunjuk pada video. Ketika video berakhir, MM berkomentar bahwa senang apabila tanaman timun sudah berbuah, senang sudah berharap dan berhasil. Ketika mendengar hal tersebut, NL juga memberikan komentar bahwa senang juga apabila timunnya besar. HD tampak tersenyum lebar ketika melihat buah timun sudah dipanen dan beberapa kali mengatakan berapa lama tanaman timun dapat dipanen. Pada saat berdiskusi, NL mengingat tanaman bunga-bunga yang pernah ia tanam di rumahnya. Ia juga pernah mencoba menanam cabai di panti tetapi tidak tumbuh. Ia mengira hal tersebut karena tanah di panti tidak subur, karena tidak ada yang merawat. Ia merasa kecewa karena tanah di panti menurutnya cukup besar tetapi tidak dimanfaatkan. MM lebih banyak mendengarkan, dan ketika ditanya ia menceritakan pengalamannya ketika membantu ibunya merawat tanaman buah timbul, ia mengaku senang karena tanaman timbul tersebut berbuah beberapa kali dan dapat dibagikan ke tetangga-tetangganya. MM juga mengingat ketika memasak sayur timbul bersama ibunya (ketika menceritakan hal ini MM tampak sedikit berubah). HD lebih sering bertanya kapan timun dapat dipanen. Di akhir diskusi NL kembali mengatakan kapan dapat memulai bercocok tanam agar segera dapat melihat timun. HD memberikan komentar balasan dengan kembali menanyakan berapa lama timun dapat dipanen. MM menanggapi sembari tertawa dengan komentar bahwa bercocok tanam belum juga dimulai tetapi sudah menanyakan hasil. Ketika peneliti berpamitan akan pulang, NL kembali menanyakan kapan memulai kegiatan bercocok tanam.

Sesi ke dua dilakukan pada 27 September 2015. Kegiatan pada sesi dua adalah memulai bercocok tanam bersama:, yaitu mempersiapkan lahan dan mengolah tanah. Kegiatan mengolah tanah hari itu diikuti oleh NL, HD, dan MM. HD beberapa kali mengeluh kesulitan ketika mengolah tanah, dan beberapa kali berhenti untuk melihat ke arah MM dan NL. Tampak HD berharap akan mendapatkan bantuan MM. MM berkomentar semoga berhasil karena sudah bersusah payah. NL berkomentar, sesuai yang sudah pernah ia katakan tanah di panti kurang subur karena tidak pernah ada yang mau merawat padahal ada pengurus kebun.

Sesi ke tiga dilaksanakan pada 4 Oktober 2015. Kegiatan pada sesi ke tiga adalah menanam bersama, yaitu menyiapkan benih timun, dan menghitung jumlahnya, membuat garitan atau ubang pada lahan dan menyesuaikan jaraknya, menebarkan benih timun secara merata pada lubang yang sudah dibuat, menutup benih yang sudah ditebarkan pada lubang dengan tanah di sekitar lubang, serta berdiskusi mengenai kesan setelah bercocok tanam. Kegiatan hari itu diikuti oleh HD, NL, dan MM. Mereka tampak menanam timun bersama-sama. Terlihat beberapa kali HD meminta tolong kepada MM. Hal tersebut membuat NL memberikan komentar agar HD mengerjakan sendiri. HD menanggapi dengan tertawa dan mengatakan bahwa MM bersedia membantunya.

Sesi ke empat dilaksanakan pada 13 Oktober 2015. Kegiatan hari itu adalah menyiram tanaman dan memonitor pertumbuhan tanaman, serta berdiskusi mengenai pertumbuhan tanaman.� Pada hari itu ketiga subyek belum melakukan penyulaman karena semua benih timun tumbuh dengan baik. Selanjutnya, sesi ke lima dilaksanakan pada 20 Oktober 2015. Kegiatan sesi lima adalah melakukan penyiangan, melakukan penjarangan, melakukan pemupukan dan pendangiran tanah, memasang lanjaran, menyiram tanaman dan memonitor pertumbuhan tanaman. Ketika melakukan penyiangan, HD datang terlambat. MM dan NL memulai terlebih dahulu. MM mengatakan kepada peneliti bahwa oma HD malas, sementara NL tertawa melihat HD terlambat.

Sesi ke enam dilaksanakan pada 29 Oktober 2015. Kegiatan sesi ke enam adalah melakukan penyulaman, penyiram tanaman, dan memonitor pertumbuhan tanaman. Hari itu dilakukan penyulaman karena tanaman timun milik bersama mati. Penyulaman dilakukan oleh MM, dan diperhatikan oleh NL. HD tidak ikut seta kegiatan hari itu karena mengaku sakit perut. NL hanya tertawa mendengar alasan HD, sedangkan MM berkomentar dibelakang HD, bahwa HD malas. Kemudian sesi ke tujuh dilakukan pada 3 November 2015. Kegiatan hari itu adalah menyiram tanaman dan memonitor pertumbuhan tanaman. Pada hari itu, MM mengeluhkan kepada peneliti bahwa hanya ia yang rajin menyiram tanaman.

Sesi ke delapan dilakukan pada 10 November 2015. Kegiatan pada hari itu adalah melakukan penyiangan dan pendangiran tanah, menyiram tanaman dan memonitor pertumbuhan tanaman, serta berdiskusi. Kemudian hanya MM dan NL yang mengikuti kegiatan hari itu. Pada hari itu sudah muncul calon/ bakal buah timun. MM mengatakan senang sekali sudah terlihat bakal calon buah. NL sembari tertawa juga mengatakan hal yang serupa namun ia mengaku sedih karena tanamannya hanya terdapat satu calon bakal buah, sedangkan HD yang malas terdapat banyak calon buah. MM menanggapi dengan mengatakan bahwa tidak apa-apa siapapun yang berhasil, yang penting ada buah yang berhasil dipanen, tidak masalah punya siapapun. Akan tetapi kepada peneliti MM mengatakan memang HD pemalas dan awas saja apabila HD meminta buah milik MM.

Sesi ke sembilan dilaksanakan pada 27 November 2015, kegiatan pada hari itu adalah memonitor� perkembangan buah timun, melakukan pendangiran tanah dan memberikan pupuk tambahan (apabila diperlukan), serta memanen timun yang sudah dapat dipanen. Kegiatan hari itu, sebelum memanen bersama, dilakukan pemberian pupuk tambahan dan pendangiran tanah. Ketiga subyek tampak bersemangat melakukan kegiatan tersebut. Mereka tidak sabar untuk memetik buah timun yang sudah siap di panen. HD tampak bangga dan senang karena timun miliknya yang memiliki bakal calon buah paling banyak dibandingkan milik MM dan NL. Panen hari itu dipetik tiga buah timun. Satu buah berasal dari pohon MM, dan dua buah dari HD. Terlihat HD kecewa ketika melihat dua buah timunnya dimakan hama (kemungkinan tikus). Ia sedih melihat dua buah timunnya tersebut masih menggantung tetapi separuh sudah busuk bekas dimakan hama. NL tampak sedih karena satu buah timunnya miliknya hilang, (tanpa bekas), kemungkinan ada yang mengambil.

Selanjutnya adalah sesi sembilan (panen tahap dua) yang dilaksanakan pada 1 Desember 2015. Kegiatan sesi ini adalah memanen timun yang sudah dapat dipanen, memonitor bakal/ calon buah yang lain, mengolah atau memakan langsung hasil timun tersebut bersama-sama, dan berdiskusi. Panen tahap ke dua dipetik empat buah timun, dua buah berasal dari pohon MM dan satu buah berasal dari pohon NL, dan satu buah dari pohon milik karyawan. Tiga buah timun yang dipanen sebelumnya (panen tahap pertama) masih tersisa 1 buah milik MM dan setengah buah milik HD, dan di simpan di lemari es (satu buah timun milik HD sudah dipotong-potong dan dimakan oleh dua orang karyawan/ pengurus harian, dan yang separuh sudah dimakan oleh HD sendiri). Melihat timun-timun tersebut, NL mengusulkan membuat asinan Manado (gohu). MM setuju saja. Kemudian NL menyiapkan bahan-bahan dan meminta bantuan MM untuk mengupas dan memotong-motong timun. NL membuat sambal kuahnya, dibantu dua orang karyawan. HD ikut duduk sesekali sambil memperhatikan MM mengupas timun dan NL menyiapkan bumbu kuah. Kemudian ketiga makan bersama sembari berbincang-bincang. NL mengatakan akan memasak apa lagi jika ada timun yang dapat dipanen kembali. MM langsung mengatakan ia memiliki tiga calon buah timun yang sudah hampir besar. MM mengatakan akan memakannya langsung, sebagai lalapan. NL tertawa dan menawarkan apabila ada buah timun yang siap dipanen ia siap untuk memasak kembali. Kemudian HD tertawa lalu menanyakan calon buah timunnya masih ada berapa. NL tertawa, kemudian MM mengatakan bahwa HD harus melihat dan memeriksa sendiri ke kebun. HD tertawa dan menanyakan akan menanam apa lagi setelah ini. MM tersenyum dan menjawab, menanam apapun boleh asal rajin merawatnya. NL tertawa. HD menjawab ia rajin mendoakan. Kemudian mereka tertawa. NL berkomentar kembali, bagus apabila tanah di panti ditanami banyak sayuran, cabaii, buah-buahan. MM menimpali dengan mengatakan menanam apa saja bagus, asalkan niatnya ada dan mau merawat mulai dari mengolah tanahnya, merawat setiap hari, hingga memberikan hasil. (Gambaran kegiatan program intervensi horticultural therapy dan dinamika subyek pada masing-masing sesi tertera dalam lampiran 8 dan lampiran 9).

C.  Hasil Analisis Kuantitatif (Uji Hipotesis)

Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan uncorrelated data / independent sample t-test. Skor yang dijadikan perhitungan adalah gain score, yaitu selisih antara skor posttest dengan pretest (Seniati, Yulianto, & Setiadi, 2005). Dari hasil uji independent sample t-test, terlihat bahwa nilai t pada baris pertama (equal variance assumed), yaitu nilai t = 4,451 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa skor kedua kelompok berbeda secara signifikan. Maka, tolak H0 terima Ha. Artinya, terdapat perbedaan yang signifikan pada skor subjective well-being (SWB) lansia di Panti Werdha X yang mendapatkan kegiatan sehari-hari dan horticultural therapy pada pengukuran akhir dengan yang mendapatkan kegiatan sehari-hari saja. Perbedaan yang signifikan tersebut lebih jelas terlihat dari hasil mean atau rata-rata skor SWB pada kedua kelompok. Pada kelompok eksperimen, nilai mean = 25,33; sedangkan pada kelompok kontrol, nilai mean = 6,33. Artinya, penerapan program intervensi horticultural therapy dan kegiatan sehari-hari di Panti Werdha X, yaitu doa, misa, dan senam bersama pada kelompok eksperimen terbukti lebih efektif dalam meningkatkan SWB lansia dibandingkan yang didapatkan pada kelompok kontrol yaitu kegiatan sehari-hari di Panti Werdha X, berupa doa, misa, senam, dan menyanyi bersama. Hal tersebut menunjukkan bahwa yang diberikan kepada kelompok eksperimen telah terbukti dapat meningkatkan skor SWB, sekaligus menunjukkan bahwa variabel lain, seperti perlakuan dari pihak panti, kunjungan dari pihak luar ke panti, serta kegiatan sehari-hari lainnya tidak memberikan efek signifikan dalam meningkatkan skor SWB subyek penelitian.

D.  Hasil Analisis Kualitatif

Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada skor subjective well-being (SWB) lansia di Panti Werdha X yang mendapatkan kegiatan sehari-hari dan horticultural therapy pada pengukuran akhir dengan yang mendapatkan kegiatan sehari-hari saja. Pada penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa penerapan horticultural therapy terbukti dalam meningkatkan subjective well-being (SWB) pada lansia di Panti Werdha X. Hal tersebut terlihat dari perbedaan skor SWB sebelum dan sesudah intervensi.

Seluruh subyek (MM, HD, dan NL) yang mengikuti program intervensi horticultural therapy, mengalami peningkatan skor SWB. Dari ketiga subyek tersebut, semua mengalami peningkatan positive affect dan penurunan negative affect, walaupun hanya satu orang (MM) yang mengalami peningkatan life satisfaction. Ketiga subyek mengalami perubahan jawaban pada beberapa butir kuesioner dimensi positive affect, seperti bangga dan berguna. Pada saat sebelum intervensi, ketiga subyek menjawab tidak pernah. Kemudian, setelah intervensi, ketiga subyek menjawab sering. MM, HD, dan NL merasa bangga karena tanaman mereka membuahkan hasil. MM, HD, dan NL sama-sama merasa masih mampu dan dapat berguna ketika melihat, merawat, memetik, dan mengonsumsi tanaman timun mereka. Selain itu, mereka juga mengalami perubahan jawaban pada butir kuesioner dimensi negative affect, seperti kesepian. Sebelum intervensi, ketiga subyek mengaku sering merasa kesepian. Jawaban berbeda didapatkan setelah intervensi, ketiga subyek mengungkapkan bahwa mereka tidak pernah kesepian.

Penelitian ini menunjukkan bahwa dari seluruh subyek yang mengikuti horticultural therapy, hanya MM yang mengalami peningkatan kepuasan yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari adanya ungkapan rasa puas yang MM kemukakan saat tanaman timun memberikan hasil dan dapat MM bagikan kepada penghuni panti maupun kepada karyawan panti. Hal tersebut juga didukung oleh peningkatan skor life satisfaction dalam skala SWB.

Penelitian ini juga menunjukkan adanya peningkatan dalam interaksi sosial. Hal tersebut terbukti dapat mengurangi perasaan kesepian yang selama ini dialami oleh ketiga subyek. Selama sesi intervensi sedang berlangsung, kebersamaan antar subyek terlihat ketika MM dan NL duduk bersama dan saling berkomunikasi di depan kamar MM sembari menunggu waktu makan siang. MM biasanya lebih sering duduk menyendiri di area depan kamar MM, sedangkan NL berdoa sendiri dan bermain alat musik organ di kapel atau memasak sendiri di dapur, dan HD lebih sering berdiam diri atau hanya berbaring di kamar. Setelah sesi terakhir, HD ikut duduk bergabung dengan MM dan NL, walaupun hanya sesekali ikut berkomunikasi. HD juga sudah beberapa kali terlihat mengikuti kegiatan makan bersama dengan para penghuni lainnya di ruang makan panti. Selain itu, menurut beberapa karyawan panti, selama sesi sedang berlangsung, HD dan NL beberapa kali sudah bertegur sapa. Hal tersebut juga tampak pada saat kegiatan sesi sedang berlangsung.

 

Tabel 2

Perbedaan skor SWB sebelum dan sesudah intervensi

 

Skor SWB sebelum intervensi

Skor SWB sesudah intervensi

Kelompok Eksperimen

MM

Skor SWB tergolong rendah (-0,77)

Skor SWB tergolong tinggi (1,23)

HD

Skor SWB tergolong rendah (-2,1)

Skor SWB tergolong rata-rata (0,27)

NL

Skor SWB tergolong rendah (-0,6)

Skor SWB tergolong tinggi (1,03)

Kelompok Kontrol

PN

Skor SWB tergolong rendah (-1,12)

Skor SWB tergolong rendah (-2)

NI

Skor SWB tergolong rendah (-0,81)

Skor SWB tergolong rendah (-0,88)

JA

Skor SWB tergolong rendah (-0,68)

Skor SWB tergolong rendah (-1,06)

 

Kesimpulan

Simpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada skor subjective well-being lansia di Panti Werdha X yang mendapatkan kegiatan sehari-hari dan horticultural therapy pada pengukuran akhir dengan yang mendapatkan kegiatan sehari-hari saja. Penerapan program intervensi horticultural therapy dan kegiatan sehari-hari di Panti Werdha X, yaitu doa, misa, dan senam bersama pada kelompok eksperimen terbukti lebih efektif dalam meningkatkan subjective well-being lansia dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya mendapatkan kegiatan sehari-hari di Panti Werdha X, berupa doa, misa, senam, dan menyanyi bersama.

 


BIBLIOGRAFI

 

Barnicle, Tom, & Midden, Karen Stoelzle. (2003). The effects of a horticulture activity program on the psychological well-being of older people in a long-term care facility. HortTechnology, 13(1), 81�85. Google Scholar

Brammer, Lawrence M., Abrego, Philip J., & Shostrom, Everett L. (1993). Therapeutic counseling and psychotherapy. Prentice-Hall, Inc. Google Scholar

Diener, Ed. (2000). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55(1), 34. Google Scholar

Diener, Edward, Lucas, Richard E., & Oishi, Shigehiro. (2002). Subjective well-being: The science of happiness and life satisfaction. Handbook of Positive Psychology, 2, 63�73. Google Scholar

Eddington, Neil, & Shuman, Richard. (2005). Subjective well-being (happiness). Continuing Psychology Education, 6. Google Scholar

Hamid, Almisar. (2007). Penduduk lanjut usia di Indonesia dan masalah kesejahteraannya. Diakses Dari: Http://Www. Kemsos. Go. Id//Modul Es. Google Scholar

Hewson, M. (2013). Horticultural therapy. Retrieved from hospitalnews.com website: http://www.hospitalnews.com/horticultural-therapy/. Google Scholar

Kurniawati, Dwi Esti. (2018). Peranan Dukungan Sosial Terhadap Aktualisasi Diri Anak Pada Komunitas Saung Mimpi. Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Google Scholar

Mariani, & Kadir, S. (2014). Panti werdha sebuah pilihan. Retrieved from subhankadir.wordpress.com website: http://subhankadir.wordpress.com/2007/08/20/panti-werdha-adalah-pilihan/. Google Scholar

Nugraheni, Septiyani Dwi. (2007). Hubungan Antara Kecerdasar Ruhaniah Dengan Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lanjut Usia. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi. Google Scholar

Nurlailiwangi, Eneng, & Coralia, Farida. (2013). Studi mengenai kesejahteraan psikologis lansia di balai perlindungan sosial Tresna Werdha (BPSTW) Ciparay Bandung. Google Scholar

Perkins, P. (2010). Impact of a horticultural therapy program on the well-being of low-income community dwelling older adults. X International People-Plant Symposium on Digging Deeper: Approaches to Research in Horticultural Therapy and Therapeutic 954, 123�132. Google Scholar

Perveen, Farida. (2013). Effects of Horticulture Therapy for Elderly With Dementia in an institutional setting. Google Scholar

Predny, Mary Lorraine. (1999). Assessing an intergenerational horticulture therapy program for elderly adults and preschool children. Virginia Tech. Google Scholar

Relf, Paula Diane. (1998). People-plant relationship. Google Scholar

 

Santrock, John W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidup 5th ed. A. Chusairi & J. Damanik, Pengalih Bhs.). Dalam H. Sinaga & Y. Sumiharti (Eds.). Jakarta: Erlangga. Google Scholar

Seniati, Liche, Yulianto, Aries, & Setiadi, Bernadette N. (2005). Psikologi eksperimen. Jakarta: PT Indeks, 37�118. Google Scholar

Simson, Sharon, & Straus, Martha. (1997). Horticulture as therapy: Principles and practice. CRC Press. Google Scholar

 

Copyright holder:

Mahesti Pertiwi, Monty P. Satiadarma, Untung Subroto (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: