�Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849
��e-ISSN : 2548-1398
Vol.
6, Special Issue No. 2, Desember 2021
ANALISIS PENGUJIAN KEPUTUSAN
PENGANUGERAHAN GELAR DOKTOR KEHORMATAN (DOKTOR HONORIS CAUSA) DI PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA: STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 79/PK/TUN/2013
Marzul Afiyanto1, RR. Herini Siti Aisyah2, Xavier Nugraha3, Muhammad Mashuri4, Rizki Firmansyah5
1Magister Sains Hukum Dan Pembangunan, Sekolah
Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
23Fakultas
Hukum, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
4Universitas
Merdeka Pasuruan, Indonesia
5Magister
Ilmu Hukum, Fakultas Huku.� Universitas
Airlangga, Surabaya, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
���������������� Kompetensi absolut dari PTUN
berdasarkan UU PTUN adalah sengketa tata usaha negara, yaitu sengketa sebagi
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Namun, ternyata tidak semua
keputusan tata usaha negara dapat diujikan di PTUN. Salah satu yang sempat
diperbedatkan dapat atau tidaknya Keputusan Penganugerahan Gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa) diuji di PTUN. Perdebatan ini terlihat salah
satunya terlihat di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013. Dengan
latar belakang tersebut, maka rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah
pertama, apa kompetensi absolut dari PTUN? dan kedua apakah Keputusan tentang
Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] dapat diuji di
PTUN? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach), dan pendekatan kasus (case approach). Adapun hasil penelitian ini
adalah pertama Kompetensi absolut dari PTUN berdasarkan UU PTUN adalah sengketa
tata usaha negara, yaitu sengketa sebagi akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara. Namun, ternyata tidak semua keputusan tata usaha negara dapat
diujikan di PTUN dan kedua Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor
Honoris Causa] bukan merupakan kompetensi absolut dari PTUN, karena substansi
keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa)
termasuk dalam ranah akademis yang notabene bukan ranah hukum yang dapat dinilai
oleh Pengadilan.
Abstract
The absolute competence of PTUN based on the PTUN Law is
a state administrative dispute, namely a dispute as a result of the issuance of
a state administrative decision. However, it turns out that not all state
administrative decisions can be tested in the Administrative Court. One of the
things that was debated whether or not the decision to confer an Honorary
Doctorate Degree (Doktor Honoris Causa) was tested at the PTUN. This debate can
be seen, one of which is seen in the Supreme Court Decision Number
79/PK/TUN/2013. With this background, the formulation of the problem in this
research is first, what is the absolute competence of PTUN? and secondly, can
the decision regarding the awarding of an Honorary Doctorate [Doctor Honoris
Causa] be tested in the Administrative Court? This research is a normative
legal research with a statutory approach, a conceptual approach, and a case
approach. The results of this study are first, the absolute competence of the
PTUN based on the PTUN Law is a state administrative dispute, namely a dispute
as a result of the issuance of a state administrative decision. However, it
turns out that not all state administrative decisions can be tested in the PTUN
and the second awarding of the Honoris Doctorate [Doctor Honoris Causa] is not
an absolute competence of the PTUN, because the substance of the decision to
award the Honoris Doctorate (Doctor Honoris Causa) is included in the academic
realm which incidentally is not the realm of law that can be assessed by the
Court.
Keywords: state
administrative decisions; decisions on awarding an honorary doctorate degree (doktor
honoris causa); absolute competence.
Received:
2021-10-20; Accepted: 2021-11-05; Published: 2021-11-20
Pendahuluan
Lex semper
debet remedium (hukum akan selalu memberikan obat) (Dirgantara et al., 2020). Sebuah adagium hukum yang memiliki
kedalaman makna, bahwa esensi hukum adalah untuk menyelesaikan suatu
problematika hukum. Adanya adagium tersebut koheren dengan pendapat Peter Noll
yang pada pokoknya mengatakan, bahwa ilmu hukum itu merupakan ilmu peradilan
(rechtspraakwtenschap) (Velden, 1988).� Menurut Sudikno Mertokusumo, hal ini
didasarkan, karena memang mayoritas sarjana hukum (hakim, jaksa, dosen,
pengacara, dan sebagainya) akan dihadapkan pada suatu peristiwa hukum konkret
yang memerlukan pemecehana masalah hukum yang konkret pula (Sudikno
Mertokusumo, 2020). Bahkan, terkait ilmu hukum itu merupakan ilmu peradilan,
W.G. Van der Veld menguraikan bahwa (Attamimi, 1990):
�Deze �brave juristenkijk�, zoals Van Schendelen het noemt, heeft van de
rechtswetenschap een rechtspraakswetenschap gemaakt.� (pandangan yang �baik
hati� dari para ahli hukum ini. sebagaimana disebutkan olah Van Schendelen
telah mengubah ilmu hukum menjadi ilmu tentang peradilan.)
�� Di Indonesia, salah satu manifestasi, bahwa
ilmu hukum adalah ilmu peradilan dapat dilihat di dalam Bab IX Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945)
tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun salah satu ketentuan di dalam bab tersebut
adalah Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 yang mengatur, bahwa; �Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.� Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa peradilan
di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi (Achmad & Mulyanto, 2013). Dapat dilihat pula, bahwa lingkungan peradilan di bawah
Mahkamah Agung adalah peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara.
�� Adanya lingkungan peradilan tata usaha negara
di bawah Mahkamah Agung sejatinya merupakan konsekuensi yuridis dari dianutnya
negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) (Eck et al., 2018) di Indonesia,
sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) jo. Ayat (3) UUD NRI 1945. Hal
ini, karena memang salah satu ciri dari adanya negara hukum yang demokratis
menurut Jimly Asshiddiqie adalah adanya peradilan tata usaha negara (Asshiddiqie, 2012). Hal ini sejatinya logis, karena
memang peradilan tata usaha negara memang merupakan alat kontrol sosial yang
dapat dilakukan oleh warga masyarakat�
atas tindakan yang dianggap sudah disalahgunakan oleh penguasa atau
pemerintah tersebut (Susanti, 2009).
Bahkan, di dalam perkembangannya, hukum administrasi ini dikonstruksikan
sebagai �alat� untuk menciptakan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih
sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly) (Kosasih et al., 2017).
Dengan demikian, bisa dibilang bahwa peradilan tata usaha negara ini adalah
suatu mekanisme yang hadir untuk mencegah pemerintahan bertindak
sewenang-wenang.
�� Salah satu tindakan pemerintah yang sempat
diuji beberapa waktu lalu adalah terkait adanya keputusan penganugerahan gelar
doktor kehormatan (doktor honoris causa). Perkara tersebut teregister di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya dengan Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY
tanggal 17 November 2011. Adapun terkait dengan pengujian tersebut dilakukan
oleh Agus Pramudijono dan Darmaji selaku pemohon. Terkait dengan objek
keputusan yang diuji adalah Surat Keputusan Rektor Nomor 067/SK/R/III/2011
tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) kepada
Alim Markus tanggal 10 Maret 2011.
�� Dalam positanya, Para Penggugat mendalilkan,
bahwa obyek sengketa� Surat Keputusan
tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu tidak
memenuhi syarat- syarat yang ditentukan secara limitatif sebagaimana dimaksud
di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tingggi
Pasal 25 ayat (1), ayat (4) jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980 tentang
Pedoman Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa)� Pasal 2 ayat (1) , Pasal 7 ayat (1) dan Pasal
8 ayat (1), dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor : 178/U/2001
Tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi dan melanggar asas-asas umum
pemerintahan yang baik atau algemene beginselen van behoorlijk bestuur (AUPB) (Syuhudi, 2018).
PTUN Surabaya
dalam putusannya Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY tanggal 17 Nopember 2011 kemudian
memutuskan membatalkan obyek sengketa Surat Keputusan Rektor tersebut,
selanjutnya Putusan PTUN Surabaya tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 18/B/2012/PT.TUN. SBY tanggal 6 Maret 2012.
Mahkamah Agung dalam putusan tingkat kasasi Nomor 294K/TUN/2012 tanggal 8
Agustus 2012 telah membatalkan putusan judex factie. Adapun salah satu
pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 294K/ TUN/2012
tersebut pada pokoknya adalah karena keputusan tersebut bukan rana PTUN,
sehingga tidak dapat diajukan gugatan dan dinilai oleh Hakim atau Pengadilan.
Terkait putusan tersebut, kemudian pihak Termohon Kasasi dalam perkara Nomor
294K/ TUN/2012 (in casu: Agus Pramudijono dan Darmaji) mengajukan upaya hukum
luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (request civil)., namun ditolak oleh
Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa Peninjauan Kembali di dalam Putusan
Nomor 79/PK/TUN/2013 dengan juga kembali mengutip pertimbangan Majelis Hakim
Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 294 K/ TUN/2012.
Adanya
pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara Putusan Nomor
79/PK/TUN/2013 tersebut menimbulkan pertanyaan terkait dengan alasan hakim yang
mempertimbangkan, bahwa tidak dapat dijuinya keputusan tentang Penganugerahan
Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) di PTUN. Apakah berarti
keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa)
dianggap bukan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga tidak bisa diuji
di PTUN atau keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor
Honoris Causa) dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, namun tidak bisa
diuji di PTUN dengan dasar tidak ada batu uji yang dapat mengujinya (vide Pasal
53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha
Negara, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 [selanjutnya disebut UU PTUN]). Kalau memang
benar yang kedua (in casu: Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor
Kehormatan [Doktor Honoris Causa] dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara,
namun tidak bisa diuji di PTUN), maka berarti terdapat KTUN yang tidak bisa
diuji di PTUN.
Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka rumusan masalah di dalam penelitian ini pertama, apa
kompetensi absolut dari PTUN? dan kedua apakah Keputusan tentang Penganugerahan
Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] dapat diuji di PTUN? Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, maka tujuan di dalam penelitian ini adalah pertama
menganalisis kompetensi absolut dari PTUN dan kedua menganalisis pengujian
Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa]
di PTUN.
Untuk
memastikan kebaruan dari penelitian ini, maka akan diuraikan beberapa
penelitian serupa dan diuraikan pula perbedaan dengan penelitian-penelitian
tersebut. Berikut adalah uraian tersebut:
1. Penelitian dari Ridwan HR, Despan
Heryansyah, dan Dian Kus Pratiwi berjudul �Perluasan Kompetensi Absolut
Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan�
yang diterbitkan di Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Volume 25, Nomor 2, tahun 2018
(HR et al., 2018). Pada penelitian tersebut, para penulis menguraikan
terkait dengan perluasan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
pasca Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
seperti kewenangan menguji tindakan faktual, menguji penyalahgunaan wewenang, menguji
upaya administratif, memutus putusan fiktif positif, dan menguji diskresi. Dari
uraian tersebut, dapat dipahami perbedaan dengan penelitian ini adalah
penelitian ini akan menganalisis terkait dengan Keputusan tentang
Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] di PTUN yang
notabene tidak hanya dianalisis dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, namun juga peraturan perundang-undangan lain
terkait.
2. Penelitian dari I Gede Aris Eka Pramana, I
Made Arjaya dan Ida Ayu Putu Widiati berjudul �Kompetensi Absolut Peradilan
Tata Usaha Negara Terkait Titik Singgung Antara Peradilan Tata Usaha Negara Dan
Peradilan Umum Dalam Sengketa Pertanahan (Studi Kasus Putusan Nomor
27/G/2017/Ptun.Dps)� yang diterbitkan di Jurnal Analogi Hukum Volume 1, Nomor
1, tahun 2019 (Pramana et
al., 2020). Pada penelitian tersebut, para penulis
menguraikan terkait dengan titik singgung kewenangan Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Pengadilan Negeri, terkhusus para penulis melakukan studi kasus
putusan nomor 27/G/2017/PTUN.DPS. Dari uraian tersebut, dapat dipahami
perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian ini akan menganalisis terkait
dengan Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris
Causa] di PTUN yang notabene berbeda dengan penelitian I Gede Aris Eka Pramana,
I Made Arjaya dan Ida Ayu Putu Widiati yang menganalisis titik singgung
kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif (doctrinal research). Adapun penyebab metode peneltiian hukum
normative dipilih, karena memang merupakan metode yang paling sesuai dengan
tujuan hukum, dan menjadi metode paling tepat dalam arus utama disiplin ilmu hukum
(Irwansyah, 2020). Menurut Tery Hutchinson, penelitian
hukum normatif adalah (Hutchinson, 2002):
�research which provides a systematic exposition of the rules governing a particular
legal category, analyses the relationship between rules, explain areas of
difficulty and, perlhaps, prexdts tuture development.� Dari pendapat tersebut,
dapat dipahami bahwa pada pokoknya penelitian hukum noramtif adalah penelitian
yang menganalisis terkait suatu aturan hukum. Di dalam penelitian ini,
aturan-aturan hukum yang dianalisis adalah yang berkaitan dengan pengujian
Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa)
di PTUN.
����������� Di dalam penelitian hukum normatif
ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach), dan pendekatan
kasus (case approach) (Marzuki, 2013). Bahan-bahan penelitian ini berupa
bahan hukum primer, yaitu semua peraturan perundang- undangan, konvensi
internasional dan putusan pengadilan yang terkait dengan pengujian Keputusan
tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] di PTUN,
sedangkan bahan hukum sekunder berupa kepustakaan dan materi bahan ajar yang
berkaitan dengan pengujian Keputusan tentang Penganugerahan Gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa) di PTUN, serta hasil penelitian sebelumnya
yang terkait dengan permasalahan tersebut. Dari bahanm-bahan hukum tersebut kemudian
dianalisis menggunakan penafsiran hukum untuk menelaah konsep, landasan
filosofis, prinsip dan teori-teori hukum terkait pengujian Keputusan tentang
Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) di PTUN (Nugraha et al., 2019).
Pembahasan
1.
Kompetensi Absolut PTUN
Noch suche die juristen eine
definition zu ihrem begriffe von recht (definisi hukum sejatinya masih
dicari-cari oleh para sarjana di masa saat mereka hidup) (Sudjana, 2019). Sebuah ungkapan dari seorang filsuf terkenal, yaitu
Immanuel Kant yang memiliki kedalaman makna, bahwa hukum tersebut merupakan
suatu hal yang sangat sulit untuk didefinisikan, karena begitu abstraknya hukum
itu sendiri. Walaupun, sudah ada beberapa ahli hukum yang sudah mencoba memberi
definisi terdapat hukum itu sendiri, seperti Utrecht yang menyebutkan hukum
adalah himpunan peraturanperaturan (perintah-perintah dan larangan-larangan)
yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati
oleh masyarakat itu (Raharjo, 2005),
Hans Kelsen yang mengartikan hukum adalah tata aturan (rule) sebagai suatu
sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia (Asshiddiqie & Safa�at,
2006), dan
lain sebagainya.
Terlepas dari adanya
perdebatan terkait dengan tepat atau tidaknya definisi dari para ahli hukum
tersebut, menurut para penulis adanya pendefinisian akan suatu konsep hukum
adalah hal yang urgen dalam memahami konstruksi suatu konsep hukum. Dengan
dipahaminya definisi dari suatu konsep hukum terlebih dahulu, maka hal tersebut
dapat menghindari adanya kesalahan pemaknaan terhadap konsep hukum tersebut itu
sendiri dan adanya kekeliruan pemahaman terhadap konsep hukum tersebut
berpotensi untuk membuat proses penarikan kesimpulan dalam suatu analisis hukum
menjadi keliru pula. Hal ini juga paralel dengan pendapat Philpus M. Hadjon dan
Tatiek Sri Djatmiati, yaitu (M.Hadjon & Djamiati, 2008): �ex falso quodlibet (dari yang sesat
kesimpulan seenaknya).� dan �ex vero
nonnisi verum (dari yang benar kesimpulannya benar).� Oleh sebab itu, para
penulis akan menguraikan terlebih dahulu definisi dari kompetensi absolut,
sebelum menguraikan mengenai kompetensi absolut di PTUN.
Menurut S.F.Marbun, kompetensi
absolut adalah (Marbun, 2003): �kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu
perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.� Menurut Soedikno
Mertokusumo kompetensi absolut atau kewenangan mutlak pengadilan adalah (Mertokusumo, 1988)
: �wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang
secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkungan
pengadilan lain.� Dari 2 (dua) pendapat ahli tersebut, dapat ditarik konkulsi,
bahwa secara sederhana kompetensi absolut adalah terkait dengan pertanyaan �apa
pengadilan yang berwenang mengadili?� (Setiawan et al., 2020).
Terkait kompetensi absolut
dari PTUN ini, maka sejatinya bisa melihat ke dalam Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU
48/2009) yang mengatur, bahwa: �Peradilan tata usaha negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.� Dari pengaturan tersebut, dapat dipahami bahwa kompetensi
absolut dari PTUN adalah sengketa tata usaha negara (Purnomo et al., 2020).
Di dalam Pasal 1 angka 10 UU
PTUN diatur, bahwa:� �Sengketa Tata Usaha
Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di
pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha
negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.� Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
sengketa tata usaha negara adalah sengketa sebagai akibat dari dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara. Di dalam Pasal 1 angka 9 UU PTUN, diatur bahwa:
�Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.� Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
dalam hal ada suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata yang dianggap merugikan seseorang atau badan hukum perdata, maka dapat
diajukan gugatan di PTUN.
Philipus M. Hadjon dkk
menguraikan, bahwa (Hadjon et al.,
1999):
Kalau kita bertitik tolak dari ketentuan
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 seyogianya Peradilan Tata Usaha
Negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan suatu sistem umum
Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, berdasarkan rumusan kompetensi absolut
Peradilan Tata Usaha Negara (Vide Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986) maka Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah suatu Peradilan Tata Usaha
Negara khusus. Dengan pembatasan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara
yang hanya menyangkut Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berarti masih ada
sengketa Tata Usaha Negara lain yang tidak terjangkau oleh PTUN.
Dari ungkapan tersebut, dapat
dipahami bahwa ternyata ada sengketa-sengketa tata usaha negara yang tidak
dapat diuji di PTUN. Salah satunya adalah, karena meskipun keputusan yang
dikeluarkan adalah keputusan tata usaha negara, namun keputusan tata usaha
negara tersebut dikecualikan. Misal, di dalam Pasal 2 UU PTUN, diatur bahwa:
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan
Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: a. Keputusan Tata Usaha Negara
yang merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang
masih memerlukan persetujuan; d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana; e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara
Nasional Indonesia; g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Selain adanya pembatasan pada Pasal 2 UU PTUN,
terdapat KTUN yang juga tidak dapat diuji, sebagaimana diatur di dalam Pasal 49
UU PTUN, yaitu: �
Pengadilan tidak berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal
keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: (a) dalam waktu perang, keadaan
bahaya,keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) dalam keadaan
mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
����������� Seiring
dengan berjalannya waktu, lahirlah beberapa peraturan perundang-undangan yang
memperluas kompetensi absolut dari PTUN. Salah satu Undang-Undang yang
memperluas kompetensi absolut dari PTUN secara signifikan adalah Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, (selanjutnya disebut UU
Administrasi Pemerintahan). Adapun penyebab, UU 30/2014 bisa dibilang
memperluas kompetensi absolut PTUN secara signifikan adalah karena di dalam UU
tersebut memperluas kompetensi absolut dari PTUN secara masif . Hal ini bisa
dilihat di dalam Pasal 87 UU UU Administrasi Pemerintahan, yang mengatur bahwa:
Dengan berlakunya Undang-Undang ini,
Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009� harus dimaknai sebagai: a. penetapan tertulis
yang juga mencakup tindakan faktual; b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata
Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara
negara lainnya; c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; d.
bersifat final dalam arti lebih luas; e. Keputusan yang� berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Lahirnya UU Administrasi Pemerintahan tersebut
kemudian juga direspon oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan (selanjutnya disebut SEMA 4/2016). Di dalam SEMA 4/2016 huruf E
Rumusan Kamar Tata Usaha Negara, dipertegas terkait dengan kompetensi ptun
adalah:
a. Berwenang mengadili perkara berupa gugatan
dan permohonan.
b. Berwenang mengadili perbuatan melanggar
hukum oleh pemerintah, yaitu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
pemegang kekuasaan pemerintahan (Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan) yang
biasa disebut dengan onrechtmatige overheidsdaad (OOD).
c. Keputusan tata usaha negara yang sudah
diperiksa dan diputus melalui upaya banding administrasi menjadi kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negar
Dari SEMA 4/2016 huruf E
Rumusan Kamar Tata Usaha Negara tersebut, Mahkamah Agung mencoba memperjelas
terkait dengan adanya perluasan kompetensi absolut dari PTUN (Simanjuntak, 2018). Hal ini dilakukan dengan tujuan
terciptanya kepastian hukum (rechtszekerheid) terkait kompetensi absolut dari
PTUN.
����������� Selain
UU 30/2014, terdapat juga beberapa peraturan perundang-undangan yang memperluas
kompetensi absolut dari PTUN. Namun, perlu dipahami bahwa meskipun merupakan
kompetensi absolut dari PTUN, akan tetapi ada perbedaan-perbedaan dengan pemeriksaan
pada PTUN pada umumnya. Oleh sebab itu, Muhammad Noor Halim Perdana Kusuma dan
Muhammad Adiguna Bimasakti menyebutnya sebagai sengketa tata usaha negara
khusus di PTUN (Kusuma &
Bimasakti, 2020).
Adapun beberapa sengketa TUN yang merupakan kompetensi absolut itu adalah (Bimasakti, 2020):
1. Gugatan Sengketa Informasi Publik Tahun
2. Gugatan Sengketa Penetapan Lokasi
Pembangunan dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
3. Permohonan Pengujian Unsur Penyalahgunaan
Wewenang
4. Gugatan Sengketa Proses Pemilihan Umum
Tahun 2017
5. Gugatan Sengketa TUN Pemilihan (dalam
Pemilihan Kepala Daerah)
SengketaTUN� khusus ini juga ada di tingkat Mahkamah Agung
memiliki beberapa kewenangan khusus dalam sengketa� sengketa tata usaha negara/
sengketa administrasi tertentu, yaitu Permohonan Sengketa Pelanggaran
Administrasi (pada Pemilihan Kepala Daerah) Permohonan Sengketa dan Pelanggaran
Administratif Tahun 2017 Pemilihan Umum (pada Pemilihan Umum) (Bimasakti,
2020).
����������� Ada
juga yang dulunya merupakan kompetensi absolut dari PTUN, namun kini telah
dihilangkan. Misal, yang paling baru adalah terkait dengan dihapsukannya
permohonan KTUN fiktif positif sebagai kompetensi absolut PTUN (Megantara,
2021). Dulu, berdasarkan Pasal 53 ayat (4) UU Administrasi Pemerintahan yang
mengatur, bahwa: �Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
(penebalan oleh penulis).�, maka dapat dipahami bahwa dalam hal adanya
permohonan terkait suatu KTUN yang bersifat fiktif positif tersebut, maka tetap
perlu diajukan permohonan ke PTUN. Hal ini juga ditegaskan di dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 Tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh
Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan
Badan Atau Pejabat Pemerintahan dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahakamh Agung Tahun
2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan huruf E angka 4.
Sekarang, pasca diubahnya UU Administrasi Pemerintahan dengan Pasal 175
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada pokoknya diatur
bahwa proses pengajuan permohonan ke PTUN tersebut dihapus. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa terkait permohonan KTUN fiktif positiff sudah bukan
kompetensi absolut dari PTUN.
Cum adsunt testimonia rerum,
quid opus est verbist (saat bukti dan fakta sudah ada, maka apa guna kata-kata)
(Setiawan et al., 2021). Terkait dengan permohonan KTUN
fiktif positif sudah bukan lagi sebagai kompetensi absolut, misal dapat dilihat
di dalam Putusan Nomor 02/P/FP/2021/PTUN.JPR antara PT Putri Mahakam Lestari
(Pemohon) melawan Kelompok Kerja Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Paket Pekerjaan
Satuan Kerja Balai Pengelola Transportasi Darat Wilayah XXV Provinsi Papua,
Papua Barat Pada Biro Layanan Pengadaan Dan Pengelolaan Barang Milik Negara
Sekretariat Jenderal Kementerian Perhubungan (Termohon). Dalam ratio decedendi
putusan tersebut, hakim menguraikan bahwa:
Bahwa
sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 2
November 2020, kewajiban Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memutus permohonan
untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan guna mendapatkan keputusan
dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan telah dihapuskan sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 53 diatas; dengan demikian Pengadilan Tata
Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan mengadili permohonan
guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan
yang diajukan pemohon (penebalan oleh penulis).
Atas dasar pertimbangan tersebut, kemudian hakim
menjatuhkan putusan, bahwa permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke verklaard).
2.
Pengujian Keputusan Penganugerahan Gelar
Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) Di PTUN: Ratio Decedendi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013
Setelah diuraikan terkait analisis
mengenai kompetensi absolut dari PTUN, maka berikutnya akan dianalisis terkait
dengan �apakah pengujian keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan
(Doktor Honoris Causa) merupakan kompetensi absolut dari PTUN?�. Untuk memulai
analisis tersebut, maka akan diuraikan terlebih dahulu terkait dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013 yang notabene Para Penggugat mengajukan
gugatan terkait keputusan penganugerahan Doktor Kehormatan (Doktor Honoris
Causa).
Perkara tersebut bermulai dari
adanya gugatan oleh Agus Pramudijono dan Darmaji yang teregister di PTUN
Surabaya dengan nomor register 43/G/2011/PTUN.SBY. Pihak Tergugatnya adalah
Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan ada pihak Tergugat Intervensi,
yaitu Alim Markus. Adapun KTUN yang menjadi objek sengketa tersebut adalah
Surat Keputusan Rektor Nomor 067/SK/R/III/2011 tentang Penganugerahan Gelar
Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) kepada Alim Markus tanggal 10 Maret
2011.
Dalam positanya, Para
Penggugat mendalilkan, bahwa obyek sengketa�
Surat Keputusan tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan
yang berlaku yaitu tidak memenuhi syarat- syarat yang ditentukan secara
limitatif sebagaimana dimaksud di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
1999 tentang Pendidikan Tingggi Pasal 25 ayat (1), ayat (4) jo Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pedoman Pemberian Gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa)� Pasal
2 ayat (1) , Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1), dan Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor : 178/U/2001 Tentang Gelar dan Lulusan Perguruan
Tinggi dan asas-asasu umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kepastian hukum,
asas tertib penyelenggaraan negara, asas keterbukaan, asas profesionalitas,
asas proporsionalitas, dan asas keterbukaan.
Majelis Hakim PTUN Surabaya di
dalam Putusan Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY kemudian menjatuhkan putusan pada
tanggal 17 November 2011, yaitu:
DALAM EKSEPSI; - Menyatakan eksepsi
Tegugat tidak diterima untuk seluruhnya;
DALAM POKOK SENGKETA: 1 Mengabulkan
gugatan Para Penggugat seluruhnya; 2 Menyatakan batal Keputusan Tata Usaha
Negara berupa Surat Keputusan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Nomor
067/SK/R/III/2011 tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor
Honoris Causa) kepada Alim Markus, tanggal 10 Maret 2011; 3 Mewajibkan Tergugat
untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara berupa Surat Keputusan Rektor
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Nomor 067/SK/R/ III/2011 tentang
Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) kepada Alim
Markus, tanggal 10 Maret 2011; 4 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya
perkara sejumlah Rp 373.000,- (Tiga ratus tujuh puluh tiga ribu rupiah).
Dari Putusan tersebut, dapat
dipahami bahwa Majelis Hakim PTUN Surabaya yang menjatuhkan Putusan Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY
tersebut tentunya mengkualifikasikan pengujian keputusan penganugerahan gelar
Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) sebagai kompetensi absolut dari PTUN,
karena jika tidak, maka tidak mungkin Majelis Hakim PTUN membatalkan Surat
Keputusan Rektor Nomor 067/SK/R/III/2011 tersebut. Quod non, Majelis Hakim PTUN
Surabaya yang menjatuhkan Putusan Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY merasa keputusan
penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) bukan merupakan
kompetensi absolut dari PTUN, sehingga merupakan sesuatu yang quod non rectum
(sesuatu yang tidak benar), maka Majelis Hakim seyogyanya secara ex officio
menyatakan, bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa tersebut sesuai
dengan Pasal 77 ayat (1) UU PTUN (M., 2021).
����������� Atas
putusan tersebut, kemudian Tergugat (in casu: Rektor Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya) mengajukan Banding, tanggal 28 November 2011. Atas banding
tersebut, pokok pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara:
Menimbang, bahwa dasar legalitas
pemberian Gelar Doktor Kehormatan yang hendak dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi
baik Negeri maupun Swasta adalah harus mempedomani antara lain ketentuan Pasal
15 ayat(1)Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 178/U/2001 Tentang Gelar dan
Lulusan Perguruan Tinggi , yang disana jelas bahwa pemahaman 2 (dua) syarat
sebagaimana ketentuan pasal dimaksud sifatnya adalah kumulatif yang tidak dapat
dipilih salah satu mana yang urgen;
Menimbang, bahwa dari
bukti-bukti yang diajukan oleh Tergugat/Pembanding sebagaimana yang termuat
dalam Berkas Perkara Bundel A maupun surat-surat lainnya yang bersangkutan
dalam perkara aquo ternyata tidak ditemukan suatu bukti ketentuan pengaturan
yang sifatnya eksepsional/pengecualian yang dimungkinkan dapat menafsirkan atau
memberikan arti lain jika salah satu unsur dari kedua syarat dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1)Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 178/U/2011 tidak
terpenuhi, misalnya dengan menggunakan penyetaraan pendidikan dan karya untuk
penganugerahan Doktor Kehormatan (Dr. H.C ) kepada Alim Markus sebagaimana yang
telah didalilkan oleh Tergugat/Pembanding
Menimbang, bahwa oleh karena
itu putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor : 43/G/2011/PTUN.SBY.
tanggal 17 Nopember 2011 harus dikuatkan ; Dengan dasar ratio decedendi
tersebut, maka hakim menjatuhkan putusan Nomor 18/B/2012/PT.TUN.SBY., tanggal 6
Maret 2012 yang pada pokoknya Menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Surabaya Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY. tanggal 17 Nopember 2011 yang dimohon
banding tersebut. Dari putusan dan pertimbangan tersebut, maka dapat dipahami
bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga
mengakualifikasikan pengujian keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan
(Doktor Honoris Causa) sebagai kompetensi absolut dari PTUN.
Atas putusan tersebut,
kemudian Pembanding yang dulunya merupakan Tergugat melakukan upaya hukum
kasasi (in casu: Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya). Adapun ratio
decedendi Majelis Hakim Mahkamah Agung adalah:
�
Bahwa
objek gugatan dalam kasus ini adalah Surat Keputusan yang diterbitkan oleh
Pemohon Kasasi (Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya) No. 067/
SK/R/III/2001 tertanggal 10 Maret 2001;
�
Bahwa
pada hakekatnya ditinjau dari segi substansinya, Surat Keputusan a quo merupakan
produk hasil penilaian akademis dari otoritas Perguruan Tinggi melalui Rektor,
Senat Universitas, ataupun Senat Fakultas Ekonomi, yang kesemuanya itu
merupakan badan / organ akademis, dan penilaiannya didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat keilmuan;
�
Bahwa
penilaian segi keilmuan (in konkreto adalah tentang dapat atau wajarnya atau
ada cukup alasan seseorang memperoleh gelar Doctor Honoris Causa) sepenuhnya
berada dalam kompetensi wilayah (domein) keilmuan yang menjadi wewenang
otoritas akademis, yaitu Senat Guru Besar atau Dosen, yang tidak dapat dinilai
dan dicampuri oleh Hakim.
�
Bahwa
haruslah dibedakan antara fungsi Rektor dan Senat Guru Besar atau Dosen dalam
posisi keilmuan dan substansi akademis, dengan fungsi Rektor dalam posisi segi
hukum administrasi negara sebagai otoritas yang berkaitan dengan masalah
pengelolaan kepegawaian atau keuangan, sarana dan prasarana, dan lain-lain bagi
suatu Universitas yang tunduk pada hukum administrasi negara.
�
Bahwa
dalam hal fungsi Rektor dalam posisi segi hukum administrasi negara, yaitu
tugas-tugas administrasi pemerintahan, sudah barang tentu Rektor sebagai
otoritas Perguruan Tinggi apabila melakukan pelanggaran hukum administrasi,
dapat saja digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara karena penerapan hukum
administrasi tersebut selalu dapat dikontrol dan diawasi serta dinilai oleh
Pengadilan atau Hakim Tata Usaha Negara. Tetapi sebaliknya, dalam hal fungsi
Rektor dalam posisi keilmuan atau substansi akademis tentang kemampuan ilmiah ataupun
akademis dari seseorang, tidak dapat dinilai dan dikontrol oleh otoritas diluar
Perguruan Tinggi dan mutlak merupakan wewenang serta monopoli otoritas ilmiah.
Dengan demikian haruslah dibedakan, tentang dimana letak ranah hukum yang masih
memungkinkan penilaian oleh Hakim / Pengadilan, dan dimana letak ranah akademis
/ intelektualitas dan ilmu pengetahuan yang tidak dapat dimasuki atau dinilai
oleh otoritas Pengadilan / Hakim.
�
Bahwa
Surat Keputusan Rektor dalam posisi keilmuan atau substansi akademis termasuk
dalam ranah akademis, dan bukan ranah hukum yang dapat dinilai oleh Pengadilan,
demi untuk menjaga objektivitas dan kekebalan (immunitas) keilmuan. Misalnya:
penilaian kelulusan, promosi tingkat kesarjanaan, judicium, dan sebagainya.
�
Bahwa
dengan demikian, keputusan Rektor yang termasuk dalam ranah akademis tidak
dapat diajukan gugatan untuk dinilai oleh Hakim atau Pengadilan, melainkan
tetap berada dalam wewenang otoritas keilmuan ataupun akademis (penebalan oleh
penulis).
�
Bahwa
secara berlebihan (ten overvloede) dapat dipertimbangkan bahwa Pemohon Kasasi
dalam Memori Kasasi meninjaunya dari segi kepentingan, yaitu tidak adanya
kepentingan Termohon Kasasi (Penggugat Asal) untuk mengajukan gugatan, halmana
merupakan unsur utama untuk berhak mengajukan gugatan. Sehingga kalau tidak ada
kepentingan maka gugatan harus ditolak. Bahwa tentang kepentingan menggugat (ex
Pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986), maka seseorang atau Badan Hukum
Perdata baru dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara apabila
ada kepentingannya yang terkait langsung dengan keputusan yang disengketakan
dan telah menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri secara langsung. (Majelis
Kasasi mengambil alih dan menjadi Pendapat Majelis Kasasi sendiri dari doktrin
yang dikemukakan oleh Indroharto, SF. Marbun (dalam buku berjudul Peradilan
Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
1997, hal. 230) dan dalam buku berjudul Perkembangan Peradilan Tata Usaha
Negara dan Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara Dilihat Dari Beberapa Sudut
Pandang, halaman 442-443, yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung R.I., tahun
2011).
�
Bahwa
keadaan-keadaan demikian ternyata tidak ada pada diri Para Penggugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan tidak perlu
mempertimbangkan alasan kasasi lainnya, menurut pendapat Mahkamah Agung
terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi:
Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya;
Dengan dasar ratio decedendi tersebut, maka hakim
menjatuhkan putusan Mahkamah Agung Nomor 294 K/TUN/2012, tanggal 8 Agustus
2012:
Mengadili:
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi : Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya tersebut; Membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor
18/B/2012/PT.TUN.SBY. tanggal 6 Maret 2012 yang menguatkan putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY. tanggal 17 Nopember 2011;
Mengadili sendiri:
Menolak gugatan Para Penggugat seluruhnya;
Menghukum Para Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat
pengadilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 500.000,-
(lima ratus ribu rupiah).
Dari pertimbangan hukum
tersebut, dapat dipahami bahwa Majelis Hakim Mahkamah Agung yang menjatuhkan
putusan Nomor 294 K/TUN/2012 tersebut mengkualifikasikan keputusan
penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) bukan sebagai
kompetensi absolut dari PTUN. Adapun pokok alasan Majelis Hakim Mahkamah Agung
tersebut adalah karena substansi keputusan penganugerahan gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa) termasuk dalam ranah akademis yang notabene
bukan ranah hukum yang dapat dinilai oleh Pengadilan.
Terkait putusan tersebut,
kemudian pihak Termohon Kasasi dalam perkara Nomor 294K/ TUN/2012 (in casu:
Agus Pramudijono dan Darmaji) mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu
Peninjauan Kembali. Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa Peninjauan
Kembali tersebut mempertimbangkan, bahwa:
Menimbang, bahwa terhadap alasan peninjauan
kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat: Bahwa alasan-alasan tersebut
tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara in litis dalam keilmuan dan ditinjau dari substansi akademis mengenai
kemampuan ilmiah dari seseorang tidak dapat dinilai/dikontrol diluar otoritas
Perguruan Tinggi, oleh sebab itu tidak dapat dinilai oleh lembaga luar karena
merupakan kompetensi dan otoritas ilmiah dari setiap Rektor yang memimpin
Perguruan Tinggi, sehingga Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa tidak
dapat diajukan gugatan untuk dinilai oleh Hakim atau Pengadilan, melainkan
merupakan otoritas dunia keilmuan atau akademis (penebalan oleh penulis);
Atas pertimbangan tersebut,
kemudian Majelis Hakim Mahkamah Agung Menolak permohonan peninjauan kembali
dari Pemohon Peninjauan Kembali di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
79/PK/TUN/2013 tanggal 20 Agustus 2013.
����������� Dari
pertimbangan hukum tersebut, dapat dipahami bahwa Majelis Hakim Mahkamah Agung
yang menjatuhkan putusan Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013 tersebut
mengkualifikasikan keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor
Honoris Causa) bukan sebagai kompetensi absolut dari PTUN. Adanya Putusan
Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013 yang notabene merupakan putusan hukum yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde) tersebut kemudian
dikualifikasikan sebagai landmark decision tahun 2013 dengan kaidah hukum:
�Keputusan Tata Usaha Negara in litis dalam keilmuan dan ditinjau dari
substansi akademis mengenai kemampuan ilmiah dari seseorang tidak dapat
dinilai/dikontrol diluar otoritas Perguruan Tinggi, sehingga tidak dapat
dinilai oleh Hakim atau Pengadilan.��
Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa keputusan penganugerahan gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa) bukan merupakan kompetensi absolut dari PTUN.
Kesimpulan
Kompetensi absolut dari
PTUN berdasarkan UU PTUN adalah
sengketa tata usaha negara,
yaitu sengketa sebagi akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha
negara. Namun, ternyata tidak semua keputusan
tata usaha negara dapat diujikan di PTUN, karena terdapat pengecualian-pengecualian
tertentu. Di dalam perkembangannya, terdapat perubahan kompetensi absolut, baik yang sifatnya merupakan perluasan kompetensi absolut PTUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
ada, maupun yang sifatnya mempersempit kompetensi absolut PTUN.
Di dalam Putusan PTUN Surabaya Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY, Majelis Hakim mengkualifikasikan Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] merupakan kompetensi absolut di PTUN. Terkait dengan hal tersebut juga dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 18/B/2012/PT.TUN.SBY. Majelis Hakim Mahkamah Agung di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 294 K/TUN/2012 memiliki pendapat yang berbeda, karena mengkualifikasikan Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan [Doktor Honoris Causa] bukan kompetensi absolut dari PTUN, karena substansi keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) termasuk dalam ranah akademis yang notabene bukan ranah hukum yang dapat dinilai oleh Pengadilan. Terkait dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 294 K/TUN/2012 tersebut juga dikuatkan di dalam Mahkamah Agung Nomor 79/PK/TUN/2013. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa keputusan penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) bukan merupakan kompetensi absolut dari PTUN.
�Achmad, & Mulyanto. (2013). Problematika Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) Pada Mahkamah Agung Dan Mahkamah
Konstitusi. Yustisia Jurnal Hukum, 2(1), 57�65.
https://doi.org/10.20961/yustisia.v2i1.11070 Google Scholar
Asshiddiqie, J. (2012).
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Sinar Grafika. Google Scholar
Asshiddiqie, J., &
Safa�at, A. (2006). Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Sekjen dan Kepaniteraan
MK-RI,. Google Scholar
Attamimi, A. H. S.
(1990). Ilmu Pegetahuan Perundang� Undangan (Gesetzgebungswissenchaft) Dan
Pengembangan Pengajaran� Nya Di Fakultas Hukum. Google Scholar
Bimasakti, M. A. (2020).
Sengketa-Sengketa Tata Usaha Negara Khusus (Dari Sengketa Informasi Publik
Sampai Sengketa Pelanggaran Administratif Pemilu). Gupedia. Google Scholar
Dirgantara, F., Muzakki,
A., Waluyo, J. E., & Nugraha, X. (2020). Akibat Hukum Tidak Dilakukannya
Pemeriksaan Setempat Dalam Gugatan Dengan Objek Sengketa Tanah : Apakah Ada ?
8(30), 600�617. Google Scholar
Eck, B., Bovens, M.,
& Zouridis, S. (2018). Algoritmische rechtstoepassing in de democratische
rechtsstaat. Nederlands Juristenblad, 93(40), 3008�3017. Google Scholar
Hadjon, P. M.,
Martosoewignjo, R. S. S., Basah, S., Manan, B., Marzuki, L., Berge, T., &
van buuren, S. (1999). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Google Scholar
HR, R., Despan, H., &
Pratiwi, D. K. (2018). Perluasan Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha
Negara Dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, 25(2), 339�358. https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss2.art7 Google Scholar
Hutchinson, T. (2002).
Researching and Writing in Law. Lawbook Co. Google Scholar
Irwansyah. (2020).
Penelitian Hukum: Pilihan Metode&Praktik Penulisan Artikel. Mitra Buana
Media. Google Scholar
Kosasih, A., Kenedi, J.,
& Mahdi, I. (2017). Dinamika Hukum Administrasi Indonesia Mengenal
Konstruksi Baru Hukum Administrasi Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Penerbit Vanda. Google Scholar
Kusuma, M. N. H. P.,
& Bimasakti, M. A. (2020). Panduan Beracara Pada Peradilan Tata Usaha
Negara dan Peradilan Elektronik (E-Litigasi). Kencana. Google Scholar
M., A. A. (2021). Teori
Dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen Pergeseran
Paradigma dan Perluasan Norma Edisi Kedua. Kencana.
M.Hadjon, P., &
Djamiati, T. S. (2008). Argumentasi Hukum. Gadja Mada University Press.
Marbun, S. F. (2003).
Peradilan Tata Usaha Negara. Penerbit Liberty.
Marzuki, P. M. (2013).
Penelitian Hukum : Edisi Revisi. Kencana Prenada Media Group. Google Scholar
Mertokusumo, Soedikno.
(1988). Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Google Scholar
Mertokusumo, Sudikno.
(2020). Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Maha Karya Pustttaka.
Nugraha, X., Izzaty, R.,
& Putri, A. A. (2019). Rekonstruksi Batas Usia Minimal Perkawinan Sebagai
Bentuk Perlindungan Hukum. 3(1), 40�54. Google Scholar
Pramana, I. G. A. E.,
Arjaya, I. M., & Widiati, I. A. P. (2020). Kompetensi Absolut Peradilan
Tata Usaha Negara Terkait Titik Singgung Antara Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Umum dalam Sengketa Pertanahan. Jurnal Analogi Hukum, 2(1), 27�31.
https://doi.org/10.22225/ah.2.1.1604.27-31 Google Scholar
Purnomo, W., Aisyah, R.
H. S., Mulahela, T., & Nugraha, X. (2020). Analysis of Lawsuit Against the
Factual Action which Conducted by Military after Law Number 30 Year 2014
Concerning Government Administration. Unram Law Review.
https://doi.org/10.29303/ulrev.v4i1.107 Google Scholar
Raharjo, S. (2005). Ilmu
Hukum. Citra Aditya. Google Scholar
Setiawan, P. J., Nugraha,
X., & Taufiqurrohman, M. M. (2020). Penggunaan Daluwarsa sebagai Dasar
Gugatan Praperadilan di Indonesia: Antara Formil atau Materiil. Volksgeist:
Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi. https://doi.org/10.24090/volksgeist.v3i2.4125
Google Scholar
Setiawan, P. J., Nugraha,
X., & Wibowo, W. (2021). Equating Villa with Theft Offense"House"
in Aggravated. Lambung Mangkurat Law Journal, 6(1).
https://doi.org/10.32801/lamlaj.v6i1.224 Google Scholar
Simanjuntak, E. (2018).
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi & Refleksi. Sinar
Grafika. Google Scholar
Sudjana. (2019).
Penerapan Sistem Hukum Menurut Lawrence W Friedman Terhadap Efektivitas
Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2000. Al Amwal (Hukum Ekonomi Syariah), 2(1), 78�94.
http://literaturbook.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-efektivitas-dan-landasan.
Google Scholar
Susanti, E. (2009).
Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) Sebagai Media Pengawasan Masyarakat Untuk
Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa ( Administrative Court as the
Controlling Media of the Community to Realize Good Governance ). Google Scholar
Syuhudi, I. (2018).
Implementasi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik di Lingkungan Peradilan
Administrasi Negara. Pena Justisia: Media Komunikasi Dan Kajian Hukum, 17(1),
10�19. https://doi.org/10.31941/pj.v17i1.580 Google Scholar
Velden, W. G. van Der.
(1988). De Ontwikkeling Van De Wetgevingswe Tenschap. Kominklijke Vermande BV. Google Scholar
Copyright holder: Marzul Afiyanto,
RR. Herini Siti Aisyah, Xavier
Nugraha, Muhammad Mashuri,
Rizki Firmansyah (2021) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |