Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, Special Issue, No. 2, Desember 2021
� ���������
PENGETAHUAN
TENTANG MANAJEMEN PENCEGAHAN AIRBORNE
DISEASE PADA PERAWAT DI
RUANG ISOLASI RUMAH SAKIT
1Heru Komarudin, 2Amal Chaliq Sjaaf, 3Riri Maria
1Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
2Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia
3Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Penyakit TB paru
dan pneumonia merupakan salah satu
penyakit akibat dari Airborne Disease. Sebanyak
329 kasus TB Paru dan 304 kasus pneumonia ditemukan di rumah sakit pemerintah
Jakarta pada tahun 2017. Penelitian
ini bertujuan untuk memberikan gambaran pengetahuan tentang manajemen airborne
disease pada perawat di ruang
isolasi rumah sakit. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Populasi
penelitian adalah semua perawat yang bekerja di ruang isolasi Rumah Sakit
Pemerintah Jakarta dengan jumlah sampel 107 responden. Cara pengambilan sampel dengan simple random
sampling. Pengumpulan data menggunakan
wawancara menggunakan kuesioner yang telah dilakukan uji validitas. Analisis data dilakukan secara univariat deskriptif. Hasil penelitian didapatkan data bahwa lebih dari separuhnya
(54.2%) perawat memiliki pengetahuan yang rendah dan sebanyak 47,7% perawat memiliki pengetahuan tinggi. Diharapkan rumah sakit dapat
memberikan pelatihan kepada perawat terkait manajemen pencegahan infeksi secara berkala dan berkesinambungan sehingaa seluruh perawat ruang isolasi memiliki
pengetahuan yang sama terhadap menejemen pencegahan infeksi airborne disease.
Kata Kunci: airborne disease; ruang isolasi; pengetahuan; rumah sakit
Abstract
Tuberculosis and pneumonia are diseases caused by
Airborne Disease. A total of 329 cases of pulmonary TB and 304 cases of
pneumonia were found in Jakarta government hospitals in 2017. This study aims
to provide an overview of knowledge about airborne disease management for
nurses in hospital isolation rooms. This study used a cross sectional design.
The study population was all nurses who worked in the isolation room of the
Jakarta Government Hospital with a total sample of 107 respondents. The
sampling method is simple random sampling. Collecting data using interviews
using a questionnaire that has been tested for validity. Data analysis was
carried out using descriptive univariate. The results showed that more than
half (54.2%) of nurses had low knowledge and 47.7% of nurses had high
knowledge. It is hoped that the hospital can provide training to nurses related
to infection prevention management on a regular and continuous basis so that
all isolation room nurses have the same knowledge of the management of
prevention of airborne disease infection.
Keywords: airborne
diseases; isolation room; knowledge; hospital
Received: 2021-10-20; Accepted:
2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Airborne
Disease adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh agen mikroba patogen dan ditularkan melalui udara
serta dapat ditularkan melalui
batuk, bersin, tertawa atau melalui kontak fisik yang dekat. Patogen ini masuk
melalui partikel
debu atau hembusan pernapasan yang dapat menyebabkan penyakit pada saluran pernapasan atau iritasi (Kowalski, 2006; Schoen, 2012). Penyakit yang termasuk kedalam klasifikasi Airborne Disease meliputi
TB Paru, pneumonia, difteri,
campak, meningitis, H1N1 flu
Influenza, H5N1 flu burung dan legionaires (Schoen, 2012). TB Paru dan Pneumonia termasuk ke dalam airborne disease yang mana kedua penyakit tersebut sering kali menyerang masyarakat terutama di rumah sakit. Terdapat
10,4 juta orang di dunia menderita
penyakit TB Paru dan meningkat sebanyak 200 ribu pasien dari
tahun 2015. Sedangkan penyakit pneumonia di dunia juga masih
menjadi sebuah masalah besar. Pada tahun 2010 jumlah pneumonia disalah satu negara Eropa yakni di Finlandia dilaporkan terdapat 222 kasus per 100.000 penduduk, kemudian meningkat menjadai 1.242 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2011 (Tuberculosis Surveillence Center, 2016; WHO, 2017).
Prevalensi
penyakit TB Paru sebesar 156.723 orang. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya 2015 yang terdapat 188.405
kasus, namun hal ini tetap
termasuk dalam jumlah yang cukup signifikan mengingat Indonesia menduduki peringkat penyakit TB Paru nomor 5 terbesar di dunia. Jumlah pasien TB Paru di Indonesia pada tahun 2016
mencapai 156.723 pasien dengan BTA positif. Angka ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan negara Jepang, Australia, dan New Zealand yang memiliki
angka kejadian 10 per
100.000 penduduk pertahun (Kemenkes RI, 2015, 2017; WHO, 2017).
Prevalensi
kejadian pneumonia pada tahun
2013 sebesar 4,5% dari 250 juta jiwa penduduk
Indonesia. Selain itu,
pneumonia merupakan salah satu
dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit,
dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05%
perempuan (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan data tersebut jelas bahwa angka
kejadian airborne
disease di Indonesia masih terbilang
tinggi. Hal ini dibuktikan dari dua contoh penyakit
yakni TB Paru dan
pneumonia. Oleh karena itu,
perlu diberikan perhatian khusus agar angka kejadian ini tidak terus
meningkat salah satunya dengan cara melakukan
pencegahan penularan.
Rumah
Sakit X merupakan rumah sakit pusat
pemerintah rujukan nasional yang berada di Jakarta
dan menjadi rujukan dari beberapa rumah
sakit daerah yang dapat melayani pasien dengan kondisi
akut maupun kronis khususnya penyakit paru. Jumlah pasien airborne disease di dunia tiap tahunnya semakin
meningkat. Sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melaui udara, TB paru adalah penyakit dengan prevalensi yang cukup besar di dunia.
Berdasarkan
data di Rumah Sakit Pemerintah ini, yang terdiagnosis penyakit TB paru dan dirawat di ruang isolasi pada tahun 2016 terdapat 348 pasien dengan rentang
kelompok usia antara 1 tahun sampai dengan 65 tahun. Prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia antara
45-64 tahun. Pada tahun
2017 terjadi penurunan jumlah pasien TB Paru menjadi 329 pasien yang dirawat di ruang isolasi pasien
yang terdiagnosis Pneumonia yang dirawat
di Rumah Sakit X terdapat 358 kasus pada tahun 2016 dan menurun menjadi 304 kasus pada tahun 2017, dan angka kejadian tertinggi terdapat pada kelompok usia 45-64 tahun (Instalasi Rekam Medis, 2018).
Penularan
airborne disease sampai
saat ini masih terus terjadi
sehingga perlu dilakukan suatu manajemen pencegahan. Salah satu upaya yang dilakukan pihak rumah sakit adalah
dengan melakukan manajemen pengendalian infeksi airborne
disease yakni dengan membangun ruangan yang sesuai dengan standar
ruang isolasi. Perawat sebagai garda terdepan pelayanan rumah sakit perlu
untuk selalu melakukan tindakan pencegahan mulai dari melakukan hand hygiene hingga
penggunaan alat pelindung diri, baik itu gaun,
kaca mata google, dan juga masker N95. Perawat sebagai tenaga kesehatan yang paling pertama menangani pasien dan berada selama 24 jam bersama pasien sehingga berisiko tinggi terrtular penyakit. Berdasarkan hasil observasi dan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti ditemukan sebanyak empat orang perawat terinfeksi penyakit TB Paru dan menjalani pengobatan TB Paru di Rumah Sakit
X.� Oleh karena
itu pengetahuan mengenai manajemen pencegahan airborne disease menjadi
penting untuk diketahui oleh perawat guna melindungi diri dari penularan
infeksi airborne disease.
Berdasarkan
uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran pengetahuan tentang manajemen pencegahan airborne
disease pada perawat di ruang
isolasi Rumah Sakit.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Penelitian
ini dilakukan di ruang isolasi rumah sakit X dengan
populasi semua perawat berjumlah 132 responden. Jumlah sampel
dalam penelitian sebanyak 107 responden dengan
teknik pengambilan sampel yaitu simple random sampling. Pengumpulan data menggunakan data primer. Variabel
dalam penelitian ini adalah tingkat
pengetahuan perawat tentang manajemen airborne
disease berdasarkan karakteristik
perawat yaitu usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, masa kerja, dan pelatihan. Kuesioner yang digunakan menggunakan skala guttman dengan jumlah soal 16 butir. Skor setiap pilihan jawaban benar diberikan nilai 1 dan jawaban salah diberikan nilai 0. Peneliti menentukan cut off
point menggunakan nilai
mean yaitu 10 yang ditujukan
untuk menentukan batasan nilai tingkat
pengetahuan. Cut off point merupakan
titik poin yang membagi skor total pengetahuan menjadi dua kategori, yaitu
0 � 10 yang berarti tingkat
pengetahuan rendah dan 11 �
16 yang berarti tingkat pengetahuan tinggi. Kuesioner telah diuji validitas pada karakteristik responden yang sama namun bukan
pada area penelitian yang akan
diteliti. Pengolahan data menggunakan menggunakan analisis univariat dengan
software SPSS versi 22. Hasil penelitian dianalisis secara univariat untuk mengetahui gambaran pengetahuan tentang manajemen pencegahan airborne disease pada perawat
di ruang isolasi rumah sakit. Data kemudian disajikan dalam bentuk distribusi
frekuensi karena menggunakan skala kategorik.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil
Tabel 1
Karakteristik Perawat
di Ruang Isolasi Rumah Sakit
Berdasarkan Usia
dan Lama Kerja
Karakteristik |
N |
Min - Max |
Median |
Mean |
SD |
95% CI |
Usia |
107 |
21 � 50 |
28 |
30,52 |
6,893 |
29,20 � 31,84 |
Lama Kerja |
107 |
1 � 32 |
4 |
7,25 |
7,27 |
5,85 � 8,65 |
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Karakteristik
Perawat Berdasarkan
Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, dan Menerima
Pelatihan di Ruang Isolasi Rumah
Sakit
Variabel |
Frekuensi
(f) |
Persentase
(%) |
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan |
23 84 |
21.5 78.5 |
Pendidikan D3 Keperawatan S1 Profesi |
75 32 |
70.1 29.9 |
Pelatihan Pernah Tidak Pernah |
58 49 |
54.2 45.8 |
Tabel 3
Distribusi Jawaban Responden Mengenai
Pengetahuan Perawat tentang Manajemen Airborne Disease
No. |
Pertanyaan |
Benar |
Salah |
||
N |
% |
N |
% |
||
1. |
Airborne disease dapat menular
melalui kontak sentuhan |
96 |
89.7 |
11 |
10.3 |
2. |
Meningitis dan campak tidak dapat menular melalui udara |
70 |
65.4 |
37 |
34.6 |
3. |
H1N1 Influenza, legionaires, dan difteri dapat menular melalui udara |
101 |
94.4 |
6 |
5.6 |
4. |
Patogen airborne
disease tidak dapat bertahan pada atmosfer yang kering |
102 |
95.3 |
5 |
4.7 |
5. |
Pasien dengan airborne disease harus
menggunakan masker bedah saat transportasi |
24 |
22.4 |
83 |
77.6 |
6. |
Masker N95 dapat digunakan sampai dengan lebih dari 46 jam |
92 |
86 |
15 |
14 |
7. |
Magnahelic berfungsi sebagai indikator tekanan dalam ruangan |
57 |
53.3 |
50 |
46.7 |
8. |
HEPA filter (High Efficiency Particulate Air)
berfungsi untuk mengevakuasi mikroorganisme keluar ruangan |
100 |
93.5 |
7 |
6.5 |
9. |
Sepatu pelindung harus digunakan saat masuk ke ruang
Isolasi airborne |
4 |
3.7 |
103 |
96.3 |
10. |
Penutup pelindung kepala tidak wajib digunakan saat masuk ke
ruang isolasi airborne |
56 |
52.3 |
51 |
47.7 |
11. |
Masker N95 bisa digunakan secara bergantian dengan petugas lain |
56 |
52.3 |
51 |
47.7 |
12. |
Exhaust fan berfungsi mengeluarkan mikroorganisme keluar ruangan |
90 |
84.1 |
17 |
15.9 |
13. |
Baju pelindung bekas pemakaian diruang isolasi boleh dibuang ke pembuangan
linen non infeksius |
93 |
86.9 |
14 |
13.1 |
14. |
Anteroom digunakan untuk memakai
alat pelindung diri (APD) sebelum masuk ke ruang
isolasi bertekanan negatif |
90 |
84.1 |
17 |
15.9 |
15. |
Anteroom digunakan sebagai jalur masuk pasien
dengan airborne
disease |
35 |
32.7 |
72 |
67.3 |
16. |
Alat pelindung diri yang harus digunakan sebelum masuk ke ruang Isolasi
bertekanan negatif meliputi penutup kepala, sepatu pelindung, gaun pelindung, kacamata pelindung, sarung tangan, masker |
23 |
21.5 |
84 |
78.5 |
Tabel 4
Distribusi Kategori Tingkat Pengetahuan
Perawat di Ruang Isolasi Rumah Sakit
Variabel |
Frekuensi
(f) |
Persentase
(%) |
Pengetahuan Rendah Tinggi |
58 49 |
54.2 45.8 |
Tabel 4
Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Karakteristik
Perawat Berdasarkan
Usia dan Lama Kerja di
Ruang
Isolasi Rumah
Sakit
Variabel |
Tingkat Pengetahuan |
|||
Rendah |
Tinggi |
|||
Rata-rata |
Standar Deviasi |
Rata-rata |
Standar Deviasi |
|
Usia |
31.26 |
7.335 |
29.66 |
6.293 |
Lama Kerja |
8.10 |
8.043 |
6.24 |
6.277 |
Tabel 5
Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Karakteristik
Perawat Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat
Pendidikan, dan Menerima Pelatihan
di
Ruang Isolasi Rumah Sakit
Variabel |
Tingkat Pengetahuan |
Total |
|||
Rendah |
% |
Tinggi |
% |
||
Jenis Kelamin |
|||||
Laki-laki Perempuan |
4 52 |
17.4 61.9 |
19 32 |
82.6 38.1 |
23 84 |
Pendidikan |
|||||
D3 Keperawatan S1 Keperawatan |
41 15 |
54.7 46.9 |
34 17 |
45.3 53.1 |
75 32 |
Pelatihan |
|||||
Tidak Ada |
31 25 |
53.4 51 |
27 24 |
46.6 49 |
58 49 |
Distribusi frekuensi
karakteristik perawat digambarkan pada tabel 1 dan tabel 2. Tabel 3 menggambarkan distribusi frekuensi jawaban responden mengenai pengetahuan tentang manajemen airborne disease. Tabel
4 menggambarkan distribusi frekuensi tingkat pengetahuan perawat dalam kategori. Tabel 5 menggambarkan tingkat pengetahuan berdasarkan usia dan lama kerja perawat di ruang isolasi rumah
sakit. Tabel 6 menggambarkan tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan menerima pelatihan di ruang isolasi rumah
sakit.
Tabel 1 menunjukkan
gambaran nilai tengah dan lama kerja dari perawat di ruang isolasi rumah
sakit. Pada usia didapatkan rata-rata usia responden adalah 28 tahun dengan standar
deviasi 6,893 tahun. Usia termuda responden
adalah 21 tahun dan usia tertua adalah
50 tahun. Pada variabel
lama kerja didapatkan bahwa rata-rata masa kerja adalah 4 tahun dengan masa kerja tertinggi adalah 32 tahun dan masa kerja terendah adalah satu tahun. Tabel
2 menunjukkan mayoritas responden berjenis kelamin perempuan, berpendidikan D3 Keperawatan, dan
pernah mengikuti pelatihan.
Tabel 3 menunjukkan
mayoritas responden menjawab benar pada setiap poin pertanyaan
pengetahuan perawat, kecuali poin lima, sembilan, lima belas, dan enam belas. Pertanyaan
pada poin lima �pasien dengan airborne disease harus
menggunakan masker bedah saat transportasi�, sebagian besar responden menjawab salah yaitu 77.6%. Pada poin kesembilan �sepatu pelindung harus digunakan saat masuk ke ruang
isolasi airborne�, mayoritas
responden menjawab salah yaitu 96.3%. Pada poin ke lima belas �anteroom digunakan sebagai jalur masuk pasien
dengan airborne disease�, sebagian
besar responden menjawab salah yaitu 67.3%. Kemudian, pada poin ke enam belas
�APD yang harus digunakan sebelum masuk ke
ruang isolasi bertekenan negatif meliputi penutup kepala, sepatu pelindung, gaun pelindung, kacamata pelindung, sarung tangan, dan masker�, sebagian besar responden menjawab salah yaitu 78.5%. Tabel 4 menunjukkan sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan rendah dengan jumlah
54.2%. Hal ini dipengaruhi
oleh beragam faktor yang membuat rendahnya pengetahuan perawat terkait manajemen pencegahan airborne disease seperti
tingkat pendidikan, lama kerja, pelatihan hingga usia.
Berdasarkan Tabel 5 didapatkan bahwa tingkat
pengetahuan terendah perawat berdasarkan usia rata-rata berada pada usia 31,4 dengan standar deviasi 7,452. Sedangkan usia perawat dengan tingkat pengetahuan tinggi berada pada usia rata-rata 29,63. Kaitan tingkat pengetahuan dan lama kerja didapatkan bawah tingkat pengetahuan
rendah berada pada perawat dengan rata-rata lama kerja 8,21 tahun. Sedangkan tingkat pengetahuan tinggi berada pada lama kerja 6,2 tahun.
Berdasarkan Tabel 6 didapatkan bahwa tingkat
pengetahuan terendah perawat berdasarkan jenis kelamin terdapat
pada perawat berjenis kelamin perempuan (61.9%) dari pada perawat laki-laki (17.4%).� Berdasarkan tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan perawat yang rendah paling banyak pada perawat tamatan D3 Keperawatan (54.7%) dibandingkan dengan tamatan S1 Keperawatan (46.9%) walaupun tidak menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan. Berdasarkan pernah atau belumnya
menerima pelatihan, tingkat pengetahuan perawat yang rendah paling banyak ditemukan pada perawat yang belum menerima pelatihan pencegahan infeksi (53.4%) dibandingkan dengan yang sudah menerima pelatihan (51%).
B.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan menjelaskan bahwa usia dapat
mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin tua usia seseorang semakin bijaksana dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuan dan tidak dapat� mengerjakan� kepandaian� baru� kepada� orang� yang� sudah� tua� karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental yang secara langsung mempengaruhi pengetahuan seseorang (Erfandi,
2009).
Sebagian besar
jumlah perawat berjenis kelamin perempuan 84 orang perawat. Sisanya sebanyak 23 orang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini terlihat perbedaan distribusi antara perawat laki dengan
perawat perempuan, dimana sebaran penempatan perawat laki-laki yang lebih sedikit di ruang rawat inap dikarenakan
perawat laki laki lebih banyak
ditempatkan diruang gawat darurat dan kamar operasi. Sehingga terlihat perbedaan yang signifikan. Sebuah hasil penelitian
menegaskan 60% perawat pelaksana berusia pada rentang produktif karena berkisar 20 � 40 tahun (Swasky,
2007). Berdasarkan
beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara jenis kelamin perawat dengan pengtahuan penggunaan alat pelindung diri (p=0,136). Hal ini karena apapun
jenis kelaminnya tidak mempengaruhi menggunakan atau tidak menggunakan APD. Jenis kelamin laki-laki
atau perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menggunakan
atau tidak menggunakan APD dan sama-sama memiliki risiko yang besar terpapar infeksi (Aditya
Sekti Wibowo & Suryani, 2013).
Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan data bahwa lama kerja perawat rata-rata adalah 7,3 tahun, dengan masa kerja tertinggi adalah 32 tahun dan masa kerja terendah adalah 1 tahun. Orang yang memiliki lama kerja yang lebih lama akan cenderung menurun produktivitasnya karena terjadi kebosanan. Begitu pula pada aspek pengalaman kerja yang mana perawat yang memiliki lama kerja 2 tahun, 7 tahun, 11 tahun, dan 20 tahun terbiasa hanya menggunakan alat pelindung diri yang minim yaitu hanya baju kerja, masker, dan sarung tangan saja
(Mulyaningsih,
2013; Sarce, 2009; AS Wibowo, Suryani, & Sayono, 2013). Jika mengacu
pada penelitian terkait sebelumnya dengan masa kerja yang cenderung lama secara tidak langsung
akan mengurangi motivasi peningkatan pengetahuan ditambah lagi kurangnya pertukaran ruang kerja keruangan lain.
Terdapat 45,8% perawat
ruang isolasi tidak pernah mengikuti
pelatihan tentang pencegahan infeksi. Melihat data tersebut hampir sebagian perawat ruang isolasi
belum pernah mendapatkan pelatihan tentang manajemen pencegahan infeksi. Jika dilihat kaitan antara pengalaman pelatihan dengan tingkat pengetahuan, didapatkan tingkat pengetahuan rendah lebih banyak pada perawat yang belum menerima pelatihan (53.4%) dibandingkan dengan yang sudah pernah menerima
pelatihan (51%), walaupun tidak menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan. Dari data tersebut peneliti berasumsi bahwa bisa jadi
ada rentang waktu yang cukup jauh pada pengalaman pelatihan yang telah diberikan dan tidak adanya penyegaran kembali sehingga ketika terjadi pengulangan materi sebagian responden sedikit kesulitan untuk mengingat kembali materi tersebut. Sedangkan besar kemungkinan 24 orang perawat yang belum pernah mengikuti pelatihan pencegahn infeksi namun memiliki
pengetahuan yang tinggi, peneliti berasumsi bahwa ini dipengaruhi
oleh faktor faktor yang dapat meningkatkan pengetahuan yakni pendidikan, informasi, sosial budaya, lingkungan, dan usia. Semakin berkembangnya teknologi menyediakan bermacam-macam media massa sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat (Maulana,
2012).
Berdasarkan latar
belakang pendidikan, perawat tamatan D3 Keperawatan sebanyak 70,1% dan tamatan S1 Profesi Keperawatan sebanyak 29,9%. Pada tingkat pengetahuan rendah lebih banyak
ditemukan pada perawat tamatan D3 Keperawatan (54.7%) dibandingkan dengan perawat tamatan S1 Profesi Keperawatan (46.9%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Setianingsih (2014) yang
menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin baik berperilaku. Seseorang berpendidikan tinggi akan lebih
rasional dan kreatif serta terbuka dalam
menerima adanya bermacam usaha pembaharuan (Setianingsih,
2014). Merujuk
kepada pendapat tersebut, peneliti setuju dengan karena
hal itu sejalan
dengan hasil yang terdapat pada penelitian yang peneliti lakukan dimana ada 53.1% perawat S1 Profesi yang memiliki pengetahuan tinggi, sedangkan pada jenjang pendidikan D3 Keperawatan yang memiliki pengetahuan tinggi hanya sebesar 45.3%. Pada hasil penelitian ditemukan tingkat pengetahuan yang rendah namun tamatan S1 Profesi sebanyak 46.9%. Sedangkan terdapat 46.6% perawat yang tidak pernah mengikuti pelatihan infeksi namun memiliki pengetahuan yang tinggi. Hal tersebut menandakan bahwa untuk meningkatkan
pengetahuan bukan terletak pada jenjang pendidikan saja, namun ada faktor
lain yang berperan untuk meningkatkan pengetahuan selain dari pendidikan,
pengalaman, informasi
media, dan juga lingkungan (Budiman
& Riyanto, 2013).
Secara keseluruhan
dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 54.2% perawat masih memiliki
pengetahuan yang rendah dan
sebanyak 45.8% perawat memiliki pengetahuan yang tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa masih cukup banyak
perawat yang memiliki pengetahuan yang rendah tentang manajemen pencegahan airborne
disease. Dilihat dari jawaban responden pada setiap poin pertanyaan,
poin kelima, kesembilan, kelima belas, dan keenam belas merupakan pertanyaan yang paling banyak dijawab salah oleh responden.
Pada poin pertanyaan kelima alasan responden
mayoritas menjawab salah yakni secara obseservatif
selama ini pasien yang keluar ruangan untuk melakukan
pemersiksaan seperti rontgen tidak selalu menggunakan masker, atau kalaupun menggunakan
belum sesuai dengan standar penggunan. Alasan lain mayoritas responden salah dalam menjawab pertanyaan poin kesembilan dikarenakan perawat di Rumah Sakit X tidak terbiasa
menggunakan sepatu khusus yang seharusnya hanya digunakan diruang isolasi. Selama ini sepatu
yang digunakan untuk masuk kedalam ruang
isolasi yakni sepatu yang digunakan diluar ruang isolasi.
Selanjutnya alasan mayoritas responden menjawab salah pada pertanyaan poin kelima belas
yakni dikarenakan penggunaan ruang anteroom selama ini tidak
sesuai dengan fungsi yang seharusnya. Dimana jalur masuk dan keluar pasien airborne itu hanya melalui
satu pintu yakni melalui ruang
anteroom. Padahal seharusnya
ruang anteroom tidak
diperbolehkan digunakan untuk jalur pasien.
Sehingga dengan pola yang sudah ada dianggap biasa
dan normal terjadi walaupun
sebenarnya itu kurang tepat. Selanjutnya
pada poin pertanyaan keenam belas alasan
mayoritas responden menjawab salah terkait penggunaan alat pelindung diri yang lengkap dikarenakan sampai penelitian ini dilakukan tidak
pernah adanya perawat yang menggunaakan alat pelindung diri yang lengkap mulai dari topi, gaun, hingga sepatu
khusus. Secara observatif satu satunya alat pelindung
diri yang digunakan untuk masuk kedalam
ruang isolasi yakni hanya masker N95 dan sarung tangan.
Uraian tersebut
menjadi sebuah refleksi bahwa dengan semakin rendahnya pengetahuan dapat meningkatkan risiko penularan infeksi akibat kesalahan dalam manajemen pencegahan infeksi airborne. Rendahnya pengetahuan terhadap pengelolaan sumber infeksi dapat meningkatkan keterpaparan orang di lingungan sekitar. Namun sebaliknya dengan pengetahuan yang baik, risiko penularan dapat diminimalisir dengan sempurna. Hal ini karena suatu
pemebelajarn kognitif yang diterima dengan baik akan menjadi
sebuah pengetahuan yang dapat secara langsung
diaplikasikan sehingga jika dikaitkan dengan hubungan antara pengetahuan dan pencegahan infeksi maka hal ini
sangat berhubungan. Pengetahuan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni pendidikan,
informasi, usia, lingkungan, dan sosial budaya (Allender,
Rector, & Warner, 2014; Notoadmojo, 2012).
Kesimpulan
Hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa lebih dari
separuhnya (52,3%) perawat memiliki pengetahuan yang rendah terkait manajemen pencegahan airborne
disease. Sedangkan sisanya
sebanyak 47,7% memiliki pengetahuan tinggi terkait manajemen
perncegahan airborne disease. Hal ini dipengaruhi oleh beragam faktor yang membuat rendahnya pengetahuan perawat terkait manajemen pencegahan airborne disease seperti
tingkat pendidikan, lama kerja, pelatihan hingga usia. Peneliti
berharap adanya pelatihan terkait manajemen pencegahan infeksi airborne disease secara
berkala sehingga seluruh perawat ruang isolasi memiliki
pengetahuan yang baik terhadap manajemen pencegahan infeksi airborne disease di rumah sakit.
Allender, J. A., Rector, C., & Warner, K. D.
(2014). Community dan public health nursing promoting the public�s health
(8th Ed.) (8th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Budiman, & Riyanto, A. (2013). Kapita
Selekta Kuesioner Pengetahuan Dan Sikap Dalam Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Erfandi. (2009). Definisi Pengetahuan
Serta Faktor Yang Mempengaruhinya.
Instalasi Rekam Medis. (2018). Laporan Morbiditas
Rawat Inap 2016 - 2017.
Kemenkes RI. (2014). Riskesdas 2013.
Jakarta.
Kemenkes RI. (2015). Tuberkulosis
Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta.
Kemenkes RI. (2017). Profil Kesehatan
Indonesia 2016. Jakarta.
Kowalski, W. J. (2006). Aerobiological
Engineering Handbook: A Guide to Airborne Disease Control Technologies. New
York, USA: Mc-Graw Hill.
Maulana, LAM. (2012). Gambaran Pengetahuan,
Sikap Dan Tindakan Terhadap Status Gizi Siswa SD Inpres 2 Pannamu. Jurnal
Kesmas, 2(3), 2�24.
Mulyaningsih, Endang. (2013). Metode
Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Notoadmojo, Soekidjo. (2012). Promosi
Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sarce. (2009). Artikel riset keperawatan
proteksi diri perawat dalam pemberian sitostatika di rumah sakit umum daerah
propinsi Sulawesi tenggara.
Schoen, Lawrence J. (2012). Position
Document on Airborne Infectious Disease. ASHARE. Columbia.
Setianingsih, Y. (2014). Perbedaan
tingkat kepatuhan penggnaan alat pelindung diri pada perawat.
Swasky. (2007). Could employment based
targeting approach save Egypt ini moving toward a social health insurance
models. EMHJ (East Mediteranian Health Journal).
Tuberculosis Surveillence Center. (2016). Tuberculosis
in Japan Annual report 2016. The research Institute of Tuberculosis. Tokyo.
WHO. (2017). Influenza (Avian and other
Zoonotic).
Wibowo, Aditya Sekti, & Suryani, Maria.
(2013). Hubungan Karakteristik Perawat Dengan Penggunaan Sarung Tangan Pada
Tindakan Ivasif Di Ruang Rawat Inap Rsud Dr. H. Soewondo Kendal. Karya
Ilmiah.
Wibowo, AS, Suryani, M., & Sayono.
(2013). Hubungan karakteristik perawat dengan penggunaan sarung tangan pada
tindakan invasif di ruang rawat inap RSUD Dr. H. Soewondo Kendal. Jurnal
Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, 1(4), 1�9.
Copyright holder: Heru Komarudin,
Amal Chaliq Sjaaf, Riri
Maria (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |