�Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849
��e-ISSN : 2548-1398
Vol.
6, Special Issue No. 2, Desember 2021
�
ANALISIS EFEKTIVITAS
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI DAERAH OPERASI PADA
PASIEN BEDAH APENDISITIS DI RS X
Adi Setiadi, Ros Sumarny,
Delina Hasan, Alfina Rianti
Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Infeksi daerah Operasi adalah merupakan salah satu komplikasi utama operasi yang meningkatkan morbiditas dan biaya perawatan penderita di rumah sakit, bahkan meningkatkan mortalitas penderita.� IDO merupakan kejadian tersering infeksi nosokomial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan antibiotic profilaksis dan faktor risiko terjadinya IDO pada pasien bedah apendisistis di RSUP Fatmawati periode Januari 2016 - Desember 2018. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross Sectional. Besarnya sampel sebanyak 112 pasien. Teknik pengambilan data dilakukan secara total sampling. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif pada rekam medis pasien. Hasilnya terdapat 11 pasien yang mengaami IDO dari 112 pasien. Berdasarkan hasil analisis bivariat dan multivariat, faktor yang paling dominan menyebabkan IDO adalah penyakit penyerta, skor ASA, lama rawat, suhu tubuh kadar leukosit, karena nilai P-Value semuanya 0, 000 yakni < 0,05. Kesimpulan penelitian yaitu faktor risiko yang mempengaruhi kejadian IDO pada pasien bedah apendisitis di RSUP Fatmawati diantaranya penyakit penyerta, skor ASA, lama rawat, suhu tubuh kadar leukosit.
Kata Kunci: infeksi daerah operasi; antibiotik profilaksis; bedah apendisitis
Abstract
Surgical area infection is one
of the main complications of surgery which increases the morbidity and costs of
treating patients in the hospital, even increasing patient mortality. IDO is
the most common nosocomial infection. The purpose of this study was to
determine the effectiveness of prophylactic antibiotic use and risk factors for
the occurrence of IDO in appendicular surgery patients at the RSUP Fatmawati in the period January 2016 - December 2018. This
study used a cross-sectional study design. The size of the sample was 112
patients. Data collection techniques performed in total sampling. Data
collection was performed retrospectively on the patient's medical record. The
result was that there were 11 patients who IDO out of 112 patients.� Based on the results of bivariate and
multivariate analysis, the most dominant factors causing IDO were concomitant
diseases, ASA scores, length of stay, body temperature of leukocyte levels,
because the P-Value values were all 0,000 ie
<0.05. The conclusion of the study is the risk factors that influence the
incidence of IDO in appendicitis surgery patients at the RSUP Fatmawati including accompanying diseases, ASA scores,
length of stay, body temperature, leukocyte levels.
Keywords: surgical site infection; profilactic
antibiotics; apendisitic surgery
Received:
2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Apendisitis atau apendiks
vermiformis adalah terjadinya inflamasi pada umbai cacing atau usus buntu (apendiks) yang mengakibatkan infeksi.
Infeksi ini ditandai dengan adanya nanah atau pus, nyeri di epigastrium,
anoreksia, mual, dan muntah.Pada komplikasi dapat terjadi komplikasi perforasi
berupa perlekatan usus lalu pecah (Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta,
2014).
Jumlah kasus apendisitis di Amerika pada 2015 adalah 378.614. Namun di negara-negara
Amerika bagian barat sejak 1990, angka kejadian apendektomi terus menurun.
Kejadian apendisitis atau usus buntu tinggi di negara-negara industri baru di
Asia seperti Korea Selatan, Timur Tengah seperti Turki dan Amerika Selatan
seperti di Chili (Ferris et al., 2017).
Adapun di Indonesia menempati urutan tertinggi dari beberapa kasus kegawatan
abdomen lainnya. Apendisitis menyerang 10 juta penduduk Indonesia setiap
tahunnya dan saat ini morbiditas angka apendisitis mencapai 95 per 1000
penduduk dan merupakan tertinggi di antara negara � negara ASEAN (Depkes
R1,20I0).
Antibiotik profilaksis
merupakan istilah yang digunakan untuk pencegahan infeksi pada pasca
pembedahan, Pada prinsipnya, antibiotik profilaksis dapat digunakan secara
efektif untuk mencegah infeksi jika digunakan dengan sesuai aturan. Tapi
penggunaannya harus di awasi secara ketat�
dan� terus� menerus,�
untuk� mencegah� efek�
samping� merugikan� dan resistensi� yang�
mengakibatkan� penyakit� menjadi�
sulit� sembuh.� Antibiotika yang� efektif�
haruslah� tidak� beracun�
(non� toksik),�
tidak� mahal� dan�
aktif melawan bakteri penyebab infeksi, terutama pada daerah luka pasca
operasi (Kemenkes RI, 2011). Penelitian antibiotik profilaksis pada pasien
bedah apendisitis�� akut di rumah sakit
Bathesda Jogjakarta pada tahun 2015, hasilnya�
sebanyak 25 kasus� (43,10� %) antibiotik rasional� dan sebanyak 33 kasus (56,9%) antibiotik
tidak rasional (Datuan, 2017).
IDO (Infeksi Daerah Operasi)
merupakan salah satu jenis infeksi yang didapatkan saat pasien dirawat di rumah
sakit. IDO merupakan salah satu infeksi nosokomial dan yang paling sering
terjadi dibandingkan jenis infeksi nosokomial lainnya (Ferris et al., 2017).
Penelitian di Qatar selama 3 tahun (2013, 2014 dan 2015) menunjukan hasil dari
total 603 sampel pasien, dilaporkan terdapat 3,6%� kasus�
IDO.��� pada� 2013�
sebanyak� 13,6%, pada� 2014 sebanyak 4,5%, dan 2015 sebanyak 1,0%.
Jadi IDO diamati lebih sering terjadi pada pasien dengan luka� yang terkontaminasi atau kotor sebanyak 6,6%.
Sekitar 65% dari isolat bagian luka bedah ditemukan organisme yang resisten
terhadap berbagai obat seperti Escherichia coli dan Klebsiella spp (Garcell et al., 2017).
Di Amerika serikat, terdapat lebih dari 500.000 kasus IDO terjadi setiap
tahunnya akibat infeksi nosokomial, IDO merupakan penyumbang terbesar
mortalitas sebesar 30 � 40 % terjadi kematian setelah operasi (Carvalho, Peres, Foschini, & Passos,
2011).
Di Indonesia, data kejadian
infeksi daerah operasi�� (IDO) di rumah
sakit umum Arifin Achmad�� Riau pada
periode Oktober sampai Desember tahun 2013 dari 192 pasien bedah bersih, 13 pasien
mengalami IDO, persentase tertinggi pasien pada usia 41 - 60 tahun. Pasien yang
memiliki komorbiditas tinggi adalah�
non-diabetes. Pada durasi�
operasi, persentase tertinggi pasien dengan� IDO pasca operasi bersih lebih dari 2 jam dan
lamanya rawat adalah lebih dari 7 hari (Kurnia & Tripriadi, 2015).
Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM) selama tiga tahun
periode Januari 2009 sampai Desember 2011, terdapat 3 jenis IDO, yaitu IDO
insisional superfisial (9 subjek), IDO insisional dalam (2 subjek) dan IDO
organ (2 subjek). Penelitian tersebut berkesimpulan terdapat hubungan bermakna
antara jenis operasi cito dengan IDO. Sedangkan variabel lainnya tidak
berhubungan bermakna (Haryanti et al., 2016).
Angka prevalensi infeksi nosokomial pada pasien luka operasi pasca bedah di
RSUP Haji Adam Malik Medan bulan april sampai september 2010, hasilnya terdapat
sampel 534 pasien, diperoleh angka prevalensi IDO sebesar 5,6% dengan kelompok
usia terbesar pada usia lebih dari 65 tahun yaitu 33,3% (Jeyamohan, 2010).
Saat ini di RSUP Fatmawati, belum pernah dilakukan analisis� efektivitas penggunaan antibiotik dan faktor
risiko infeksi daerah operasi� pada
pasien bedah apendisitis. Terjadinya��
infeksi daerah operasi dapat dikhawatirkan pengobatan menjadi lama,
biaya lebih mahal, resistensi lebih mungkin terjadi sehingga berpotensi
timbulnya Drug Related Problem (DRP) akibatnya kondisi pasien menjadi buruk (Tanto et al., 2014).
Maka, berdasarkan fakta yang
disebutkan di atas masih ditemukannya kejadian IDO pada pasien apendisitis di
rumah sakit, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi penggunaan
antibiotik dan pengamatan faktor risiko kejadian IDO pada pasien bedah
apendisitis di RSUP Fatmawati, untuk mencegah terjadinya IDO dan mendukung
program pemerintah dalam program pengendalian resistensi antibiotik.
Metode Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian observasional analitik (non eksperimental) yaitu melakukan penelitian menggunakan data-data
yang� telah tersedia tanpa melakukan
tindakan kepada subjek uji serta menganalisa dari gambaran respon pasien selama
periode tertentu (Hastomo Priyo, 2016).� Pengamatan dilakukan dengan� menggunakan metode cross sectional yaitu
potong lintang dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif terhadap
antibiotik profilaksis, jumlah kejadian IDO serta mengkaji faktor penyebab terjadinya
IDO. Populasi� pada� penelitian�
ini� adalah� semua�
pasien� yang� dilakukan tindakan operasi bedah apendisitis
di RSUP Fatmawati dikumpulkan selama 3 tahun periode Januari 2016 sampai� Desember 2018 sebanyak 136 pasien.. Adapun
subjek penelitian adalah semua pasien bedah apendisitis yang memenuhi kriteria
inklusi sebanyak 112 pasien. Penggumpulan data dilakukan selama 3 bulan pada
periode Maret sampai Mei 2018.. Dalam mengamati kejadian IDO atau
observasi� dilakukan peninjauan melalui
data pada rekam medis pasien. Penelitian ini bersifat kuantitatif yaitu berupa
angka-angka dan dianalisa menggunakan statistik. Analisis ini untuk melihat
gambaran distribusi setiap variabel yang terlibat dalam penelitian. Bentuk
analisis ini nantinya akan disajikan dalam bentuk ordinal maupun data numerik,
hasil data numerik dalam bentuk persentase. Analisis bivariat adalah� untuk melihat hubungan antara dua variabel
yaitu variabel independent dengan variabel dependent pada waktu tertentu.
Analisis multivariat digunakan dalam penelitian ini untuk melihat pengaruh
seluruh variabel independen secara bersamaan dengan variabel dependen. Analisis
data dengan menggunakan software SPSS versi 23.
Hasil dan Pembahasan
1.
Analisis Univariat
a.
Deskripsi Pasien Berdasarkan Jenis
Kelamin, Usia, Diagnosa Pasca Operasi, IDO dan skor ASA
Deskripsi pasien bedah apendisitis berdasarkan jenis
kelamin, usia, diagnosa pasca operasi, IDO dan skor ASA disajikan pada tabel 1.
Pada Tabel 1 menunjukan�� bahwa,�� berdasarkan deskripsi jenis kelamin, usia,
diagnosis pasca operasi, IDO dan skor ASA. Pada�
kelompok� paling� banyak�
berjenis� kelamin� laki-laki�
sebanyak� 58 orang (51,79%).
Berdasarkan usia pasien paling besar pada rentang 10-19� tahun�
sebanyak� 41� orang�
(36,1%).� Berdasarkan� diagnosis�
pasca operasi, sebagian besarnya menderita apendisitis akut sebanyak 71
orang (63,39%). Berdasarkan penyakit penyerta paling besar tidak ada penyakit
penyerta sebanyak 97 orang (86.61%). Berdasarkan terjadinya IDO (Infeksi Daerah
Operasi), sebanyak 11 orang terjadi IDO (9,82%) dan sisanya 101 tidak terjadi
IDO (90,18%). Berdasarkan skor ASA, paling banyak pada skor ASA II sebesar 96
orang (85,71%). Pasien� yang� mengalami�
IDO� sebanyak� 11 pasien, dimana terjadinya IDO didapat pada
saat rawat inap dan rawat jalan. Terdapat tanda pasien mengalami IDO
diantaranya, kemerahaan, perforasi, fistula, terdapat PUS dan pemisahan tepi
luka sekitar area operasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kejadian
infeksi daerah operasi pada pasien bedah apendisitis� yang ditemukan 11 dari 112 sampel, hal ini
lebih tinggi daripada target rumah sakit dalam menaggulangi infeksi
nosokomial�� sebesar < 1 %, untuk
infeksi daerah operasi pasca bedah. Kondisi ini pernah terjadi di rumah sakit
lain. Penelitian yang dilakukan oleh (Hidayatullah, 2014)
di rumah sakit angkatan laut dr. Minthohardjo Jakarta pada tahun 2013, kondisi
terakhir pada pasien apendisitis setelah dilakukan pembedahan dan perawatan,
maka didapatkan data yaitu keadaan luka��
infeksi operasi yang tidak recovery sebanyak 13,43 % dari total 67
sampel penelitian. Terdapat beberapa hal yang menjadi faktor risiko
infeksi� luka� operasi�
yaitu� jenis� operasi,�
ko-morbiditas� atau� penyakit penyerta, lama rawat sebelum operasi
dan skor ASA (Tanto et al., 2014).
Tabel 1
Deskripsi pasien bedah apendisitis berdarkan jenis kelamin,
usia, diagnosis pasca operasi, IDO dan skor ASA
No. |
Deskripsi |
Kategori |
N |
% |
1 . |
Jenis Kelamin |
Laki-Laki Perempuan |
58 54 |
51.79 48.21 |
2. |
Usia |
10-19 Tahun 20-29 Tahun 30 � 39 Tahun 40 � 49 Tahun 50 � 59 Tahun 60 - 69 Tahun 70≥ Tahun |
41 39 8 9 7 6 2 |
36.61 34.82 7.14 8.04 6.25 5.36 1.79 |
3. |
Diagnosis pasca operasi |
Apendisitis akut Apendisitis kronis |
71 41 |
63.39 36.61 |
4. |
Penyakit penyerta |
Tidak Ada Diabetes melitus Keganasan Peritonitis Hernia |
97 1 5 6 3 |
86.61 0.89 4.46 5.36 2.68 |
5. |
Infeksi Daerah Operasi |
Terjadi IDO Tidak terjadi IDO |
11 101 |
9.82 90.18 |
6. |
Skor ASA |
ASA I ASA II ASA III |
4 96 12 |
3.57 85.71 10.71 |
Keterangan :
1.
ASA����� ��:�
American Society of Anestesi
2. ASA
1�� ��:�
Penderita normal dan sehat
3. ASA
2�� ��:�
Penderita dengan kelainan sistemik ringan
4. ASA
3�� ��:�
Pasien� dengan� penyakit� sistemik� berat� yang� membatasi aktivitas
5. ASA 4 ��: Terdapat Kelaianan sistemik berat�� yang sedang menjalani pengobatan untuk life Support
6. ASA 5��� ��: Terdapat keadaan sangat kritis, tidak memiliki
harapan hidup sama sekali, diperkirakan
hanya bisa bertahan sekitar 24 jam dengan atau tanpa
operasi.
b. Deskripsi Berdasarkan Jenis Antibiotik, Waktu dan Dosis
Deskripsi berdasarkan janis antibiotik, waktu dan dosis yang diberikan pada pasien bedah apendisitis disajika pada tabel 2 berikut :
Tabel 2
Deskripsi Berdasarkan Jenis, Waktu dan Dosis Pada Pasien Bedah Apendisitis
No. |
Deskripsi |
Kategori |
N |
% |
1. |
Antibiotik Profilaksis |
Ampisillin Sulbaktam Sefazolin Sefoperazon Sefotaksim Seftriakson Co-amoksiklav + Metronidazol Sefoperazon + Metronidazol Sefotaksim + Metronidazol Seftriakson + Metronidazol Sefazolin + Metronidazol |
1 13 25 17 41 1 1 2 10 0 |
0.89 11.61 22.32 15.18 36.61 0.89 0.89 1.79 8.93 0, 00 |
2. |
Waktu pemberian� antibiotik |
≤ 30 menit 31-60 menit ≥ 1 jam |
3 69 40 |
2.68 61.61 35.71 |
3. |
Dosis |
Sesuai Tidak sesuai |
92 10 |
82.14 8.93 |
Pada tabel 2. menunjukan,
berdasarkan deskripsi antibiotik profilaksis, penggunaan paling banyak adalah seftriakson sebanyak 41 orang (36,61%). Berdasarkan
deskripsi waktu pemberian antibiotik, sebagian� besar� diberikan� selama� 31-60� menit� sebanyak� 69� orang�
(61,61%), berdasarkan deskrispi
dosis antibiotik profilaksis, paling banyak sesuai yaitu 92 orang (82, 14%).
Pada penelitian ini, antibiotik yang paling banyak di gunakan seftriakson. Dalam kaitannya penggunaan jenis antibiotik dengan faktor risiko IDO, tidak memiliki kaitan. karena nilai p-value <0,05. Hal ini serupa penelitian yang dilakukan oleh (Farizal, Sigit AP, & Lestari, 2016)
yaitu membandingkan pemakaian seftriakson terhadap infeksi luka operasi pada pasien apendisitis akut non komplikata yang dilakukan laparatomi dan laparaskopi, hasilnya tidak ada perbedaan
yang bermakna antara kejadian infeksi luka operasi terhadap� pemberian antibiotik seftriakson dan� non seftriakson baik� yang dilakukan laparoskopi apendiktomi maupun laparotomi apendiktomi. Menurut pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) tahun 2016 di RSUP Fatmawati,� untuk� antibiotik� profilaksis� yang� direkomendasikan secara umum adalah golongan
sefalosporin generasi 1 dan
2 yaitu sefazolin dan sefuroksim, dapat ditambahkan metronidazol (Fatmawati, 2016).
Sedangkan rekomendasi berdasarkan American Socity of
Hospital Pharmacist (ASHP) Volume 70 tahun 2013 sefoksitin, sefotetan, sefazolin dan�� metronidazol (Bratzler et al., 2013).
c. Deskripsi Efektivitas Penggunaan
Antibiotik
Efektivitas penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendisitis
disajikan pada tabel 3. berikut :
Tabel 3
Deskripsi Efektivitas Penggunaan
Antibiotik Profilaksis pada
Pasien Bedah Apendisitis
No. |
Distribusi |
Kategori |
N |
% |
1. |
Efektivitas penggunaan antibiotik �profilaksis |
Efektif Tidak efektif |
101 11 |
90.18 9.82 |
Pada tabel 3 di atas menunjukan, berdasarkan
dekskripsi �efektivitas penggunaan
antibiotik
�profilaksis pada pasien bedah apendisitis di RSUP Fatmawati paling besar
adalah efektif
�sebanyak
101 orang (90,18%).
Hasil penilaian efektivitas
penggunaan
antibiotik
profilaksis, pada
pasien bedah
apendisitis
di RSUP Fatmawati paling besar
adalah
efektif,
karena
tidak
terjadi IDO dan tidak
ditemukan tanda-tanda IDO yang di nilai 1 hari�� semenjak pasien setelah dioperasi sampai
dengan
pasien kontrol
kembali ke rumah sakit, terhitung
selama 30 hari. Penggunaan antiiotik di RSUP Fatmawati dinilai efektif ditandai
dengan
kejadian
IDO yang sedikit
yaitu
11 pasien selama
3 tahun.� Kefektifan��
penggunaan�
�antibiotik profilaksis pernah
dinilai juga oleh (Hidayatullah, 2014), tentang
efektivias antibiotik
yang digunakan pada pasien pasca operasi apendisitis di RUMKITAL
dr.Minthohardjo Jakarta pusat hasilnya yaitu
pemberian seftriakson memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi pada lama pemberian
3 hari, 4 hari
dan
5 hari,
kondisi terakhir pada pasien apendisitis
setelah dilakukan
pembedahan
dan perawatan, maka
data yang
paling besar
adalah
keadaan
luka recovery lebih besar daripada yang tidak recovery.
2.
Analisis bivariat
a.
Deskripsi �pasien bedah
apendisitis
Tabel 4
Analisis Bivariat
Kejadian IDO dengan Variabel� Pasien
No. |
Distribusi |
Terjadi IDO |
Tidak terjadi IDO |
N |
Korelasi |
P-Value |
||
N |
% |
N |
% |
|||||
1. |
JenisKelamin Laki-Laki Perempuan |
7 4 |
63.64 36.36 |
51 50 |
50.50 49.50 |
58 54 |
0,078 |
0,531 |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
2. |
Usia 10 � 19 Tahun 20 � 29 Tahun 30 � 39 Tahun 40 � 49 Tahun 50 � 59 Tahun 60 � 69 Tahun ≥ 70 Tahun |
3 3 1 2 0 1 1 |
27.27 27.27 9.09 18.18 0 9.09 9.09 |
38 36 7 7 7 5 1 |
37.62 35.64 6.93 6.93 6.93 4.95 0.99 |
41 39 8 9 7 6 2 |
− �0, 134 |
0, 336 |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
3. |
� Diagnosis Pasca Operasi Apendisitis akut Apendisitis kronis |
4 7 |
36.36 63.64 |
67 34 |
66.34 33.66 |
71 41 |
− 0,185 |
0,095 |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
4. |
Penyakit Penyerta Tidak ada Diabetes melitus Keganasan Peritonitis Hernia |
3 1 4 2 1 |
27.27 9.09 36.36 18.18 9.09 |
94 0 1 4 2 |
93.07 0 0.99 3.96 1.98 |
97 1 5 6 3 |
− 0, 457 |
0, 000* |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
5. |
Skor ASA ASA I ASA II ASA III |
0 0 11 |
0 0 100 |
4 96 1 |
3.96 95.05 0.99 |
4 96 12 |
− 0, 826 |
0, 000* |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel distribusi pasien,
didapatkan
jenis kelamin, usia dan diagnosa pasca operasi tidak
terdapat hubungan dengan
kejadian IDO, dikarenakan nilai p-value > 0,05. Berdasarkan distribusi usia, sebagian besar mengalami IDO pada rentang usia produktif yaitu
pasien dengan umur 10 � 19 tahun dan 20 �
29 tahun. dimana
pada umur tersebut
aktifitas dan pola
hidup mempengaruhi keadaan timbulnya
penyakit apendisitis.
penderita apendisitis yang menjalani bedah
apendiks tertinggi
berada
pada usia
remaja hingga
dewasa muda atau dibawah 30 tahun, sedangkan
pada usia lansia (>65 tahun) apendisitis
jarang
terjadi. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian
yang dilakukan
pada tahun 2014 oleh NIDDK
(National Institute of Diabetes and Digestive
and Kidney Diseases) menjelaskan bahwa kasus apendisitis
lebih sering terjadi pada
usia remaja yakni 12 hingga 20 tahun
(NIDDK,2014).
Hasil penelitian�� ini serupa dengan yang didapatkan oleh (Faridah, Andayani, & Inayati, 2012) tentang pengaruh umur dan penyakit penyerta terhadap kejadaian IDO pada pasien bedah gastrointestinal, hasilnya. Berdasarkan umur pasien, IDO terjadi pada 2 pasien yang keduanya berada pada rentang usia 41-60 tahun, �namun �berdasarkan �hasil �perhitungan�� statistik �diketahui �tidak terdapat hubungan antara umur dengan kejadian IDO p-value <0.05. Berdasarkan penyakit penyerta, IDO terjadi pada 2 pasien yang keduanya memiliki penyakit penyerta, dan berdasarkan hasil perhitungan statistik diketahui bahwa terdapat hubungan antara keberadaan penyakit penyerta dengan kejadian IDO p-value <0.05, walaupun pada pasien dengan rentang umur sudah tua dengan penurunan fungsi organ tidak menjamin setiap pasca bedah akan berisiko terjadi IDO. Sedangkan penyakit penyerta dan skor ASA memiliki hubungan dengan kejadian IDO, dikarenakan nilai p-value < 0,05. Terdapat 4 orang yang memiliki penyakit penyerta dari 11 yang mengalami IDO , diantaranya menderita penyakit keganasan seperti tumor atau kanker pada daerah tubuh lainnya, pada pasien dengan keganasan memiliki daya tahan tubuh yang menurun sehingga mudah terserang penyakit atau infeksi dan kadar leukosit yang cenderung tinggi, sehingga mudah sekali terserang infeksi bakteri pathogen, pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes, kanker atau keganasan,��� �gangguan���� faal�� hati,�� �gangguan�� �faal���� ginjal,�� �pasien immunocompromised �misalnya pasien �dengan �penyakit �yang� disebabkan oleh Human Immunodefisiency Virus (HIV) atau Acquired Immune Deficiency� Syndrome� (AIDS),� pasien� dengan �penggunaan� kortikosteroid yang� lama �seperti �yang �terjadi �pada �penderita �asma �atau �perokok �berat secara signifikan mempunyai resiko terjadi infeksi yang lebih besar, karena keadaan ini dapat mempersulit sembuh atau komplikasi, misalkan keadaan hiperglikemia mengganggu kemampuan leukosit untuk melakukan fagositosis dan juga mendorong terjadi infeksi. Sedangkan pada skor ASA paling banyak pada skor ASA III sebanyak 11 pasien seluruhnya yang mengalami IDO, skor ASA menjadi prediktor terjadinya IDO, penelitian lain menjelaskan dimana tingkat IDO secara signifikan terjadi pada skor ASA II �V daripada skor I (Kemenkes RI,2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh (Alfonso-Sanchez, Martinez, Mart�n-Moreno, Gonz�lez, & Bot�a, 2017) skor ASA yang paling berpengaruh adalah Skor ASA 3 hingga 5, karena keadaan ini pasien terdapat penyulit berasal dari keadaan klinis pasien yang buruk.
b. Deskripsi Perawatan
Pasien Bedah Apendisitis
Tabel 5
Analsisis Bivariat Kejadian IDO dengan Perawatan pada Pasien Bedah Apendisitis.
No. |
Deskripsi |
Terjadi IDO |
Tidak terjadi IDO |
N |
Korelasi |
P-Value |
||
N |
% |
N |
% |
|||||
1. |
Lama Hari rawat < 5 hari ≥ 5 hari |
0 11 |
0 100 |
72 29 |
71.29 28.71 |
72 40 |
- 0.443 |
0, 000* |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
2. |
Suhu Tubuh Normal Tidak normal |
4 7 |
36,36 63,64 |
96 5 |
95,05 4,95 |
100 12 |
-0,565 |
0,000* |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
3. |
Kadar leukosit Normal Tidak normal |
0 11 |
0 100 |
61 40 |
60,40 39,60 |
61 51 |
-0,361 |
0,000* |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
Hasil �analisis �bivariat �pada tabel 5. berdasarkan �lama� rawat, suhu tubuh dan kadar leukosit dengan kejadian �IDO, didapatkan bahwa lama hari rawat, suhu tubuh dan kadar leukosit, terdapat hubungan dengan kejadian IDO p-value < 0,05. Lama hari rawat memiliki pengaruh yang besar terhadap kejadian IDO, karena semakin lama hari rawat maka semakin besar risiko terkena infeksi nosokomial sehingga dapat menyebabkan IDO. Hal ini serupa dengan hasil penelitian oleh (Setianingsih, Zukhri, & Indriani, 2020) tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Daerah Operasi Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea menunjukkan ada� pengaruh� lama hari�� rawat�� terhadap�� kejadian�� infeksi daerah operasi pada pasien post operasi sectio caesarea di Rumah Sakit Umum Islam� Klaten.� Lama� hari� rawat pasien post sectio� caesarea �di� Rumah� Sakit Umum Islam Klaten rata-rata adalah 48 jam,� karena� pasien� yang� terlalu� lama dirawat akan meningkatkan resiko IDO. Sedangkan suhu tubuh dan kadar leukosit merupakan salah satu penanda adanya infeksi, akibat dari perlawanan sel darah putih terhadap benda asing berupa bakteri pathogen, suhu tubuh dan kadar laukosit di ukur sebelum operasi dan sesudah operasi, keadaan suhu dan kadar leukosit yang tinggi atau tidak normal pasca operasi merupakan hal yang patut dicurigai berpotensi terjadi infeksi dan perlu dilakukan tindakan kuratif. Terjadinya IDO� dapat �teramati �1-30 �hari �pasca� operasi. Menurut (Amelia & Komar, 2019) pada penelitiannya tentang Kajian Pola Penggunaan Antibiotik Profilaksis Hubungannya dengan Angka Kejadian Infeksi Daerah Operasi (IDO) pada Pasien Bedah Digestif menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis pascaoperasi yang dilanjutkan lebih lama atau setelah penutupan luka ternyata tidak menurunkan angka kejadia IDO. Penelitian yang dilakukan (Cohen et al., 2017) menunjukkan hasil pemberian antibiotik profilaksis 4 jam sebelum operasi dan dilanjutkan 14 hari perawatan setelah operasi dapat meningkatkan risiko resistensi antibiotik.
c.
Deskripsi Jenis,
Waktu
dan
Dosis Antibiotik Profilaksis
Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan hasil analisis kejadian IDO dengan jenis, waktu dan dosis antibiotik yang dapat diamati pada tabel 6 berikut ini :
Tabel 6
Analisis Bivariat Kejadian
IDO dengan Jenis, Waktu Dan
Dosis Antibiotik Profilaksis
No. |
Deskripsi |
Terjadi IDO |
Tidak terjadi IDO |
N |
Korelasi |
P-Value |
||
N |
% |
N |
% |
|||||
1. |
Antibiotik Profilaksis Ampisillin Sulbaktam Sefazolin Sefoperazon Sefotaksim Seftriakson Co-amoksiklav + Metronidazol Sefoperazon + Metronidazol Sefotaksim + Metronidazol Seftriakson + Metronidazol Sefazolin + Metronidazol |
0 0 2 3 4 0 0 1 0 1 |
0 0 18.18 27.27 36.36 0 0 9.09 0 9.09 |
1 13 22 15 37 1 1 1 9 1 |
0.99 12.87 21.78 14.85 36.63 0.99 0.99 0.99 8.91 0.99 |
1 13 24 18 41 1 1 2 9 2 |
-0.096 |
0.274 |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
W 2. |
Waktu diberikan antibiotik ≤ 30 menit 31-60 menit ≥ 1 jam |
0 0 11 |
0 0 100 |
3 40 58 |
3,06 40,82 59,18 |
3 40 69 |
-0,249 |
0,022* |
|
Jumlah |
11 |
100 |
98 |
100 |
109 |
|
|
3. |
Dosis Sesuai Tidak Sesuai |
9 2 |
81.82 18.18 |
83 18 |
82.18 17.82 |
92 20 |
- 0,003 |
0, 623 |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
1)� Penggunaan Antibiotik profilaksis
Berdasarkan analisis bivariat jenis antibiotik profilaksis dan dosis terhdap IDO pada tabel 6., tidak terdapat hubungan �dengan kejadian IDO, ditandai nilai p-value > 0,05. Penggunaan �metronidazol �dalam �mecegegah �terjadinya�� IDO adalah� �hal� �yang tepat, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Daskalakis, Juhlin, & P�hlman, 2014), menunjukan bahwa pemberian metonidazol secara intravena sebelum dilakukan bedah apendiktomi cukup mencegah terjadinya infeksi, untuk apendisitis non perforasi, metronidazol juga bersifat anaerobik pada bakteri bacteroide fragilis (Ravari, Jangjoo, Motamedifar, & Moazzami, 2011), perlu diingat pada bedah apendisitis penggunaan metronidazol secara tunggal kurang efektif dalam mencegah infeksi secara signifikan, tapi harus dikombinasikan dengan sefazolin, ampisilin atau gentamisin (Bratzler et al., 2013). Sebuah penelitian yang dilakukan di dua rumah sakit untuk mengevaluasi efektifitas metronidazol yang aktif menghambat tumbuhnya kuman yang bersifat anerob dan sefazolin yang aktif �menghambat �pertumbuhan �kuman �yang� bersifat �aerob �pada �kasus bedah apendiktomi. Hasilnya, pasien yang menerima kombinasi kedua antibiotik sefazolin dan metronidazol memiliki efektifitas yang baik dalam menurunkan kejadian infeksi, dibandingkan dengan hanya penggunaan antibiotik tunggal seperti sefazolin saja (Bratzler et al., 2013). Penggunaan antibiotik dari golongan sefalosporin �generasi ke 3 seperti seftriakson atau sefotaksim, digunakan pada pasien apendisitis yang sudah �mengalami �komlikasi �perforasi, �tapi �pada� penelitian �ini �sebagian besar pasien menerima antibiotik seftriakson pada kasus apendisitis akut, kronis baik yang mengalami perforasi atau tidak. Antibiotik seftriakson dan sefotaksim merupakan antibiotik dengan� broad spectrum, dimana dokter bedah memilih antibiotik tersebut. Penggunaan antibiotik kombinasi metronidazol hanya diberikan pada kasus apaendisitis perforasi atau ditandai PUS. Tapi hal tersebut belum tertulis pada pedoman penggunaan antibiotik rumah sakit fatmawati, sehingga diharapkan kedepannya aturan penggunaan antibiotik profilaksis pada apsein bedah apendisitis dapat di tetapkan pada clinical pathway ruamh sakit, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan penggunaan antibiotik profilaksis pada kasus bedah apendisitis. Pemilihan seftriakson sebagai antibiotik diantaranya adalah faktor ketersediaan antibiotik tersebut, dengan harga yang murah, banyak dan mudah didapat , dibandingkan dengan sefazolin dan sefuroksim. Antibiotik sefotaksism memiliki efektifitas yang baik sebagai antibiotik profilaksis pada bakteri anaerobik dengan risiko terjadinya infeksi < 5% (Bratzler et al., 2013), sebuah peneliian di yaman pada tahun 2016,� �sefotaksim merupakan �antibiotik �yang� aktif �melawan �pertumbuhan �bakteri �gram negatif, �baik �digunakan �secara� tunggal �atau �kombinasi �bersama metronidazol (Sallami, 2016). Perbedaan penggunaan jenis antibiotik di rumah sakit dan pada pedoman adalah hal yang banyak terjadi, karena di setiap rumah sakit memiliki perbedaan sebaran kuman, pola resistensi dan ketersediaan antibiotik, bahkan setiap rumah sakit pun berbeda pula, maka perlu disusun pedoman penggunaan antibiotik profilaksis secara nasional dan khususunya di rumah sakit itu sendiri (Vessal, Namazi, Davarpanah, & Foroughinia, 2011). Penggunaan sefazolin secara tunggal sebagai antibiotik profilaksis pada�� penelitian� �ini���� �terbukti� �dapat� �mencegah� �terjadinya� �IDO� �dan penggunaan� �antibiotik�� sefazolin�� dikombinasikan�� dengan�� metronidazol hanya� �terjadi� �IDO�� sebanyak� �1� �orang,� �pada� �prinsipnya,� �penggunaan antibiotik �di �rumah �sakit �harus� disesuaikan� dengan �hasil �uji �kepekaan kuman, sehingga dalam mengatasi dan mencegah terjadinya infeksi dapat lebih efektif dan efisien, ketidaktepatan pengganaan antibiotik profilaksis di rumah sakit fatmawati bukan berarti penggunaan antibiotik prfilaksis yang diberikan pada pasien bedah apendisitis tidak efektif, berdasarkan penelitian Zulfa �Labibah �(2016) �menjelaskan �bahwa, �di �RSUD �DR �H.� Abdoel Moeloek Bandar�� Lampung Tahun 2016. Hasilnya, mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan IDO adalah Klebsiella sp. Pola kepekaan mikroorganisme penyebab IDO yang paling sensitif adalah terhadap Amikasin, �sedangkan �yang �paling� resisten �adalah �terhadap �Sefazolin. Sampai saat ini banyak di rumah sakit yang ada di Indonesia dalam pemberian antibiotik� �profilaksis pada pasien bedah apendisitis adalah seftriakson� (Vessal et al., 2011).
2) Waktu pemberian antibiotik profilaksis
Sedangkan waktu� �pemberian
antibiotik sebagian
besar
≥ 1 jam dengan
nilai
p-value 0,022, sehingga
terdapat hubungan dengan
kejadian
IDO
karena
nilai
p-value <0,05.
Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan �(Koch et al., 2013)� dari �sampel �4400 �tindakan
�bedah �selama periode 2006 hingga 2012 . Hasilnya terdapat 95,1% pasien yang mendapat antibiotik
profilaksis 1 jam sebelum operasi, pasien mengalami IDO sebanyak
444 pasien (10%), terdiri dari 214 pasien yang
mendapatkan antibiotik
> 60 menit, 3140 pasien (9%) pemberian
< 30 menit
dan 1099 pasien (11,7%) (Koch et al., 2013). Seharusnya
lama pemberian
antibiotik yaitu
30 � 60 menit sebelum insisi (Garcell et al., 2017). Pemberian antibiotik lebih dari 60 menit
akan mengakibatkan kadar
yang tidak
efektif didalam
tubuh, sehingga berdampak
pada menurunnya
efek
antibiotik tersebut kemudian
berpengaruh pada kejadian
infeksi dan antibiotik
tersebut tidak
dapat mencegah atau melawan
serangan bakteri
patogen
(Lisni, 2014).
Di RSUP Fatmawati sendiri kendala yang dihadapi dengan
hal ini diakibatkan pada kepatuhan
tim medis yaitu dokter dalam menuliskan
resep
antibiotik profilaksis
dan
banyaknya pasien
emergency yang
harus dilakukan secara segera
(cito), maka pasien
bedah apendisitis harus menunda dahulu dilakukan
bedah
walaupun tidak lama, sehingga waktu pemberian antibiotik profilaksis
banyak
yang dilakukan di IGD. maka seharusnya dokter menuliskan
antibiotik yang disarankan
pada PPAB� dengan
�dosis �yang �tepat, �serta
�waktu �detail �kapan �pemberian
antibiotik profilaksis tersebut harus diberikan. Hal ini dokter hendakanya
bekerjasama dengan
tim� medis lain atau apoteker
dalam mengendalikan ketepatan
waktu pemberian antibiotik profilaksis.
3) Dosis antibiotik profilaksis
Pada penelitian ini kategori dosis dinilaia dengan 2 kriteria yaitu sesuai dan tidak sesuai. Dari hasil analisis didapatkan sebanyak
20 pasien
yang tidak
sesuai dosis terdiri �dari 2 pasien yang terjadi IDO dan 18 pasien yang� tidak �terjadi �IDO, �diantaranya �sefotaksim
�7
�pasien, �seftriakson� 4 pasien, seftriakson
+ metronidazol�
2 pasien,
ampisilin
1 pasien, sefoperazon 2 pasien, sefazolin 2 pasien dan sefotaksim + metronidazol
1 pasien.
Penggunaan
dosis yang tidak
tepat sangat beragam. Pemberian dosis sefotaksim 250 mg, 500 mg, 500 mg, 2 gr, 750 mg, 150 mg, seharusnya dosis sefotaksim yang disarankan adalah 1gr untu dosis orang dewasa. Seftriakson terdapat
4 pasien yang tidak sesuai
dosis yang disarankan, yaitu
500 mg dan 1 gr, sedangkan yang
disarankan adalah 2 gr untuk pasien dewasa.
Seftriakson +Metronidazol dosis yang
digunakan 500 mg + 250 mg dan �1 gr + 500 mg, sedangkan yang
disarankan adalah 2 gr + 500 mg untuk orang dewasa.�� Ampisilin terdapat
1 pasien yang menggunakan
dosis 150 mg, seharusnya
yang disarankan adalah 2 gr
untuk pasien dewasa.
Sefoperazon
�terdapat �2 �pasien �yang� tidak �sesuai �dosis,
�yaitu
�1
gr, seharusnya 2gr.
Sefazolin terdapat 2 pasien, yaitu 1 gr, seharusnya 2 gr. Sefotaksim+
metronidazol
terdapat 1 pasien, yaitu
150 mg + 100 mg, seharusnya 1 gr + 500 mg (Bratzler et al., 2013).� Proses redosing antibiotik
profilaksis dapat dilakukan, yaitu
dengan
cara mengulang kembali
pemberian antibiotik profilaksis ketika telah mencapai durasi dua kali waktu paruh obat
atau saat pasien telah kehilangan > 1500 ml darah selama prosedur operasi
berlangsung,
maka hal itu dapat
dilakukan jika perlu (Bratzler et al., 2013). Pada penelitian ini tidak ada pasien yang
redosing antibiotik� �profilaksis.�� Pada�
�waktu� �tunggu�
�operasi� �yang�� lama� �tentu seharusnya sudah memenuhi dua kali waktu paruh
antibiotik profilaksis, seharusnya dilakukan
redosing. Contohnya
pada pasien yang
diberikan
antibiotik profilaksis di UGD kemudian
terlalu lama menunggu untuk dilakukan
pembedahan.
d. Deskripsi efektivitas penggunaan antibiotik profilaksis
Tabel 7
Analsis Bivariat Kejadian IDO
Efektivitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis
No. |
���������������� Deskripsi |
Terjadi IDO |
Tidak terjadi IDO |
N |
Korelasi |
P-Value |
||
N |
% |
N |
% |
|||||
1. |
Efektivitas penggunaan antibiotik� �profilaksis Efektif Tidak efektif |
0 11 |
0 100 |
78 23 |
77,23 22,77 |
78 34 |
-0,500 |
0,000* |
|
Jumlah |
11 |
100 |
101 |
100 |
112 |
|
|
Hasil analisis bivariat pada
hubungan
distribusi berdasarkan
efektivitas penggunaan
antibiotik profilaksis dengan
kejadian IDO pada tabel 7,� yaitu sebagian besar
mengalami
IDO pada pasien
dengan pengunaan antibiotik
profilaksis �yang� tidak �efektif �sebanyak �11 �dari �112 �sampel. �Hubungan
antara
efektivitas
penggunaan
antibiotik
profilaksis
dengan kejadian
IDO sangat rendah
dan
hasil uji statistik menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara efektivitas penggunaan antibiotik profilaksis dengan
kejadian
IDO, faktor risiko IDO dapat
terjadi oleh beberapa hal, tidak
harus dari pengaruh penggunaan antibiotik profilaksis.
Menurut kementrian
kesehatan
(2011) Penggunaan antibiotik
profilaksis salah satunya
bertujuan untuk mencegah timbulnya IDO
pasca
bedah (Tanto et al., 2014), apabila
penggunaan antibiotik
profilaksis pada pasien bedah
apendisitis
masih terjadi IDO, maka pola penggunaan antibiotik
profilaksis perlu
diperbaiki. Saat ini menurut (Alsen & Sihombing, 2014) Seringkali� kebocoran usus menyebabkan dehidrasi
dan� itu menjadi salah satu penyebab
IDO pada perforasi usus. Alasan utama ketidakefektifan
antibiotika
adalah ketidaktahuan
terhadap biologi dari
IDO. mempertahankan mekanisme immunitas (Alsen & Sihombing, 2014). Dari penelitian terhadap
marmot disimpulkan bahwa Antibiotik paling efektif bila
diberikan sebelum
terjadi inokulasi bakteri. Antibiotik tidak efektif
lagi bila
diberikan 3 jam
setelah
inokulasi. Efektivitasnya menjadi sedang
bila diberikan diantara kedua waktu tersebut. Berdasarkan inilah prinsip
antibiotika profilaksis
terhadap IDO di semua bidang bedah adalah antibiotika
profilaksis harus
diberikan 2 jam sebelum insisi, dalam dosis penuh, secara perenteral,
dan dalam waktu terbatas (Ravari et al., 2011).
3.� Analisis Multivariat
Dalam�� analisis�� multivariat�� setidaknya �kita �dapat��
mengetahui
variabel independen mana yang
paling besar
berpengaruh terhadap variabel dependen, kemudian
apakah beberapa
variabel independen dengan
variabel dependen
berhubungan secara langsung
atau tidak berhubungan
secara langsung (Hastomo Priyo, 2016).
Hasil analisis multivariat yang
sudah dilakukan menunjukan
bahwa,
terdapat hubungan
langsung
antara variabel
independen
dengan variabel
dependen, karena uji dilakuan dengan metode�� regresi logistik
dan secara simultan
bersama-sama anatara variabel
independen dengan
variabel
dependen.
Faktor risiko
yang paling
berhubungan
secara
signifikan dengan IDO pada bedah
apendisitis
yaitu penyakit penyerta, Skor ASA,
lama rawat, suhu tubuh, kadar leukosit. Hal ditandai
dengan nilai signifikansi analisis bivariat nilai
p- value <0,05. Kebanyakan
menurut beberapa
hasil penelitian
faktor yang
paling dominan menyebabkan
IDO adalah Skor ASA, Lama
rawat, suhu tubuh dan jumlah kelukosit dan penyakit penyerta.
Menurut (Alsen & Sihombing, 2014) IDO merupakan angka
kejadian tersering
infeksi nosokomial, meliputi 38% dari seluruh infeksi nosokomial. Faktor
risiko IDO antara
lain adalah Sifat operasi
(derajat kontaminasi operasi),
skor ASA (American Society of
Anesthesiologists), komorbiditas DM
(diabetes melitus), suhu tubuh, jumlah lekosit, dan lama
operasi. Tindakan pemasangan drain, pemasangan
implan dan
penggunaan elektrocauter oleh dokter merupakan
faktor risiko untuk
terjadinya
infeksi luka operasi disamping �faktor
�pasien �antara �lain �usia, �perfusi
�lokal �terganggu
�pada penderita gangguan vaskuler. Pencegahan dilakukan
dengan persiapan
operasi �dengan �prinsip
�sterilitas �serta� penggunaan �antibiotik �profilaksis (Ravari et al., 2011).
Kesimpulan
Kejadian infeksi
daerah operasi (IDO) pada pasien bedah apendisitis
di RSUP Fatmawati sebanyak
11 orang dari 112 sampel. Penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendisitis di RSUP Fatmawati sudah efektif�� yaitu sebesar 90,18%, karena dapat mencegah
terjadinya IDO. dan Faktor risiko yang dominan berhubungan dengan kejadian IDO pada bedah apendisitis yaitu penyakit penyerta, Skor ASA, lama
rawat, suhu tubuh dan kadar leukosit. Hal ditandai dengan nilai signifikansi
analisis multivariat
p-value <0,05.
Alfonso-Sanchez, Jose L., Martinez, Isabel M.,
Mart�n-Moreno, Jose M., Gonz�lez, Ricardo S., & Bot�a, Francisco. (2017).
Analyzing the risk factors influencing surgical site infections: the site of
environmental factors. Canadian Journal of Surgery, 60(3), 155. Google Scholar
Alsen, M. Alsen M., & Sihombing,
Remson. (2014). Infeksi luka operasi. Majalah Kedokteran Sriwijaya, 46(3),
229�235. Google Scholar
Amelia, Kiki, & Komar, Hafid. (2019).
Kajian Pola Penggunaan Antibiotik Profilaksis Hubunganya dengan Angka Kejadian
Infeksi Daerah Operasi (IDO) pada Pasien Bedah Digestif. Jurnal Sains
Farmasi & Klinis, 6(3), 186�190. Google Scholar
Bratzler, Dale W., Dellinger, E. Patchen,
Olsen, Keith M., Perl, Trish M., Auwaerter, Paul G., Bolon, Maureen K., Fish,
Douglas N., Napolitano, Lena M., Sawyer, Robert G., & Slain, Douglas.
(2013). Clinical practice guidelines for antimicrobial prophylaxis in surgery. Surgical
Infections, 14(1), 73�156. Google Scholar
Carvalho, Andr� Lopes, Peres, Stela
Verzinhasse, Foschini, Milene Mitsuyuki, & Passos, Afonso Dinis Costa.
(2011). Surgical-site infection risk in oncologic digestive surgery. Brazilian
Journal of Infectious Diseases, 15(2), 109�115. Google Scholar
Cohen, Margot E., Salmasian, Hojjat, Li,
Jianhua, Liu, Jianfang, Zachariah, Philip, Wright, Jason D., & Freedberg,
Daniel E. (2017). Surgical antibiotic prophylaxis and risk for postoperative
antibiotic-resistant infections. Journal of the American College of Surgeons,
225(5), 631�638. Google Scholar
Daskalakis, Kosmas, Juhlin, Claes, &
P�hlman, Lars. (2014). The use of pre-or postoperative antibiotics in surgery
for appendicitis: a systematic review. Scandinavian Journal of Surgery, 103(1),
14�20. Google Scholar
Datuan, Wilda Apriliana. (2017). Evaluasi
Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis Operasi Apendisitis Akut Pasien
Dewasa dan Geriatri di RS Bethesda Yogyakarta tahun 2015 (Skripsi). Yogyakarta:
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Google Scholar
Faridah, Imaniar Noor, Andayani, Tri Murti,
& Inayati, Inayati. (2012). Pengaruh Umur Dan Penyakit Penyerta Terhadap
Resiko Infeksi Luka Operasi Pada Pasien Bedah Gastrointestinal. Pharmaciana,
2(2). Google Scholar
Farizal, Ilham, Sigit AP, Sigit A. P.,
& Lestari, Endang Sri. (2016). Perbandingan Pemakaian Ceftriaxone
Terhadap Infeksi Luka Operasi Pada Pasien Apendisitis Akut Non Komplikata yang
Dilakukan Laparatomi dan Laparaskopi Apendiktomi. Diponegoro University. Google Scholar
Fatmawati, RSUP. (2016). Komite
Pengendalian dan Pencegahan Infeksi, Sub komite PPRA PPAB (Pedoman Penggunaan
Antibiotik) RSUP Fatmawati (Edisi 1). Jakarta. Google Scholar
Ferris, Mollie, Quan, Samuel, Kaplan, Belle
S., Molodecky, Natalie, Ball, Chad G., Chernoff, Greg W., Bhala, Nij, Ghosh,
Subrata, Dixon, Elijah, & Ng, Siew. (2017). The global incidence of
appendicitis: a systematic review of population-based studies. Annals of
Surgery, 266(2), 237�241. Google Scholar
Garcell, Humberto Guanche, Arias, Ariadna
Villanueva, Sandoval, Cristobal A. Pancorbo, Garc�a, Elias Guilarte, Gamboa,
Moraima E. Valle, Sado, Adam Bode, & Serrano, Ram�n N. Alfonso. (2017).
Incidence and etiology of surgical site infections in appendectomies: a 3-year
prospective study. Oman Medical Journal, 32(1), 31. Google Scholar
Haryanti, Lina, Pudjiadi, Antonius H.,
Ifran, Evita Kariani B., Thayeb, Amir, Amir, Idham, & Hegar, Badriul.
(2016). Prevalens dan faktor risiko infeksi luka operasi pasca-bedah. Sari
Pediatri, 15(4), 207�212. Google Scholar
Hastomo Priyo, S. (2016). Modul Analisis
Data Biostatistik. Jakarta: Universitas Indonesia. Google Scholar
Hidayatullah, R. M. Rendy. (2014). Efektivitas
Antibiotik Yang Digunakan Pada Pasien Pasca Operasi Appendisitis di RUMKITAL
dr. Mintohardjo Jakarta Pusat. Google Scholar
Jeyamohan, Dharsini. (2010). Angka
prevalensi infeksi nosokomial pada pasien luka operasi pasca bedah di Bagian
Bedah di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan dari bulan April sampai
September 2010. Universitas Sumatera Utara. Google Scholar
Koch, Colleen G., Li, Liang, Hixson, Eric,
Tang, Anne, Gordon, Steve, Longworth, David, Phillips, Shannon, Blackstone,
Eugene, & Henderson, J. Michael. (2013). Is it time to refine? An
exploration and simulation of optimal antibiotic timing in general surgery. Journal
of the American College of Surgeons, 217(4), 628�635. Google Scholar
Kurnia, Andy, & Tripriadi, Effif Syofra.
(2015). Gambaran Penderita Infeksi Luka Operasi Pada Pasien Pasca Operasi
Bersih (Clean) Di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode Oktober-Desemeber
2013. Riau University. Google Scholar
Lisni, Ida. (2014). Evaluasi Penggunaan
Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Di Salah Satu Rumah Sakit Kota
Bandung. Jurnal Farmasi Galenika, 1(02). Google Scholar
Ravari, Hassan, Jangjoo, Ali, Motamedifar,
Jalal, & Moazzami, Kasra. (2011). Oral metronidazole as antibiotic
prophylaxis for patients with nonperforated appendicitis. Clinical and
Experimental Gastroenterology, 4, 273. Google Scholar
Sallami, Z. A. (2016). Retrospective
Study of Antibiotic Prophylaxis in Appendectomy in 6 Hospitals. Google Scholar
Setianingsih, S., Zukhri, Saifudin, &
Indriani, Nunik. (2020). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi
Daerah Operasi Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea. Proceeding of The
URECOL, 419�430. Google Scholar
Tanto, Chris, Liwang, Frans, Hanifati,
Sonia, & Pradipta, Eka Adip. (2014). Kapita selekta kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius, 329�330. Google Scholar
Vessal, G., Namazi, S., Davarpanah, M. A.,
& Foroughinia, F. (2011). Evaluation of prophylactic antibiotic
administration at the surgical ward of a major referral hospital, Islamic
Republic of Iran. EMHJ-Eastern Mediterranean Health Journal, 17 (8),
663-668, 2011. Google Scholar
Copyright holder: Adi Setiadi, Ros Sumarny, Delina Hasan, Alfina Rianti (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |