�Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

��e-ISSN : 2548-1398

Vol. 6, Special Issue No. 2, Desember 2021

 

ANALISIS PENGUJIAN KEPUTUSAN PENGANUGERAHAN GELAR DOKTOR KEHORMATAN (DOKTOR HONORIS CAUSA) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA: STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 79/PK/TUN/2013

 

Marzul Afiyanto1, RR. Herini Siti Aisyah2, Xavier Nugraha3, Muhammad Mashuri4, Rizki Firmansyah5

1Magister Sains Hukum Dan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

23Fakultas Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

4Universitas Merdeka Pasuruan, Indonesia

5Magister Ilmu Hukum, Fakultas Huku.� Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

���������������� Kompetensi absolut dari PTUN berdasarkan UU PTUN adalah sengketa tata usaha negara, yaitu sengketa sebagi akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Namun, ternyata tidak semua keputusan tata usaha negara dapat diujikan di PTUN. Salah satu yang sempat diperbedatkan dapat atau tidaknya Keputusan Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) diuji di PTUN. Perdebatan ini terlihat salah satunya terlihat di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013. Dengan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah pertama, apa kompetensi absolut dari PTUN? dan kedua apakah Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] dapat diuji di PTUN? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Adapun hasil penelitian ini adalah pertama Kompetensi absolut dari PTUN berdasarkan UU PTUN adalah sengketa tata usaha negara, yaitu sengketa sebagi akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Namun, ternyata tidak semua keputusan tata usaha negara dapat diujikan di PTUN dan kedua Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] bukan merupakan kompetensi absolut dari PTUN, karena substansi keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) termasuk dalam ranah akademis yang notabene bukan ranah hukum yang dapat dinilai oleh Pengadilan.

 

Kata Kunci: keputusan tata usaha negara; keputusan penganugerahan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa); kompetensi absolut

 

 

 

 

Abstract

The absolute competence of PTUN based on the PTUN Law is a state administrative dispute, namely a dispute as a result of the issuance of a state administrative decision. However, it turns out that not all state administrative decisions can be tested in the Administrative Court. One of the things that was debated whether or not the decision to confer an Honorary Doctorate Degree (Doktor Honoris Causa) was tested at the PTUN. This debate can be seen, one of which is seen in the Supreme Court Decision Number 79/PK/TUN/2013. With this background, the formulation of the problem in this research is first, what is the absolute competence of PTUN? and secondly, can the decision regarding the awarding of an Honorary Doctorate [Doctor Honoris Causa] be tested in the Administrative Court? This research is a normative legal research with a statutory approach, a conceptual approach, and a case approach. The results of this study are first, the absolute competence of the PTUN based on the PTUN Law is a state administrative dispute, namely a dispute as a result of the issuance of a state administrative decision. However, it turns out that not all state administrative decisions can be tested in the PTUN and the second awarding of the Honoris Doctorate [Doctor Honoris Causa] is not an absolute competence of the PTUN, because the substance of the decision to award the Honoris Doctorate (Doctor Honoris Causa) is included in the academic realm which incidentally is not the realm of law that can be assessed by the Court.

 

Keywords: state administrative decisions; decisions on awarding an honorary doctorate degree (doktor honoris causa); absolute competence.

 

Received: 2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20

 

Pendahuluan

Lex semper debet remedium (hukum akan selalu memberikan obat) (Dirgantara et al., 2020). Sebuah adagium hukum yang memiliki kedalaman makna, bahwa esensi hukum adalah untuk menyelesaikan suatu problematika hukum. Adanya adagium tersebut koheren dengan pendapat Peter Noll yang pada pokoknya mengatakan, bahwa ilmu hukum itu merupakan ilmu peradilan (rechtspraakwtenschap) (Velden, 1988).� Menurut Sudikno Mertokusumo, hal ini didasarkan, karena memang mayoritas sarjana hukum (hakim, jaksa, dosen, pengacara, dan sebagainya) akan dihadapkan pada suatu peristiwa hukum konkret yang memerlukan pemecehana masalah hukum yang konkret pula (Sudikno Mertokusumo, 2020). Bahkan, terkait ilmu hukum itu merupakan ilmu peradilan, W.G. Van der Veld menguraikan bahwa (Attamimi, 1990): �Deze �brave juristenkijk�, zoals Van Schendelen het noemt, heeft van de rechtswetenschap een rechtspraakswetenschap gemaakt.� (pandangan yang �baik hati� dari para ahli hukum ini. sebagaimana disebutkan olah Van Schendelen telah mengubah ilmu hukum menjadi ilmu tentang peradilan.)

�� Di Indonesia, salah satu manifestasi, bahwa ilmu hukum adalah ilmu peradilan dapat dilihat di dalam Bab IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun salah satu ketentuan di dalam bab tersebut adalah Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 yang mengatur, bahwa; �Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.� Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa peradilan di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (Achmad & Mulyanto, 2013). Dapat dilihat pula, bahwa lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung adalah peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

�� Adanya lingkungan peradilan tata usaha negara di bawah Mahkamah Agung sejatinya merupakan konsekuensi yuridis dari dianutnya negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) (Eck et al., 2018) di Indonesia, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) jo. Ayat (3) UUD NRI 1945. Hal ini, karena memang salah satu ciri dari adanya negara hukum yang demokratis menurut Jimly Asshiddiqie adalah adanya peradilan tata usaha negara (Asshiddiqie, 2012). Hal ini sejatinya logis, karena memang peradilan tata usaha negara memang merupakan alat kontrol sosial yang dapat dilakukan oleh warga masyarakat� atas tindakan yang dianggap sudah disalahgunakan oleh penguasa atau pemerintah tersebut (Susanti, 2009). Bahkan, di dalam perkembangannya, hukum administrasi ini dikonstruksikan sebagai �alat� untuk menciptakan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly) (Kosasih et al., 2017). Dengan demikian, bisa dibilang bahwa peradilan tata usaha negara ini adalah suatu mekanisme yang hadir untuk mencegah pemerintahan bertindak sewenang-wenang.

�� Salah satu tindakan pemerintah yang sempat diuji beberapa waktu lalu adalah terkait adanya keputusan penganugerahan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa). Perkara tersebut teregister di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya dengan Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY tanggal 17 November 2011. Adapun terkait dengan pengujian tersebut dilakukan oleh Agus Pramudijono dan Darmaji selaku pemohon. Terkait dengan objek keputusan yang diuji adalah Surat Keputusan Rektor Nomor 067/SK/R/III/2011 tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) kepada Alim Markus tanggal 10 Maret 2011.

�� Dalam positanya, Para Penggugat mendalilkan, bahwa obyek sengketa� Surat Keputusan tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu tidak memenuhi syarat- syarat yang ditentukan secara limitatif sebagaimana dimaksud di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tingggi Pasal 25 ayat (1), ayat (4) jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pedoman Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa)� Pasal 2 ayat (1) , Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1), dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor : 178/U/2001 Tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik atau algemene beginselen van behoorlijk bestuur (AUPB) (Syuhudi, 2018).

PTUN Surabaya dalam putusannya Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY tanggal 17 Nopember 2011 kemudian memutuskan membatalkan obyek sengketa Surat Keputusan Rektor tersebut, selanjutnya Putusan PTUN Surabaya tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 18/B/2012/PT.TUN. SBY tanggal 6 Maret 2012. Mahkamah Agung dalam putusan tingkat kasasi Nomor 294K/TUN/2012 tanggal 8 Agustus 2012 telah membatalkan putusan judex factie. Adapun salah satu pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 294K/ TUN/2012 tersebut pada pokoknya adalah karena keputusan tersebut bukan rana PTUN, sehingga tidak dapat diajukan gugatan dan dinilai oleh Hakim atau Pengadilan. Terkait putusan tersebut, kemudian pihak Termohon Kasasi dalam perkara Nomor 294K/ TUN/2012 (in casu: Agus Pramudijono dan Darmaji) mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (request civil)., namun ditolak oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa Peninjauan Kembali di dalam Putusan Nomor 79/PK/TUN/2013 dengan juga kembali mengutip pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 294 K/ TUN/2012.

Adanya pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara Putusan Nomor 79/PK/TUN/2013 tersebut menimbulkan pertanyaan terkait dengan alasan hakim yang mempertimbangkan, bahwa tidak dapat dijuinya keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) di PTUN. Apakah berarti keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dianggap bukan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga tidak bisa diuji di PTUN atau keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, namun tidak bisa diuji di PTUN dengan dasar tidak ada batu uji yang dapat mengujinya (vide Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 [selanjutnya disebut UU PTUN]). Kalau memang benar yang kedua (in casu: Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, namun tidak bisa diuji di PTUN), maka berarti terdapat KTUN yang tidak bisa diuji di PTUN.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah di dalam penelitian ini pertama, apa kompetensi absolut dari PTUN? dan kedua apakah Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] dapat diuji di PTUN? Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan di dalam penelitian ini adalah pertama menganalisis kompetensi absolut dari PTUN dan kedua menganalisis pengujian Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] di PTUN.

Untuk memastikan kebaruan dari penelitian ini, maka akan diuraikan beberapa penelitian serupa dan diuraikan pula perbedaan dengan penelitian-penelitian tersebut. Berikut adalah uraian tersebut:

1.       Penelitian dari Ridwan HR, Despan Heryansyah, dan Dian Kus Pratiwi berjudul �Perluasan Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan� yang diterbitkan di Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Volume 25, Nomor 2, tahun 2018 (HR et al., 2018). Pada penelitian tersebut, para penulis menguraikan terkait dengan perluasan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) pasca Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, seperti kewenangan menguji tindakan faktual, menguji penyalahgunaan wewenang, menguji upaya administratif, memutus putusan fiktif positif, dan menguji diskresi. Dari uraian tersebut, dapat dipahami perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian ini akan menganalisis terkait dengan Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] di PTUN yang notabene tidak hanya dianalisis dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, namun juga peraturan perundang-undangan lain terkait.

2.       Penelitian dari I Gede Aris Eka Pramana, I Made Arjaya dan Ida Ayu Putu Widiati berjudul �Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Terkait Titik Singgung Antara Peradilan Tata Usaha Negara Dan Peradilan Umum Dalam Sengketa Pertanahan (Studi Kasus Putusan Nomor 27/G/2017/Ptun.Dps)� yang diterbitkan di Jurnal Analogi Hukum Volume 1, Nomor 1, tahun 2019 (Pramana et al., 2020). Pada penelitian tersebut, para penulis menguraikan terkait dengan titik singgung kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri, terkhusus para penulis melakukan studi kasus putusan nomor 27/G/2017/PTUN.DPS. Dari uraian tersebut, dapat dipahami perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian ini akan menganalisis terkait dengan Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] di PTUN yang notabene berbeda dengan penelitian I Gede Aris Eka Pramana, I Made Arjaya dan Ida Ayu Putu Widiati yang menganalisis titik singgung kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (doctrinal research). Adapun penyebab metode peneltiian hukum normative dipilih, karena memang merupakan metode yang paling sesuai dengan tujuan hukum, dan menjadi metode paling tepat dalam arus utama disiplin ilmu hukum (Irwansyah, 2020). Menurut Tery Hutchinson, penelitian hukum normatif adalah (Hutchinson, 2002): �research which provides a systematic exposition of the rules governing a particular legal category, analyses the relationship between rules, explain areas of difficulty and, perlhaps, prexdts tuture development.� Dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa pada pokoknya penelitian hukum noramtif adalah penelitian yang menganalisis terkait suatu aturan hukum. Di dalam penelitian ini, aturan-aturan hukum yang dianalisis adalah yang berkaitan dengan pengujian Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) di PTUN.

����������� Di dalam penelitian hukum normatif ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach) (Marzuki, 2013). Bahan-bahan penelitian ini berupa bahan hukum primer, yaitu semua peraturan perundang- undangan, konvensi internasional dan putusan pengadilan yang terkait dengan pengujian Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] di PTUN, sedangkan bahan hukum sekunder berupa kepustakaan dan materi bahan ajar yang berkaitan dengan pengujian Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) di PTUN, serta hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan permasalahan tersebut. Dari bahanm-bahan hukum tersebut kemudian dianalisis menggunakan penafsiran hukum untuk menelaah konsep, landasan filosofis, prinsip dan teori-teori hukum terkait pengujian Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) di PTUN (Nugraha et al., 2019).

 

Pembahasan

1.   Kompetensi Absolut PTUN

Noch suche die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht (definisi hukum sejatinya masih dicari-cari oleh para sarjana di masa saat mereka hidup) (Sudjana, 2019). Sebuah ungkapan dari seorang filsuf terkenal, yaitu Immanuel Kant yang memiliki kedalaman makna, bahwa hukum tersebut merupakan suatu hal yang sangat sulit untuk didefinisikan, karena begitu abstraknya hukum itu sendiri. Walaupun, sudah ada beberapa ahli hukum yang sudah mencoba memberi definisi terdapat hukum itu sendiri, seperti Utrecht yang menyebutkan hukum adalah himpunan peraturanperaturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu (Raharjo, 2005), Hans Kelsen yang mengartikan hukum adalah tata aturan (rule) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia (Asshiddiqie & Safa�at, 2006), dan lain sebagainya.

Terlepas dari adanya perdebatan terkait dengan tepat atau tidaknya definisi dari para ahli hukum tersebut, menurut para penulis adanya pendefinisian akan suatu konsep hukum adalah hal yang urgen dalam memahami konstruksi suatu konsep hukum. Dengan dipahaminya definisi dari suatu konsep hukum terlebih dahulu, maka hal tersebut dapat menghindari adanya kesalahan pemaknaan terhadap konsep hukum tersebut itu sendiri dan adanya kekeliruan pemahaman terhadap konsep hukum tersebut berpotensi untuk membuat proses penarikan kesimpulan dalam suatu analisis hukum menjadi keliru pula. Hal ini juga paralel dengan pendapat Philpus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, yaitu (M.Hadjon & Djamiati, 2008): �ex falso quodlibet (dari yang sesat kesimpulan seenaknya).� dan �ex vero nonnisi verum (dari yang benar kesimpulannya benar).� Oleh sebab itu, para penulis akan menguraikan terlebih dahulu definisi dari kompetensi absolut, sebelum menguraikan mengenai kompetensi absolut di PTUN.

Menurut S.F.Marbun, kompetensi absolut adalah (Marbun, 2003): �kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.� Menurut Soedikno Mertokusumo kompetensi absolut atau kewenangan mutlak pengadilan adalah (Mertokusumo, 1988) : �wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain.� Dari 2 (dua) pendapat ahli tersebut, dapat ditarik konkulsi, bahwa secara sederhana kompetensi absolut adalah terkait dengan pertanyaan �apa pengadilan yang berwenang mengadili?� (Setiawan et al., 2020).

Terkait kompetensi absolut dari PTUN ini, maka sejatinya bisa melihat ke dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009) yang mengatur, bahwa: �Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.� Dari pengaturan tersebut, dapat dipahami bahwa kompetensi absolut dari PTUN adalah sengketa tata usaha negara (Purnomo et al., 2020).

Di dalam Pasal 1 angka 10 UU PTUN diatur, bahwa:� �Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.� Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud sengketa tata usaha negara adalah sengketa sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Di dalam Pasal 1 angka 9 UU PTUN, diatur bahwa: �Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.� Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam hal ada suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata yang dianggap merugikan seseorang atau badan hukum perdata, maka dapat diajukan gugatan di PTUN.

Philipus M. Hadjon dkk menguraikan, bahwa (Hadjon et al., 1999):

Kalau kita bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 seyogianya Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan suatu sistem umum Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, berdasarkan rumusan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara (Vide Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) maka Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah suatu Peradilan Tata Usaha Negara khusus. Dengan pembatasan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara yang hanya menyangkut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berarti masih ada sengketa Tata Usaha Negara lain yang tidak terjangkau oleh PTUN.

Dari ungkapan tersebut, dapat dipahami bahwa ternyata ada sengketa-sengketa tata usaha negara yang tidak dapat diuji di PTUN. Salah satunya adalah, karena meskipun keputusan yang dikeluarkan adalah keputusan tata usaha negara, namun keputusan tata usaha negara tersebut dikecualikan. Misal, di dalam Pasal 2 UU PTUN, diatur bahwa:

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Selain adanya pembatasan pada Pasal 2 UU PTUN, terdapat KTUN yang juga tidak dapat diuji, sebagaimana diatur di dalam Pasal 49 UU PTUN, yaitu: �

Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: (a) dalam waktu perang, keadaan bahaya,keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.

����������� Seiring dengan berjalannya waktu, lahirlah beberapa peraturan perundang-undangan yang memperluas kompetensi absolut dari PTUN. Salah satu Undang-Undang yang memperluas kompetensi absolut dari PTUN secara signifikan adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, (selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan). Adapun penyebab, UU 30/2014 bisa dibilang memperluas kompetensi absolut PTUN secara signifikan adalah karena di dalam UU tersebut memperluas kompetensi absolut dari PTUN secara masif . Hal ini bisa dilihat di dalam Pasal 87 UU UU Administrasi Pemerintahan, yang mengatur bahwa:

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009� harus dimaknai sebagai: a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; d. bersifat final dalam arti lebih luas; e. Keputusan yang� berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

Lahirnya UU Administrasi Pemerintahan tersebut kemudian juga direspon oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (selanjutnya disebut SEMA 4/2016). Di dalam SEMA 4/2016 huruf E Rumusan Kamar Tata Usaha Negara, dipertegas terkait dengan kompetensi ptun adalah:

a.   Berwenang mengadili perkara berupa gugatan dan permohonan.

b.   Berwenang mengadili perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah, yaitu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan pemerintahan (Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan) yang biasa disebut dengan onrechtmatige overheidsdaad (OOD).

c.   Keputusan tata usaha negara yang sudah diperiksa dan diputus melalui upaya banding administrasi menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negar

Dari SEMA 4/2016 huruf E Rumusan Kamar Tata Usaha Negara tersebut, Mahkamah Agung mencoba memperjelas terkait dengan adanya perluasan kompetensi absolut dari PTUN (Simanjuntak, 2018). Hal ini dilakukan dengan tujuan terciptanya kepastian hukum (rechtszekerheid) terkait kompetensi absolut dari PTUN.

����������� Selain UU 30/2014, terdapat juga beberapa peraturan perundang-undangan yang memperluas kompetensi absolut dari PTUN. Namun, perlu dipahami bahwa meskipun merupakan kompetensi absolut dari PTUN, akan tetapi ada perbedaan-perbedaan dengan pemeriksaan pada PTUN pada umumnya. Oleh sebab itu, Muhammad Noor Halim Perdana Kusuma dan Muhammad Adiguna Bimasakti menyebutnya sebagai sengketa tata usaha negara khusus di PTUN (Kusuma & Bimasakti, 2020). Adapun beberapa sengketa TUN yang merupakan kompetensi absolut itu adalah (Bimasakti, 2020):

1.   Gugatan Sengketa Informasi Publik Tahun

2.   Gugatan Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

3.   Permohonan Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang

4.   Gugatan Sengketa Proses Pemilihan Umum Tahun 2017

5.   Gugatan Sengketa TUN Pemilihan (dalam Pemilihan Kepala Daerah)

SengketaTUN� khusus ini juga ada di tingkat Mahkamah Agung memiliki beberapa kewenangan khusus dalam sengketa� sengketa tata usaha negara/ sengketa administrasi tertentu, yaitu Permohonan Sengketa Pelanggaran Administrasi (pada Pemilihan Kepala Daerah) Permohonan Sengketa dan Pelanggaran Administratif Tahun 2017 Pemilihan Umum (pada Pemilihan Umum) (Bimasakti, 2020).

����������� Ada juga yang dulunya merupakan kompetensi absolut dari PTUN, namun kini telah dihilangkan. Misal, yang paling baru adalah terkait dengan dihapsukannya permohonan KTUN fiktif positif sebagai kompetensi absolut PTUN (Megantara, 2021). Dulu, berdasarkan Pasal 53 ayat (4) UU Administrasi Pemerintahan yang mengatur, bahwa: �Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) (penebalan oleh penulis).�, maka dapat dipahami bahwa dalam hal adanya permohonan terkait suatu KTUN yang bersifat fiktif positif tersebut, maka tetap perlu diajukan permohonan ke PTUN. Hal ini juga ditegaskan di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 Tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahakamh Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan huruf E angka 4. Sekarang, pasca diubahnya UU Administrasi Pemerintahan dengan Pasal 175 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada pokoknya diatur bahwa proses pengajuan permohonan ke PTUN tersebut dihapus. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa terkait permohonan KTUN fiktif positiff sudah bukan kompetensi absolut dari PTUN.

Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist (saat bukti dan fakta sudah ada, maka apa guna kata-kata) (Setiawan et al., 2021). Terkait dengan permohonan KTUN fiktif positif sudah bukan lagi sebagai kompetensi absolut, misal dapat dilihat di dalam Putusan Nomor 02/P/FP/2021/PTUN.JPR antara PT Putri Mahakam Lestari (Pemohon) melawan Kelompok Kerja Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Paket Pekerjaan Satuan Kerja Balai Pengelola Transportasi Darat Wilayah XXV Provinsi Papua, Papua Barat Pada Biro Layanan Pengadaan Dan Pengelolaan Barang Milik Negara Sekretariat Jenderal Kementerian Perhubungan (Termohon). Dalam ratio decedendi putusan tersebut, hakim menguraikan bahwa:

Bahwa sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020, kewajiban Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memutus permohonan untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan telah dihapuskan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 53 diatas; dengan demikian Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan mengadili permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang diajukan pemohon (penebalan oleh penulis).

Atas dasar pertimbangan tersebut, kemudian hakim menjatuhkan putusan, bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

 

2.   Pengujian Keputusan Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) Di PTUN: Ratio Decedendi Putusan Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013

Setelah diuraikan terkait analisis mengenai kompetensi absolut dari PTUN, maka berikutnya akan dianalisis terkait dengan �apakah pengujian keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) merupakan kompetensi absolut dari PTUN?�. Untuk memulai analisis tersebut, maka akan diuraikan terlebih dahulu terkait dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013 yang notabene Para Penggugat mengajukan gugatan terkait keputusan penganugerahan Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa).

Perkara tersebut bermulai dari adanya gugatan oleh Agus Pramudijono dan Darmaji yang teregister di PTUN Surabaya dengan nomor register 43/G/2011/PTUN.SBY. Pihak Tergugatnya adalah Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan ada pihak Tergugat Intervensi, yaitu Alim Markus. Adapun KTUN yang menjadi objek sengketa tersebut adalah Surat Keputusan Rektor Nomor 067/SK/R/III/2011 tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) kepada Alim Markus tanggal 10 Maret 2011.

Dalam positanya, Para Penggugat mendalilkan, bahwa obyek sengketa� Surat Keputusan tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu tidak memenuhi syarat- syarat yang ditentukan secara limitatif sebagaimana dimaksud di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tingggi Pasal 25 ayat (1), ayat (4) jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pedoman Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa)� Pasal 2 ayat (1) , Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1), dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor : 178/U/2001 Tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi dan asas-asasu umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas keterbukaan, asas profesionalitas, asas proporsionalitas, dan asas keterbukaan.

Majelis Hakim PTUN Surabaya di dalam Putusan Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY kemudian menjatuhkan putusan pada tanggal 17 November 2011, yaitu:

DALAM EKSEPSI; - Menyatakan eksepsi Tegugat tidak diterima untuk seluruhnya;

DALAM POKOK SENGKETA: 1 Mengabulkan gugatan Para Penggugat seluruhnya; 2 Menyatakan batal Keputusan Tata Usaha Negara berupa Surat Keputusan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Nomor 067/SK/R/III/2011 tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) kepada Alim Markus, tanggal 10 Maret 2011; 3 Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara berupa Surat Keputusan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Nomor 067/SK/R/ III/2011 tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) kepada Alim Markus, tanggal 10 Maret 2011; 4 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 373.000,- (Tiga ratus tujuh puluh tiga ribu rupiah).

Dari Putusan tersebut, dapat dipahami bahwa Majelis Hakim PTUN Surabaya yang menjatuhkan Putusan Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY tersebut tentunya mengkualifikasikan pengujian keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) sebagai kompetensi absolut dari PTUN, karena jika tidak, maka tidak mungkin Majelis Hakim PTUN membatalkan Surat Keputusan Rektor Nomor 067/SK/R/III/2011 tersebut. Quod non, Majelis Hakim PTUN Surabaya yang menjatuhkan Putusan Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY merasa keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) bukan merupakan kompetensi absolut dari PTUN, sehingga merupakan sesuatu yang quod non rectum (sesuatu yang tidak benar), maka Majelis Hakim seyogyanya secara ex officio menyatakan, bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa tersebut sesuai dengan Pasal 77 ayat (1) UU PTUN (M., 2021).

����������� Atas putusan tersebut, kemudian Tergugat (in casu: Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya) mengajukan Banding, tanggal 28 November 2011. Atas banding tersebut, pokok pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara:

Menimbang, bahwa dasar legalitas pemberian Gelar Doktor Kehormatan yang hendak dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi baik Negeri maupun Swasta adalah harus mempedomani antara lain ketentuan Pasal 15 ayat(1)Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 178/U/2001 Tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi , yang disana jelas bahwa pemahaman 2 (dua) syarat sebagaimana ketentuan pasal dimaksud sifatnya adalah kumulatif yang tidak dapat dipilih salah satu mana yang urgen;

Menimbang, bahwa dari bukti-bukti yang diajukan oleh Tergugat/Pembanding sebagaimana yang termuat dalam Berkas Perkara Bundel A maupun surat-surat lainnya yang bersangkutan dalam perkara aquo ternyata tidak ditemukan suatu bukti ketentuan pengaturan yang sifatnya eksepsional/pengecualian yang dimungkinkan dapat menafsirkan atau memberikan arti lain jika salah satu unsur dari kedua syarat dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 178/U/2011 tidak terpenuhi, misalnya dengan menggunakan penyetaraan pendidikan dan karya untuk penganugerahan Doktor Kehormatan (Dr. H.C ) kepada Alim Markus sebagaimana yang telah didalilkan oleh Tergugat/Pembanding

Menimbang, bahwa oleh karena itu putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor : 43/G/2011/PTUN.SBY. tanggal 17 Nopember 2011 harus dikuatkan ; Dengan dasar ratio decedendi tersebut, maka hakim menjatuhkan putusan Nomor 18/B/2012/PT.TUN.SBY., tanggal 6 Maret 2012 yang pada pokoknya Menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY. tanggal 17 Nopember 2011 yang dimohon banding tersebut. Dari putusan dan pertimbangan tersebut, maka dapat dipahami bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga mengakualifikasikan pengujian keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) sebagai kompetensi absolut dari PTUN.

Atas putusan tersebut, kemudian Pembanding yang dulunya merupakan Tergugat melakukan upaya hukum kasasi (in casu: Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya). Adapun ratio decedendi Majelis Hakim Mahkamah Agung adalah:

�        Bahwa objek gugatan dalam kasus ini adalah Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Pemohon Kasasi (Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya) No. 067/ SK/R/III/2001 tertanggal 10 Maret 2001;

�        Bahwa pada hakekatnya ditinjau dari segi substansinya, Surat Keputusan a quo merupakan produk hasil penilaian akademis dari otoritas Perguruan Tinggi melalui Rektor, Senat Universitas, ataupun Senat Fakultas Ekonomi, yang kesemuanya itu merupakan badan / organ akademis, dan penilaiannya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat keilmuan;

�        Bahwa penilaian segi keilmuan (in konkreto adalah tentang dapat atau wajarnya atau ada cukup alasan seseorang memperoleh gelar Doctor Honoris Causa) sepenuhnya berada dalam kompetensi wilayah (domein) keilmuan yang menjadi wewenang otoritas akademis, yaitu Senat Guru Besar atau Dosen, yang tidak dapat dinilai dan dicampuri oleh Hakim.

�        Bahwa haruslah dibedakan antara fungsi Rektor dan Senat Guru Besar atau Dosen dalam posisi keilmuan dan substansi akademis, dengan fungsi Rektor dalam posisi segi hukum administrasi negara sebagai otoritas yang berkaitan dengan masalah pengelolaan kepegawaian atau keuangan, sarana dan prasarana, dan lain-lain bagi suatu Universitas yang tunduk pada hukum administrasi negara.

�        Bahwa dalam hal fungsi Rektor dalam posisi segi hukum administrasi negara, yaitu tugas-tugas administrasi pemerintahan, sudah barang tentu Rektor sebagai otoritas Perguruan Tinggi apabila melakukan pelanggaran hukum administrasi, dapat saja digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara karena penerapan hukum administrasi tersebut selalu dapat dikontrol dan diawasi serta dinilai oleh Pengadilan atau Hakim Tata Usaha Negara. Tetapi sebaliknya, dalam hal fungsi Rektor dalam posisi keilmuan atau substansi akademis tentang kemampuan ilmiah ataupun akademis dari seseorang, tidak dapat dinilai dan dikontrol oleh otoritas diluar Perguruan Tinggi dan mutlak merupakan wewenang serta monopoli otoritas ilmiah. Dengan demikian haruslah dibedakan, tentang dimana letak ranah hukum yang masih memungkinkan penilaian oleh Hakim / Pengadilan, dan dimana letak ranah akademis / intelektualitas dan ilmu pengetahuan yang tidak dapat dimasuki atau dinilai oleh otoritas Pengadilan / Hakim.

�        Bahwa Surat Keputusan Rektor dalam posisi keilmuan atau substansi akademis termasuk dalam ranah akademis, dan bukan ranah hukum yang dapat dinilai oleh Pengadilan, demi untuk menjaga objektivitas dan kekebalan (immunitas) keilmuan. Misalnya: penilaian kelulusan, promosi tingkat kesarjanaan, judicium, dan sebagainya.

�        Bahwa dengan demikian, keputusan Rektor yang termasuk dalam ranah akademis tidak dapat diajukan gugatan untuk dinilai oleh Hakim atau Pengadilan, melainkan tetap berada dalam wewenang otoritas keilmuan ataupun akademis (penebalan oleh penulis).

�        Bahwa secara berlebihan (ten overvloede) dapat dipertimbangkan bahwa Pemohon Kasasi dalam Memori Kasasi meninjaunya dari segi kepentingan, yaitu tidak adanya kepentingan Termohon Kasasi (Penggugat Asal) untuk mengajukan gugatan, halmana merupakan unsur utama untuk berhak mengajukan gugatan. Sehingga kalau tidak ada kepentingan maka gugatan harus ditolak. Bahwa tentang kepentingan menggugat (ex Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986), maka seseorang atau Badan Hukum Perdata baru dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara apabila ada kepentingannya yang terkait langsung dengan keputusan yang disengketakan dan telah menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri secara langsung. (Majelis Kasasi mengambil alih dan menjadi Pendapat Majelis Kasasi sendiri dari doktrin yang dikemukakan oleh Indroharto, SF. Marbun (dalam buku berjudul Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997, hal. 230) dan dalam buku berjudul Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara Dilihat Dari Beberapa Sudut Pandang, halaman 442-443, yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung R.I., tahun 2011).

�        Bahwa keadaan-keadaan demikian ternyata tidak ada pada diri Para Penggugat; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya;

Dengan dasar ratio decedendi tersebut, maka hakim menjatuhkan putusan Mahkamah Agung Nomor 294 K/TUN/2012, tanggal 8 Agustus 2012:

Mengadili:

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya tersebut; Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 18/B/2012/PT.TUN.SBY. tanggal 6 Maret 2012 yang menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY. tanggal 17 Nopember 2011;

Mengadili sendiri:

Menolak gugatan Para Penggugat seluruhnya; Menghukum Para Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Dari pertimbangan hukum tersebut, dapat dipahami bahwa Majelis Hakim Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan Nomor 294 K/TUN/2012 tersebut mengkualifikasikan keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) bukan sebagai kompetensi absolut dari PTUN. Adapun pokok alasan Majelis Hakim Mahkamah Agung tersebut adalah karena substansi keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) termasuk dalam ranah akademis yang notabene bukan ranah hukum yang dapat dinilai oleh Pengadilan.

Terkait putusan tersebut, kemudian pihak Termohon Kasasi dalam perkara Nomor 294K/ TUN/2012 (in casu: Agus Pramudijono dan Darmaji) mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali. Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa Peninjauan Kembali tersebut mempertimbangkan, bahwa:

Menimbang, bahwa terhadap alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat: Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa Keputusan Tata Usaha Negara in litis dalam keilmuan dan ditinjau dari substansi akademis mengenai kemampuan ilmiah dari seseorang tidak dapat dinilai/dikontrol diluar otoritas Perguruan Tinggi, oleh sebab itu tidak dapat dinilai oleh lembaga luar karena merupakan kompetensi dan otoritas ilmiah dari setiap Rektor yang memimpin Perguruan Tinggi, sehingga Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa tidak dapat diajukan gugatan untuk dinilai oleh Hakim atau Pengadilan, melainkan merupakan otoritas dunia keilmuan atau akademis (penebalan oleh penulis);

Atas pertimbangan tersebut, kemudian Majelis Hakim Mahkamah Agung Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013 tanggal 20 Agustus 2013.

����������� Dari pertimbangan hukum tersebut, dapat dipahami bahwa Majelis Hakim Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013 tersebut mengkualifikasikan keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) bukan sebagai kompetensi absolut dari PTUN. Adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013 yang notabene merupakan putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde) tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai landmark decision tahun 2013 dengan kaidah hukum: �Keputusan Tata Usaha Negara in litis dalam keilmuan dan ditinjau dari substansi akademis mengenai kemampuan ilmiah dari seseorang tidak dapat dinilai/dikontrol diluar otoritas Perguruan Tinggi, sehingga tidak dapat dinilai oleh Hakim atau Pengadilan.�� Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) bukan merupakan kompetensi absolut dari PTUN.

 

Kesimpulan

Kompetensi absolut dari PTUN berdasarkan UU PTUN adalah sengketa tata usaha negara, yaitu sengketa sebagi akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Namun, ternyata tidak semua keputusan tata usaha negara dapat diujikan di PTUN, karena terdapat pengecualian-pengecualian tertentu. Di dalam perkembangannya, terdapat perubahan kompetensi absolut, baik yang sifatnya merupakan perluasan kompetensi absolut PTUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, maupun yang sifatnya mempersempit kompetensi absolut PTUN.

Di dalam Putusan PTUN Surabaya Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY, Majelis Hakim mengkualifikasikan Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] merupakan kompetensi absolut di PTUN. Terkait dengan hal tersebut juga dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 18/B/2012/PT.TUN.SBY. Majelis Hakim Mahkamah Agung di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 294 K/TUN/2012 memiliki pendapat yang berbeda, karena mengkualifikasikan Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] bukan kompetensi absolut dari PTUN, karena substansi keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) termasuk dalam ranah akademis yang notabene bukan ranah hukum yang dapat dinilai oleh Pengadilan. Terkait dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 294 K/TUN/2012 tersebut juga dikuatkan di dalam Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) bukan merupakan kompetensi absolut dari PTUN.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

�Achmad, & Mulyanto. (2013). Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) Pada Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi. Yustisia Jurnal Hukum, 2(1), 57�65. https://doi.org/10.20961/yustisia.v2i1.11070 Google Scholar

 

Asshiddiqie, J. (2012). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Sinar Grafika. Google Scholar

 

Asshiddiqie, J., & Safa�at, A. (2006). Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Sekjen dan Kepaniteraan MK-RI,. Google Scholar

 

Attamimi, A. H. S. (1990). Ilmu Pegetahuan Perundang� Undangan (Gesetzgebungswissenchaft) Dan Pengembangan Pengajaran� Nya Di Fakultas Hukum. Google Scholar

 

Bimasakti, M. A. (2020). Sengketa-Sengketa Tata Usaha Negara Khusus (Dari Sengketa Informasi Publik Sampai Sengketa Pelanggaran Administratif Pemilu). Gupedia. Google Scholar

 

Dirgantara, F., Muzakki, A., Waluyo, J. E., & Nugraha, X. (2020). Akibat Hukum Tidak Dilakukannya Pemeriksaan Setempat Dalam Gugatan Dengan Objek Sengketa Tanah : Apakah Ada ? 8(30), 600�617. Google Scholar

 

Eck, B., Bovens, M., & Zouridis, S. (2018). Algoritmische rechtstoepassing in de democratische rechtsstaat. Nederlands Juristenblad, 93(40), 3008�3017. Google Scholar

 

Hadjon, P. M., Martosoewignjo, R. S. S., Basah, S., Manan, B., Marzuki, L., Berge, T., & van buuren, S. (1999). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press. Google Scholar

 

HR, R., Despan, H., & Pratiwi, D. K. (2018). Perluasan Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 25(2), 339�358. https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss2.art7 Google Scholar

 

Hutchinson, T. (2002). Researching and Writing in Law. Lawbook Co. Google Scholar

 

Irwansyah. (2020). Penelitian Hukum: Pilihan Metode&Praktik Penulisan Artikel. Mitra Buana Media. Google Scholar

 

Kosasih, A., Kenedi, J., & Mahdi, I. (2017). Dinamika Hukum Administrasi Indonesia Mengenal Konstruksi Baru Hukum Administrasi Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Penerbit Vanda. Google Scholar

 

Kusuma, M. N. H. P., & Bimasakti, M. A. (2020). Panduan Beracara Pada Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Elektronik (E-Litigasi). Kencana. Google Scholar

 

M., A. A. (2021). Teori Dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen Pergeseran Paradigma dan Perluasan Norma Edisi Kedua. Kencana.

 

M.Hadjon, P., & Djamiati, T. S. (2008). Argumentasi Hukum. Gadja Mada University Press.

 

Marbun, S. F. (2003). Peradilan Tata Usaha Negara. Penerbit Liberty.

 

Marzuki, P. M. (2013). Penelitian Hukum : Edisi Revisi. Kencana Prenada Media Group. Google Scholar

 

Mertokusumo, Soedikno. (1988). Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Google Scholar

 

Mertokusumo, Sudikno. (2020). Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Maha Karya Pustttaka.

 

Nugraha, X., Izzaty, R., & Putri, A. A. (2019). Rekonstruksi Batas Usia Minimal Perkawinan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum. 3(1), 40�54. Google Scholar

 

Pramana, I. G. A. E., Arjaya, I. M., & Widiati, I. A. P. (2020). Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Terkait Titik Singgung Antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum dalam Sengketa Pertanahan. Jurnal Analogi Hukum, 2(1), 27�31. https://doi.org/10.22225/ah.2.1.1604.27-31 Google Scholar

 

Purnomo, W., Aisyah, R. H. S., Mulahela, T., & Nugraha, X. (2020). Analysis of Lawsuit Against the Factual Action which Conducted by Military after Law Number 30 Year 2014 Concerning Government Administration. Unram Law Review. https://doi.org/10.29303/ulrev.v4i1.107 Google Scholar

 

Raharjo, S. (2005). Ilmu Hukum. Citra Aditya. Google Scholar

 

Setiawan, P. J., Nugraha, X., & Taufiqurrohman, M. M. (2020). Penggunaan Daluwarsa sebagai Dasar Gugatan Praperadilan di Indonesia: Antara Formil atau Materiil. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi. https://doi.org/10.24090/volksgeist.v3i2.4125 Google Scholar

 

Setiawan, P. J., Nugraha, X., & Wibowo, W. (2021). Equating Villa with Theft Offense"House" in Aggravated. Lambung Mangkurat Law Journal, 6(1). https://doi.org/10.32801/lamlaj.v6i1.224 Google Scholar

 

Simanjuntak, E. (2018). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi & Refleksi. Sinar Grafika. Google Scholar

 

Sudjana. (2019). Penerapan Sistem Hukum Menurut Lawrence W Friedman Terhadap Efektivitas Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000. Al Amwal (Hukum Ekonomi Syariah), 2(1), 78�94. http://literaturbook.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-efektivitas-dan-landasan. Google Scholar

 

Susanti, E. (2009). Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) Sebagai Media Pengawasan Masyarakat Untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa ( Administrative Court as the Controlling Media of the Community to Realize Good Governance ). Google Scholar

 

Syuhudi, I. (2018). Implementasi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik di Lingkungan Peradilan Administrasi Negara. Pena Justisia: Media Komunikasi Dan Kajian Hukum, 17(1), 10�19. https://doi.org/10.31941/pj.v17i1.580 Google Scholar

 

Velden, W. G. van Der. (1988). De Ontwikkeling Van De Wetgevingswe Tenschap. Kominklijke Vermande BV. Google Scholar

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright holder:

Marzul Afiyanto, RR. Herini Siti Aisyah, Xavier Nugraha, Muhammad Mashuri, Rizki Firmansyah (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: