Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 5, Mei 2022

 

FENOMENA TREN PERCERAIAN DAN PERKAWINAN KEMBALI MENJELANG KEDATANGAN ANAK MANUSIA

 

Stefanus Yulli Sapto Ajie1, Ana Lestari Uriptiningsih1, Tri Endah Astuti2

Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Yogyakarta, Indonesia1, Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia Yogyakarta, Indonesia2

Email[email protected][email protected], [email protected]

 

Abstrak

Fenomena meningkatnya tren perceraian yang diikuti dengan perkawinan kembali terhadap jemaat kristen sekarang ini, jumlahnya semakin bertambah banyak. Dari tahun ke tahun, perceraian bukannya berkurang, tetapi justru semakin menunjukkan peningkatan. Indonesia termasuk Negara dengan jumlah perceraian tertinggi di dunia. Kasus perceraian di Indonesia kembali melonjak. Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Tanah Air mencapai 447.743 kasus pada 2021, meningkat 53,50% dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 291.677 kasus. Laporan ini menunjukkan kalangan istri lebih banyak menggugat cerai ketimbang suami. Sebanyak 337.343 kasus atau 75,34% perceraian terjadi karena cerai gugat, yakni perkara yang gugatannya diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh Pengadilan. Bahkan kejadian perceraian dan perkawinan kembali tidak hanya terjadi pada kalangan jemaat Tuhan tetapi juga melibatkan para hamba Tuhan, yang berdampak menghalangi Kekristenan dalam memenuhi perannya sebagai terang dan garam dunia. Pemahaman pernikahan dalam kekristenan masa kini telah mengalami pergeseran makna dan telah dipersempit dengan berbagai-bagai pemahaman yang tidak sesuai dengan hakikat dan pengertian pernikahan dalam Alkitab. Padahal pernikahan adalah kehendak dan inisiatif Allah. Allah menciptakan laki-laki yakni Adam dan melihat bahwa tidak baik manusia itu seorang diri, sehingga di ciptakan-Nya seorang perempuan sebagai penolong bagi Adam, yakni Hawa. Kejadian Pasal 3 telah merubah segalanya, sebagai akibat manusia jatuh kedalam dosa, segala konsep kehendak Allah pada diri manusia menjadi rusak, manusia cenderung mengikuti kehendak bebas hatinya, bukan kehendak bebas yang dikehendaki oleh Allah, sebagai akibatnya banyak kalangan orang kristen bahkan seorang pemimpin gereja atau hamba Tuhan yang melakukan praktek perceraian dan perkawinan kembali. Sekalipun dalam Matius 19, difirmankan tentang larangan perceraian dan pernikahan kembali. Kasus perceraian membuat kehidupan iman Kristen tidak bisa menjadi teladan.

 

Kata Kunciperceraian; perkawinan kembali; perzinahan; sikap gereja; kedatangan  anak manusia; peristiwa nuh

 

Abstract

The phenomenon of the increasing trend of divorce followed by remarriage among Christian congregation is increasing at this time. From year by year, the divorce case is not decreasing, but actually increasing. Indonesia is one of the countries with the highest divorce rate in the world. Somehow, the divorce cases in Indonesia have escalated again. According to the Indonesian Statistics report, the number of divorce cases reached as many as 447,743 cases in 2021, it shows an increase of 53.50% compared to 2020 which reached 291,677 cases. According to this data, wives file for divorce more frequently than husbands. A total of 337.343 divorces, or 75.34% of all divorces, occurred as the result of judicial divorce, namely cases where the lawsuit was brought by the wife and resolved by the court. Even divorce and remarriage incidents occur not only within the church but also among the God's servants. This matter has definitely prevented Christianity from fulfilling its role as the light and salt of the world. The meaning of marriage in Christianity today has shifted and been restricted with many interpretations that are not in accordance with the nature and understanding of marriage in the Bible. God created Adam and saw that it was not good for man to be alone. That is why He created a woman named Eve as the helper for Adam. Genesis Chapter 3 has changed everything. As a result of human sin, all concepts of God's will in humans become corrupted, and humans tend to follow the free will of their hearts rather than the free will desired by God. As a result, many Christians and even church leaders or servants of God have committed divorce and remarriage. Even though, Matthew 19 says matter about the prohibition of divorce. Divorce cases have demonstrated that believers' lives cannot be set as a good example.

 

Keywords: �divorce; remarriage; adultery; church attitude; the coming of the son of man; noah's events

 

Pendahuluan

Fenomena perkawinan kembali yang terjadi setelah perceraian, merupakan rententan peristiwa sebagai akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa, Kebebasan yang diberikan oleh Allah telah disalah gunakan dengan sempurna oleh manusia akibat manusia meragukan kebaikan Allah terhadap manusia. Peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa sebagai akibat intrik-intrik yang dilakukan oleh iblis. Ibils dengan leluasa menyusup kedalam Taman Eden, menggoda Hawa untuk menuruti kemauan si Ular Tua ini. Sementara sang Adam tidak mampu menjaga Hawa dan menjaga dirinya sendiri, sehingga tanpa kompromi ikut serta mempertanyakan kebaikan Allah atas hidup manusia.

Manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna berbeda dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Di ciptakanNya laki -laki dan perempuan. Di bumi ini banyak manusia bisa menciptakan sesuatu, tetapi manusia tidak dapat menciptakan yang namanya keluarga. Allah menciptakan dan membentuk sebuah Keluarga dan itu di mulai pada waktu manusia ada di Taman Eden. Akibat manusia memilih untuk taat kepada Setan maka manusia jatuh ke dalam dosa. Dan dosa tersebut merusak rencana Allah dan menghancurkan yang namanya keluarga. Berbagai tantangan yang di hadapi oleh keluarga pada hari-hari terakhir ini menjelang kedatangan Anak Manusia semakin lama semakin berat di rasakan.

Setelah manusia jatuh kedalam dosa, bukan hanya fisik manusia mengalami penurunan dalam kekuatan, intelektual, emosional, tetapi diikuti dengan perubahan karakter, sifat dan mentalitas manusia. Manusia kehilangan kesempurnaan bathin dan kehidupan social, salah satu bentuknya hubungan relasi pasangan suami istri akan diwarnai dengan konflik yang berujung pada perceraian dan pernikahan kembali (Keener & Another, 1991).

Perceraian dan Pernikahan Kembali sudah menjadi bagian kehidupan yang saat ini tidak lagi dapat dipisahkan dari kehidupan orang Kristen, karena peristiwa ini sudah banyak terjadi dan dilakukan oleh orang-orang Kristen. Seolah-olah menjadi kebiasaan dan mekanisme dalam keluarga bahwa perceraian dan perkawinan kembali bukan hal baru dan tabu untuk dipermasalahkan. Disamping itu perdebatan tentang perceraian dan pernikahan kembali juga terus menimbulkan perbedaan pandangan di dalam gereja atau denominasi yang berkaitan dengan perdebatan biblika, pastoral, teologi, kemanusia dan etika.

Pernikahan merupakan sebuah peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan umat beragama, tidak terkecuali agama Kristen. Namun seringkali kita melihat bahwa pernikahan kristen itu juga mengalami banyak persoalan ditengah-tengah umat Tuhan. Disatu sisi Tuhan tidak menghendaki perceraian dan pernikahan kembali, tetapi disisi lain manusia yang Dia ciptakan itu justru melakukannya.

Fredy Simanjuntak, mengatakan bahwa persoalan serta tantangan keluarga pasca-modern adalah menemukan keseimbangan hubungan dalam kehidupan orang dewasa dan kehidupan anak-anak mereka dan untuk menemukan nilai-nilai yang konsisten yang dapat diperkuat dalam komunitas yang penuh kasih (Ahdiat, 2022).

Fransiskus Irwan Widjaja, masalah dan konflik dalam pasangan suami istri adalah bagian dari hidup manusia, yang tidak pernah terlepas dari kehidupan sehari-hari sehingga konflik perlu penanganan dan dicarikan jalan keluarnya yang berdasarkan kebenaran firman Tuhan bukan mengikuti kehendak bebas manusia yang sebebas bebasnya (Wallace, 1996).

Otieli Harefa, pasangan suami istri perlu adanya keseimbangan dan harmonisasi, keluarga sebagai komunitas bersama dan keluarga tidak dapat dimonopoli oleh suatu elemen saja tetapi menjadi saranan bagi semua anggota untuk belajar dan bertumbuh secara social dan rohani.

Persoalan perceraian dan pernikahan kembali selalu diperhadapkan dengan berbagai pandangan dan sikap yang berbeda. Berbagai pandangan dan sikap ini dipengaruhi oleh perilaku manusia sendiri. Ada yang berpandangan tentang perceraian dan pernikahan kembali dalam kekristenan yang menyetujui perceraian dan pernikahan kembali, tidak menyetujui perceraian dan pernikahan kembali, ada yang menyetujui dengan syarat, ada yang menyetujui perceraian tetapi tidak menyetujui pernikahan kembali (Early Christian Literature, 2nd ed., 1979).

Gereja Katolik, mengakui adanya perpisahan dan tidak mengakui adanya perzinahan serta pernikahan kembali (Simanjuntak, 2018).

Martin Luther membolehkan perceraian apabila dasar alkitabiahnya dapat dibenarkan, dan dapat mengijinkan pernikahan kembali apabila dasar perceraiannya diakui secara hukum dan sah (Widjaja, 2018).

John Feinberg dan Paul Feinberg, sama sekali tidak mengakui adanya perceraian dan pernikahan kembali (Gushee, 2008).

Norman Geisler, perceraian tidak dapat dibenarkan secara moral, tetapi pernikahan kembali diperbolehkan, apabila telah ada pertobatan yang patut dan telah diakui.

William Heth dan Gordon Wenham, secara moral, perpisahan atau perceraian diperbolehkan berdasarkan perzinaan bagi pihak yang benar, tetapi secara moral, pernikahan kembali tidak iperbolehkan (News.detik.com, 2018).

Joe Trull, perceraian dan pernikahan kembali berdasarkan perzinaan diperbolehkan, termasuk yang ditinggalkan oleh pasangan yang tidak beriman (Kent-Jr, 2008).

Craig� S.� Keener,� perzinaan,� perpisahan,� penganiayaan,� fisik,� dan berbagai bentuk imoralitas yang berat membolehkan perceraian dan pernikahan kembali (Trull, 1997).

Stanlay Grenz, perceraian dan pernikahan kembali diizinkan apabila maksud Allah bagi pernikahan telah dirusakkan oleh dosa dan kegagalan (Feinberg, 1993).

Lewis Smedes, perceraian adalah sah secara hukum dan secara moral apabila sebuah pernikahan telah mati dan tidak dapat dipertahankan lagi. Perkataan firman Tuhan dengan jelas menuliskan dalam Matius 5:32; Matius 19:9; Markus 10:11-12; Lukas 16:18 menyatakan bahwa, perbuatan laki-laki yang menceraikan istrinya saja sudah mengakibatkan si wanita berzinah dan siapa yang menikah dengan wanita yang diceraikan ia berbuat zinah, perbuatan menceraikan istri dan menikah dengan wanita lain ia sudah hidup dalam perzinahan dan begitu juga dengan sebaliknya apabila wanita dengan sengaja menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain,ia sesungguhnya sudah berbuat zinah, perbuatan menceraikan istri dan menikah dengan perempuan lain, ia berbuat zinah dan begitu juga dengan sebaliknya.

 

Metode Penelitian

Metode kualitatif merupakan metode yang fokus pada pengamatan yang mendalam. Penggunaan metode kualitatif dalam penelitian ini dapat menghasilkan kajian atas suatu fenomena yang lebih komprehensif. Penelitian kualitatif yang memperhatikan humanisme atau individu manusia dan perilaku manusia merupakan jawaban atas kesadaran bahwa semua akibat dari perbuatan manusia yang dipengaruhin oleh internal individu. Aspek internal tersebut seperti kepercayaan, pandangan tentang alkitabiah firman Tuhan, kehendak bebas atas keinginan ego manusia yang tidak berdasarkan kebenaran firman Tuhan, dan lingkungan serta latarr belakang sosial dari individu yang bersangkutan. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi eksegese pendalaman Alkitab, yaitu mengkaji secara mendalam apa yang terdapat dalam Matius 19:1-12 tersebut serta dengan mencocokan hasil eksegese dengan fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Kristen yang terjadi dimasa sekarang.

Fenomena perceraian dan perkawinan kembali disajikan dengan berbagai sumber pustaka, yang berkaitan dengan penulisan karya ilmiah ini berdasarkan pernyataan tertulis firman Tuhan didalam Matius 5:32; Matius 19:9; Markus 10:11-12; Lukas 16:18 dan 1 Korintus 7:10-11, maka diperoleh hasil eksegese biblika research sebagai berikut :

Pertama, pernikahan Kristen merupakan persekutuan yang bersifat monogami dan seumur hidup. Kedua, perzinahan merusak fondasi pernikahan, tapi hal itu tidak boleh dijadikan alasan legal untuk bercerai. Ketiga, perceraian tidak pernah dianjurkan maupun diperintahkan. Keempat, hanya perpisahan yang diperbolehkan, bukan perceraian dengan tujuan untuk rekonsiliasi. Kelima, pernikahan kembali dengan orang yang sudah bercerai merupakan pelanggaran (kesalahan); Keenam, penyelesaian masalah perceraian dan pernikahan kembali yang telah terjadi adalah tanggung jawab warga gereja secara komunal (keseluruhan) untuk mendapatkan kembali mereka yang telah berpisah dari pasangannya.

 

Hasil dan Pembahasan

A   Ketetapan Hukum Kerajaan Allah Dalam Matius 19:1-12 Mengenai Pernikahan, Perceraian Dan Pernikahan Kembali

Hal yang harus dipahami dan dimengerti dalam benak setiap orang percaya, bahwa apa yang sudah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Kebenaran nilai firman Tuhan adalah ya dan amin dan firman Tuhan dalam alkitab adalah benar dan tidak pernah salah.

Tuhan Yesus kembali menegaskan bahwa ketika laki-laki dan perempuan saling mengikat janji dihadapan Allah, maka Allah telah mempersatukan keduanya menjadi satu. Kata dipersatukan dalam bahasa Yunani berada dalam bentuk kalimat aorist indicative active, artinya ketika mereka menyatakan perjanjian nikah, akibatnya keberadaan keduanya menjadi satu secara rohani, jiwani hingga klimaknya satu daging melalui mekanisme persetubuhan, karena itu keduanya telah menjadi satu kesatuan sempurna dan tidak terpisahkan (Her, n.d.).

Pendapat Theo Christi didukung oleh M� Niele Alan, setiap pasangan suami istri yang menikah adalah reproduksi dari Adam dan Hawa, sehingga kesatuan mereka tidak dapat dipisahkan (Lewis B. Smedes, 1983).

Selanjutnya kata diceraikan atau cerai dalam bahasa Yunaninya dalah chorizo atau chorizeto, artinya adalah menempatkan ruang atau kamar diantara kedua belah pihak ada kamar terpisah, atau melepaskan ikatan kuk Illahi atas pernikahan yang telah dipersatukan oleh Tuhan. Didalam pernikahan adat Yahudi masa lalu, seorang suami menceraikan istrinya dengan cara memberikan surat cerai kepada perempuan yang telah dinikahinya. Dengan demikian diantara mereka terdapat ruang pemisash atau penyekat, yang memungkinkan bagi keduanya untuk melakukan pernikahan kembali dengan orang lain (Maidiantius, 2005).

Sedangkan ketetapan Tuhan tentang pernikahan, perceraian dan pernikahan kembali berdasarkan eksegese Matius 19:1-12 adalah sebagai berikut :

 

1)  Matius 19:1, Yesus Berangkat Dari Galilea Ke Yudea

Daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan, daerah ini disebut Perea, dan daerah ini dikuasai oleh Herodes Antipas (peristiwa pembunuhan Yohanes Pembaptis), penduduknya pada waktu itu adalah orang Yahudi (Norman Geisler, 2010). Yesus bergerak menuju Yerusalem untuk menggenapi nubuatNya dalam Matius 16:21.

2)  Matius 19:2, Yesus Menyembuhkan Mereka

Pelayanan Yesus menyembuhkan orang-orang sakit. Pelayanan yang bersifat kasih, kasih yang Agape, tetapi justru orang-orang Farisi memahaminya dengan pola pikir yang negative, dengan cara mencobai dan menjebak Yesus.

3)  Matius 19:3, Orang Farisi Mencobai Dia

Yesus justru dicobai dan dijebak oleh tokoh-tokoh Farisi. Orang Farisi mencobai Yesus dengan berusaha menarik Yesus masuk ke dalam kontroversi perdebatan antara Shammai dengan Hillel. Mereka adalah rabi-rabi Yahudi yang bertentangan pendapat tentang syarat perceraian yang mereka tafsirkan dari Ulangan 24:1-4 (Norman L. Geisler, 1989). Kata-kata yang tidak senonoh dalam Ulangan 24:1 menunjuk pada perzinahan. Maka hanya kalau terjadi perzinahan maka perceraian diijinkan, kata Shammai Sedangkan Hillel menyatakan kalimat ia tidak menyukai lagi perempuan itu dalam Ulangan 24:1 dan lalu menafsirkan bahwa segala tindakan istri yang tidak menyenangkan suami boleh dijadikan alasan untuk menceraikan istri.

Pandangan Hillel lebih banyak diterima, khususnya oleh orang laki-laki, dari pada pandangan Shammai. Orang Farisi mempertanyakan apakah Yesus setuju dengan pandangan perceraian. Jawaban Tuhan Yesus, kembali pada dasar penciptaan manusia, Allah hanya menciptakan manusia Laki-laki dan Perempuan, artinya hanya terdiri satu laki-laki dan perempuan.

4)  Matius 19:4, Jawaban Yesus Yang Pertama

Matius 19:4 bandingkan dengan Kejadian 1:27 atau Kejadian 5:2. Dengan tujuan untuk mengingatkan mereka tentang penciptaan manusia pertama kalinya. Allah hanya menciptakan 1 laki-laki dan 1 perempuan, sehingga Allah jelas tidak menghendaki polygamy maupun orang yang berganti-ganti pasangan.Yesus berkata, οὐκ ἀνέγνωτε ὅτικτίσας ἀπ᾽ ἀρχῆς ἄρσεν καὶ θῆλυ ἐποίησεν αὐτούς; (tidakkah kamu telah membaca bahwa Dia yang telah menciptakan dari semula telah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan). Kata αὐτούς (mereka) adalah manusia. Akan tetapi, jika kita meneliti teks Yunaninya maka αὐτούς dalam ayat 4 ini menunjuk pada ἀνθρώπῳ �τὴν γυναῖκα αὐτου dalam ayat 3, yang mengacu pada seorang suami dan isterinya yang bersifat monogami. Hal ini menjadi dasar penolakan terhadap pernikahan poligami dan pernikahan sesame jenis. Dengan demikian, Yesus menegaskan dalam ayat 4 ini bahwa Allah menciptakan seorang suami dan isterinya (Maryono, 2016).

5)  Matius 19:5, Jawaban Yesus Yang Kedua

Matius 19:5 bandingkan dengan Kejadian 2:24 Pasangan suami isteri yang terikat didalam pernikahan kudus didalam Tuhan, baik sebagai suami dan atau sebagai istri harus lebih mengutamakan hubungannya dengan pasangannya dari pada hubungannya dengan orang tuanya. Bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging. Kata bersatu terjemahan hurufiahnya adalah shall be glued to (dilem melekat kepada). Ketika menciptakan manusia, Allah bermaksud agar laki-laki dan istrinya menjadi satu daging, sehingga setiap gangguan yang memecahkan pernikahan merupakan pelanggaran kehendak Allah. Artinya bahwa kehendak ayat firman Tuhan ini adalah menentang konsep polygamy maupun perceraian Yesus menegaskan bahwa suami dan isterinya yang telah diciptakan oleh Allah itu ἔσονται οἱ δύο εἰς σάρκα μίαν. Kala future dalam kata kerja ἔσονται ini memiliki makna prediktif, artinya tindakan atau peristiwa yang itu pasti akan terjadi nanti. Unsur waktu menjadi tekanan dimana seorang suami dan isterinya, keduanya itu pasti akan menjadi satu, bukan lebih dari satu. Yesus memberikan penjelasan tentang keberadaan atau natur dari suami dan isterinya, yaitu ὥστε οὐκέτι εἰσὶν δύο ἀλλὰ σὰρξ μία (karena itu mereka sekarang bukan lagi dua melainkan satu daging).

Kata kini εἰσὶν bukan hanya menunjukkan titik awal seorang suami dan isterinya menjadi satu daging dari segi waktu melainkan juga dari segi aspek tindakan menyatakan natur atau keberadaan mereka adalah satu daging secara linier (terus menerus). Berdasarkan konteks ayat ini, yang membuat keberadaan atau natur suami dan isterinya sedemikian ini adalah Allah sendiri. Itulah sebabnya, Tuhan menyimpulkan, ὃ οὖνθεὸς συνέζευξεν ἄνθρωπος μὴ χωριζέτω (karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia). Kata ἄνθρωπος yang tidak berartikel ini tidak menunjuk pada pengertian yang tak tentu sebagai manusia siapa saja, melainkan sesuai dengan alur argumentasi Yesus dan konteksnya lebih menunjuk pada suami dimana seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya dengan alasan apapun. Partikel μὴ dalam ayat 6 ini menegaskan bahwa tindakan, keinginan, hasrat dan ide untuk melakukan perceraian adalah tidak boleh.

6)  Matius 19:6, Strategi Yesus Menjawab Orang Farisi

Menjawab pertanyaan orang Farisi, tentang perceraian dan pernikahan kembali, Yesus sama sekali tidak membahas Ulangan 24:1-4, tetapi Ia menggunakan ayat-ayat lain yang lebih jelas lebih mudah dipahami. Penegasan tentang kesatuan antara laki-laki dan perempuan yang dipersatukan dalam sebuah ikatan, tiak boleh di putuskan oleh manusia. Istilah Yunani mempersatukan menggunakan kata συνεζευξεν (mengikat mereka dalam satu kuk) yang dalam Bahasa Indonesia diartikan dipersatukan. Istilah jangan dipisahkan yang menggunakan kata μή χωρίζέτω, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah dengan tidak boleh diceraikan. Jadi apa yang telah diikat oleh Tuhan dalam hubungan sebuah pernikahan janganlah dipisahkan oleh seorang manusia, kata Yunani yang dipakai untuk manusia adalah kata ανθρωπόζ yang berarti manusia dalam hal ini adalah laki-laki, maka semakin terlihat kaitan yang sangat jelas bahwa Tuhan Yesus hendak mengingatkan para orang Farisi secara khusus dalam hal ini para laki-laki yang memiliki kebiasaan menceraikan istrinya. Kehadiran Yesus di Galilea adalah bagian dari proses memproklamirkan dirinya adalah merupakan sebuah Misi Agung bagi penyelamatan seluruh umat manusia. Di bawah dominasi pemerintahan Romawi Yesus datang untuk membawa perubahan baru yang sama sekali berbeda dengan cara pemerintahan Romawi yang lebih banyak menekankan tindakan ketidak adilan dan kekerasan lainnya. Yesus membawa harapan bagi mereka yang sedang mengalami penindasan dan penganiayaan.

7)  Matius 19:7, Surat Cerai Yang Diberikan Musa Bandingkan

Ayat 7 Dengan Matius 5:31 Dan Ulangan 24:1-4. Ayat 7 tertulis kata Musa memerintahkan, namun Yesus menggunakan kata mengijinkan bukan memerintahkan (dalam ayat 8), bukan sesuatu yang ersifat mutlak, tidak menghalalkan keiinginan manusia untuk bercerai, atau menganggap bahwa bercerai tidak berdosa, maka yang terjadi adalah karena ketegaran hatimu maka Musa mengijinkan hal itu. Supaya tidak terjadi hal yang lebih buruk seperti istri dipukuli, tidak diberi makan, maka Musa akhirnya mengijinkan perceraian.

Iblis ingin merusak hubungan suami dan isteri yang mendapat mandat misi dari Allah untuk penyelamatan manusia, maka mendengar Jawaban Yesus yang tegas, tidak membuat orang-orang Farisi itu berhenti untuk mencobai Yesus. Mereka melontarkan pertanyaan kedua, yaitu: Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya (Matius 19:7). Pertanyaan ini berbeda secara substansi dengan pertanyaan pertama. Sebab, pertanyaan ini berkaitan dengan jawaban Yesus dalam ayat 8-9. Terhadap pertanyaan orang-orang Farisi dalam ayat 7, Yesus menyatakan dengan tegas bahwa alasan Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya, yang sejajar artinya dengan Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu adalah �Karena ketegaran hatimu� (Matius 19:8).

Kata ketegaran hati ini adalah sklerokardia, yang berasal dari kata sklerod yang artinya keras, berontak dan kordia atau hati. Ketegaran hati berbicara tentang mereka telah mengeraskan hati, menolak kehendak Tuhan yang menginginkan kondisi pernikahan umatNya tetap monogamy dan berada dalam kesatuan yang permanen. Namun untuk menutupi maksud dan keinginan hatinya yang tersembunyi (Markus 7:21-23), orang-orang Farisi bersikeras mengatasnamakan Musa. Musa yang memerintahkan kepada kami suapaya kami� memberikan� surat� cerai� dalam� kasus� ketidaksenonohan� atau� zinah, sehingga mereka dapat menceraikan istri dan melakukan pernikahan kembali.32 Sesungguhnyan Ulangan 24:1-4 bermakna sama sekali tidak memberi ijin cerai / memberi syarat perceraian, tujuan ayat-ayat itu untuk memperingatkan seseorang, bahwa kalau ia menceraikan istrinya dan istrinya lalu kawin lagi dengan orang lain, maka sesudah orang lain itu menceraikan perempuan itu, atau bahkan setelah orang lain itu mati sekalipun, laki-laki pertama tidak boleh tidak gampang-gampang bercerai, karena kalau suatu hari ia menyesal dan ingin rujuk, ia tidak bisa rujuk (kalau istri yang dicerai itu belum kawin lagi, maka rujuk diijinkan, tetapi kalau sudah kawin lagi, rujuk tidak lagi dimungkinkan).

8)  Matius 19:8, Jawab Yesus Tentang Surat Cerai

Yesus mengatakan bahwa Musa mengijinkan perceraian, karena Musa tidak melarang perceraian secara tegas, dan karena karena ketegaran hatimu maka itu dianggap Musa memberi surat cerai. Waktu Yesus berkata Musa mengijinkan, Yesus tidak membahas Ulangan 24, tetapi dalam praktek kenyataannya, Musa memang mengijinkan perceraian. Tetapi Yesus berani secara terang-terangan mengecam perceraian, padahal Yesus berada di Perea yang termasuk wilayah kekuasaan Herodes Antipas. Yesus tahu bahwa Yohanes Pembaptis dibunuh gara-gara menegur Herodes tentang kawin-cerai. Yesus juga secara terang-terangan menentang Hillel, padahal pandangan Hillel adalah pandangan mayoritas orang Yahudi, pada saat itu! Yesus tidak berusaha untuk jadi netral. Yesus juga tidak takut menentang pandangan mayoritas.

Matius 19:8 diterjemahkan tetapi sejak semula tidaklah demikian bukan menunjuk kepada sikap Musa sebelumnya, melainkan pada rancangan Allah menciptakan suami-isteri. Ayat 8 ἀπ᾽ ἀρχῆς δὲ οὐ γέγονεν οὕτως sejajar dengan Matius 19:4 ἀπ᾽ ἀρχῆς ἄρσεν καὶ θῆλυ ἐποίησεν αὐτούς. Yesus menegaskan bahwa surat cerai adalah tanda ketegaran hati manusia yang menolak rancangan Allah menciptakan suami-isteri. Inilah makna tindakan Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu. Tindakan Musa itu bukanlah tindakan pembenaran atau membolehkan melainkan tindakan pengumuman tentang sebuah ketegaran hati manusia, yaitu suami-isteri, yang melawan rancangan dan ketetapan Allah.

9)  Matius 19:9, Pengajaran Tentang Perceraian Dari Yesus

Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah. Kalau terjadi perzinahan, maka diijinkan untuk bercerai bahkan untuk kawin lagi. Secara sederhana dapat dikatakan jika saya menceraikan istri saya dan menikah dengan perempuan lain saya berbuat zina. Bandingkan dengan Matius 19:6 bagi orang kristen perceraian dilarang secara mutlak dalam keadaan apapun. Tetapi sekalipun ada dasar Matius 19:9, banyak yang menafsirkan bahwa orang kristen secara mutlak tidak boleh berzinah, bahkan kalau terjadi perzinahan sekalipun. Alasan mereka kontex dari Matius 19:3-9, jelas menentang perceraian. Maka Matius 19:9 tidak dapat dijadikan sebagai dasar alasan untuk bercerai kemudian menikah kembali. Jangan memahami pengertian firman Tuhan dengan memenggal ayat demi kepetingan ego manusia.

Matius 19:9 tidak menyatakan bahwa Yesus mengizinkan perceraian, sebaliknya menyatakan tindakan menceraikan isteri lalu menikah dengan perempuan lain sementara isterinya masih hidup adalah sebuah perbuatan zinah. Ini terlihat dari teks Yunani ayat 9, yaitu λέγω δὲ ὑμῖν ὅτι ὃς ἂν ἀπολύσῃ τὴν γυναῖκα αὐτοῦ μὴ ἐπὶ πορνείᾳ καὶ γαμήσῃ ἄλλην μοιχᾶται. Kata penghubung δὲ dalam ayat 9 ini jelas menegaskan kontras antara sikap Musa dan Yesus. Musa mengizinkan perceraian sementara Yesus menegaskan bahwa tidak boleh bercerai dengan alasan apapun, sebagaimana yang dinyatakan-Nya sebelumnya dalam ayat 4-6, dan seorang yang menceraikan isterinyalalu menikah sementara pasangannya masih hidup itu adalah perbuatan perzinahan yang disebut μοιχᾶται. Kata Yunani zinah ini adalah μοιχᾶται, sebuah kata yang umum untuk perzinahan dalam dunia Helenis. Kata ini menunjuk pada pelanggaran hubungan seksual perselingkuhan dalam keluarga yang sah. Klausa perkecualian yang tidak umum dalam ayat 9 ini, μὴ ἐπὶ πορνείᾳ (LAI: kecuali karena zinah), tidak merujuk pada kesucian hubungan suami-isteri yang sah dan dipahami pada umumnya, sebagaimana nampak dalam penggunaan kata yang berbeda, yaitu πορνείᾳ, bukan μοιχᾶται melainkan merujuk pada kesucian pihak wanita sepanjang masa pertunangan (Matius 1:18-19). Klausa perkecualian ini muncul untuk menjelaskan kepada pembaca Injil Matius yang adalah berlatar belakang Yahudi itu agar tidak salah paham tentang apa yang dimaksudkan oleh Yesus dalam ayat 9. Di sisi lain, hal ini juga menjelaskan ketiadaan klausa ini dalam perikop paralelnya di Injil Markus (Markus10:11) yang dialamatkan kepada mereka yang bukan orang Yahudi. (Matius 19:9 dengan Matius 5:31-32).

Siapa yang menceraikan istrinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan istrinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah. Artinya Yesus masih memberikan ijin untuk bercerai karena zinah karena ada perselingkuhan baik wanita idaman lain atau pria idaman lain (Matius 5:31-32).

Jika saya menceraikan istri saya, saya menyebabkan istri saya berbuiat zinah, dan jika seseorang menikahi engkau (mantan istri saya), ia (pria itu) berbuat zina .Yesus memiliki alasan tertentu. Dalam konteks Yahudi, seorang istri dapat diceraikan oleh suaminya tetapi seorang istri tidak dapat mengajukan permohonan perceraian terhadap suaminya. Seorang laki-laki lain dapat mengambil perempuan tersebut menjadi istrinya, tetapi istri yang telah diceraikan tidak dapat mengambil laki-laki itu sebagai suaminya. Dengan demikian istri yang telah diceraikan hidup dalam pernikahan yang tidak sah dengan suaminya yang baru. Hal ini bukan karena kemauannya atau keputusannya, tetapi karena situasi yang menimpanya. Itulah sebabnya Yesus berkata setiap orang yang menceraikan istrinya, ia menjadikan istrinya berzinah, sebagaimana yang dinyatakan sebelumnya, maka pernikahan kembali selama isteri atau suaminya masih hidup adalah sebuah perbuatan perzinahan (1 Korintus 7:39).

Dengan demikian, ada empat hal yang ditekankan oleh Yesus dalam Matius 5:31-32. Pertama, perceraian bukan didasarkan pada surat cerai. Kedua, perceraian terjadi kecuali karena perzinaan. Ketiga, setiap orang yang menceraikan istrinya berarti ia menjadikan istrinya berizina. Keempat, laki-laki yang menikah dengan perempuan yang diceraikan suaminya, laki-laki itu berbuat zina.

10)    Matius 19:10, Respon Para Murid Tentang Beratnya Hukum Perkawinan

Para murid Yesus menganggap bahwa pengajaran Yesus sangat berat bagi kehidupan para murid pada saat itu, kecenderungan berpihak kepada pandangan Hilel yang menyebabkan mereka berkata lebih baik tidak usah kawin. Lebih baik jangan kawin adalah sesuatu yang tidak Alkitabiah. Bertentangan dengan Kejadian 2:18.

Karena penegasan Yesus inilah maka murid-murid berkata kepada-Nya, Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin. Respon para murid ini mendukung kesimpulan bahwa Yesus tidak memberi peluang untuk bercerai bagi pasangan yang sudah menikah dengan alasan apapun. Menanggapi keberatan para murid itu Yesus menyatakan tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja.

11)    Matius 19:11, Jawaban Yesus Tentang Dasar Orang Yang Tidak Kawin

Kata tetapi selalu mengkontraskan bagian yang di depannya dengan bagian yang di belakangnya. Artinya bahwa Yesus tidak setuju dengan kata-kata murid-murid dalam ay 10.

Kata tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu. Terjemahan Alkitab versi LAI kurang tepat, lebih tepatnya menerima (NIV/KJV).

Kata hanya mereka yang di karuniai saja, artinya mereka yang diberi karunia untuk tidak kawin, yang berarti Walaupun kadang-kadang pernikahan bukan merupakan sesuatu yang menguntungkan, tidak semua orang dapat hidup tanpa menikah.

12)    Matius 19:12, Jawaban Yesus Tentang Dasar Orang Yang Tidak Kawin

Kategori orang yang tidak dapat kawin, Orang yang memang tidak bisa kawin dari lahir. Orang-orang yang lahir dalam keadaan tidak normal pada alat kelamin mereka sehingga mereka memang tidak bisa kawin.

Orang yang dijadikan demikian oleh orang lain. Orang-orang semacam sida-sida, penjaga harem raja yang dikebiri oleh raja (2 Raja Raja 20:18).

Orang yang membuat dirinya sendiri demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Surga.

Orang yang secara sengaja tidak mau kawin (sekalipun ia bisa kawin) demi Tuhan / gereja.

Matius 19:12 Yesus menegaskan bahwa ada orang yang tidak dapaakawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.

B    Pengertian Dan Esensi Perkawinan Kristen

Esensi dalam pernikahan kristen adalah kehendak Allah, Allah yang menciptakan laki-laki dan perempuan pada masa penciptaan, dan Tuhan juga yang telah mempersatukannya. Dalam pernikahan pertama ini telah menjadi standar dalam pernikahan Kristen berikutnya. Rencana besar Allah dalam pernikahan menjadi bagian penting dari tujuan pernikahan itu sendiri. Esensi pernikahan Kristen tidak boleh dipisahkan oleh manusia. Pernikahan bukan program dan rencana dari manusia, melainkan rencana Allah dari awal penciptaan manusia.

Kesatuan dalam penikahan tidak bisa dipisahkan manusia. Karena itu apa yang persatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia dengan demikian sesungguhnya pernikahan merupakan kesatuan yang sempurna. Matius 19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Dengan demikian perceraian merupakan larangan Firman Tuhan jika dilakukan manusia maka itu dosa.

Dalam tradisi Yahudi, tahapan ini esensinya adalah berkaitan dengan berkuasanya laki-laki sepenuhnya terhadap istri, perempuan yang dinikahinya dan menjalani kehidupan secara bersama-sama. Idealnya keluarga selalu memiliki hubungan erat atau dapat dianalogikan dengan rumah, karena sebuah keluarga tentunya disatukan dalam rumah. Kegagalan hubungan suami dan istri yang diikuti dengan perceraian adalah salah satu dari sekian banyak realitas yang terjadi dalam kehidupan manusia. Perceraian menurut orang Yahudi adalah sebuah fakta yang dapat terjadi dalam kehidupan suami-istri. Pembahasan mengenai pernikahan selalu dibarengi dengan perdebatan mengenai perceraian.

Kejadian 2:18, Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, banyak orang memilih konsep ini mengambil sikap dalam hidupnya untuk menikah. Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan, satu untuk yang lainnya untuk saling melengkapi. Keluarga adalah tiap orang sadar bahwa dia adalah bagian dari pada kelompok tersebut. Iblis tidak serta merta tinggal diam, iblis tetap ber semangat untuk mengaburkan keluarga tumbuh begitu pesat, dengan konflik keluarga, perceraian dan pernikahan kembali, namun tetap kerinduan untuk membangun satu keluarga yang bahagia telah menjadi satu cita-cita yang sangat luhur bukan hanya diantara mereka yang konservatif terhadap nilai-nilai norma tetapi diantara yang menganut nilai-nilai kebebasanpun tercita-cita.

Sepanjang hidup pernikahannya, semua pasangan akan menghadapi tekanan-tekanan baru. Tekanan-tekanan tersebut mungkin berasal dari luar pernikahan, mungkin juga dari dalam pernikahan itu sendiri, atau bahkan dari hal-hal yang sudah lama terpendam jauh di dalam diri mereka masing-masing. Menyesuaikan diri untuk hidup harmonis dengan seseorang, menyeimbangkan tugas-tugas karier yang sedang menanjak, membesarkan anak-anak dan memberi dukungan satu sama lain adalah tugas yang sangat kompleks.

Dalam pandangan dunia, pernikahan sering dikaitkan dengan kebahagiaan. Semua orang ingin bahagia, tetapi Alkitab tidak menaruh kebahagiaan sebagai tujuan terakhir dari pernikahan. Kalau kita hanya mencari kebahagiaan dalam pernikahan, suatu saat kita akan kecewa terhadap pernikahan kita dan kita berpikir kita telah salah menikah karena ternyata kita lebih banyak menderita. Tujuan pernikahan adalah bagaimana Kristus berelasi dengan jemaat. Kebahagiaan adalah tuaian yang disediakan bagi mereka yang taat kepada kehendak Tuhan dalam hidupnya.

Yesus menegaskan lebih tentang perkawinan yang mantap dengan melukiskan diri-Nya sebagai mempelai laki-laki (Matius 25:1-13); Markus 2:19; Matius 22:1-4). Dia memberkati perkawinan yang terjadi di Kana (Yohanes 2:1-11). Dalam ajaran-Nya Dia tidak membedakan martabat laki-laki dan perempuan di hadapan Allah. Orang-orang Kristen diharapkan untuk memberi contoh melalui pernikahan yang mantap. Pernikahan menyatukan dua pribadi yang memiliki banyak kelemahan manusiawi yang pada awalnya menonjol. Pernikahan dirancang untuk menjadi sebuah tim. Dalam pernikahan, kita saling memberi dan menerima dan membuat komitmen terhadap pasangan kita. Banyak tindakan kita yang dipengaruhi oleh pola masa lalu. Kita sekarang menyadari bahwa kita setia mengikuti pola itu, dan tindakan kita terpaksa terikat kuat pada pola masa lalu kita. Pola masa lalu ini juga mempengaruhi cara kita memberi dan menerima cinta.

Satu tujuan pernikahan ialah menghindari percabulan, perselingkuhan, perkawinan kembali. I Korintus 7:2 menjelaskan bahwa Allah tidak merestui pernikahan dengan banyak istri (poligami) atau yang dengan sejenis (homoseks/lesbian). Seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan adalah pola pernikahan yang pertama-tama diterapkan Allah. Bagaimanapun, suami istri tidak dibenarkan menyalahgunakan hak istimewa mengenai kasih seksual yang menjadi bagian yang normal dalam pernikahan. Tubuh istri adalah milik suaminya, dan tubuh suami adalah milik istrinya, masing-masing harus penuh perhatian terhadap pasangannya.

C   Semakin Ramainya Tren Kawin Cerai Dikalangan Orang Percaya Menjelang Kedatangan Anak Manusia

Maraknya tren kawin cerai tidak hanya terjadi dikalangan jemaat Tuhan, bahkan pemimpin gereja tetap memberkati atau sekedar memberi surat kelengkapan di kantor Pencatatan Sipil, bagi jemaatnya, sehingga pernikahannya bisa dicatat Negara, kondisi yang sama juga terjadi di kalangan hamba-hamba Tuhan itu sendiri, perceraian dan pernika menjadi sebuah hal yang biasa, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Dengan berdalih dari pada kumpul kebo, terlanjur berbadan dua, sementara dengan kecanggihan teknologi dan IT orang percaya berani membuat data palsu demi untuk lancarnya prosesi pernikahan. Sementara sang pemimpin gereja tidak kalah canggihnya dalam melaksanakan praktek perceraian dan pernikahan kembali. Sekalipun jabatan pemimpin gerja atau Gembala Sidang terletak diatas pundaknya. Lebih parahnya lagi sang Gembala Sidang menyarankan untuk mereka yang sudah bercerai untuk menikah lagi. Wooooowww mengerikan. Penyesatan memang harus ada, tetapi celakalah yang merancangkannya dan yang mengadakannya (Matius 18:7).

Salah satu tanda tentang kedatangan Anak Manusia atau akhir jaman adalah peristiwa air bah dijaman Nuh (Matius 24:37-39) dan peristiwa ditunggang balikkan Sodom dan Gomora di jama Lot (Kejadian pasal 18 & 19; Kejadian 13:13; Yehezkiel 16:49-50; Imamat 18:22), akan terulang kembali. Keberadaan perilaku manusia sekarang ini bisa jadi merupakan kondisi yang harus terjadi berhubungan dengan penggenapan tanda tanda akhir jaman kedatangan Anak Manusia yang kedua kalinya.

Matius 24:37-39, Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada edatangan Anak Manusia. Sebab sebagaimana mereka pada zaman sebelum air bah itu makan dan minum, kawin dan mengawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.

Firman Tuhan sudah sangat jelas mendiskripsikan tantang keadaan akhir jaman sebagai kedatangan Anak Manusia. Salah satu bentuk yang akan terjadi adalah adanya goncangan social berupa meningkatnya angka perceraian yang diikuti oleh pernikahan kembali diseluruh wilayah dunia, artinya berlaku secara global. Manusia gemar makan dan minum, kawin dan mengkawinkan, secara kontekstual menunjukkan kegemaran manusia untuk mengumbar hawa nafsu. Sebagai parameternya adalah pola kehidupan yang gemar kawin cerai. Manusia tidak mengerti tentang kaidah yang terdapat dalam lembaga pertama kali yang telah dibangun oleh Allah di Taman Eden, yaitu lembaga keluarga. Kejatuhan Manusia Adam dan Hawa ke dalam dosa dan pelukan iblis, merubah Taman Eden menjadi Taman BerEdan, faktanya manusia gemar makan dan minum, kawin dan mengawinkan, artinya mengandung konotasi meningkatnya angka pasangan suami istri yang bercerai di seluruh dunia, dan kian hari kian bertambah banyak menjelang kedatangan Anak Manusia. Sehingga ytang terjadi adalah bumi sudah rusak di hadapan Tuhan dan penuh dengan kekerasan. Tuhan memandang bumi itu dan melihat bumi memang sudah rusak, karena semua manusia sudah berdosa dalam cara hidupnya di bumi. Fenomena di bumi di mana dunia dan orang-orang di dalamnya sudah rusak hingga ke tingkat yang ekstrem, itulah yang dimaksud dengan, bumi penuh dengan kekerasan.

Kondisi Sodom dan Gomora pada waktu itu, juga menjadi pertanda diakhir jaman ini. Alkitab mencatat kejahatan Sodom dan Gomora sudah sebegitu besarnya. Bahkan tamu Lot pun berusaha mereka pakai yang dalam bahasa Ibraninya yada, artinya mengenal atau melakukan hubungan seksual dengan atau hubungan seksual seperti halnya pria dengan wanita. Mereka tidak mengetahui bahwa tamu Lot adalah malaikat utusan Allah, sekalipun laki-laki Sodom dan Gomora mendobrak masuk pintu rumah Lot, mereka tidak mendapatkan tamu Lot oleh karen mata mereka dibutakan oleh Allah. Secara teologis penyimpangan seksual ini, Yudas mengatakan, sama seperti Sodom dan Gomora dan kota kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang. Namun demikian orang-orang yang bermimpi-mijmpian ini juga mencemarkan tubuh mereka dan menghina kekuasaan Allah serta menghujat semua yang mulia di surga (Yudas1:7-8).

D   Kecuali Karena Zinah Menjadi Dasar Alasan Zaman Now Untuk Perceraian Dan Pernikahan Kembali

Kasus-kasus perceraian yang terjadi sebagai akibat keadaan ekonomi yang buruk, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), PHK dan tidak memperoleh pekerjaan dan penghasilan, tekanan orang tua akibat hubungan sex diluar nikah dan terjadi kehamilan. Akumulasi persoalan yang tidak kunjung selesai, sehingga hal-hal sepele menjadi pemicu perceraian. Alasan yang paling sering muncul akibat adanya Pria Idaman Lain atau Wanita Idaman Lain yang berujung pada perselingkuhan dan perzinahan.

Dari interview dan pengamatan langsung terhadap responden, banyaknya kasus perceraian keluarga pasutri kristen sekarang ini yang diikuti dengan pernikahan kembali cenderung semata-mata melegalkan hubungan sexual menghindari perzinahan, padahal dengan pernikahan kembali ia sendiri melakukan perzinahan, artinya seseorang yang menyatakan tidak melakukan perbuatan dosa atau zinah, tetapi dalam kehidupannya ia melakukan tabiat dosa, sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri, bahwa apa yang saya lakukan ini adalah benar. Akibatnya setiap pasungan suami istri yang kedapatan melakukan perselingkuhan dan perzinahan menjadikan dasar bagi pasangannya untuk menggungat cerai dan kemudian melakukan pernikahan kembali.

Kemorosotan moral kekristenan inilah hingga akhirnya Yesus menjawab pertanyaan orang Farisi, karena ketegaran hatimulah maka Musa meberikan surat cerai. Kata ketegaran hati yang menunjuk kepada makna memberontak untuk menuruti kehendak bebasnya agar terpenuhi tanpa memikirkan akibat dosa yang harus ditanggunganya. Dalam bahasa kasarnya sudahlah itu urusan nanti kalau sudah meninggal. Diikuti dengan keinginan daging yang dilegalkan oleh lembaga gereja dan lembaga pencatatan sipil dari pihak Negara.

E    Sikap Gereja Atas Tren Kawin Cerai

Konsep pernikahan membentuk keluarga monogamy adalah rancangan dan kehendak Allah. Allah adalah Pencipta laki-laki dan perempuan sejak semula, dan Dia sendiri yang membentuk lembaga pernikahan. Tujuan-Nya adalah bahwa seksualitas manusia akan mencapai kepenuhannya dalam pernikahan, dan bahwa pernikahan menjadi sebuah kesatuan menjadi satu daging (Matius.19:6; Roma7:2). Tetapi akibat perceraian, manusia melanggar perjanjian dan kehendak Allah tersebut. Maka Gereja perlu memikirkan dan mempersiapkan pernikahan jemaat Tuhan dengan konsep-konsep pernikahan keluarga seperti yang dikehendaki Allah. Gereja harus menyampaikan pengajaran Alkitab yang menyeluruh tentang pernikahan (pelbagai keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik hubungan, yang bermanfaat dalam pernikahan dan juga pelbagai aspek kehidupan gereja yang lain). Penyampaian bimbingan Pra dan Pasca Pernikahan yang disajikan dalam bentuk kotbah, pengajaran atau kelas-kelas katekisasi maupun kelas-kelas bimbingan pranikah gereja harus sesuai dan seperti yang dikehendaki Allah dan norma pernikahan, yakni kesetiaan yang eksklusif, berkomitmen dan seumur hidup. Allah memaksudkan pernikahan sebagai komitmen seumur hidup antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.

Perceraian melanggar perjanjian atau ikrar tersebut. Karena itu, perceraian tidak pernah dibenarkan dengan alasan apa pun. Apa yang disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia (Matius 19:6). Perceraian tidak diperintahkan di bagian mana pun di dalam Alkitab, dan bahkan tidak pernah dianjurkan. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia‖ (Matius 19:6; Markus 10:9). Ketika Tuhan Yesus ditanya tentang perceraian, Ia kembali pada kisah penciptaan.

Demikian juga denghan sikap Rasul Paulus dengan menulis 1 Korintus 7:10-11 dengan tegas melarang perceraian. Alasan Paulus bahwa Allah memaksudkan pernikahan sebagai ikatan atau komitmen yang permanen, yang berakhir hanya ketika salah satu pasangannya meninggal (Roma7:1-3; 1 Korintus 7:10-11). Larangan Tuhan Yesus kepada suami supaya jangan menceraikan isterinya (dan sebaliknya isteri tidak boleh menceraikan suaminya) menyatakan bahwa ikatan pernikahan tidak dapat dibubarkan atau diretakkan.

Perintah larangan Allah untuk bercerai semestinya dimengerti secara absolut.Tetapi jika didapati pasangan suami istri terjadi perzinahan, yang tidak dapat diperbaiki kembali keadaannya, maka jalan keluarnya adalah hidup yang berpisah bukan hidup yang bercerai, artinya bahwa perzinahan itu tidak secara otomatis atau bukanlah suatu keharusan yang mengarah kepada perceraian, melainkan lebih menjadi kesempatan berdamai dan kesempatan untuk saling mengampuni. Hendaklah suami atau isteri yang jatuh ke dalam dosa zinah itu menyesalinya dan memohan pengampunan kepada Tuhan dan pasangannya.

Maidiantius mengatakan ketika kita memaafkan kesalahan seseorang, saat itu juga kita berdamai dengan seseorang yang membuat kita jengkel, marah dan kecewa. Dan janganlah pernah menyimpan kekesalan dan kemarahan terhadap pasangan kita sampai berhari-hari, melainkan berinisiatif untuk membicarakan dan memaafkan guna mencapai titik temu kesepakatan jika mengalami konflik dengan pasangan kita. Dengan saling memaafkan akan membuat keutuhan semakin kuat dan kebahagiaan dipulihkan kembali.

1 Korintus 7:10-11, kepada orang-orang yang telah kawin aku, bukan aku, tetapi Tuhan perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh berpisah dari suaminya. Dan jikalau ia berpisah, ia harus hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya‖. Paulus memberikan semacam konsekuensi kepada orang Kristen tertentu yang hendak bercerai, yaitu bahwa ia sesudah perceraiannya lebih baik tetap sebagai orang yang tidak menikah.

Paulus menawarkan apa yang ia nyatakan sebagai perkataan Tuhan Yesus bahwa pasangan tidak boleh berpisah satu dari yang lain; tetapi jika mereka berpisah, mereka harus hidup tanpa suami/isteri atau berdamai, dengan pasangannya itu. Dengan kata lain, jika perpisahan sudah terjadi, jangan bercerai, jika perceraian telah terjadi, jangan menikah kembali. Sebaliknya mereka diminta untuk mencari perdamaian sementara masih ada kesempatan. Ini merupakan sebuah pegangan ajaran yang eksplisit dari Tuhan Yesus yang dilaporkan oleh Paulus, yang memandatkan inisiatif yang mengubah untuk menyembuhkan pernikahan yang mengalami cedera.

Ruth Schafer dan Freshia Aprilyn Ross, hidup berdamai adalah hal yang dinilai Paulus lebih tinggi daripada ikatan pernikahan.

J. Verkuyl, perbuatan zinah itu tidak boleh menjadi alasan untuk bercerai, tetapi mereka terpanggil untuk saling mengampuni dan mulai lagi dengan permulaan yang baru.

Sikap gereja di dalam pelayanan pastoralnya menghadapi warganya yang hendak bercerai, yakni tidak melepaskan pengharapan akan terjadinya rekonsiliasi dalam pernikahan. Gereja menyampaikan pengajaran yang jelas dan praktis tentang tugas dan cara pengampunan karena perdamaian atau rekonsiliasi merupakan esensi, merujuk pada lembaga pernikahan yang awal.

Tujuan semula Allah adalah pernikahan, bukan perceraian. Perdamaian atau rekonsilias, penyesalan dan pertobatan mengubah situasi. Gereja berusaha lebih aktif dalam pelayanan perdamaian atau rekonsiliasi ini sebagai upaya pencegahan terhadap tindakan perceraiandan pernikahan kembali. Gereja harus menegakkan standar Allah terhadap pernikahan monogami seumur hidup. Gereja mengizinkan hanya perpisahan saja, bukan perceraian untuk dapat didamaikan kembali kepada rancangan-Nya semula bagi pernikahan. Sebab perceraian bukanlah bagian dari rancangan-Nya atas pernikahan yang dibentuk-Nya.

Penyelesaian atau jawaban dari konflik dalam pernikahan, bukanlah meninggalkan pernikahan atau perceraian, melainkan menghadapi masalah tersebut dan memohon kepada Tuhan Yesus untuk berkuasa dan memerintah dalam pernikahan, karena Ia adalah satu-satunya yang dapat merobohkan tembok-tembok kekerasan yang memisahkan suami dengan isteri dengan kasih-Nya. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan (Efesus 2:14).

 

Kesimpulan

Muncul pandangan-pandangan dalam menyikapi pernikahan, perceraian dan pernikahan kembali Pandangan yang menyatakan tidak menyetujui perceraian dan pernikahan kembali, menyetujui perceraian dan pernikahan kembali dan pandangan menyetujui perceraian, tetapi tidak menyetujui pernikahan kembali, munculnya pandangan tersebut didasarkan pada frasa yang terdapat dalam Matius 19:9, kecuali karena zina.

Permulaan perzinahan terjadi akibat keinginan bebas manusia yang didorong oleh libido manusia sendiri, yang mengarah kepada hawa nafsu untuk memilikinya. Atau pros to epithymesai autēn, Dalam bahasa Yunani kata yang mengarah pada hawa nafsu adalah epithymeō (bernafsu), melihat dengan dengan hawa nafsu Pernikahan kudus tidak boleh dicemari oleh dosa percabulan yang merusak hubungan pernikahan, Tuhan memandang serius tentang dosa perzinahan, sehingga muncul kecuali perzinahan, karena hakekat pernikahan itu kudus dan tidak terceraikan oleh manusia.

Allah mengijinkan perceraian dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia memerintahkannya (Ulangan 24:1-4). Perceraian itu diijinkan bukan diperintahkan (Matius 19:8). Artinya, perceraian adalah konsensi Ilahi bukan konstitusi Ilahi. Perceraian merupakan kelonggaran bukan norma atau standar Allah. Kehendak Tuhan untuk pernikahan tidak pernah diubah ataupun dibatalkan. Karena manusia tidak menaati kehendak Tuhan, maka hukum diperkenalkan dan hukum ini tidak membenarkan perceraian atau mengatakan bahwa perceraian kini sudah menjadi kehendak Tuhan, tetapi hukum ini mengaturnya.

Sikap manusia yang melakukan praktek perceraian dan pernikahan kembali menunjukkan 1) Tidak menghargai karya penciptaan Allah sebab Allahlah yang menciptakan suami dan isterinya, bukan sekedar menciptakan manusia secara umum; 2) Tindakan merusak dan tidak percaya terhadap karya penciptaan Allah yang sungguh amat baik (bdk. Kej.1:31); 3) Tidak meyakini rancangan indah dari Allah bagi seorang suami dan isteri yang diciptakan-Nya bahwa mereka pasti akan menjadi satu daging, dan; 4) Merusak natur kesatuan suami-isteri yang dibentuk oleh Allah dan bersifat pasti serta progresif Rekonsiliasi adalah pilihan pertama yang disodorkan Tuhan dan bukan perceraian (1 Korintus 7:12-14). Sebaiknya, selama memungkinkan maka perceraian dihindari dan mengusahakan rekonsiliasi bagi pernikahan, perlu untuk mengampuni dan menerima kembali pasangan yang telah berzinah. Allah tidak menghendaki perceraian dengan alasan apapun kecuali maut (kematian), karena rancanga Allah dari mulanya bahwa keluarga (Suami dan Isteri) adalah rekan kerja Allah untuk suatu tugas misi atas dunia ini yaitu tugas memelihara, menguasai dan mengusahakan dunia ini (Kejadian 2:28).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ahdiat, Cindy Mutia Annur dan Adi. (2022). kasus perceraian meningkat mayoritas karena pertengkaran. Retrieved from databoks.katadata.co.id website: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/28/kasus-perceraian-meningkat--mayoritas-karena-pertengkaran

 

Early Christian Literature, 2nd ed., Chicago. (1979). Early Christian Literature, 2nd ed., Chicago. The University of Chicago Press.

 

Feinberg, John S. Feinberg dan Paul D. (1993). Ethics for a Brave New World Wheaton. Ill.: Crossway.

 

Geisler, Norman. (2010). Etika Kristen: Pilihan dan Isu Kontemporer. Malang: SAAT.

Geisler, Norman L. (1989). Christian ethics. Baker Book House.

 

Gushee, Glen H. Stassen dan David P. (2008). Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini. Surabaya: Momentum.

 

Her, J. J. de. (n.d.). Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

 

Keener, Craig S., & Another, Marries. (1991). Peabody Mass. Hendrickson.

 

Kent-Jr, Homer Austsin. (2008). Matius Dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe. Charles F., Malang: Gandum Mas.

 

Lewis B. Smedes, Mere Morality. (1983). What God Expects form Ordinary People, Grand Rapids, Mich Eerdmans.

 

Maidiantius. (2005). Konflik Dalam Pernikahan. Jurnal Jaffray, 3(1).

 

Maryono, Petrus. (2016). Gramatika & Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Yogyakarta: STTII Yogyakarta.

 

News.detik.com. (2018). hampir setengah juta orang bercerai di indonesia sepanjang 2018.

 

Simanjuntak, Fredy. (2018). Problematika Disorganisasi Dan Disharmonisasi Keluarga. in Keluarga Yang Misioner.

 

Trull, Joe. (1997). Walking in the Way, Nashville: Broadman and Holman.

 

Wallace, Daniel B. (1996). Greek grammar beyond the basics: An exegetical syntax of the New Testament. Harper Collins.

 

 

 

 

Widjaja, Fransiskus Irwan. (2018). Manajemen Konflik Keluarga. in Keluarga Yang Misioner.

 

Copyright holder:

Stefanus Yulli Sapto Ajie, Ana Lestari Uriptiningsih, Tri Endah Astuti (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: