�� ������������ �������Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

������ e-ISSN : 2548-1398

������ Vol. 4, No. 3 Maret 2019

ASPEK-ASPEK HUKUM TERHADAP SANKSI KEBIRI SEBAGAI ALTERNATIF HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEDOFILIA

 

Walim

Universitas Tujuh Belas Agustus (UNTAG) Cirebon

Email: [email protected]

Abstrak

Pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku pedofil di Indonesia belum seimbang dengan dampak yang ditimbulkannya. Korban yang masih anak-anak tentu saja mengalami trauma yang berlanjut hingga dewasa bahkan seumur hidup oleh karena itu perlu untuk pembaharuan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan pedofilia. Pembaruan ini perlu dilakukan karena sanksi pidana yang saat ini digunakan tidak berpengaruh terhadap para pelaku, upaya penegakkan kriminal yang rendah dalam kasus kejahatan pedophlie kriminal ini adalah untuk memberikan sanksi kebiri. Kebiri disebut juga pengebirian atau pengebirian, yaitu tindakan bedah atau kimiawi yang bertujuan untuk melemahkan hormon testosteron melemah atau ovarium pada wanita, pengebirian dapat dilakukan pada hewan dan manusia.Berdasarkan latar belakang masalah maka muncul pertanyaan yaitu, apakah hukuman yang tepat bagi pelaku pedofilia di Indonesia. Untuk menjawabnya penulis menggunakan metode penelitian melalui kajian pustaka (Library Research) berfungsi untuk menganalisis pengaturan hukum di Indonesia terhadap sanksi pidana phedophilia dan kebiri merupakalah salah satu alternatif sanksi untuk pelakupedofilia di Indonesia, sehingga penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normatif, yaitu penelitian untuk menemukan doktrin atau prinsip hukum, ijma (pendapat para ulama), berkaitan dengan sanksi pedofilia dan hukum pidana alternatif sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana akta pedofilia. Sehingga diharapkan untuk menganalisis secara jelas tentang pengaturan hukum di Indonesia terkait dengan kejahatan pedofilia dengan teknik pengumpulan data melalui peninjauan bahan pustaka yang terkait dengan masalah tersebut dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait.

 

Kata Kunci : Sanksi Kebiri, Alternatif Sanksi Pidana, Pedofilia

 

 


Pendahuluan

Dewasa ini masyarakat telah familiar dengan istilah pedofilia setelah mencuatnya kasus kekerasan seks pada anak dibawah umur, dan termasuk sebagai kejahatan luar biasa karena kejahatan tersebut dapat mengganggu dan mematikan jiwa anak. Pedofilia adalah menyalurkan nafsu/hasrat melakukan seks yang dilakukan dengan anak di bawah umur sebagai objek penyalur hasrat melakukan seks-nya. Praktek pedofilia termasuk ekshibitionisme terhadap anak, melakukan tipu daya terhadap anak-anak. Bisa dikatakan bahwa, pedofilia adalah tindakan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak. Anak-anak disini adalah seluruh anak yang berusia dibawah 15 tahun sesuai denganketentua peraturan di Indonesia.

Sebagai contoh dari pedofilia adalah kasus pelecehan seksual terhadap MAK, AL, dan DA, siswi Jakarta Internasioanal School (JIS) menetapkan dua guru TK JIS sebagai tersangka, keduanya adalah Neil Bantleman dan Ferdinant Michael atau Ferdiant Tjiong. Ditetapkan sebagai tersangka dilakukan setelah penyidik unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya mengelar olah tempat kejadian perkara, Neil Bantleman merupakan salah satu staf di JIS yang berasal dari Kanada, sedangkan Ferdinant Michael merupakan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai asisten guru. Menurut Kabidhumas Polda Metro Jaya. Kombespol Rikwanto, penetapan mereka sebagai tersangka membutuhkan waktu lama.

Neil dan Ferdinant ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan sejumlah barang bukti dan keterangan saksi serta korban, dalam sidang kasus dugaan pelecehan seksual terhadap siswa JIS yang dilakukan oleh kedua guru tersebut. Sidang dilakukan secara tertutup dan dilakukan di ruang terpisah. Neil menjalani sidang yang pertama dan dimulai pukul 10.30 di ruang sidang utama pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemudian Ferdinant menjalani sidang setelah Neil. Mereka dihukum dan menjadi tahanan atas tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan terhadap siswa JIS. Keduanya dijerat Pasal 80, 82 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dengan denda minimal 60 juta rupiah dan maksiml 300 juta rupiah.

Beberapa polemik yang muncul berkaitan dengan diberlakukanya Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) adalah klaim tidak terjadinya tindakan fisik yang dapat menyebkan sang korban mengalami luka dan tidak ada unsur paksaan terhadap korban, hal ini menunjukan betapa pedofilia sering disalah persepsikan pengertianya. Ada tidaknya unsur kekerasan fisik pada korban pedophilia kerapkali dijadikan sebagai indikator untuk mengklasifikasikan tindak pelecehan seksual kepada anak merupakan bentuk kejahatan atau tidak. Kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak semakin dipersempit maknanya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan bentuk pelecehan non-kontak seksual, seperti ekshibitionisme dan pornografi. Adanya atau tidaknya paksaan yang dilakukan terhadap korban, sebetulnya tidak terlalu bermakna dalam kasus pedofilia, disebabkan karena adanya gangguan terhadap pemaknaan mengenai seks antara orang dewasa dengan anak-anak. Contohnya seperti yang dikemukakan oleh Gunter Schmidt (2002) dalam artikel The Dillema of the Male Pedhophile, bentuk penyelewengan genital yang dilakukan anak-anak, meski mengakibatkan orgasme, tidak bisadisamakan dengan manstrubasi pada orang dewasa. Kepolosan dan rasa ingin tahu yang besar terhadapseksualitas yang menjadi karakteristik seorang anak inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia (Pedhophil) untuk menjerat korbanya. Karena itu, dalam kasus pedofilia, pemfokusannya lebih pada bentuk pemafaatan dan manipulasi yang munculkarena ketidak seimbangan power (imbalance of power) antara pelaku dengan anak-anak yang menjadi korbanya.

Hukum kebiri bukanlah hukuman yang baru karena telah ada beberapa negara yang menerapkan hukuman tersebut bagi pelaku kejahatan seksual. Sebagai contoh negara yang telah menerapkan hukuman kebiri adalah California, bahkan telah ditetapkan sejak tahun 1996. Kemudian Negara bagian lainnya yakni Florida yang telah menerapkan hukuman ini sejak tahun 1997 dan negara-negara lain seperti di Georgia, Lowa, Montana, Oregon, Texas dan Wiconsin. Dibeberapa negara bagian tersebut, hukuman kebiri kimiawi dapat dilakukan tergantung bagaimana keputusan hakim pada saat sidang dipengadilan untuk tindak pidana pertama. sedangkan untuk tindak pidana kedua, hukuman kebiridilakukan secara paksa kepada pelaku pedophilia. Selain negara-negara bagian di Amerika Serikat tersebut, masih ada beberapa negara lain yang telah menggunakan hukuman kebiri kimiawi untuk para pedophilia, diantaranya adalah Polandia, Moldova, Estonia, Israel, Argentina, Australia, Korea Selatan dan Rusia.

Sanksi kebiri merupakan hukuman baru yang ada dihukum pidana Indonesia dan merupakan juga hukuman tambahan yang tedapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2016 perubahan atas UU No.23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Hukum kebiri ini menjadi alasan sebagai upaya hukum baru terhadap pelaku pedofilia, karena di Indonesia pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur, belakangan ini telah begitu meluas dan sudah sangat banyak/marak kejadian pelecehan seksual kepada anak-anak yang terjadi di Indonesia, sanksi kebiri ini adalah upaya untuk mencegah pelaku tindak pidana pedofilia supaya tidak mengulangi lagi kejahatanya dan untuk perlindungan bagi korban yang notabenenya adalah anak-anak supaya anak tersebut tidak merasakan traumatis secara psikologis yang bisa berkepanjangan hingga Ia dewasa sampai seumur hidupnya dan menjadikan Ia kehilangan masa depanya akibat trauma tersebut.

 

 

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian untuk menemukan doktrin-doktrin atau asas-asas hukum, ijma (pendapat para ulama),maka dari itu pada penelitian kali ini penulis mencoba memahami perbincangan seputar penyimpangan seksual khusunya yang membahas tentang penerapan sanksi kebiri terhadap pelakupedofilia. Jenis penelitian ini adalah field research atau penelitian lapangan. Penelitian lapangan merupakan sebuah penelitian yang dilakukan dilapangan dengan cara observasi bertujuan untuk memperoleh data yang akurat/aktual dan informasi diperoleh langsung dari narasumber yang kredibilitasnya tidak diragukan. Penelitian ini pula peneliti melakukan studi langsung ke lapangan penelitian dengan Tokoh HAM, Tokoh Hukum Islam, Tokoh agama (Islam maupun Non Islam), pendapat laki-laki dan perempuan (untuk dijadikan sample penelitian) untuk memperoleh data beberapa pendapat mengenai sanksi kebiri sebagai alternatif hukuman bagi pelaku tindak pidana pedofilia.

Dalam rangka pengembangan proses penelitian, maka objek penelitianya berkenaan dengan permasalahan dalam bidang hukum pidana mengenai sanksi kebiri, khususnya mengenai hukuman kebiri kimiawi terhadap pelaku pedofilia, permasalahan dalam bidang hukum islam atau agama (Islam maupun Non Islam), serta pendapat dari laki-laki atau perempuan sebagai subyek yang akan terkena dampak dari sanksi kebiri tersebut. Spesifikasi penelitian kali ini adalah termasuk dalam bentuk deskriptif analitik, yaitu menjelaskan secara gamblang peraturan undang-undang yang diberlakukan dan berkaitan dengan teori hukum sertapelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan tersebut.

Adapun data sekunder adalah sumber yang gunakan berasal dari buku-buku literatur yang berhubungan dengan tema judul yang diangkat penulis, yaitu buku-buku dan jurnal-jurnal yang berhubungan dengan pedofilia dan kebiri, Dalam penulisan ini pula penulis menggunakan bahan dari hukum positif Indonesia yang diperoleh berdasarkan KUHP, UUD 1945, UU No. 1 Tahun 1976, danUU No.23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, serta UU No. 1 Tahun 2016 mengenai perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 perihal Perlindungan Anak.

Untuk memproleh hasil penelitian yang baik dan sempurna maka penulis juga melakukan teknik wawancara dengan masyarakat yang terkait dengan judul penelitian, dalam hal ini maka masyarakat akan memberikan keterangan terkait dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian yang ditulis, dan akan dipadukan dengan literatur-literatur yang ada dalam data penelitian baik Data Hukum Primer, Data Hukum Sekunder, sehingga dapat dijadikan acuan untuk penulisan penelitian ini. Adapun wawancara yang penulis laksanakan, yaitu :

1.      Wawancara Tokoh HAM: Wawancara ini menyangkut hak-hak khususnya dari pelaku.

2.      Wawancara Tokoh Agama (Islam maupun non Islam) dan Hukum Islam: Wawancara ini menyangkut sanksi kebiri apakah hal tersebut bertentangan dengan ajaran agama (Islam maupun non Islam).

3.      Wawancara Pendapat Laki-laki dan Perempuan: Wawacara ini bertujuan untuk mengetahui pendapat dari laki-laki sebagai pelaku yang akan dikenai sanksi kebiri, dan perempuan yang nanti akan terkena dampak dari sanksi kebiri tersebut.

Penelitian ini dianalisis secara benar menggunakan peraturan mengenai kepenulisan penelitian kualitatif yaitu bahan-bahan hukum yang didapat dari kajian literatur, yang kemudian dikaji dan dipaparkan secara deskriptif kualitatif yaitu dengan memaparkan kondisi dan realitas Pancasila dalam konstitusi negara ini yang ada dan kemudian hasil analisis tersebut ditarik kesimpulan secara deduktif yaitu kesimpulan yang bersifat umum menjadi hal-hal yang bersifat khusus.

 

Hasil dan Pembahasan

A.     Pengertian Tindak Pidana Pedofilia

Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) adalah sebuah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang dapat dikenai tindak hukuman pidana. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan ataupun tidak dilakukan mengenai suatu hal yang peraturan Undang-undang menyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam permasalahan tersebut, bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan perbuatan yang dilarang, dan orang yang melakukan perbuatan yang dianggap melanggar dari peraturan perundang-undanagan akan diancam sanksi pidana.

Sebagai diagnosa medis, pedofilia diartikan sebagai kelainan kondisi kejiwaan manusia dewasa atau remaja yang mula memasuki fase dewasa (manusia yang berumur 16 tahun keatas) dan biasanya ditandai dengan sebuah keperluan seksual primer atau ekslusif pada anak prapuber (umumnya anak yang berusia 13 tahun kebawah), meskipun masa pubertas sertiap anak bervariasi. Seharusnya sang anak minimal lebih muda lima tahun seperti dalam kasus pedofilia remaja (16 tahun atau lebih dewasa) kemudian dapat dikelompokan sebagai pedofilia. Pedophilia sendiri berasal dari bahasa yunani : Paidophilia, pais (anak-anak) dan philia (cinta yang bersahabat, persahabatan). Jadi pedofilia adalah cinta anak-anak. Dalam hal ini rasa kecintaan pada anak-anak diartikan dengan rasa kecintaan orang dewasa atas hasrat seksual terhadap anak-anak dibawah umur.

B.     Pengertian Sanksi/Hukuman Kebiri

Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam rumusan tersebut, bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan perbuatan yang dilarang, dan yang diancam sanksi pidana ialah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut.

Sebagai diagnosa medis, pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau ekslusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda), walaupun pubertas dapat bervariasi. Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai pedofilia. Pedophilia berasal dari bahasa yunani : Paidophilia, pais (anak-anak) dan philia (cinta yang bersahabat, persahabatan). Jadi pedofilia adalah cinta anak-anak. Dalam hal ini rasa kecintaan pada anak-anak diartikan dengan rasa kecintaan orang dewasa atas hasrat seksual terhadap anak-anak dibawah umur.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimunculkan ketika sejumlah kalangan, terutama Pemerintah Republik Indonesia menyatakan dalam berbagai kesempatan bahwa Indonesia sedang berada dalam status �Darurat Kejahatan Seksual�, dan sekarang sudah disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 12 Oktober 2016. Undang-UndangPerlindungan Anak dibentuk sebagai bagian dari kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui revisi atau amandemen kedua terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Perihal Perlindungan Anak. Seperti diketahui, bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah direvisi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 perihal Perlindungan Anak. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Pemerintahan Republik Indonesia telah menyelesaikan pembahasan mengenai Undang-Undang Perlindungan Anak berupa menerbitan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat Undang-Undang No. 1 Tahun 2016), yang telah resmi disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 25 Mei 2016.

Dalam ketentuan tersebut Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 ini memuat mengenai hukuman/sanksi kebiri, Ketentuan dalam Undang-UndangNo. 1 Tahun 2016 yang memuat sanksi kebiri yaitu terdapat dalam Pasal 81 ayat (7), yang berbunyi �Terhadap pelaku sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) dan Pasal 81 ayat (5) dapat diberi sanksi yakni tindakan berupa kebiri kimia dan pemasagan alat pendeteksi elektronik. Sesuai dengan memori penjelasan Pasal 81 ayat (7), pemasangan alat pendeteksi elektronik dalam ketentuan ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana. Penerapan tidak pidana penambahan sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik memiliki sifat �dapat� dan tidak bersifat �imperatf�. Ini berarti bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan yakni berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik kepada pelaku atau tidak, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2016, pidana tambahan berupa kebiri kimia dapat dijatuhkan kepada terpidana bersama dengan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kemudian dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana yang pokok. Ini berarti bahwa seseorang yang telah keluar dari lembaga pemasyarakatan dan ketika tiba waktu baginya untuk melakukan reintegrasi sosial, dia akan memulai pidana tambahan berupa kebiri kimia yang dapat dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. Dalam proses reintegrasi sosial ini, seseorang yang telah menjalani pidana pokok (yaitu penjara) dan akan mulai menjalani hukuman pidana kedua yakni kebiri kimia dan akan mengakibatkan sipelaku tidak memiliki dorongan seksual, serta tidak akan memiliki keturunan dalamwaktu tertentu (maksimal 2 tahun).

Untuk mengetahui apakah sanksi ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pedofilia dalam aspek hukum, maka penulis melakukan penelitian diantaranya dalam Perspektif HAM, Perspektif Hukum Islam atau Agama (Islam maupun non Islam), dan sampel merupakan poplasi dari lelaki dan wanita untuk mengetahui dengan adanya sanksi kebiri apakah dapat diterapkan di Negara Indonesia.

1.      Perspektif HAM

Menggunakan atau mengkaitkan sanksi kebiri dengan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), karena salah satu masalah yuridis berkaitan dengan Undang-UndangPerlindungan Anak adalah terkait dengan aspek hak asasi manusia.Komisi Hak Asai Manusia (Komnas HAM) menyatakan menolak tegas rencana penerbitan PP pengganti Perpu tentang Hukuman kebiri secara kimiawi (yang sekarang sudah disahkan menjadi Undang-Undang); dimana melalui Siti Noor Laila (Wakil Ketua Komnas HAM)menganggap pemberian hukuman kebiri ini dikualifikasikan sebagai sebuah hukuman yang keji dan tidak manusiawi sehingga sangat tidak cocok atau relefan dengan konstitusi dan prinsip Indonesia dalam bidang HAM. Menurut Dr. Juju Syamsudin Saputra, SH., MH sanksi kebiri sangat sulit dilaksanakan, karena dalam Undang-Undang tersebut yang melaksanakan (eksekutor) belum ditentukan, jika dokter yang melaksanakanya maka hal tersebut tidak sesuai dengan jabatanya, karena dokter tidak boleh membuat sakit orang, tugasnya dokter sebenarnya adalah untuk melakukan penyembuhan orang sakit bukan untuk menyakiti. Hal tersebut bertentangan dengan HAM yaitu hak untuk memiliki keturunan dan untuk tidak disiksa, karena dalam sanksi kebiri tersebut pasti menimbulkan efek sampingnya, dari efek samping tersebut akan berakibat menyiksa fisik si terpidana. Untuk efektivitas jerah sanki kebiri, bagi pelaku efek jerah bisa pada pelaku, tetapi pada orang lain tidak jelas. Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media, pemerintah menilai bahwa tindak pidana tambahan berupa kebiri kimia akan membuat jera pelaku kejahatan seksual dan pedofilia, hal tersebut adalah sesuai dengan apa yang ditulis dalam pertimbangan (konsideran) huruf c Undang-UndangPerlindungan anak yang berbunyi �Sanksi pidana yang di jatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur hingga saat ini belum memberikan efek jera serta belum mampu mencegah secara menyeluruh terhadap terjadinya kekerasan seksual terhadap anak�. Efek jerah dalam hal ini yaitu denganmenggunakan hukuman/sanksi kebiri kimia sebagai sanksi tambahan dalam peraturan Undang-UndangNo. 1 Tahun 2016 (disingkat Undang-Undang Perlindungan Anak).

Secara konsitusional, pada Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa �setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunannya melalui perkawinan yang sah sesuai isi Ketentuan yang dilaksanakan melalui Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 yang memastikan bahwa setiap individu memiliki kewenangan untuk membangun sebuh keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Secara umum, Pasal 16 ayat (1) Uiversal Declaration of Human Rihts memastikan bahwa lelaki dan wanita dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah membentuk keluarga utuh; serta mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, didalam masa perkawinan dan pada saat perceraian. Mengacu pada Undang-UndangNo. 1 Tahun 2016, pidana tambahan berupa sanksi kebiri kimia dapat diberikan kepada terpidana bersamaaan dengan dipasangannya alat pendeteksi elektronik, yang dilaksanakan dalam jangka waktu paling cukup panjang yakni 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok yakni hukum kurung penjara. Hal Ini berarti bahwa seseorang yang telah keluar dari lembaga pemasyarakatan dan ketika tiba waktunya untuk melakukan reintegrasi sosial, pelaku pedofilis akan memulai pidana tambahan sanksi kebiri kimia yang dapat dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. Dalam proses reintegrasi sosial ini, seseorang yang telah menjalani pidana pokok (yaitu penjara) dan mulai menjalani kebiri kimia tidak memiliki dorongan seksual, serta tidak akan mampu memiliki keturunan dalam jangka waktu tertentu (maksimal 2 tahun). Dengan perhitungan demikian, seorang terpidana dipaksa untuk tidak memiliki keturunan (dari pasangan yang sah). Apakah hal demikian tidak melanggar hak asasi terpidana. Untuk itu perlu dikaji hukum dan peraturan perundang-undangan dibidang hak asasi manusia.

Berkaitan dengan penerapan sanksi pidana tambahan berupa kebiri kimia, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, kajian pertama dapat dimulai dari peraturan perundang-undangan yang memiliki tingat tertinggi di negara ini, yaitu: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28B ayat (1) pembukaan UUD NKRI TAHUN 1945 secara tegas memutuskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Untuk memahami ketentuan ini, ada baiknya kita membaca penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, dimana untuk menganalisis hukum dasar (droit constitusionnel). Suatu negara tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal dan Undang-Undang Dasarnya (loi constitutionelle) saja, melainkan juga harus menanalisis dan mengkajinya juga bagaimana praktek dan suasana kebatinanya (geistlichen hintergrund) dari Undang-Undang Dasar tersebut. Pada masa pembahasan terkait amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, persoalan hak asasi manusia terutama terkait dengan hak melanjutkan keturunan menjadi pokok bahasan utama. Perhatikan kutipan dari Naskah Komprehensi Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana berikut :

Masyarakat Indonesia yang masih berkembang sejak masih sangat sederhana sampai modern, pada dasarnya merupakan masyarakat kekeluargaan, masyarakat kekeluargaan telah mengenal istilah pranata sosial yang menyangkut hak dan kewajiban bagi warga masyarakat yang terdiri atas pranata religius yang mengakui bahwa manusia adalah Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dengan segala hak dan kewajibannya; pranata keluarga sebagai wadah manusia hidup bersama untuk mengembangkan keturunan dalam menjaga kelangsungan keberadaanya; pranata ekonomi yang merupakan upaya manusia untuk meningkatkan kesejahteraan; pranata pendidikan dan pengajaran untuk mengembangkan kecerdasan dan kepribadian manusia; pranata informasi dan komunikasi untuk memperluas wawasan dan keterbukaan; pranata hukum dan keadilan untuk menjamin ketertiban dan kerukunan hidup; pranata keamanan untuk menjamin keselamatan setiap manusia. Dengan demikian substansi hak asasi manusia meliputi: hak untuk hidup; hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan hak mengambangkan diri; hak keadilan; hak kemerdekaan; hak berkomunikasi; hak keamanan; dan hak kesejahteraan.

Perumusan hak asasi manusia pada dasarnya dilandasi oleh pemahaman suatu bangsa mengenai citra, harkat, dan martabat diri manusia itu. Masyarakat Indinesia menganggap bahwa manusia bisa hidup tanpa adanya Tuhan. Sesama makhluk hidup manusia, dan lingkungan. Bahwa Indonesia pada hakekatnya sangat sadar, mengakui, melindungi dan menghargai hak asasi manusia lainnya merupakan sebuah kewajiban. Maka demikian, hak asasi dan kewajiban manusia yang selaras itu menempel pada dirinya manusianya dan sebagai seorang pribadi, bagian dari keluarga, bagaian dari masyarakat, bagian dari suatu bangsa dan warga negara yang pula anggota masyarakat bangsa-bangsa. Dari hasil pembahasan terhadap rencana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, muncul Pasal baru yang sebelumnya tidak tertuang dalam UUD NKRI (sebelum amandemen). UUD NKRI Tahun 1945 (setelah amandemen) secara tegas mengungkapkan bahwa pada Pasal 28B ayat (1) menyatakan �bahwa setiap individu mempunyai kewenangan untuk membangun keluarga dan melanjutkan keturunannya dengan melalui proses perkawinan yang sah�.

Pada tingkat peraturan perpu dibawah UUD NKRI tahun 1945, persoalan melanjutkan keturunan dapat dibaca pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 bahwa setiap individu mempunyai kewenangan untuk membangun sebuah keluarga dan melanjutkan keturunannya melalui proses pernikahan yang sah menurut peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Berlandaskan pada memori penjelasan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999, yang dimaksud dengan �Perkawinan yang sah� adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, yang mana perial ini adalah UUD Republik Indonesia pada Nomor 1 Tahun 1974 yang memberikan pengertian bahwa perkawinan sebagai pasangan suami isteri mereka tujuan membentuk keluaga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Memori penjelasan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: Sebagai Negara yang beraszaskan Pancasila, yang mana butir Sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi perkawinan memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan Agama setiap individu yang memeluknya, sehingga perkawinan tidak hanya mempunyai peranan yang vital dalam kehidupan manusia namun, Membentuk keluarga yang harmonis rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah perkawinan, Pemeliharaan, dan Pendidikan anak menjadi bagian dari hak dan kewajiban orang tua.

Memori penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan: Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa seorang calon suami dan calon isteri harus telah siap mental dan fisiknya agar bisa melangsungkan perkawinan, agar supaya tujuan perkawinan dapat diwujudkan dengan baik dan tidak berakhir pada perceraian dan memperoleh keturunan yang baik dan sehat.

Berdasarkan dasar hukum diatas, selain hak asasi manusia yang dilindungi oleh Konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999, hak untuk mendapatkan keturunan juga merupakan tujuan dari perkawinan. Secara universal, persoalan hak untuk memiliki keturunan dipahami sebagai bagian dari perkawinan. Pasal 16 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights menentukan bahwa pria dan wanita yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk melangsungkan pernikahan dan membentuk keluarga yang harmonis; mereka memiliki hak yang sama dalam hal perkawinan, baik dalam masa perkawinan ataupun pada saat perceraian.

Berdasarkan uraian diatas, baik hukum nasional ataupun hukum Internasional memberikan protect terhadap hak-hak manusia yakni berupa hak untuk melakukan perkawinan dan mendapatkan keturunan. Dimana sanksi/hukuman kebiri kimiawi akan menimbulkan efek penghilangan hasrat seksual, bahkan hingga kemandulan, hal tersebut merupakan suatu hal yang berlawanan dengan peraturan nasional dan hukum Internasional yang ada mengenai diperbolehkannya melangsungkan perkawinan dan memperoleh keturunan.

2.      Perspektif Hukum Islamdan Agama (Islam maupun Non Islam)

Jika kita membahas soal hukum, yang terbesit dalam otak kita adalah peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur perilaku manusia dalam suatu masyarakat bagaimana harus bertindak dan berprilaku dan dianggap baik menurut kebiasaan setempat, yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa atau orang yang dianggap memiliki wewenang untuk menetapkan hukum atau manusia itu sendiri layaknya hukum adat yang tercipta karena kebiasaan yang sudah ada dan berlangsung sejak lama, kemudian hukum pidana dan hukum lainya. Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum islam bukan hanya merupakan hasil dari pertimbangan manusia yang dipengaruhi oleh kebudayaannya dalam kurun waktu tertentu tetapi hukum Islam pada dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang terkandung dalam Al-Quran dan dijabarkan oleh Nabi Muhammad sebagai rasulnya melalui sunnah beliau yang tertuang dalam kitab hadits. Demikianlah dasar yang menjadi pembeda antara hukum islam yang secara esensialnya dengan hukum yang lainnya.

Adapun pengonsepan hukum Islam, landasan dan rancangan hukumnya ditetapkan oleh Allah SWT. Hukum tersebut tidak hanya membahas iteraksi manusia dengan manusia lain dan segala hal yang berkaitan masyarakat, tetapi membahas pula interkasi manusia dengan Tuhannya, selanjutnya interaksi manusia dengan dirinya , interaksi manusia dengan manusia lain dalam tatanan hidup bermasyarakat, serta pola interaksi manusia dengan benda-benda dan interaksi dengan alam sekitarnaya. Terkait dengan sanksi/hukuman kebiri, ketentuan tersebut dasarnya adalah bukan dari ketentuan Allah, tetapi berasal dari manusia, dan yang berasal dari manusia belum berarti benar menurut ketentuan Allah.

Menurut Khafidzul Ilmi, �Sanksi kebir merupakan suatu hal yang hina dan tidak sesuai dengan kemanusiaan, melebihi kodratnya gusti Allah (Allah SWT), karena sifatnya manusia adalah mahluk yang sempurna. Solusiya membangun kesigapan sosial dimana masyarakat harus waspada mengawasi gejala-gejala yang muncul (kejahatan seksual)�. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Abdul Fatakh selaku dosen IAIN Cirebon, �Sanksi kebiri bertentangan dengan Al-Qur�an, karena dalam Al-Qur�an jika ada yang berbuat jahat, mari kita kembalikan ke alam ma�ruf, tidak harus dikenakan sanksi kebiri tetapi harus diberikan pembinaan, seperti adanya pendidikan, terutama pendidikan agamanya, islam bukan memberikan sanksi tetapi untuk memberikan solusi. Sanksi yang tepat untuk memberikan efek jerah adalah dengan memberikan hukuman maksimal bukan dengan cara dikebiri�

Hal tersebut juga diperkuat oleh pendapat Samud, SH.I.,MHI, selaku dosen ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) Cirebon, �Dalam perspektif Hukum Islam, dalam Al-Qur�an dan Hadist pelaku pedofilia adalah termasuk kedalam perbuatan jinah, dan belum ada aturanya yang menjelaskan sanksi kebiri, tetapi dalam jumuur ulama sanksi kebiri itu tidak boleh diterapkan, tetapi tergantung kepada konteks negara itu sendiri, Sedangkan di negara Indonesia mayoritasnya adalah negara dengan orang beragama Islam�.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Saiful akbar selaku guru Madrasah Al-Hidayah Indramayu, �Sanksi kebiri merupakan hukuman yang haram menurut ajaran Islam, karena memutus keturunan, keteranganya dapat diambil dalam kitab fatkhul bary dan juga Al-bajury (kitabbun nikah), yang berbunyi :

اتفقواعلى منع الجب والحصاة فيلحق بذا لك ما في معنا ه من التدالوي بالقطع اصلا

Artinya: Ulama Madzab Syafi�i sepakat melarang memotong kemaluan (penis dan juga buah zakar), maka disamakan denganya sesuatu yang maknanya sama, baik dari obat-obatan dengan memutusnya sama sekali (total).

Artinya sanksi kebiri dengan cara kebiri fisik atau kebiri kimiawi kedua-duanya adalah haram menurut ajaran Islam, pada waktu itu Jokowi mengambil ajaran di Negara Eropa, karena sebagian besar kejahatan seksual di Negara tersebut menjadi semakin menurun, meskipun negara kita bukan negara Islam tetapi masyarakat di negara kita adalah mayotitas orang beragama Islam�.

Melihat wawancara diatas, dapat peneliti analisis bahwa Lajtnah Tsaqofah Hizbut Tahrir Siddik Al Jawwi yang dikutip dari situs resmi Hibzut Tahrir kalau hukuman kebiri itu haram. Memberikan hukum tindak pidana sanksi kebiri bagi pelaku pedofilia dan dikenai hukum haram, berdasarkan 3 (tiga) alasan :

Pertama, hukum Islam dengan tegas telah menetapkan hukum haram sanksi kebiri terhadap manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) dikalangan fuqaha. Siddik dikutip dari kitab Al Mausu�ah Al Fiqhiyyah diambil pernyataan mengenai ada atau tidaknya khilafiyah ulama soal haramnya sanksi kebiri �Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata, �(Hadist yang melarang kebiri) adalah larangan diharamannya tanpa perbedaan pendapat dikalangan ulama, yaitu kebiri pada manusia.

Selanjutnya yang kedua menurutnya, syariah hukum Islam telah memberikan sanksi bagi pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatanya, sehingga tidak boleh (haram) untuk menjalankan hukuman diluar ketetapan syariat Islam itu. Hukuman untuk pelaku pedofilia menurutnya, jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zinah, hukumanya adalah hukuman untuk pezinah (had az zinah), yaitu dirajam jika jika sudah mushan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan mushan; kemudian, jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah homoseksual, maka hukumanya adalah hukuman mati, bukan yang lain; lalu jika yang dilakukan adalah kejahatan seksual (at taharusy al jinsy) yang tidak sampai pada perbuatan zinah atau homoseksual, hukumanya ta�zir.

Memang benar, sanksi untuk pelaku pedofilia yang melakukan pelecehan seksual (at taharusy al jinsi), adalah hukuman ta�zir, yang dapat ditetapkan secara pribadi bentuk hukuman dan masa hukumnya berapa lama atau berapa besar oleh hakim (qadhi) yang diputuskan dalam musyawarah sidang. Misalnya dicambuk 5 (lima) kali cambukan, dipenjara selama 4 tahun, dan sebagainya. Pertanyaanya, apakah boleh seorang hakim menetapkan sanksi kebiri sebagai hukuman ta�zir?. Jawabanya, tidak boleh (haram). Karena meskipun ta�zir dapat ditentukan oleh hakim bentuk dan masanya, tetapi diisyaratkan hukuman ta�zir itu telah ditetapkan tidak boleh dilakukan dan telah dilarang oleh nash syariah, bahkan haram hukumpnya apabila dilakukan. seperti hukuman membakar dengan api hal Ini haram hukumnya, karena terdapat hadis sahih yang melarangnya.

Ketiga, dalam hal metode kebiri yang dipergunakan ialah metode injeksi kedua, yaitu menginjeksikan hormon estrogen, hukumanya haram pula karena dari sisi lain, sebab laki-laki yang dikebiri memiliki kondisi fisik layaknya perempuan. Padahal Islam telah mengharamkan laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya. Jadi kesimpilannya, pedofilia merupakan sebuah kesesatan dan juga merupakan tindakan yang tergolong dosa besar yang sama sekali tidak boleh didukung oleh umat Islam. Siapapun yang terlibat dalam upaya penerapan hukum kebiri. Baik itu ahli hukum yang menyusun draf Perpu, Presiden yang menandatanganinya, para menteri yang mengusulkannya, hakim dan jaksa yang mengadili pelaku pedofilia, termasuk para dokter atau staf medis yang melaksanakan kebiri di rumah sakit atas perintah pengadilan, semuanya menanggung dosa besar di hadapan Allah.

Sedangkan menurut Agus Setiawan, selaku pendeta atau staf kantor GBI (Gereja Bethel Indonesia) Kalvari Cirebon �Sanksi kebiri secara spesifik (secara teks) dikitab suci tidak ada, tidak pernah disebut-sebutkan adanya sanksi kebiri, tetapi dalam kitab suci kristen kebirinya itu sendiri memang ada, yaitu di dalam perjanjian lama dan perjanjian baru. Didalam perjanjian lama, ada mengenai kebiri tetapi bukan mengenai sanksinya/hukumanya, didalam taurat ada 3 (tiga) tentang kebiri, yaitu 1) kebiri bawaan (cacat genetika), 2) dikebiri oleh orang, 3) berkeinginan dikebiri dengan alasan agama. Jadi ketiga-tiganya tidak boleh berkumpul dikumpulan jamaah/tidak boleh ikut beribadah, karena cacat. Sedangkan diperjanjian baru ada perubahan terdapat 2 tokoh besar yaitu Yesus dan Paulus, tokoh Yesus masih memberikan toleransi orang tersebut boleh mengikuti ibadah, tetapi Paulus menolak orang dikebiri untuk ngumpul dijamaah. Dalam perjanjian lama dan baru dasarnya adalah mentaati aturan atau mengikuti perintah Tuhan, orang tersebut berbuat jahat, boleh dilakukan sanksi kebiri, tatapi harus diberi terlebih dahulu siramanan rohani, dikebiri sebaiknya menjadi pilihan terakhir.

Menurut Marhendi, SH.,MH, selaku Pengacara �Tidak setuju, alesanya karena sanksi kebiri tersebut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), karena dasarnya orang tersebut ingin sehat karena dari sanksi tersebut pasti ada efek sampingnya, tetapi kita harus melihat dulu, pelaku tersebut kapasitasnya seperti apa, apakah pelaku tersebut adalah seorang residivis atau baru pemula�.

Menurut M.Nasir SH, selaku pengacara �Sanksi kebiri setuju untuk diterapkan, karena demi mencegah terjadinya korban selanjutnya, karena kalau seseorang sudah mempunyai karakter jahat, orang tersebut akan terus kebawa dari kebiasaan karakternya tersebut, dengan adanya sanksi kebiri tersebut orang akan merasa jerah, karena dengan ancaman hukuman yang berat seseorang menjadi takut untuk berbuat hal tersebut atau mengulangi perbuatanya�.

Menurut Teguh Giri, SH, selaku Pengacara �Dengan adanya sanksi yang tegas (sanksi kebiri) untuk pelaku pedofilia bisa mengurangi kejahatan seksual pada anak. Dengan diterapkanya sanksi kebiri dapat menghilangkan dorongan seksualitas yang terjadi pada pelaku tersebut, sehingga laki-laki tersebut tidak merasakan hidup normal seperti laki-laki pada umumnya sehingga kemungkinan tidak berani untuk melakukan kembali kejahatan tersebut.

Menurut Ratisa, S.sos sebagai Wakasek SMK Grogol Kapetakan �Setuju diterapkanya sanksi kebiri karena negara kita adalah negara hukum dan hal tersebut melanggar norma kesusilaan apalagi negara kita mayoritas beragama islam, jelas hal tersebut menyimpang dari norma-norma agama. Untuk efek penjerahan bagi pelaku, hal itu dikembalikan lagi kepada si pelaku karna hal itu bisa kita anggap sebagai suatu penyakit karna kalau sekali pelaku melakukan hal tersebut si pelaku akan mempunyai efek ketagihan sama halnya seorang pemakai narkoba�.

Sedangan menurut pendapat dari perempuan, Menurut Faridah S.kep. Ns, selaku pelaksanaan medis (UGD) di Puskesmas Kedaton, Cirebon �Tidak setuju dengan adanya sanksi kebiri, karena kebudayaan orang Indonesia berbeda dengan kebudayaan orang luar, pelaku tersebut tidak harus dikebiri, tetapi mendapatkan hukuman dari hukuman maksimalnya, misalnya dipenjara seumur hidup. Dari masing-masing sample lelaki dan perempuan yang penulis lakukan penelitian, mengenai sanksi kebiri masih terdapat pro dan kontra, terlepas dari pelaku sebagai yang melakukan kejahatan atau anak yang menjadi korban yang harus dijaga dan dilindungi.

Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian dalam bab sebelumnya, maka penulis berkesimpulan bahwa: Sanksi/hukuman kebiri melanggar hak asasi manusia dari pelaku kejahatan seksual pada anak, salah satunya adalah hak untuk melanjutkan keturunan.Hukum nasional maupun hukum Internasional memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang berupa hak untuk melakukan perkawinan dan mendapatkan keturunan. Dimana sanksi/hukuman kebiri kimiawi akan menimbulkan efek penghilangan hasrat seksual, bahkan hingga kemandulan, merupakan suatu hal yang berlawanan dengan hukum nasional maupun hukum Internasional yang ada tentang melangsungkan perkawinan dan hak mendapatkan keturunan

Sanksi/hukuman kebiribertentangan dengan agama atau hukum islam, karena dalam ajaran Islam sanksi tersebut adalah haram, baik kebiri fisik maupun dengan kebiri kimawi. Sedangkan di dalam agama kristen protestan tidak ada yang mengatur tentang sanksinya, tetapi mengatur mengenai kebirinya, sehingga solusi yang tepat adalah memberikan sanksi kebiri adalah sebagai upaya terakhir.

Sampel dari laki-laki dan perempuan, dari masing-masing 5 sample baik laki-laki maupun perempuan, masih terdapat pendapat pro dan kontra mengenai sanksi kebiri, alasan yang pro mengganggap bahwa sanksi kebiri merupakan sebagai efek jerah bagi pelaku dan untuk menakuti orang lain sehingga tidak akan melakukan perbuatan yang serupa, dan karena untuk melindungi anak sebagai korban kejahatan seksual. Sedangkan pendapat yang kontra, yaitu karna sanksi kebiri tersebut bertentangan dengan HAM, yaitu hak untuk melanjutkan keturunan dari pelakunya sebagai yang melakukan kejahatan seksual.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdoel Djamali. 2013. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers

 

Abdussalam. 2014. Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, PTIK.

 

Abintoro Prakoso. 2016. Hukum Perlindungan Anak, Yogyakarta, LaksBang PRESSindo

 

Andika Wijaya, Wida Peace Ananta.2016. Darurat Kejahatan Seksual, Jakarta, Sinar Grafika.

 

Andi Hamzah. 2012. Asas Asas hukum Pidana Indonesia Dan Perkembanganya, Jakarta, Sofmedia.

 

Fauzan. 2015. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Pedofilia Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Perspektif Hukum Pidana Islam, Penelitian, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

 

Hendra Akhdhiat dan Rosleny Marliani. 2011. Psikologi Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung.

 

Kansil. 2009. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka.

 

Koes Irianto. 2010. Memahami Seksologi, Bandung, Sinar Baru Algensindo.

 

M. Nasir Djamil. 2015. Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta, Sinar Grafika.

 

Moelijatno. 2008. KUHP : Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi Aksara.

 

Nashriana. 2014. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

 

Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

 

Roni Wiyanto. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandug, Mandar Maju,�� .

 

Rosadi Ruslan. 2004. Metodologi Penelitian Publik dan Komunikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

 

S.Praja, Juhaya. 2011. Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung, CV Pustika.

 

Sambas, Nandang. 2010. Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu.

 

KUHP Baru. 2010. Jakarta, Kencana Prenadamedia Group.

 

Sembiring, Sentosa. 2006. Himpunan Undang-Undang tentang HAM,Bandung, CV. Nuansa Aulia.

Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

 

Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

 

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan