Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
������
e-ISSN : 2548-1398
������
Vol.4, No.5 Mei 2019
HUKUM
IBADAH THAWAF BAGI WANITA HAIDH MENURUT IMAM
IBNU MAS�UD AL-KASANI AL-HANAFY
May
Dedu
Universitas Swadaya Gunung Jati (UNSWAGATI) Cirebon
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini menjelaskan bahwa Ibnu Masʼud
al-Kasani berpendapat thaharah dari hadats, janabah, haid dan nifas tidaklah
menjadi syarat dari thawaf, hal tersebut karena beliau membedakan antara fardhu Haji dan wajib Haji. Menurut beliau, fardu ialah sesuatu yang harus
dilaksanakan (dipenuhi), maka jika ditinggalkan hajinya tidak sah, dan tidak
diperbolehkan menggantinya dengan membayar dam (denda), Sedangkan wajib haji ialah yang tidak harus
dilaksanakan (dipenuhi). Sehingga
diperbolehkan melakukan thawaf tanpa thaharah
(suci) dari hadats, janabah, haidh dan nifas,
dan harus menggantinya dengan membayar dam. Imam Ibnu Mas'ud al-Kasani melihat adanya keumuman
makna yang terkandung dalam firman Allah Swt dalam surat al-Hajj ayat 29 yang
memerintahkan orang yang sedang beribadah haji untuk melakukan thawaf, sehingga
Ibnu Mas'ud al-Kasani berpandangan bahwa ayat ini merupakan suatu perintah yang
bersifat mutlak dan tidak mensyaratkan adanya thaharah
bagi pelakunya. Sehingga beliau memperbolehkan wanita haid
melakukan thawaf.
�
Kata
Kunci: Ibnu Masʼud Al-Kasan�, Haji dan
Thawaf.
Pendahuluan
Syariat
haji merupakan syariat yang terakhir diberikan oleh Allah Swt untuk
dilaksanakan manusia. Menurut Jumhur Ulama, ibadah ini
diresmikan menjadi syari'at nabi Muhammad Saw pada tahun ke-4 H. Dalam ibadah haji terdapat beberapa
rukun dan syarat haji. Thawaf merupakan salah satu
rukun haji, bahkan lebih dari itu thawaf merupakan ibadah tersendiri
yang disunahkan melakukannya setiap saat. Yang
terpenting dari thawaf adalah ibadah pembuka dan penutup ibadah haji.
Di samping itu, thawaf dapat dilakukan di luar musim
haji atau umrah. Pada waktu thawaf orang perempuan dan laki-laki
boleh bersama-sama, boleh menjinjing tas, menggendong
anak, berpegangan satu sama lain dan sebagainya. Al-Qur'an
dan al-Hadits sebagai landasan pokok telah mensyariatkan thawaf. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat ketika menetapkan
syarat-syarat yang harus dilakukan bagi seseorang yang hendak melakukan thawaf.
Ulama Madzhab imam
As-Syafiʼi, imam Malik, dan imam Ahmad ibn Hambal mensyaratkan thawaf dalam
keadaan suci dari hadats dan kotoran, maka bagi orang junub, haid, dan nifas
tidak sah thawafnya. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa thaharah bukanlah syarat, hanya suatu yang wajib dilakukan tetapi dapat
diganti dengan penyembelihan dam.
Ibnu Masʼud Al-Kasani sebagai salah
satu ulama Hanafiyah mengatakan dalam bukunya Bada'i ash Shanai' fi al
Tartib al syarai' :
أَمَّا الطَّهَارَةُ
عَنِ
الْحَدَثِ
وَالْجَنَابَةِ
وَالْحَيْضِ�
وَالنِّفَاسِ
فَلَيْسَتْ
بِشَرْطٍ
لِجَوَازِ
الطَّوَافِ[1]5
Artinya:�Sesungguhnya suci dari hadats, jinabat, haid dan nifas
tidak menjadikan syarat untuk dapat melaksakan thawaf�.
Sesuai dengan
judul yang diangkat dalam penelitian ini, penulis akan mencoba membahas lebih
lanjut tentang masalah yang diperdebatkan, yaitu thaharah sebagai syarat untuk
dapat melaksanakan thawaf, karena masing-masing kelompok ini mendasarkan
pendapatnya pada dalil-dalil ijma'.
Metode Penelitian
Dalam
penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.
Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang terdapat dalam objek penelitian, kemudian
melakukan analisis terhadap hasil temuan-temuan dalam objek (Ratna, 2012, hlm.
53).
Untuk
tahapan analisis teks naskah ini menggunakan pendapat para ahli, dengan tujuan
untuk mengembalikan sebuah teks ke bentuk asalnya.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini meliputi;
transliterasi dan suntingan teks, sehingga menghasilkan edisi teks yang mudah
dibaca dan mudah dipahami oleh pembaca. Setelah memudahkan pembacaan,selanjutnya menghadirkan/mendeskripsikan tinjauan kandungan
isi dalam naskah.
Hasil
dan Pembahasan
1. Analisis
Pendapat Ibn Mas�ud Al-Kasani dan Istimbat Hukum Tentang �Thawaf bagi Wanita Haid
Pada bagian ini penulis mencoba
menganalisis pandangan pendapat Imam Ibnu Mas�ud Al-Kasani yang memperbolehkan
wanita yang sedang mengalami haid, adalah sebagai berikut:
1. Imam
Ibnu Mas�ud Al-Kasani adalah salah satu ulama dari golongan rasionalis (ahlu
ra�yi), sehingga hasil pemikirannya terkadang berbeda dengan pemikiran ulama
Ahlul Hadits yang lebih mengedepankan nash-nash yang ada.
2. Beliau
adalah salah satu pengikut Imam Abu Hanifah, dimana beliau berpendapat bahwa
apabila seorang perempuan melakukan thawaf dalam kedaan haid, maka hal tersebut
tidaklah mencukupi, sunnah baginya mengulangi
thawafnya dan harus membayar dam. Berdasarkan keterangan ini maka penulis bisa
mengambil gambaran bahwa keberadaan pemikiran Ibnu Mas�ud Al-Kasani masih
terikat dengan madzhab yang ia anut yakni Imam Abu
Hanifah tersebut. padahal Jumhur Ulama menganggap
bahwa thawaf harus dilaksanakan dalam keadaan suci dari haid dan nifas
berdasarkan ketentuan nash-nash yang ada.
3. Dalam
pandangan kalangan Hanafiyah mereka membedakan antara pengertian fardhu dengan
wajib. Sedangkan kalangan ulama lain sebagaimana Imam Syafi�i, Imam Malik dan
Imam Ahmad bin Hambal menyamakan pengertian fardhu dan wajib dengan sesuatu
yang harus dilakukan dalam suatu ibadah, walaupun kalangan Syafi�iyah sendiri
membedakan istilah rukun dan wajib dalam masalah yang ada pada ibadah haji.
Dimana rukun adalah sesuatu yang harus dilakukan dalam pelaksanaan ibadah haji
dan tidak bisa diganti dengan dam jika ditinggalkan, sementara wajib haji
adalah sesuatu harus dilakukan dalam pelaksanaan ibadah haji tetapi bisa diganti
dengan membayar dam jika ditinggalkan.
4. Keumuman
makna yang terkandung dalam firman Allah yang memerintahkan orang yang sedang
beribadah haji untuk melakukan thawaf, sebagaimana firman Allah SWT sebagai
berikut :
وَلْيَطَّوَّفُوْا
بِالْبَيْتِ
الْعَتِيْقِ
(الحج/33: 29)
Artinya:�Dan hendaklah mereka melakukan thawaf
sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)�. (QS. Al-Haj/33: 29)
Sehingga
Imam Ibnu Mas�ud
Al-Kasani berpandangan bahwa ayat ini merupakan suatu perintah yang bersifat
mutlak dan tidak mensyaratkan adanya taharah bagi pelakunya. Sehingga beliau
memperbolehkan wanita haid melakukan thawaf.
5.
Imam
Ibnu Mas�ud
Al-Kasani berpendapat bahwa tidaklah bisa membatasi kemutlakan satu ayat dalam
Al-Qur�an, sebagaimana ayat di atas hanya dengan membandingkan satu hadits
saja, sebagaimana dibatasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Buhari dan
Imam Musliam berikut ini:
عَنْ
جَابِرٍ
رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ:
قَالَ
رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
الطَّوَافُ
صَلَاةٌ
إِلَّا أَنَّ اللهَ
أَبَاحَ
فِيْهِ
الْكَلَامَ
(رواه البخاري
ومسلم)
Artinya: Dari Jabir ra, Rasulullah SAW bersabda :�Thawaf adalah sebagaimana pelaksanaan
shalat, tetapi sesungguhnya Allah SWT memperbolehkan berbicara ketika sedang
Thawaf� (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Karena
hadits ini mengandung makna tasybih (yakni menyerupakan thawaf dengan
shalat) sebagaimana makna tasybih yang terkandung dalam firman Allah SWT
berikut ini:
وَأَزْوَاجُهُ
أُمَّهَاتُهُمْ
(ألأحزاب/33 :6)
Artinya:�Dan
istri-istrinya (nabi Muhammad) adalah ibu-ibu mereka�(QS. Al-Ahzab/33: 6). Yakni sebagaimana ibu-ibu mereka.
Imam Ibnu Mas�ud Al-Kasani dalam
hal ini berusaha menguatkan pendapatnya dengan kedua ayat ini, karena keumuman
perintah thawaf pada ayat pertama dan penyamaan thawaf dengan shalat
dari sisi pahala dan hukum pelaksanaannya.
6.
Makna hadits �Thawaf adalah seperti
shalat� pada hadits di atas adalah thawaf menyerupai shalat bukan pada
makna yang sebenarnya (hakikat), sekiranya hal tersebut tidak mengharuskan
adanya taharah bagi pelakunya. Dari keterangan ini kita bisa melihat bagaimana
beliau menggunakan nalarnya dalam menetapkan suatu hukum.
7.
Selanjutnya beliau memberikan solusi
bagi wanita yang mengalami haid atau nifas ketika ia akan sedang melakukan
ibadah thawaf, sebagaimana gambaran berikut:
a. Jika ia masih
di Makkah, maka baginya wajib mengulangi thawafnya karena hal tersebut berarti
mengganti/menutupi hal yang sejenis dari apa yang telah ia tinggalkan.
b. Jika ia
mengulangi pelaksanaan thawaf masih dalam waktu/masa diperkenankan berqurban (Ayyamun
Nahr), baginya tidak ada kewajiban apapun. Namun jika mengahirkan sampai
habisnya Ayyamun Nahr, maka ia wajib membayar dam
sebagai ganti dari apa yang ia tinggalkan sebagaimana pendapat Imam Abu
Hanifah.
c. Jika ia tidak mengulangi/melaksanakan
thawaf dan kembali ke keluarganya/negerinya (padahal ia masih punya kewajiban
thawaf), maka ia wajib membayar dam berupa seekor kambing jika ia dalam keadaan
hadats kecil, dan wajib membayar dam berupa unta (badanah) jika ia dalam
keadaan junub, berdasarkan hadits yang bersumber dari Imam Ibnu Abbas ra.
Dari ketentuan ini, penulis bisa
memahami bahwa Imam Ibnu Mas�ud Al-Kasani berpendapat bahwa thawaf adalah sesuatu
yang bisa digantikan dengan dam. Ini membuktikan bahwa pemikiran beliau
masih tidak keluar dengan pemikiran pendiri madzhab yang beliau ikuti, yakni
Imam Abu Hanifah.
8.
Hasil
Ijtihad golongan Hanafiyah yang dimunculkan Imam Ibnu Mas�ud Al-Kasani merupakan solusi bagi wanita
yang mengalami haid atau nifas lebih lama dari keumuman (yakni 7 hari umumnya
perempuan mengalami haid dan 40 hari umumnya perempuan mengalami nifas)
sementara waktu ia di Mekah tidak mencukupi karena kebijakan negara/pemerintahnya
memberikan pembatasan waktu� pada para
jamaah haji berada di Mekkah dan Madinah.
Kesimpulan
Mengenai
Pendapat Ibnu Mas'ud al-Kasani, dalam kitabnya Bada'i As-Shanai'
menjelaskan bahwa thaharah dari hadats, janabah, haid dan nifas, maka
hal tersebut bukanlah syarat yang menyebabkan seseorang tidak diperkenankan
melakukan thawaf. Karena dalam hal ini,
beliau mengistimbatkan hukum, dengan membedakan antara fardhu Haji dan wajib
Haji. Menurut beliau, fardu ialah sesuatu yang
harus dilaksanakan (dipenuhi), maka jika ditinggalkan hajinya tidak sah, dan
tidak diperbolehkan menggantinya dengan membayar dam (denda), Sedangkan
wajib haji ialah yang tidak harus dilaksanakan (dipenuhi). Sehingga diperbolehkan melakukan thawaf tanpa thaharah
(suci) dari hadats, janabah, haidh dan nifas, dan
harus menggantinya dengan membayar dam.
Imam
Ibnu Mas'ud al-Kasani melihat adanya keumuman makna yang terkandung dalam
firman Allah surat al-Hajj ayat 29 yang memerintahkan orang yang sedang
beribadah haji untuk melakukan thawaf, sehingga Ibnu Mas'ud al-Kasani Imam Ibnu
Mas'ud al-Kasani berpandangan bahwa ayat ini merupakan suatu perintah yang
bersifat mutlak dan tidak mensyaratkan adanya thaharah bagi pelakunya. Sehingga
beliau memperbolehkan wanita haid melakukan thawaf
BIBIOGRAFI
Abd. Madjid, Ahmad. 1993. Seluk Beluk Ibadah Haji dan Umrah. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Aby Bakar, Sayyid. 1988. I�anah At-Thalibnin Lil Hasiyah Fathul Mu�in. Bandung: Syirkah Al-Ma�arif.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2000. Bulughul Maram. Bairut: Daar Al-Kutub.
Al-Bahuti. 1998. Kasysyaf al-Qina'an Matn al-Iqna'. �Bairut: Daar Al-Fikr.
Al-Baihaqi. 1996. As-Sunan Lil Baihaqi. Bairut-Libanon: Dar Al-Fikr.
Al-Bukhari. 1978. Shahih Al-Bukhari. Bairut-Libanon:
Dar Al-Fikr.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad.
1994. Fiqhul Mar'atil Muslimah Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Jaziri, Abd al-Rahman. 1991. Kitab al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah, Beirut: Dar al Fikr.
al-Kahlawi. 2009. Buku Induk Haji dan Umrah untuk Wanita. Jakarta: Zaman.
Al-Kasany, Ibn Mas�ud. 1996. Bada�i ash
Shanai� fi al Tartib al syarai�. Bairut: Darul Kutb
al Alamiyah.
Al-Musnad, Muhammad bin 'Abdul Aziz. 2002. Fatwa- fatwa Haji dan Umrah, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Cet. II.
Al-Nawawi. 1998. al-Idhah fi Manasikil Hajj. Bairit-Libanon, Daar Al-Fikr.
Arikonto, Suharsismi. 1996. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta,
As-Saukani. 1993. Nailul Authar, Bairut: Daar Al-Fikr.
As-Shiddieqy, TM. Hasbi. 1999. Pedoman Haji, Semarang.
PT. Rizki Putra.
At-Thabari. 1983. Al-Qira Li Qashid Al-Qura. Bairut-Libanon, Daar Al-Fikr.
Daradjat, Zakiah. 1998. Haji Ibadah Yang Unik. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Departemen Agama RI. 1996. Al-Qur�an� dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra.
Hadi, Sutrisno. 1989. Metodologi Research,
Yogyakarta : Andi Offset.
Halim, Abdul. 2002. Ensiklopedi Haji dan Umrah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Harun, Nasrun. 1996. Ushul Fiqih. Jakarta:
Logos, Cet. I
Hidayat, Komaruddin. 2000. Pluralisme Agama dan Problema Sosial. �Jakarta.
Ibn Rusyd. 1998. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayat Al-Muqtashid. Bairut-Libanon: Daar Al-Fikr.
Ibnu Katsir. 1996. Tafsir Ibnu Katsir. Bairut: Daar Al-Fikr
Ibrahim, Syaikh Muhammad. 2001. Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Jakarta: Darul Haq
Imam Malik. 1996. Al-Muwattha. Bairut-Libanon: Daar Al-Fikr
Imam Muslim. 1993. Shahih Muslim. Bairut-Libanon: Daar Al-Fikr.
Juhaily, Wahbah. 1998. Fiqhul Islamy Wa Adillatuh. Bairut Libanon: Dar Al-Fikr.
Mughiyah, M. Jawab. 1992. Fiqih Lima Madzhab. Bagian I, Jakarta; Basris Press. Cet. III
Muhajir, Neong. 1989. Metologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin
Narbuko, Chalid. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. II
Razak, Nasruddin. 1984. Dienul Islam. Bandung: PT. Al-Ma�arif.
Sabiq, Sayyid. 1991. Fiqh As-Sunnah. Bairut Libanon: Daar Al-Fikr. Cet. IV
Suryabrata, Sumaidi. 1996. Metode Penelitian. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.