Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN : 2548-1398


Vol. 6, Special Issue No. 1, November 2021

 

KEBIJAKAN��� PAJAK��� ATAS��� PENGHASILAN��� BRUTO��� DOKTER YANG BERPRAKTIK DI RUMAH SAKIT

 

Rahma Liestafiani, Titi M. Putranti

Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara konsep atas kebijakan penetapan besaran penghasilan bruto bagi dokter yang berpraktik di rumah sakit yang diatur secara khusus. Penelitian disusun secara deskriptif dari analisis konsep berbagai literatur yang up to date yang diharmonisasikan dengan konsep dasar pajak atas penghasilan kemudian diperbandingkan dengan implementasi peraturan perpajakan yang berlaku saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan penetapan besaran penghasilan bruto dokter yang berpraktik di rumah sakit yang diterapkan dalam peraturan perpajakan yang mengutamakan kepada pengamanan penerimaan negara sekaligus meminimalisir upaya penggelapan pajak. Penerapan dari konsep ini berimplikasi timbulnya pajak berganda.

 

Kata Kunci: pajak penghasilan, jasa tenaga ahli, dokter, rumah sakit, pajak berganda

 

Abstract

This study aims to provide a conceptual explanation of the policy for determining the amount of gross income for doctors practicing in specially regulated hospitals. The research is compiled descriptively from the concept analysis of various up-to-date literature which is harmonized with the basic concept of income tax and then compared with the current implementation of taxation regulations. The results showed that the policy of determining the gross income of doctors practicing in hospitals which is implemented in the taxation regulations in force in Indonesia that prioritizes securing state revenues while minimizing tax evasion efforts. This concept implies double taxation.

 

Keywords: income tax, professional fee, doctor, hospital, double taxation

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20

 

 

Pendahuluan


Dunia dikejutkan dengan muncul dan berkembangnya pandemi covid-19. Rancangan dan fungsi rumah sakit untuk menanggung pasien, bertambah dengan adanya pandemi yang menimbulkan tantangan dan tingkat kesulitan tersendiri tidak


hanya untuk rumah sakit, tetapi juga keseluruhan sektor bidang kesehatan (D�souza, Shetty, Apuri, & Moreira, 2020). Oleh karena itu, pengawasan pelayanan kesehatan yang meliputi tenaga medis (dokter, perawat dan bidan) dan non medis (pegawai administrasi) untuk memberikan pelayanan berkualitas menjadi tanggung jawab yang serius (Hossain, Khan, & Yahya, 2020). Secara tradisional, rumah sakit dibentuk sebagai tempat praktek bersama dokter-dokter spesialis, yang berarti orientasi ditujukan atas kebutuhan spesialis dibandingkan dengan pasien sebagai klien (Barzdins, 2016). Peran penting dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan, juga akan mempengaruhi terciptanya keadilan pelayanan kesehatan (Marmot, 2017). Pada dasarnya, masyarakat menginginkan perawatan kesehatan yang berkualitas, yang terjangkau bagi semua (Morse, 2018). Kesehatan pada awalnya menggunakan konsep free charges terutama bagi penduduk yang memiliki penghasilan rendah, namun terdapat tantangan pembiayaan perawatan kesehatan yang tinggi yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan (Hangoma, Robberstad, & Aakvik, 2018). Pajak menjadi solusi untuk menghimpun pendapatan bagi pemerintah demi keperluan administrasi serta peningkatan kualitas masyarakat (Onyele & Nwokoacha, 2016). Agar negara dapat menuntut pertumbuhan dan pembangunan melalui perpajakan, harus diikuti dengan peningkatan kualitas hidup warga negara (Osho & Fadakinte, 2020). Perlu diingat juga, jumlah pendapatan negara memengaruhi kemampuan pemerintah untuk dapat menyediakan layanan kesehatan publik, program, infrastruktur, serta penelitian untuk melindungi kesehatan masyarakat secara memadai (Wiist, 2018).

Peranan dokter, terutama yang melakukan praktik di rumah sakit di masa ini menjadi pemegang peran utama. Dokter termasuk ke dalam golongan pekerja bebas yang memiliki kemampuan khusus dalam bidang tertentu dimana penghasilan yang diperoleh pada umumnya bersifat mandiri yang tidak terikat hubungan kerja (Prasetiyo & Imadudiin, 2019). Berikut ini tabel perbandingan jumlah dokter keseluruhan dengan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit.

 

Tabel 1. Perbandingan Jumlah Dokter dengan Dokter yang Berpraktik di

RS

Spesifikasi

 

2019

 

2020

 

SIP

Praktik di RS

SIP

Praktik di RS

Dokter Umum

141.051

24.550

144.803

34.785

Dokter Gigi

32.813

4.264

33.772

5.039

Dokter Spesialis

39.853

29.245

41.311

37.952

Dokter Gigi Spesialis

4.127

1.140

4.288

2.415

Total

217.844

59.199

224.174

80.191

Sumber : Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan kemenkes RI dan Konsil Kedokteran Indonesia (diolah kembali oleh peneliti)

 

Terlihat jumlah tersebut terdapat kesenjangan yang cukup mencolok. Di Indonesia, dokter tergolongan sebagai tenaga ahli atau profesional. Dokter yang


merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam penelitian ini penghasilan bruto dokter yang berpraktik di rumah sakit diatur secara khusus dalam PER 16 tahun 2016 jo PER

31 tahun 2009 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi dalam Pasal 10 ayat (6). Kebijakan tersebut menyebutkan bahwa penghasilan dokter yang berpraktik di rumah sakit termasuk penghasilan rumah sakit. Pajak atas penghasilan yang seharusnya hanya ditanggung pembebanannya oleh masing-masing individu yang menerima atau memperolehnya, dalam kebijakan ini membuat penghasilan dokter tidak hanya miliknya tapi juga atas penghasilan rumah sakit.

Berdasarkan paparan tersebut, peneliti memiliki dua pertanyaan penelitian yaitu:

1)                    Mengapa kebijakan penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit berdasarkan penghasilan bruto yang dibayarkan pasien sebelum dikurangi dengan bagi hasil Rumah Sakit?

2)                    Apa implikasi dari kebijakan penghitungan Pajak Penghasilan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit berdasarkan penghasilan bruto yang dibayarkan pasien sebelum dikurangi dengan bagi hasil Rumah Sakit?

Kebijakan penghasilan bruto dokter yang berpraktik di Indonesia dan implikasi dari kebijakan tersebut merupakan penelitian yang belum pernah dilakukan.

 

Metode Penelitian

Peneliti menggunakan penelitian kualitatif karena peneliti melihat terdapat permasalahan yang timbul atas konsep penghasilan yang diterima atau diperoleh terutama bagi dokter yang berpraktik di rumah sakit. Pendekatan kualitatif memiliki tujuan untuk memperoleh pemahaman dengan menginterpretasikan secara mendalam dan langsung melalui penelitian atas suatu fenomena sosial. Sentral yang menjadi pembimbing peneliti dalam menganalisis bukanlah teori, namun data dan informasi yang diperoleh ketika peneliti turun ke lapangan melakukan penelitian (Neuman, 2014). Tujuan penelitian, jenis penelitian ini menggunakan penelitian desktiptif. Menurut Neuman, penelitian desktiptif menyajikan gambaran yang spesifik mengenai kondisi, tatanan sosial atau hubungan (Neuman, 2014). Manfaat dari penelitian ini diharapkan tidak����������� hanya�� sebagai��� pengetahuan,�� namun��� dapat����������� memberikan������� manfaat����������� secara praktis/terapan. Peneliti menggunakan strategi dalam mengumpulkan data melalui studi kepustakaan dan lapangan. Dalam penelitian ini, studi dokumentasi dilakukan peneliti dengan mempelajari literatur yang terkait dengan topik penelitian seperti buku, jurnal, serta peraturan yang berlaku, yaitu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan penelusuran internet. Penelitian juga m enggunakan metode wawancara sebagai sarana pengumpulan data yang paling memiliki pengaruh dalam penelitian kualitatif (Punch &

Oancea, 2014).

Teknis dalam mengalisis data pada penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif menurut Creswell berupa penggambaran, teks ataupun gambar (Creswell & Creswell, 2017). Data wawancara yang diperoleh kemudian dituangkan menjadi tertulis,


lalu membuat transkrip wawancara yang telah dilakukan. Proses ini dapat menghasilkan sumber yang sesuai dengan sumber yang lain ataupun terjadi pertentangan. Proses akhir yaitu melakukan penarikan kesimpulan terhadap analisis data. Narasumber dari penelitian ini adalah perwakilan dari:

a)          Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

b)         Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

c)          Asosiasi dokter sebagai asosiasi yang menaungi dokter yang berada di Indonesia yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

d)         Asosiasi Rumah Sakit sebagai asosiasi yang menaungi Rumah Sakit yang berada di Indonesia yaitu Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).

e)          Bagian Pajak Rumah Sakit dan konsultan pajak.

f)           Akademisi.

Peneliti menyadari bahwa pembatasan penelitian diperlukan dalam suatu penelitian, sehingga ruang lingkup penelitian dapat dipersempit. Hal ini seperti yang dikemukan Cresswell (2009) dalam Wagner dkk (Wagner, Kawulich, & Garner, 2012). Penelitian ini difokuskan dan terbatas pada analisis kebijakan besaran penghasilan bruto atas dokter yang melakukan praktiknya di Rumah Sakit serta implikasi dari kebijakan tersebut. Penelitian ini tidak dapat menyajikan data real untuk simulasi perhitungan penghasilan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit serta penghasilan Rumah Sakit dari jasa dokter yang diperoleh dari pasien. Hal ini dikarenakan kerahasian data penghasilan tersebut yang tidak bersedia diberikan baik dokter maupun Rumah Sakit. Peneliti hanya dapat memberikan besaran pola bagi hasil antara dokter dengan Rumah Sakit yang berlaku secara umum berdasarkan hasil interview. Peneliti juga tidak dapat memberikan informasi informan perwakilan RS yang menjadi narasumber atas permintaan narasumber.

 

Hasil dan Pembahasan

1.          Kebijakan Penghasilan Bruto Dokter yang Berpraktik di Rumah Sakit

Kebijakan pajak secara khusus atas penghasilan dokter yang berpraktik di rumah sakit pertama kali dituangkan di dalam PER 31 tahun 2009. Atas kebijakan perpajakan dokter yang berpraktik dapat dirangkum sebagai berikut:

 

Tabel 2. Pihak Terkait Pajak Dokter Berpraktik di Rumah Sakit

Subjek Pajak

Objek Pajak

Pihak Pemotong

Dokter yang berstatus bukan pegawai atau penerima honorarium sebagai tenaga ahli yang���������������������� menerima penghasilan atas jasa

yang diberikan.

Penghasilan��������������������������� yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan jasa berupa honorarium atau fee yang berasal dari pasien.

Rumah Sakit sebagai badan yang membayar honorarium atau fee kepada dokter atas kegiatan pemberian jasa yang dilakukan dokter.

Sumber: Diolah peneliti


Dari tabel diatas, yang menjadi fokus penelitian adalah dokter yang berstatus bukan pegawai yang menerima penghasilan sebagai tenaga ahli. Dokter tersebut menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan jasa yang berasal dari pasien. Namun, rumah sakit yang melakukan pembayaran kepada dokter karena yang menerbitkan tagihan adalah rumah sakit atas jasa dokter.

Di dalam pemungutan pajak atas PPh Pasal 21 sistem yang digunakan adalah withholding. Sistem ini menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk oleh undang-undang sebagai pemotong atau pemungut pajak. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pada PPh Pasal 21 disebutkan mengenai pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak atas penghasilan yang dilakukan oleh pemberi kerja. Bagi dokter yang� melakukan praktiknya di rumah sakit, berdasarkan KEP DirJen No.545/PJ.1/2000 atas honorarium yang diterima atau diperolehnya bersama tenaga ahli lainnya memiliki pola perhitungan khusus. Pola perhitungan dalam memotong PPh Pasal 21 terhutang tenaga ahli termasuk dokter berdasarkan perkiraan penghasilan neto yaitu sebesar 50% dari penghasilan bruto yang diterima atau diperolehnya. Namun, otoritas pajak melakukan update norma penghitungan dan penyelenggaraan pencatatan diatur dalam PER 16 tahun 2016 merupakan perubahan dari PER-32/PJ/2015 jo PER-57/PJ/2009 jo PER-31/PJ/2009. Di mulai sejak PER 31 tahun 2009, ditambahkan Pasal 10 ayat 6 ketentuan atas besaran penghasilan bruto dokter. Bruto dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dihitung dari seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pasien tanpa dikurangi biaya apapun termasuk bagi hasil dengan rumah sakit.

Dokter yang berpraktik di rumah sakit memiliki kesepakatan dengan rumah sakit sebagai partner dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan. Kesepakatan tersebut salah satunya mencantumkan klausul bagi hasil dimana honorarium yang diterima atau diperoleh dokter dari pasien tidak sepenuhnya menjadi milik dokter. Besaran bagi hasil dokter dengan rumah sakit berbeda-beda tiap dokter dan rumah sakit. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan narasumber perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. Slamet Budiarto, SH, MH:

 

��dokter ini kan yang bekerja di klinik dan di rumah sakit, bukan praktik soliter sendiri ya. Bagi hasil itu ada 80:20, 90:10, 95:5�.� (Budiarto, 2021)

Maka penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pasien atas fee dokter tidak sepenuhnya menjadi hak dokter, namun ada porsi yang menjadi hak rumah sakit. Besaran bagi hasil akan bergantung kepada kesepakatan antara dokter dengan rumah sakit.

Pajak atas penghasilan yang seharusnya adalah pajak subjektif dimana pajaknya tidak dapat dialihkan kepada subjek pajak lain justru kebijakan ini membuat satu subjek pajak menanggung beban pajak atas objek pajak dari subjek lain. Kesederhanaan administrasi pajak akan menopang kebijakan pajak yang tidak rumit, namun bukan berarti keadilan suatu kebijakan terlupakan (Irianto, 2012). Lalu mengapa kebijakan ini diberlakukan? Ada tiga hal yang menyebabkan kebijakan Pajak Penghasilan atas


penghasilan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit diberlakukan berdasarkan penghasilan yang dibayar pasien sebelum dikurangi bagi hasil Rumah Sakit, yaitu:

1)                    Bukti otentik billing pasien Rumah Sakit sebagai tempat praktik dokter

Dokter yang melakukan praktiknya di Rumah Sakit menjadikan Rumah Sakit sebagai tempat pertemuannya dengan pasien. Terjalin transaksi jasa antara pemberi jasa yaitu dokter dengan pasien sebagai pengguna jasa di Rumah Sakit. Satu hal yang dapat menjadi bukti konkrit hubungan ketiga pelaku dari hubungan yang terjalin dalam menjalankan pelayanan medis, yaitu billing atau invoice.

Billing atau invoice yang diterima pasien dari Rumah Sakit sebagai bukti telah terjadinya transaksi antara Rumah Sakit dengan pasien atas jasa yang diberikan oleh dokter tercantum secara jelas. Maka dari itu, pengenaan pajak dari penghasilan seluruhnya yang diterima atau diperoleh dari pasien atas jasa dokter merupakan konsekuensi dari pajak yang dibebankan kepada dokter. Hal ini pun disebutkan oleh Andi bahwa billing atau invoice yang dibayarkan oleh pasien melalui Rumah Sakit tercetak jelas jasa dokter (Andi, 2021). Oleh karena itu, akan menjadi suatu dasar yang solid dari suatu pengenaan pajak atas diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut.

Pengenaan pajak tersebut juga merupakan konsekuensi logis atas penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Bruto oleh dokter. Penggunaan metode presumtive sebagai second base policy akibat dari dokter yang tidak melaporkan penghasilan menggunakan metode pembukuan, maka dibutuhkan bukti konkrit agar tidak timbul kebocoran pajak. (Thuronyi, 2004) sudah menegaskan bahwa metode presumtive salah satunya adalah persentase dari penerimaan bruto yang merupakan metode yang diberlakukan untuk dokter, memiliki konsekuensi logis yaitu data yang digunakan harus mudah di audit. Maka dengan mengenakan pajak dari penghasilan yang tercatat dalam pembukuan Rumah Sakit sebagai pendapatan dokter berdasarkan kuitansi pasien atas jasa dokter, hal ini sejalan dengan metode yang dipilih sendiri oleh dokter ketika tidak melakukan pembukuan. Apabila dokter menggunakan pembukuan bukan norma, maka dokter dapat menjadikan porsi Rumah Sakit yang bukan merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh dokter sebagai biaya. Biaya tersebut akan menjadi pengurang ketika menghitung pajak terhutang dokter (Andi, 2021). Ini berarti, ototitas pajak sudah memberikan keadilan bagi dokter sebagai Wajib Pajak dalam menghitung penghasilan sebelum dikenakan pajak.

Kesederhanaan yang dipilih dokter ketika memilih menggunakan norma adalah konsekuensi yang harus ditanggung dokter. Keadilan yang diberikan kepada Wajib Pajak ketika menggunakan pembukuan tidak dapat diperoleh dokter ketika mengambil opsi sederhana. Metode presumtive dari Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagai second-base theory tidak lagi mengutamakan keadilan karena ini adalah konsekuensi dari presumtive method (Muamarah, 2021). Simplikasi administrasi pajak yang dipilih dokter menimbulkan ketidakadilan bagi dokter tentunya otoritas pajak juga memiliki agenda. Salah satu alasan metode ini


diterapkan mengusung upaya pemerintah dalam mendorong Wajib Pajak menggunakan pembukuan (Theodikta & Rahmawati, 2021). Apabila dokter berasumsi bahwa penggunaan norma yang selama ini digunakan merugikan dokter sebagai Wajib Pajak, maka sudah selayaknya dokter memilih metode yang berbeda. Dokter yang secara tingkat pendidikan serta secara financial memiliki kemampuan untuk menjalankan pembukuan, dapat meninggalkan metode norma dan menggunakan pembukuan dalam administrasi pajaknya (Muamarah, 2021).

Bukti otentik berupa billing yang dibayar pasien atas jasa dokter di Rumah Sakit dapat menegaskan tanpa menimbulkan kebingungan serta memudahkan perhitungan pajak. Maka pajak atas penghasilan dokter dihitung dari pendapatan yang diterima atau diperoleh dari pasien. Penghasilan dokter tersebut tercatat dalam pembukuan Rumah Sakit, dengan bukti otentik billing pasien maka otoritas pajak juga memperoleh benefit apabila melakukan audit sehingga meminimalkan potensi tax loss.

2)                    Dokter menerima fasilitas dari Rumah Sakit

Selain dari sisi bukti otentik, Rumah Sakit sebagai lingkungan tempat dokter menjalankan praktiknya juga memiliki keistimewaan yang tidak diperoleh tenaga ahli lainnya. Dokter sebagai pemberi jasa tidak perlu mengeluarkan biaya-biaya yang tenaga ahli lainnya harus tanggung. Dokter yang berpraktik di Rumah Sakit tidak perlu memikirkan biaya seperti listrik, sewa tempat praktik, tenaga bantuan seperti suster atau bagian administrasi, termasuk alat-alat medis juga obat-obatan (Theodikta & Rahmawati, 2021). Dokter sesungguhnya ketika menjalankan praktiknya di Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan medis hanya perlu berfokus kepada 1` yang dimilikinya. Begitu berartinya kemampuan tersebut, sampai suatu skema hubungan kerja hanya dokter sebagai profesi ahli yang memilikinya. Baik pengacara, akuntan, notaris, ataupun arsitek tidak ada yang memiliki hubungan istimewa ini.

Ketika dokter berpraktik di Rumah Sakit, biaya yang akan menjadi beban dokter apabila berpraktik secara pribadi tidak lagi menjadi beban yang secara langsung ditanggung dokter. Rumah Sakit sebagai lingkungan kerja dokter akan mengambil alih beban tersebut. Gaji tenaga medis yang akan membantu dokter dalam menjalankan profesinya atau bagian administrasi tidak perlu dipikirkan dokter ketika mengolah penghasilan yang diterima atau diperolehnya. Biaya obat- obatan atau alat-alat medis menunjang pelayanan kesehatan tidak akan menjadi salah satu biaya yang harus membebani praktik dokter. Semua itu termasuk tempat serta sarana dan prasarananya akan menjadi tanggung jawab Rumah Sakit. Rumah Sakit akan mengelola sumber-sumber penghasilannya termasuk porsi Rumah Sakit dari penghasilan dokter yang berasal dari pasien untuk dapat membiayai pengeluaran yang didalamnya terdapat juga kepentingan dokter. Agar lebih jelas, peneliti membuat bagan skema penjelasan atas penghasilan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit terkait analisis dari sisi lingkungan tempat bekerja dokter.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Dokter Berpraktik di Rumah Sakit

 


 

Dokter Berpraktik di Klinik Pribadi

Bagan 1. Analisis Penghasilan Dokter dari Lingkungan Bekerja

Sumber: Diolah Peneliti

Oleh karena itu, dokter yang menjalankan profesinya di Rumah Sakit tidak akan mengeluarkan biaya-biaya untuk menunjang pelayanan medisnya (Theodikta & Rahmawati, 2021). Rumah Sakit menggantikan posisi tersebut sebagai pihak yang menanggung beban demi kelancaran praktik kesehatan dokter. Ini semua akan menjadi tanggung jawab dokter secara penuh apabila dokter menjalankan praktiknya secara pribadi di klinik miliknya sendiri. Dokter yang berpraktik di klinik secara solitaire harus mengeluarkan secara langsung biaya tempat apabila tidak memiliki sendiri maka harus sewa. Biaya utilitas seperti listrik, air dan internet, juga biaya gaji tenaga administrasi dan penunjang seperti suster apabila tidak dapat dijalankan sendiri juga akan menjadi beban dokter.

Atas biaya yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit untuk memberikan fasilitas kepada dokter dalam menjalankan praktiknya memang boleh menjadi pengurang dalam perhitungan penghasilan kena pajak Rumah Sakit. Secara konsep natura atau kenikmatan, karena dianggap bukan objek pajak, maka biaya yang dikeluarkan atas natura atau kenikmatan tersebut tidak boleh menjadi biaya. Apakah memasukkan penghasilan Rumah Sakit yang dianggap sebagai biaya bagi dokter atas kenikmatan yang diterima oleh dokter menjadi penghasilan dokter dalam menghitung pajak menjadikan skema kebijakan ini benar? Lalu konsep penghasilan yang mana yang menjadikan penghasilan Rumah Sakit menjadi penghasilan bruto dokter dalam menghitung pajak dokter? Agar lebih jelas peneliti menyusun bagan berikut ini.


 

 

������� ��������������������������������������������������������������������������������

 

 

Bagan 2. Rincian Penghasilan Dokter dari Pasien

Sumber: Dioleh Peneliti

 

Berdasarkan bagan diatas, otoritas pajak mengartikan fasilitas yang diterima dokter dari Rumah Sakit merupakan tambahan kemampuan ekonomis berupa kenikmatan atau penghasilan non tunai. Fasilitas tersebut akan menjadi beban biaya yang harus ditanggung apabila dokter menjalankan praktik secara pribadi. Atas kenikmatan berupa fasilitas tersebut, dokter memberikan bagi hasil kepada Rumah Sakit dari penghasilan yang dibayarkan pasien di Rumah Sakit. Ini yang membuat biaya yang dikeluarkan dokter untuk Rumah Sakit berupa bagi hasil bukan dianggap sebagai biaya tapi sebagai penghasilan non tunai dokter yang berpraktik di Rumah Sakit.

Keadilan inilah yang diusung oleh otoritas pajak dan luput dari dokter ketika kebijakan penghasilan bruto dokter yang berpraktik di Rumah Sakit diberlakukan. Atas penghasilan yang sama dikenakan pajak yang sama. Dokter yang berpraktik di klinik pribadi dengan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit sama-sama memperoleh penghasilan dari pasien sebagai jasa dokter. Penghasilan tersebut juga yang dikenakan sebagai pajak dokter. Dokter sebagai Wajib Pajak tidak menjadi isu apakah penghasilan diperoleh atau diterima dari lingkungan klinik pribadi atau Rumah Sakit selama dibebankan kepada pasien sebagai jasa dokter, maka dianggap sebagai penghasilan dokter dan dapat dikenakan pajak (Muamarah, 2021). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan (Nurmantu, 2005) mengenai prinsip keadilan dalam sistem pemungutan pajak. salah satu prinsip tersebut adalah the principle of universality yang dimaknai sebagai pemajakan universal bagi orang-orang yang mampu membayar tidak boleh membedakan kelompok atau golongan tertentu. Baik dokter yang berpraktik di Rumah Sakit maupun membuka praktik sendiri, sama- sama dikenakan pajak dari dasar pengenaan yang sama yaitu penghasilan atas jasa yang diterima atau diperoleh dari pasien yang tercantum dalam tagihan. Hal tersebut dibuktikan dengan tagihan yang dibayarkan pasien sebagai jasa dokter. Sehingga dengan ini berdasarkan justifikasi negara, keadilan telah ditegakkan dimana atas penghasilan yang sama dikenakan pajak yang sama pula (Shome,


1995) (Musgrave, 1973). Selain itu, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pasien atas jasa dokter dikenakan pajak kepada dokter sebelum dikurangi bagi hasil karena bagi hasil tersebut dianggap sebagai penghasilan non tunai dokter bukan hanya semata-mata penghasilan Rumah Sakit. Kesederhanaan pemajakan dengan berdasarkan billing dari pasien atas jasa dokter akan memudahkan otoritas pajak dalam rangka audit tanpa perlu meminta dokumen pendukung untuk mengetahui bagi hasil dokter dengan Rumah Sakit.

3)                    Hubungan unik antara dokter dengan Rumah Sakit

Dokter yang berpraktik di Rumah Sakit memiliki status hubungan kerja yang berbeda antara pemberi kerja dengan pekerjanya. Karena dokter spesialis yang berpraktik di Rumah Sakit bukan bekerja sebagai pegawai Rumah Sakit. Keunikan dokter spesialis yang berpraktik di Rumah Sakit berbeda pula dengan hubungan pengguna jasa dengan pemberi jasa. Hubungan Rumah Sakit dengan dokter merupakan kerjasama pemberi kerja dengan pemberi jasa. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Widartoyo sebagai narasumber perwakilan dari PERSI. Dokter yang berpraktik di Rumah Sakit bukan merupakan pegawai Rumah Sakit, tapi dokter bekerjasama dengan Rumah Sakit dimana dokter sebagai penyedia jasa (Widartoyo, 2021).

Karakteristik hubungan antara dokter dengan Rumah Sakit yang tidak umum ini juga tidak luput dari perhatian otoritas pajak. Seperti yang diutarakan oleh perwakilan dari Direktorat Jenderal Pajak Subdit Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh I bahwa dokter berbeda dengan tenaga ahli lain. Dokter ketika memberikan jasa bukan kepada Rumah Sakit, tapi kepada pasien. Namun, yang mengikat kontrak dengan dokter bukan pasien tapi Rumah Sakit (Theodikta & Rahmawati, 2021).

Hubungan kerja yang terjalin antara dokter dengan Rumah Sakit tidak seperti hubungan kerja yang pada umumnya terjalin. Hubungan vertikal yang terjadi baik antara pemberi kerja dengan pekerjanya atau pengguna jasa dengan pemberi jasa tidak terjadi pada dokter dengan Rumah Sakit. Hubungan dokter dengan Rumah Sakit dapat di analogikan sebagai hubungan horizontal (Aviantara, 2021). Dimana dokter maupun Rumah Sakit sama memiliki hubungan yang sejajar berbeda dengan profesi lainnya. Hal ini membuat karakter dan posisi tawar profesi dokter dibandingkan dengan profesi yang lain menjadi berbeda. Pihak luar seperti konsultan atau akuntan pada umumnya sebagai tenaga ahli bukan pegawai tidak bisa ikut campur dalam manajemen pengguna jasa. Namun, dokter dapat memberikan pendapat atau andil dalam keputusan manajemen yang berkaitan dengan jasa pelayanan medis di Rumah Sakit.

Keunikan karakter dokter yang berpraktik di Rumah Sakit dijelaskan lebih lanjut oleh Ferry Afi Andi sebagai perwakilan dari Badan Kebijakan Fiskal. Dimana dokter yang memberikan jasa medis di Rumah Sakit bertindak sebagai dirinya sendiri bukan bagian dari Rumah Sakit, karena dokter tidak di gaji oleh Rumah Sakit (Andi, 2021). Berdasarkan pendapat tersebut, dokter selayaknya


tenaga ahli lainnya yang merupakan pihak luar, namun tetap tidak sama dengan hubungan layaknya tenaga ahli lainnya dengan pengguna jasanya.

Point yang membuat dokter yang berpraktik di Rumah Sakit menjadi serupa tapi tak sama dengan tenaga ahli lainnya terkait hubungan kerjanya. Hubungan ini hal yang harus dapat diakomodasi oleh otoritas pajak agar kebijakan yang dihasilkan tidak bias, jelas, adil sekaligus tidak mendistorsi praktik di lapangan.


Hubungan Kerja I


Hubungan Kerja II

Bagan 3. Perbandingan Hubungan Kerja

Sumber: Diolah Peneliti

 

Hubungan yang tergambar dalam Hubungan Kerja I adalah hubungan kerja yang pada umumnya terjadi. Apakah hubungan antara pekerja dengan pemberi kerjanya dimana pekerja bekerja untuk pemberi kerja, kemudian pemberi kerja memberikan imbalan. Ada pula hubungan pengguna jasa dengan pemberi jasa layaknya konsultan atau auditor ataupun tenaga ahli pada umumnya yang memberikan jasa kepada pengguna jasa atau kliennya. Hubungan kerja pada hubungan kedua dimana pengguna jasa atau pemberi kerja memberikan imbalan atas hasil yang diterima atau diperoleh dari pekerja atau pemberi jasa, maka pajak yang dikenakan adalah atas keseluruhan imbalan yang diterima atau diperoleh. Kemudian hubungan kerja yang terjalin antara dokter yang berpraktik dengan Rumah Sakit yaitu Hubungan Kerja II. Dimana imbalan pemberi jasa tidak diberikan oleh pemberi kerja. Pemberi jasa dan pemberi kerja bekerja sama


memberikan pelayanan medis kepada tokoh ketiga dalam hubungan ini, yaitu pasien. Imbalan diberikan oleh pasien kepada pemberi kerja, kemudian pemberi kerja akan memberikan kepada pemberi jasa.

Berdasarkan hal tersebut maka penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh dokter dari pasien melalui Rumah Sakit sudah selayaknya dihitung secara keseluruhan. Sesuai dengan konsep Pajak Penghasilan yang merupakan jenis pajak langsung dimana pembebanan pajaknya tidak dapat dapat dialihkan kepada lain (Nurmantu, 2005). Penghasilan yang diterima atau diperoleh dokter atas praktiknya di Rumah Sakit sebagai imbalan jasa dari pasien sepenuhnya menjadi beban dokter. Pajak atas penghasilan tersebut tidak dapat dialihkan kepada Rumah Sakit. Karena pasien membayar atas jasa yang diberikan oleh dokter bukan Rumah Sakit. Pajak Penghasilan tergolong jenis pajak subjektif, dimana kondisi subjek pajak menjadi dasar pertimbangan pengenaan pajak. Ini dapat diartikan bahwa kewajiban pajak melekat subjek pajak yang bersangkutan tanpa bisa dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya (Waluyo & Ilyas, 2002). Dikarenakan dokter menerima penghasilan dari pasien atas jasanya, maka dokter sepenuhnya menanggung beban pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pasien sebagai pengguna jasanya.

Perlu digaris bawahi dalam hubungan yang terjadi atas transaksi jasa adalah antara pasien dengan dokter, bukan pasien dengan Rumah Sakit. Hal ini pun serupa dengan yang dijelaskan oleh Widartoyo sebagai perwakilan dari PERSI yang menyebutkan bahwa pasien datang ke Rumah Sakit melalui dua pintu yaitu poli atau IGD. Apabila pasien masuk melalui poli, di sini pasien datang ke Rumah Sakit untuk mencari dokter bukan Rumah Sakit. Transaksi bisnis yang terjadi antara penjual jasa yaitu dokter dengan pelanggan yaitu pasien. Oleh karena itu, yang menjadi subjek dari transaksi ini atau hubungan antara pelanggan dan penjual itu adalah hubungan antara pasien dan dokter (Widartoyo, 2021). Pasien membayar atas jasa yang diberikan oleh dokter. Atas jasa yang diberikan Rumah Sakit terhadap pasien, sudah ditagihkan dan dibayar oleh pasien melalui tagihan biaya administrasi yang ditagihkan Rumah Sakit ke pasien. Namun atas jasa dokter yang tercantum dalam tagihan ke pasien adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh karena dokter memberikan jasa kepada pasien.

Keistimewaan hubungan antara dokter dengan Rumah Sakit bukan hanya dapat dilihat dari sisi hubungan kerja saja, tetapi potensi dari hubungan tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dokter memiliki posisi tawar yang lebih besar dan andil langsung kepada manajemen Rumah Sakit sebagai rekan. Tentunya hal ini menciptakan hubungan yang dapat mengarah ke potensi berbahaya apabila dilihat dari penerimaan pajak. Vaillancourt mengemukakan bahwa para profesional atau tenaga ahli dapat menciptakan underground economy (Vaillancourt & Hamel, 2003). Hal ini dapat menimbulkan potensi tax loss, apabila praktik-praktik penghindaran pajak dapat terjadi karena hubungan antara dokter dan Rumah Sakit yang unik. Kekekhawatiran ini pun dikemukakan oleh Imam Muhasan sebagai Dosen di PKN STAN. Adanya potensi pergeseran penghasilan baik Rumah Sakit


maupun dokter untuk memanfaatkan gap antara corporate tax dengan individual� tax dengan mengatur dalam ketentuan bagi hasil Rumah Sakit dengan dokter (Muhasan, 2021). Hal ini terjadi karena pada dasarnya, Rumah Sakit di bangun dari praktik dokter spesialis bersama (Barzdins, 2016) (Muhasan, 2021). Dokter adapula yang memang bergabung dengan Rumah Sakit selain melakukan praktik, juga bagian dari manajemen. Dokter ada yang menjadi pemegang saham di Rumah Sakit, ataupun dokter sebagai salah satu karyawan Rumah Sakit menjadi bagian manajemen Rumah Sakit. Ini berarti kepentingan dokter terhadap Rumah Sakit dan sebaliknya begitu tinggi sehingga resiko yang timbul menjadi besar. Kenyataan tersebut dapat menimbulkan potensi terjadinya praktik penghindaran pajak bahkan penggelapan pajak.

Kepentingan sekaligus resiko yang timbul karena hubungan antara dokter dengan Rumah Sakit tentunya tidak boleh selalu dianggap sebagai hal yang negatif. Namun, negara harus dapat membaca arah sebuah hubungan yang berkaitan dengan pelaksanaan administrasi perpajakan. Sudah menjadi nature dari pemerintahan� yang baik agar kepentingan individu tidak mengalahkan kepentingan bersama. Pemerintah harus jeli melihat uniknya hubungan ini baik di tingkat Rumah Sakit maupun dokter (Wolfson & Legree, 2015). Itulah sebabnya, otoritas pajak harus dapat mengeluarkan kebijakan dengan pokok kepentingan bersama bukan kepentingan golongan semata. Sistem perpajakan yang baik harus dapat menghasilkan kebijakan demi kepentingan rakyat sekaligus administrasi perpajakannya yang adil bagi Wajib Pajak (Irianto, 2012). Oleh karena itu, negara berupaya mencegah timbulnya praktik potensi penyelewengan pajak dari hubungan dokter dengan Rumah Sakit tanpa mendistorsi kepentingan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan.

Dikarenakan otoritas pajak berupaya mencegah terjadinya kebocoran pajak akibat hubungan kerjasama antara dokter dengan Rumah Sakit maka atas penghasilan bruto dokter yang berprakti di Rumah Sakit ditetapkan menggunakan metode presumtive. Metode presumtive dengan melakukan penghitungan ulang pendapatan sehingga dapat mencegah terjadinya kebocoran pajak karena adanya hubungan unik antara dokter dengan Rumah Sakit (hubungan antar pelaku).

Keunikan sekaligus potensi akibat dari hubungan kerja yang terjalin antara Rumah Sakit dengan dokter yang berpraktik menjadi pondasi kokoh kebijakan bruto dokter di Rumah Sakit diatur secara khusus. PER 16 tahun 2016 jo PER 31 tahun 2009 sebagai perubahan terakhir yang mengatur mengenai ketentuan besaran penghasilan bruto dokter yang berpraktik di Rumah Sakit harus dihitung dari keseluruhan penghasilan dokter yang diterima atau diperoleh dari pasien. Sejalan dengan yang dikemukakan perwakilan dari Badan Kebijakan Fiskal, bahwa dokter yang menjadi individu yang bekerja sendiri menjadi bagian tersendiri yang bukan merupakan bagian dari Rumah Sakit. Dokter yang memperoleh penghasilan dari pasien bukan Rumah Sakit (Andi, 2021). Maka dari itu, pajak atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh dokter dari pasien seluruhnya menjadi beban


dokter. Namun, Andi juga menambahkan atas porsi penghasilan Rumah Sakit yang menyatu dengan penghasilan bruto dokter dapat menjadi pengurang atau dapat diperhitungkan dalam SPT Tahunan Orang Pribadi Dokter ketika melaporkan pendapatannya menggunakan pembukuan (Andi, 2021).

Demi pengamanan dan kesederhanaan, maka pemajakan atas Pajak Penghasilan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit, penghasilan bruto dihitung sebelum bagi hasil dengan Rumah Sakit. Baik perwakilan dari otoritas pajak, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai pembuat kebijakan dan operator dari kebijakan yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sepakat bahwa dokter tidak menanggung pajak Rumah Sakit. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dokter dari pasien memang sudah selayaknya ditanggung pajaknya oleh dokter. Kedua instansi tersebut dari hasil wawancara menyebutkan bahwa penghasilan bruto dokter yang disebutkan di dalam PER 31 tahun 2009 Pasal 10 ayat (6) belum selesai dalam melakukan penghitungan pajak dokter. Dokter menggunakan norma sehingga penghasilan bruto tersebut dikalikan terlebih dahulu dengan norma sebesar 50% baru selanjutnya dikalikan tarif progresif berdasarkan komulatif penghasilan dokter (Theodikta & Rahmawati, 2021) (Andi, 2021). Namun, pola perhitungan tersebut berlaku untuk semua tenaga ahli yang bukan merupakan pegawai. Notaris, konsultan, arsitek termasuk pengacara menggunakan pola yang sama, tetapi atas tagihan yang mereka berikan kepada pengguna jasa atas jasa yang mereka berikan 100% diterima atau diperoleh semua tenaga ahli tersebut. Ditambah, norma penghitungan merupakan konsekuensi logis atas penerapan metode pencatatan layaknya PTKP. Norma penghitungan tidak boleh menyebabkan Wajib Pajak harus menanggung beban pajak atas penghasilan yang sesungguhn yang tidak diterima atau diperolehnya. Kebijakan ini justru menyebabkan keadilan vertikal tidak terwujud, dimana atas penghasilan yang berbeda dikenakan pajak yang sama (Mansury, 1996).

Otoritas pajak tidak hanya menggunakan metode presumtive dengan memberlakukan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi metode tersebut digunakan secara double untuk dokter yang berpraktik di Rumah Sakit yang tidak menggunakan pembukuan. Pengenaan metode presumtive terhadap penghasilan bruto dokter yang berpraktik di Rumah Sakit yang tidak memperhitungkan biaya dokter layaknya pengenaan pajak final terhadap UMKM. Penjelasan mengenai biaya dan tujuan mungkin dapat dijelaskan, tetapi penghitungan penghasilan Rumah Sakit sebagai penghasilan dokter masih tetap tidak sejalan dengan konsep penghasilan. Pajak final yang dikenakan terhadap UMKM jelas adalah penghasilan yang sesungguhnya diterima atau diperoleh UMKM. Sedangkan dalam kebijakan ini, penghasilan tersebut bukan penghasilan dokter namun Rumah Sakit.

Penghasilan bruto dokter yang berpraktik di Rumah Sakit termasuk penghasilan Rumah Sakit diberlakukan mengambil fungsi dari metode presumtive. Simplikasi, pencegahan kebocoran pajak, kemudahan audit semuanya menjadi kepentingan otoritas pajak. Keunikan hubungan serta beragamnya skema bagi hasil


Rumah Sakit dengan dokter membuat otoritas pajak mengambil langkah ketika basis pajak sulit diukur, diverifikasi dan diawasi menggunakan kebjakan presumtive (Slemrod & Yitzhaki, 1994). Penerapan metode presumtive berdasarkan informasi pihak ketiga mengenai penghasilan kena pajak secara keseluruhan memang menyederhanakan pengumpulan dan meningkatkan nilai penerimaan pajak yang dipungut (Bucci, 2020). Namun, informasi pelaporan pihak ketiga mengenai komponen tunggal dari penghasilan kena pajak (seperti nilai pendapatan yang diperoleh oleh Wajib Pajak) tampaknya tidak terlalu efektif. Tetap dibutuhkan pemeriksaan silang dalam menguji kebenaran atas pelaporan pihak ketiga.

Potensi penghindaran pajak karena adanya hubungan yang unik antara dokter dengan Rumah Sakit serta kemampuan dokter dari sisi materi dan intelegensi membuat otoritas pajak berupaya menutup loophole dari terjalinnya kerjasama hubungan tersebut. Secara sumber penghasilan, dokter memiliki sumber penghasilan yang beragam, dapat dari praktik di Rumah Sakit, praktik pribadi, pembicara seminar, bahkan tidak jarang pula dokter yang menjadi bagian manajemen badan usaha. Namun, tidak sepatutnya dokter layaknya Wajib Pajak lainnya yang harus tunduk terhadap kebijakan yang telah ditetapkan oleh otoritas pajak dirugikan. Kepentingan dokter juga harus diperhatikan terutama sisi keadilannya. Tidak bisa hanya demi kesederhanaan dan penerimaan, keadilan Wajib Pajak dikorbankan. Ketika pemerintah mengutamakan penerimaan, maka tingkat keadilan akan menurun (Di Caro, 2020). Namun menjadi kewajiban pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus dapat membuat kebijakan yang ramah administrasi tapi juga adil. Pemerintah tidak boleh hanya melihat kepentingan golongan saja yaitu otoritas pajak dikarenakan potensi lingkungan yang merugikan dapat menimbulkan potensi besar timbulnya kecurangan pajak bagi pihak yang dirugikan (Spyridou, 2019). Kepentingan dan keadilan bagi dokter sebagai Wajib Pajak tentunya tidak boleh terlupakan. Kenyataannya, apabila dokter-dokter merasa dengan melakukan praktik di Rumah Sakit merugikan, maka kerugian yang sesungguhnya pada masyarakat luas.

Kebijakan penghasilan bruto dokter yang berpraktik di Rumah Sakit dengan mengenakan atas keseluruhan penghasilan dokter yang diterima atau diperoleh dari pasien sebelum dikurangi biaya apapun termasuk bagi hasil Rumah Sakit mungkin tidak sepenuhnya membebani dokter. Secara administrasi, dokter diberi kemudahan dengan pencatatan, terhindar dari kerumintan pelaporan pajak dengan pembukuan. Rumah Sakit sebagai pemotong pajak dokter yang menerbitkan bukti potong, dokter cukup mencatat penghasilan yang diterima atau diperolehnya dengan bukti konkret berupa bukti potong ketika melaporkan pajak. Kesederhanaan bagi dokter diharapkan memberikan tingkat kepatuhan dokter dalam menjalankan administrasi pajak, meskipun tidak ada bukti konkret metode ini meningkatkan kepatuhan dokter. Bahkan berdasarkan penelitian (Awasthi & Bayraktar, 2015), dampak penyederhanaan pajak menjadikan korupsi pajak jauh lebih tinggi untuk negara- negara dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah seperti negara berkembang.


Ini berarti dengan sistem administrasi pajak yang lebih sederhana tidak menjamin kepatuhan Wajib Pajak dalam menjalankan kewajibannya.

Dokter yang memiliki sumber penghasilan yang beragam dan tergolong dalam tenaga ahli yang berpenghasilan tinggi sebenarnya juga memperoleh keuntungan dengan kebijakan ini. Kebijakan ini menjadikan kredit pajak dokter yang tercantum dalam bukti potong dari Rumah Sakit besar apabila menggunakan metode ini. Karena pengenaan beban pajak yang tinggi namun tidak final seperti penghitungan dokter saat ini, menjadikan potensi kekurangan pajak di akhir tahun menjadi kecil. Dokter yang pada umumnya memiliki lebih dari satu sumber penghasilan akan memperoleh kredit pajak yang lebih besar dengan kebijakan ini. Namun, ini semua tidak menjadikan otoritas pajak benar dengan memberlakukan kebijakan yang tidak sesuai dengan teori dan undang-undang. Apabila dokter harus menanggung kekurangan pajak ataupun kelebihan pajak di akhir tahun dalam SPT Pribadinya, maka hal tersebut akan menjadi konsekuensi dokter sebagai Wajib Pajak. Itu semua sepanjang kebijakan yang diberlakukan pemerintah sejalan dengan teori dan undang-undang pajak yang berlaku.

 

2.          Implikasi Kebijakan Penghasilan Bruto Dokter yang Berpraktik di Rumah Sakit

Kebijakan penghasilan bruto dokter dari praktiknya di rumah sakit dimana tidak hanya penghasilan dokter namun terdapat penghasilan rumah sakit yang menjadi komponen dalam menghitung pajak dokter membuat dilema. Hal ini pun menimbulkan ketidakadilan dimana dokter yang berpraktik di rumah sakit menanggung beban pajak atas penghasilan yang sesungguhnya tidak diterima atau diperoleh. Otoritas pajak berupaya mengantisipasi potensi adanya kebocoran pajak dengan menggunakan metode presumtive melalui kebijakan penghasilan dokter yang berpraktik di rumah sakit sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit.

Pajak Penghasilan yang merupakan pajak subjektif dimana pajaknya tidak dapat dialihkan kepada subjek pajak lain, kebijakan ini membuat atas penghasilan yang sama yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh rumah sakit dikenakan pajak double. Pertama dikenakan kepada dokter ketika menghitung pajak dokter kemudian dikenakan lagi di tingkat badan, ketika menghitung pajak rumah sakit (Muhasan, 2021).


 


 

������������������

Bagan 4. Pajak atas Penghasilan dari Pasien

Sumber: Diolah Peneliti

Berdasarkan bagan diatas, diketahui bahwa atas porsi 20% dikenakan pajak di tingkat individu yaitu dokter dan badan yaitu rumah sakit. Pengenaan pajak atas objek pajak yang sama tidak boleh terjadi. Tetapi, ketentuan dalam PER 31 tahun 2009 Pasal 10 ayat (6) membuat timbulnya double taxation. Atas penghasilan yang sama dikenakan pajak dua kali (double taxation) di tingkat individu dan badan. Atas objek pajak yang sama dikenakan pajak di tingkat individu yaitu dokter dan di tingkat badan yaitu rumah sakit.

Berdasarkan hasil interview dengan Bagian Pajak Rumah Sakit Y diketahui bahwa tidak semua rumah sakit menjalankan kebijakan ini. Kekhawatiran akan kehilangan dokter atau kesulitan apabila dokter menolak untuk praktik apabila pajak yang ditanggung terlalu besar, membuat beberapa rumah sakit mengeluarkan kebijakan lain dalam menghitung pajak dokter (Y, 2021). Memang tidak semua rumah sakit melanggar kebijakan ini. Besarnya potensi kerugian baik moriil maupun materi yang dapat ditanggung rumah sakit apabila terjadi pemeriksaan, maka manajemen rumah sakit memilih menjalankan kebijakan ini. Seperti yang dikemukan oleh Bagian Pajak RS X, dimana manajemen rumah sakit memilih sebelum bekerjasama dengan dokter dan mengikat perjanjian, maka akan memberikan penjelasan secara mendetail mengenai alur administrasi termasuk penghitungan pajak (X, 2021).

Tentu otoritas pajak berharap maka semua rumah sakit akan menjalankan kebijakan ini sesuai dengan peraturan yang berlaku. Layaknya manajemen RS X, otoritas pajak berharap rumah sakit akan menjalankan administrasi perpajakan tanpa menimbulkan kerugian negara. Namun kenyataan yang harus dihadapi tidak selalu lancar seperti harapan. Dikarenakan adanya rumah sakit yang memilih mempertahankan kelancaran pelayanan medis sekaligus arus bisnis dengan tidak


menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan. Ketidakadilan yang dirasakan dokter, menimbulkan potensi kebocoran penerimaan yang justru berharap dapat dicegah dengan dikeluarkan kebijakan ini.

Adanya ungkapan bahwa satu-satunya hal yang pasti dalam hidup adalah kematian dan pajak, setidaknya pajak itu jauh dari tak terelakkan dan individu mengambil berbagai tindakan untuk mengurangi kewajiban pajak mereka. Individu dapat menghindari Pajak Penghasilan dengan melaporkan pendapatan yang kurang, melebih-lebihkan biaya, pengecualian ataupun kredit, gagal mengajukan pengembalian pajak yang sesuai bahkan dengan melibatkan dalam barter (Alm, 2019). Penghindaran pajak dilakukan untuk mengurangi pemungutan pajak, sehingga mempengaruhi pajak yang dihadapi Wajib Pajak yang patuh dan layanan publik yang diterima warga negara. Ketidakpatuhan mengubah distribusi pendapatan dengan cara yang sewenang-wenang, tidak terduga, dan tidak adil. Penghindaran dapat berkontribusi pada perasaan perlakuan tidak adil dan tidak menghormati hukum (Alm, 2019).

Dibutuhkan sistem fair-play termasuk dalam penerapan sistem pajak. Apabila negara sudah memberikan keadilan bagi Wajib Pajak maka sudah sepatutnya Wajib Pajak menjalankan administrasinya secara baik dan benar. Namun, ini akan berlaku sebaliknya, apabila negara belum memberikan keadilan tersebut bahkan mengarah kepada hanya kepentingan penerimaan semata, maka sangatlah tidak adil menuntut kepatuhan Wajib Pajak (Renzo, 2014). Singkatnya, harus ada 'rumah penuh' strategi untuk mengatasi 'rumah penuh' motivasi (Alm, 2019). Namun perlu diingat oleh pemerintah sebagai badan yang membuat kebijakan, agar strategi tidak mendistorsi kelancaran arus bisnis terutama pelayanan sosial.

 

Kesimpulan

1)  Kebijakan penghitungan Pajak Penghasilan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit berdasarkan penghasilan bruto yang dibayarkan pasien sebelum dikurangi bagi hasil Rumah Sakit diberlakukan sesuai PER 31 tahun 2009 Pasal 10 ayat (6). Pada praktiknya, atas penghasilan yang dibayarkan pasien di Rumah Sakit tidak hanya penghasilan dokter, namun penghasilan untuk Rumah Sakit. Kemudahan audit dengan bukti otentik yaitu billing yang ditagihkan kepada pasien oleh Rumah Sakit sebagai lingkungan praktik dokter juga menjadi alasan otoritas pajak. Dokter yang berpraktik di Rumah Sakit mendapatkan fasilitas sehingga untuk memberikan keadilan bagi dokter yang menjalankan praktik pribadi maka fasilitas tersebut menjadi objek pajak. Ini juga akan memudahkan audit pajak dokter tanpa perlu melihat dokumen pendukung bagi hasil dengan Rumah Sakit. Metode presumtive yang digunakan tidak hanya melalui Norma Penghitungan Penghasilan Neto tapi bagi dokter yang berpraktik di Rumah Sakit juga atas besaran penghasilan bruto adalah cara otoritas pajak mencegah terjadinya kebocoran. Pencegahan praktik penghindaran pajak akibat hubungan unik dokter dengan Rumah Sakit. Kebijakan tetap diberlakukan meski tidak


sesuai dengan penghasilan berdasarkan teori serta UU PPh, dalam mengakomodasi potensi praktik penghindaran bahkan penggelapan pajak oleh dokter melalui Rumah Sakit serta kemudahan adminstrasi perpajakan.

2)  Kebijakan penghitungan Pajak Penghasilan dokter yang berpraktik di Rumah Sakit berdasarkan penghasilan bruto yang dibayarkan pasien sebelum dikurangi bagi hasil Rumah Sakit membuat dokter menanggung beban pajak lebih besar. Kebijakan tersebut membuat dokter menanggung beban pajak atas penghasilan yang sesungguhnya tidak diterima atau diperolehnya. Implikasi dari diberlakukannya kebijakan penghasilan bruto dokter yang berpraktik di Rumah Sakit adalah kebijakan penghasilan bruto dokter yang berpraktik di Rumah Sakit menyebabkan porsi bagi hasil Rumah Sakit dipajaki di tingkat dokter dan Rumah Sakit (double taxation). Pada praktiknya, ada Rumah Sakit yang mengakomodir ketidakadilan tersebut dengan tidak menjalankan kebijakan yang berlaku. Rumah Sakit justru memilih mengambil resiko pemeriksaan bahkan denda pajak demi memberikan rasa keadilan untuk dokter dan menjaga kelancaran bisnisnya. Hal tersebut menyebabkan kebijakan yang seharusnya ditujukan untuk mencegah potensi penggelapan pajak justru menimbulkan skema penghindaran pajak.


BIBLIOGRAFI

 

Alm, James. (2019). What motivates tax compliance? Journal of Economic Surveys, 33(2), 353�388. Google Scholar

 

Awasthi, Rajul, & Bayraktar, Nihal. (2015). Can tax simplification help lower tax corruption? Eurasian Economic Review, 5(2), 297�330. Google Scholar

 

Barzdins, Juris. (2016). Process-oriented knowledge system for health professionals as a tool for transition to hospital process orientation. International Journal of Healthcare Management, 9(4), 245�250. Google Scholar

 

Bucci, Valeria. (2020). Presumptive taxation methods: A review of the empirical literature. Journal of Economic Surveys, 34(2), 372�397. Google Scholar

 

Creswell, John W., & Creswell, J. David. (2017). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage publications. Google Scholar

 

D�souza, Brayal, Shetty, Avinash, Apuri, Nikita, & Moreira, Joaquim Paulo. (2020). Adapting a secondary hospital into a makeshift COVID-19 hospital: A strategic roadmap to the impending crisis. International Journal of Healthcare Management, 13(4), 346�351. Google Scholar

 

Di Caro, Paolo. (2020). Decomposing personal income tax redistribution with application to Italy. The Journal of Economic Inequality, 18(1), 113�129. Google Scholar

 

Hangoma, Peter, Robberstad, Bjarne, & Aakvik, Arild. (2018). Does free public health care increase utilization and reduce spending? Heterogeneity and long-term effects. World Development, 101, 334�350. Google Scholar

 

Hossain, Md Shamim, Khan, Mohammad Jamal, & Yahya, Sofri B. (2020). Developing an occupational health service for health professionals: Management challenges. International Journal of Healthcare Management, 1�10. Google Scholar

 

Irianto, Edi Slamet. (2012). Pengantar Ilmu Pajak. Kebijakan Dan Implementasi Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Google Scholar

Mansury, R. (1996). Pajak penghasilan lanjutan. Jakarta: Ind-Hill Co. Google Scholar Marmot, Michael. (2017). The health gap: doctors and the social determinants of health.

Scandinavian Journal of Public Health, 45(7), 686�693. Google Scholar

 

Musgrave, Richard A. (1973). Public finance in theory and practice. McGraw-Hill Kogakusa. Google Scholar

 

Neuman, W. Lawrence. (2014). Pearson new international edition social research methods: qualitative and quantitative approaches. London: Pearson Education,


Ltd. Google Scholar

 

Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar perpajakan. Yayasan Obor Indonesia. Google Scholar

 

Onyele, K. O., & Nwokoacha, E. B. (2016). Sources of public funds and economic prosperity: The Nigerian case. Journal of Business and Financial Affairs, 5(4), 1�

11. Google Scholar

 

Osho, Ogunyankin Easther O. B., & Fadakinte, Bukola. (2020). Effect of Pay As You Earn on Social and Economic Development in Nigeria. Global Journal of Management And Business Research. Google Scholar

 

Prasetiyo, Hari, & Imadudiin, Shariif. (2019). TTinjauan Hukum atas Peraturan� Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto terhadap Beberapa Pekerja Bebas Tertentu. Jurnal Vokasi Indonesia, 7(2). Google Scholar

 

Punch, Keith F., & Oancea, Alis. (2014). Introduction to research methods in education. Google Scholar

 

Renzo,��� Massimo.��� (2014).��� Fairness,��� self-deception��� and��������������� political����� obligation.

Philosophical Studies, 169(3), 467�488. Google Scholar

 

Shome, P. (1995). Tax Policy Handbook. Washington: International Monetary Fund.

Google Scholar

 

Slemrod, Joel, & Yitzhaki, Shlomo. (1994). Analyzing the standard deduction as a presumptive tax. International Tax and Public Finance, 1(1), 25�34. Google Scholar

 

Spyridou, Anastasia. (2019). TO CHEAT OR NOT TO CHEAT. Journal of the International Academy for Case Studies, 25(2), 1�5. Google Scholar

 

Thuronyi, Victor. (2004). Presumptive taxation of the hard-to-tax. Contributions to Economic Analysis, 268, 101�120. Google Scholar

 

Wiist, William H. (2018). Public health and corporate avoidance of US federal income tax. World Medical & Health Policy, 10(3), 272�300. Google Scholar

 

Wolfson, Michael, & Legree, Scott. (2015). Private Companies, Professionals, and Income Splitting-Recent Canadian Experience. Can. Tax J., 63, 717. Google Scholar

 

 

 

 

 

 

 

 


Copyright holder:

Eko Prasetyo, Ivan Anindito Arista, Rudi Hermawan, Erlanda Pane (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

This article is licensed under: