�Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849
��e-ISSN : 2548-1398
Vol.
6, Special Issue No. 2, Desember 2021
�
ANALISIS HUKUM PENYELESAIAN
SENGKETA SERTIFIKAT GANDA BERDASARKAN HUKUM
PENDAFTARAN TANAH
Adhinda Putri Syara L. S,
Antarin Prasanthi Sigit, Enny Koeswarni
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Sertipikat tanah merupakan pengakuan hak-hak atas tanah seseorang yang diatur dalam UUPA serta ditindaklanjuti dalam PP 27/1997. Sorang atau Badan Hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai Pemegang Hak Atas Tanah berdasarkan Sertipikat Tanah, mengenai keadaan dari tanah itu seperti luas, batas-batas, bangunan yang ada, jenis haknya beserta beban-beban yang ada pada hak atas tanah itu, dan sebagainya. Meskipun secara tegas diatur dalam UUPA dan ditindaklanjuti dalam PP No. 24 tahun 1997, namun masih terdapat beberapa sertipikat tanah yang dipermasalahkan, bahkan menjadi perkara di Lembaga Peradilan yang beberapa diantaranya menghasilkan putusan yang membatalkan sertipikat tanah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penyelesaian sengketa sertipikat ganda dalam hukum Pendaftaran Tanah. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian bahwa sertipikat ganda terjadi karena sertifikat tersebut tidak dipetakan dalam peta pendaftaran tanah atau peta situasi daerah tersebut sehingga terbitnya sertipikat ganda tidak terlepas dari tindakan BPN akibat kesalahan pendataan pada saat melakukan pengukuran dan pemetaan bidang tanah dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan para pihak melalui pengaduan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk dilakukan identifikasi masalah, mengumpulkan data, melakukan analisis, dan menyusun laporan hasil penelitian untuk menjadi bahan rekomendasi penyelesaian masalah. Bilamana salah satu pihak tidak menerima hasil laporan BPN, maka dapat mengajukan ke Lembaga Peradilan guna pembuktian keabsahan sertipikat tanah sehingga dapat dibatalkan sertipikat tanah berdasarkan yang tidak sesuai dengan hukum Pendaftaran tanah.
Kata Kunci: pendaftaran tanah; sertifikat ganda; kepastian hukum
Abstract
A land certificate is an
acknowledgment of one's land rights which is regulated in the UUPA and followed
up in PP 27/1997. Individuals or legal entities will easily prove themselves as
holders of land rights based on land certificates, regarding the condition of
the land such as area, boundaries, existing buildings, types of rights and the
burdens on land rights, and so on. Although it is explicitly regulated in the LoGA and followed up in PP no. 24 of 1997, but there are
still some disputed land certificates, even becoming cases in the Judiciary,
some of which resulted in decisions that canceled land certificates. Therefore,
this study aims to examine the resolution of dual certificate disputes in land
registration law. This research method uses normative legal research methods. The
result of the research that double certificates occurred because the
certificates were not mapped in the land registration map or the situation map
of the area so that the issuance of double certificates was inseparable from
BPN's actions due to data collection errors when measuring and mapping land
parcels in the implementation of land registration. Dispute resolution can be
carried out by the parties through complaints to the National Land Agency to
identify problems, collect data, conduct analysis, and compile reports on
research results to become recommendations for problem solving. If one of the
parties does not receive the results of the BPN report, it can submit to the
Judiciary Institution to prove the validity of the land certificate so that the
land certificate can be canceled based on something that is not in accordance
with the land registration law.
Keywords: land registration; dual certificate; legal
certainty
Received:
2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Tanah adalah benda tidak bergerak/benda
tetap karena sifatnya (Sumardjono, 2008).
Tanah tidak dapat dipindah-pindahkan. Kebutuhan manusia akan tanah semakin
meningkat dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan laju pembangunan
seperti kepentingan industri, jasa maupun pemukiman dan tidak diimbangi dengan
persediaan tanah yang terbatas. Tanah menjadi modal utama dalam membangun
masyarakat yang adil dan sejahtera. Persoalan tanah ini perlu ditata dan
dibuatkan perencanaan dengan hati-hati dan penuh kearifan (H. Bagindo Syarifuddin, M. Yamin Jinca,
1996).
Begitu pentingnya kegunaan tanah bagi orang atau badan hukum menuntut adanya
jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut (Sangsun, 2006).
Dalam rangka mewujudkan
kepastian hukum hak atas tanah, pemerintah memberlakukan Undang-Undang nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), bertujuan untuk
mewujudkan amanah yang digariskan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945, bahwa;
�Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang penguasaannya ditugaskan
kepada Negara Republik Indoesia harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat .�
Tujuannya pokok UUPA tersebut
di atas yakni agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum dalam status
kepemilikan tanah. Kepastian hukum bagi pemilik hak atas tanah oleh UUPA
sendiri disebutkan hanya dapat diperoleh melalui prosedur pendaftaran tanah (Indonesia & Indonesia, 1960).
Pendaftaran tanah bertujuan
untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat rechtscadaster, artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja
dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk
kepentingan lain seperti halnya perpajakan (Parlindungan, 1994).
Pendaftaran tanah juga bertujuan untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa
pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan, dan sebagainya.
Hal tersebut guna tersedianya informasi dari pelaksanaan pendaftaran tanah yang
dapat dijadikan sebagai data-base� bagi
pemerintah dalam proses pembuatan sertipikat tanah.
Menurut David J. Hayton
dalam (Adrian Sutedi SH, 2019)
Sertifikat tanah merupakan pengakuan hak-hak atas
tanah seseorang yang diatur dalam Undang-undang pendaftaran tanah. Sertifikat
tanah menjadi alat bukti otentik bagi Pemegang Hak Atas Tanah. Sorang atau
Badan Hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai Pemegang Hak Atas Tanah
mengenai keadaan dari tanah itu seperti luas, batas-batas, bangunan yang ada,
jenis haknya beserta beban-beban yang ada pada hak atas tanah itu, dan
sebagainya. Hal ini sesuai Undang-Undang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19
ayat (2) huruf c UUPA dan pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang pendaftaran tanah, yang kini telah dicabut dan ditegaskan kembali
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Meskipun secara tegas diatur
dalam UUPA dan ditindaklanjuti dalam PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, namun masih terdapat beberapa sertipikat tanah yang dipermasalahkan,
bahkan menjadi perkara di Lembaga Peradilan. Beberapa diantaranya menghasilkan
putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap (Incraht Van Gewijsde) untuk
membatalkan sertipikat tanah lain, meskipun telah diterbitkan lebih dari 5
(lima tahun) (SUTOPPO, 2016).
Dalam hal ini, Pemegang Hak Atas Tanah dapat kehilangan penguasaan hak tanah
karena gugatan pihak lain yang memiliki sertipikat tanah yang sama, sehingga
berakibat pembatalan sertifikat.
Sebagai contoh kasus, gugatan
SS ke Pengadilan Negeri Semarang terkait Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang
tidak menindaklanjuti temuan sertifikat ganda.�
Kasus lainnya di Bandar Lampung, sebanyak 3 kasus sertipikat ganda yang
diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang sampai saat ini belum bisa
dipastikan keabsahan sertipikat tanahnya.�
Kedua contoh kasus di atas
menujukkan sertipikat tanah hanya sebagai tanda bukti, namun bukan merupakan
tanda bukti yang mutlak/sempurna sebagaimana ketentuan UUPA serta
ditindaklanjuti dalam PP No. 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam hal
ini, keterangan-keterangan yang tercantum dalam sertipikat tanah mempunyai
kekuatan hukum dan harus diterima oleh peradilan sebagai keterangan yang benar
selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya.
Walaupun demikian, pengadilanlah yang akan memutuskan sertipikat tanah sebagai
alat pembuktian mana yang benar, dan apabila terdapat data yang tidak benar,
maka diadakan perubahan dan pembetulan atas keputusan pengadilan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas,
sertipikat tanah belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan hukum bagi
Pemegang Hak Atas Tanah. Oleh karena itu, perlu kepastian hukum bagi Pemegang
Hak Atas Tanah, mengingat tujuan berlakunya UUPA dan ditindaklanjuti dengan PP
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendafataran tanah, namun belum sepenuhnya dirasakan
bagi pemegang hak atas tanah yang namanya terdaftar dalam sertipikat tanah. Hal
ini sangat diperlukan untuk memberikan informasi dari keadaan yang sebenarnya,
karena semua itu berkaitan dengan tujuan pemerintah untuk mewujudkan catur
tertib pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, pemeliharaan data
pertanahan dan lingkungan hidup. Dengan demikian, permasalahan penelitian ini
yaitu bagaimana penyelesaian sengekta terhadap sertipikat tanah ganda. Adapun
tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis penyelesaian sengketa terhadap
sertipikat ganda.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode penelitian hukum normatif (Legal
Research), yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif. Penelitian hukum normatif bersifat preskriptif
dengan menggunakan koherensi antara norma hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin hukum, guna menjawab isu hukum yang sedang di hadapi (Marzuki, 2011).�
Adapun pendekatan permasalahan
yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini meliputi pendekatan
perundang-undangan (statute approach)
dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Sumber data penelitian terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan dan bahan
hukum sekunder yakni buku-buku, karya ilmiah, artikel-artikel, jurnal, kamus,
baik kamus bahasa maupun kamus hukum, dan tulisan lainnya.
Analisis data penelitian ini
menggunakan metode analisis data kualitatif, berdasarkan sudut pandang ilmu
hukum guna dapat ditarik suatu kesimpulan.�
Analisis data kualitatif digunakan peneliti untuk menafsirkan dan
mengurai data yang diperoleh, kemudian disusun secara kualitatif untuk mencapai
kejelasan masalah yang dibahas tanpa dipergunakannya rumus atau angka (Soendari, 2012).
Hasil dan Pembahasan
Terbitnya
sertipikat ganda tidak terlepas dari tindakan BPN akibat kesalahan pendataan
pada saat melakukan pengukuran dan pemetaan bidang tanah dalam pelaksanaan
pendaftaran tanah, sehingga terbitlah sertifikat ganda yang berdampak pada
sengketa secara keseluruhan atau sebagian bidang tanah. Dalam hal ini, satu
bidang tanah diuraikan dengan 2 (dua) sertifikat atau lebih yang berlainan datanya.
Menurut Nurjannah, sertifikat ganda terjadi karena sertifikat tersebut tidak dipetakan dalam peta
pendaftaran tanah atau peta situasi daerah tersebut. Apabila terjadi sertifikat
ganda, maka harus ada pembatalan dari salah satu pihak dengan memeriksa dokumen
pendukung. Hal ini bisa berlangsung lama, apabila terjadi gugatan sertifikat ke
pengadilan, untuk meminta pembatalan bagi pihak yang dirugikan (Nurjannah, 2016).
Dalam upaya
penyelesaian sengketa sertipikat ganda, maka merujuk pada Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 32 ayat (1) PP No. 24
Tahun 1997, menjelaskan bahwa sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Lebih lanjut, suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas
nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik
dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas
tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam
waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor
Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Berdasarkan
pasal di atas, selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenarannya,
maka keterangan yang ada dalam sertifikat tanah harus dianggap benar dengan
tidak perlu bukti tambahan, sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap
sebagai alat bukti permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.
Dalam hal ini, sertifikat tanah membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai suatu
hak atas bidang tanah tertentu mengenai letak, batas, dan luas tanah, serta
status hukum bidang tanah.
Dalam hal
penyelesaian sengketa sertipikat ganda, dapat merujuk pada Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016
tentang Penyelesaian Sengketa Pertanahan. Dalam Pasal 1 ayat (72), menjelaskan
bahwa sengketa tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan,
badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Dalam hal ini, para pihak
dapat mengajukan penyelesaian sengketa terhadap sertipikat ganda kepada Kepala
Kantor Pertanahan Wilayah setempat.
Setelah
menerima berkas pengaduan sertipikat ganda, pejabat yang bertanggungjawab dalam
menangani sengketa tersebut wajib mengadministrasikan pengaduan dimaksud ke
dalam Register Penerimaan Pengaduan.�
Setelah itu, Pejabat melakukan pengumpulan dan pemeriksaan data,
meliputi data fisik dan data yuridis, data yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang, putusan peradilan, dan data lainnya terkait penerbitan sertipikat
tanah, serta keterangan saksi.�
Pejabat
melakukan analisis untuk mengetahui sengketa tersebut merupakan kewenangan
Kementerian atau bukan kewenangan Kementerian. Dalam hal sengeketa sertipikat
ganda, maka penyelesaian sengketa menjadi kewenangan Kementrian sebagaimana
Pasal 11 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Sengketa
Pertanahan, bahwa kewenangan penyelesaian sengketa yang dilakukan Kementrian
salah satunya tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu
alas haknya jelas terdapat kesalahan.
Dalam proses
pembuktian keabsahan sertipikat tanah, dilakukan pengkajian oleh Pejabat yang
bertanggungjawab terhadap penyelesaian sengketa meliputi kajian terhadap
kronologi sengketa dan data yuridis, data fisik, serta data pendukung
lainnya.� Pengkajian dilakukan dengan
pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh petugas atau pejabat yang berwenang,
meliputi pemeriksaan terhadap kesesuaian data dan kondisi lapangan, pencarian
keterangan saksi-saksi atau pihak yang terkait, penelitian bidang tanah, gambar
ukur, peta rencana, tata ruang, dan/atau kegiatan lainnya yang diperlukan.�
Hasil
pengkajian di lapangan, dibuatkan dalam bentuk paparan guna memperoleh
kesimpulan dan saran, kemudian dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN
untuk menyelesaikan sengketa sertipikat ganda, sehingga salah satu sertipikat
yang datanya tidak valid dapat diterbitkan surat keputusan pembatalan
sertifikat. Sejalan dengan, BPN juga memiliki mekanisme tertentu dalam
menangani dan menyelesaikan perkara atau sengketa pertanahan, termasuk sengketa
sertifikat ganda meliputi pengaduan, identifikasi masalah untuk memastikan
kewenangannya, meneliti masalah untuk membuktikan kebenarannya, pemeriksaan
data, dan menyusun laporan hasil penelitian untuk menjadi bahan rekomendasi
penyelesaian masalah (Anatami, 2017).
Dalam
Peradilan Umum, penyelesaian sengketa sertipikat ganda dapat melalui Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN).� Penanganan
perkara dalam proses peradilan meliputi penerimaan panggilan sidang (relaas),
pengumpulan data dalam rangka penanganan perkara, penyiapan surat tugas dan
surat kuasa, penyiapan gugatan/jawaban, penyiapan replik/duplik, penyiapan
bukti, penyiapan saksi dan/atau ahli, pemeriksaan setempat, kesimpulan, dan
upaya hukum.� Dalam hal para pihak
sepakat untuk menyelesaikan Perkara yang telah terdaftar pada pengadilan dengan
cara damai, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam upaya
penyelesaian sengketa sertipikat ganda di Pengadilan, pembuktian sebagai fakta
dan peristiwa dalam duduk perkara akan dapat diketahui hakim dari alat-alat
bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Menurut R. Subekti, akta
otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis
dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai
benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti
yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan
pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna (Subekti, 2005).
Berdasarkan
hal di atas, maka dapat diketahui pembuktian keabsahan sertipikat tanah
bilamana pembuatannya sesuai hukum pendaftaran tanah. sejalan dengan Nurjannah,
dalam hal penyelesaian sengketa tanah di Pengadilan, maka akan dilihat
Otentitas masing-masing sertifikat, apakah benar-benar diterbitkan oleh Badan
Pertanahan Nasional, Sejarah perolehan sertifikat dimana tidak hanya menyangkut
umur namun juga cara-cara memperoleh sertifikat tersebut apakah telah melalui
prosedur hukum yang benar (mulai dari jual beli hingga penerbitan sertifikat),
serta latar belakang terjadinya penerbitan sertifikat dalam pelaksanaan
pendaftaran tanah (Nurjannah, 2016).
�
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
di atas, kesimpulan dalam penelitian ini adalah penyelesaian
sengketa sertipikat ganda dapat melalui
pengaduan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk dilakukan identifikasi masalah, mengumpulkan data, melakukan analisis, dan menyusun laporan hasil penelitian untuk menjadi bahan
rekomendasi penyelesaian masalah. Bilamana salah satu pihak tidak
menerima hasil putusan BPN, maka dapat mengajukan ke Lembaga Peradilan guna pembuktian keabsahan sertipikat tanah, sehingga dapat dibatalkan sertipikat tanah yang tidak sesuai dengan
hukum Pendaftaran tanah.
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam tulisan ini adalah diharapkan Pegawasan yang lebih dari Pemerintah terhadap faktor-faktor penyebab munculnya sertikat ganda dalam pendaftaran tanah, seperti pengecekan di peta pendaftaran tanah untuk mengetahui apakah atas sebidang
tanah tersebut sudah terdaftar (bersertifikat) atau belum di Badan Pertanahan
Nasional guna mencegah terjadinya Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah di kemudian hari.
Adrian Sutedi SH, M. H. (2019). Sertifikat hak atas
tanah. Sinar Grafika. Google Scholar
Anatami, Darwis. (2017). Tanggung jawab
siapa, bila terjadi sertifikat ganda atas sebidang tanah. Jurnal Hukum
Samudra Keadilan, 12(1), 1�17. Google Scholar
H. Bagindo Syarifuddin, M. Yamin Jinca, M.
Said Nisar. (1996). Seminar Mobilisasi Tertib Pertanahan Dalam PJP II,
Kantor Wilayah B.P.N. Sulawesi Selatan. Google Scholar
Indonesia, PRESIDEN REPUBLIK, &
Indonesia, Presiden Republik. (1960). Undang-undang no. 5 tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok agraria (Vol. 144). Ganung Lawu. Google Scholar
Marzuki, Peter Mahmud. (2011). Penelitian
Hukum, cetakan ke-11. Jakarta: Kencana. Google Scholar
Nurjannah, Tika. (2016). Penyelesaian
Sengketa Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah (Study Kasus Pada Pengadilan Tata
Usaha Negara Makassar). Fak. Ilmu Sosial. Google Scholar
Parlindungan, A. P. (1994). Pendaftaran
tanah Tanah di Indonesia. Mandar Maju Bandung. Google Scholar
Sangsun, Florianus S. P. (2006). Tata
Cara Mengurus Sertifikat Tanah. Google Scholar
Soendari, Tjutju. (2012). Metode Penelitian
Deskriptif. Bandung, UPI. Stuss, Magdalena & Herdan, Agnieszka, 17.
Google Scholar
Subekti, R. (2005). Hukum Pembuktian
(Cetakan Ke-15). Jakarta: Pradnya Paramita. Google Scholar
Sumardjono, Maria S. (2008). Tanah dalam
perspektif hak ekonomi, sosial, dan budaya. Penerbit Buku Kompas. Google Scholar
SUTOPPO, DENNYS ANDREAS. (2016). KEKUATAN
HUKUM SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DIKAITKAN DENGAN KEPASTIAN HUKUM DALAM
PENDAFTARAN TANAH. Google Scholar
Copyright holder: Adhinda Putri Syara L. S, Antarin Prasanthi Sigit, Enny Koeswarni (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |