�Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849
��e-ISSN : 2548-1398
Vol.
1, Special Issue, No. 7, Januari 2022
�
MENJAGA TRADISI,
MEMPERSIAPKAN REGENERASI (STUDI PERSONAL WANGI INDRIYA)
Fariz Fardani Nurbaihaqi, Elly Malihah, Rini Andari
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini berangkat dari masih terbatasnya literatur mengenai seni pertunjukan dan gerakan sosial belum khusus diintegrasikan dengan seni pertunjukan, tetapi lebih pada pengembangan hobi dan ekonomi subsistensi seni untuk menopang hidup di desa wisata.� Dalam aras ini, masyarakat lokal dan perempuan khususnya memiliki intensitas cukup tinggi sebagai pemain. Tetapi, rawan menjadi objek dan diobjekkan oleh sistem bisnis pertunjukkan. Perempuan perlu memiliki daya agensi dan daya tawar atas dirinya di hadapan patriarki modal dan kapital dalam seni pertunjukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif dengan laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan. Data tersebut berasal dari wawancara, catatan lapangan, dan studi literatur. Subyek dalam penelitian ini adalah Wangi Indriya yang dijadikan narasumber dalam kajian penelitian yang difokuskan pada topik penelitian yaitu menjaga tradisi dan mempersiapkan regenerasi. Hasil dari penelitian ini berfokus pada Regenerasi, Hambatan dan Tantangan, Reaksi Masyarakat, Keberhasilan dan Kepuasan, Materi dan Idealisme.
Kata Kunci: tradisi; regenerasi; wangi indriya; penari topeng���
Abstract
This research is based on
limited literature on performing arts and social movements that have not been
specifically integrated with performing arts, but rather on the development of
hobbies and the economy of art subsistence to sustain life in tourist villages.
At this level, local communities including women in particular have a fairly
high intensity as players. However, it is prone to being objectified by the
show business system. Women need to have agency and bargaining power over
themselves in the face of the patriarchy of capital in the performing arts. The
method used in this study is a qualitative method emphasizing the research
report containing data excerpts to provide an overview of the presentation of
the report. The data come from interviews, field notes, and literature studies.
The subject in this study is Wangi Indriya whom is
used as a resource in research studies that focused on the research topic,
namely preserving traditions and preparing for regeneration. The results of
this study focus on Regeneration, Barriers and Challenges, Community Reaction,
Success and Satisfaction, Materials and Idealism.
Keywords: tradition; regeneration; fragrant indriya; mask dancer
Pendahuluan
Perkembangan seni pertunjukkan
telah membukakan upaya-upaya seni untuk kepentingan komunitas, disamping
sebagai upaya menyalurkan kreatifitas juga digunakan sebagai media untuk
menyampaikan pesan, seperti bentuk-bentuk penyadaran atau sebuah kampanye untuk
menggugah publik pada isu yang sedang hangat di kalangan masyarakat (Diarsi, 2009)
�� Desa-desa
wisata saat ini menjadikan seni pertunjukan lokal menjadi jati diri dan sebagai
nafas hidup bagi masyarakat pedesaan. Banyak masyarakat lokal yang memiliki
aspirasi yang tinggi untuk menerima gagasan baru dan kreatif. Hal tersebut
berangkat dari persoalan sehari-hari, seni pertunjukan yang digelar lebih
berbunyi, dan lebih kuat menggugah kesadaran masyarakat atas realitas kehidupan
sehari-hari. Seni yang digarap dari akar rumput ini telah dengan cerdas
menyampaikan pesan penting yang menjadi keprihatinan kita bersama, seperti:
kondisi lingkungan, kesetaraan gender, dan kekerasan terhadap perempuan.
�� Penelitian ini berangkat dari masih terbatasnya literatur mengenai
seni pertunjukan dan gerakan sosial belum khusus diintegrasikan dengan seni
pertunjukan, tetapi lebih pada pengembangan hobi dan ekonomi subsistensi seni
untuk menopang hidup di desa wisata.�
Dalam aras ini, masyarakat lokal dan perempuan khususnya memiliki
intensitas cukup tinggi sebagai pemain. Tetapi, rawan menjadi objek dan
diobjekkan oleh sistem bisnis pertunjukkan. Perempuan perlu memiliki daya
agensi dan daya tawar atas dirinya di hadapan patriarki modal dan kapital dalam
seni pertunjukan.
�� Sekarang ini tema tentang perempuan dan persoalannya telah
diangkat dalam seni pertunjukan, teater, pertunjukan tari, seni lain yang
tunggal atau monolog, dan sampai ke produksi film. Mereka bahkan saling
berkompetisi satu sama lain untuk menarik minat publik. Dengan berita bagus
ini, gerakan sosial untuk perlu bergandengan tangan dengan komunitas seni untuk
memanfaatkan media ini. Kebersamaan ini akan lebih menyuarakan persoalan-persoalan
pelik dalam masyarakat, terutama persoalan yang menghimpit perempuan.
�� Pelestarian seni pertunjukan di desa wisata saat ini sudahlah baik
dan memiliki kelebihan karena kemudian dapat berkelanjutan dengan diadakan
diskusi setelah menonton pertunjukan tersebut. Ruang untuk percakapan dan
membahas seni pertunjukan di desa wisata ini memberikan dua jalan: yaitu jalan
pertama, proses penyadaran dari seni pertunjukan: dan jalan kedua, peroses
keberterimaan dan kritik dari penontonnya. Pertunjukan ini tidak sekadar pertunjukan
belaka. Pelaku seni telah menyediakan ruang komunikasi dua arah, bagi seniman
dan pemerhatinya.
�� Salah satu daerah yang masih melestarikan seni pertunjukan
khususnya tari topeng adalah Indramayu, beberapa seniman yang berdomisili di
Indramayu adalah Dalang Topeng Mimih Rasinah (Almh.) yang saat ini diteruskan
oleh cucunya yang Bernama Aerli Rasinah di Desa Pekandangan, Dalang Topeng Mama
Carpan (Alm.) yang diteruskan oleh salah satu muridnya di Sanngar Asem Gedhe di
Desa Cibereng, Dalang Topeng Wangi Indriya (Putri Mama Taham) di Desa Tambi
yang masih melestarikan Kesenian Tari Topeng Cirebon di wilayah Indramayu
dengan ciri dan gaya masing-masing. Dari ketiga Dalang tersebut yang masih
hidup dan masih menari hingga saat ini adalah Dalang Topeng Wangi Indriya dari
Desa Tambi (Prasetya, 2018).
�� Wangi Indriya adalah seorang penari yang berasal dari Indramayu
yang merupakan putri kedua dari pasangan Mama Taham (Maestro Dalang Wayang
Kulit Cirebon) dan Castinah. Wangi Indriya belajar Tari Topeng sejak duduk di
bangku sekolah menengah pertama (kelas dua SMP) yang hingga sekarang masih
aktif menari dan melestarikan Tari Topeng di Sanggar Mulya Bhakti yang terdapat
di Desa Tambi Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu.
�� Terkait fenomena penari yang turun menurun diwariskan sebagaimana
telah dijelaskan diatas, penulis ingin secara khusus dan lebih lanjut mengkaji
tentang bagaimana cara mempersiapkan regenerasi pada tari topeng untuk menjaga
tradisi dan kebudayaan leluhur.
����������� Untuk menjawab fenomena tersebut,
penulis akan menggunakan teori strukturalisme genetik dalam pendekatan
kualitatif dengan studi personal Wangi Indriya sebagai pisau bedah dalam
mengupas fenomena yang telah dikemukakan.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu metode kualitatif dengan laporan penelitian akan berisi
kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan. Data tersebut
berasal dari wawancara, catatan lapangan, dan studi literatur. Penggunaan
pendekatan deskriptif diharapkan dapat menghasilkan data-data yang berkaitan
dengan penelitian ini.
����������� Penelitian ini dilakukan di Desa
Tambi Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan
pada bulan November 2021. Subyek dalam penelitian ini adalah Wangi Indriya yang
dijadikan narasumber dalam kajian penelitian yang difokuskan pada topik
penelitian yaitu menjaga tradisi dan mempersiapkan regenerasi.
Hasil dan Pembahasan
Regenerasi
�� Wangi Indriya mengungkapkan �justru saya
tidak mau belajar tari topeng, saya sekedar melakukan karena kakeklah yang
memaksa�. Dengan awal mulanya dipaksa tersebut akhirnya beliau merasakan bahwa
di darahnya mengalir bakat seni yang luar biasa. Tidak banyak seniman
tradisional yang punya banyak keahlian sepertinya dirinya. Selain sebagai
penari topeng, subyek juga dikenal sebagai pesinden, dalang perempuan
Indramayu, dan juga lihai memainkan waditra, instrument musik tradisional
Cirebon. subyek mengungkapkan bagaimana awal mula dirinya mengenal tarian
tradisi ini kelak justru membawa namanya dikenal masyarakat luas sebagai penari
topeng Indramayu.
�� Faktor yang berpengaruh dalam hidupnya ialah
kakek dan ayahnya. Dua lelaki beda generasi ini menitiskan jiwa kesenian pada
Wangi melalui banyak hal yang mereka tekuni, diantaranya: Berokan, suatu seni pertunjukan
mirip barongsai yang berisi dakwah dan syiar Islam. Wayang kulit, subyek
merupakan pembuah sekaligus dalang. Kuda lumping, Topeng, subyek merupakan
pembuat topeng sekaligus penari, dan juga Macapatan, �salah satu bentuk
penyajian sastra lisan di Jawa yang termasuk dalam gradasi pembacaan sastra
murni�, ungkap Wangi Indriya.
�� �Pemaksaan ini akhirnya membuat saya
menikmati, kakek saya mengajari dengan keras, salah sedikit saja saya dipukul,�
kata Wangi. subyek lantas menceritakan bagaimana mesti belajar topeng panji,
pamindo, rumyang, tumenggung, dan klana. Klana ini sangat ekspresif dengan
tekanan-tekanan gerak kuat. Namun itu sengaja diajarkan oleh sang kakek
terakhir kali karena relative lebih mudah. �Sampai akhirnya kakek berkata bahwa
saya sudah bisa menari, barulah saya merasa lega dan merasa siap,� katanya.
�� Subyek pun memutuskan untuk hidup di dunia
seni. Padahal awalnya subyek bercita-cita menjadi seorang pramugari. Waktu
bermain di saat masa kecil justru lebih banyak dipergunakan untuk Latihan
menari setelah sekolah usai. Bahkan di saat liburan, waktu bermainnya
mendapatkan porsi yang lebih sedikit dibandingkan Latihan menari. �saat kelas 3
SMA saya sempat dipaksa berhenti sekolah oleh ayah saya karena beliau khawatir
porsi perhatian saya terhadap kesenian berkurang,� katanya.
Hambatan dan Tantangan
�� �Dulu kakek, ayah, dan kemudian saya bisa
menari karena garis keturunan. Tapi saya ingin mewujudkan impian ayah yang
ingin menjadikan tari topeng ini bisa dipelajari oleh masyarakat luas tanpa paksaan�
ungkap Wangi Indriya. Subyek menangkap kegelisahan ayahnya karena masyarakat
masa kini bhkan di Indramayu lebih suka memainkan organ tunggal karena lebih
murah. �Saya juga mengalami ketakutan jika suatu saat kita malah justru nonton
tari topeng Indramayu di Jepang atau Belanda, karena kita tidak melestarikan,�
ujarnya. Subyek pun tak tinggal diam, Di Sanggar Mulya Bhakti yang Subyek
dirikan, terdapat 70 anak-anak belajar Bersama. Mereka dayang karena keinginan
sendiri, bahkan mau membayar biaya Latihan dari kantong mereka sendiri, meski
nominalnya kecil. Biaya Latihan ini nantinya akan dipergunakan untuk membeli
kostum dan topeng.
�� �Antusiasme masyarakat merupakan kesulitan
sekaligus tantangan buat saya.� Tantangan, karena saat ini banyak sekali pilihan
tontonan bagi masyarakat. Tarian yang subyek bawakan pun, menurut
pengamatannya, hanya bisa dianggap sebagai pemandangan oleh masyarakat. Selain
itu, budaya instan juga membuat musik untuk mengiringi tarian pun bisa didapat
secara mudah dengan hanya memutar DVD atau youtube. Padahal nuansa yang
ditimbulkan oleh music langsung dan rekaman amat berbeda. �Musik iringan DVD
atau kaset tidak pernah bisa menciptakan �air bah� atau naluri alami bagi
anak-anak yang menari sebagaimana iringan gamelan secara langsung. Lihat saja
pertunjukan tari topeng yang dibawakan Ibu Mini Rasinah. Dengan gamelan, tarian
itu menjadi sangat hidup,� jelasnya antusias. Begitu konsistennya subyek pada
musik langsung, bahkan untuk Latihan di sanggar sering subyek mengajar hanya
dengan bunyi ketukan. Maklum, tidak setiap hari subyek bisa mendatangkan musisi
gamelan.
�� Tantangan atau kendala lainnya adalah soal
dana. Iuaran ala kadarnya itu tentu saja tidak cukup untuk menopang dana
operasional Latihan atau naik pentas. Tapi subyek tidak tinggal diam, dana
untuk mengejar mimpi mengajak anak-anaknya pentas keliling digalang bersama
dengan sistem menabung. Bahkan subyek sudah mulai mempersiapkan tabungan untuk
pentas upacara adat di dua desa biasanya setahun sebelumnya.
�� Selain contoh-contoh kesulitan yang subyek
kemukakan di atas, ternyata masih ada lagi hambatan yang dialami dalam
menularkan ilmu menari tari topeng. Meski para orangtua sudah mulai memiliki
kesadaran agar anak-anak mereka mengenal kesenian sejak dini, tapi tidak semua
anak menyadari hal itu. Maklum saja, mereka masih amat belia. Bahkan ada
beberapa murid yang masih berusia dibawah 5 tahun. �Saya kesulitan jika
anak-anak didik saya yang sedang dilatih menangis karena dipaksa oleh
orangtuanya.� Padahal, kerelaan amat berpengaruh pada penjiwaan anak-anak itu
pada tarian yang mereka pelajari. Ujung-ujungnya, hal ini akan berdampak pada
ada atau tidaknya greget pada tarian yang mereka bawakan. Meski kesenian dan
tarian adalah soal rasa yang tidak bisa dipaksakan, Subyek berharap mereka mempunyai
target.
�� �Tari topeng ini mempunyai lima karakter, dan
saya ingin dalam lima bulan mereka hanya belajar satu karakter. Bahkan jika ada
yang sangat rajin, tidak membolos, dalam waktu dua bulan saja mereka sudah
belajar karakter yang lain. Saya ingin mereka juga naik kelas,� ucapnya dengan
penuh percaya diri. Kendala itu tentu tidak membuatnya menyerah untuk bisa
menularkan ilmunya. Didikan keras kakeknya di masa silam amat berpengaruh pada
cara mendidiknya.
�� Anak didiknya berdatangan dari berbagai kalangan,
baik itu dari kalangan atas di Indramayu ataupun juga anak pegawai rendahan.
Semuanya berlatih tanpa subyek bedakan, dengan porsi dan kesempatan yang sama
untuk pentas. Pentas keliling merupakan keinginan setiap anak didiknya, bukan
hanya keinginan untuk ditonton tapi juga motivasi lain yaitu mendapatkan
saweran.
Reaksi Masyarakat
�Saya beruntung tidak pernah mengalami hambatan yang
berarti untuk mengembangkan kesenian ini hanya karena alas an saya sebagai
perempuan,� ungkapnya. Untuk beberapa hal, sifat perempuan yang kebanyakan
luwes dalam pergaulan justru memudahkannya untuk mengurus perizinan dan
menghadapi permasalahan birokrasi. Tapi bukan berarti tidak bisa bersikap tegas
saat diperlukan.
�� Hal lain yang memudahkan perjalanannya adalah
hubungan baik keluarganya dengan masyarakat. Ayahnya mewariskan hubungan baik
dengan masyarakat sekitar karena subyek seniman yang serba bisa. Artinya, dari
kelompok-kelompok kerawitan, macapatan, atau juga wayang kulit sudah bisa
dipastikan mendukungnya dalam berkarya.
Subyek juga
tidak pernah menemui kesulitan ataupun khawatir terhadap pandangan masyarakat
terhadap dirinya, bahkan saat subyek harus menerima tamu dari berbagai daerah
atau luar negeri. Para tetangga juga tidak memusingkan karena paham betul
Sanggar Mulya Bhakti dan dirinya merupakan wadah seni yang siap membantu siapa
saja. �Saya terbiasa untuk izin dengan Ketua RT, misalnya jika ada orang yang
mau penelitian di tempat saya. Tetangga-tetangga saya juga sudah terbiasa
dengan hal seperti itu, hingga tidak ada pendapat aneh meskipun saya seorang
janda. Lagipula, sejauh ini tidak pernah ada gossip saya terlibat skandal,�
katanya.
Keberhasilannya
melewati segala hambatan itu adalah karena subyek tidak punya keinginan yang
aneh-aneh. Subyek hanya melakoni apa yang menjadi jalan hidupnya, termasuk
menari. �Yang penting bagi saya bukanlah rasa bangga, tetapi justru kepuasan
jiwa saya Ketika saya menari,� katanya.
Keberhasilan dan Kepuasan
�� Subyek tak hanya mendapatkan kepuasan, tapi
juga penghargaan. Di antaranya dengan diminta ikut dalam sejumlah proyek
internasional. Wangi Indriya juga merupakan penari dalam sebuah pertunjukan
teater I La Galigo karya Robert Wilson dan sempat keliling ke berbagai negara
di benua Eropa dan Amerika.
�� Berkolaborasi dengan Lotte Reigniger dari
German dalam film animasi siluet Petualangan Pangeran Akhmed merupakan
pengalaman penting lain baginya. Sebab, selain sebagai penari topeng, dalam
proyek itu subyek juga diakui sebagai dalang yang menciptakan ilustrasi musik untuk
film tersebut. Tapi subyek menyanggah jika dikatakan pengalaman ini merupakan
pengalaman penting satu-satunya. �Semua perjalanan saya sebagai seniman
penting, karena berbagai keahlian yang saya miliki mendukung saya untuk tetap
eksis.�
�� Tapi apakah subyek merasa puas dengan
pencapaian yang sudah subyek raih sebagai penari topeng atau sebagai dalang
perempuan? �Saya tidak muluk-muluk, saya hanya ingin menghidupkan kembali tari
topeng. Niat ini belum tercapai, itulah yang membuat saya terus mencari dan merasa
belum puas, walaupun kalua kepuasan manusia itu emang tidak ada batasnya,�
katanya. Tentu saja dia belum puas, karena sejauh ini undangan pementasan tari
topengnya belum terlalu marak. Subyek berharap, tahun ini setelah pandemi usai
dapat melakukan gebrakan hingga terjadi perkembangan pesat yang bisa terukut.
�� Apa ukuran kesuksesan yang subyek maksud?
�Saya merasa biasa-biasa saja jika dibandingkan dengan Ibu Rasinah. Masih harus
mengejar jauh, masih menggeliat. Jadi saya masih harus belajar terus. Banyak
orang bilang Ibu Rasinah sangat hebat, dan memang benar. Pengalaman beliau
tidak bisa saya tandingi, sebab Ibu Rasinah lahir di saat orang masih gemar
nanggap pertunjukan tari topeng di desa-desa,� jelasnya.
�� Meski tidak sesemarak di masa lalu, kesenian
daerah sesekali masih digelar. Beberapa masyarakat desa di Indramayu tidak
sepanuhnya meninggalkan upacara adat masyarakat setempat. Contohnya dalam
Mapagesi dan Sedekah Bumi, masyarakat masih sering menanggap wayang kulit.�
�� Tradisi Kupu Tarung dengan tujuan melombakan
penari topeng masih sering terjadi. Kompetisi ini bertujuan untuk mengukur
kekuatan yang dimiliki antar penari. Kekuatan dihitung dengan lamanya waktu
menari, Ini adalah soal ketahanan fisik. Kadang-kadang peristiwa ini tak
terduga, bisa saja tiba-tiba pihak penanggap wayang dan penonton menginginkan
diadakan Kupu Tarung. �Pernag suatu kali saya akan jatuh, tapi saya tetap
bertahan dan saya mendapat kepuasan jika akhirnya saya bisa menang, padahal
waktu itu lawan saya adalah penari laki-laki yang lebih muda,� ceritanya.
Materi dan Idealisme���
�� SMP kelas 2, Subyek saat masih kecil diajak
ayahnya untuk berpentas di Indramayu Barat, sekitar Subang. Dari pentas inilah
subyek akhirnya mengenal saweran dan mulai mengerti bahwa dengan menari bisa
menghasilkan uang, bahkan sebelum subyek mengenal irama dengan baik. Masyarakat
setempatlah yang justru ingin subyek menari membawakan Topeng Klana. �Nilai
sawerannya tidak seberapa, tetapi ini salah satu jenis ungkapan mereka terhadap
pertunjukan tari topeng yang kami bawakan,� katanya lirih.
�� Tapi itu tidak membuatnya kemudian menjadikan
saweran sebagai hal penting. �Saya tidak melotot pada uang,� katanya. Sebagai
seorang sinden dan penari, subyek acap kali menerima perlakuan yang tidak
pantas, sekalipun subyek mengerti bahwa perlu untuk membentengi diri dengan
iman. �Orang masih berfikir sinden dan penari tayub bisa �dibeli�. Orang kaya
yang menganggap keduanya merasa uang bisa membeli segalanya,� ungkapnya dengan
suara datar. Subyek lantas bercerita suatu Ketika subyek Bersama kelompoknya
yang sedang menari topeng pernah diminta untuk menari tayub. Dalam tarian ini,
saweran diberikan disertai kontak fisik secara halus atau bahkan saweran
diberikan dengan dihamburkan. �Saya sering tersinggung dan ini menyakitkan. Saya
juga bilang kepada teman-teman yang lain sekaligus mengingatkan bahwa apa yang
penonton lakukan sudah bukan lagi dalam konteks menghargai seni pertunjukan,
tapi mereka sebagai penikmat fisik kita,� ungkapnya.
�� Subyek kemudian memutuskan membentengi dirinya
terhadap ujian-ujian itu. Salah satu cara yang dipakainya adalah dengan membawa
sanak saudara ketika pentas. Ini adalah resep jitu yang diajarkan sang ayah.
�Selain itu, saya tidak mau menerima saweran dalam bentuk apapun yang diberikan
seusai pentas, sebab saya sendiri tidak mau menduga-duga apa yang diinginkan si
pemberi dengan adanya uang itu,� jelasnya. Saat inipun, Ketika subyek dan anak
didiknya yang masih SMP diminta menari tayub, subyek dengan halus menolak dan
mempersilahkan penari laki-laki untuk menari.
����������� Tapi itu bukan berarti
subyek menafikan kebutuhan akan uang. Terutama jika itu terkait sebagai
penunjang pementasan. Bahkan subyek pernah marah dan kecewa saat pementasannya
dihargai dengan amat sedikit. Bukannya dia mementingkan uang, tapi hal itulah
yang dapat membuatnya mendedikasikan sepenuh hidupnya untuk tari. �Sebagai
single parent dengan tiga orang anak, penghasilan saya sebagai penari sangat
menunjang kebutuhan keluarga. Bagi saya, lebih baik menghabiskan waktu,
keahlian, dan energi untuk mengajar anak-anak daripada urusannya terlalu
ribet,� ungkapnya.�
Kesimpulan
Sanggar seni
tari topeng Mulya Bhakti berada
di desa Tambi, Kabupaten Indramayu, sampai saat penelitian
ini dilaksanakan eksistensi sanggar Mulya Bhakti masih tetap terjaga. Akan tetapi seperti sanggar seni pada umumnya, sanggar Mulya Bhakti mengalami suka duka, terutama
di awal berdirinya yang masih menumpang di gedung sekolah sebelum memiliki lahan sendiri untuk
mendirikan sanggar. Dukungan dari berbagai
pihak dari dulu hingga sekarang
di rasa masih kurang, tetapi sanggar ini masih tetap
berjalan mandiri sampai sekarang.
Walaupun demikian
pada realitanya tidak dapat dipungkiri, sanggar Mulya Bhakti benar-benar memberikan manfaat terhadap pelestarian seni budaya di Indramayu pada umumnya dan Desa Tambi pada khususnya. Sanggar Mulya Bhakti juga turut serta dalam
memberdayakan anak-anak sekitar dengan ikut latihan di sanggar, agar anak-anak tersebut memiliki keterampilan, dan menghindari mereka dari main-main yang kurang bermanfaat.
Berkaitan dengan
kesimpulan penelitian, terdapat empat hal yang dapat penulis simpulkan dalam bab ini,
tentunya berdasarkan dengan empat rumusan
masalah yang dibahas, yaitu:
Pertama, mengenai
latar belakang berdirinya sanggar seni tari topeng Mulya Bhakti. Desa Tambi yang berada di wilayah Kecamatn Sliyeg, Kabupaten Indramayu, berbeda dengan desa lainnya
ada di Sliyeg. Karena memiliki potensi seni budaya yang sangat kaya,
yang masih terus terpilihara hingga sekarang. Dengan kesenian yang terkenalnya adalah tari topeng yang terdapat
di sanggar Mulya Bhakti. Sanggar yang didirikan oleh Mama Taham ini dirintis
mulai dari bawah, dimana pada awal mulanya gedung
sanggar menumpang di sekolah SD Tambi I dan ketika sudah mempunyai
cukup biaya Mama Taham akhirnya membeli lahan dan membangun gedung sanggar sendiri yang sekarang bernama Mulya Bhakti. Sebelum mendirikan sanggar Mama Taham memikirkannya dengan matang terlebih
dahulu, beliau memikirkan mau sanggar yang seperti apa bagaimana dan akan mengerjakan seni apa saja.
Namun sebelum mengajarkan kesenian kepada orang lain, Mama Taham terlebih dahulu mengajari anak-anaknya agar dapat membantu beliau juga di kemudian hari. Alasan didirikannya
sanggar adalah supaya kesenian tradisisonal tetap lestari dan tidak punah termakan perkembangan zaman. Alasan lainnya adalah agar anak-anak Mama Taham tidak terjerumus ke dalam pergaulan
yang kurang baik.
Kedua, untuk peranan para pengelola sanggar seni tari topeng Mulya Bhakti, yang pertama menjabat sekaligus menjadi ketua sudah
pasti Mama Taham yang pertama kali mendirikan Mulya Bhakti, dibawah kepemimpinan beliau sanggar Mulya Bhakti memiliki sarana dan prasaran sendiri tanpa meminjam atau menyewa sama
sekali, peranan lainnya adalah menggembleng anak-anaknya dari kecil untuk
belajar seni agar dapat membantu beliau mengajarkannya kepada murid-murid lainnya. Yang diberikan tanggung jawab kedua untuk
mengelola sanggar Mulya Bhakti adalah Ibu Sidem pada tahun 1990, yang merupakan anak pertama dari pasangan
Mama Taham dan Ibu Castinah.
Peranan Ibu Sidem adalah melatih murid-murid di sanggar dengan berbagai tari kreasi lainnya yang ilmunya di dapatkan dari Padepokan
Bagong Kusudiardjo
Setelah Ibu Sidem sibuk dengan mengurus
keluarganya, tanggung jawab itu selanjutnya
diberikan kepada Wangi Indriya yang merupakan anak kedua dari
Mama Taham yang menjabat dari tahun 1996 hingga penelitian ini ditulis. Pada masa kepemimpinan Wangi sanggar Mulya Bhakti semakin terkenal dan banyak mendapatkan penghargaan baik tingkat nasional
maupun internasional.
Ketiga, faktor
internal dan faktor eksternal
yang membuat keberadaan sanggar seni tari topeng Mulya Bhakti mampu bertahan hingga tahun 2015. Faktor internal mencakup dua hal,
yaitu pewarisan seni dan sarana prasana juga program pendukung. Pewarisan seni sangat penting dalam keberadaan
sebuah sanggar seni, dengan pewarisan
seni yang baik maka sanggar akan
terus ada, tidak peduli dengan
kemajuan zaman yang sangat pesat.
Pewarisan seni di sanggar Mulya Bhakti berjalan dengan baik karena memang
keluarganya memiliki kecintaan terhadap seni dari kecil
sudah dididik. Sarana prasarana dan program pendukung
sangat menunjang keberadaan
sanggar Mulya Bhakti, karena sanggar memiliki gedung, peralatan kesenian sendiri, ini akan
berdampak pada minimnya pengeluaran sanggar dan dananya dapat di alihkan untuk kepentingan
sanggar lainnya. Program
yang dibuat sanggar disusun dengan baik, terencana, dan dipikirkan dengan secara matang, dimaksudkan agar kegiatan dan pelatihan tidak saling bentrok jadwalnya antara satu dengan yang lainnya.
Faktor eksternal
yang pertama adalah apresiasi masyarakat, keberadaan sebuah sanggar seni sangat bergantung pada masyarakat selaku penikmat dan penonton seni tradisional.
Ketika masyarakat antusias maka sejalan dengan
itu sebuah sanggar seni akan
terus tetap lestari, untuk sanggar Mulya Bhakti masyarakat Tambi sangat mendukung sekali keberadaan sanggar yang tetap melestarikan seni tradisi di desanya. Yang kedua perkembangan zaman, jika ingin terus tetap
lestari maka mau tidak mau
sanggar Mulya Bhakti harus mengikuti zaman agar tidak ditinggalkan oleh pecinta dan penikmatnya, tetapi tentu saja
tidak meninggalkan keasliannya. Yang dilakukan sanggar Mulya Bhakti dengan mengkreasikan tari topeng dengan tari lainnya yang di dapat dari Padepokan
Bagong, dan menyingkat durasi
pertunjukan yang tadinya berdurasi 1 jam bisa menjadi 15 menit.
Keempat, upaya
pelestarian sanggar seni tari topeng Mulya Bhakti. Dalam melakukan upaya pelestarian terhadap sanggar tentu memiliki kendala tersendiri, tidak mungkin keberadaan
sanggar yang sudah begitu lama berjalan dengan mulus-mulus saja. Kendala dana merupakan masalah klasik dalam upaya
pelestarian, karena memang sangat sulit sekali mendapat bantuan dari pihak
pemerintah maupun swasta, karena di rasa sanggar seni itu
kurang komersil. Selanjutnya masalah tenaga pengajar yang kurang, karena tidak semua orang akan totalitas terjun di dunia seni, apalagi dengan dengan dana yang minim. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut tentu dibutuhkan bantuan dari berbagai pihak,
terutama Pemerintah Kabupaten Indramayu selaku wewenang tertinggi, Camat Sliyeg, Kuwu Tambi,
dan masyarakat Tambi itu sendiri.
Melihat perjalanannya
mengenai tari topeng, mengalami
pasang surut sehingga membuat Wangi Indriya tergerak untuk melestarikan serta mengembangkan tari topeng sampai saat ini. Pelestarian
yang dilakukan terbagi menjadi 2 golongan, yakni upaya pelestarian
dalam tradisi keluarga dan upaya untuk masyarakat. Upaya dalam tradisi
keluarga yang dilakukan ialah mewariskan kepada anak-cucu para dalang, serta mengajarkannyadan
menerapkannya sejak usia dini ke
dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pementasan dengan memaksa (mendoktrin) agar si anak mau
belajar, baik belajar karawitan, tari, maupunpedalangan. Meskipun ketika dewasa si
anak tidak menjadi seorang seniman (pelaku seni). Akan tetapi si anak sudah
pernah merasakan berada di lingkungan keluarga dalang sebagai upaya dalam
memelihara dan mempertahankan
tari topeng. Kemudian selain
diajarkan tarian, juga diajarkan berpuasa yang bermanfaat untuk melatih kesederhanaan dalam kehidupan.
Pengembangan tari topeng tentu melahirkan generasi (keturunan dalang) dan generasi tersebut akan berbeda
dari sebelumnya yakni generasi tua dan generasi muda. Generasi tua dan muda bisa
dikatakan dengan gaya lama dan gaya baru, gaya lama lebih kaya akan geraknya yaitu lebih kaya dalam mengeksplorasi gerak. Misalnya jogedan olah sumping, maka
jogedan tersebut dikembangakan menjadi olah sumping siji
tengen, kemudian olah sumping kiwe,
dan olah sumping loro. Selanjutnya, jogedan engkok bausiji tengen, kemudian engkok bau kiwe, dan engkok
bau loro. Sedangkan generasi muda atau gaya
baru, jogedan yang digunakan tidak selengkap gaya lama, artinya hanya mengambil
1-2 motif jogedan saja terkadang juga penari merubah atau memasukkan
gaya lama ke gaya baru taupun
sebaliknya dan juga dikembangkan
sesuai dengan gaya individunya sendiri. Kedua gaya ini juga merupakan
sebuah kreatifitas setiap individunya dan bisa dikatakan sebagai perubahan sekaligus pengembangan.
Adapun masukan sebagai
bahan dasar pertimbangan dalam melestarikan sanggar seni tari topeng Mulya Bhakti sebagai salah satu kebanggaan masyarakat Indramayu, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah Kabupaten
Indramayu sebaiknya lebih memperhatikan lagi keberadaan lembaga, sanggar, organisasi, perkumpulan kesenian yang ada di Indramayu. Terutama sanggar - sanggar seni yang sudah lama berdiri dan memiliki banyak prestasi, seperti sanggar Mulya Bhakti. Agar dana dalam pemeliharaan sanggar lebih di utamakan dan membina sanggar jauh lebih baik
lagi agar terus dapat bersaing dengan seni budaya
modern lainnya.
2. Pewarisan seni
di sanggar Mulya Bhakti harus terus dilakukan
di ruang lingkup keluarga, jangan sampai berhenti begitu saja. Diharapkan
kepada ketua sanggar berikutnya harus jauh lebih
baik lagi daripada sebelumnya.
3. Untuk upaya
pengembangan dan pelestarian
sanggar Mulya Bhakti, harus dilakukan dengan cara mensosialiasikannya
lebih gencar lagi dari sebelumnya.
Apalagi sekarang ditunjang dengan berbagai kemudahan dengan adanya internet, manfaatkan berbagai jejaring sosial media yang ada untuk mempromosikan
sanggar.
Amsar, Toto, Dkk.
(2015). Menjelajah Tari Topeng Jawa
Barat. Bandung: Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Arikunto. (2010). Prosedur
Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan, Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Putra Grafika.
Caturwati, Endang.
(1997). Tata Rias Dan Busana Tari Sunda.
Bandung: STSI
Diarsi, Myra. (2009). Sinergi Seni Pertunjukan
Dan Gerakan Sosial. Jurnal
Perempuan. Jakarta: YJP
Harymawan, R.M. (1993). Dramaturgi.
Bandung: Djatnika.
Kasim, Supali,
Dkk. (2008). Fenomena &
Dinamika Seni Tradisi Indramayu. Indramayu: Kantor Kebudayaan &
Pariwisata Kabupaten Indramayu.
Kusumayati, A. (2009). Materi
Ajar Metodologi Pemelitian,
Kerangka Konsep Dan Hipotesis. Depok: Universitas Indonesia
Masunah, Juju, Karwati,
Uus. (2003). Topeng Cirebon. Bandung: PAST UPI.
Nugraha, Drs. Onong.
(1982/1983). Tata Busana Tari Sunda.
Bandung: Proyek Pengembangan
Institut Kesenian Indonesia
Sub Proyek ASTI.
Oe, Joesoef� Tedjasukmana.
(1988). Landasan Koreografi
Tari Keurseus. Bandung: Akademi
Seni Tari Indonesia.
Prasetya, Vicky. (2018). Tari Topeng Klana Gandrung Gaya Wangi Indriya Di Sanggar Mulya Bhakti Desa Tambi Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu. Bandung: UPI.
Rusliana, Iyus, Dkk. (2009). Kompilasi Istilah Tari Sunda. Bandung: Jurusan Tari STSI Bandung.
Suanda, Toto, Amsar.
(2009). Tari Topeng Cirebon. Bandung: Jurusan STSI
Bandung.
Suanda, Toto. (1989). Tari Topeng Panji Sebagai Meditasi. Bandung: Proyek Peningkatan/Pengembangan ASTI Bandung/
Sugiyono. (2008). Metode
Penelitian Pendidikan Dan R&D. Alfabeta: Bandung.
Sulasman, Dr. H. M.Hum. (2014). Metodologi Penelitian Sejarah. Bandung: Pustaka Setia.
Widaryanto, F.X. (2009). Koreografi.
Bandung: Jurusan Tari STSI Bandung.
Copyright holder: Fariz Fardani
Nurbaihaqi, Elly Malihah,
Rini Andari (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |