Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 2, Special Issue, Desember 2021

�

VIKTIMISASI KONSUMEN JAMU BERBAHAN KIMIA OBAT MEREK TAWON LIAR

 

Kustantri Wahyuni, Vinita Susanti

Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Jamu sebagai warisan budaya Indonesia telah tercoreng oleh jamu berbahan kimia obat. Pencampuran jamu dengan bahan kimia obat sekilas nampak sebagai kejahatan yang �biasa-biasa� saja. Namun secara ilmiah diketahui bahwa kimia obat sangat membahayakan jika dikonsumsi tanpa dosis dan aturan yang tepat. Beberapa literatur menunjukkan bahan kimia obat dalam jamu menyebabkan gangguan jantung, gagal ginjal, perforasi lambung, osteoporosis hingga menimbulkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana proses viktimisasi yang terjadi pada konsumen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan wawancara tidak terstruktur. Data diambil secara kualitatif dengan teknik purposive sampling kepada pengguna jamu berbahan kimia obat merek Tawon Liar. Jamu berbahan kimia obat merek Tawon Liar dipilih karena banyak ditemukan di kios-kios jamu di peredaran. Hasil penelitian menunjukkan proses viktimisasi berawal ketika korban memiliki kebutuhan untuk menyembuhkan penyakitnya. Adanya perasaan puas terhadap khasiat jamu berbahan kimia obat tersebut menyebabkan penggunaan secara kontinu. Hingga akhirnya pada satu titik korban merasakan efek negatifnya dan tersadar bahwa itu disebabkan oleh jamu yang ia konsumsi. Proses viktimisasi terhadap korban bisa berlangsung secara singkat, namun bisa pula berlangsung lama. Dampak terhadap kesehatan pun berbeda-beda tergantung pada frekuensi penggunaannya. Kerugian fisik yang dialami antara lain gangguan tidur, badan terasa lemas, batuk-batuk, gangguan jantung hingga mengakibatkan kematian.

 

Kata Kunci: bahan kimia obat; jamu; obat herbal; viktimisasi

 

Abstract

Jamu as Indonesia's cultural heritage has been tarnished by herbal medicine mixed with active pharmaceutical ingredients (API). Mixing herbs with API seems not a serious crime. However, it is scientifically known that API are very dangerous if consumed without proper dosage and its rules of use. Some literature shows that the API in herbal medicine can cause heart desease, kidney failure, gastric perforation, osteoporosis and even death. This study aims to reveal how the victimization process happened to consumers. The method used in this research is qualitative with unstructured interviews. Data were taken using purposive sampling technique. Tawon Liar was chosen because it is commonly found in Indonesian traditional market. The results show that the victimization process begins when victim has a need to heal their illness without going to a doctor. The satisfaction feeling with the efficacy of herbal medicine mixed with APIs then causes continuous his consumption. Until finally the victim felt the negative effects and realized that it was caused by the herbs he has consumed. The victimization process can be last in short or in a long time. The impact on health also varies depending on the frequency of use. Physical impact include sleep disorder, body feels very weak, coughs, heart problems and death.

 

Keywords: jamu; herbal medicine; active pharmaceutical ingredients (API); victimization

 

Received: 2021-11-20; Accepted: 2021-12-05; Published: 2021-12-07

 

Pendahuluan

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan 44,3% penduduk Indonesia mengkonsumsi jamu sebagai alternatif pengobatan, baik untuk tujuan pemeliharaan kesehatan atau pun penyembuhan penyakit (Badan Litbang Kesehatan, 2019). Menurut Permata (2017) keberadaan jamu sejak dahulu hingga saat ini menunjukkan bahwa jamu adalah warisan leluhur yang dipertahankan (Permata, 2017).

Kegiatan memproduksi dan mengedarkan jamu yang dicampur dengan bahan kimia obat di Indonesia merupakan tindak pidana. Pelaku dapat dijerat menggunakan Pasal 196 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun penjara dan/atau denda 1 milyar rupiah (Republik Indonesia, 2009) atau Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana penjara 5 tahun dan/atau denda 2 milyar rupiah (Republik Indonesia, 1999).

Beberapa literatur menunjukkan bahwa penggunaan jamu berbahan kimia obat berkorelasi dengan beberapa penyakit seperti penyakit lambung dan gagal ginjal. Seperti dalam penelitian yang dilakukan Anjarwati menunjukkan beberapa jamu antirematik yang beredar di pasaran mengandung beberapa jenis bahan kimia obat antara lain fenilbutason, metampiron dan steroid (Anjarwati, 2009). Penelitian Fikayuniar & Abriyani mengungkap adanya kandungan prednisone pada jamu rematik dan pegal linu di Karawang Barat (Fikayuniar et al., 2020). Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap berbagai merek jamu pegal linu di Pekalongan juga ditemukan adanya kandungan kimia obat asam mefenamat (Rusmalina, Khasanah, & Nugroho, 2020).

Pernyataan tersebut menyiratkan adanya bukti empiris yang memperlihatkan adanya dampak negatif akibat konsumsi jamu berbahan kimia obat berupa penyakit gagal ginjal dan perforasi lambung. Namun demikian, selama ini tidak diketahui keberadaan korban jamu berbahan kimia obat dan bagaimana proses viktimisasi mereka terjadi. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap itu semua.

(Andriati & Wahjudi, 2016) menyebutkan istilah jamu dalam penelitiannya adalah dari kata Djamoe, yaitu akronim dari kata djampi dan oesodo (husada). Djampi memiliki arti doa atau obat, sedangkan oesodo (husada) berarti sehat atau kesehatan. Dengan demikian, maka djamoe dapat diartikan sebagai doa atau obat yang menyehatkan. Lebih jauh Andriati &Wahjudi juga menyatakan bahwa jamu merupakan bagian dari pengobatan tradisional yang telah digunakan dari generasi ke generasi untuk mengobati penyakit dan memelihara kesehatan tubuh (Andriati & Wahjudi, 2016). Sedangkan pengertian jamu dalam buku Pembuatan Jamu Segar yang Baik adalah warisan budaya bangsa Indonesia yang berupa ramuan bahan dari tumbuhan obat yang digunakan secara turun temurun dan telah terbukti aman serta bermanfaat bagi kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Lain halnya dengan definisi jamu menurut Badan POM adalah Obat Tradisional yang dibuat di Indonesia. Sementara itu obat tradisional sendiri didefinisikan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Badan POM, 2019).

Merujuk pada uraian tersebut di atas, maka pengertian jamu dapat pula mengarah kepada obat alami yang digunakan pada pengobatan tradisional di Indonesia, sehingga dapat pula disebut sebagai obat tradisional. Oleh sebab itu untuk selanjutnya maka pengertian jamu dalam artikel ini sama dengan obat tradisional, dan dibatasi untuk produk yang dibuat oleh masyarakat Indonesia.

Sedangkan bahan kimia obat (BKO) dalam hal ini adalah sintesa kimiawi dari bahan alam yang secara umum digunakan dalam metode pengobatan secara modern. Dalam hal ini penggunaan BKO pada pengobatan modern akan disertai dengan takaran/dosis, cara pakai tertentu dan ketentuan-ketentuan lain yang harus diikuti untuk menjamin keamanan dan kesehatan penggunanya (Badan POM, 2006).

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa BKO pada dasarnya adalah senyawa kimia yang bersifat racun apabila penggunaannya tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan. Seperti misalnya ketentuan penggunaan seperti sebelum atau sesudah makan, sebelum atau sesudah bangun tidur, maupun interaksi dengan senyawa kimia lain. Selain takaran/ dosis, ketentuan-ketentuan tersebut juga dapat mempengaruhi bekerjanya obat di dalam tubuh. Hal tersebut disebabkan oleh cara kerja bahan kimia obat yang langsung bekerja pada organ-organ vital, sehingga penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan dan ketentuan tersebut akan mengganggu fungsi dan kerja organ tersebut. Takaran dosis dan penggunaan yang tidak tepat bukannya menyembuhkan, tapi justru akan merusak tubuh. Oleh sebab itu penggunaan bahan kimia obat tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Seperti pencampuran bahan kimia obat dalam jamu oleh pelaku yang tidak memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang farmasi atau kedokteran akan sangat membahayakan kesehatan konsumen.

Dalam kegiatan pengawasannya Badan POM menemukan banyak jenis obat tradisional yang sering dicampurkan dengan BKO tertentu, misalnya jamu pegal linu/ rematik sering kali ditemukan mengandung Phenilbutazone, antalgin (metampiron), natrium diklofenak, piroksikam, parasetamol, prednison, dan deksametason; jamu pelangsing sering kali ditemukan mengandung Sibutramin HCl, jamu kencing manis sering ditemukan mengandung glibenklamid; dan jamu obat kuat/ peningkat stamina pria sering kali ditemukan mengandung sildenafil sitrat atau turunannya (Badan POM, 2006).

Lebih jauh dijelaskan pula dampak buruk atau bahaya dari BKO yang sering ditambahkan dalam jamu tersebut di atas. Sebagai contoh kandungan fenilbutazon dalam jamu pegal linu dapat menyebabkan gangguan pada saluran cerna seperti mual, diare atau bahkan dapat menyebabkan pendarahan dan perlukaan pada lambung. Efek samping lain juga dilaporkan adanya pembengkakan pada jantung (angioedema), penyempitan saluran napas (bronkospasme), vertigo, gangguan pendengaran hingga urin berdarah (hematuria). Tidak hanya itu, phenilbutazon juga tercatat dapat menyebabkan hepatitis, gangguan pembentukan darah yang kemudian menyebabkan anemia aplastik, kekurangan darah putih (leukopenia), kekurangan trombosit (trombositopenia), kegagalan tubuh membentuk granulosit sejenis sel darah putih (agaranulositosis), dan masih banyak gangguan fatal lainnya. Contoh lain adalah kandungan dexamethasone dalam jamu pegal linu, encok atau rematik dapat menyebabkan gangguan mental dan euphoria. Pada lansia dexamethasone dapat menyebabkan diabetes dan osteoporosis, sedangkan bagi anak-anak senyawa kimia obat ini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, termasuk pertumbuhan janin pada ibu hamil. Sedangkan kandungan sildenafil citrate pada jamu obat kuat (stamina pria) dapat menyebabkan serangan jantung hingga menimbulkan kematian.

Selain dampak buruk BKO di atas, masih ada dampak buruk lain dari beberapa jenis bahan kimia lain seperti paracetamol yang dapat menyebabkan kerusakan pada liver, teofilin yang dapat menyebabkan gangguan irama jantung, sakit kepala dan insomnia atau sibutramine yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.

 

Metode Penelitian

Untuk mendapatkan informasi yang mendalam mengenai viktimisasi yang dialami korban, penelitian sebaiknya menggunakan metode kualitatif dengan wawancara tidak terstruktur (Maxfield&Babbie, 2015). Meskipun penelitian mengenai korban kejahatan selama ini lebih banyak dilakukan dengan survey (Mustofa, 2015), namun peneliti memilih menggunakan metode kualitatif untuk mengungkap peristiwa viktimisasi yang dialami korban. Target data dalam penelitian ini difokuskan pada informasi tentang bagaimana awal mula viktimisasi dan bagaimana proses viktimisasi tersebut berjalan. Pendekatan ini juga dilakukan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal apa saja yang mempengaruhi konsumen memilih jenis jamu berbahan kimia obat dibandingkan dengan jamu lain maupun pengobatan modern. Metode wawancara tidak terstruktur seperti ini telah digunakan pada berbagai jenis kejahatan dan oleh para peneliti dengan pendekatan berbagai perspektif (Lorraine; et al., 2009).

Kriteria informan yang diambil dalam penelitian ini adalah konsumen jamu BKO yang masih aktif minum jamu tersebut, atau menderita sakit yang diakibatkan oleh jamu BKO atau keluarga korban pengguna jamu berbahan kimia obat yang telah meninggal. Penentuan informan dilakukan secara purposive sampling dan snow ball untuk pengembangan informan berikutnya. Informan tersebut kemudian dilakukan wawancara tidak terstruktur mengenai bagaimana keseharian mereka, bagaimana proses awal viktimisasi, apa yang mereka rasakan� hingga dampak kerugian yang dialami. Instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data ini adalah alat perekam suara, alat peraga (beberapa contoh produk jamu berbahan kimia obat sesuai Daftar Public Warning Badan POM) serta pedoman wawancara. Adapun jenis produk jamu berbahan kimia pada penelitian ini dibatasi pada merek Tawon Liar (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2013). Hal ini dikarenakan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan merek Tawon Liar banyak dijualbelikan di kios-kios jamu.

 

Hasil dan Pembahasan

Peneliti melakukan wawancara terhadap 3 (tiga) informan yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Informan pertama adalah seorang istri dari korban meninggal yang memiliki riwayat mengkonsumsi jamu Tawon Liar secara rutin di akhir hidupnya. Informan kedua adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki pengalaman buruk pada saat pertama kali mengkonsumsi jamu ilegal merek Tawon Liar. Sedangkan informan ketiga adalah seorang ibu rumah tangga sekaligus berwirausaha membuka warung kue-kue basah yang ia produksi sendiri. Yang bersangkutan memiliki pengalaman mengkonsumsi jamu Tawon Liar selama hampir 2 tahun, dan masih mengkonsumsi hingga saat proses wawancara berlangsung.

 

Tabel 1

�Daftar Informan Korban Jamu Berbahan Kimia Obat

Karakteristik

Korban 1

(Informan: istri korban)

Korban 2, (Informan: ybs)

Korban 3, (Informan: ybs)

Pekerjaan

Wirausaha (home industry)

Ibu Rumah Tangga

Wirausaha (home industry)

Usia

43 tahun

46 tahun

36 tahun

Kriteria konsumen

Konsumen meninggal

Konsumen Pasif

Konsumen Aktif

Merek Jamu BKO

Tawon Liar

Tawon Liar

Tawon Liar

Sumber informasi awal

Kakak dan orang tua� korban

Tetangga dekat

Kerabat dekat

Tempat tinggal

Bogor

Jakarta Selatan

Jakarta Selatan

Frekuensi konsumsi jamu BKO

Setiap akan dan selesai beraktivitas

Satu kali

Seminggu 2 kali

Durasi konsumsi

3 tahun

Satu kali (setahun yang lalu)

2 tahun

Efek negatif yang dirasakan

Meninggal dengan diagnosa pembengkakan pada jantung

Tidak bisa tidur selama 2 x 24 jam, lemas selama 2 minggu setelah efek jamunya hilang

Lemas setelah efek jamunya hilang

Aktivitas rutin

Komunitas sepeda

Ibu Rumah Tangga, kader PKK, majelis taklim

Membuat aneka kue di rumah, untuk dijual

 

Hasil wawancara tidak terstruktur terhadap ketiga informan di atas diperoleh data dan informasi mengenai proses viktimisasi yang dapat digambarkan dengan bagan alur di bawah ini:�

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PERSEPSI UMUM TENTANG JAMU SBG OBAT HERBAL TERBUAT DARI BAHAN ALAMI

Mencoba produk jamu BKO �X�

Motif Kebutuhan (Mengobati sakit/pegal/ capek)

Testimoni khasiat produk jamu BKO �X�

Promosi produk jamu BKO �X�

Cocok, kebutuhan terpenuhi (capek/ pegal hilang)

Tidak cocok, efek negative thd kesehatan

Persepsi baru (jamu BKO �X�) adalah produk bagus

Kontinuitas penggunaan

STOP penggunaan jamu BKO

Persepsi baru (jamu BKO �X�) tidak bagus

Muncul efek negatif thd kesehatan

Kontinuitas penggunaan

Kontinuitas penggunaan

Promosi kepada orang lain, disertai testimoni

Percaya (jamu BKO �X�) adalah produk bagus

Berobat ke dokter

Berobat ke dokter

Konsumsi obat sesuai kaidah

Konsumsi obat sesuai kaidah

STOP penggunaan jamu BKO

Terlambat

Belum Terlambat

Sembuh

Meninggal

Awal viktimisasi korban berikutnya

Persepsi awal terhadap jamu BKO �X� (netral)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1

Bagan Proses Viktimisasi Konsumen Jamu Berbahan Kimia Obat

Penulis menjabarkan bagan proses viktimisasi pada gambar 1 di atas dalam beberapa tahapan, yaitu: (1) Awal mula viktimisasi; (2) Munculnya Persepsi jamu BKO sebagai produk yang Bagus; (3) Tumbuhnya keyakinan jamu BKO sebagai produk yang bagus; (4) Munculnya Efek Negatif yang Merugikan; (5) Penderitaan Korban jamu BKO; (6) Keputusan Berhenti Mengkonsumsi Jamu BKO. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing tahapan viktimisasi tersebut.

1.     Awal Mula Viktimisasi

Secara umum persepsi yang berkembang di masyarakat mengenai jamu adalah obat herbal yang terbuat dari bahan alami sehingga aman untuk dikonsumsi (Dewi, Pratiwi, & Muharni, 2019). �Masyarakat cenderung memiliki persepsi yang positif mengenai jamu sebagai obat herbal berkhasiat, alami dan tidak banyak menimbulkan efek samping (Oesman, Yunizar, Komara, & Helmi, 2013). Akan tetapi apakah sebuah produk (misalnya produk �X�) dinilai sebagai produk yang bagus atau tidak, hal tersebut tergantung pada khasiat/ efek yang dirasakan oleh konsumen. Apapun nama atau jenis produknya, jika jamu/ obat herbal tersebut mampu menghilangkan/menyembuhkan rasa sakit/ pegal/ capeknya, maka produk tersebut akan dinilai sebagai produk yang bagus. Meskipun menurut Puspariki& Suharti (2019) persepsi masyarakat terhadap jamu juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan (Puspariki & Suharti, 2019).�

Inilah titik awal terjadinya viktimisasi pada korban jamu berbahan kimia obat. Seperti penuturan informan no.3 berikut:

�Awal mulanya menggunakan itu, awalnya kan badannya terasa pegal banget, capek banget. Lalu, entah siapa yang menawarkan. Aslinya bukan Pak A***, yang menawarkan itu. Mungkin Mbak B***, atau Mbak C*** istrinya Mas D***, atau bahkan mas D*** ya?. Pokoknya waktu itu saya diberikan satu bungkus. Nah, selesai habis minum obat itu pagi-paginya itu badan saya bener-bener yang pegelnya itu ilang sama sekali.� (Informan 3, 2021)

Saat promosi datang kepada calon konsumen, produk jamu berbahan kimia obat selalu diperkenalkan sebagai obat herbal yang berkhasiat. Adanya dorongan dan keinginan untuk segera sembuh membuat calon konsumen menjadi tertarik dan memberikan perhatian lebih. Bagi mereka jamu bisa menjadi pengobatan alternatif di samping pengobatan medis (Oesman et al., 2013). Motif kebutuhan konsumen untuk sembuh yang dipertemukan dengan penawaran obat herbal yang berkhasiat, disertai dengan testimoni pengalaman pengguna sebelumnya menjadi alasan yang kuat bagi korban untuk mencobanya. Yang bersangkutan pun merasa tidak perlu untuk melakukan cross check tentang keabsahan produk tersebut. Hal ini disebabkan testimoni dan promosi yang ia dapatkan berasal dari orang yang selama ini ia percayai. Kalaupun ada, cross check yang dilakukan adalah melakukan konfirmasi mengenai khasiat jamu tersebut kepada orang lain yang pernah mengkonsumsinya.

Korban 1 mendapatkan informasi dari kakak dan orang tua kandungnya., korban 2 mendapatkannya dari tetangga dekat dan korban 3 menerima dari kerabat dekat. Oleh sebab itu ketiganya merasa telah mendapatkan alasan yang cukup kuat untuk mencoba jamu tersebut. Mereka yakin bahwa orang yang mempromosikan dan menyampaikan testimoninya tidak akan berbohong atau menipu diri mereka.���

Ketiga korban mencoba produk jamu berbahan kimia obat dengan merek yang sama yaitu Tawon Liar. Secara umum ketiganya merasakan efek yang sama, yaitu rasa sakit, capek dan pegal-pegalnya hilang dan mereka merasa sembuh. Ketiganya bisa beraktivitas dengan lancar tanpa ada hambatan sesuai dengan keinginannya.

2.     Munculnya Persepsi Jamu BKO sebagai Produk yang Bagus

Kepuasan konsumen terhadap khasiat jamu BKO yang mereka rasakan memunculkan persepsi bahwa jamu yang mereka konsumsi adalah produk yang bagus. Beberapa dari mereka bahkan cenderung akan mempromosikannya kepada teman, keluarga atau kerabat yang lain. Rasa ingin berbagi dan menolong orang lain mendorong mereka untuk membagi pengalaman mereka setelah mengkonsumsi jamu tersebut. Seperti pengalaman korban 3 yang mendapatkan promosi dari kakak kandung dan orang tuanya. Ia juga mengajak informan 3 (istrinya) untuk ikut mengkonsumsi.

�Nah, saat bersepeda itu dia ingin staminanya kuat, mungkin ya. Lalu, suatu hari, dia (almarhum) pernah saat sedang pergi ke Bandung mengunjungi orang tuanya, mengatakan kalo dirinya merasa capek. Mudah sekali capek. Kemudan kakaknya menawarkan supaya dia minum Tawon Liar. Orang tuanya juga mengatakan hal yang sama bahwa mereka minum Tawon Liar itu tidak pernah merasa capek, tidur juga. Tapi, kalo tidur sih masih bisa. Dalam beraktivitas itu tidak pernah capek, tidak pernah pegal-pegal. Nah, saat itu dia mencoba sekali, lalu dia mengatakan kalo dirinya merasa enak. Kakaknya menginformasikan kalo jamu itu bisa dibeli secara bebas. Setelah itu dia terus mengkonsumsi jamu itu. Terus saja begitu. Saya juga sempat ikut minum jamu itu, �.� (Informan 1, 2021)

Munculnya persepsi jamu BKO sebagai produk yang bagus menyebabkan konsumen terus menerus menggunakan produk tersebut dalam keseharian mereka. Informan 2 selalu menggunakan jamu tersebut sebagai peningkat stamina manakala dirinya menerima pesanan kue dalam jumlah yang banyak. Setidaknya ia mengkonsumsi produk tersebut dua kali dalam seminggu. Meskipun ia pernah menerima informasi bahwa produk yang ia konsumsi belum terdaftar di Badan POM, namun ia merasa kebutuhan untuk pesanan itu lebih penting. Ia pun tidak pernah merasakan efek negatif dari jamu tersebut sehingga ia memaafkan dan membenarkan tindakannya itu.�

Sedangkan informan 3 bahkan mengkonsumsi jamu tersebut hampir setiap hari. Aktivitas beratnya dalam mengikuti olahraga sepeda bersama komunitasnya menuntut ia harus bisa mengimbangi kemampuan anggota komunitas yang lain. Ia mengkonsumsi jamu BKO tersebut setiap kali beraktivitas agar dapat menempuh puluhan kilometer setiap kali bersepeda. Meskipun keluarganya telah memberikan peringatan, namun ia tetap bersikukuh meneruskan konsumsi jamu tersebut karena manfaat yang ia rasakan. Baginya jamu yang ia konsumsi telah membantunya dalam beraktivitas.

Pada tahap selanjutnya persepsi kemudian memberikan pengaruh yang besar dalam memunculkan demand jamu BKO di peredaran. Sebagaimana penelitian terdahulu bahwa persepsi konsumen terhadap kualitas produk jamu berpengaruh secara efektif terhadap keputusan pembelian (Istiqomah, 2012). Sementara itu Marwati dan Amidi menyatakan bahwa selain persepsi, kepercayaan dan budaya juga turut mempengaruhi (Marwati & Amidi, 2018).

3.     Tumbuhnya Keyakinan Jamu BKO sebagai Produk yang Bagus

Dengan berjalannya waktu, khasiat yang dirasakan setiap kali mengkonsumsi jamu BKO pada akhirnya menumbuhkan keyakinan akan kualitas jamu tersebut. Konsumen tidak lagi meragukan manfaat jamu tersebut untuk kesehatannya. Setidaknya peneliti mengidentifikasi 3 faktor yang menyebabkan tumbuhnya keyakinan korban bahwa jamu BKO yang ia gunakan sebagai produk yang bagus.

1)    Kepuasan terhadap khasiat. Konsumen merasakan kepuasan terhadap khasiat jamu yang ia rasakan. Rasa sakit dan pegal-pegalnya hilang dan badan terasa lebih bugar. Hal ini tentu tidak mengherankan mengingat jamu tersebut telah dicampur dengan bahan kimia parasetamol dan kafein (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2013). Parasetamol memiliki khasiat menghilangkan nyeri dan demam, sedangkan kandungan kafein berkhasiat meningkatkan peredaran darah (Ikatan Apotker Indonesia, 2019). Rasa puas tersebut menjadikan penggambaran yang terbangun di awal meningkat menjadi rasa yakin.

2)    Merasa terbantu/ tertolong. Dua dari tiga informan menyatakan bahwa jamu BKO yang mereka konsumsi membuat mereka bisa beraktivitas dengan nyaman. Bagi informan 2 jamu tersebut membuat ia bisa terbangun pada jam 2 pagi sehingga ia bisa membuat kue untuk memenuhi pesanan pelanggannya. Sedangkan bagi informan 3, jamu yang ia konsumsi sebelum dan sesudah bersepeda menyebabkan ia bisa dengan nyaman mengayuh sepedanya bersama komunitasnya menempuh jarak yang cukup jauh tanpa merasa lelah. Jamu BKO kemudian menjadi kebutuhan yang tidak bisa mereka tinggalkan, dan mereka menjadi terbiasa dan nyaman dengan mengkonsumsi jamu tersebut, karena membantu/ menolong mereka dalam menjalankan aktivitasnya tanpa hambatan rasa sakit dan lelah.

3)    Kesamaan testimoni beberapa orang. Rasa puas mereka terhadap khasiat jamu yang juga dinyatakan oleh orang lain semakin meningkatkan kepercayaan mereka terhadap kebaikan jamu tersebut. Pernyataan kepuasan mereka menjadi terkonfirmasi benar oleh adanya testimoni orang lain. Sehingga testimoni (pernyataan pengalaman) yang sama semakin memperkuat bahwa pernyataan mereka adalah sebuah fakta atau kebenaran.

Keyakinan tersebut tumbuh karena adanya ketiga faktor yang diterima konsumen tersebut di atas. Satu faktor dengan faktor lain saling menguatkan dalam menumbuhkan kepercayaan konsumen terhadap produk jamu BKO tersebut. Pada tahap ini peringatan apapun tidak terlalu bepengaruh dan cenderung diabaikan oleh konsumen. Hal ini sejalan dengan penelitian yang diungkapkan oleh Ervina dan Ayubi (2018) bahwa variable kepercayaan memberikan pengaruh yang signifikan bagi masyarakat penderita hipertensi dalam memilih pengobatan tradisional (Ervina & Ayubi, 2018).

4.     Munculnya Efek Negatif yang Merugikan

Tanpa disadari, keyakinan korban tersebut semakin hari semakin membuat mereka terjerumus dalam viktimisasi jamu BKO. Ada semacam efek ketergantungan korban terhadap produk tersebut, sehingga dia akan selalu mencari jika membutuhkannya. Namun di sisi lain, efek samping dari bahan kimia yang ada di dalamnya semakin menggerogoti tubuhnya. Setiap orang akan mengalami pengalaman yang berbeda-beda dalam hal ini.

Bagi korban no. 1 tidak memerlukan waktu yang lama untuk merasakan efek negatif dari jamu BKO. Meskipun di awal konsumsi ia merasakan badannya segar bugar dan tidak merasakan capek sama sekali, namun ia kemudian mendapatkan efek tidak bisa tidur selama 2 hari 2 malam yang itu cukup mengganggunya. Ia segera menyadari bahwa ada yang salah dengan jamu tersebut sehingga ia memutuskan untuk berobat ke dokter agar tubuhnya bisa kembali normal seperti sediakala.

��..Saya hanya minum 2 kali saja. Jadi semua empat kapsul, pagi minum dua, mau tidur minum dua. Nah, setelah minum obat itu, saya tidak bisa tidur lagi. Dari malam setelah minum itu sampai pagi hari, lalu pagi harinya sampai malam harinya lagi nggak tidur! Dari sore sampe besok pagi lagi nggak tidur! Akhirnya saya ke dokter�..� (Informan 2, 2021)

Pada korban 2 efek negetif belum benar-benar mengganggunya. Sehingga dengan masih adanya keyakinan terhadap jamu tersebut, ia belum memutuskan untuk berhenti.

�Awal-awal sih nggak tahu. Tapi ke sini-sininya tahu. Setelah tahu, tetep saja minum juga. Karena maksudnya, butuh juga. Toh selama ini nggak apa-apa gitu kan. Mungkin karena kita nggak ada bawaan penyakit apa-apa. Jadi, istilahnya nggak yang bertabrakan sama yang harusnya nggak boleh minum obat (Tawon Liar) ini.� (Informan 3, 2021)

Sedangkan korban 1, ia mendapatkan efek gangguan pada beberapa organ tubuhnya setelah satu setengah tahun mengkonsumsi secara rutin. Saat muncul gangguan pada kesehatannya yang tidak bisa diatasi dengan jamu tersebut, ia mulai mengira ada yang salah dengan jamu yang selama ini ia konsumsi.

���.Dari satu setengah tahun itu dia (almarhum) sempet berhenti, dijarak gitu minumnya, nggak yang setiap hari. Paling seminggu beberapa kali. Tapi, setelah itu, setiap habis main sepeda dia sering ketinggalan dari temen-temenya, sering capek dan napasnya tersengal-sengal.

����Trus, akhirnya berhenti minum itu (Tawon Liar), tapi malah tambah seperti nggak punya stamina, dan tambah loyo. Lalu terakhir, malam-malam itu dia nggak bisa tidur, gelisah dan batuk-batuk terus��� (Informan 1, 2021)

5.     Penderitaan Korban Jamu BKO

Hasil wawancara kepada ketiga informan, penderitaan yang paling berat dialami oleh korban 3. Penderitaan yang dialaminya adalah penderitaan secara fisik. Setelah satu setengah tahun rutin minum jamu BKO, ada saat kemudian ia tidak terlalu rajin mengkonsumsinya. Semula ia minum hampir setiap hari, maka kemudian ia minum hanya beberapa kali dalam seminggu. Di saat frekuensi konsumsinya dikurangi, ia mulai merasakan badannya sering terasa capek dan lemah. Bersepeda ia tertinggal jauh dari teman-temannya. Napas mulai sesak dan tersengal-sengal. badan terasa lemah tidak berdaya.

���.Begitu itu (konsumsi jamu BKO merek Tawon Liar) berlangsung hampir satu tahun setengah. Setelah itu almarhum sempat berhenti minum jamunya, diberi jarak, tidak setiap hari. Seminggu hanya beberapa kali. Tapi, setelah itu setiap bersepeda almarhum sering ketinggalan dari teman-temannya. Lalu sering capek dan napasnya tersengal-sengal. Yaah� kita menganggap itu biasa-biasa saja. Mungkin memang sudah waktunya harus istirahat. Seperti itu yang dikatakan almarhum�.

�Saya juga, sudah punya feeling ada yang tidak beres, gara-gara obat ini (Tawon Liar). Setelah itu dicoba untuk mengurangi konsumsi seminggu hanya beberapa kali, karena kan efeknya seperti itu. Hingga akhirnya berhenti minum itu (tawon liar), tapi justru semakin almarhum tidak punya stamina. Tambah loyo.� (Informan 1, 2021)

Dalam keadaan yang menderita seperti itu, kepercayaan korban masih sangat kuat terhadap produk �Tawon Liar� tersebut. Ia menganggap bahwa sakit yang ia alami saat itu bukanlah sakit yang serius yang diakibatkan oleh jamu BKO yang selama ini ia konsumsi. Hingga akhirnya setelah sakitnya tidak kunjung sembuh, ia mulai mengira bahwa sakitnya itu disebabkan oleh jamu �Tawon Liar� yang selama ini ia minum. Namun setelah ia memutuskan untuk berhenti keadaan fisiknya justru semakin hari semakin bertambah parah. Akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk berobat ke dokter.��

�Lalu terakhir, malam-malam dia tidak bisa tidur, gelisah terus. Dan selama satu minggu batuk-batuk terus sebelum kejadian tidak bisa tidur itu. Batuk terus. Saya bilang, �Ke dokter atuh�, karena dia kan susah ke dokter. �Enggak, ini kan hanya batuk biasa� almarhum bilang begitu. �Paling ini hanya masuk angin, nanti juga hilang�. Tapi kok, sudah seminggu batuknya tambah berat. �Hayuk atuh ke dokter!�. �Enggak!� katanya. Dia ingin coba obat biasa (obat warung) saja. Sudah seperti itu (minum obat warung), batuknya nggak berhenti. Setiap malam tidak bisa tidur. Kalau posisi terlentang dia tidak bisa. Saya jadi curiga. Napasnya berat, lalu dia berkeringat! Akhirnya dalam keadaan begitu dia mau dibujuk ke dokter.� (Informan 1, 2021)

Dokter menyatakan bahwa jantungnya mengalami pembengkakan. Katup jantungnya lemah sehingga tidak cukup kuat untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Menurut informan keadaan tersebut sudah tidak bisa diperbaiki lagi, baik dengan operasi atau pun tindakan yang lain. Korban hanya bisa pasrah dan bergantung pada obat yang diresepkan oleh dokter sampai akhir hayatnya. Selama 4 tahun korban harus mengalami penderitaan tersebut, hingga akhirnya ia tidak mampu bertahan. Sebagaimana penuturan informan 3 sebagai berikut:�

�Saat itu juga dokternya bilang, �Ini jantung kamu bengkak, dan nggak akan bisa kembali normal. Jantungnya akan seperti ini terus� dokter bilang begitu. �Sudah ya berhenti bermain sepedanya. Setelah itu keadaan almarhum semakin berat. Selama empat tahun dia menderita jantung seperti itu, Kami harus bolak-balik ke dokter jantung. Bahkan sampai dikateterisasi segala!. Dan kami juga sudah ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Semua dicek secara lengkap. Sebetulnya ini tidak ada pembuluh darah yang tersumbat, atau harus pasang ring. Penyebabnya si katupnya menjadi lemah. Saya mengira itu semua karena minum jamu itu. Jantungnya kan jadi memacu terus. Dokternya juga bilang seperti itu. Seharusnya almarhum istirahat. Karena tidak ada rasa capek, jadi almarhum terus minum. Nah, akhirnya katup jantungnya kalah. Tidak bisa memompa dengan benar�..�(Informan 1, 2021)

Berdasarkan pengamatan peneliti, secara ekonomi korban dan keluarganya nampaknya tidak mengalami masalah yang berarti. Perekonomian keluarganya banyak ditopang oleh orang tuanya. Namun setidaknya ada biaya pengobatan yang harus dikeluarkan selama 3 tahun tersebut. Informan menyatakan setidaknya seratus juta rupiah harus ia keluarkan untuk membayar dokter, membeli obat jantung serta biaya perawatan selama di rumah sakit. ���

6.     Keputusan Berhenti

Nampaknya keputusan berhenti amat sulit dilakukan di tengah-tengah konsumen merasakan manfaat dari jamu BKO. Mereka baru bisa berhenti setelah benar-benar merasakan dampak negatif dari jamu yang mereka konsumsi. Bahkan mereka baru menyadarinya setelah dokter yang mengobatinya memberikan pengertian. Pihak manapun tidak mampu menyadarkan mereka untuk berhenti sebelum semuanya terlambat. Seperti yang diungkapkan informan 3:

��.Memang kalo minum itu (jamu BKO merek Tawon Liar), nggak pernah ada rasa capek. Almarhum itu pulang bersepeda, kan terus minum. Pulang dari bersepeda jauh dari manapun dia tidak pernah merasa capek. Tidak pernah merasa mengantuk di siang hari setelah bersepeda. Baru tertidur setelah larut malam. Lama kelamaan saya khawatir juga. Saya bilang begini, �Jangan minum jamu seperti itu, nanti efeknya kita nggak tahu�. �Ih!, tidak apa-apa dek!�. Pokoknya almarhum ngeyel, nggak bisa dibilangin �..� (Informan 1, 2021)

Konsumen yang merasa tidak cocok, atau merasakan efek yang tidak menyenangkan setelah minum jamu BKO, ia akan segera memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi. Seperti yang dialami korban 1 sebagai berikut.

�Naah habis minum obat itu, sudah! Nggak bisa tidur lagi itu. Yang malem itu (setelah minum Tawon Liar), terus sampe pagi. Lalu dari pagi itu sampe sore nggak tidur. Dari sore sampe pagi besok lagi nggak tidur! Akhirnya saya ke dokter.�

����.Matanya itu biarpun merem tetep nggak bisa. Maksudnya itu mata dipejamkan, tapi tetep saja mendengar. Suara apapun tahu. Biar semenitpun nggak tidur. Ini sudah over dosis� (Informan 2, 2021).

Namun demikian meskipun telah berhenti, bagi mereka ketidakcocokan ini mungkin masih dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja sampai mereka benar-benar tidak berdaya. Mereka baru benar-benar menyadari bahwa mereka telah menjadi korban jamu BKO adalah setelah korban menderita sakit parah yang tidak bisa diatasi dengan jamu BKO yang selama ini dikonsumsi.

Sementara itu, penelitian Hapsari (2011) mengungkapkan bahwa penurunan frekuensi konsumsi jamu BKO dipengaruhi oleh adanya persepsi tentang potensi bahayanya (Hapsari, 2011). Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini. Penelitian Hapsari (2011) mengukur perubahan frekuensi konsumsi setelah dilakukan intervensi kepada konsumen jamu, sedangkan penelitian ini tidak dilakukan intervensi apapun. Keputusan untuk mengurangi atau berhenti mengkonsumsi dipengaruhi oleh efek buruk yang dirasakan oleh konsumen atau korban.

 

Kesimpulan

Konsumen jamu berbahan kimia obat dapat ditemukan pada saat mereka membeli di kios-kios jamu. Mereka adalah konsumen yang menginginkan efek instan dari jamu dan tidak menyadari adanya efek buruk yang akan dirasakan di masa mendatang. Hasil penelitian ini menunjukkan peristiwa proses viktimisasi terjadi pada konsumen jamu berbahan kimia obat merek Tawon Liar. Proses viktimisasi tersebut melalui tahapan awal mula viktimisasi, terbentuknya persepsi, tumbuhnya kepercayaan, munculnya efek yang merugikan dan keputusan untuk berhenti. Proses viktimisasi jamu berbahan kimia obat bisa berlangsung singkat, namun bisa pula berlangsung lama. Dampak terhadap kesehatan pun berbeda-beda tergantung pada frekuensi penggunaannya. Konsumen yang mengkonsumsi Tawon Liar setiap hari berisiko tinggi menderita penyakit jantung yang dapat mengakibatkan kematian. Sedangkan konsumen yang lebih jarang mengkonsumsi berisiko menderita gangguan tidur dan badan menjadi lemas. Penelitian mengenai korban perlu diperluas lagi terhadap merek-merek jamu lain yang terbukti positif mengandung bahan kimia obat, serta memperluas kriteria korban seperti pasien-pasien di rumah sakit yang tercatat mengalami kasus pasca mengkonsumsi jamu BKO.

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Andriati, Andriati &., & Wahjudi, Teguh. (2016). Tingkat penerimaan penggunaan jamu sebagai alternatif penggunaan obat modern pada masyarakat ekonomi rendah-menengah dan atas Society�s acceptance level of herb as alternative to modern medicine for lower, middle, and upper class group. Masyarakat, Kebudayan Dan Politik, 29, 133�145. Google Scholar

 

Anjarwati, Aan. (2009). Uji pendahuluan..., Aan Anjarwati, FK UI., 2009. Google Scholar

 

Badan Litbang Kesehatan. (2019). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Google Scholar

 

Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2013). Public Warning NOMOR HM.03.05.1.43.11.13.4940 tentang Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia Obat Tahun 2013. (April). Google Scholar

 

Badan POM. (2019). Peraturan Badan POM No.32 Tahun 2019 tentang Persyaratan dan Keamanan Mutu Obat Tradisional. Google Scholar

 

Dewi, Ratna Sari, Pratiwi, Erniza, & Muharni, Septi. (2019). Penggunaan Obat Tradisional Oleh Masyarakat Di Kelurahan Tuah Karya Kota Pekanbaru. 8(September). Google Scholar

 

Ervina, Lissa, & Ayubi, Dian. (2018). Peran Kepercayaan Terhadap Penggunaan Pengobatan Tradisional Pada Penderita Hipertensi Di Kota Bengkulu Bengkulu City. 1(1), 1�9. Google Scholar

 

Fikayuniar, Lia, Abriyani, Ermi, Farmasi, Fakultas, Buana, Universitas, Karawang, Perjuangan, & Barat, Jawa. (2020). Analisis Kualitatif Kandungan Bahan Kimia Obat Prednison pada Jamu Rematik dan Pegal Linu di Daerah Karawang Barat. Pharma Xplore, 5(2), 68�75. Google Scholar

 

Hapsari, Pascalia Riska Prastika. (2011). Korelasi antara Persepsi Bahaya Bahan Kimia Obat dan Perubahan Frekuensi Konsumsi Jamu Pegal Linu pada Konsumen Kios Jamu di Eks Kotip Cilacap. Google Scholar

 

Istiqomah, Nurul. (2012). Persepsi kualitas dengan keputusan pembelian pada konsumen produk jamu � x � di dusun nologaten. Google Scholar

 

Kementerian Kesehatan RI. (2015). Pembuatan Jamu Segar yang Baik dan Benar. Google Scholar

 

Marwati, & Amidi. (2018). Pengaruh budaya, persepsi, dan kepercayaan terhadap keputusan pembelian obat herbal. Jurnal Ilmu Manajemen, 7, 168�180. Google Scholar

 

Oesman, Yevis Marty, Yunizar, Komara, Ratna, & Helmi, Arief. (2013). Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Obat Herbal. Google Scholar

 

Permata, Rani Wahyu. (2017). Eksistensi Jamu Tradisional Dalam Perspektif Sosiologi Komunikasi (Studi Fenomenologi Eksistensi Jamu Tradisional Di Dusun Sukoharjo, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta Periode April-Juli 2017). Google Scholar

 

Puspariki, Jenta, & Suharti. (2019). Persepsi Masyarakat Terhadap Pengobatan Tradisional Berdasarkan Pendidikan Di Kabupaten Purwakarta. Journal of Holistic and Health Sciences, 3, 54�59. Google Scholar

 

Republik Indonesia. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. , (1999). Google Scholar

 

Republik Indonesia. Undang-undang RI No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. , (2009). Google Scholar

 

Rusmalina, Siska, Khasanah, Kharismatul, & Nugroho, Denny Kurniawan. (2020). �Deteksi Asam Mefenamat pada Jamu Pegel Linu yang beredar di Wilayah Pekalongan. Pharmacon: Jurnal Farmasi Indonesia, Edisi Khus, 51�60. Google Scholar

 

 

Copyright holder:

Kustantri Wahyuni, Vinita Susanti (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: