Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
����� e-ISSN : 2548-1398
����� Vol. 4, No.8 Agustus 2019
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DEPRESI DAN RESIKO BUNUH DIRI
Endah Sari
Purbaningsih
Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIKes) Mahardika Cirebon
Email:
[email protected]
Abstrak
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kasus depresi. Metode penelitan berupa pendekatan studi kasus (Case Study). ��Sumber data awal
yang diambil sebagai objek penelitian dalam penelitian ini adalah klien dengan depresi dan resiko bunuh diri di Sitopeng. Menggunakan metode
interview bebas (inguided interview). Hasil
penelitian menyatakan bahwa klien
mengalami depresi dan resiko bunuh diri. factor penyebab
depresi diantaranya adalah faktor biologi. �adanya kelainan pada
amin biogenic yang terdapat di dalam darah maupun urin serta cairan
serebrospinal yang ditemukan pada pasien dengan gangguan mood. neurotransmitter pada kejadian depresi adalah peran serotonin
dan epinefrin. �dopamin
yang menurun dapat menyebabkan depresi, keinginan untuk bunuh diri. Hipotalamus
merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang
mengandung neurotransmitter amin biogenic. Pada kondisi
pasien dengan depresi tidak terdapat regulasi neuroendokrin. Dengan tindakan CBT dan SEFT pada klien maupun keluarga menunjukkan
hasil yang signifikasn yaitu klien mempunyai motiviasi kembali, mau untuk
bersosialisasi/berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Kesimpulan orang
yang
mengalami depresi akan menjadi apatis dan menyalahkan
dirinya sendiri sehingga merasa enggan untuk mencari pertolongan. Dampak yang dirugikan akibat depresi antara lain
seperti kurang stabilnya fungsi sosial,
fungsi pekerjaan, mengalami kesulitan untuk berfikir dan berkonsentrasi, juga ketidakberdayaan atas hal yang dipelajari, bahkan mengakibatkan tindakan bunuh
diri yang menyebabkan kematian.
Kata kunci : Depresi, resiko bunuh diri, Cognitive Behaviuor Therapy (CBT)
Pendahuluan
Berbagai� masalah dan problematika hidup semua orang pasti
mengalaminya. Kehidupan yang penuh dengan tekanan dan stres
pada saat ini sedang banyak �dialami seiring dengan kejadian
bencana� alam terjadi dimana-mana. Hal ini dapat memicu seseorang terkena depresi. Perlu
diketahui depresi bukan
hanya terjadi pada orang dewasa atau orang tua, melainkan depresi juga terjadi
pada remaja. Apabila depresi ini tidak segera untuk diatasi maka
keberlanjutannya akan terus dialami oleh remaja tersebut hingga dia dewasa. Karena Usia remaja merupakan masa usia pertumbuhan seseorang yang paling menetukan (Saepudin, 2018). Namun yang lebih
membahayakan adalah munculnya inisiatif melakukan tindakan yang diluar dugaan
yaitu bunuh diri.
Sedang Hinton
menjelaskan bahwa
meskipun depresi yang diderita
tidak terlalu� parah, tetapi resiko bunuh diri tetap
ada (Hinton, 1989).
Depresi dapat diartikan sebagai suatu
gangguan mental ditandai dengan adanya perasaan sedih, putus asa, kehilangan
semangat, merasa bersalah, lambat dalam berpikir, menurunnya motivasi untuk melakukan
aktivitas, dll. Pendertia depresi cenderung di derita oleh para remaja dan orang tua, sebab mereka lebih
cenderung� memperhatikan citra tubuhnya,
rentan mengalami peristiwa-peristiwa yang penuh dengan tekanan dan stres dan
sulit untuk menyesuaikan diri dan berinteraksi dengan orang lain. Hinton
menjelaskan masa
remaja adalah masa� dimana ia sedang mengalami masa perubahan
hormonal, perubahan
tingkat hubungan sosial sehingga remaja lebih cenderung berbeda dalam
mempersepsikan orang tua
(Hinton, 1989).
Akibat dari depresi banyak hal yang dirugikan karenanya antara lain terganggunya fungsi
pekerjaan, fungsi
sosial, merasakan kesulitan berkonsentrasi,
ketidakberdayaan terhadap
suatu hal yang dipelajari, bahkan
hingga tindakan bunuh diri yang menyebabkan kematian. Remaja yang
mengalami depresi dia hanya bisa mengurung diri dikamarnya. Hilang konsentrasi dan percaya diri, semngat hidup
yang terus menurun sampai dengan dia tidak lagi mau bicara dan komunikasi
dengan orang lain.� Remaja ini jadi pesimis memandang
hidupnya, seakan hilang harapan, tidak ada yang bisa memahami dirinya, dan
sebagainya.
Prevalensi kejadian depresi cukup tinggi
hampir lebih dari 350 juta penduduk dunia mengalami depresi dan merupakan
penyakit dengan peringkat ke-4 di dunia menurut WHO. Di Indoneisa prevalensi gangguan mental emosional pada
penduduk berusia ≥ 15 tahun berdasarkan RISKESDAS 2018 adalah 9,8%,
terjadi kenaikan 3,8 % dari tahun 2013, sebelumnya adalah 6%. Sedangkan prevalensi
gangguan depresi penduduk
di atas 15 tahun mencapai 6,1%, dan hanya 9% penderita depresi yang minum
obat/menjalani pengobatan medis. Kejadian depresi
lebih sering pada wanita (10-25%) dibanding pada pria (5-12%). Kejadian depresi
juga lebih tinggi pada usia produktif dibanding pada usia anak remaja maupun
lanjut usia (kemenkes, 2018)
Studi pendahuluan yang dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Sitopeng Kecamatan Harjamukti jumlah pasien gangguan jiwa terdapat 31
kasus, dan 4 kasus depresi.
Dari keempat kasus depresi ini� diantaranya sangat aktif untuk mencoba
melakukan bunuh diri. Untuk itu, peneliti merasa tertarik
untuk melakukan analisa kasus depresi. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kasus depresi dan resiko bunuh
diri.
Metode Penelitian
Jenis
penelitian kualitatif deskriptif adalah berupa penelitian dengan metode atau
pendekatan studi kasus (Case Study) (Danim, 2002). Sumber data awal yang
diambil sebagai objek penelitian dalam penelitian ini adalah klien dengan depresi dan resiko bunuh diri di
Sitopeng. wawancara yang dilaksanakan untuk
memperkuat data yang telah terkumpul adalah dengan menggunakan metode interview
bebas (inguided interview).
Proses
menganalisis hasil data tersebut dilakukan dengan cara: Mengkaji apakah yang
menjadi faktor predisposisi dan faktor presipitasi perilaku klien. Menentukan jenis atau
sumber masalah yang muncul. �Menyimpulkan
hasil analisis data secara induktif, yaitu dengan mengnalisis dari generalisasi atau kesimpulan
umum �kemudian diuraikan menjadi
contoh-contoh kongkrit
atau fakta-fakta yang lebih
khusus utnuk dijelaskan.
Hasil dan Pembahasan
Dari
kasus diatas dapat disimpulkan bahwa klien mengalami depresi dan resiko bunuh
diri. Resiko bunuh diri merupakan beresiko terhadap cedera yang ditimbulkan
sendiri dan mengancam� jiwa (Wilkinson & Ahern,
2012) didukung dengan data�data subjektif
maupun objektif. Data subjektif seperti klien sering mengatakan ingin
mengakhiri hidupnya, merasa tidak berharga dan tidak berguna. Sedangkan� data objektif yang menunjang adalah adanya
riwayat keluarga yang melakukan bunuh diri, klien pernah berusaha melakukan
bunuh diri dengan minum racun serangga.
Dikemukakan �oleh (Sadock & Sadock, 2011) mengatakan segala bentuk kekrasan yang dilakukan oleh si
penderita depresi akan diarahkan secara intern karena identifkasi dengan obyek
lain yang hilang. �Selain itu
juga depresi dikatakan sebagai suatu aspek yang
berasal dari ketegangan dalam ego
seseorang antara aspirasi dan kenyataan seseorang.
Depresi adalah salah satu gangguan mental dan siapapun
dapat mengalaminya. Depresi
dapat disebabkan oleh adanya kekerasan emosional, fisik, minder, bullying. Dampak dari depresi ini diantaranya adalah bunuh diri, menyakiti
diri sendiri. Dalam DSM�IV-GTR dijelaskan bahwa depresi mayor dapat
ditetapkan bila sekurangnya dalam waktu dua minggu ditemukan sedikitnya lima dari gejala dan merupakan satu perubahan fungsi dari
sebelumnya. Diantara gejala yang dimaksud diantaranya adalah mood �tertekan atau hilangnya kesenangan,
berkurangnya berat badan atau bertambah secara signifikan tanpa diet sebanyak
5% dalam sebulan, insomnia atau hypersomnia, lelah, perasaan tidak
berharga, menurunnya konsentrasi,, pikiran tenatng kematian yang berulang.
Seperti dalam kasus ini secara pemeriksaan fisik
maupun pengamatan orang lain, klien mengalami
penurunan berat badan yang signifikan, murung, cepat lelah, senang menyendiri,
dan sebagainya yang merujuk sesuai dengan DSM-IV-Tr tentang depresi. Dalam Kaplan (20000) bahwa factor penyebab depresi diantaranya
adalah faktor biologi. Dalam beberapa penelitian
dijelaskan bahwa adanya kelainan pada amin biogenic diantaranya 5 HIAA
(5-hidroxi indol asetic acid), MPGH (5 methoxy-0-hidroxi phenil glikol), yang
terdapat di dalam darah maupun urin serta cairan serebrospinal yang ditemukan
pada pasien dengan gangguan mood. Terkait dengan itu
adalah neurotransmitter pada kejadian depresi adalah peran serotonin dan
epinefrin. Pada kondisi serotonin dan dopamin yang
menurun dapat menyebabkan depresi, keinginan untuk bunuh diri.
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input
neuron yang mengandung neurotransmitter amin biogenic. Pada
kondisi pasien dengan depresi tidak terdapat regulasi neuroendokrin,
akibat dari kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenic.
Berdasarkan
tahap perkembangan psikologi menurut jean Peaget dalam Sumanto (2014) usia 21 tahun merupakan
usia dalam tahap perkembangan remaja. Perkembangan kognitif remaja, dalam
pandangan Jean Piaget merupakan periode terakhir dan tertinggi
dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, secara idealnya mereka sudah mulai
berkembang dan�
memiliki pola pikir sendiri dalam upaya menyelesaikan segala
masalah yang dihadapinya. Potensi berfikirnya sudah
berkembang sedemikian rupa, sehingga remaja dapat membayangkan berbagai
alternatif tindakan dalam konsep berfikirnya. Para
remaja sudah tidak
lagi hanya menerima informasi secara� apa
adanya, melainkan
mereka terlebih dahulu mengolah informasi tersebut dengan kemudian disesuaikan
dengan pemikirannya sendiri. Mereka juga mampu
mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan
menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan (Sumanto, 2014)
Depresi
memiliki beberapa tingkatan, depresi minor, depresi moderat, dan depresi mayor
hingga berujung ke keinginan bunuh diri atau mengakhiri hidupnya, dikarenakan
merasakan adanya keputusasaan yang berat, tidak semangat, merasa cepat lelah,
tidak adanya nafsu makan (Lumongga, 2009).
Sebenarnya
apabila disesuaikan dengan penjelasan diatas bahwa kemampuan
operasional formal
ini, seorang remaja
hakikatnya mampu
menyesuaikan potensi dirinya
dengan lingkungannya.
Namun dalam kenyataannya yang terjadi di negara-negara� berkembang seperti Indonesia sendiri
baik remaja bahkan sampai dengan orang dewasa tidak sedikit mereka dapat
mencapai sepenuhnya dalam tahapan perkembangan kemampuan operasional formal
ini. Sebagian dari mereka� masih
dalam kategori perkembangan yang tertinggal pada fase sebelumnya, yaitu
pada operasional konkrit,
dimana pola pikir seseorang yang
mereka gunakan mash sangat sederhana. Sudah jelas bahwa pasien/penderita depresi belum
bisa mencapai kemampuan dalam tahapan perkembangan kognitif operasional secara
formal. Sebenarnya pasien telah melewati setiap prsoses berfikir dalam segala masalah, namun ketika dia semakin menambahkan
proses berfikirnya�
maka dia tidak mampu mendapatkan jawaban atas masalah yang� sedang dihadapi oleh si penderita. Penumpukkan permasalahan yang dihadapi oleh klien depresi yang
terus menerus dan tidak mendapatkan jawaban atas semua maslahnya hingga pada
akhirnya dia tidak lagi dapat menahannya. Tapi
dalam proses berpikir itu pasien belum
mampu melihat masalah dari berbagai dimensi, dalam hal ini klien hanya melihat
masalahnya dari sudut pandangnya sendiri. Dia belum mampu berpikir luas,
belum mampu melihat keadaan luar yang jelas lebih menyedihkan dari pada
hidupnya. Yang klien
pikirkan hanyalah bagaimana mengakhiri penderitaannya dengan segera, dan bunuh
dirilah yang menjadi keputusannya, tanpa memikirkan masa depannya.
Peran
keluarga dalam hal ini sangatlah besar sekali dalam hal memberikan support,
motivasi. Support yang dibutuhkan adalah berupa perhatian baik secara materi
maupun immateri. Dengan memperhatikan setiap verbal maupun perilaku yang� diperlihatkan oleh klien. Karena klien dengan
depresi mempunyai afek dan mood yang sangat labil, sensitif, mudah
tersinggung dan mempunyai ide-ide
nihilistik dengan mengungkapkan berupa ancaman untuk mengakhiri
hidupnya.
Pada
kasus pasien ini perawat melakukan
beberapa tindakan berupa terapi generalis dan spesialis selain psikofarmaka.
Terapi spesialis yang diberikan adalah berupa cognitive� behaviour therapy
(CBT)� merupakan
salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada teori bahwa tanda dan gejala
fisiologis berhubungan dengan interaksi antara pikiran, perilaku dan emosi (Roemer, Orsillo, & Salters-Pedneault, 2008)
Sedangkan menurut (Epigee, 2009) CBT adalah suatu terapi yang didasari dari gabungan beberapa
intervensi yang dirancang untuk merubah cara berpikir dan memahami situasi dan
perilaku sehingga mengurangi frekuensi reaksi negatif dan emosi yang
mengganggu. Definisi lain dijelaskan bahwa CBT merupakan suatu terapi psikososial yang mengintegrasikan modifikasi perilaku
melalui pendekatan restrukturisasi kognitif (Martin, 2010).
Adapun tujuan dari diberikannya CBT pada klien penderita depresi
ini adalah memodifikasi fungsi berfikir,
perasaan, bertindak, dengan menekankan fungsi otak dalam menganalisa,
memutuskan, bertanya, berbuat, dan mengambil keputusan kembali. Dengan merubah
status pikiran dan perasaannya, klien diharapkan dapat merubah perilaku negatif
menjadi positif (Oemarjoedi, 2003)
Dengan pemberian CBT, klien diharapkan mampu mengatasi masalah yang timbul
dengan cara yang konstruktif.
Intervensi
CBT yang diberikan kepada klien ini adalah dilaksanakan dalam� 5 sesi, Sesi 1 adalah pengkajian dan latihan untuk mengatasi pikiran negatif pada
diri sendiri. Sesi 2 akan mendiskusikan tentang terapi kognitif, dimana pada
sesi ini akan mengatasi semua hal yang terkait dengan kognitif (pikiran)
negatif individu. Sedangkan sesi 3 adalah terapi perilaku, akan mengubah
perilaku negative menjadi perilaku positif. Sesi 4 adalah evaluasi terapi
kognitif dan terapi perilaku, sedangkan pada sesi 5 adalah pencegahan
kekambuhan. Lima sesi ini lebih difokuskan pada masalah kognitif dan perilaku
negatif yang timbul. Pada sesi 1 dan 2 akan berfokus pada pikiran negative
otomatis dan bagaimana cara mengatasinya, sedangkan sesi 3 untuk mengatasi
perilaku negatif yang timbul, sesi 4 evaluasi latihan kognitif dan perilaku
serta sesi 5 adalah pencegahan kekambuhan.
Selain CBT klien dan keluarga diberikan terapi
spesialis lain yaitu Spiritual Freedom Emotional Tehnik (SEFT). gabungan antara spiritual
power dan energy psychology
dengan menggunakan prinsip menyerupai akupunktur dan akupressur yaitu
merangsang titik-titik kunci di sepanjang 12 jalur energi (jalur meridian)
tubuh yang sangat berpengaruh pada kesehatan manusia dengan menggunakan ketukan
ringan dengan tujuan Memutuskan energy negative terhadap
keluhan dan menumbuhkan energy positip berdasarkan titik meridian tubuh.
Evaluasi
setelah diberikan tindakan asuhan keperawatan klien dan keluarga menunjukkan
adanya beberapa perubahan yang signifikan. Diantaranya adalah klien menunjukkan
adanya motivasi untuk berubah dengan mau bersosialisasi/berinteraksi dengan
temannya, adanya ungkapan dari klien bahwa klien mempunyai keinginan untuk
melanjutkan hidup, ingin bekerja dengan pekerjaan apa saja, ingin menikah dan
mempunyai anak.
Sedangkan
keluarga (ibunya klien) yang� semula
merasa cemas dengan kondisi klien, kemudian akhirnya mendiamkan klien ketika
klien marah, tidak mau beraktivitas, setelah dilakukan SEFT� ada perubahan yang signifikan. Orang tua
klien mengatakan ada perbedaan pasrah sebelum dan sesudah melakukan SEFT, orang
tua klien tampak lebih termotivasi dalam memberikan support kepada klien.
Kesimpulan
Depresi
merupakan suatu kondisi dimana
seseorang mengalami gangguan kesehatan mental yang ditandai
dengan adanya suasana hati yang tertekan, sedih, murung, merasa
bersalah, suka menyendiri, putus
asa, lambat
dalam berpikir, menurunnya
motivasi untuk melakukan aktivitas,
kehilangan
semangat, dll. Pendertia depresi
cenderung dialami oleh para remaja dan orang tua, sebab mereka lebih
cenderung� memperhatikan citra tubuhnya,
rentan mengalami peristiwa-peristiwa yang penuh dengan tekanan dan stres dan
sulit untuk menyesuaikan diri dan berinteraksi dengan orang lain.
Masa remaja
merupaakan masa perubahannhormonal,
perubahan tingkattdan
pola hubungan social sehinggaaremaja
cenderung mempersepsikannorang
tua secara berbeda. Selain itu, pada
masa
perkembangan remaja,
jarang dalam prosesnya�
berjalan tanpa ada hambatan. Banyak masalah yang
dihadapinya bahkan hingga sampai pada titik masalah itu tidak lagi teratasi dan
berujung pada peristiwa depresi yang berkepanjangan dan terus menerus.
Biasanya remaja yang sedang mengalami depresi sikapnya berubah menjadi
apatis dan cenderung selalu menyalahkan
dirinya sendiri sehingga dia menolak untuk ditolong atau
mencari pertolngan dari orang lain.
Dampak
yang merugikan bagi si penderita akibat depresi antara lain ialah seperti
kurangnya fungsi sosial, pekerjaan, dan juga mengalami kesulitan dala berkonsentrasi, kemudian tidak berdayanya� segala hal yang dipelajari, bahkan
hingga tindakan bunuh diri yang menyebabkan kematian. Remaja hanya mengurung
diri di kamar, hilangnya semangat hidup,
hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya
kreativitas, antusiasme dan optimisme. Dia
juga enggan untuk berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, selalu
berfikiran negative tentang dirinya, tentang orang lain, hingga akhirnya hidup
ini menjadi beban yang sangat memeberatkan baginya, dia hanya memandang masalah
lebih besar dari dirinya. Remaja ini berubah menjadi pesimis, seperti sudah tidak punya harapan lagi, tidak ada yang
bisa diandalkan dan menurutnya tidak ada yang bisa
memahami dirinya, dan sebagainya.
BIBLIOGRAFI
Danim, S. (2002). Menjadi peneliti kualitatif. Bandung: pustaka
setia.
Epigee. (2009). CBT for post traumatic stress disorder.
Hinton, D. M. (1989). Transcript analyses of the uvsX-40-41
region of bacteriophage T4. Changes in the RNA as infection proceeds. Journal
of Biological Chemistry, 264(24), 14432�14439.
Lumongga, N. (2009). Depresi tinjauan Psikologis.
Jakarta: Prenada Media Group.
Martin, P. F. (2010). CBT. Retrieved from
http://www.minddisorders.com/Br-Del/Cognitive-behavioral-therapy.html
Oemarjoedi, A. K. (2003). Pendekatan cognitive behavior dalam
psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
Roemer, L., Orsillo, S. M., & Salters-Pedneault, K.
(2008). Efficacy of an acceptance-based behavior therapy for generalized
anxiety disorder: Evaluation in a randomized controlled trial. Journal of
Consulting and Clinical Psychology, 76(6), 1083.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2011). Kaplan and
Sadock�s synopsis of psychiatry: Behavioral sciences/clinical psychiatry.
Lippincott Williams & Wilkins.
Saepudin, A. (2018). HUBUNGAN ASUPAN ENERGI TERHADAP STATUS
GIZI WANITA SUBUR DI KELAS XII IPA SMA NEGERI 1 CIGUGUR KABUPATEN KUNINGAN. Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(7), 1�13.
Sumanto, M. A. (2014). Psikologi Perkembangan (Fungsi dan
Teori). Jakarta: CAPS.
Wilkinson, M. J., & Ahern, N. C. (2012). Buku Saku
Diagnosis Keperawatan Edisi 9 Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil
NOC. EGC: Jakarta.