Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol.
7, Special Issue No. 1, Januari 2022
�
HUBUNGAN USIA IBU, JUMLAH
AFC, DAN TOTAL PEMBERIAN GONADOTROPIN TERHADAP KUALITAS EMBRIO PADA PROGRAM
FERTILISASI IN VITRO DI KLINIK FERTILITAS GRAHA AMERTA RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
PERIODE 2018 � 2019
Chitra Devi Paramita
Prasetyawati, Budi Santoso, Hamdani Lunardhi,
Hendy Herdarto, Ashon Sa�ad
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Indonesia
Email : [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Fertilisasi In Vitro merupakan metode untuk mendapatkan kehamilan pada pasangan infertil. Meskipun dengan FIV, angka keberhasilan kehamilan masih cukup rendah yang tentu tidak terlepas dari pengaruh kualitas embrio yang didapatkan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, beberapa contohnya adalah usia ibu, jumlah AFC, dan total pemberian gonadotropin. Namun, penelitian mengenai ini masih terbatas terkait literatur dan informasinya. Mengetahui hubungan usia ibu, jumlah AFC, dan total gonadotropin terhadap kualitas embrio pada program FIV di Klinik Fertilitas Graha Amerta Periode 2018- 2019. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dengan metode total sampling. Bahan penelitian dari rekam medis pasien yang menjalami program FIV di Klinik Fertilitas Graha Amerta periode 2018-2019. Dari 52 pasangan yang menjalani FIV didapatkan hasil p-value antara usia dengan kualitas embrio baik hari ke-3 0,020, degenerasi 0,003, kualitas embrio baik hari ke-5 0,007, buruk 0,048. AFC dengan kualitas embrio baik hari ke-3 0,000, degenerasi 0,001, kualitas embrio baik hari ke-5 0,001. Total gonadotropin dengan kualitas embrio hari ke-3 dan ke-5 <0,05. Biochemical pregnancy dengan kualitas embrio baik hari ke-3 0,013. Penelitian ini membuktikan bahwa usia ibu dan jumlah AFC berhubungan dengan kualitas embrio. Total pemberian gonadotropin tidak berhubungan dengan kualitas embrio. Namun, apabila diteliti secara bersamaan terdapat hasil pengaruh signifikan secara simultan antara usia ibu, jumlah AFC dan total pemberian gonadotropin terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3 dan hari ke-5.
Kata Kunci: Fertilisasi
In Vitro; Usia Ibu; Jumlah
AFC; Total Gonadotropin; Biochemical Pregnancy; Kualitas
Embrio
Abstract
In vitro fertilization is a
method of getting pregnant in an infertile partner. Although with FIV, the
success rate of pregnancy is still quite low which is certainly not separated
from the influence of the quality of embryos obtained. Many factors can affect
it, some examples are the age of the mother, the amount of AFC, and the total
administration of gonadotropins. However, research on this is still limited
regarding the literature and information. Find out the relationship of maternal
age, AFC number, and total gonadotropin to embryo quality in the FIV program at
Graha Amerta Fertility
Clinic Period 2018-2019. The study used cross sectional design with the total
sampling method. Research materials from the medical records of patients who served
the FIV program at Graha Amerta
Fertility Clinic for the period 2018-2019. Of the 52 couples who underwent FIV
obtained p-value results between the ages with good embryo quality day 3 0.020,
degeneration 0.003, good embryo quality day 5 0.007, bad 0.048. AFC with good
embryo quality day 3 0.000, degeneration 0.001, good embryo quality day 5
0.001. Total gonadotropins with 3rd and 5th day embryo quality <0.05.
Biochemical pregnancy with good embryo quality day 3 0.013. This study proves
that the mother's age and the amount of AFC are related to the quality of the
embryo. Total administration of gonadotropins is not related to the quality of
the embryo. However, when examined simultaneously there were results of
simultaneous significant influence between the mother's age, the number of AFCs
and the total administration of gonadotropins to the percentage of embryo
quality both on the 3rd and 5th days.
Keywords: In Vitro Fertilization; Maternal Age; AFC
Count; Total Gonadotropins; Biochemical Pregnancy; Embryo Quality
Pendahuluan
Kejadian infertilitas pada
pasangan suami-istri semakin hari kian meningkat. Solusi untuk mengatasi
kejadian infertilitas sebagai upaya untuk melakukan bantuan kehamilan dapat
dilakukan dengan berbagai cara tergantung penyebab infertilitas
tersebut salah satunya adalah dengan menggunakan program bantuan kehamilan yang
dikenal sebagai Teknik Reproduksi Berbantu (TRB). Teknologi ini merupakan upaya
untuk mendapatkan kehamilan dengan menggunakan prosedur seperti pengobatan
fertilitas, Fertilisasi In Vitro, dan surogasi. Fertilisasi In Vitro (FIV)
merupakan metode yang telah dikenal secara umum sebagai salah satu TRB yang
canggih dalam kegunaannya untuk upaya mendapatkan kehamilan pada pasangan yang
infertil. Pada metode Fertilisasi In Vitro, embrio dari hasil fertilisasi di
luar rahim akan ditempatkan kembali ke dalam rahim wanita yang infertil
sehingga embrio tersebut dapat berkembang menjadi kehamilan (Wallach & Lopata, 1983).
Menurut data, tingkat
keberhasilan Fertilisasi In Vitro pada tahun 2017 di Klinik Fertilitas Graha
Amerta RSUD Dr. Soetomo sendiri pun hanya menunjukkan angka 37,7% yang berarti
lebih dari 50% pasangan masih mengalami kegagagalan pada program FIV yang
dijalani (Agnovianto, 2019).
Keberhasilan maupun kegagalan
Fertilisasi In Vitro tentu tidak terlepas dari pengaruh kualitas embrio yang
didapatkan setelah tahap fertilisasi berlangsung. Sebagaimana diketahui bahwa
kualitas embrio tahap pembelahan secara signifikan mempengaruhi tingkat
keguguran dan kehamilan yang sedang berlangsung (Zhu et al., 2014).
Kualitas embrio sendiri didefinisikan sebagai kemampuan embrio untuk berhasil
memberikan tingkat kehamilan yang tinggi atau menghasilkan kelahiran yang
sehat.
Usia ibu merupakan salah satu
faktor terpenting yang tentunya dapat berperan dalam mempengaruhi kualitas
embrio yang terbentuk pada program FIV yang dijalani, sedangkan penelitian mengenai
jumlah AFC dan total pemberian gonadotropin terhadap kualitas embrio pada
program FIV sendiri masih cukup terbatas terkait dengan literatur dan
informasinya. Oleh karena itu, dengan mengetahui faktor-faktor seperti usia
ibu, jumlah minimal AFC (Antral Follicle Count), dan total pemberian
gonadotropin yang paling sesuai yang dapat meningkatkan kualitas embrio maka diharapkan
tingkat keberhasilan kehamilan pada program Fertilisasi In Vitro pun kian
meningkat sehingga dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi seluruh pihak
selaras dengan bertambahnya ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga dibuat
dikarenakan di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang khusus membahas
mengenai hubungan usia ibu, jumlah AFC, dan total pemberian gonadotropin
terhadap kualitas embrio pada program FIV. Penelitian ini dilakukan di Klinik
Fertilitas Graha Amerta dikarenakan klinik ini memiliki afiliasi dengan Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga dan juga merupakan rumah sakit pemerintah
sehingga dapat mempermudah berjalannya penelitian terkait akses yang diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia ibu, jumlah
AFC, dan total pemberian gonadotropin terhadap kualitas embrio pada program Fertilisasi
In Vitro di Klinik Fertilitas
Graha Amerta RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode 2018 �
2019.
Metode Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah penelitian analitik observasional yaitu jenis penelitian
yang bersifat mengobservasi seluruh data kemudian dilanjutkan dengan melakukan
analisis pada tahap akhir untuk memperoleh informasi yang lengkap mengenai
seluruh variabel yang akan diteliti. Total subjek dari penelitian ini bergantung pada banyaknya pasien yang memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini. Subjek penelitian diambil menggunakan teknik Total Sampling yang dilakukan
dengan cara mengambil seluruh anggota populasi yang memenuhi syarat (Muttaqin, 2019).
Pengumpulan data akan
dilakukan setelah mendapat surat izin penelitian dan kelayakan etik penelitian. Data akan diambil dari data sekunder yaitu rekam medis yang diperoleh dari buku register di Klinik Fertilitas Graha Amerta RSUD Dr. Soetomo Surabaya
dan kemudian data dari rekam medis tersebut
dipindahkan ke dalam master table.
Untuk melakukan
analisis statistik dari data yang didapat akan digunakan program
Statistical Programme for Social Science (SPSS). Data
akan disajikan untuk melihat distribusi
frekuensi usia ibu, jumlah Antral Follicle Count
(AFC), dan total gonadotropin. Uji korelasi antara variabel usia ibu, jumlah
Antral Follicle Count (AFC), dan total gonadotropin dengan
kualitas embrio (grading embrio) dilakukan menggunakan teknik spearman. Kemudian analisis lebih lanjut dilakukan
dengan cara uji regresi untuk melihat
korelasi numerikal antara variabel bebas dan variabel terikat. Dilakukan pula analisis mengenai hubungan kualitas embrio dengan biochemical
pregnancy menggunakan teknik
mann-whitney.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil Penelitian
Untuk melakukan analisis statistik dari data yang didapat akan digunakan program Statistical Programme for Social Science (SPSS). Data akan disajikan untuk melihat distribusi frekuensi usia ibu, jumlah Antral Follicle Count (AFC), dan total gonadotropin. Uji korelasi antara variabel usia ibu, jumlah Antral Follicle Count (AFC), dan total gonadotropin dengan kualitas embrio (grading embrio) dilakukan menggunakan teknik spearman. Kemudian analisis lebih lanjut dilakukan dengan cara uji regresi untuk melihat korelasi numerikal antara variabel bebas dan variabel terikat. Dilakukan pula analisis mengenai hubungan kualitas embrio dengan biochemical pregnancy menggunakan teknik mann-whitney. Berikut merupakan data karakteristik pasien yang turut berpartisipasi dalam penelitian.
Gambar
1
Karakteristik Usia
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa usia peserta FIV berkisar antara 25 sampai dengan > 35 Tahun, dengan komposisi terbanyak pada penelitian ini yaitu usia 31-35 Tahun dan usia lebih dari 35 Tahun masing masing sebanyak 19 orang. Urutan jumlah pasien terbanyak kedua yaitu usia 25-30 Tahun sebanyak 14 orang.
Gambar
2
Karakteristik Jumlah AFC
Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui jumlah AFC dari seluruh peserta FIV dikelompokkan menjadi <6, 6-12, dan >12, dengan komposisi terbanyak pada penelitian ini yaitu pada rentang 6-12 yang berjumlah 42 orang. Urutan terbanyak kedua pada rentang <6 berjumlah 7 orang, kemudian rentang terendah pada kelompok >12.
Gambar
3
Karakteristik Total Gonadotropin
Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui jumlah total pemberian gonadotropin dari seluruh peserta FIV dikelompokkan menjadi beberapa bagian berdasarkan pemberian total FSH dan LH. Komposisi terbanyak pada penelitian ini yaitu pada kelompok pasien yang diberikan total gonadotropin yang mengandung FSH tunggal dengan jumlah > 1800 UI dengan jumlah 16 orang. Urutan terbanyak kedua pada kelompok pasien yang diberikan total gonadotropin yang mengandung FSH ≥ 1800 & LH ≥1500 dengan total 12 orang, FSH < 1800 & LH < 1500 dengan total 10 orang, FSH tunggal� ≥ 1800 dengan total 8 orang, FSH ≥ 1800 & LH < 1500 dengan total 5 orang, dan yang terendah pada pasien yang diberikan total gonadotropin yang mengandung FSH < 1800 & LH ≥ 1500 berjumlah 1 orang.
Gambar
4
Karakteristik Hasil
Biochemical Pregnancy
Berdasarkan Gambar.4 dapat diketahui hasil biochemical pregnancy dari seluruh peserta FIV didapatkan hasil yang sama bagi pasien yang mendapatkan hasil biochemical pregnancy positif dan negatif dengan masing-masing berjumlah 26 orang.
Tabel 1
Usia, Jumlah AFC, Total FSH dan LH
Variabel |
Minimum |
Maximum |
Mean |
Std. Deviation |
Uji Normalitas (Nilai P) |
Usia |
25,00 |
41,00 |
33,1731 |
4,39126 |
0,042 |
AFC |
3,00 |
14,00 |
8,8269 |
2,81955 |
0,081 |
Total FSH |
900,00 |
4050,00 |
1858,6538 |
594,78709 |
0,000 |
Total LH |
,00 |
4050,00 |
813,4615 |
991,25418 |
0,000 |
Keterangan: p = berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov, p < 0,05
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui nilai rata-rata usia adalah 33,1731 dengan nilai terendah 25 dan tertinggi 41. Usia memiliki nilai p-value uji normalitas 0,042 < 0,05 sehingga usia tidak berdistrisibusi normal. Nilai rata rata AFC semua pasien adalah 8,8269 dengan nilai terendah 3 dan nilai tertinggi adalah 14. Nilai AFC memiliki nilai p-value uji normalitas 0,081 > 0,05 sehingga nilai AFC telah berdistrisibusi normal. Nilai rata rata total pemberian FSH semua pasien adalah 1858,6538 dengan nilai terendah 900 dan nilai tertinggi adalah 4050. Nilai total FSH memiliki nilai p-value uji normalitas 0,000 < 0,05 sehingga nilai total FSH tidak berdistrisibusi normal. Nilai rata rata total LH semua pasien adalah 813,4615 dengan nilai terendah 0 dan nilai tertinggi adalah 4050. Nilai total LH memiliki nilai p-value uji normalitas 0,000 < 0,05 sehingga nilai total LH tidak berdistrisibusi normal.
Tabel 2
Kualitas
Embrio
Hari |
Kualitas |
Uji
Normalitas (Nilai P) |
Hari ke -3 |
Baik |
0,042 |
Sedang |
0,000 |
|
Buruk |
0,000 |
|
Tahap Singgami |
0,000 |
|
Degenerasi |
0,200 |
|
Hari ke -5 |
Baik |
0,200 |
Sedang |
0,200 |
|
Buruk |
0,000 |
|
Tahap Singgami |
- |
|
Degenerasi |
0,200 |
Keterangan: p = berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov, p < 0,05
Berdasarkan tabel 2 Persentase kualitas embrio baik, sedang, buruk dan tahap singgami pada hari ke-3 memiliki nilai p-value uji normalitas p < 0,05 sehingga tidak berdistrisibusi normal. Sedangkan persentase kualitas embrio degenerasi memiliki nilai p-value uji normalitas p > 0,05 sehingga data telah berdistrisibusi normal. Persentase kualitas embrio buruk pada hari ke-5 memiliki nilai p-value uji normalitas p < 0,05 sehingga tidak berdistrisibusi normal. Sedangkan persentase kualitas embrio baik, sedang, dan degenerasi memiliki nilai p-value uji normalitas p > 0,05 sehingga data telah berdistrisibusi normal.
Tabel 3
Persentase Kualitas Embrio
Berdasarkan Usia
Hari |
Kualitas |
Usia |
Rata Rata Persentase
Kualitas Embrio |
Rentang |
Hari ke -3 |
Baik |
25 - 30 Tahun |
67,36 + 5,10 |
33 � 100 |
31 � 35 Tahun |
36,37 + 6,37 |
0 � 100 |
||
> 35 Tahun |
38,05 + 4,35 |
0 � 78 |
||
Sedang |
25 - 30 Tahun |
16,5 + 3,74 |
0
� 50 |
|
31 � 35 Tahun |
29,26 + 5,48 |
0 � 75 |
||
> 35 Tahun |
14,00 + 3,22 |
0 � 45 |
||
Buruk |
25 - 30 Tahun |
- |
- |
|
31 � 35 Tahun |
1,05 + 1,05 |
0 � 20 |
||
> 35 Tahun |
4,37 + 3,00 |
0 � 43 |
||
Tahap Singgami |
25 - 30 Tahun |
0,64 + 0,64 |
0 � 9 |
|
31 � 35 Tahun |
- |
- |
||
> 35 Tahun |
1,63 + 1,34 |
0 � 25 |
||
Degenerasi |
25 - 30 Tahun |
15,5 + 5,13 |
0 � 67 |
|
31 � 35 Tahun |
33,32 + 4,80 |
0 � 75 |
||
> 35 Tahun |
41,95 + 3,96 |
4 -67 |
||
Hari ke -5 |
Baik |
25 - 30 Tahun |
59,78 + 6,25 |
35 � 83 |
31 � 35 Tahun |
36,2 + 7,31 |
13 - 55 |
||
> 35 Tahun |
23,5 + 7,70 |
0 - 44 |
||
Sedang |
25 - 30 Tahun |
23,89 + 4,59 |
9
� 50 |
|
31 � 35 Tahun |
34,4 + 9,92 |
0 � 57 |
||
> 35 Tahun |
25,0 + 8,04 |
4 � 56 |
||
Buruk |
25 - 30 Tahun |
1,0 + 1,0 |
0 � 9 |
|
31 � 35 Tahun |
3,6 + 2,20 |
0 � 9 |
||
> 35 Tahun |
15 + 9,69 |
0 � 61 |
||
Tahap Singgami |
25 - 30 Tahun |
- |
- |
|
31 � 35 Tahun |
- |
- |
||
> 35 Tahun |
- |
- |
||
Degenerasi |
25 - 30 Tahun |
15,22 + 4,44 |
0 � 35 |
|
31 � 35 Tahun |
26,00 + 6,82 |
0 � 38 |
||
> 35 Tahun |
36,00 + 9,12 |
4 � 63 |
Rata rata persentase kualitas embrio berdasarkan usia pada hari ke-3 dapat diketahui bahwa usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio baik tertinggi pada hari ke-3 adalah usia �25-30 tahun dengan rentang persentase 33-100. Usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio sedang tertinggi pada hari ke-3 adalah usia 31-35 tahun dengan rentang persentase 0-75. Usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio buruk tertinggi pada hari ke-3 adalah usia > 35 tahun dengan rentang persentase 0-43. Usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio tahap singgami tertinggi pada hari ke-3 adalah usia > 35 tahun dengan rentang persentase 0-25. Usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio tahap degenerasi tertinggi pada hari ke-3 adalah usia > 35 tahun dengan rentang persentase 4-67. Berdasarkan rata rata rata persentase kualitas embrio yang didapat pada penelitian ini, maka usia yang memiliki kualitas embrio terbaik adalah usia 25-30 tahun.
Rata rata persentase kualitas embrio berdasarkan usia pada hari ke-5 dapat diketahui bahwa usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio baik tertinggi pada hari ke-5 adalah usia 25-30 tahun dengan rentang persentase 35-83. Usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio sedang tertinggi pada hari ke-5 adalah usia 31-35 tahun dengan rentang persentase 0-57. Usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio buruk tertinggi pada hari ke-5 adalah usia > 35 tahun dengan rentang persentase 0-61. Usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio tahap degenerasi tertinggi pada hari ke-5 adalah usia > 35 tahun dengan rentang persentase 4-63. Berdasarkan rata rata rata persentase kualitas embrio pada penelitian ini, maka usia yang memiliki kualitas embrio terbaik adalah usia 25-30 Tahun.
Tabel 4
Persentase Kualitas Embrio
Berdasarkan Biochemical Pregnancy
Hari |
Kualitas |
Biochemical Pregnancy |
|
+ |
- |
||
Hari ke -3 |
Baik |
53,5 + 4,70 |
37,15 + 5,05 |
Sedang |
17,42 + 3,4 |
23,08 + 4,10 |
|
Buruk |
1,65 + 1,65 |
2,31 + 1,69 |
|
Tahap Singgami |
0,96 + 0,96 |
0,58 + 0,41 |
|
Degenerasi |
26,5 + 3,55 |
36,85 + 4,67 |
|
Hari ke -5 |
Baik |
43,57 + 5,17 |
41,67 + 13,93 |
Sedang |
26,36 + 4,97 |
28 + 6,59 |
|
Buruk |
7,57 + 4,38 |
1,83 + 1,83 |
|
Tahap Singgami |
- |
- |
|
Degenerasi |
22,29 + 4,82 |
28,5 + 8,2 |
Rata rata persentase kualitas embrio berdasarkan Biochemical Pregnancy pada hari ke-3 dapat diketahui bahwa Biochemical Pregnancy (+) memiliki rata rata persentase kualitas embrio baik lebih tinggi dibandingkan Biochemical Pregnancy (-).� Biochemical Pregnancy (-) memiliki rata rata persentase kualitas embrio sedang lebih tinggi dibandingkan Biochemical Pregnancy (+). Biochemical Pregnancy (-) memiliki rata rata persentase kualitas embrio buruk lebih tinggi dibandingkan Biochemical Pregnancy (+). Biochemical Pregnancy (+) memiliki rata rata persentase kualitas embrio tahap singgami lebih tinggi dibandingkan Biochemical Pregnancy (-). Biochemical Pregnancy (-) memiliki rata rata persentase kualitas embrio degenerasi lebih tinggi dibandingkan Biochemical Pregnancy (+). Berdasarkan rata rata rata persentase kualitas embrio pada hari ke-3, maka pasien dengan hasil Biochemical Pregnancy (+) memiliki rata-rata kualitas embrio yang lebih baik.
Rata rata persentase kualitas embrio berdasarkan Biochemical Pregnancy pada hari ke-5 dapat diketahui bahwa Biochemical Pregnancy (+) memiliki rata rata persentase kualitas embrio baik lebih tinggi dibandingkan Biochemical Pregnancy (-).� Biochemical Pregnancy (-) memiliki rata rata persentase kualitas embrio sedang lebih tinggi dibandingkan Biochemical Pregnancy (+). Biochemical Pregnancy (+) memiliki rata rata persentase kualitas embrio buruk lebih tinggi dibandingkan Biochemical Pregnancy (-). Biochemical Pregnancy (-) memiliki rata rata persentase kualitas embrio degenerasi lebih tinggi dibandingkan Biochemical Pregnancy (+). Berdasarkan rata rata rata persentase kualitas embrio pada hari ke-5, maka pasien dengan hasil Biochemical Pregnancy (+) memiliki rata-rata kualitas embrio yang lebih baik.
2. Distribusi Hubungan Usia Ibu dengan Kualitas Embrio
Tabel 5
Hubungan
Usia dengan Kualitas Embrio
Hari |
(%) Kualitas Embrio |
Usia |
|
rs |
p |
||
Hari ke -3 |
Baik |
-0,322 |
0,020 |
Sedang |
-0,096 |
0,500 |
|
Buruk |
0,234 |
0,095 |
|
Tahap Singgami |
0,064 |
0,650 |
|
Degenerasi |
0,410 |
0,003 |
|
Hari ke -5 |
Baik |
-0,581 |
0,007 |
Sedang |
0,098 |
0,680 |
|
Buruk |
0,447 |
0,048 |
|
Tahap Singgami |
- |
- |
|
Degenerasi |
0,379 |
0,099 |
Keterangan: p = berdasarkan uji rank spearman
Hubungan antara usia dengan kualitas embrio baik dan degenerasi pada hari ke-3 memiliki nilai Pvalue < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara usia dengan kualitas embrio baik dan degenerasi pada hari ke-3. Koefisien korelasi embrio baik dengan usia sebesar -0,322 menunjukkan bahwa hubungan antara usia dan persentase kualitas embrio baik adalah negatif dan sedang yang berarti semakin bertambahnya usia maka persentase kualitas embrio baik akan semakin menurun. Koefisien korelasi degenerasi dengan usia sebesar 0,410 menunjukkan bahwa hubungan antara usia dan degenerasi adalah positif dan sedang yang berarti semakin bertambahnya usia maka akan semakin mengalami degenerasi.
Hubungan antara usia dengan kualitas embrio baik dan buruk pada hari ke-5 memiliki nilai Pvalue < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara usia dengan kualitas embrio baik dan buruk pada hari ke-5. Koefisien korelasi embrio baik dengan usia sebesar -0,581 menunjukkan bahwa hubungan antara usia dan persentase kualitas embrio baik adalah negatif dan cukup kuat yang berarti semakin bertambahnya usia maka persentase kualitas embrio baik akan semakin menurun. Koefisien korelasi embrio buruk dengan usia sebesar 0,447 menunjukkan bahwa hubungan antara usia dan embrio buruk adalah positif dan sedang yang berarti semakin bertambahnya usia maka persentase kualitas embrio buruk akan semakin bertambah.
3. Distribusi Hubungan Jumlah AFC dengan Kualitas Embrio
Tabel 6
Hubungan Jumlah AFC dengan
Kualitas Embrio
Hari |
(%) Kualitas Embrio |
Jumlah AFC |
|
rs |
p |
||
Hari ke -3 |
Baik |
0,528 |
0,000 |
Sedang |
-0,081 |
0,567 |
|
Buruk |
-0,155 |
0,273 |
|
Tahap Singgami |
-0,217 |
0,122 |
|
Degenerasi |
-0,432 |
0,001 |
|
Hari ke -5 |
Baik |
0,698 |
0,001 |
Sedang |
-0,338 |
0,145 |
|
Buruk |
-0,343 |
0,139 |
|
Tahap Singgami |
- |
- |
|
Degenerasi |
-0,358 |
0,121 |
Keterangan: p = berdasarkan uji rank spearman
Hubungan antara AFC dengan kualitas embrio baik dan degenerasi pada hari ke-3 memiliki nilai Pvalue < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara AFC dengan kualitas embrio baik dan degenerasi pada hari ke-3. Koefisien korelasi embrio baik dengan AFC sebesar 0,528 menunjukkan bahwa hubungan antara AFC dan persentase kualitas embrio baik adalah positif dan cukup kuat yang berarti semakin bertambahnya AFC maka persentase kualitas embrio baik akan semakin meningkat. Koefisien korelasi degenerasi dengan AFC sebesar -0,432 menunjukkan bahwa hubungan antara AFC dan degenerasi adalah negatif dan sedang yang berarti semakin bertambahnya AFC maka potensi untuk mengalami degenerasi akan semakin berkurang.
Hubungan antara AFC dengan kualitas embrio baik pada hari ke-5 memiliki nilai Pvalue < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara AFC dengan kualitas embrio baik pada hari ke-5. Koefisien korelasi embrio baik dengan AFC sebesar 0,698 menunjukkan bahwa hubungan antara AFC dan persentase kualitas embrio baik adalah positif dan cukup kuat yang berarti semakin bertambahnya AFC maka persentase kualitas embrio baik akan semakin meningkat.
4. Distribusi Hubungan Total Gonadotropin dengan Kualitas Embrio
Tabel 7
Hubungan Total Gonadotropin (FSH dan LH) dengan Kualitas Embrio
Hari |
(%) Kualitas Embrio |
Total FSH |
Total LH |
||
rs |
p |
rs |
p |
||
Hari ke -3 |
Baik |
-0,109 |
0,442 |
0,033 |
0,817 |
Sedang |
0,299 |
0,102 |
0,049 |
0,732 |
|
Buruk |
0,076 |
0,593 |
-0,034 |
0,809 |
|
Tahap Singgami |
-0,091 |
0,519 |
-0,121 |
0,394 |
|
Degenerasi |
-0,053 |
0,709 |
-0,037 |
0,794 |
|
Hari ke -5 |
Baik |
0,348 |
0,133 |
0,011 |
0,964 |
Sedang |
-0,416 |
0,068 |
0,099 |
0,677 |
|
Buruk |
0,180 |
0,449 |
0,086 |
0,717 |
|
Tahap Singgami |
- |
- |
- |
- |
|
Degenerasi |
-0,172 |
0,468 |
0,105 |
0,658 |
Keterangan: p = berdasarkan uji rank spearman
Hubungan antara total FSH dan LH dengan kualitas embrio baik sampai degenerasi pada hari ke-3 dan hari ke-5 memiliki nilai Pvalue > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara total FSH dan LH dengan kualitas embrio pada hari ke-3 dan hari ke-5.
Tabel 8
Hubungan Kualitas
Embrio dengan Biochemical
Pregnancy
Hari |
(%) Kualitas Embrio |
Biochemical Pregnancy |
Nilai P |
|
+ |
- |
|||
Hari ke -3 |
Baik |
53,5 (0-100) |
37,15(100) |
0,013 |
Sedang |
17,42(0-63) |
23,08(0-75) |
0,319 |
|
Buruk |
1,65 (0-43) |
2,31(0-40) |
0,587 |
|
Tahap Singgami |
0,96(0-25) |
0,58(0-9) |
0,587 |
|
Degenerasi |
26,5(0-67) |
36,85(0-75) |
0,081 |
|
Hari ke -5 |
Baik |
43,57 (13-83) |
41,67(0-75) |
0,841 |
Sedang |
26,36(0-57) |
28(11-56) |
0,904 |
|
Buruk |
7,57 (0-61) |
1,83(0-11) |
0,547 |
|
Tahap Singgami |
- |
- |
- |
|
Degenerasi |
22,29(0-63) |
28,5(0-56) |
0,397 |
Keterangan: p = berdasarkan uji mann-whitney
Hubungan perbedaan antara biochemical pregnancy dengan persentase kualitas embrio baik memiliki nilai Pvalue (0,013) < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan kualitas embrio baik pada saat biochemical pregnancy positif dan negatif. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kualitas embrio baik pada hari ke-3, rata-rata biochemical pregnancy positif lebih tinggi dibandingkan negatif, hal ini menggambarkan bahwa biochemical pregnancy positif menghasilkan persentase kualitas embrio pada hari ke-3 yang lebih baik dibandingkan biochemical pregnancy negatif.
Hubungan perbedaan antara biochemical pregnancy dengan persentase kualitas embrio baik sampai degenerasi pada hari ke-5 memiliki nilai Pvalue > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan kualitas embrio baik hingga degenerasi hari ke-5 pada hasil biochemical pregnancy positif dan negative.
6. Distribusi Korelasi Usia Ibu, Jumlah AFC, dan Total Gonadotropin terhadap Kualitas Embrio
Tabel 9
Analisis
Regresi Linier Berganda Pengaruh Usia Ibu, Jumlah AFC, Total Gonadotropin Terhadap
Kualitas Embrio
Variabel Terikat
(Y) |
Persamaan Regresi |
Nilai P |
R2(%) |
Persentase Kualitas
Embrio Baik (%) Hari Ke-3 |
67,223 � 1,391 (Usia)
+ 4,284 (Jumlah AFC) � 0,009 (Total FSH) + 0,003
(Total LH) |
0,001 |
32,7% |
Persentase Kualitas
Embrio Baik (%) Hari Ke-5 |
49,681 � 1,708 (Usia)
+ 3,833 (Jumlah AFC) � 0,004 (Total FSH) � 0,001
(Total LH) |
0,009 |
57,0% |
Berdasarkan model regresi linear berganda Persentase Kualitas Embrio Baik (%) Hari Ke-3 pada tabel 9 maka dapat dijelaskan bahwa nilai koefisien regresi pada usia sebesar -1,391 yang menunjukkan pada arah negatif atau berlawanan antara pengaruh usia terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi usia ibu maka persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3 akan semakin menurun dengan asumsi bahwa variabel lain adalah konstan. Nilai koefisien regresi pada jumlah AFC sebesar 4,284 yang menunjukkan pada arah positif atau searah antara pengaruh jumlah AFC terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi jumlah AFC maka persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3 akan semakin meningkat dengan asumsi bahwa variabel lain adalah konstan. Nilai koefisien regresi pada total FSH sebesar -0,009 yang menunjukkan pada arah negatif atau berlawanan antara pengaruh total FSH terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3. Hal ini berarti bahwa artinya semakin meningkat jumlah FSH yang diberikan semakin menurun kualitas embrio yang baik dengan asumsi bahwa variabel lain adalah konstan. Nilai koefisien regresi pada total LH sebesar 0,003 yang menunjukkan pada arah positif atau searah antara pengaruh total LH terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi total LH maka kualitas embrio baik pada hari ke-3 akan semakin meningkat dengan asumsi bahwa variabel lain adalah konstan.
Berdasarkan model regresi linear berganda Persentase Kualitas Embrio Baik (%) hari ke-5 maka dapat dijelaskan bahwa nilai koefisien regresi pada usia sebesar -1,708 yang menunjukkan pada arah negatif atau berlawanan antara pengaruh usia terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi usia ibu maka persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5 akan semakin menurun dengan asumsi bahwa variabel lain adalah konstan. Nilai koefisien regresi pada jumlah AFC sebesar 3,833 yang menunjukkan pada arah positif atau searah antara pengaruh jumlah AFC terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi jumlah AFC maka persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5 akan semakin meningkat dengan asumsi bahwa variabel lain adalah konstan. Nilai koefisien regresi pada total FSH sebesar -0,004 yang menunjukkan pada arah negatif atau berlawanan antara pengaruh total FSH terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat total FSH maka persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5 akan akan semakin menurun dengan asumsi bahwa variabel lain adalah konstan. Nilai koefisien regresi pada total LH sebesar -0,001 yang menunjukkan pada arah negatif atau berlawanan antara pengaruh total LH terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat total LH maka persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5 akan akan semakin menurun dengan asumsi bahwa variabel lain adalah konstan.
Langkah selanjutnya pada analisis regresi linear adalah melakukan uji F untuk mengetahui pengaruh variabel usia, jumlah AFC dan total gonadotropin terhadap kualitas embrio pada hari ke-3 dan hari ke-5. Berdasarkan hasil uji F pada Tabel Analisis Regresi Linear diperoleh nilai probabilitas dari F hitung adalah 0,001 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen yaitu usia ibu, jumlah AFC dan total gonadotropin berpengaruh signifikan secara simultan atau bersama sama terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3. Nilai (R2) sebesar 32,7% yang menunjukkan bahwa kemampuan variabel independen yaitu usia ibu, jumlah AFC dan total gonadotropin dalam menjelaskan variasi variabel dependen yaitu persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3 sangat terbatas sebesar 32,7% dan sisanya 67,3% dijelaskan oleh variabel lain diluar variabel yang digunakan pada penelitian ini.
Berdasarkan hasil uji F pada Tabel Analisis Regresi Linear pengaruh usia ibu, jumlah AFC dan total gonadotropin terhadap kualitas embrio baik pada hari ke-5 diperoleh nilai probabilitas dari F hitung adalah 0,009 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen yaitu usia ibu, jumlah AFC dan total gonadotropin berpengaruh signifikan secara simultan atau bersama sama terhadap kualitas embrio baik pada hari ke-5. Nilai (R2) sebesar 57% yang menunjukkan bahwa kemampuan variabel independen yaitu usia ibu, jumlah AFC dan total gonadotropin dalam menjelaskan variasi variabel dependen yaitu persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5 cukup besar yaitu 57% dan sisanya 43% dijelaskan oleh variabel lain diluar variabel yang digunakan pada penelitian ini.
B.
Pembahasan
1.
Hubungan Usia Ibu terhadap
Kualitas Embrio
Data persentase kualitas embrio berdasarkan usia pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa usia yang memiliki kualitas embrio terbaik pada hari ke-3 dan hari ke-5 adalah usia 25-30 tahun, usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio sedang tertinggi pada hari adalah usia 31-35 tahun, sedangkan usia yang memiliki rata rata persentase kualitas embrio tahap singgami, buruk, dan generasi tertinggi adalah usia >35 tahun. Kemudian data kualitas embrio baik dan degenerasi dari hasil pengujian rank spearman pada tabel 5.5 pada hari ke-3 dan hari ke-5 memiliki nilai Pvalue < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara usia dengan kualitas embrio baik dan degenerasi pada hari ke-3 dan hari ke-5. Koefisien korelasi embrio baik dengan usia pada hari ke-3 menunjukkan ke arah negatif dan sedang dan pada hari ke-5 menunjukkan ke arah negatif dan cukup kuat. Dari hasil keduanya dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya usia maka persentase kualitas embrio baik akan semakin menurun. Koefisien korelasi degenerasi dengan usia pada hari ke-3 dan hari ke-5 menunjukkan arah positif dan sedang yang berarti semakin bertambahnya usia maka akan semakin mengalami degenerasi.
Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh� (Scheffer et al., 2017) yang mengananlisis 120 pasien dan melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia pasien dengan kualitas embrio grade I dan II (r = -0,22, p = 0,03). Usia ditemukan dapat digunakan untuk memprediksi jumlah oosit yang dikumpulkan, jumlah oosit pada tahap metafase II, dan juga kualitas embrio. (Franasiak et al., 2014). juga mengatakan bahwa pengaruh usia ibu lanjut pada kompetensi oosit atau embrio dan mekanisme terganggu oleh penuaan. Hal ini disebabkan oleh faktor dari penuaan pada wanita menyebabkan penurunan cadangan ovarium dan kompetensi oosit. Semua proses yang terganggu dapat mengakibatkan produksi atau keseimbangan energi yang lebih rendah yang melibatkan sedikit pengurangan laju perkembangan embrio ke tahap blastokista, serta frekuensi misegregasi kromosom yang lebih tinggi selama meiosis ibu yang menyebabkan peningkatan tinggi laju aneuploidi blastokista, terutama pada wanita yang lebih tua dari 35 tahun.
Selain itu penelitian dari (Hassold & Hunt, 2001) mengatakan bahwa konsekuensi yang diduga mempengaruhi berkurangnya perkembangan ke tahap blastokista atau kelainan kromosom yang dipengaruhi faktor usia ibu adalah adanya proses molekuler dan seluler yang mungkin terpengaruh karena penuaan pada oosit seperti disfungsi mitokondria, pemendekan telomer, disfungsi kohesin, dan abnormalitas spindel meiosis. Hal lain yang mendukung adalah diketahui pula bahwa dalam FIV, usia ibu adalah salah satu prediktor terkuat dalam menghasilkan keberhasilan. Usia ibu lanjut (didefinisikan sebagai >35 tahun) menunjukkan dampak yang dapat diabaikan pada tingkat pembuahan, memiliki dampak ringan pada perkembangan embrio ke tahap blastokista, tetapi menghasilkan dampak yang tinggi pada tingkat aneuploidi blastokista sebagaimana penelitian menunjukkan bahwa usia ibu adalah penyebab utama aneuploidi embrionik. Lebih dari 90% ketidakseimbangan ini berasal dari ibu yang disebabkan oleh misegregasi kromosom selama oogenesis (Cimadomo et al., 2018).
Tingkat aneuploidi yang lebih tinggi adalah salah satu penyebab utama penurunan tingkat kelahiran hidup dan peningkatan aborsi spontan pada wanita dengan usia reproduksi lanjut. Berdasarkan Assisted Reproductive Technology Success Rate juga diketahui persentase kehamilan yang gagal menghasilkan kelahiran hidup lebih rendah pada wanita dengan usia lebih muda yaitu 14% pada wanita < 35 tahun, 19% pada usia 35-37 tahun, kemudian 25% pada usia wanita 38-40 tahun, dan tingkat tertinggi yaitu 40% pada wanita berusia di atas 40 tahun (Scheffer et al., 2017).
2.
Hubungan Jumlah AFC terhadap
Kualitas Embrio
Hasil uji rank spearman pada tabel 5.6 terkait hubungan antara AFC dengan kualitas embrio baik dan degenerasi pada hari ke-3 memiliki nilai Pvalue < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara AFC dengan kualitas embrio baik dan degenerasi pada hari ke-3 dan hari ke-5 dengan koefisien korelasi menunjukkan bahwa hubungan antara AFC dan persentase kualitas embrio baik adalah positif dan cukup kuat yang berarti semakin bertambahnya AFC maka persentase kualitas embrio baik akan semakin meningkat.
Hal ini selaras dengan penelitian (Majumder, Gelbaya, Laing, & Nardo, 2010) yang menunjukkan ���� bahwa AFC secara signifikan terkait dengan jumlah embrio kualitas terbaik yang dapat digunakan untuk transfer embrio dan jumlah embrio yang dibekukan (P <0,01). Selain itu, AFC� juga berkorelasi secara signifikan dengan jumlah oosit yang diambil, jumlah oosit yang dibuahi, jumlah embrio berkualitas baik dan jumlah embrio beku. Diketahui jumlah AFC dengan nilai� <10 dapat membantu untuk mengingatkan pasien saat konsultasi tentang kemungkinan keberhasilan yang lebih rendah sebelum memulai proses stimulasi ovarium. Nilai AFC yang baik juga menunjukkan peluang lebih besar untuk menghasilkan minimum dua embrio dengan kualitas terbaik dan memiliki embrio beku untuk digunakan di masa mendatang. Hal ini berdasarkan sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediksi. Pada penelitian yang dilakukan, AFC juga memiliki nilai prediksi positif yang serupa untuk produksi dua embrio berkualitas terbaik dengan nilai 75,2%, dan kelahiran hidup 27,6%. Selain itu penelitian dari Ben-Haroush et al. (2011). juga mengatakan bahwa AFC secara signifikan berkorelasi dengan jumlah puncak kualitas embrio (R2 = 0,137, p = 0,001) dan jumlah beku embrio (R2 = 0,067, p = 0,021). Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Vladimirof (2003) pada 29 pasien yang menjalani FIV menunjukkan bahwa penghitungan folikel antral dan diameter rata-rata ovarium mempunyai nilai prognostik yang baik terhadap keberhasilan FIV. Penelitian retrospektif terhadap beberapa prediktor keberhasilan stimulasi ovulasi ditemukan bahwa penghitungan AFC memiliki hubungan yang bermakna dengan jumlah oosit yang berhasil dipetik yang tentunya akan mempengaruhi perkembangan embrio yang terjadi, serta merupakan prediktor yang baik terhadap terjadinya kehamilan secara klinis.
3. Hubungan Total Gonadotropin terhadap Kualitas Embrio
Hasil Uji rank spearman pada tabel 5.7 terkait dengan hubungan antara total FSH dan LH dengan kualitas embrio baik sampai degenerasi pada hari ke-3 dan hari ke-5 memiliki nilai Pvalue > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara total FSH dan LH dengan kualitas embrio pada hari ke-3 dan hari ke-5. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian dari (Baker, Brown, Luke, Smith, & Ireland, 2015) yang mengatakan bahwa pemberian tinggi dari gonadotropin dapat menyebabkan superovulasi yang tentunya akan berdampak pada kualitas embrio yang utamanya dikarenakan oleh intervensi dari seleksi kualitas terbaik oosit atau akibat lain dari stimulasi ovarium pada oosit, aneuploidi, dan juga tentunya kualitas embrio yang dipilih, sehingga dikatakan bahwa total gonadotropin yang digunakan dapat mempengaruhi kesempatan keberhasilan kehamilan pada program FIV yang dijalankan dimana didapatkan hasil bahwa penggunaan yang tinggi dari gonadotropin berhubungan dengan penurunan tingkat kelahiran hidup.
Ditemukan bahwa tingkat kelahiran hidup menurun dengan meningkatnya FSH total, terlepas dari jumlah oosit yang diambil dan usia pasien, kecuali untuk wanita berusia kurang lebih 35 tahun dengan 1-5 oosit yang diambil. Pemberian FSH yang tinggi selama FIV dapat mengganggu jumlah atau fungsi folikel ovulasi, kualitas oosit dan embrio, dan kelangsungan hidup embrio. Persentase penurunan absolut pada kelahiran hidup dengan peningkatan total gonadotropin signifikan secara klinis dengan angka >20% ketika dilakukan perbandingan total gonadotropin tertinggi dengan total gonadotropin terendah pada wanita dari segala usia. Ditemukan pula bahwa dosis harian rata-rata gonadotropin juga berkorelasi terbalik dengan angka kelahiran hidup, menunjukkan bahwa hubungan terbalik antara total gonadotropin dan angka kelahiran hidup disebabkan oleh dosis awal atau harian yang lebih tinggi dan bukan hanya karena durasi pengobatan gonadotropin yang lebih lama. Namun, walau begitu efek gonadotropin eksogen seperti itu masih bersifat spekulatif (Hong et al., 2014).
Hiperstimulasi ovarium terkontrol menggunakan gonadotropin eksogen FSH dan/atau LH bertujuan untuk memaksimalkan jumlah oosit yang dihasilkan dalam upaya mengatasi tingginya tingkat atrisi gamet dan embrio selama program FIV, sebagaimana aneuploidi embrionik adalah penyebab utama kualitas oosit yang buruk, penghentian embrio, kegagalan implantasi, dan keguguran dini spontan. Ketika dilakukan kontrol pada usia pasien dan dosis FSH ditemukan hubungan yang signifikan antara hasil oosit yang tinggi dan aneuploidi. Penilaian kualitas embrio terbatas pada evaluasi kompetensi genetik pada tahap blastokista. Oleh karena itu, efek dosis kumulatif gonadotropin terhadap kualitas atau aneuploidi oosit yang gagal membuahi atau embrio yang terhenti sebelum mencapai tahap blastokista tidak dapat dipelajari. Dalam penelitian ini, dosis gonadotropin kumulatif yang diukur memperhitungkan efek gabungan dari FSH dan LH eksogen. Pertumbuhan folikel dan pematangan oosit merupakan proses dinamis yang membutuhkan interaksi sinergis antara FSH dan LH (Sekhon et al., 2017).
Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan antara total pemberian gonadotropin terhadap kualitas embrio dapat disebabkan oleh karena adanya perbedaan stimulasi yang diberikan pada pasien yang menjalani program FIV yang kurang menjadi perhatian peneliti. Hal lain seperti faktor sempitnya sampel dan kondisi pada saat dilakukan penelitian juga dapat menjadi penyebab total gonadotropin tidak signifikan dengan kualitas embrio.
4. Hubungan Kualitas Embrio dengan Biochemical Pregnancy
Rata rata rata persentase kualitas embrio pada hari ke-3 dan hari ke-5 pada tabel 5.4 menunjukkan pasien dengan hasil Biochemical Pregnancy (+) memiliki rata-rata kualitas embrio yang lebih baik. Kemudian uji mann-whitney pada tabel 5.8 pada hari ke-3 memperoleh hasil Pvalue (0,013) < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan kualitas embrio baik pada saat biochemical pregnancy positif dan negatif sebagaimana biochemical pregnancy positif menghasilkan persentase kualitas embrio pada hari ke-3 yang lebih baik dibandingkan biochemical pregnancy negatif. Namun, hasil uji pada hari ke-5 memiliki nilai Pvalue > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak adanya perbedaan kualitas embrio baik hingga degenerasi hari ke-5 pada hasil biochemical pregnancy positif dan negatif.
Berdasarkan standar yang ditetapkan oleh WHO, biochemical pregnancy dikatakan positif (hamil) apabila ditemukan kadar bHCG di atas 25mIU/mL dan negatif apabila kadar bHCG di bawah sama dengan 25mIU/mL. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Neubourg et al. (2004) yang mengatakan bahwa pemilihan / seleksi kualitas embrio untuk transfer pada hari ke-3 dapat digunakan sebagai alat terkuat untuk memprediksi kehamilan awal (biochemical pregnancy), walaupun belum mampu untuk dijadikan alat untuk melihat probabilitas terjadinya kegagalan kehamilan pada trimester pertama pada kehamilan tersebut (FTPL). Penelitian ini menemukan kriteria seleksi morfologi dan kualitas embrio mencapai hasil tingkat kehamilan hingga 51,9% ketika menggunakan embrio dengan kualitas terbaik. Dikatakan pula untuk meningkatkan angka kehamilan pada teknologi reproduksi berbantu (TRB) terutama dilakukan dengan meningkatkan kualitas embrio yang akan ditransfer pada pasien, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kombinasi dan kriteria seleksi. Pemilihan embrio ini tentunya bertujuan untuk memaksimalkan potensi implantasi yang akan terjadi pada program FIV yang dijalani. Walaupun nyatanya setelah implantasi, masih ditemukan adanya kehamilan yang gagal berkembang melalui trimester pertama oleh karena itu pemantauan berkala pada kadar bHCG sangat dianjurkan untuk dilakukan.
Selain itu, hal ini selaras pula dengan penelitian dari (Zeadna, Son, Moon, & Dahan, 2015) yang mengatakan bahwa kualitas embrio dan tahap perkembangan saat transfer dapat digunakan sebagai faktor prognostik untuk memperkirakan terjadinya kegagalan kehamilan setelah didapatkan hasil biochemical pregnancy positif (biochemical preganancy loss).
5. Korelasi antara Usia Ibu, Jumlah AFC, dan Total Pemberian Gonadotropin terhadap Kualitas Embrio pada Program FIV
Model regresi linear menunjukkan pengaruh antara masing-masing variabel secara bersama-sama terhadap kualitas embrio. Berdasarkan hasil model regresi linear berganda hubungan antara usia ibu dengan persentase kualitas embrio baik pada tabel 5.9 didapatkan nilai hari ke-3 sebesar -1,391 dan hari ke-5 sebesar -1,708 maka dapat dijelaskan bahwa nilai koefisien regresi menunjukkan pada arah negatif atau berlawanan antara pengaruh usia terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3 dan hari ke-5. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi usia ibu maka persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3 dan hari ke-5 akan semakin menurun dengan asumsi bahwa variabel lain adalah konstan. Hasil model regresi linear berganda persentase jumlah AFC dengan kualitas embrio baik pada tabel 5.6 memiliki nilai hari ke-3� sebesar 4,284 dan hari ke-5 sebesar 3,833 yang berarti variabel jumlah AFC dan kualitas embrio menunjukkan hasil korelasi positif. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan yang sama bahwa semakin tinggi jumlah AFC maka persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3 dan hari ke-5 akan semakin meningkat dengan asumsi bahwa variabel lain adalah konstan.
Hasil analisis variabel total gonadotropin berdasarkan nilai koefisien regresi didapatkan hasil total FSH sebesar -0,009 dan -0,004 menunjukkan arah negatif atau berlawanan terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3 dan hari ke-5 yang berarti semakin meningkat jumlah FSH yang diberikan semakin menurun kualitas embrio yang baik. Kemudian untuk LH berdasarkan nilai koefisien regresi pada hari ke-3 menunjukkan hasil sebesar 0,003 yang menunjukkan pada arah positif atau searah terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3 yang berarti semakin tinggi total LH maka kualitas embrio baik pada hari ke-3 akan semakin meningkat, namun pada hari ke- 5 nilai koefisien regresi pada total LH sebesar -0,001 menunjukkan arah negatif atau berlawanan terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5 yang berarti semakin meningkat total LH maka persentase kualitas embrio baik pada hari ke-5 akan akan semakin menurun.
Hasil uji F pada tabel analisis regresi linear diperoleh nilai probabilitas dari F hitung adalah 0,001 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen yaitu usia ibu, jumlah AFC dan total gonadotropin berpengaruh signifikan secara simultan atau bersama sama terhadap persentase kualitas embrio baik pada hari ke-3. Sedangkan hasil uji F pada tabel analisis regresi linear pengaruh usia ibu, jumlah AFC dan total gonadotropin terhadap kualitas embrio baik pada hari ke-5 diperoleh nilai probabilitas dari F hitung adalah 0,009 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen yaitu usia ibu, jumlah AFC dan total gonadotropin berpengaruh signifikan secara simultan atau bersama sama terhadap kualitas embrio baik pada hari ke-5.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh� (Scheffer et al., 2017) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia pasien dengan kualitas embrio grade I dan II (r = -0,22, p = 0,03) dan juga penelitian dari (Hassold & Hunt, 2001). yang mengatakan bahwa penuaan usia ibu mempengaruhi berkurangnya perkembangan embrio ke tahap blastokista atau kelainan kromosom karena adanya proses molekuler dan seluler yang mungkin terpengaruh karena penuaan pada oosit seperti disfungsi mitokondria, pemendekan telomer, disfungsi kohesin, dan abnormalitas spindel meiosis.
Selain itu hasil penelitian ini juga selaras dengan penelitian dari (Ben-Haroush et al., 2012) �juga mengatakan bahwa AFC secara signifikan berkorelasi dengan jumlah puncak kualitas embrio (R2 = 0,137, p = 0,001) dan jumlah beku embrio (R2 = 0,067, p = 0,021) yang juga sesuai dengan penelitian dari Majumder et al. (2010) yang menunjukkan ���� bahwa AFC secara signifikan terkait dengan jumlah embrio kualitas terbaik yang dapat digunakan untuk transfer embrio dan jumlah embrio yang dibekukan (P <0,01).
Hasil penelitian total gonadotropin pada hari ke-3 sejalan dengan penelitian dari yang mengatakan bahwa dosis FSH yang tinggi selama FIV dapat mengganggu jumlah atau fungsi folikel ovulasi, kualitas oosit dan embrio, dan kelangsungan hidup embrio. Ditemukan bahwa tingkat kelahiran hidup menurun dengan meningkatnya dosis FSH total, terlepas dari jumlah oosit yang diambil dan usia pasien, kecuali untuk wanita berusia kurang lebih 35 tahun dengan 1-5 oosit yang diambil. Pasien yang menggunakan dosis FSH total lebih tinggi biasanya lebih tua, memiliki BMI lebih tinggi, dan AFC lebih rendah. Selain itu, mereka membutuhkan stimulasi ovarium yang lebih lama serta dosis FSH harian yang lebih tinggi dengan lebih sedikit oosit matang yang diambil, dengan proporsi hari ke-3 transfer embrio yang lebih tinggi daripada hari ke-5 transfer embrio, tingkat transfer embrio tunggal yang lebih rendah, dan lebih sedikit embrio yang dikriopreservasi. Temuan ini mendukung konsep terkenal bahwa gonadotropin dosis tinggi biasanya digunakan untuk pasien dengan respon yang buruk (Munch et al., 2017). Selain itu, dikatakan bahwa LH telah terbukti efektif dalam stimulasi monofolikuler sebagian dari protokol stimulasi ovarium setelah inisiasi dengan rekombinan FSH. Protokol stimulasi menggunakan LH juga diketahui dapat meningkatkan persentase diploid dan kualitas terbaik embrio pra-implantasi.
Hasil penelitian korelasi total dosis gonadotropin pada hari ke-5 dengan kualitas embrio tidak sejalan dengan penelitian di atas, hal ini mungkin disebabkan faktor dari masing-masing individu pasien yang menjalani program FIV. Namun, adapula penelitian lain yang menunjukkan hal yang sejalan yaitu dikatakan peningkatan level LH pada fase folikuler terkait dengan penurunan kesuburan dan peningkatan risiko keguguran.
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara usia ibu, jumlah AFC, dan total gonadotropin terhadap kualitas embrio, sebagimana penentuan pemberian gonadotropin sendiri pada umumnya tetap harus disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing individu, salah satu contohnya adalah usia ibu dan jumlah AFC yang merupakan salah satu faktor penentu terpenting yang harus dipertimbangkan sebelum ditentukannya pemberian gonadotropin yang akan diberikan kepada pasien sehingga harapannya akan menghasilkan kualitas embrio terbaik yang dapat menunjang keberhasilan dari program FIV yang dijalankan.
Kesimpulan
Terdapat hubungan antara usia ibu dengan kualitas embrio pada program FIV. Terdapat hubungan antara jumlah antral follicle count (AFC) dengan kualitas embrio pada program FIV. Tidak terdapat hubungan antara penggunaan total gonadotropin dengan kualitas embrio pada program FIV. Terdapat korelasi antara usia ibu, jumlah AFC, dan total pemberian gonadotropin terhadap kualitas embrio pada program FIV.
Agnovianto, Yuriske. (2019). Analisis Faktor
Penyebab Infertilitas Pada Pasutri Yang Menjalani Fiv Di Klinik Fertilitas
Graha Amerta Rsud Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2017. Universitas Airlangga. Google Scholar
Baker, Valerie L., Brown, Morton B., Luke,
Barbara, Smith, George W., & Ireland, James J. (2015). Gonadotropin dose is
negatively correlated with live birth rate: analysis of more than 650,000 assisted
reproductive technology cycles. Fertility and Sterility, 104(5),
1145�1152. Google Scholar
Ben-Haroush, Avi, Farhi, Jacob, Zahalka,
Yasmin, Sapir, Onit, Meizner, Israel, & Fisch, Benjamin. (2012).
Correlations between antral follicle count and ultrasonographic ovarian
parameters and clinical variables and outcomes in IVF cycles. Gynecological
Endocrinology, 28(6), 432�435. Google Scholar
Cimadomo, Danilo, Fabozzi, Gemma, Vaiarelli,
Alberto, Ubaldi, Nicol�, Ubaldi, Filippo Maria, & Rienzi, Laura. (2018).
Impact of maternal age on oocyte and embryo competence. Frontiers in
Endocrinology, 9, 327. Google Scholar
Franasiak, Jason M., Forman, Eric J., Hong,
Kathleen H., Werner, Marie D., Upham, Kathleen M., Treff, Nathan R., &
Scott Jr, Richard T. (2014). The nature of aneuploidy with increasing age of
the female partner: a review of 15,169 consecutive trophectoderm biopsies
evaluated with comprehensive chromosomal screening. Fertility and Sterility,
101(3), 656�663. Google Scholar
Hassold, Terry, & Hunt, Patricia.
(2001). To err (meiotically) is human: the genesis of human aneuploidy. Nature
Reviews Genetics, 2(4), 280�291. Google Scholar
Hong, Kathleen H., Forman, Eric J., Werner,
Marie D., Upham, Kathleen M., Gumeny, Christina L., Winslow, Ayesha D., Kim,
Thomas J., & Scott Jr, Richard T. (2014). Endometrial infusion of human chorionic
gonadotropin at the time of blastocyst embryo transfer does not impact clinical
outcomes: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Fertility
and Sterility, 102(6), 1591�1595. Google Scholar
Majumder, Kingshuk, Gelbaya, Tarek A., Laing,
Ian, & Nardo, Luciano G. (2010). The use of anti-M�llerian hormone and
antral follicle count to predict the potential of oocytes and embryos. European
Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology, 150(2),
166�170. Google Scholar
Muttaqin, Ummi Imamatal. (2019). Hubungan
Paparan Rokok Pada Ibu Hamil Terhadap Kelahiran Prematur (Penelitian Analitik Observasional).
UNIVERSITAS AIRLANGGA. Google Scholar
Scheffer, Juliano Brum, Scheffer, Bruno
Brum, De Carvalho, Rafaela Friche, Rodrigues, Joyce, Grynberg, Michael, &
Lozano, Daniel H. Mendez. (2017). Age as a predictor of embryo quality
regardless of the quantitative ovarian response. International Journal of
Fertility & Sterility, 11(1), 40. Google Scholar
Sekhon, Lucky, Shaia, Kathryn, Santistevan,
Anthony, Cohn, Karen Hunter, Lee, Joseph A., Beim, Piraye Yurttas, &
Copperman, Alan B. (2017). The cumulative dose of gonadotropins used for
controlled ovarian stimulation does not influence the odds of embryonic aneuploidy
in patients with normal ovarian response. Journal of Assisted Reproduction
and Genetics, 34(6), 749�758. Google Scholar
Wallach, Edward E., & Lopata,
Alexander. (1983). Concepts in human in vitro fertilization and embryo
transfer. Fertility and Sterility, 40(3), 289�301. Google Scholar
Zeadna, Atif, Son, Weon Young, Moon, Jeong
Hee, & Dahan, Michael H. (2015). A comparison of biochemical pregnancy
rates between women who underwent IVF and fertile controls who conceived
spontaneously. Human Reproduction, 30(4), 783�788. Google Scholar
Zhu, Jinliang, Lian, Ying, Li, Ming, Chen,
Lixue, Liu, Ping, & Qiao, Jie. (2014). Does IVF cleavage stage embryo
quality affect pregnancy complications and neonatal outcomes in singleton
gestations after double embryo transfers? Journal of Assisted Reproduction
and Genetics, 31(12), 1635�1641. Google Scholar
Copyright holder: Chitra Devi Paramita
Prasetyawati, Budi Santoso, Hamdani Lunardhi, Hendy Herdarto, Ashon Sa�ad Chitra Devi Paramita Prasetyawati, Budi Santoso, Hamdani
Lunardhi, Hendy Herdarto,
Ashon Sa�ad (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |