�Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849
��e-ISSN : 2548-1398
�
SISTEM PENGUPAHAN BAGI
PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Lidia Febrianti,
Syafrinaldi, Efendi Ibnususilo, Thamrin S
Fakultas Hukum, Universitas Islam Riau, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Kegiatan perusahaan pada hakekatnya merupakan upaya bersama antara pihak pengusaha dan pekerja yang bertujuan untuk pertumbuhan perusahaan dan juga untuk kesejahteraan para pekerja. Oleh karena itu pihak perusahaan perlu memberikan suatu imbalan yang layak kepada pekerjanya sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Dan selain itu, perusahaan wajib memperhatikan segala upaya untuk peningkatan kesejahteraan para pekerja sesuai dengan kemampuan dan kemajuan perusahaan. Hubungan kerja yang baik hanya bisa dicapai apabila setiap karyawan dan perusahaan dapat memahami serta menghayati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dimana pada akhirnya akan menimbulkan dan menumbuhkan saling menghargai dan saling mempercayai dalam menjaga iklim kerja sama yang baik dan harmonis. Yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana Sistem pengupahan bagi pekerja dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan perlindungan pengupahan dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Metode yang digunakan dalam penelitian ini jika dilihat dari sudut jenisnya, maka penelitian ini tergolong kedalam penelitian normatif. Sedangkan jika dilihat dari sifatnya, maka peneliian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menerangkan dan menganalisa. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Hubungan kerja adalah hubungan antara pihak pekerja dengan pihak perusahaan. Hubungan kerja ini terjadi karena adanya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja diantara kedua belah pihak, dimana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada perusahaan dan pihak perusahaan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan memberi upah. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) perjanjian telah ditetapkan suatu jangka waktu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha. Sistem pengupahan berdasarkan peraturan perusahaan antara pekerja dengan pengusaha. Dimana dalam peraturan perusahaan tersebut dibuat secara tertulis dengan memuat hak-hak dan kewajiban pekerja, termasuk sistem pengupahan.
Kata Kunci: pengupahan; perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
Abstract
The company's activities
are essentially a joint effort between employers and workers aimed at the
growth of the company and also for the welfare of the workers. Therefore, the
company needs to provide an appropriate reward to its employees in accordance
with the applicable laws and regulations. In addition, the company must pay
attention to all efforts to improve the welfare of the workers in accordance
with the capabilities and progress of the company. A good working relationship
can only be achieved if every employee and company can understand and live up
to the rights and obligations of each party. Which in the end will lead to and
foster mutual respect and trust in maintaining a good and harmonious climate of
cooperation. The main problem in this research is how the wage system for
workers in a certain time work agreement (PKWT) is based on Law Number 13 of
2003 concerning Manpower and the protection of wages in a certain time work
agreement (PKWT). The method used in this study when viewed from the point of
view of the type, this research is classified into normative research.
Meanwhile, if viewed from its nature, this research is descriptive analytical,
namely explaining and analyzing. Wage is an income as a reward from the
employer to the worker for a job or service that has been or will be performed.
The working relationship is the relationship between the employee and the
company. This employment relationship occurs because of a work agreement or
work agreement between the two parties, where the worker declares his ability
to work for the company and the company declares its ability to employ workers
by paying wages. Certain time work agreement (PKWT) The agreement has stipulated
a period of time associated with the length of the working relationship between
the worker and the entrepreneur. Wage system based on company regulations
between workers and employers. Where the company regulations are made in
writing containing the rights and obligations of workers, including the wage
system.
Keywords: combustion
chamber; micro turbine gas; LPG; analysis; volume
Received:
2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Pembangunan sektor
ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya pembangunan sumber daya manusia,
karena manusia sebagai pekerja yang merupakan salah satu modal dasar dalam
pembangunan yang tidak terpisahkan dengan pembangunan nasional sebagai
pengamalan pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, diarahkan pada
peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia. Serta kepercayaan pada diri
sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera, adil dan makmur baik
materiil maupun spritual.
Bekerja adalah suatu amanah
yang dijalankan oleh manusia sebagai ciptaanya di dunia ini. Sudah selayaknya
jika pekerjaan tersebut dilakukan sesuai dengan minat, bakat, ketertarikan dan
kemampuan kita. Pekerjaan pun akan jauh lebih berharga jika memberi pengaruh
baik bagi masyarakat. Dalam budaya Jawa dikenal pepatah Mamayu hayuning bawana,
atau bekerja untuk membangun dan meningkatkan kehidupan di dunia. Akan tetapi,
bekerja juga harus menimbulkan maanfaat bagi diri kita untuk dapat terus hidup.
Mempertahankan diri untuk terus hidup dan menaikkan taraf kehidupan adalah hak
asasi setipa manusia. Oleh karena itu sudah sepantasnya jika setiap pekerjaan
akan mendapat kompensasi berupa imbalan. Bagi pekerja/buruh, imbalan ini
disebut dengan upah (Kurniawan, 2013).
Hak atas upah tersebut juga
diatur oleh hukum negara Indonesia. Di dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003
Pasal 1 ayat 3, disebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal ini semakin diperjelas
dengan terbitnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kepmenakertrans) No. KEP./49/MEN/2004 pada 8 April 2004 Tentang Ketentuan
Struktur dan Skala Upah yang menegaskan bahwa: Upah adalah hak pekerja/buruh
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
yang telah atau akan dilakukan (Pasal 1 Ayat 1).
Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan adalah undang-undang yang merupakan landasan
pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan
atas berlakunya Undang-Undang ini berarti segala ketentuan tentang
ketenagakerjaan sudah harus segera dilakukan penyesuaian.
Menurut
Manulang, bahwa tujuan Hukum Ketenagakerjaan ialah (Manulang, 1990):
1.
Untuk mencapai/melaksanakan
keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan;
2.
Untuk melindungi tenaga kerja
terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha.
Di dalam pelaksanaan
pembangunan Nasional tersebut, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan
yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan dan dituntut dapat
berpartisipasi dan berperan aktif bersama pengusaha dalam upaya menuju
perbaikan dan peningkatan taraf hidup bangsa dengan jalan meningkatkan produksi
dan produktifitas kerja.�
Untuk meningkatkan
produktifitas pekerja dalam mencapai keberhasilan pembangunan perlu kiranya
diadakan perlindungan terhadap tenaga kerja secara menyeluruh, terutama
perlindungan terhadap pengupahan, karena upah adalah salah satu tujuan yang di
capai oleh pekerja itu sendiri, di samping itu upah juga merupakan hal yang
sangat mendasar dalam hubungan kerja.
Hubungan kerja yang telah
dijalin oleh pekerja dengan pengusaha, tercipta setelah adanya perjanjian
antara pekerja dengan pengusaha, baik itu dibuat secara tertulis maupun tidak
tertulis, namun yang terpenting dalam perjanjian tersebut akan dikemukakan oleh
pekerja tentang kesanggupannya bekerja pada pengusaha dengan menerima sejumlah
upah, disamping itu pengusaha akan menyatakan pula kesanggupannya untuk
mempekerjakan pekerja tersebut dengan upah.
Dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan disebutkan bahwa,
�Upah adalah hak pekerja/buruh
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.�
Pasal 1 ayat (30)
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian
upah.
� Upah adalah hak pekerja/buruh
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapakan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. �
Mengenai pengupahan diatur
dalam Pasal 88 Ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dimana dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa :
� Setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh penghasilan yang layak memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. �
Upah bagi pekerja merupakan
suatu penghasilan baginya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya,
dengan pemberiaan upah yang layak bagi majikan, maka akan dapat pula memberikan
ketenangan bekerja bagi pekerja, ketenangan berusaha bagi pengusaha, yang pada
gilirannya dapat meningkatkan produktifitas pekerja serta meningkatkan hasil
kerja yang lebih tinggi.
Journal of Indonesian Applied
Economics Vol.5 No. 2 Oktober 2011, 269-285 Pada awalnya kebijakan upah minimum
ditetapkan berdasarkan besaran biaya Kebutuhan fisik minimum (KFM). Dalam
perkembangannya kemudian, dalam era otonomi daerah, dalam menentukan besaran
tingkat upah minimum beberapa pertimbangannya adalah:
a.
Biaya kebutuhan hidup minimum
(KHM)
b.
Indeks harga konsumen (IHK)
c.
Tingkat upah minimum antar
daerah
d.
Kemampuan, pertumbuhan dan
keberlangsungan perusahaan
e.
Kondisi pasar kerja
f.
Pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan perkapita.
Hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam Pasal 50 Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Perjanjian
kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
Jadi hubungan kerja adalah
hubungan (hukum) antara pengusaha dengan pekerja/buruh (karyawan) berdasarkan
perjanjian kerja. Dengan demikian, hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang
abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata.
Dengan adanya perjanjian kerja, akan ada ikatan antara pengusaha dan pekerja.
Dengan perkataan lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang
merupakan hubungan kerja.
Subjek hukum dalam perjanjian
kerja pada hakikatnya adalah subjek hukum dalam hubungan kerja. Yang menjadi
objek dalam perjanjian kerja adalah tenaga yang melekat pada diri pekerja. Atas
dasar tenaga telah dikeluarkan oleh pekerja/buruh maka ia akan mendapatkan upah (Wijayanti, 2009).
Perjanjian kerja adalah
perjanjian yang dibuat antara pekerja/buruh (karyawan) dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak (Pasal
1 angka (14) Undang-Undang Ketenagakerjaan). Perjanjian kerja dapat dibuat
secara lisan (Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan).
Syarat sahnya perjanjian
kerja, mengacu pada syarat sahnya perjanjian perdata pada umumnya, adalah
sebagai berikut (Wijayanti, 2009):
a.
Adanya kesepakatan para pihak
(tidak ada dwang-paksaan, dwaling-penyesatan/kekhilafan atau bedrog-penipuan;
b.
Pihak-pihak yang bersangkutan
mempunyai kemampuan atau kecakapan untuk (bertindak) melakukan perbuatan hukum
(cakap usia dan tidak di bawah perwalian/pengampuan;
c.
Ada (objek) pekerjaan yang
diperjanjikan; dan
d.
(Causa) perkerjaan yang
diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang
Ketenagakerjaan).
Apabila perjanjian kerja yang
dibuat oleh pihak-pihak tidak memenuhi dua syarat sahnya (perjanjian kerja)
sebagaimana tersebut, yakni tidak ada kesepakatan dan ada pihak yang tidak
cakap untuk bertindak maka perjanjian kerja dapat dibatalkan. Sebaliknya
apabila perjanjian kerja dibuat tidak memenuhi dua syarat terakhir sahnya
(perjanjian kerja), yakni objek (pekerjaannya) tidak jelas dan causanya tidak
memenuhi ketentuan maka perjanjiannya batal demi hukum (mull and void).
Menurut Pasal 1 ayat(15)
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, unsur-unsur hubungan
kerja terdiri atas adanya pekerjaan, adanya perintah, dan adanya upah.
Dari pengertian hubungan kerja
diatas, hubungan kerja (perjanjian kerja) mempunyai tiga unsur, yaitu sebagai
berikut:
1.
Ada Pekerjaan
Dalam
suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek
perjanjian) dan pekerjaan itu haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh.
Secara umum, pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh
pekerja/buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai isi perjanjian kerja.
2.
Ada upah
Upah
harus ada dalam setiap hubungan kerja. Upah adalah hak pekerja/ buruh yang
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari
pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah dilakukan. Dengan demikian, intinya
upah merupakan imbalan prestasi yang dibayarkan oleh pengusaha kepada
pekerja/buruh atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja/buruh.
3.
Ada perintah
Perintah
merupakan unsur yang paling khas dari hubungan kerja, maksudnya pekerjaan yang
dilakukan oleh pekerja/buruh berada di bawah perintah pengusaha. Dalam praktik,
unsur perintah ini misalnya dalam perusahaan yang mempunyai banyak
pekerja/buruh, yaitu adanya peraturan tata tertib yang harus dipatuhi oleh
pekerja/buruh.
Hubungan kerja tidak tetap
antara pekerja/buruh dengan pengusaha didasarkan pada perjanjian kerja untuk
waktu tertentu (PKWT). Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara (Pasal 1
angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP 100/MEN/VI/2004
tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya
disebut Kepmen 100/2004). Jadi, perjanjian kerja untuk waktu tertentu maksudnya
dalam perjanjian telah ditetapkan suatu jangka waktu yang dikaitkan dengan
lamanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Perjanjian kerja waktu
tertentu adalah perjanjian bersyarat, yaitu (antara lain) dipersyaratkan bahwa
harus dibuat tertulis dan dibuat dalam bahasa Indonesia, dengan ancaman apabila
tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat dengan bahasa Indonesia maka
dinyatakan (dianggap) sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)
Pasal 57 Ayat (2) Undang-undang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja waktu
tertentu tidak dapat (tidak boleh) dipersyaratkan adanya masa percobaan dan
apabila dalam perjanjiannya terdapat/diadakan (klausul) masa percobaan dalam
perjanjian waktu tertentu tersebut maka klausul tersebut dianggap sebagai tidak
pernah ada (batal demi hukum).
Perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaanya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu (Wijayanti, 2009):
a.
Pekerjaan yang sekali selesai
atau yang sementara sifatnya.
b.
Pekerjaan yang diperkirakan
penyelesainnya dalam waktu yang tidak terlalu lama dalam paling lama tiga
tahun.
c.
Pekerjaan yang bersifat
musiman.
d.
Pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
Upah merupakan suatu elemen
yang esensial dalam perjanjian kerja. Pengupahan sering menjadi polemik, karena
perbedaan intrerprestasi terhadap perhitungannya yang dianggap tidak memenuhi
harapan baik dari pekerja, pengusaha bahkan pemerintah yang menjadi wasit dalam
penentuan dan pengawasan pengupahan. Bagi pekerja, upah merupakan sumber
pendapatan yang utama, bahkan kadangkala upah menjadi satu-satunya sumber
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu sistem upah pekerja
dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) merupakan hal yang sangat penting
dalam suatu hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja/buruh karena memuat
segala konsekuensi yang menjadi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Selain itu sistem upah pekerja
dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dianggap perlu, paling tidak
didasarkan pada empat alasan, yaitu: Pertama, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) merupakan fenomena baru yang hadir dengan tujuan awal mengisi pekerjaan
yang memang mempunyai batasan waktu dalam pekerjaanya. Kedua, Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) merupakan bagian dari perubahan hukum di bidang
ketenagakerjaan perburuhan. Ketiga, penerapan aturan dari Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) melahirkan masalah baru bagi pekerja/buruh dan pengusaha
yaitu dalam menentukan persyaratan, kategori dan kondisi seperti apa yang dapat
diberlakukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Keempat, bagaimana
perlindungan terhadap pekerja/buruh yang terikat dengan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) (Samsul, 2004).
Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Pekerjaan
yang bersifat tetap adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak
terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan
yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau kondisi
tertentu (Agusmidah, 2010).
Banyaknya penerapan sistem
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan seharusnya segera
ditertibkan oleh pemerintah agar ketentuan dan aturan hukum yang ada dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat memberikan
perlindungan terhadap buruh/pekerja dalam hubungan kerja yang ada.
Hal ini disebabkan apabila dalam
penerapan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak sesuai dengan
ketentuan dan aturan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tentunya mempunyai dampak yang�
kurang baik terhadap pembangunan ketenagakerjaan, yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan dan keadilan bagi para pekerja/buruh sebagai bagian
dari pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang
yang penulis kemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam bidang ketenagakerjaan,terhadap pengupahan dan penerapan
sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang akan dituangkan dalam bentuk
Penelitian dengan judul : �Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan�
Metode Penelitian
Metode
yang digunakan� dalam penelitian ini jika
dilihat dari sudut jenisnya, maka penelitian ini tergolong kedalam penelitian
normatif. Sedangkan jika dilihat dari sifatnya, maka peneliian ini bersifat
deskriptif analitis, yaitu menerangkan dan menganalisa.
Hasil dan Pembahasan
A. Sistem
Pengupahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Berdasarkan Undang-Undang
Nomor. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Kewajiban umum dari majikan sebagai akibat dari timbulnya hubungan kerja
adalah upah atau suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh
atau pekerja untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Upah adalah pembayaran yang diterima buruh selama ia melakukan pekerjaan atau
dipandang melakukan pekerjaan atau dengan kata lain upah merupakan penghasilan
dalam bentuk uang atau bentuk lain seperti yang diterangkan dalam Pasal 1601p
kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dapat dinilai dengan uang, yang diterima
oleh pekerjaan secara teratur.
Dalam pelaksanaan hubungan kerja perlu diatur hak dan kewajiban dari
pengusaha dengan pekerja atau buruh yang lazim disebut syarat-syarat kerja.
Pengaturan syarat-syarat kerja dapat digolongkan kepada 2 (dua) kelompok, yaitu
yang diatur melalui peraturan perundang-undangan dan yang diatur diluar
peraturan perundangan.
Perjanjian kerja adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan
antara serikat pekerja dengan pengusaha yang tercatat di instansi yang
bertangung jawab dibidang ketenagakerjaan, yang memuat syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban kedua belah pihak. Dalam pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan perjanjian kerja adalah suatu
perjanjian antara pekerja atau buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
Hubungan kerja terjadi apabila seseorang (karyawan, pekerja atau
pegawai) menyediakan keahlian dan tenaganya untuk orang lain (majikan atau
pemimpin) sebagai imbalan pembayaran sejumlah uang (Abdulkadir, 1986).
Perjanjian kerja adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan
antara serikat pekerja dengan pengusaha yang tercatat di instansi yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang memuat syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban kedua belah pihak (Kerja & Indonesia, 2005).
Perjanjian� kerja menciptakan� hubungan kerja, dimana hubungan kerja adalah
suatu hubungan antara pengusaha dengan tenaga kerja atau karyawan yang timbul
dari perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak
tertentu (Sendjun, 2005).
Perjanjian� kerja yang dibuat atas
dasar kesepakatan� kerja kedua belah
pihak yang mengadakan hubungan kerja, segala hal dan atau biaya bagi
pelaksanaan pembuatan perjanjian hubungan kerja dilaksanakan dan menjadi
tanggung jawab pengusaha.
Kewajiban umum dari majikan sebagai akibat dari timbulnya hubungan� kerja adalah upah atau suatu penerimaan
sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu� pekerjaan atau� jasa yang telah atau akan dilakukan. Upah
adalah pembayaran yang diterima buruh selama ia melakukan pekerjaan atau
dengan� kata lain upah� merupakan penghasilan dalam bentuk uang atau
bentuk lain sepeti yang diterangkan dalam pasal 1601p kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang dapat dinilai dengan uang yang diterima oleh pekerja secara
teratur.
Jadi yang dimaksud dengan sistem pengupahan disini adalah susunan atau
tatanan teratur, suatu pembayaran yang diterima pekerja selama ia melakukan
pekerjaan atau dipandang melakukan pekerjaan, yang disusun menurut rencana
suatu perusahaan untuk kepentingan bersama.
Dari perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan akan tercipta
hubungan hukum antara pekerja dengan pengusaha yang dapat menimbulkan adanya
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.
Hubungan kerja merupakan suatu yang abstrak, dimana merupakan� hubungan hukum antara pekerja dengan
pengusaha. Hubungan kerja lahir karena adanya perjanjian kerja. Bentuk
perjanjian kerja adalah bebas, yang dapat dibuat dalam bentuk tertulis maupun
tidak tertulis.
Dalam
melakukan perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa
perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1.���� Kesepakatan kedua belah pihak
2.���� Kemampuan atau kecakapan melakukan
perbuatan hukum
3.���� Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
4.���� Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian
kerja tersebut dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Akan tetapi perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis lebih menjamin adanya
kepastian hukum.
Perjanjian
kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat beberapa hal yaitu:
a.���� Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;
b.���� Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;
c.���� Jabatan atau jenis pekerjaan;
d.���� Tempat pekerjaan;
e.���� Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.���� Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g.���� Mulai dan jangka waktu berlakunya
perjanjian kerja;
h.���� Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
dan
i.���� Tanda tangan para pihak dalam perjanjian
kerja.
Dilihat
dari jenisnya perjanjian kerja dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (Sendjun, 2005):
1.���� Perjanjian kerja pada� waktu tertentu
2.���� Perjanjian kerja pada waktu tidak tertentu.
Yang
dimaksud dengan perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja yang
jangka waktu berlakunya ditentukan didalam perjanjian kerja tersebut, sedangkan
perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja yang jangka waktu
berlakunya tidak disebutkan dalam perjanjian kerja.
Pada
umumnya perjanjian kerja waktu tidak tertentu diadakan untuk suatu pekerjaan
yang tidak bersifat kontinue, namun ada kemungkinan perjanjian kerja itu dapat
dilakukan perpanjangan sesuai dengan kebijaksanaan dari pihak perusahaan atau
pengusaha. Sedangkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, apabila ada
pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum waktu yang ditentukan berakhir, maka
pihak yang memutuskan hubungan kerja harus membayar kerugian sebesar selama ia
harus menyelesaukan pekerjaannya. Dalam perjanjian kerja waktu tertentu ini
tidak boleh ada masa percobaan yang diberitahukan secara tertulis (Sendjun, 2005).
Perjanjian� kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu
dapat dibuat secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini dimaksudkan untuk
lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan
berakhirnya kontrak kerja.
Perjanjian� kerja yang dibuat untuk waktu tertentu
lazimnya disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak
tetap. Status pekerjanya adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak.
Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu
biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjaanya adalah
pekerja tetap (Husni, 2006).
Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, dimana perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan
untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja waktu tertentu yang
didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua)
tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama
1 (satu) tahun. Pengusaha yang bermaksud untuk memperpanjang perjanjian kerja waktu
tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja untuk
waktu tertentu berakhir telah diberitahukan, maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Dari
analisis di atas mengandung pengertian bahwa untuk jenis perjanjian kerja untuk
waktu tertentu maupun perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat
digunakan oleh perusahaan sesuai dengan kebijaksanaannya. Perjanjian kerja
sebaiknya dibuat secara tertulis agar dapat memberi jaminan ataupun
perlindungan hukum kepada kedua belah pihak.
Berdasarkan
dari perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan akan menimbulkan hak
dan kewajiban yang pada dasarnya bersifat timbal balik. Salah satu dari
kewajiban dari pekerja selain melaksanakan pekerjaan yang telah diberikan pihak
perusahaan kepadanya, selain itu pekerja juga harus mentaati peraturan
perusahaan yang telah ditetapkan oleh pihak perusahaan. Peraturan perusahaan
merupakan hal-hal yang harus ditaati oleh buruh atau karyawan.
Berdasarkan
pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
menjelaskan bahwa peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara
tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib
perusahaan.
Berdasarkan
teori pembuatan peraturan perusahaan dengan perjanjian kerja sangatlah berbeda.
Dimana peraturan perusahaan hanya dibuat sepihak oleh pihak perusahaan
sedangkan perjanjian kerja dibuat oleh pengusaha bersama-sama dengan serikat
pekerja atau buruh.
Peraturan
perusahaan hanya dibuat secara sepihak oleh majikan (yang mempunyai buruh lebih
dari 25 orang). Karena dilakukan secara sepihak tentu saja majikan akan
mencantumkan kewajiban buruh semaksimal mungkin, asal peraturan perusahaan
tersebut tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku dan tidak
melanggar ketertiban umum, tata kesusilaan, serta dengan syarat-syarat yang
harus dipenuhinya sebagai berikut (Asikin, 2004):
1.���� Harus disetujui secara tertulis oleh buruh;
2.���� Selembar lengkap peraturan perusahaan harus
diberikan secara cuma-cuma kepadaburuh dan harus ditempelkan pada tempat yang
dapat dibaca oleh umum (pekerja/buruh);
3.���� Selembar lagi yang ditandatangani oleh
majikan harus diserahkan kepada Departemen Tenaga Kerja;
4.���� Peraturan perusahaan hanya boleh berlaku
paling lama dua tahun;
5.���� Pada perusahaan yang telah dibuat
perjanjian perburuhan maka peraturan perusahaannya tidak boleh bertentangan
dengan perjanjian perburuhan tersebut.
Menurut
pasal 77 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yaitu :
1.���� Setiap pengusaha wajib melaksanakan
ketentuan waktu kerja.
2.���� Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi ;
a.
7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu ; atau
b.
8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan
40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu.
Selain
tentang penentuan jam kerja, upah merupakan hak dari setiap karyawan yang harus
dilaksanakan oleh pihak perusahaan atau pengusaha.
Mengenai
pengupahan pengupahan di atur dalam Pasal 88 ayat (1) Undang- Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,dimana dalam ayat tersebut menjelaskan
bahwa:
�setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.�
Pada
prinsipnya pengupahan dapat dilihat dalam beberapa bentuk yang diuraikan
sebagai berikut (Abdul, 2009).
1.
Hak menerima upah timbul pada saat
adanya hubungan kerja dan berakhirnya hubungan kerja putus.
2.
Pengusaha tidak boleh mengadakan
diskriminasi upah bagi buruh/pekerja laki-laki dan wanita untuk jenis pekerjaan
yang sama.
3.
Upah tidak dibayar apabila
pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
4.
Komponen upah terdiri dari upah
pokok dan tunjangan tetap dengan formulasi upah pokok minimal 75% (tujuh puluh
lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
5.
Tuntutan pembayaran upah
pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.
Konsep
upah minimum yang selama ini diterapkan belum berhasil hubungan industrial
seperti yang diharapkan. Dilibatkannya pekerja yang dapat diwakili serikat
pekerja. Keterbukaan perusahaan menjadi kunci utama, karena pekerja tahu betul
situasi dan kondisi perusahaanya. Perusahaan dapat menunjukkan laporan
keuangannya yang telah diaudit kepada serikat pekerja dan serikat pekerja harus
mampu membaca dan menganalisis laporan keuangan dari perusahaan. Konsepyang
ideal dalam penetapan upah, yakni keterlibatan pekerja/serikat pekerja. Karena
justru para pekerja yang tahu persis kondisi perusahaannya, kemudian dari
sistem manajemen ditunuk pihak-pihak berkompeten dalam hal penetapan upah.
Kemudian kedua belah pihak melakukan perundingan atau negosiasi (Karim, 2001).
Upah yang
diberikan kepada tenaga kerja/buruh harus sesuai dengan upah minimum. Yang
dimaksud dengan upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari
upah pokok dan tunjangan tetap.
Pemerintah
menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum dapat terdiri
atas :
a.���� Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi
atau kabupaten/kota.
b.���� Upah minimum berdasarkan sektor pada
wilayah provinsi atau kabupaten kota.
Upah
minimum tersebut ditetapkan oleh gubernur untuk wilayah provinsi, dan oleh
bupati/walikota untuk wilayah kabupaten/kota, dengan memerhatikan rekomendasi
dari Dewan Pengupahan Provinsi atau bupati/walikota. Dalam hal ini pengusaha
dilarang membayar upah pekerja/karyawan lebih rendah dari upah minimum yang
telah ditetapkan untuk masing-masing wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
Bagi pengusaha yang karena sesuatu hal tidak atau belum mampu membayar upah
minimum yang telah ditetapkan dapat dilakukan penangguhan selama batas jangka
waktu tertentu.
Upah
minimum sebagaimana dimaksud di atas diarahkan untuk pencapaian kehidupan yang
layak bagi para pekerja. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari
upah minimum. Berdasarkan Keputusan Gubernur Riau Nomor : Kpts. 15/ I /2016
Tentang Upah Minimum Kabupaten/ Kota Se Provinsi Riau Tahun 2016 di menetapkan
bahwa upah minimum Kota Pekanbaru Tahun 2016 sebesar Rp. 2.146.375,- (Dua Juta
Seratus Empat Puluh Enam Ribu Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Rupiah) per bulan.
Kewajiban
umum dari majikan sebagai akibat dari timbulnya data hubungan kerja adalah upah
atau suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja untuk
sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.� Upah adalah pembayaran yang diterima buruh selama
ia melakukan pekerjaan atau dipandang melakukan pekerjaan atau dengan kata lain
upah merupakan penghasilan dalam bentuk uang atau bentuk lain seperti yang
diterangkan dalam Pasal 1601p Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dapat
dinilai dengan uang yang diterima oleh pekerjaan secara teratur.
Pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang menyatakan
bahwa:
�
Pembayaran upah oleh Pengusaha dilakukan dalam jangka waktu paling cepat
seminggu 1 (satu) kali atau paling lambat sebulan 1 (satu) kali kecuali bila
Perjanjian Kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.�
Badan
Pusat Statistik (BPS) Indonesia memberikan konsep definisi upah/gaji yaitu
penerimaan buruh/karyawan/pegawai baik berupa uang ataupun barang selama
sebulan yang dibayarkan oleh perusahaan/kantor/majikan setalah dikurangi dengan
potongan-potongan, iuaran wajib, pajak penghasilan dan sebagainya (Statistika, 2004).�
Pengusaha
wajib membayar upah kepada para pekerjanya secara teratur sejak terjadinya
hubungan kerja sampai dengan berakhirnya hubungan kerja.
B.
Perlindungan
Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Menurut
Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah RI No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
Upah adalah :
� Upah
adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk
sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau
dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau
peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian antara
pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan, baik untuk buruh sendiri maupun
keluarganya.�
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa upah adalah suatu imbalan berupa uang
yang diberikan kepada pekerja sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan.
Upah yang
dibayarkan oleh majikan atau pemberi kerja harus sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan dalam kesepakatan kerja yang mereka perbuat (Endang, 2004).
Kebijakan
perlindungan upah ini mengatur secara umum yang berpangkal tolak kepada fungsi
upah yang harus mampu menjamin kelangsungan hidup pekerja dan keluarganya,
sehingga memberikan motivasi terhadap peningkatan produksi dan produktivitas
kerja. Pengaturan perlindungan upah diserahkan kepada sistem pembayaran upah
secara keseluruhan berdasarkan prestasi kerja, tidak dipengaruhi oleh
tunjangan-tunjangan yang tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja.
Hak untuk
menerima upah bagi pekerja timbul pada saat adanya hubungan kerja antara
pekerja dan pengusaha dan berakhir pada saat hubungan kerja tersebut putus.
Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara
pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Pengusaha
harus mempekerjakan buruh/pekerja sesuai dengan waktu kerja yang telah
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, jika melebihi ketentuan tersebut
harus dihitung/dibayar lembur (Husni, 2006).
Lembur
adalah selebihnya dari jam 7 jam kerja perhari atau 5 jam pada hari kerja yang
terpendek dan melebihi 40 jam perminggu. Pada dasarnya lembur adalah suka rela,
tetapi dapat menjadi wajib apabila terjadi kebakaran, bencana alam, peledakan
mesin dan sebagainya (Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Kep-72/MEN/
1984) (Endang, 2004).
Komponen
upah untuk dasar perhitungan upah lembur terdiri atas:
1.���� Upah pokok
2.���� Tunjangan jabatan
3.���� Tunjangan kemahalan
4.���� Nilai pemberian catu untuk karyawan
sendiri. (Husni, 2006)
Pengusaha
harus mempekerjakan buruh/pekerja sesuai dengan waktu kerja yang telah
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, jika melebihi ketentuan tersebut
harus dihitung/dibayar lembur.
Cara
penghitungan upah lembur telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No. Kep-72/MEN/1984 tentang dasar perhitungan upah lembur yakni sebagai
berikut:
1.���� Apabila jam kerja lembur dilakukan pada
hari biasa:
a.
Untuk jam kerja lembur pertama
harus dibayar sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam.
b.
Untuk tiap jam kerja berikutnya
harus dibayar upah sebesar 2 (dua kali) upah sejam;
2.���� Apabila jam kerja lembur dilakukan pada
hari istirahat mingguan dan atau hari raya resmi:
a.
Untuk setiap jam dalam batas 7
(tujuh) jam atau 5 (lima) jam apabila hari raya tersebut jatuh pada hari kerja
terpendek pada salah satu hari dalam 6 (enam) hari kerja seminggu harus dibayar
upah sedikit-dikitnya 2 (dua) kali upah sejam;
b.
Untuk jam kerja pertama selebihnya
7 (tujuh) jam atau 5 (lima) jam apabila hari raya tersebut jatuh pada hari raya
terpendek pada salah satu hari dalam 6 (enam) hari kerja seminggu, harus
dibayar upah sebesar 3 (tiga) upah sejam;
c.
Untuk jam keja kedua setelah 7
(tujuh) jam atau 5 (lima) jam apabila hari raya tersebut jatuh pada hari raya
terpendek pada salah satu hari dalam 6 (enam) hari kerja seminggu, harus
dibayar upah sebesar 4 (empat) kali upah sejam.
Komponen upah untuk dasar
perhitungan upah lembur terdiri atas:
1. Upah pokok
2. Tunjangan jabatan
3. Tunjangan kemahalan
4. Nilai pemberian catu untuk
karyawan sendiri.
Selain hal
tersebut diatas, pengusaha wajib membayar upah kepada pekerjanya secara teratur
sejak terjadinya hubungan kerja sampai dengan berakhirnya hubungan kerja.
������� Dalam menjalankan suatu perusahaan yang
mempunyai banyak pekerja tentu saja banyak kendala-kendala yang harus dihadapi
baik oleh pihak pengusaha maupun pihak pekerja itu sendiri. Hal ini lumrah
terjadi karena setiap orang mempunyai pemikiran yang berbeda-beda dalam
menentukan suatu kehidupan yang layak pada prinsipnya kedua belah pihak
menginginkan terciptanya suatu hubungan yang harmonis diantara keduanya.
Pengelompokan
komponen upah dan pendapatan non upah menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
No : SE-07 / MEN / 1990 tanggal 2 Agustus 1990 adalah sebagai berikut (Hardijan, 2011):
1.
Termasuk komponen upah adalah:
a.
Upah Pokok adalah imbalan dasar
yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenispekerjaan yang
besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
b.
Tunjangan Tetap adalah suatu
pembayaran � pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan
secara tetap untuk pekerja keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang
sama dengan pembayaran upah pokok, seperti tunjangan istri, tunjangan anak,
tunjangan perumahan,tunjangan kemahalan, tunjangan daerah dan lain � lain ;
tunjangan makan dan tunjangan transport dapat dimsukkan dalam komponen tunjangan
tetap bila pemberian tunjangan tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran dan
diterima secara tetap oleh pekerja menurut satuan waktu, harian atau bulanan.
c.
Tunjangan Tidak Tetap adalah suatu
pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerja,
yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta
dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah
pokok, seperti tunjangan transpor yang didasarkan pada kehadiran. Tunjangan
makan dapat dimasukkan ke dalam tunjangan tidak tetap bila tunjangan tersebut
diberikan atas dasar kehadiran ( pemberian tunjangan biasa dalam bentuk uang
atau fasilitas makan ).
2.
Tidak termasuk komponen upah
adalah:
a.
Fasilitas adalah kenikamatan dalam
bentuk nyata / natura yang diberikan perusahaan oleh karena hal � hal yang
bersifat khusus atau utnuk meningkat kesejahteraan pekerja, seperti fasilitas
kendaraan ( antar jemput pekerja atau lainnya ), pemberian makan secara Cuma �
Cuma, sarana ibadah, tempat penitipan bayi, koperasi, kantin dan lain � lain.
b.
Bonus adalah bukan merupakan
bagian upah, melainkan pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan
perusahaan atau karena pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target
produksi yang normal atau karena peningkatan produktivitas. Besarnya pembagian
bonus diatur berdasarkan kesepakatan.
c.
Tunjangan Hari Raya ( THR ) adalah
gratifikasi dan pembagian keuntungan lainnya.
Undang -
Undang 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 94 menyatakan : � Dalam hal
komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah
pokok sedkit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok
dan tunjangan tetap.�
Tetapi,
perusahaan hanya memberikan� pemotongan
cuti setiap pekerjanya apabila pekerja tersebut tidak dapat hadir atau bekerja
karena ada alasan keluar kota atau berhalangan untuk tidak masuk kerja.
Upah
memegang peranan yang penting dan merupakan ciri khas suatu hubungan disebut
hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan upah merupakan tujuan utama dari seorang
pekerja melakukan pekerjaan pada orang atau badan hukum lain. Bahkan,
pemerintah dalam menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak
dengan memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal
pengupahan, upah dapat tidak dibayarkan apabila pekerja tidak melakukan
pekerjaan. Prinsip ini dikenal dengan asas�
� no work no pay �, yang mana asas ini tidak berlaku mutlak, maksudnya
dapat dikesampingkan dalam hal-hal tertentu atau dengan kata lain pekerja tetap
mendapatkan upah meskipun tidak dapat melakukan pekerjaan.
Penyimpangan
terhadap asas � no work no pay � ini
adalah :
a.
Pekerja atau buruh sakit sehingga
tidakdapat melakukan pekerjaan
b.
Pekerja atau buruh perempuan yang
sakit pada hari pertama dan keua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan
pekerjaan.
c.
Pekerja atau buruh tidak masuk
kerja karena menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istrinya
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anakatau menantu,
orang tua, mertua atau angota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.
d.
Pekerja atau buruh tidak dapat
melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara.
e.
Pekerja atau buruh tidak dapat
melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
f.
Pekerja atau buruh bersedia
melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
memperkerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang
seharusnya dapat dihindari pengusaha.
g.
Pekerja atau buruh melaksanakan
hak istirahat.
h.
Pekerja atau buruh melaksanakan
tugas serikat pekerja atau serikat bruh atas persetujuan pengusaha, dan
i.
Pekerja atau buruh melaksanakan
tugas pendidikan dari perusahaan.
Pembayaran
upah harus dibayarkan secara langsung kepada buruh/pekerja yang bersangkutan
pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian kerja. Jika
pembayaran upah terlambat mulai dari hari keempat sampai kedelapan terhitung
dari hari yang seharusnya upah dibayarkan, maka upah harus ditambah 5% setiap
hari keterlambatan.
Undang �
Undang� Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 95 ayat (1 sampai dengan 4) menyatakan:
1.
Pelanggaran yang dilakukan oleh
pekerja/ buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
2.
Pengusaha yang karena kesengajaan
atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda
sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
3.
Pemerintah mengatur pengenaan
denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
4.
Dalam hal perusahaan dinyatakan
pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang
didahulukan pembayarannya.
Dewan
pengupahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan saran, pertimbangan
dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah serta
untuk mengembangkan sistem pengupahan nasional (Hardijan, 2011).
Upah
mempunyai kedudukan yang strategis, jika pengusaha dinyatakan pailit, maka upah
buruh merupakan utang yang dilakukan pembayarannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Journal of
Indonesian Applied Economics Vol.5 No. 2 Oktober 20011, 269-285 Pada awalnya
kebijakan upah minimum ditetapkan berdasarkan besaran biaya Kbebutuhan fisik
minimum (KFM). Dalam perkembangannya kemudian, dalam era otonomi daerah, dallam
menentukan besaran tingkat upah minimum beberapa pertimbangannya adalah:
a.���� Biaya kebutuhan hidup minimum (KHM)
b.���� Indeks harga konsumen (IHK)
c.���� Tingkat upah minimum antar daerah
b.���� Kemampuan, pertumbuhan dan keberlangsungan
perusahaan
c.���� Kondisi pasar kerja
d.���� Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
perkapita.
Dengan
berbagai kondisi empiris dan penjelesan tentang implementasi dari kebijakan
upah minimum diatas, sebenarnya segala produk hukum yaitu Undang- Undang Dasar
1945.
Dari
keterangan diatas dapat dianalisa bahwa, setiap perusahaan yang mempekerjakan
karyawan wajib memberikan upah pekerja sesuai dengan ketentuang Undang � Undang
yang berlaku dan dalam hal ini berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh
Departement Tenaga Kerja (Depnaker). Upah karyawan harus sesuai dengan Upah
Minimum Provinsi (UMP) dimana pekerja bekerja. Besarnya upah yang diterima oleh
pekerja terdiri dari upah/gaji pokok ditambah dengan tunjangan. Namun, besarnya
upah yang diterima oleh pekerja pada dasarnya adalah berdasarkan kesepakatan
antara kedua belah pihak sebelum hubungn kerja.
Selanjutnya
pengusaha harus mempekerjakan buruh/pekerja sesuai dengan waktu kerja yang
telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, jika melebihi ketentuan
tersebut harus dihitung atau dibayar lembur (Husni, 2006).
Berdasarkan
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan
bahwa ;
1.
Setiap pekerja atau buruh dapat
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
2.
Untuk mewujudkan penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layakbagikemanusiaan, pemerintah menetapkan kebijakan
pngupahan yang melindungi pekerja atau buruh.
3.
Kebijakan pengupahan yang
melindungi pekera atau buruh meliputi :
a.� Upah minimum.
b.� Upah kerja lembur.
c.� Upah tidak masuk.
d.� Upah tdak masuk kerja karena melakukan
kegiatan lain diluar pekerjaannya.
e.� Upah karena menjalankan hak waktu istirahat
kerjanya.
f.�� Bentuk dan cara pembayaran upah.
g.� Denda potongan upah.
h.� Hal-hal yang dapat diperhitunkan dengan upah.
i.�� Struktur skala pengupahan yang proporsional.
j.�� Upah untuk pembayaran pesangon.
k.���� Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
4.
Pemerintah menetapkan upah minimum
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktifitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Dari
keterangan diatas dapat di analisa bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan
karyawan wajib memberikan upah karyawan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
yang berlaku dan dalam hal ini berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan oleh
Depnaker atau Gubernur. Upah karyawan harus sesuai dengan UMP dimana karyawan
bekerja. Besarnya upah yang diterima oleh karyawan terdiri dari upah atau gaji
pokok ditambah dengan tunjangan. Namun, besarnya upah yang diterima oleh
karyawan pada dasarnya adalah berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak
sebelum hubungan kerja.
Dan
selanjutnya, pengusaha harus memperkerjakan buruh atau pekerja sesuai dengan
waktu kerja yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dan jika
melebihi ketentuan jam kerja tersebut harus dihitung atau dibayar lembur (Husni, 2006).
Kesimpulan
1. Sistem pengupahan
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dimana pekerja memiliki hak yang sama
dalam merima upah. Pelaksanaan perjanjian kerja antara perusahaan dengan
karyawan/pekerja didalam bentuk tertulis. Pelaksanaan pemberian upah kepada
karyawan/pekerja yang sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP).
2. Perlindungan pengupahan
pekerja dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dimana pengaturan
pengupahan yang dilakukan perusahaan kepada karyawan/pekerja ditentukan oleh
perusahaan.
Abdul, Khakim. (2009). Dasar-Dasar Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Google Scholar
Abdulkadir, Muhammad. (1986). Hukum-Hukum
Perjanjian. Cet. II. Penerbit Alumni. Bandung. Google Scholar
Agusmidah, Dinamika. (2010). Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Google Scholar
Asikin, Zainal. (2004). dkk, Dasar-dasar
Hukum Perburuhan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Google Scholar
Endang, Rokhani. (2004). Pengetahuan
Dasar Tentang Hak�Hak Buruh. Jakarta: Yakoma PGI. Google Scholar
Hardijan, Rusli. (2011). Hukum
ketenagakerjaan. Cetakan II. Bogor: Ghalia Indonesia. Google Scholar
Husni, Lalu. (2006). pengantar hukum
ketenagakerjaan Indonesia. Google Scholar
Karim, Furqon. (2001). Mencari Konsep Upah
Minimum Bagi Pekerja. Suara Merdeka, 22. Google Scholar
Kerja, Departemen Tenaga, & Indonesia,
Transmigrasi Republik. (2005). Pedoman Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama
(PKB). Jakarta: Direktorat Persyaratan Kerja, Direktorat Jenderal
Pembinaan �. Google Scholar
Kurniawan, Emmanuel. (2013). Hak-Hak
Karyawan Tetap dan Kontrak. Jakarta Timur: Dunia Cerdas. Google Scholar
Manulang, Sendjun H. (1990). Pokok-Pokok
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Rineka Cipta. Google Scholar
Samsul, Inosentius. (2004). Perlindungan
Konsumen Kemungkinan Penerapan. Tanggung Jawab Mutlak. Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Google Scholar
Sendjun, Manulang. (2005). Pokok-pokok
Hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Google Scholar
Statistika, Badan Pusat. (2004). Indikator
Ketenagakerjaan Mei 2004. Jakarta: BPS. Google Scholar
Wijayanti, Asri. (2009). Hukum
ketenagakerjaan pasca reformasi (Vol. 1). Sinar Grafika. Google Scholar
Copyright holder: Eko Prasetyo, Ivan
Anindito Arista, Rudi Hermawan, Erlanda Pane (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |