Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, Special Issue, No. 2, Desember 2021

� ���������

PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN PENCEGAHAN AIRBORNE DISEASE PADA PERAWAT DI RUANG ISOLASI RUMAH SAKIT

 

1Heru Komarudin, 2Amal Chaliq Sjaaf, 3Riri Maria

1Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

2Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

3Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penyakit TB paru dan pneumonia merupakan salah satu penyakit akibat dari Airborne Disease. Sebanyak 329 kasus TB Paru dan 304 kasus pneumonia ditemukan di rumah sakit pemerintah Jakarta pada tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran pengetahuan tentang manajemen airborne disease pada perawat di ruang isolasi rumah sakit. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah semua perawat yang bekerja di ruang isolasi Rumah Sakit Pemerintah Jakarta dengan jumlah sampel 107 responden. Cara pengambilan sampel dengan simple random sampling. Pengumpulan data menggunakan wawancara menggunakan kuesioner yang telah dilakukan uji validitas. Analisis data dilakukan secara univariat deskriptif. Hasil penelitian didapatkan data bahwa lebih dari separuhnya (54.2%) perawat memiliki pengetahuan yang rendah dan sebanyak 47,7% perawat memiliki pengetahuan tinggi. Diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelatihan kepada perawat terkait manajemen pencegahan infeksi secara berkala dan berkesinambungan sehingaa seluruh perawat ruang isolasi memiliki pengetahuan yang sama terhadap menejemen pencegahan infeksi airborne disease.

 

Kata Kunci: airborne disease; ruang isolasi; pengetahuan; rumah sakit

 

Abstract

Tuberculosis and pneumonia are diseases caused by Airborne Disease. A total of 329 cases of pulmonary TB and 304 cases of pneumonia were found in Jakarta government hospitals in 2017. This study aims to provide an overview of knowledge about airborne disease management for nurses in hospital isolation rooms. This study used a cross sectional design. The study population was all nurses who worked in the isolation room of the Jakarta Government Hospital with a total sample of 107 respondents. The sampling method is simple random sampling. Collecting data using interviews using a questionnaire that has been tested for validity. Data analysis was carried out using descriptive univariate. The results showed that more than half (54.2%) of nurses had low knowledge and 47.7% of nurses had high knowledge. It is hoped that the hospital can provide training to nurses related to infection prevention management on a regular and continuous basis so that all isolation room nurses have the same knowledge of the management of prevention of airborne disease infection.

 

Keywords: airborne diseases; isolation room; knowledge; hospital

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20

 

Pendahuluan

Airborne Disease adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh agen mikroba patogen dan ditularkan melalui udara serta dapat ditularkan melalui batuk, bersin, tertawa atau melalui kontak fisik yang dekat. Patogen ini masuk melalui partikel debu atau hembusan pernapasan yang dapat menyebabkan penyakit pada saluran pernapasan atau iritasi (Kowalski, 2006; Schoen, 2012). Penyakit yang termasuk kedalam klasifikasi Airborne Disease meliputi TB Paru, pneumonia, difteri, campak, meningitis, H1N1 flu Influenza, H5N1 flu burung dan legionaires (Schoen, 2012). TB Paru dan Pneumonia termasuk ke dalam airborne disease yang mana kedua penyakit tersebut sering kali menyerang masyarakat terutama di rumah sakit. Terdapat 10,4 juta orang di dunia menderita penyakit TB Paru dan meningkat sebanyak 200 ribu pasien dari tahun 2015. Sedangkan penyakit pneumonia di dunia juga masih menjadi sebuah masalah besar. Pada tahun 2010 jumlah pneumonia disalah satu negara Eropa yakni di Finlandia dilaporkan terdapat 222 kasus per 100.000 penduduk, kemudian meningkat menjadai 1.242 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2011 (Tuberculosis Surveillence Center, 2016; WHO, 2017).

Prevalensi penyakit TB Paru sebesar 156.723 orang. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya 2015 yang terdapat 188.405 kasus, namun hal ini tetap termasuk dalam jumlah yang cukup signifikan mengingat Indonesia menduduki peringkat penyakit TB Paru nomor 5 terbesar di dunia. Jumlah pasien TB Paru di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 156.723 pasien dengan BTA positif. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara Jepang, Australia, dan New Zealand yang memiliki angka kejadian 10 per 100.000 penduduk pertahun (Kemenkes RI, 2015, 2017; WHO, 2017).

Prevalensi kejadian pneumonia pada tahun 2013 sebesar 4,5% dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia. Selain itu, pneumonia merupakan salah satu dari 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan data tersebut jelas bahwa angka kejadian airborne disease di Indonesia masih terbilang tinggi. Hal ini dibuktikan dari dua contoh penyakit yakni TB Paru dan pneumonia. Oleh karena itu, perlu diberikan perhatian khusus agar angka kejadian ini tidak terus meningkat salah satunya dengan cara melakukan pencegahan penularan.

Rumah Sakit X merupakan rumah sakit pusat pemerintah rujukan nasional yang berada di Jakarta dan menjadi rujukan dari beberapa rumah sakit daerah yang dapat melayani pasien dengan kondisi akut maupun kronis khususnya penyakit paru. Jumlah pasien airborne disease di dunia tiap tahunnya semakin meningkat. Sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melaui udara, TB paru adalah penyakit dengan prevalensi yang cukup besar di dunia.

Berdasarkan data di Rumah Sakit Pemerintah ini, yang terdiagnosis penyakit TB paru dan dirawat di ruang isolasi pada tahun 2016 terdapat 348 pasien dengan rentang kelompok usia antara 1 tahun sampai dengan 65 tahun. Prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia antara 45-64 tahun. Pada tahun 2017 terjadi penurunan jumlah pasien TB Paru menjadi 329 pasien yang dirawat di ruang isolasi pasien yang terdiagnosis Pneumonia yang dirawat di Rumah Sakit X terdapat 358 kasus pada tahun 2016 dan menurun menjadi 304 kasus pada tahun 2017, dan angka kejadian tertinggi terdapat pada kelompok usia 45-64 tahun (Instalasi Rekam Medis, 2018).

Penularan airborne disease sampai saat ini masih terus terjadi sehingga perlu dilakukan suatu manajemen pencegahan. Salah satu upaya yang dilakukan pihak rumah sakit adalah dengan melakukan manajemen pengendalian infeksi airborne disease yakni dengan membangun ruangan yang sesuai dengan standar ruang isolasi. Perawat sebagai garda terdepan pelayanan rumah sakit perlu untuk selalu melakukan tindakan pencegahan mulai dari melakukan hand hygiene hingga penggunaan alat pelindung diri, baik itu gaun, kaca mata google, dan juga masker N95. Perawat sebagai tenaga kesehatan yang paling pertama menangani pasien dan berada selama 24 jam bersama pasien sehingga berisiko tinggi terrtular penyakit. Berdasarkan hasil observasi dan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti ditemukan sebanyak empat orang perawat terinfeksi penyakit TB Paru dan menjalani pengobatan TB Paru di Rumah Sakit X.� Oleh karena itu pengetahuan mengenai manajemen pencegahan airborne disease menjadi penting untuk diketahui oleh perawat guna melindungi diri dari penularan infeksi airborne disease.

Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan tentang manajemen pencegahan airborne disease pada perawat di ruang isolasi Rumah Sakit.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini dilakukan di ruang isolasi rumah sakit X dengan populasi semua perawat berjumlah 132 responden. Jumlah sampel dalam penelitian sebanyak 107 responden dengan teknik pengambilan sampel yaitu simple random sampling. Pengumpulan data menggunakan data primer. Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan perawat tentang manajemen airborne disease berdasarkan karakteristik perawat yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, dan pelatihan. Kuesioner yang digunakan menggunakan skala guttman dengan jumlah soal 16 butir. Skor setiap pilihan jawaban benar diberikan nilai 1 dan jawaban salah diberikan nilai 0. Peneliti menentukan cut off point menggunakan nilai mean yaitu 10 yang ditujukan untuk menentukan batasan nilai tingkat pengetahuan. Cut off point merupakan titik poin yang membagi skor total pengetahuan menjadi dua kategori, yaitu 0 � 10 yang berarti tingkat pengetahuan rendah dan 11 � 16 yang berarti tingkat pengetahuan tinggi. Kuesioner telah diuji validitas pada karakteristik responden yang sama namun bukan pada area penelitian yang akan diteliti. Pengolahan data menggunakan menggunakan analisis univariat dengan software SPSS versi 22. Hasil penelitian dianalisis secara univariat untuk mengetahui gambaran pengetahuan tentang manajemen pencegahan airborne disease pada perawat di ruang isolasi rumah sakit. Data kemudian disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi karena menggunakan skala kategorik.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Hasil

Tabel 1

Karakteristik Perawat di Ruang Isolasi Rumah Sakit

Berdasarkan Usia dan Lama Kerja

Karakteristik

N

Min - Max

Median

Mean

SD

95% CI

Usia

107

21 � 50

28

30,52

6,893

29,20 � 31,84

Lama Kerja

107

1 � 32

4

7,25

7,27

5,85 � 8,65

 

Tabel 2

Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat Berdasarkan

Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, dan Menerima

Pelatihan di Ruang Isolasi Rumah Sakit

Variabel

Frekuensi (f)

Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

 

23

84

 

21.5

78.5

Pendidikan

D3 Keperawatan

S1 Profesi

 

75

32

 

70.1

29.9

Pelatihan

Pernah

Tidak Pernah

 

58

49

 

54.2

45.8

 

Tabel 3

Distribusi Jawaban Responden Mengenai

Pengetahuan Perawat tentang Manajemen Airborne Disease

No.

Pertanyaan

Benar

Salah

N

%

N

%

1.

Airborne disease dapat menular melalui kontak sentuhan

96

89.7

11

10.3

2.

Meningitis dan campak tidak dapat menular melalui udara

70

65.4

37

34.6

3.

H1N1 Influenza, legionaires, dan difteri dapat menular melalui udara

101

94.4

6

5.6

4.

Patogen airborne disease tidak dapat bertahan pada atmosfer yang kering

102

95.3

5

4.7

5.

Pasien dengan airborne disease harus menggunakan masker bedah saat transportasi

24

22.4

83

77.6

6.

Masker N95 dapat digunakan sampai dengan lebih dari 46 jam

92

86

15

14

7.

Magnahelic berfungsi sebagai indikator tekanan dalam ruangan

57

53.3

50

46.7

8.

HEPA filter (High Efficiency Particulate Air) berfungsi untuk mengevakuasi mikroorganisme keluar ruangan

100

93.5

7

6.5

9.

Sepatu pelindung harus digunakan saat masuk ke ruang Isolasi airborne

4

3.7

103

96.3

10.

Penutup pelindung kepala tidak wajib digunakan saat masuk ke ruang isolasi airborne

56

52.3

51

47.7

11.

Masker N95 bisa digunakan secara bergantian dengan petugas lain

56

52.3

51

47.7

12.

Exhaust fan berfungsi mengeluarkan mikroorganisme keluar ruangan

90

84.1

17

15.9

13.

Baju pelindung bekas pemakaian diruang isolasi boleh dibuang ke pembuangan linen non infeksius

93

86.9

14

13.1

14.

Anteroom digunakan untuk memakai alat pelindung diri (APD) sebelum masuk ke ruang isolasi bertekanan negatif

90

84.1

17

15.9

15.

Anteroom digunakan sebagai jalur masuk pasien dengan airborne disease

35

32.7

72

67.3

16.

Alat pelindung diri yang harus digunakan sebelum masuk ke ruang Isolasi bertekanan negatif meliputi penutup kepala, sepatu pelindung, gaun pelindung, kacamata pelindung, sarung tangan, masker

23

21.5

84

78.5

 

Tabel 4

Distribusi Kategori Tingkat Pengetahuan

Perawat di Ruang Isolasi Rumah Sakit

Variabel

Frekuensi (f)

Persentase (%)

Pengetahuan

Rendah

Tinggi

 

58

49

 

54.2

45.8

 

Tabel 4

Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Karakteristik

Perawat Berdasarkan Usia dan Lama Kerja di Ruang

Isolasi Rumah Sakit

Variabel

Tingkat Pengetahuan

Rendah

Tinggi

Rata-rata

Standar Deviasi

Rata-rata

Standar Deviasi

Usia

31.26

7.335

29.66

6.293

Lama Kerja

8.10

8.043

6.24

6.277

 

Tabel 5

Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Karakteristik

Perawat Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat

Pendidikan, dan Menerima Pelatihan di Ruang Isolasi Rumah Sakit

Variabel

Tingkat Pengetahuan

Total

Rendah

%

Tinggi

%

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

4

52

17.4

61.9

19

32

82.6

38.1

23

84

Pendidikan

D3 Keperawatan

S1 Keperawatan

41

15

54.7

46.9

34

17

45.3

53.1

75

32

Pelatihan

Tidak

Ada

31

25

53.4

51

27

24

46.6

49

58

49

 

Distribusi frekuensi karakteristik perawat digambarkan pada tabel 1 dan tabel 2. Tabel 3 menggambarkan distribusi frekuensi jawaban responden mengenai pengetahuan tentang manajemen airborne disease. Tabel 4 menggambarkan distribusi frekuensi tingkat pengetahuan perawat dalam kategori. Tabel 5 menggambarkan tingkat pengetahuan berdasarkan usia dan lama kerja perawat di ruang isolasi rumah sakit. Tabel 6 menggambarkan tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan menerima pelatihan di ruang isolasi rumah sakit.

Tabel 1 menunjukkan gambaran nilai tengah dan lama kerja dari perawat di ruang isolasi rumah sakit. Pada usia didapatkan rata-rata usia responden adalah 28 tahun dengan standar deviasi 6,893 tahun. Usia termuda responden adalah 21 tahun dan usia tertua adalah 50 tahun. Pada variabel lama kerja didapatkan bahwa rata-rata masa kerja adalah 4 tahun dengan masa kerja tertinggi adalah 32 tahun dan masa kerja terendah adalah satu tahun. Tabel 2 menunjukkan mayoritas responden berjenis kelamin perempuan, berpendidikan D3 Keperawatan, dan pernah mengikuti pelatihan.

Tabel 3 menunjukkan mayoritas responden menjawab benar pada setiap poin pertanyaan pengetahuan perawat, kecuali poin lima, sembilan, lima belas, dan enam belas. Pertanyaan pada poin lima �pasien dengan airborne disease harus menggunakan masker bedah saat transportasi�, sebagian besar responden menjawab salah yaitu 77.6%. Pada poin kesembilan �sepatu pelindung harus digunakan saat masuk ke ruang isolasi airborne�, mayoritas responden menjawab salah yaitu 96.3%. Pada poin ke lima belas �anteroom digunakan sebagai jalur masuk pasien dengan airborne disease�, sebagian besar responden menjawab salah yaitu 67.3%. Kemudian, pada poin ke enam belas �APD yang harus digunakan sebelum masuk ke ruang isolasi bertekenan negatif meliputi penutup kepala, sepatu pelindung, gaun pelindung, kacamata pelindung, sarung tangan, dan masker�, sebagian besar responden menjawab salah yaitu 78.5%. Tabel 4 menunjukkan sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan rendah dengan jumlah 54.2%. Hal ini dipengaruhi oleh beragam faktor yang membuat rendahnya pengetahuan perawat terkait manajemen pencegahan airborne disease seperti tingkat pendidikan, lama kerja, pelatihan hingga usia.

Berdasarkan Tabel 5 didapatkan bahwa tingkat pengetahuan terendah perawat berdasarkan usia rata-rata berada pada usia 31,4 dengan standar deviasi 7,452. Sedangkan usia perawat dengan tingkat pengetahuan tinggi berada pada usia rata-rata 29,63. Kaitan tingkat pengetahuan dan lama kerja didapatkan bawah tingkat pengetahuan rendah berada pada perawat dengan rata-rata lama kerja 8,21 tahun. Sedangkan tingkat pengetahuan tinggi berada pada lama kerja 6,2 tahun.

Berdasarkan Tabel 6 didapatkan bahwa tingkat pengetahuan terendah perawat berdasarkan jenis kelamin terdapat pada perawat berjenis kelamin perempuan (61.9%) dari pada perawat laki-laki (17.4%).� Berdasarkan tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan perawat yang rendah paling banyak pada perawat tamatan D3 Keperawatan (54.7%) dibandingkan dengan tamatan S1 Keperawatan (46.9%) walaupun tidak menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan. Berdasarkan pernah atau belumnya menerima pelatihan, tingkat pengetahuan perawat yang rendah paling banyak ditemukan pada perawat yang belum menerima pelatihan pencegahan infeksi (53.4%) dibandingkan dengan yang sudah menerima pelatihan (51%).

B.  Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan menjelaskan bahwa usia dapat mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin tua usia seseorang semakin bijaksana dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuan dan tidak dapat� mengerjakan� kepandaian� baru� kepada� orang� yang� sudah� tua� karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental yang secara langsung mempengaruhi pengetahuan seseorang (Erfandi, 2009).

Sebagian besar jumlah perawat berjenis kelamin perempuan 84 orang perawat. Sisanya sebanyak 23 orang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini terlihat perbedaan distribusi antara perawat laki dengan perawat perempuan, dimana sebaran penempatan perawat laki-laki yang lebih sedikit di ruang rawat inap dikarenakan perawat laki laki lebih banyak ditempatkan diruang gawat darurat dan kamar operasi. Sehingga terlihat perbedaan yang signifikan. Sebuah hasil penelitian menegaskan 60% perawat pelaksana berusia pada rentang produktif karena berkisar 20 � 40 tahun (Swasky, 2007). Berdasarkan beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin perawat dengan pengtahuan penggunaan alat pelindung diri (p=0,136). Hal ini karena apapun jenis kelaminnya tidak mempengaruhi menggunakan atau tidak menggunakan APD. Jenis kelamin laki-laki atau perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menggunakan atau tidak menggunakan APD dan sama-sama memiliki risiko yang besar terpapar infeksi (Aditya Sekti Wibowo & Suryani, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa lama kerja perawat rata-rata adalah 7,3 tahun, dengan masa kerja tertinggi adalah 32 tahun dan masa kerja terendah adalah 1 tahun. Orang yang memiliki lama kerja yang lebih lama akan cenderung menurun produktivitasnya karena terjadi kebosanan. Begitu pula pada aspek pengalaman kerja yang mana perawat yang memiliki lama kerja 2 tahun, 7 tahun, 11 tahun, dan 20 tahun terbiasa hanya menggunakan alat pelindung diri yang minim yaitu hanya baju kerja, masker, dan sarung tangan saja (Mulyaningsih, 2013; Sarce, 2009; AS Wibowo, Suryani, & Sayono, 2013). Jika mengacu pada penelitian terkait sebelumnya dengan masa kerja yang cenderung lama secara tidak langsung akan mengurangi motivasi peningkatan pengetahuan ditambah lagi kurangnya pertukaran ruang kerja keruangan lain.

Terdapat 45,8% perawat ruang isolasi tidak pernah mengikuti pelatihan tentang pencegahan infeksi. Melihat data tersebut hampir sebagian perawat ruang isolasi belum pernah mendapatkan pelatihan tentang manajemen pencegahan infeksi. Jika dilihat kaitan antara pengalaman pelatihan dengan tingkat pengetahuan, didapatkan tingkat pengetahuan rendah lebih banyak pada perawat yang belum menerima pelatihan (53.4%) dibandingkan dengan yang sudah pernah menerima pelatihan (51%), walaupun tidak menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan. Dari data tersebut peneliti berasumsi bahwa bisa jadi ada rentang waktu yang cukup jauh pada pengalaman pelatihan yang telah diberikan dan tidak adanya penyegaran kembali sehingga ketika terjadi pengulangan materi sebagian responden sedikit kesulitan untuk mengingat kembali materi tersebut. Sedangkan besar kemungkinan 24 orang perawat yang belum pernah mengikuti pelatihan pencegahn infeksi namun memiliki pengetahuan yang tinggi, peneliti berasumsi bahwa ini dipengaruhi oleh faktor faktor yang dapat meningkatkan pengetahuan yakni pendidikan, informasi, sosial budaya, lingkungan, dan usia. Semakin berkembangnya teknologi menyediakan bermacam-macam media massa sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat (Maulana, 2012).

Berdasarkan latar belakang pendidikan, perawat tamatan D3 Keperawatan sebanyak 70,1% dan tamatan S1 Profesi Keperawatan sebanyak 29,9%. Pada tingkat pengetahuan rendah lebih banyak ditemukan pada perawat tamatan D3 Keperawatan (54.7%) dibandingkan dengan perawat tamatan S1 Profesi Keperawatan (46.9%). Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Setianingsih (2014) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin baik berperilaku. Seseorang berpendidikan tinggi akan lebih rasional dan kreatif serta terbuka dalam menerima adanya bermacam usaha pembaharuan (Setianingsih, 2014). Merujuk kepada pendapat tersebut, peneliti setuju dengan karena hal itu sejalan dengan hasil yang terdapat pada penelitian yang peneliti lakukan dimana ada 53.1% perawat S1 Profesi yang memiliki pengetahuan tinggi, sedangkan pada jenjang pendidikan D3 Keperawatan yang memiliki pengetahuan tinggi hanya sebesar 45.3%. Pada hasil penelitian ditemukan tingkat pengetahuan yang rendah namun tamatan S1 Profesi sebanyak 46.9%. Sedangkan terdapat 46.6% perawat yang tidak pernah mengikuti pelatihan infeksi namun memiliki pengetahuan yang tinggi. Hal tersebut menandakan bahwa untuk meningkatkan pengetahuan bukan terletak pada jenjang pendidikan saja, namun ada faktor lain yang berperan untuk meningkatkan pengetahuan selain dari pendidikan, pengalaman, informasi media, dan juga lingkungan (Budiman & Riyanto, 2013).

Secara keseluruhan dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 54.2% perawat masih memiliki pengetahuan yang rendah dan sebanyak 45.8% perawat memiliki pengetahuan yang tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa masih cukup banyak perawat yang memiliki pengetahuan yang rendah tentang manajemen pencegahan airborne disease. Dilihat dari jawaban responden pada setiap poin pertanyaan, poin kelima, kesembilan, kelima belas, dan keenam belas merupakan pertanyaan yang paling banyak dijawab salah oleh responden. Pada poin pertanyaan kelima alasan responden mayoritas menjawab salah yakni secara obseservatif selama ini pasien yang keluar ruangan untuk melakukan pemersiksaan seperti rontgen tidak selalu menggunakan masker, atau kalaupun menggunakan belum sesuai dengan standar penggunan. Alasan lain mayoritas responden salah dalam menjawab pertanyaan poin kesembilan dikarenakan perawat di Rumah Sakit X tidak terbiasa menggunakan sepatu khusus yang seharusnya hanya digunakan diruang isolasi. Selama ini sepatu yang digunakan untuk masuk kedalam ruang isolasi yakni sepatu yang digunakan diluar ruang isolasi. Selanjutnya alasan mayoritas responden menjawab salah pada pertanyaan poin kelima belas yakni dikarenakan penggunaan ruang anteroom selama ini tidak sesuai dengan fungsi yang seharusnya. Dimana jalur masuk dan keluar pasien airborne itu hanya melalui satu pintu yakni melalui ruang anteroom. Padahal seharusnya ruang anteroom tidak diperbolehkan digunakan untuk jalur pasien. Sehingga dengan pola yang sudah ada dianggap biasa dan normal terjadi walaupun sebenarnya itu kurang tepat. Selanjutnya pada poin pertanyaan keenam belas alasan mayoritas responden menjawab salah terkait penggunaan alat pelindung diri yang lengkap dikarenakan sampai penelitian ini dilakukan tidak pernah adanya perawat yang menggunaakan alat pelindung diri yang lengkap mulai dari topi, gaun, hingga sepatu khusus. Secara observatif satu satunya alat pelindung diri yang digunakan untuk masuk kedalam ruang isolasi yakni hanya masker N95 dan sarung tangan.

Uraian tersebut menjadi sebuah refleksi bahwa dengan semakin rendahnya pengetahuan dapat meningkatkan risiko penularan infeksi akibat kesalahan dalam manajemen pencegahan infeksi airborne. Rendahnya pengetahuan terhadap pengelolaan sumber infeksi dapat meningkatkan keterpaparan orang di lingungan sekitar. Namun sebaliknya dengan pengetahuan yang baik, risiko penularan dapat diminimalisir dengan sempurna. Hal ini karena suatu pemebelajarn kognitif yang diterima dengan baik akan menjadi sebuah pengetahuan yang dapat secara langsung diaplikasikan sehingga jika dikaitkan dengan hubungan antara pengetahuan dan pencegahan infeksi maka hal ini sangat berhubungan. Pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni pendidikan, informasi, usia, lingkungan, dan sosial budaya (Allender, Rector, & Warner, 2014; Notoadmojo, 2012).

 

Kesimpulan

Hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa lebih dari separuhnya (52,3%) perawat memiliki pengetahuan yang rendah terkait manajemen pencegahan airborne disease. Sedangkan sisanya sebanyak 47,7% memiliki pengetahuan tinggi terkait manajemen perncegahan airborne disease. Hal ini dipengaruhi oleh beragam faktor yang membuat rendahnya pengetahuan perawat terkait manajemen pencegahan airborne disease seperti tingkat pendidikan, lama kerja, pelatihan hingga usia. Peneliti berharap adanya pelatihan terkait manajemen pencegahan infeksi airborne disease secara berkala sehingga seluruh perawat ruang isolasi memiliki pengetahuan yang baik terhadap manajemen pencegahan infeksi airborne disease di rumah sakit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Allender, J. A., Rector, C., & Warner, K. D. (2014). Community dan public health nursing promoting the public�s health (8th Ed.) (8th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

 

Budiman, & Riyanto, A. (2013). Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan Dan Sikap Dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

 

Erfandi. (2009). Definisi Pengetahuan Serta Faktor Yang Mempengaruhinya.

 

Instalasi Rekam Medis. (2018). Laporan Morbiditas Rawat Inap 2016 - 2017.

 

Kemenkes RI. (2014). Riskesdas 2013. Jakarta.

 

Kemenkes RI. (2015). Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta.

 

Kemenkes RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta.

 

Kowalski, W. J. (2006). Aerobiological Engineering Handbook: A Guide to Airborne Disease Control Technologies. New York, USA: Mc-Graw Hill.

 

Maulana, LAM. (2012). Gambaran Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Terhadap Status Gizi Siswa SD Inpres 2 Pannamu. Jurnal Kesmas, 2(3), 2�24.

 

Mulyaningsih, Endang. (2013). Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

 

Notoadmojo, Soekidjo. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Sarce. (2009). Artikel riset keperawatan proteksi diri perawat dalam pemberian sitostatika di rumah sakit umum daerah propinsi Sulawesi tenggara.

 

Schoen, Lawrence J. (2012). Position Document on Airborne Infectious Disease. ASHARE. Columbia.

 

Setianingsih, Y. (2014). Perbedaan tingkat kepatuhan penggnaan alat pelindung diri pada perawat.

 

Swasky. (2007). Could employment based targeting approach save Egypt ini moving toward a social health insurance models. EMHJ (East Mediteranian Health Journal).

 

Tuberculosis Surveillence Center. (2016). Tuberculosis in Japan Annual report 2016. The research Institute of Tuberculosis. Tokyo.

 

WHO. (2017). Influenza (Avian and other Zoonotic).

Wibowo, Aditya Sekti, & Suryani, Maria. (2013). Hubungan Karakteristik Perawat Dengan Penggunaan Sarung Tangan Pada Tindakan Ivasif Di Ruang Rawat Inap Rsud Dr. H. Soewondo Kendal. Karya Ilmiah.

 

Wibowo, AS, Suryani, M., & Sayono. (2013). Hubungan karakteristik perawat dengan penggunaan sarung tangan pada tindakan invasif di ruang rawat inap RSUD Dr. H. Soewondo Kendal. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, 1(4), 1�9.

 

Copyright holder:

Heru Komarudin, Amal Chaliq Sjaaf, Riri Maria (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: