Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 6, No. 2, Special Issue, Desember 2021
�
VIKTIMISASI KONSUMEN JAMU
BERBAHAN KIMIA OBAT MEREK TAWON LIAR
Kustantri Wahyuni, Vinita
Susanti
Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Jamu sebagai warisan budaya Indonesia telah tercoreng oleh jamu berbahan kimia obat. Pencampuran jamu dengan bahan kimia obat sekilas nampak sebagai kejahatan yang �biasa-biasa� saja. Namun secara ilmiah diketahui bahwa kimia obat sangat membahayakan jika dikonsumsi tanpa dosis dan aturan yang tepat. Beberapa literatur menunjukkan bahan kimia obat dalam jamu menyebabkan gangguan jantung, gagal ginjal, perforasi lambung, osteoporosis hingga menimbulkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana proses viktimisasi yang terjadi pada konsumen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan wawancara tidak terstruktur. Data diambil secara kualitatif dengan teknik purposive sampling kepada pengguna jamu berbahan kimia obat merek Tawon Liar. Jamu berbahan kimia obat merek Tawon Liar dipilih karena banyak ditemukan di kios-kios jamu di peredaran. Hasil penelitian menunjukkan proses viktimisasi berawal ketika korban memiliki kebutuhan untuk menyembuhkan penyakitnya. Adanya perasaan puas terhadap khasiat jamu berbahan kimia obat tersebut menyebabkan penggunaan secara kontinu. Hingga akhirnya pada satu titik korban merasakan efek negatifnya dan tersadar bahwa itu disebabkan oleh jamu yang ia konsumsi. Proses viktimisasi terhadap korban bisa berlangsung secara singkat, namun bisa pula berlangsung lama. Dampak terhadap kesehatan pun berbeda-beda tergantung pada frekuensi penggunaannya. Kerugian fisik yang dialami antara lain gangguan tidur, badan terasa lemas, batuk-batuk, gangguan jantung hingga mengakibatkan kematian.
Kata Kunci: bahan kimia obat; jamu; obat herbal; viktimisasi
Abstract
Jamu as Indonesia's
cultural heritage has been tarnished by herbal medicine mixed with active
pharmaceutical ingredients (API). Mixing herbs with API seems not a serious
crime. However, it is scientifically known that API are very dangerous if
consumed without proper dosage and its rules of use. Some literature shows that
the API in herbal medicine can cause heart desease, kidney failure, gastric
perforation, osteoporosis and even death. This study aims to reveal how the
victimization process happened to consumers. The method used in this research
is qualitative with unstructured interviews. Data were taken using purposive
sampling technique. Tawon Liar was chosen because it is commonly found in
Indonesian traditional market. The results show that the victimization process
begins when victim has a need to heal their illness without going to a doctor.
The satisfaction feeling with the efficacy of herbal medicine mixed with APIs
then causes continuous his consumption. Until finally the victim felt the
negative effects and realized that it was caused by the herbs he has consumed.
The victimization process can be last in short or in a long time. The impact on
health also varies depending on the frequency of use. Physical impact include sleep disorder, body feels very weak, coughs, heart
problems and death.
Keywords: jamu; herbal medicine; active pharmaceutical
ingredients (API); victimization
Received: 2021-11-20;
Accepted: 2021-12-05; Published: 2021-12-07
Pendahuluan
Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan 44,3% penduduk Indonesia mengkonsumsi jamu sebagai alternatif pengobatan, baik untuk tujuan pemeliharaan kesehatan atau pun penyembuhan penyakit (Badan Litbang
Kesehatan, 2019). Menurut Permata (2017) keberadaan jamu sejak dahulu hingga saat ini menunjukkan bahwa jamu adalah
warisan leluhur yang dipertahankan (Permata, 2017).
Kegiatan memproduksi dan
mengedarkan jamu yang dicampur dengan bahan kimia obat di Indonesia merupakan
tindak pidana. Pelaku dapat dijerat menggunakan Pasal 196 UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun penjara
dan/atau denda 1 milyar rupiah (Republik Indonesia, 2009)
atau Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman
pidana penjara 5 tahun dan/atau denda 2 milyar rupiah (Republik Indonesia, 1999).
Beberapa literatur menunjukkan bahwa penggunaan
jamu berbahan kimia obat berkorelasi dengan beberapa penyakit seperti penyakit
lambung dan gagal ginjal. Seperti dalam penelitian yang dilakukan Anjarwati menunjukkan beberapa jamu antirematik yang beredar di pasaran mengandung beberapa jenis bahan kimia obat antara lain fenilbutason, metampiron dan steroid (Anjarwati,
2009). Penelitian Fikayuniar & Abriyani mengungkap
adanya kandungan prednisone pada jamu rematik dan pegal linu di Karawang Barat (Fikayuniar et al., 2020).
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap berbagai merek jamu pegal linu di
Pekalongan juga ditemukan adanya kandungan kimia obat asam mefenamat (Rusmalina, Khasanah, & Nugroho, 2020).
Pernyataan tersebut menyiratkan adanya bukti empiris yang
memperlihatkan adanya dampak negatif akibat konsumsi jamu berbahan kimia
obat berupa penyakit gagal ginjal dan
perforasi lambung.
Namun demikian, selama ini tidak diketahui keberadaan korban jamu berbahan
kimia obat dan bagaimana proses viktimisasi mereka terjadi. Penelitian ini
dilakukan untuk mengungkap itu semua.
(Andriati & Wahjudi, 2016) menyebutkan istilah jamu dalam penelitiannya adalah dari kata Djamoe, yaitu akronim dari kata
djampi dan oesodo (husada). Djampi memiliki arti doa atau obat, sedangkan oesodo (husada) berarti sehat atau kesehatan.
Dengan demikian, maka djamoe dapat diartikan sebagai doa atau obat yang menyehatkan. Lebih jauh Andriati &Wahjudi juga
menyatakan bahwa jamu merupakan bagian dari pengobatan tradisional yang telah digunakan dari generasi ke generasi untuk mengobati penyakit dan memelihara kesehatan tubuh (Andriati & Wahjudi, 2016). Sedangkan pengertian jamu dalam buku Pembuatan Jamu Segar yang Baik adalah
warisan budaya bangsa Indonesia
yang berupa ramuan bahan dari tumbuhan obat yang digunakan secara turun temurun dan telah terbukti aman serta bermanfaat bagi
kesehatan (Kementerian
Kesehatan RI, 2015). Lain halnya dengan definisi jamu menurut Badan POM
adalah Obat
Tradisional yang dibuat di Indonesia. Sementara itu obat tradisional sendiri
didefinisikan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Badan POM, 2019).
Merujuk pada
uraian tersebut di atas, maka pengertian jamu dapat pula mengarah kepada obat alami yang
digunakan pada pengobatan tradisional di Indonesia,
sehingga dapat pula disebut sebagai obat tradisional. Oleh
sebab itu untuk selanjutnya maka pengertian jamu dalam artikel ini sama dengan
obat tradisional, dan dibatasi untuk produk yang dibuat oleh masyarakat
Indonesia.
Sedangkan bahan kimia obat (BKO) dalam hal ini adalah sintesa
kimiawi dari bahan alam yang secara umum digunakan dalam metode
pengobatan secara modern.
Dalam hal ini penggunaan BKO pada pengobatan modern akan disertai dengan takaran/dosis, cara pakai tertentu dan ketentuan-ketentuan lain
yang harus diikuti untuk menjamin keamanan dan kesehatan penggunanya (Badan POM, 2006).
Dengan demikian maka dapat
dikatakan bahwa BKO pada
dasarnya adalah senyawa kimia yang bersifat racun apabila penggunaannya
tidak sesuai dengan aturan-aturan
yang telah ditentukan. Seperti misalnya ketentuan penggunaan seperti sebelum atau sesudah makan,
sebelum atau sesudah bangun tidur, maupun interaksi
dengan senyawa kimia lain. Selain
takaran/ dosis, ketentuan-ketentuan tersebut juga dapat mempengaruhi bekerjanya obat di dalam
tubuh. Hal tersebut disebabkan
oleh cara kerja bahan kimia
obat yang langsung bekerja pada organ-organ vital, sehingga penggunaan yang tidak sesuai dengan
aturan dan ketentuan tersebut akan mengganggu fungsi dan kerja organ tersebut. Takaran dosis dan penggunaan yang tidak tepat bukannya menyembuhkan, tapi justru akan merusak tubuh. Oleh sebab itu
penggunaan bahan kimia obat tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Seperti pencampuran bahan kimia obat dalam jamu oleh pelaku yang tidak memiliki pengetahuan dan keahlian di
bidang farmasi atau kedokteran akan sangat
membahayakan kesehatan konsumen.
Dalam
kegiatan pengawasannya Badan POM menemukan banyak jenis obat tradisional yang
sering dicampurkan
dengan BKO tertentu, misalnya jamu pegal linu/ rematik sering kali ditemukan
mengandung Phenilbutazone, antalgin (metampiron), natrium diklofenak, piroksikam, parasetamol, prednison,
dan deksametason; jamu pelangsing
sering kali ditemukan mengandung Sibutramin HCl, jamu kencing manis sering ditemukan
mengandung glibenklamid; dan jamu obat kuat/ peningkat stamina pria sering kali
ditemukan mengandung sildenafil sitrat atau turunannya (Badan POM, 2006).
Lebih jauh dijelaskan pula dampak buruk atau bahaya dari BKO yang sering ditambahkan dalam jamu tersebut di atas. Sebagai contoh kandungan fenilbutazon dalam jamu pegal
linu dapat menyebabkan gangguan pada saluran cerna seperti mual, diare atau
bahkan dapat menyebabkan pendarahan dan perlukaan pada lambung. Efek samping
lain juga dilaporkan adanya pembengkakan pada jantung (angioedema), penyempitan
saluran napas (bronkospasme), vertigo, gangguan pendengaran hingga urin
berdarah (hematuria). Tidak hanya itu, phenilbutazon juga tercatat dapat
menyebabkan hepatitis, gangguan pembentukan darah yang kemudian menyebabkan
anemia aplastik, kekurangan darah putih (leukopenia), kekurangan trombosit
(trombositopenia), kegagalan tubuh membentuk granulosit sejenis sel darah putih
(agaranulositosis), dan masih banyak gangguan fatal lainnya. Contoh lain adalah
kandungan dexamethasone dalam jamu pegal linu, encok atau rematik dapat
menyebabkan gangguan mental dan euphoria. Pada lansia dexamethasone dapat
menyebabkan diabetes dan osteoporosis, sedangkan bagi anak-anak senyawa kimia
obat ini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, termasuk pertumbuhan janin
pada ibu hamil. Sedangkan kandungan sildenafil citrate pada jamu obat kuat (stamina
pria) dapat menyebabkan serangan jantung hingga menimbulkan kematian.
Selain dampak buruk BKO di
atas, masih ada dampak buruk lain dari beberapa jenis bahan kimia lain seperti
paracetamol yang dapat menyebabkan kerusakan pada liver, teofilin yang dapat
menyebabkan gangguan irama jantung, sakit kepala dan insomnia atau sibutramine
yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
Metode Penelitian
Untuk mendapatkan informasi
yang mendalam mengenai viktimisasi yang dialami korban, penelitian sebaiknya
menggunakan metode kualitatif dengan wawancara tidak terstruktur
(Maxfield&Babbie, 2015). Meskipun penelitian mengenai korban kejahatan
selama ini lebih banyak dilakukan dengan survey (Mustofa, 2015), namun peneliti
memilih menggunakan metode kualitatif untuk mengungkap peristiwa viktimisasi
yang dialami korban. Target data dalam penelitian ini difokuskan pada informasi
tentang bagaimana awal mula viktimisasi dan bagaimana proses viktimisasi
tersebut berjalan. Pendekatan ini juga dilakukan untuk memperoleh informasi
tentang hal-hal apa saja yang mempengaruhi konsumen memilih jenis jamu berbahan
kimia obat dibandingkan dengan jamu lain maupun pengobatan modern. Metode
wawancara tidak terstruktur seperti ini telah digunakan pada berbagai jenis
kejahatan dan oleh para peneliti dengan pendekatan berbagai perspektif (Lorraine;
et al., 2009).
Kriteria informan yang diambil
dalam penelitian ini adalah konsumen jamu BKO yang masih aktif minum jamu
tersebut, atau menderita sakit yang diakibatkan oleh jamu BKO atau keluarga
korban pengguna jamu berbahan kimia obat yang telah meninggal. Penentuan
informan dilakukan secara purposive sampling dan snow ball untuk pengembangan
informan berikutnya. Informan tersebut kemudian dilakukan wawancara tidak terstruktur
mengenai bagaimana keseharian mereka, bagaimana proses awal viktimisasi, apa
yang mereka rasakan� hingga dampak
kerugian yang dialami. Instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data
ini adalah alat perekam suara, alat peraga (beberapa contoh produk jamu
berbahan kimia obat sesuai Daftar Public Warning Badan POM) serta pedoman
wawancara. Adapun jenis produk jamu berbahan kimia pada penelitian ini dibatasi
pada merek Tawon Liar (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2013).
Hal ini dikarenakan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan merek Tawon Liar
banyak dijualbelikan di kios-kios jamu.
Hasil dan Pembahasan
Peneliti
melakukan wawancara terhadap 3 (tiga) informan yang masing-masing memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Informan pertama adalah seorang istri dari
korban meninggal yang memiliki riwayat mengkonsumsi jamu Tawon Liar secara
rutin di akhir hidupnya. Informan kedua adalah seorang ibu rumah tangga yang
memiliki pengalaman buruk pada saat pertama kali mengkonsumsi jamu ilegal merek
Tawon Liar. Sedangkan informan ketiga adalah seorang ibu rumah tangga sekaligus
berwirausaha membuka warung kue-kue basah yang ia produksi sendiri. Yang
bersangkutan memiliki pengalaman mengkonsumsi jamu Tawon Liar selama hampir 2 tahun,
dan masih mengkonsumsi hingga saat proses wawancara berlangsung.
Tabel 1
�Daftar Informan Korban Jamu Berbahan Kimia
Obat
Karakteristik |
Korban 1 (Informan:
istri korban) |
Korban 2,
(Informan: ybs) |
Korban 3,
(Informan: ybs) |
Pekerjaan |
Wirausaha (home industry) |
Ibu Rumah Tangga |
Wirausaha (home industry) |
Usia |
43 tahun |
46 tahun |
36 tahun |
Kriteria konsumen |
Konsumen meninggal |
Konsumen Pasif |
Konsumen Aktif |
Merek Jamu BKO |
Tawon Liar |
Tawon Liar |
Tawon Liar |
Sumber informasi awal |
Kakak dan orang tua� korban |
Tetangga dekat |
Kerabat dekat |
Tempat tinggal |
Bogor |
Jakarta Selatan |
Jakarta Selatan |
Frekuensi konsumsi jamu BKO |
Setiap akan dan selesai beraktivitas |
Satu kali |
Seminggu 2 kali |
Durasi konsumsi |
3 tahun |
Satu kali (setahun yang lalu) |
2 tahun |
Efek negatif yang dirasakan |
Meninggal dengan diagnosa
pembengkakan pada jantung |
Tidak bisa tidur selama 2 x 24 jam,
lemas selama 2 minggu setelah efek jamunya hilang |
Lemas setelah efek jamunya hilang |
Aktivitas rutin |
Komunitas sepeda |
Ibu Rumah Tangga, kader PKK, majelis
taklim |
Membuat aneka kue di rumah, untuk dijual |
Hasil
wawancara tidak terstruktur terhadap ketiga informan di atas diperoleh data dan
informasi mengenai proses viktimisasi yang dapat digambarkan dengan bagan alur
di bawah ini:�
PERSEPSI
UMUM TENTANG JAMU SBG OBAT HERBAL TERBUAT DARI BAHAN ALAMI Mencoba produk jamu BKO
�X� Motif Kebutuhan
(Mengobati sakit/pegal/ capek) Testimoni khasiat produk
jamu BKO �X� Promosi produk jamu BKO
�X� Cocok, kebutuhan
terpenuhi (capek/ pegal hilang) Tidak cocok,
efek negative thd kesehatan Persepsi
baru (jamu BKO �X�) adalah produk bagus Kontinuitas penggunaan STOP penggunaan jamu BKO Persepsi
baru (jamu BKO �X�) tidak bagus Muncul efek
negatif thd kesehatan Kontinuitas penggunaan Kontinuitas penggunaan Promosi kepada
orang lain, disertai testimoni Percaya
(jamu BKO �X�) adalah produk bagus Berobat ke dokter Berobat ke dokter Konsumsi obat
sesuai kaidah Konsumsi obat
sesuai kaidah STOP penggunaan jamu BKO Terlambat Belum
Terlambat Sembuh Meninggal Awal
viktimisasi korban berikutnya Persepsi awal terhadap
jamu BKO �X� (netral)
Gambar 1
Bagan Proses Viktimisasi Konsumen Jamu Berbahan Kimia
Obat
Secara umum persepsi yang berkembang di masyarakat
mengenai jamu adalah obat herbal yang terbuat dari bahan alami sehingga aman
untuk dikonsumsi (Dewi, Pratiwi, & Muharni, 2019). �Masyarakat
cenderung memiliki persepsi yang positif mengenai jamu sebagai obat herbal
berkhasiat, alami dan tidak banyak menimbulkan efek samping (Oesman, Yunizar, Komara, & Helmi, 2013). Akan tetapi apakah sebuah produk (misalnya produk �X�) dinilai sebagai
produk yang bagus atau tidak, hal tersebut tergantung pada khasiat/ efek yang
dirasakan oleh konsumen. Apapun nama atau jenis produknya, jika jamu/ obat
herbal tersebut mampu menghilangkan/menyembuhkan rasa sakit/ pegal/ capeknya,
maka produk tersebut akan dinilai sebagai produk yang bagus. Meskipun menurut Puspariki& Suharti (2019) persepsi masyarakat terhadap jamu juga dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan (Puspariki
& Suharti, 2019).�
Inilah titik awal terjadinya
viktimisasi pada korban jamu berbahan kimia obat. Seperti penuturan informan
no.3 berikut:
�Awal mulanya
menggunakan itu, awalnya kan badannya terasa pegal banget, capek banget. Lalu,
entah siapa yang menawarkan. Aslinya bukan Pak A***, yang menawarkan itu.
Mungkin Mbak B***, atau Mbak C*** istrinya Mas D***, atau bahkan mas D*** ya?. Pokoknya waktu itu saya diberikan satu bungkus. Nah,
selesai habis minum obat itu pagi-paginya itu badan saya bener-bener yang
pegelnya itu ilang sama sekali.� (Informan 3, 2021)
Saat promosi datang kepada calon
konsumen, produk jamu berbahan kimia obat selalu diperkenalkan sebagai obat herbal
yang berkhasiat. Adanya dorongan dan keinginan untuk segera sembuh membuat
calon konsumen menjadi tertarik dan memberikan perhatian lebih. Bagi mereka
jamu bisa menjadi pengobatan alternatif di samping pengobatan medis (Oesman
et al., 2013). Motif kebutuhan konsumen untuk sembuh yang dipertemukan dengan
penawaran obat herbal yang berkhasiat, disertai dengan testimoni pengalaman
pengguna sebelumnya menjadi alasan yang kuat bagi korban untuk mencobanya. Yang
bersangkutan pun merasa tidak perlu untuk melakukan cross check tentang
keabsahan produk tersebut. Hal ini disebabkan testimoni dan promosi yang ia dapatkan
berasal dari orang yang selama ini ia percayai. Kalaupun ada, cross check
yang dilakukan adalah melakukan konfirmasi mengenai khasiat jamu tersebut
kepada orang lain yang pernah mengkonsumsinya.
Korban 1 mendapatkan informasi dari
kakak dan orang tua kandungnya., korban 2 mendapatkannya dari tetangga dekat
dan korban 3 menerima dari kerabat dekat. Oleh sebab itu ketiganya merasa telah
mendapatkan alasan yang cukup kuat untuk mencoba jamu tersebut. Mereka yakin
bahwa orang yang mempromosikan dan menyampaikan testimoninya tidak akan
berbohong atau menipu diri mereka.���
Ketiga korban mencoba produk jamu
berbahan kimia obat dengan merek yang sama yaitu Tawon Liar. Secara umum
ketiganya merasakan efek yang sama, yaitu rasa sakit, capek dan pegal-pegalnya
hilang dan mereka merasa sembuh. Ketiganya bisa beraktivitas dengan lancar
tanpa ada hambatan sesuai dengan keinginannya.
2. Munculnya Persepsi Jamu BKO sebagai
Produk yang Bagus
�Nah, saat
bersepeda itu dia ingin staminanya kuat, mungkin ya. Lalu, suatu hari, dia
(almarhum) pernah saat sedang pergi ke Bandung mengunjungi orang tuanya,
mengatakan kalo dirinya merasa capek. Mudah sekali capek. Kemudan kakaknya
menawarkan supaya dia minum Tawon Liar. Orang tuanya juga mengatakan hal yang
sama bahwa mereka minum Tawon Liar itu tidak pernah merasa capek, tidur juga.
Tapi, kalo tidur sih masih bisa. Dalam beraktivitas itu tidak pernah capek,
tidak pernah pegal-pegal. Nah, saat itu dia mencoba sekali, lalu dia mengatakan
kalo dirinya merasa enak. Kakaknya menginformasikan kalo jamu itu bisa dibeli
secara bebas. Setelah itu dia terus mengkonsumsi jamu itu. Terus saja begitu.
Saya juga sempat ikut minum jamu itu, �.� (Informan 1, 2021)
Munculnya persepsi jamu BKO sebagai
produk yang bagus menyebabkan konsumen terus menerus menggunakan produk
tersebut dalam keseharian mereka. Informan 2 selalu menggunakan jamu tersebut
sebagai peningkat stamina manakala dirinya menerima pesanan kue dalam jumlah
yang banyak. Setidaknya ia mengkonsumsi produk tersebut dua kali dalam
seminggu. Meskipun ia pernah menerima informasi bahwa produk yang ia konsumsi
belum terdaftar di Badan POM, namun ia merasa kebutuhan untuk pesanan itu lebih
penting. Ia pun tidak pernah merasakan efek negatif dari jamu tersebut sehingga
ia memaafkan dan membenarkan tindakannya itu.�
Sedangkan informan 3 bahkan
mengkonsumsi jamu tersebut hampir setiap hari. Aktivitas beratnya dalam
mengikuti olahraga sepeda bersama komunitasnya menuntut ia harus bisa
mengimbangi kemampuan anggota komunitas yang lain. Ia mengkonsumsi jamu BKO
tersebut setiap kali beraktivitas agar dapat menempuh puluhan kilometer setiap
kali bersepeda. Meskipun keluarganya telah memberikan peringatan, namun ia
tetap bersikukuh meneruskan konsumsi jamu tersebut karena manfaat yang ia
rasakan. Baginya jamu yang ia konsumsi telah membantunya dalam beraktivitas.
Pada tahap selanjutnya persepsi
kemudian memberikan pengaruh yang besar dalam memunculkan demand jamu
BKO di peredaran. Sebagaimana penelitian terdahulu bahwa persepsi konsumen
terhadap kualitas produk jamu berpengaruh secara efektif terhadap keputusan
pembelian (Istiqomah, 2012). Sementara itu Marwati dan Amidi menyatakan bahwa selain persepsi,
kepercayaan dan budaya juga turut mempengaruhi (Marwati & Amidi, 2018).
3. Tumbuhnya Keyakinan Jamu BKO
sebagai Produk yang Bagus
1) Kepuasan
terhadap khasiat. Konsumen
merasakan kepuasan terhadap khasiat jamu yang ia rasakan. Rasa sakit dan
pegal-pegalnya hilang dan badan terasa lebih bugar. Hal ini tentu tidak
mengherankan mengingat jamu tersebut telah dicampur dengan bahan kimia parasetamol
dan kafein (Badan
Pengawas Obat dan Makanan, 2013). Parasetamol memiliki khasiat menghilangkan nyeri dan
demam, sedangkan kandungan kafein berkhasiat meningkatkan peredaran darah
(Ikatan Apotker Indonesia, 2019). Rasa puas tersebut menjadikan
penggambaran yang terbangun di awal meningkat menjadi rasa yakin.
2)
Merasa terbantu/ tertolong. Dua dari tiga informan menyatakan bahwa jamu BKO yang
mereka konsumsi membuat mereka bisa beraktivitas dengan nyaman. Bagi informan 2
jamu tersebut membuat ia bisa terbangun pada jam 2 pagi sehingga ia bisa
membuat kue untuk memenuhi pesanan pelanggannya. Sedangkan bagi informan 3,
jamu yang ia konsumsi sebelum dan sesudah bersepeda menyebabkan ia bisa dengan
nyaman mengayuh sepedanya bersama komunitasnya menempuh jarak yang cukup jauh
tanpa merasa lelah. Jamu BKO kemudian menjadi kebutuhan yang tidak bisa
mereka tinggalkan, dan mereka menjadi terbiasa dan nyaman dengan mengkonsumsi
jamu tersebut, karena membantu/ menolong mereka dalam menjalankan aktivitasnya
tanpa hambatan rasa sakit dan lelah.
3)
Kesamaan testimoni beberapa orang. Rasa puas mereka terhadap khasiat jamu yang juga
dinyatakan oleh orang lain semakin meningkatkan kepercayaan mereka terhadap
kebaikan jamu tersebut. Pernyataan kepuasan mereka menjadi terkonfirmasi benar
oleh adanya testimoni orang lain. Sehingga testimoni (pernyataan pengalaman)
yang sama semakin memperkuat bahwa pernyataan mereka adalah sebuah fakta atau
kebenaran.
Keyakinan tersebut tumbuh karena adanya ketiga faktor
yang diterima konsumen tersebut di atas. Satu faktor dengan faktor lain saling menguatkan
dalam menumbuhkan kepercayaan konsumen terhadap produk jamu BKO tersebut. Pada tahap
ini peringatan apapun tidak terlalu bepengaruh dan cenderung diabaikan oleh
konsumen. Hal ini sejalan dengan penelitian yang diungkapkan oleh Ervina
dan Ayubi (2018) bahwa variable kepercayaan
memberikan pengaruh yang signifikan bagi masyarakat penderita hipertensi dalam
memilih pengobatan tradisional (Ervina
& Ayubi, 2018).
4. Munculnya Efek Negatif yang Merugikan
Bagi korban no. 1 tidak memerlukan
waktu yang lama untuk merasakan efek negatif dari jamu BKO. Meskipun di awal konsumsi
ia merasakan badannya segar bugar dan tidak merasakan capek sama sekali, namun
ia kemudian mendapatkan efek tidak bisa tidur selama 2 hari 2 malam yang itu
cukup mengganggunya. Ia segera menyadari bahwa ada yang salah dengan jamu
tersebut sehingga ia memutuskan untuk berobat ke dokter agar tubuhnya bisa
kembali normal seperti sediakala.
��..Saya hanya minum 2 kali saja. Jadi semua empat kapsul,
pagi minum dua, mau tidur minum dua. Nah, setelah minum obat itu, saya tidak
bisa tidur lagi. Dari malam setelah minum itu sampai pagi hari, lalu pagi
harinya sampai malam harinya lagi nggak tidur! Dari sore sampe besok pagi lagi
nggak tidur! Akhirnya saya ke dokter�..� (Informan 2,
2021)
Pada korban 2 efek negetif belum
benar-benar mengganggunya. Sehingga dengan masih adanya keyakinan terhadap jamu
tersebut, ia belum memutuskan untuk berhenti.
�Awal-awal sih
nggak tahu. Tapi ke sini-sininya tahu. Setelah tahu, tetep saja minum juga.
Karena maksudnya, butuh juga. Toh selama ini nggak apa-apa gitu kan. Mungkin karena
kita nggak ada bawaan penyakit apa-apa. Jadi, istilahnya nggak yang bertabrakan
sama yang harusnya nggak boleh minum obat (Tawon Liar) ini.� (Informan 3, 2021)
Sedangkan korban 1, ia mendapatkan
efek gangguan pada beberapa organ tubuhnya setelah satu setengah tahun
mengkonsumsi secara rutin. Saat muncul gangguan pada kesehatannya yang tidak
bisa diatasi dengan jamu tersebut, ia mulai mengira ada yang salah dengan jamu
yang selama ini ia konsumsi.
���.Dari satu setengah tahun itu dia (almarhum) sempet berhenti, dijarak gitu minumnya, nggak yang setiap hari. Paling seminggu beberapa kali. Tapi, setelah itu, setiap habis main sepeda dia sering ketinggalan dari temen-temenya, sering capek dan napasnya tersengal-sengal.
����Trus,
akhirnya berhenti minum itu (Tawon Liar), tapi malah tambah seperti nggak punya
stamina, dan tambah loyo. Lalu terakhir, malam-malam itu dia nggak bisa tidur,
gelisah dan batuk-batuk terus��� (Informan 1,
2021)
5. Penderitaan Korban Jamu BKO
Hasil
wawancara kepada ketiga informan, penderitaan yang paling berat dialami oleh korban
3. Penderitaan yang dialaminya adalah penderitaan secara
fisik. Setelah satu setengah tahun rutin minum jamu BKO, ada saat kemudian ia
tidak terlalu rajin mengkonsumsinya. Semula ia minum hampir setiap hari, maka
kemudian ia minum hanya beberapa kali dalam seminggu. Di saat frekuensi
konsumsinya dikurangi, ia mulai merasakan badannya sering terasa capek dan
lemah. Bersepeda ia tertinggal jauh dari teman-temannya. Napas mulai sesak dan
tersengal-sengal. badan terasa lemah tidak berdaya.
���.Begitu itu (konsumsi jamu BKO merek Tawon Liar) berlangsung hampir satu tahun setengah. Setelah itu almarhum sempat berhenti minum jamunya, diberi jarak, tidak setiap hari. Seminggu hanya beberapa kali. Tapi, setelah itu setiap bersepeda almarhum sering ketinggalan dari teman-temannya. Lalu sering capek dan napasnya tersengal-sengal. Yaah� kita menganggap itu biasa-biasa saja. Mungkin memang sudah waktunya harus istirahat. Seperti itu yang dikatakan almarhum�.
�Saya juga, sudah
punya feeling ada yang tidak beres, gara-gara obat ini (Tawon Liar). Setelah
itu dicoba untuk mengurangi konsumsi seminggu hanya beberapa kali, karena kan
efeknya seperti itu. Hingga akhirnya berhenti minum itu (tawon liar), tapi
justru semakin almarhum tidak punya stamina. Tambah loyo.� (Informan 1, 2021)
Dalam keadaan yang menderita
seperti itu, kepercayaan korban masih sangat kuat terhadap produk �Tawon Liar�
tersebut. Ia menganggap bahwa sakit yang ia alami saat itu bukanlah sakit yang
serius yang diakibatkan oleh jamu BKO yang selama ini ia konsumsi. Hingga
akhirnya setelah sakitnya tidak kunjung sembuh, ia mulai mengira bahwa sakitnya
itu disebabkan oleh jamu �Tawon Liar� yang selama ini ia minum. Namun setelah
ia memutuskan untuk berhenti keadaan fisiknya justru semakin hari semakin
bertambah parah. Akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk berobat ke
dokter.��
�Lalu terakhir,
malam-malam dia tidak bisa tidur, gelisah terus. Dan selama satu minggu
batuk-batuk terus sebelum kejadian tidak bisa tidur itu. Batuk terus. Saya
bilang, �Ke dokter atuh�, karena dia kan susah ke dokter. �Enggak, ini kan
hanya batuk biasa� almarhum bilang begitu. �Paling ini hanya masuk angin, nanti
juga hilang�. Tapi kok, sudah seminggu batuknya tambah berat. �Hayuk atuh ke
dokter!�. �Enggak!� katanya. Dia ingin coba obat biasa (obat warung) saja.
Sudah seperti itu (minum obat warung), batuknya nggak berhenti. Setiap malam
tidak bisa tidur. Kalau posisi terlentang dia tidak bisa. Saya jadi curiga.
Napasnya berat, lalu dia berkeringat! Akhirnya dalam keadaan begitu dia mau
dibujuk ke dokter.� (Informan 1, 2021)
Dokter menyatakan bahwa jantungnya
mengalami pembengkakan. Katup jantungnya lemah sehingga tidak cukup kuat untuk
memompa darah ke seluruh tubuh. Menurut informan keadaan tersebut sudah tidak
bisa diperbaiki lagi, baik dengan operasi atau pun tindakan yang lain. Korban
hanya bisa pasrah dan bergantung pada obat yang diresepkan oleh dokter sampai
akhir hayatnya. Selama 4 tahun korban harus mengalami penderitaan tersebut, hingga
akhirnya ia tidak mampu bertahan. Sebagaimana penuturan informan 3 sebagai
berikut:�
�Saat itu juga
dokternya bilang, �Ini jantung kamu bengkak, dan nggak akan bisa kembali
normal. Jantungnya akan seperti ini terus� dokter bilang begitu. �Sudah ya berhenti
bermain sepedanya. Setelah itu keadaan almarhum semakin berat. Selama empat
tahun dia menderita jantung seperti itu, Kami harus bolak-balik ke dokter
jantung. Bahkan sampai dikateterisasi segala!. Dan
kami juga sudah ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Semua dicek secara
lengkap. Sebetulnya ini tidak ada pembuluh darah yang tersumbat, atau harus
pasang ring. Penyebabnya si katupnya menjadi lemah. Saya mengira itu semua
karena minum jamu itu. Jantungnya kan jadi memacu terus. Dokternya juga bilang
seperti itu. Seharusnya almarhum istirahat. Karena tidak ada rasa capek, jadi
almarhum terus minum. Nah, akhirnya katup jantungnya kalah. Tidak bisa memompa
dengan benar�..�(Informan 1, 2021)
Berdasarkan pengamatan peneliti,
secara ekonomi korban dan keluarganya nampaknya tidak mengalami masalah yang
berarti. Perekonomian keluarganya banyak ditopang oleh orang tuanya. Namun
setidaknya ada biaya pengobatan yang harus dikeluarkan selama 3 tahun tersebut.
Informan menyatakan setidaknya seratus juta rupiah harus ia keluarkan untuk
membayar dokter, membeli obat jantung serta biaya perawatan selama di rumah
sakit. ���
��.Memang kalo minum itu (jamu BKO merek Tawon Liar), nggak pernah ada rasa capek. Almarhum itu pulang bersepeda, kan terus minum. Pulang dari bersepeda jauh dari manapun dia tidak pernah merasa capek. Tidak pernah merasa mengantuk di siang hari setelah bersepeda. Baru tertidur setelah larut malam. Lama kelamaan saya khawatir juga. Saya bilang begini, �Jangan minum jamu seperti itu, nanti efeknya kita nggak tahu�. �Ih!, tidak apa-apa dek!�. Pokoknya almarhum ngeyel, nggak bisa dibilangin �..� (Informan 1, 2021)
Konsumen yang merasa tidak cocok,
atau merasakan efek yang tidak menyenangkan setelah minum jamu BKO, ia akan
segera memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi. Seperti yang dialami korban 1
sebagai berikut.
�Naah habis minum obat itu, sudah! Nggak bisa tidur lagi itu. Yang malem itu (setelah minum Tawon Liar), terus sampe pagi. Lalu dari pagi itu sampe sore nggak tidur. Dari sore sampe pagi besok lagi nggak tidur! Akhirnya saya ke dokter.�
����.Matanya itu biarpun merem tetep nggak bisa. Maksudnya itu
mata dipejamkan, tapi tetep saja mendengar. Suara apapun tahu. Biar semenitpun
nggak tidur. Ini sudah over dosis� (Informan 2, 2021).
Namun demikian meskipun telah
berhenti, bagi mereka ketidakcocokan ini mungkin masih dianggap sebagai sesuatu
yang biasa saja sampai mereka benar-benar tidak berdaya. Mereka baru
benar-benar menyadari bahwa mereka telah menjadi korban jamu BKO adalah setelah
korban menderita sakit parah yang tidak bisa diatasi dengan jamu BKO yang selama
ini dikonsumsi.
Sementara itu, penelitian Hapsari (2011) mengungkapkan bahwa penurunan frekuensi konsumsi jamu BKO dipengaruhi
oleh adanya persepsi tentang potensi bahayanya (Hapsari,
2011). Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini. Penelitian Hapsari (2011) mengukur perubahan frekuensi
konsumsi setelah dilakukan intervensi kepada konsumen jamu, sedangkan
penelitian ini tidak dilakukan intervensi apapun. Keputusan untuk mengurangi
atau berhenti mengkonsumsi dipengaruhi oleh efek buruk yang dirasakan oleh
konsumen atau korban.
Kesimpulan
Konsumen jamu berbahan kimia obat dapat ditemukan pada saat
mereka membeli di kios-kios jamu. Mereka adalah konsumen yang menginginkan efek
instan dari jamu dan tidak menyadari adanya efek buruk yang akan dirasakan di
masa mendatang. Hasil penelitian ini menunjukkan peristiwa proses viktimisasi
terjadi pada konsumen jamu berbahan kimia obat merek Tawon Liar. Proses
viktimisasi tersebut melalui tahapan awal mula viktimisasi, terbentuknya
persepsi, tumbuhnya kepercayaan, munculnya efek yang merugikan dan keputusan
untuk berhenti. Proses viktimisasi jamu berbahan kimia obat bisa berlangsung
singkat, namun bisa pula berlangsung lama. Dampak terhadap kesehatan pun
berbeda-beda tergantung pada frekuensi penggunaannya. Konsumen yang
mengkonsumsi Tawon Liar setiap hari berisiko tinggi menderita penyakit jantung
yang dapat mengakibatkan kematian. Sedangkan konsumen yang lebih jarang
mengkonsumsi berisiko menderita gangguan tidur dan badan menjadi lemas.
Penelitian mengenai korban perlu diperluas lagi terhadap merek-merek jamu lain
yang terbukti positif mengandung bahan kimia obat, serta memperluas kriteria
korban seperti pasien-pasien di rumah sakit yang tercatat mengalami kasus pasca
mengkonsumsi jamu BKO.
BIBLIOGRAFI
Andriati, Andriati &., & Wahjudi, Teguh.
(2016). Tingkat penerimaan penggunaan jamu sebagai alternatif penggunaan obat
modern pada masyarakat ekonomi rendah-menengah dan atas Society�s acceptance
level of herb as alternative to modern medicine for lower, middle, and upper class
group. Masyarakat, Kebudayan Dan Politik, 29, 133�145. Google Scholar
Anjarwati, Aan. (2009). Uji
pendahuluan..., Aan Anjarwati, FK UI., 2009. Google Scholar
Badan Litbang Kesehatan. (2019). Laporan
Nasional Riskesdas 2018. Google Scholar
Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2013). Public
Warning NOMOR HM.03.05.1.43.11.13.4940 tentang Obat Tradisional Mengandung
Bahan Kimia Obat Tahun 2013. (April). Google Scholar
Badan POM. (2019). Peraturan Badan POM
No.32 Tahun 2019 tentang Persyaratan dan Keamanan Mutu Obat Tradisional. Google Scholar
Dewi, Ratna Sari, Pratiwi, Erniza, &
Muharni, Septi. (2019). Penggunaan Obat Tradisional Oleh Masyarakat Di
Kelurahan Tuah Karya Kota Pekanbaru. 8(September). Google Scholar
Ervina, Lissa, & Ayubi, Dian. (2018). Peran
Kepercayaan Terhadap Penggunaan Pengobatan Tradisional Pada Penderita
Hipertensi Di Kota Bengkulu Bengkulu City. 1(1), 1�9. Google Scholar
Fikayuniar, Lia, Abriyani, Ermi, Farmasi,
Fakultas, Buana, Universitas, Karawang, Perjuangan, & Barat, Jawa. (2020).
Analisis Kualitatif Kandungan Bahan Kimia Obat Prednison pada Jamu Rematik dan
Pegal Linu di Daerah Karawang Barat. Pharma Xplore, 5(2), 68�75. Google Scholar
Hapsari, Pascalia Riska Prastika. (2011). Korelasi
antara Persepsi Bahaya Bahan Kimia Obat dan Perubahan Frekuensi Konsumsi Jamu
Pegal Linu pada Konsumen Kios Jamu di Eks Kotip Cilacap. Google Scholar
Istiqomah, Nurul. (2012). Persepsi
kualitas dengan keputusan pembelian pada konsumen produk jamu � x � di dusun
nologaten. Google Scholar
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Pembuatan
Jamu Segar yang Baik dan Benar. Google Scholar
Marwati, & Amidi. (2018). Pengaruh
budaya, persepsi, dan kepercayaan terhadap keputusan pembelian obat herbal. Jurnal
Ilmu Manajemen, 7, 168�180. Google Scholar
Oesman, Yevis Marty, Yunizar, Komara,
Ratna, & Helmi, Arief. (2013). Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap
Obat Herbal. Google Scholar
Permata, Rani Wahyu. (2017). Eksistensi
Jamu Tradisional Dalam Perspektif Sosiologi Komunikasi (Studi Fenomenologi
Eksistensi Jamu Tradisional Di Dusun Sukoharjo, Condongcatur, Sleman,
Yogyakarta Periode April-Juli 2017). Google Scholar
Puspariki, Jenta, & Suharti. (2019). Persepsi
Masyarakat Terhadap Pengobatan Tradisional Berdasarkan Pendidikan Di Kabupaten
Purwakarta. Journal of Holistic and Health Sciences, 3, 54�59. Google Scholar
Republik Indonesia. Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. , (1999). Google Scholar
Republik Indonesia. Undang-undang RI
No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. , (2009). Google Scholar
Rusmalina, Siska, Khasanah, Kharismatul,
& Nugroho, Denny Kurniawan. (2020). �Deteksi
Asam Mefenamat pada Jamu Pegel Linu yang beredar di Wilayah Pekalongan. Pharmacon:
Jurnal Farmasi Indonesia, Edisi Khus, 51�60. Google Scholar
Copyright holder: Kustantri Wahyuni,
Vinita Susanti (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |