�Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

��e-ISSN : 2548-1398

Vol. 6, Special Issue, No. 2, Desember 2021

�

SADD ADZ-DZARI'AH DAN APLIKASINYA PADA FATWA BIDANG KESEHATAN MAJELIS ULAMA INDONESIA

 

Rizka, Arova Bakhtiar, Imron Rosyadi

Magister Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan pola kehidupan manusia senantiasa berubah, bahkan perubahannya bersifat disruptif dimana banyak hal-hal baru yang belum terjadi sebelumnya. Pandemi yang terjadi sejak 2019 juga menuntut produktivitas fatwa terkait hal-hal baru. Penelitian ini bertujuan untuk melihat secara lebih mendalam metode sadd adz-dzari�ah dan aplikasinya dalam penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berkaitan dengan bidang kesehatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adanya metode kualitatif dengan cara menganalisis secara holistic terhadap obyek penelitian. Hasil penelitian didapatkan bahwa kedudukan sadd adz-dzari�ah dalam proses penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah sangat penting demi mencegah terjadinya kemudhorotan dan mencapai kemaslahatan.

 

Kata Kunci: mahkamah; sadd adz-dzari�ah; fatwa MUI

 

Abstract

This research intended to look the human life patterns is always changing, even the changes are disruptive where there are many new things that have not happened before. The pandemic that has occurred since 2019 also demands the productivity of fatwa related to new case. This research aims to look after more deeply at sadd adz-dzari'ah method and its application in determining fatwa of the Indonesian Ulama Council related to the health sector. This research�s method is a qualitative method by holistically analyzing to the object of research. The results of this research found that sadd adz-dzari'ah�s potition is very important in the process of determining fatwa of the Indonesian Ulama Council in order to prevent mudharat and achieve maslahah.

 

Keywords: mahkamah; sadd adz-dzari�ah; fatwa MUI

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20

 

Pendahuluan

Syariat Allah SWT merupakan peraturan yang harus dipahami beserta latar belakang munculnya peraturan tersebut agar dapat menciptakan sinergi antara pemberlakuan suatu hukum dengan nilai dibaliknya. Ayat-ayat al-Qur�an sebagian bersifat kulliyah dan sebagian lagi juz�iyyah. Pada ayat kulliyah memiliki daya cakup terhadap beberapa peristiwa yang muncul, sehingga membutuhkan penjelasan dari sunnah. Akal juga dibutuhkan untuk mempertimbangkan pendorong munculnya ketentuan syariat atau faktor logis yang berhubungan dengannya, sehingga dapat diketahui hikmah atau maqashid syari�ah dibalik pemberlakuan suatu ketentuan hukum.

Dalam Islam, kedudukan akal berada pada posisi yang sangat mulia, meskipun kebebasan dalam penggunaannya dibatasi oleh syariat Islam. Akal sebagai harta yang sangat berharga bagi manusia, dalam penggunaannya pasti akan selalu sejalan (aligned) dengan syariat Allah Subhaanahu Wa Ta'ala. Setidaknya ada tiga kemampuan akal, yaitu:

1.     Al-�aql al-wazi� (akal pendorong), yaitu akal memiliki kemampuan terhadap adanya jangkauan untuk memahami sesuatu yang dapat mengantarkan pada pemilik akal untuk berperilaku luhur.

2.     Al-�aql al-mudrik (akal penjangkau pengetahuan), yaitu menggunakan akal untuk menganalisa dan mengamati suatu hal agar dapat mengetahui rahasia terpendam sehingga diperoleh konklusi ilmiah.

3.     Penjangkau hikmah, selain ilmu pengetahuan akal juga mampu memperoleh hikmah dari adanya suatu peristiwa (Amin, 2018).

Perintah menggunakan akal di dalam Al-Qur�an, terkadang menggunakan kata yatafakkaruun, ya�qiluun, yatadabbaruun, yatadzakkaruun dan lain-lain. Meskipun menggunakan redaksi yang berbeda, seluruh perintah menggunakan akal mengarah pada upaya penggunaan akal untuk meraih hikmah dan pengetahuan. Tidak saja memerintahkan menggunakan akal, al-Qur�an bahkan mengecam manusia yang tidak menggunakan akal untuk menggapai ilmu dan hikmah.

Sunnah menjelaskan cakupan ayat Al-Qur�an dan apabila belum terungkap makna atau cakupan ayat tersebut secara eksplisit, mujtahid menggunakan akal untuk menggali hukum. Dalam berijtihad, akal sangat mempertimbangkan sisi maslahat dan mencegah terjadinya kerusakan, bahkan tujuan dari syariat (maqashid syari�ah) saat pembebanan hukum adalah mencapai maslahat manusia di dunia dan akhirat (Al-Syatibi, 2002).��

Kaitannya dengan kemaslahatan yang hendak dicapai, membutuhkan mediator atau wasa�il yang dapat mengantarkan seseorang kepada tujuan yang dikehendaki tersebut. Al-Qarafi menjelaskan bahwa mediator (wasa�il) dalam ketetapan hukumnya adalah mengikuti tujuannya (maqashid). Jika tujuannya wajib maka wasa�ilnya juga wajib, begitu juga sebaliknya jika tujuannya haram maka wasa�ilnya juga haram (Al-Utsaimin, 2004).

Lebih lanjut, melalui kitabnya al-Muwafaqat, As-Syatibi (2010, 3:110) telah mengenalkan secara rinci tentang urgensitas akibat dari suatu perbuatan hukum. Hukum tidak boleh ditetapkan oleh seorang mufti atau mujtahid kecuali ia telah paham atas akibat yang timbul baik maslahat maupun mafsadatnya.

Berdasarkan prinsip pentingnya akibat suatu perbuatan ini para ulama membangun dan menetapkan kaidah untuk menetapkan suatu hukum. Diantaranya Imam Malik (w. 179) yang pertama kali secara eksplisit mengenalkan kaidah dzari�ah yang kemudian dengan kaidah ini dijadikan landasan dalam memproduksi suatu hukum. Ini disebabkan oleh kemaslahatan yang hendak dicapai merupakan inti dari dzari�ah. Mencapai kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan pada dzari�ah ini maka dapat dipahami bahwa kaidah ini bersifat pencegahan (preventif). Baik kemafsadatan yang hendak dicegah maupun kemaslahatan yang hendak diraih keduanya adalah bersifat duniawi dan ukhrawi.

Imam Malik mengartikan dzari�ah sebagai penghubung, jalan (wasilah), maka istilah yang popular menggunakan sadd adz-dzari�ah, artinya menutup jalan kerusakan. Dilihat dari sisi urgensitasnya, sadd adz-dzari�ah mendapat perhatian yang cukup mendalam, meski tidak semua madzhab menggunakannya sebagai sumber hukum (Sujoko, 2017). Ulama Malikiyah mengkategorikannya sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan hukum disamping metode lainnya. Penggarapan secara mendalam terhadap sadd adz-dzari�ah, selain ulama madzhab malikiyah juga dilakukan oleh ulama Hanabilah.

Sadd adz-dzari�ah adalah suatu terobosan dalam penetapan hukum yang belum ada di Al-Quran dan As-Sunnah. Sadd adz-dzari�ah di satu sisi termasuk bagian dari istihsan, sebab termasuk pengecualian dari ketentuan umum. Perbedaan dari keduanya terletak pada, jika istihsan adalah kemudahan dan kebolehan sedangkan sadd adz-dzari�ah merupakan larangan. Namun sadd adz-dzari�ah juga termasuk maslahah sebab adanya pelarangan ini dikarenakan menghendaki adanya kemaslahatan. Kemaslahatan yang hendak dicapai haruslah kemaslahatan yang diakui, yaitu kemaslahatan dengan pertimbangan akal yang merujuk pada kebijaksanaan syariat.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah� institusi keagamaan yang didalamnya terdapat ulama, ahli fiqh dan ilmuwan muslim yang diantara tugasnya adalah mengeluarkan fatwa. Berbagai fatwa hukum yang telah dikeluarkan merupakan produk hukum yang menjawab permasalahan kontemporer yang belum ada dalam fiqih klasik. Kompleksitas problematika, latar belakang kasus, latar belakang sosial, waktu, tempat dan lain-lain membutuhkan kajian yang sangat mendalam dalam menetapkan sebuah hukum. Terlebih juga harus mempertimbangkan akibat dan dampak yang ditimbulkan, maka konsep sadd adz-dzari�ah memiliki signifikansi yang kuat.

Revolusi industri 4.0 yang dimulai pada sekitar tahun 2010 (Prasetyo & Trisyanti, 2018) menuntut adanya perubahan yang disruptif. Terlebih semenjak ada kejadian luar biasa berupa pandemi Covid-19 perubahan yang terjadi semakin disruptif seakan-akan gelombang tsunami yang melibas semua lini. Ruang untuk melakukan ijtihadpun semakin meluas seiring dengan problematika baru yang datang secara bertubi-tubi. Ulama-ulama yang tergabung Lembaga penerbit fatwa, dituntut untuk cepat bereaksi atas kebutuhan umat. Kemaslahatan sebagai maqashid dalam berijtihad pada era kontemporer ini diperlukan kajian yang multidimensional dan salah satu metode yang tepat adalah sadd adz-dzari�ah (Sidiq, 2017). Kemaslahatan juga bisa diungkap dengan menggunakan nalar, dimana kedudukan akal di dalam Ushul Fiqh adalah mengungkap kandungan makna� di dalam nash, baik Al-Qur�an maupun Hadits (Jafar, 2016).�

Perkembangan dunia Kesehatan tak kalah disruptifnya, sejak diumumkannya dunia mengalami pandemi, pola kehidupan manusia berubah secara drastis. Sebagai langkah menekan transmisi penularan, WHO merekomendasikan upaya preventif sebagai salah satu caranya (Lotfi, Hamblin, & Rezaei, 2020). Upaya yang dilakukan seringkali terjadi benturan syariat Islam, seperti penggunaan masker pada shalat ataupun shalat jamaah dengan berjarak bahkan hingga penggunaan vaksin yang haram. Untuk mencapai herd immunity setidak dibutuhkan Tindakan vaksin kepada 67% penduduk Indonesia (Koesnoe, 2020, 402). Kemampuan produksi produsen vaksin yang terbatas mengakibatkan pemerintah Indonesia kesulitan mendapatkan vaksin. Sehingga harus menerima vaksin produk astrazeneca yang menggunakan tripsin yang berasal dari pankreas babi.

Perkembangan teknologi yang begitu massif, menuntut regulator (mufti) dapat beradaptasi dengannya. Prinsip preventif dalam konsep sadd adz-dzari�ah sejalan dengan upaya preventif dalam dunia kesehatan untuk mencapai kemaslahatan (Hifdz An-Nafs) dalam Maqashid syari�ah. Maka dari itu dalam penelitian ini selain mengkaji secara teoritis mengenai sadd adz-dzari�ah, juga akan mengelaborasi metode sadd adz-dzari�ah yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia untuke menetapkan jawaban atas persoalan yang berkaitan dengan bidang kesehatan.

Nash qath�I, Qauli dan Manhaji secara berurutan dan sinergis digunakan oleh MUI dalam berfatwa (Wahyudi & Fajar, 2018). Metode nash qath�i juga disebut sebagai pendekatan bayani yang diaplikasikan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah meskipun ada beberapa perbedaan. Sedangkan metode Qauli merupakan penetapan fatwa dengan cara merujuk kepada kitab yang mu�tabar dari para Imam Madzab. Manhaji adalah penetapan hukum berlandaskan kaidah-kaidah yang digunakan oleh Imam Madzhab (Wahyudi & Fajar, 2018).� Secara berurutan apabila tidak ditemukan melalui pendekatan pertama dan kedua maka Majelis Ulama Indonesia menggunakan pendekatan manhaji yang termasuk di dalamnya metode sadd adz-dzari�ah.

Metode manhaji Majelis Ulama Indonesia, menarik untuk dikaji lebih mendalam, terlebih problematika kontemporer yang dipengaruhi oleh ruang informasi yang terbuka secara bebas. Namun, jika seluruh metode manhaji dikaji secara mendalam menjadi tidak terfokus maka penelitian ini akan mengelaborasi secara khusus tentang sadd adz-dzari�ah.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas setidaknya ada beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi untuk dilaksanakan penelitian lebih lanjut.

Petama, tentang kedudukan sadd adz-dzari�ah dimana terjadi perdebatan oleh ulama fikih. Sebagian ulama memperbolehkan untuk menggunakannya sebagai hujjah dan sebagian lainnya melarang untuk menggunakannya.

Kedua, bagaimana hubungan sadd adz-dzari�ah dengan landasan penetapan hukum lainnya dalam struktur penetapan fatwanya.

Ketiga, kaidah fiqih terkait dengan mediator (wasilah) diantaranya adalah yang dikemukakan (As-Sa�dy, 2010) وسائل الأمور كالمقاصد (Sarana perbuatan sebagaimana hukum tujuannya) dan Musthofa Az-Zuhaili (2006, 1:47) كل ما أدى إلى الحرام فهو حرام� (Setiap sesuatu yang dapat mengarahkan kepada keharaman, maka ia juga haram), dihubungkan dengan metode sadd adz-dzari�ah, maka perlu ada elaborasi kadar kekuatan hukum antara maqashid dan wasilah, sama atau tidak.

Keempat, sebagaimana metode penetapan hukum lainnya, sadd adz-dzari�ah� merupakan produk ulama terdahulu. Maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut metode sadd adz-dzari�ah yang digunakan oleh ulama sebelumnya atau memiliki ketentuan dan karakter tersendiri.

Kelima, dalam menjawab kebutuhan fatwa di masa kontemporer terutama dalam hal yang berkaitan dengan bidang kesehatan, apakah metode sadd adz-dzari�ah� yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia dan kebutuhan fatwa bidang kesehatan ini memiliki relevansi yang kuat sehingga tepat untuk digunakan sebagai salah satu metode penetapan fatwanya.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif, yang menurut (Ali, 2002) dijabarkan sebagai suatu penelitian yang menyingkap suatu obyek secara alami dan holistik, kemudian mengukur secara cermat variabelnya, sehingga menghasilkan kesimpulan yang bersifat generalisasi, tidak terikat konteks, situasi dan jenis data yang terkumpul.

Data diperoleh melalui studi pustaka, mengumpulkan sumber kepustakaan yang berkaitan dengan sadd adz-Dzari�ah. Rujukan utama adalah al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam karya As-Syatibi, Al-Furuq karya Al-Qarafi, dan Ushul Fiqh Islami karya Dr. Wahbah Zuhaili. Selain literatur di atas data juga diperoleh dari Majelis Ulama Indonesia sebagai obyek penelitian yaitu berupa fatwa-fatwa MUI yang berhubungan dengan penelitian yang terangkum dalam buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Edisi Terlengkap yang memuat fatwa sejak tahun 1975 hingga 2018. Untuk melengkapi obyek kajian, fatwa-fatwa yang belum termaktub dalam buku tersebut diambil dari laman web resmi Majelis Ulama Indonesia.

Analisa deduktif dimulai dengan mengelaborasi kaidah-kaidah sadd adz-dzari�ah yang berlaku secara umum untuk didapatkan kesimpulan secara khusus. Sedangkan analisa induktif dimulai dengan mengemukakan kasus (fatwa yang menggunakan sadd adz-dzari�ah baik tersurat maupun tersirat) kemudian dihubungkan dengan prinsip yang berlaku umum. Selain itu Analisa komparatif dilakukan dengan cara membandingkan teori-teori tantang sadd adz-dzari�ah yang kemudian dibandingkan dengan fatwa-fatwa MUI.

 

Hasil dan Pembahasan

Kalimat sadd al-dzari�ah (سَدُّ الذَّريعَةِ) dalam beberapa literatur disebut dengan sadd al-dzaraai� (سَدُّ الذَّرَائِعِ) berasal dari frase/idhofah, yaitu sadd dan dzarii�ah/dzaraai�.

Sadd merupakan bentuk ism Mashdar dalam istilah bahasa arab, yang memiliki arti bahasa:

السَّدُّ فِي اللُّغَةِ: إِغْلاقُ الْخَلَلِ.

Artinya menutup cela, menutup kerusakan. Sedangkan kata dzari�ah secara bahasa berarti:

وَالذَّرِيعَةُ: الْوَسِيلَةُ إِلَى الشَّيْءِ

Artinya jalan yang membawa kepada sesuatu.

Secara Istilah disebutkan oleh ibnu Asyur bahwa Sadd Adz-Dzari�ah merupakan term yang digunakan ahli fiqh tentang konsep pencegahan, upaya pembatalan dan pelarangan amal-amal yang secara mu�tabar terduga membawa kepada kerusakan padahal bisa jadi perbuatan tersebut tidak mengandung unsur kerusakan.

Imam Asy-Syatibi berpendapat bahwa dzari�ah berarti

التوسل بما هو مصلحة إلى مفسدة،

Sesuatu yang menghubungkan sesuatu yang maslahat kepada mafsadat.

Sad Adz-Dzari�ah adalah metode penetapan hukum yang bertujuan mencegah terjadinya keburukan maka metode penetapan ini digunakan sebagai penjaga perbuatan seorang mukallaf supaya tidak terjerumus kepada keburukan ketika melakukannya. Hal ini merupakan salah satu maqashid hukum Islam yaitu menjaga kemaslahatan dan menjauhi kerusakan. Jika suatu amal yang hukum asalnya diperbolehkan namun jika dirasa berpotensi timbulnya keburukan, maka terlaranglah perbuatan itu. Karena sadd adz-Dzari�ah merupakan metode preventif, maka kesan awal yang terlihat adalah pagar dan penjaga terhadap potensi keburukan yang timbul sebagai akibat dari suatu amal yang dilakukan.

Dasar Hukum Saddu Al-Dzari�ah

a.   Alquran

وَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٖۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمۡ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرۡجِعُهُمۡ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

Artinya:

�Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.� (QS. al-An�am: 108).

Pada dasarnya mencaci berhala atau sesembahan agama lain memang diperbolehkan namun itu menjadi mediator akan munculnya keburukan yang terlarang, yaitu pembalasan berupa cacian dan makian kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'ala oleh para penyembah berhala. Sifat manusiawi seseorang ketika ada cacian terhadap sesembahannya maka akan melakukan pembalasan yang sama terhadap Tuhannya pencaci, oleh karena itu sebelum terjadinya pembalasan berupa cacian dan makian, ditetapkan sebuah hukum tentang larangan perbuatan mencaci maki sesembahan agama lain dan ketetapan ini termasuk upaya pencegahan (sadd adz-dzari�ah).

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقُولُواْ رَٰعِنَا وَقُولُواْ ٱنظُرۡنَا وَٱسۡمَعُواْۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٞ

�Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.� (QS. al-Baqarah: 104).

Ayat di atas memiliki asbabunnuzul yaitu pelecehan oleh orang Yahudi terhadap Muslim. Term raa �ina (رَٰعِنَا) berarti: �Sudilah kiranya engkau memberikan perhatian kepada kami.� Peruntukan term ini adalah untuk Rasulullah yang dilakukan oleh para sahabat, namun karena term raa �ina juga bisa berasal dari kata ru�unah (tolol, bodoh) maka term ini digunakan oleh orang Yahudi diwarnai nada ejekan untuk melakukan penghinaan terhadap Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. Karena itulah, Allah Subhaanahu Wa Ta'ala memerintahkan penggantian istilah tersebut menjadi unzhurna yang memiliki makna sama dengan raa�ina. Salah satu landasan metode sadd adz-Dzari�ah menjadi metode penetapan hukum oleh para ulama adalah dari latar belakang dan pemahaman terhadap ayat tersebut.

b.       Sunah

عن عَمْرو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

Artinya:

Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: �Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.� Beliau kemudian ditanya, �Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?� Beliau menjawab, �Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.� (HR. Muslim)

Imam Asy-Syathibi menjadikan hadits ini sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd adz-dzari�ah.

c.       Kaidah Fikih

Landasan diperbolehkannya menggunakan metode sadd adz-dzari�ah diantaranya juga dari kaidah fikih:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Artinya:

�Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).�

Ini adalah kaidah pokok yang mampu merangkul seluruh masalah turunannya, maka dari kaidah inilah penyandaran metode Sadd adz-Dzari�ah berasal. Sebab maksud Sadd Adz-Dzari�ah adalah menghindarkan manusia bersinggungan dengan kemafsadatan.

 

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Bidang Kesehatan

Di Indonesia implementasi sadd adz-dzari'ah oleh MUI dalam menetapkan fatwa-fatwanya di bidang kesehatan, diantaranya adalah:

1.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang autopsi Jenazah.

Jenazah memiliki hak kehormatan sebagaimana manusia hidup dan terhindar dari kerusakan, sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. Naum seiring dengan perkembangan kehidupaan sosial budaya manusia diantaranya untuk kepentingan penyelidikan, pendidikan, riset atau pemeriksaan dibutuhkan autopsi terhadap jenasah yang terkadang harus dilakukan pembedahan. Namun dalam rangka untuk memenuhi tujuan kemaslahatan dan mencegah kemudhorotan maka autopsi jenazah diperbolehkan dengan beberapa syarat diantaranya autopsi merupakan jalan satu-satunya dan didasarkan kebutuhan yang diperbolehkan secara syar�iat, yaitu diantaranya mengungkap sebab kematian, penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran. Hak-hak lain dari jenazah juga harus tetap terjaga yaitu dikafani, dimandikan dan dishalatkan serta mendapatkan izin dari jenazah saat masih hidup dan atau dari pemerintah.

2.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 1970 tentang Hukum Wasiat Untuk Hibah Kornea Mata.

Sebagaimana dalil hukum pada fatwa autopsi yaitu hukum asal dari hak mayit, konsideran fatwa inipun menggunakan landasan hukum yang sama. Dengan pertimbangan bahwa kepentingan orang yang masih hidup lebih utama maka dengan pertimbangan sadd adz-dzari�ah hibah kornea mata diperbolehkan. Bahkan hibah kornea ini sebenarnya lebih ekstrim dibandingkan dengan autopsi yang hanya membedah tanpa mengurangi anggota badan, sedangkan pada kasus ini menghilangkan sebagian dari anggota tubuh dari mayit. Fatwa ini juga menegaskan diperbolehkannya seseorang di masa hidupnya berwasiat untuk menghibahkan kornea mata ketika dia mati.�

3.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 1987 Tentang Pengambilan Katup Jantung

Konsideran dalam keputusan fatwa ini menggunakan penjelasan dari seorang ahli bedah Jantung dari sebuah rumah sakit khusus jantung. Lebih utama lagi dalam konsiderannya dijelaskan menggunakan dalil Al-Qur�an dan As-Sunnah tentang obat dan upaya pengobatan terhadap sebuah penyakit. Hukum pengambilan katup jantung diperbolehkan sebagai upaya hifdz an-nafs bila tidak ditemukan pilihan dan cara yang lebih baik untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Keputusan inipun tetap ada syarat yang harus dipenuhi yaitu mendapatkan izin dari mayit saat masih hidup (wasiat) dan/atau izin dari keluarga/ahli warisnya.

4.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 4 tahun 2005 tentang Aborsi karena Alasan Medis dan Korban Pemerkosaan

Kasus aborsi meningkat cukup tajam tanpa memperhatikan pertimbangan hukum agama dan penatalaksanaannya dilaksanakan oleh pihak yang tidak memiliki kompetensi yang ditandai dengan adanya izin resmi pemerintah dan legalitas lainnya. Ada beberapa ketentuan dan pertimbangan diperbolehkannya aborsi ini yaitu pada taraf darurat dan hajat. Aborsi diperbolehkan bagi seorang ibu yang memiliki penyakit yang mengancam jiwanya ketika terjadi kehamilan (darurat) dan jika terdeteksi bahwa janin dalam kandungan mengalami cacat genetis ketika nanti lahir dan penyembuhannya sangat sulit serta bagi korban pemerkosaan (hajat). Pada kondisi hajat aborsi hanya boleh dilakukan pada janin berumur kurang dari 40 hari dan kehamilan akibat perzinahan hukumnya tetap diharamkan.�

5.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Penggunaan Vaksin Meningitis bagi Jemaah Haji dan Umrah

Sejak merebaknya kasus meningitis di Arab Saudi maka diputuskan setiap jamaah haji dan umroh wajib vaksin meningitis sebelum memasuki wilayah Arab Saudi. Pada saat fatwa ini diterbitkan vaksin meningitis yang tersedia adalah produk dari Glaxo Smith Kline dengan merk dagang Mencevax ayng dalam proses pembuatannya bersinggungan dengan babi.� Penggunaan jenis \vaksin ini hukumnya haram namun boleh digunakan bahkan menjadi wajib digunakan bagi jamaah haji dan umroh hingga ditemukannya vaksin yang halal digunakan.�

6.     Fatwa Nomor 14 Tahun 2021 tentang Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 Produk Astrazeneca

Metode sadd adz-Dzari�ah juga terlihat di penetapan fatwa MUI berkaitan dengan vaksin Astrazeneca, dimana pada dasarnya vaksin ini tetap haram karena pembuatannya bersinggunangan dengan babi namun boleh dipergunakan karena kondisi dharurah Syar�iyyah. Pandemi yang dialami oleh semua negara di dunia sedangkan jumlah produsen dan jumlah vaksin yang terbatas dan menjadi rebutan bagi semua negara menjadikan kondisi darurat yang jika tidak segera diputuskan akan menambah jumlah rakyat Indonesia yang menjadi korban meninggal akibat Covid-19. Pada fatwa ini juga tetap ada ketentuan yang dijadikan rekomendasi dari MUI untuk pemerintah Indonesia yaitu vaksin bagi umat Islam tetap diprioritaskan menggunakan vaksin halal dan optimalisasi pengadaan vaksin yang tersertifikasi halal.

7.     Fatwa Majelis Ulama tahun 2002 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 16 tahun 2005 tentang Penggunaan Vaksin Polio Oral dan Khusus

Hingga fatwa ini dikeluarkan ketersediaan vaksin polio adalah yang diproduksi dengan media ginjal kera yang oleh MUI ditetapkan sebagai vaksin yang diproduksi tidak sesuai syariat Islam. Pada sisi lain penyakit polio mengancam anak-anak menjadi lumpuh total yang mengakibatkan berpotensi tercipta generasi yang dhaif. Kesepakatan negara-negara di dunia bahwa semua negara terbebas dari penyakit polio pada tahun 2008 membutuhkan partisipasi seluruh negara di dunia. Dengan pertimbangan mencegah kemudhorotan maka diputuskan oleh MUI bahwa penggunaan vaksin jenis ini diperbolehkan dengan tetap merekomendasikan bahwa negara berupaya mengadakan vaksin yang diproduksi sesuai Syariat Islam.

8.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 4 tahun 2009 tentang Pakaian Medis Perempuan

Penerbitan fatwa berasal dari pertanyaan dari sebuah Rumah Sakit yang menetapkan pakaian kerja bagi tenaga kesehatan wanitanya dengan membuka sebagian tangannya karena berpotensi tertular dan/atau menularkan penyakit. Keputusan dari perusahaan ini menimbulkan polemik penolakan dari masyarakat sehingga menanyakan status hukumnya dari kacamata hukum Islam. Keputusan MUI adalah bahwa aurat wanita adalah tetap sebagaimana sebelumnya yaitu mencakup keseluruhan tubuh terkecuali wajah dan telapak tangan namun berdasarkan hajat terkait medis diperbolehkan membuka sampai sebatas siku di saat menjalankan tugasnya sebagai tenaga kesehatan.

9.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 11 Tahun 2019 tentang Transplantasi Untuk Diri Sendiri

Pada dasarnya pemotongan anggota tubuh adalah terlarang karena termasuk mencelakai diri sendiri kecuali ada kemaslahatan. Dalam fatwa ini tergambar jelas pembolehan tranplantasi dengan organ atau jaringan tubuh diri sendiri selama dalam kondisi darurat dan hajat, sedangkan pada kondisi tahsiniyat tetap terlarang. Diantara alasan diperbolehkannya tranplantasi ini adalah pendapat Ibnu hajar Al-Haitasami dalam Tuhfatul Muhtaj tentang suci atau najisnya anggota tubuh yang terlepas mengikuti mayatnya.

10.  Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 12 Tahun 2019 tentang Transplantasi dari Pendonor Mati

Landasan hukum dari fatwa ini sama dengan landasan hukum dari fatwa MUI sebelum-sebelumnya yaitu tentang perlakuan terhadap jenazah dan tranplantasi dari organ atau jaringan dari tubuh sendiri. Pembolehan pengambilan anggota tubuh dari mayit karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai yaitu menyelamatkan nyawa seseorang (dharurah syar�iyyah) dan tidak ditemukan metode penyembuhan lainnya kecuali tranplantasi.

11.  Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Bayi Tabung Inseminasi Buatan

Hukum asal dari bayi tabung adalah boleh karena termasuk ikhitar yang sesuai dengan kaidah agama selama asal muasal sperma dan sel telur adalah milik sepasang pria dan wanita yang terikat pernikahan yang sah. Problem baru terjadi ketika ditemukan sel telur yang normal namun rahim istri bermasalah sehingga muncul gagasan untuk menitipkan pada rahim istri lainnya. Proses pertemuan sperma dan sel telur di luar rahim secara sengaja sampai terjadinya embrio (bayi tabung) hukumnya halal, mengandung janin dari suami yang sah hukumnya juga halal namun dalam kasus penitipan janin ini, meski terhadap istri yang sah menurut kaidah sadd adz-dzari�ah hukumnya haram karena berpotensi menimbulkan masalah dalam warisan. Berlaku sama terhadap hal lainnya yaitu bayi tabung yang berasal dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram

12.  Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaran Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19

Shalat jamaah lima waktu menurut ulama ada empat yaitu fardhu ain, fardhu kifayah, sunnah muakkadah dan syarat sahnya shalat bagi mukallaf. Tidak ada pembedaan baik mukallaf sehat maupun mukallaf sakit, hanya saja mukallaf sakit mendapatkan rukhshoh untuk shalat di rumah. Namun dalam masa pandemi dengan menggunakan kaidah sadd adz-dzari�ah� shalat jamaah dan shalat jumat di masjid menjadi terlarang bagi daerah-daerah berzona merah untuk menghindari penularan yang lebih meluas lagi. Dalam fatwa ini juga mengatur hal-hal lainnya dengan menggunakan sadd adz-dzari�ah diantaranya tentang pengadaan kajian, shalat tarawih, shalat ied dan penatalaksanaan pemulasaraan jenazah.

Melihat dari beberapa kasus penerapan dalam fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia di atas, maka metode sadd Adz-Dzari�ah dalam pengambilan istinbat sangat tepat digunakan saat ini terutama dalam bidang kesehatan. Perubahan yang sangat cepat dalam hal teknologi terutama di masa pandemi ini muncul problematika-problematika baru yang harus dipecahkan oleh mufti.

Universalitas Islam (Nadhariyah al-Maslahah) sangat nampak dalam proses penyusunan fatwa, karena mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan manusia. Kemaslahatan yang hendak dicapai bukan hanya ad-diin namun juga mempertimbangkan empat kemaslahatan lainnya sebagaimana konsep maqaashid syari�ah.� Dalam penetapan sebuah hukum, tidak hanya melakukan penggalian sumber hukum utama yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, karena jika penetapan hanya menggunakan keduanya kemungkinan memiliki dua dampak, yaitu benar-benar cocok atau berdampak buruk.

Islam diturunkan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'ala melalui Rasul-Nya memiliki jaminan kemaslahatan dunia dan akhirat. Ajaran Allah Subhaanahu Wa Ta'ala yang diturunkan melalui Nabi-Nya sesuai dengan kebutuhan dasar manusia yang dapat digunakan oleh siapapun, di manapun dan kapanpun hingga akhir zaman nanti. Cakupan kesesuaian antara ajaran dan subyek ajarannya (manusia) adalah pada seluruh ruang lingkup kehidupan manusia dan segala aspek kebutuhan dalam kehidupan yang tak pernah membedakan (prinsip al-�Adl) satu dengan lainnya. Sehingga dengan menggunakan teori dampak hukum penggunaan sadd adz-Dzari�ah mendapatkan kedudukan yang sangat penting dan tergambar jelas dalam fatwa-fatwa di atas.� Penetapan sebuah hukum harus memperhatikan potensi dampak yang terjadi di waktu yang akan datang, dan ini sejalan dengan prinsip kemaslahatan yang hendak dicapai oleh ajaran yang diturunkan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'ala.

Kesimpulan

Dalam hirarki penerapan dalam ilmu kesehatan, preventif memiliki kedudukan diatas kuratif dan rehabilitative (Kumar & Preetha, 2012). Terlebih tindakan promotif yang memiliki kedudukan pertama juga sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Perubahan pola kehidupan yang disruptif menuntut mufti lebih proaktif dan lebih produktif dalam meproduksi fatwa. Ini sejalan dengan pola Majelis Ulama Indonesia dalam berfatwa, dimana pengeluaran fatwa tidak harus menunggu permintaan mustafti namun melihat kebutuhan bangsa.

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Al-Syatibi, Abu Ishaq. (2002). al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Bairut: Dar Al-Fikr, Tt. Google Scholar

 

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. (2004). Syarh Ats-Tsalastah Al-Ushul. Dar Ibn Al-Jauzy: Mesir. Google Scholar

 

Ali, Sayuthi. (2002). Metodologi penelitian agama: pendekatan teori dan praktek. Google Scholar

 

Amin, Muhammad. (2018). Kedudukan Akal dalam Islam. TARBAWI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 3(01), 79�92. Google Scholar

 

As-Sa�dy, Abdurrahman Bin Nashir. (2010). Qawaidul Fiqhiyyah; Al-Madhumah wa Syarhuha. Kuwait: Kementrian Wakaf Dan Urusan Islam Kuwait. Google Scholar

 

Jafar, Muhammad. (2016). KEDUDUKAN AKAL DALAM ISTINBATH HUKUM MENURUT KAJIAN USHUL FIQH. Jurnal Al Mabhats, 1(1), 12�32. Google Scholar

 

Kumar, Sanjiv, & Preetha, G. S. (2012). Health promotion: an effective tool for global health. Indian Journal of Community Medicine: Official Publication of Indian Association of Preventive & Social Medicine, 37(1), 5. Google Scholar

 

Lotfi, Melika, Hamblin, Michael R., & Rezaei, Nima. (2020). COVID-19: Transmission, prevention, and potential therapeutic opportunities. Clinica Chimica Acta, 508, 254�266. Google Scholar

 

Prasetyo, Banu, & Trisyanti, Umi. (2018). Revolusi industri 4.0 dan tantangan perubahan sosial. IPTEK Journal of Proceedings Series, (5), 22�27. Google Scholar

 

Sidiq, Syahrul. (2017). Maqasid Syari‟ ah & Tantangan Modernitas: Sebuah Telaah Pemikiran Jasser Auda. IN RIGHT: Jurnal Agama Dan Hak Azazi Manusia, 7(1). Google Scholar

 

Sujoko, Imam. (2017). Hujjiyah Nazariyah Saddiaz-Żarāiʻfī al-Fiqh al-Islāmywatatbīquhāfī Qadāyāal-Maʹkȗlātwa al-Mashrȗbātwa al-Malbȗsāt. Insaniyat: Journal of Islam and Humanities, 2(1), 71�84. Google Scholar

 

Wahyudi, Heri Fadli, & Fajar, Fajar. (2018). Metode Ijtihad Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Aplikasinya dalam Fatwa. Cakrawala: Jurnal Studi Islam, 13(2), 120�133. Google Scholar

 

 

 

 

Copyright holder:

Eko Prasetyo, Ivan Anindito Arista, Rudi Hermawan, Erlanda Pane (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: