Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�����
e-ISSN : 2548-1398
�����
Vol. 4,
No. 8 Agustus 2019
PELAKSANAANiiiiiiiiiPENDAMPINGANiiiiiiiiiPSIKOSOSIALiiiiiiiiiiiSEBAGAI PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK
KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL (Studi
di Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab. Kuningan)�
Tina Marlina
Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui
pelaksanaannnpendampinganmpsikososial terhadappanakkkkorban kejahatan seksual yang diatur secara khusus dalam Undang-undang No
35 Tahun 2014 Tentang Pelindungan anak, dengan rumusan masalah
: 1). Pelaksanaan pendampingan psikososial terhadap anak korban
kejahatan seksual, serta 2). Mengetahui berbagai kendala yang
dihadapi oleh Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab.
kuningan dalam melakukan pendampingan psikososial
terhadap anak korban kejahatan seksual. Metode pendekatan yuridis empiris yang digunakan dalam penelitian ini,
yakni penelitian terhadap keadaan yang dialami masyarakat secara langsung atau
lingkungan dari pada masyarakat dengan maksud dan tujuan guna menemukan fakta (fact-finding), yang selanjutnya menuju pada
identifikasi (problem-identification) dan di akhir menuju pada penyelesaian
masalah (problem-solution) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Adapun hasil penelitian menyatakan bahwa pelaksanaan pendampingan
psikososial terhadap anak korban kejahatan seksual oleh pekerja sosial Dinas
Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab. Kuningan� dilakukan pada setiap tingkat pengecekan
baik dikepolisian, persidangan maupun setelah persidangan sesuai dengan
kebutuhan korban. Selanjutnya masalah yang ditemukan dalam melakukan
pendampingan adalah sarana dan prasarananya kurang memadai, kurangnya anggaran
dalam melakukan pendampingan, tidak terbukanya korban pada saat assesment serta
adanya pihak lain yang ikut campur dalam� melakukan pendampingan.
Kata kunci : Pendampingan
Psikososial, Anak, Korban Kejahatan Seksual.
Pendahuluan
Buah hati yaitu amanah dan karunia Allah SWT, yang selalu harus dijaga dan dilindungi. Dalam diri mereka melekat harkat dan martabat sebagai insan yang harus dihargai.
Hak asasi mereka
pula adalah
bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal yang tertuang dalam
hak-hak anak.
Memelihara kelangsungan hidup anak merupakan kewajiban seorang ayah dan ibu
yang tidak boleh dianggap
mudah. Sesuai yang tertera
pada Pasal 45 Undang-Undang No 1iiiTahun 1974
tentang Pokok-pokokkkPerkawinan, menentukan
bahwa : �Orang tua wajibiiimemelihara dannnmendidik anak-anak yang belum dewasa sampai
anak-anak tersebut dewasa atau dapat berdiri sendiri�.
Adapun hubungan dengan pola
asuh dan pendidikan keluarga
yang telah disampaikan ayah dan ibu
memiliki pengaruh yang
cukup penting (Alim, 2017).
Selanjutnya, dalam Pasaliiii9 Undang-Undang No 4 Tahun 1979iiitentang Kesejahteraan Anak : �Orang
tua merupakan yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya
kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial�.
Pada hakikatnya seorang anak membutuhkan orang lain untuk
melindungi diri. Setiap anak pun harus memperoleh perlindungan dari peraturan
perundang-undangan
yang diterapkan secara tidak sesuai
terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian fisik dan sosial bahkan mental. Perlindungan anak seperti ini adalah
perlindungan hukum/yuridisss(legal
protection) (Gultom, 2014).
Oleh karena anak baik secaraiiiijasmani,,,,rohaniiiimaupun
sosial belum tentu
memunyai kemampuan untuk mandiri, maka menjadi tanggung jawab bagi
generasi sebelumnya, untuk mengamankan, menjamin dan
memelihara kepentingan anak itu (Wijaya & Ananta, 2016).
Asuhan anak, merupakan hal yang paling utama menjadi kewajiban dan tanggung
jawab orang tua di lingkungan keluarga, akan tetapi demi kelangsungan tata
sosial maupun demi kepentingan anak itu sendiri, perlu adanya pihak yang menjadi
pelindung (Makarao, Bukamo,
& Azri, 2013). Dalam keadaan berbahaya/membahayakan,
anaklah yang pertama-tama mendapat perlindungan, pertolongan dan �bantuan (Waluyadi, 2009).
Pada perkembangan masyarakat akibat globalisasi
saat ini rupanya berdampak pula pada dunia kejahatan. Khususnya dalam tindakan
seksual seperti perbuatan cabul, pemerkosaan, dan kekerasan seksual. Merajalelanya kejahatan ini semakin mencemaskan masyarakat khususnya
pada orang tua yang mana menyebabkan kekhawatiran dan kecemasan bagi
masyarakat, karena tak sedikit korban kejahatan seksual ini adalah seorang anak
(Gosita, 2009).
Kejahatan seksual terhadap anak merupakan salah
satu masalah hukum yang sangat penting untuk dikaji. Sebagaimana diketahui
kejahatan seksual adalah perbuatan yang melanggar norma sosial yaitu agama,
kesopanan, dan kesusilaan. Selain itu merusak psikologis korbannya apalagi jika
korbannya adalah seorang anak yang memiliki masa depan yang masih panjang.kejahatan
seksual juga melanggar hak esensial anak yakni hak perlindungan dari kekerasan
fisik dan kekerasan psikologis.
Kasus asusila pada anak semakin marak terjadi. Tindakan asusila
seperti ini perlu menjadi perhatian yang tak main-main dari pemerintah, karena dampak
dari kejahatan tersebut dapat membuat anak mengalami trauma yang sangat hebat
bahkan dapat membahayakan bagi perkembangan jiwa anak yang mengakibatkan anak
tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. Untuk itu, anak sebagai korban
kejahatan seperti ini sangat perlu memperoleh perlindungan khusus berupa
perlindungan terhadap kondisi psikologis atau mental dari anak yaitu terutama
perkembangan kejiwaannya.
Perlindungan khusus yang diberikan terhadap
korban dilakukan melalui upaya Pendampingan Psikososial yakni semua bantuan dan
pelayanan psikologis serta sosial guna membantu melindungi dan meringankan
memulihkan kondisi fisik, psikologis, spiritual dan sosial korban sehingga
mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.
Upaya pemerintah dalam mencegah dan
menanggulangi permasalahan kejahatan pada perempuan dan anak,� di sektor kepolisian membentuk Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (PPA) yang mengemban tugas memberikan perlindungan sebagai bentuk pelayanan terhadap perempuan dan
anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya.
Tentunya dalam melaksanakan tugasnya Unit PPA bekerja sama dengan lembaga
pemerintah atau non pemerintah dan pihak terkait lainnya seperti Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak yang tugas pokoknya adalah membantu kepala pemerintah
setempat melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dan
Tugas Pembantuan dibidang Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Berdasarkan laporan yang masuk ke Unit PPA
Polres Kuningan, selama 3 tahun terakhir, kasus kejahatan seksual terhadap anak
di Kab. Kuningan terbilang cukup tinggi dan pada Tahun 2018 angka kejahatan
seksual terhadap anak mengalami peningkatan yang signifikan, ada sebanyak 31
laporan kejahatan seksual terhadap anak, diantaranya :
Tabel 1.
Data Laporan Kejahatan Seksual Tahun 2016-2018
Polres Kuningan
Rincian
Kasus |
Tahun |
||
|
2016 |
2017 |
2018 |
Persetubuhan
/ Perkosaan |
5 |
- |
3 |
Pencabulan |
20 |
14 |
18 |
Sodomi |
- |
1 |
10 |
Pelecehan |
- |
2 |
- |
Jumlah |
25 |
17 |
31 |
Brigadir Dadang Ernawan selaku anggota unit PPA
di Polres Kuningan pada tanggal 16 Januari 2018 pukul 14.40 WIB menuturkan
bahwa �data diatas merupakan angka kejahatan seksual yang cukup serius dan
banyak dari pelakunya adalah orang terdekat korban. Disinyalir angka tersebut
belum termasuk dengan kasus-kasus yang tidak dilaporkan ke Kepolisian. Awalnya
banyak orang tua yang tidak mau melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap
anaknya karena mereka merasa kejahatan seksual tersebut merupakan aib bagi
keluarga�.
Dalam hal
ini, kejahatan seksual terhadap anak telah diatur dalam perangkat perundang-undangan
di Indonesia, yaitu antara lain diatur dalam Undang-Undang No 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.,Undang-Undang No
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang No 31 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak.
Metode Penelitian
Metode pendekatan yang akan penulis
gunakan adalah metode pendekatan yuridis empiris, artinya penelitian yang dilaksanakan dalam keadaan
masyarakat
seacra langsung atau lingkungannnmasyarakat dengan maksud dan tujuan guna menemukan fakta (fact-finding), yang selanjutnya
menuju pada identifikasi (problem-identification)
dan akhirnya menuju pada penyelesaian masalah (problem-solution) berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku.
Spesifikasi yang penulis gunakanan
adalah bersifat deskriptif analisis yaitu menggambarkan realitas sosial dari
fakta-fakta yang ditemukan dalam penyelenggaraan pendampingan psikososial
terhadap anak korban kejahatan seksual.
Objek penelitian ini mengenai peran Unit
PerlindungannnPerempuan dan Anak PolresssKuningan dan DinassssSosial
PemberdayaannnPerempuan dan Perlindungan AnakkkkKab. Kuningan dalam memberikan Pendampingan
Psikososial terhadap anak korban kejahatan seksual. Para pihak yang menjadi sasaran penelitian ini
adalah pekerja sosial Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Kab. Kuningan.
Data Sekunder ialah data yang diperoleh
dari penelitian kepustakaan atau Library
Research yang artinya penelitian yang dilakukan penulis terhadap masalah
yang berhubungan dengan penelitian ini, yang penulis dapatkan dengan cara
mempelajari bahan-bahan hukum, seperti Undang-Undang dan peraturan hukum
lainnya maupun buku-buku penunjangnya.
Untuk� memperoleh �data�
dalam� penelitian� ini� maka� penulis menggunakan teknik Metode
Wawancara dan Metode Studi Pustaka.
Metode analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis data
kualitatif yaitu dengan menguraikan gejala atau fenomena dan fakta-fakta yang
didapat dari lapangan secara objektif untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini.
Hasil Penelitian
A.
Pelaksanaan Pendampingan Psikososial
Terhadap Anak Korban Kejahatan Seksual
Berdasarkan
Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak: �Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi�.
Perlindungan
anak diusahakan oleh siapapun orang baik orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah maupun negara. Pasal 20 Undang-Undang No 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak menetapkan: �Negara,
pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak�.
Anak membutuhkan
perawatan dan perlindungan khusus termasuk perlindungan hukum yang berbeda dari
orang dewasa. Hal ini didasarkan pada
alasan mental dan fisik setiap anak yang belum dewasa. Anak perlu mendapatkan perlindungan yang telah disebutkan dalam
Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga harus
memperoleh kesempatan yang sangat luas untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal baik sosial, mental, fisik dan berakhlak mulia perlu di dilakukan upaya
perlindungan serta memberikan kesejahteraan anak dengan memenuhi semua hak-haknya.
Secara khusus di dalam pasal 69 A
Huruf (c) Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan khusus bagi anak korban
kejahatan seksual dilakukan melalui upaya :
a. Edukasi tentang penguatan nilai
agama, kesehatan reproduksi, dan nilai kesusilaan;
b. Rehabilitasi sosial;
c. Pendampingan psikososial pada saat
pengobatan sampai tahap pemulihan; dan
d. Pemberian pendampingan dan perlindungan
pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai
dengan pemeriksaan disidang pengadilan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 6 huruf
b Undang-Undang No 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban: �Pendampingan
psikososial/Rehabilitasi psikososial adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan
psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi
dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban sehingga
mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar�.
Selanjutnya, dalam Pasal 10 Undang-Undang
No 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menentukan: �Korban
berhak mendapatkan pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada
setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.�
Berdasarkan Pasal 1 Angka 14
Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak: �Pendamping adalah
pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya�
Pelaksanaan pendampingan psikososial
dilakukan oleh Bidang Rehabilitasi Sosial yang bertugas untuk menangani Anak
yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), Antar/Anjar, Anak Balita Terlantar, Anak
dengan Disabilitas dan AMPK (Anak Memerlukan Perlindungan Khusus).
Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan oleh penulis dengan Brigadir Dadang Ernawan Selaku Anggota di Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kuningan, dimulainya pendampingan
psikososial terlebih dahulu dengan adanya laporan yang masuk ke Unit Perlindungan
Perempuan dan Anak Polres Kuningan. Unit PPA apabila menerima laporan terkait
dugaan tindak pidana baik pencabulan atau persetubuhan yang mana korbannya
dibawah umur, setelah kasus tersebut telah naik ke tingkat penyidikan, pihak
Unit PPA mengirimkan surat Permohonan ke Dinas Sosial
untuk pemeriksaan bantuan Pekerja Sosial (Peksos) untuk melakukan assesment
terhadap korban.
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
17 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
�Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani
untuk mendampingi korban�
Untuk Pekerja Sosial sendiri mempunya
Tugas Pokok dan Fungsi sebagai berikut :
1.
Dampingam
progressa (Program Sosial Anak) yang ada di LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial
Anak).
2.
Pendampingan
LKSA (validasi dan verifikasi).
3.
Dampingan/respon
kasus anak.
4.
Tugas
Khusus (mendampingi Dinas Sosial atau Kementerian Sosial jika ada kegiatan)
Setelah Bidang Rehabilitasi Sosial di
Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menerima Surat
Permohonan dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Kuningan, Bidang
Rehabilitasi Sosial tersebut akan menugaskan Pekerja Sosial (yang selanjutnya
disebut sebagai Peksos) untuk melakukan serangkaian Proses Penyelesaian
Masalah, diantaranya :
1. INTAKE.
Merupakan Kontak Awal yang dilakukan oleh Peksos dan Klien.
2. KONTRAK.
Merupakan kesediaan baik anak maupun keluarganya untuk didampingi oleh peksos.
Dengan catatan �jika dari pihak keluarga menolak, peksos tidak boleh memaksa�.
3. ASSESMENT.
Merupakan tahap pengungkapan dan pemahaman masalah anak yang berhadapan dengan
hukum. Dilakukan kepada anak, keluarga maupun lingkungan sekitarnya yang
memberikan pengaruh bagi anak tersebut. Assesment
sendiri terbagi menjadi dua tahap, ada assesment
awal dan assesment lanjutan. Assesment awal merupakan pendekatan awal
antara peksos dengan korban, dari sana akan tergali
bagaimana kronologisnya, latar belakang keluarga, latar belakang pengasuhan,
ciri fisik klien, riwayat pendidikan, riwayat penyakit, pontensi dan kebutuhan
terhadap psikososial (fisik, emosional, mental, sprititual dan sosial).
Selanjutnya ada Assesment lanjutan (re-assesment) dilakukan apabila ada
keterangan yang kurang lengkap.
Pada saat melakukan Assesment ada beberapa instrumen yang
digunakan oleh Pekerja Sosial untuk membantu menggali informasi dalam rangka
menyelesaikan masalah terhadap klien. Intrumen tersebut diantaranya:
a. Body Map. Dengan
menggunakan body map klien akan bercerita tentang kondisi tubuhnya dimana klien
mengalami pelecehan. Dengan cara tersebut, klien hanya
menunjukkan bagian-bagian tubuh dimana klien mengalami pelecehan. Ini pada
umumnya digunakan untuk anak umur 12 tahun keatas. Namun, untuk anak umur 12
tahun kebawah biasanya lebih tepatnya menggunakan boneka dan gambar (mewarnai),
nantinya pekerja sosial akan mengikuti. Sebenarnya
gambar dan boneka itu hanya sebagai perangsang saja dalam menggali informasi
dari si anak.
b. Hystory Map.
Klien ataupun keluarganya akan bercerita tentang
sejarah hidup mereka dari kecil sampai sekarang. Dari sana
akan terlihat bagaimana pengasuhan klien anak sewaktu kecil. Hal ini
dilakukanuntuk mengetahui pola asuh dalam keluarga. Karena pola asuh dalam
keluarga juga memiliki peranan ketika anak sudah dewasa.
c. Genogram.
Untuk mengetahui silsilah keluarga. Nantinya akan
terlihatbagaimana kondisi keluarganya. Apakah utuh, broken home, dsb.
d. Eco Map. Untuk
mengetahui pergaulan klien dengan lingkungannya Dari sanaakan terlihat bahwa
anak tersebut dikeluarganya lebih dekat dengan siapa. Apakah hubungan anak
dengan anggota keluarganya baik-baik saja ataukah ada yang tidak disukai oleh
anak tersebut. Jadi eco map
memberikan gambaran bagaimana relasi antara anak dengan anggota keluarga dan
antara anak dengan teman sekolah atau teman sepermainannya.
e. Life Road Map.Dilakukan
dengan cara memberikan gambar kepada anak. Gambar yang
senang di atas dan yang sedih di bawah Nanti akan ditanyakan �sedih pada saat
apa dan senang pada saat apa� yang nantinya akan
ditulis sendiri oleh si anak dikertas gambar tersebut. Life road map dilakukan untuk mengetahui pengalaman suka duka anak.
4. RENCANA INTERVENSI. Merupakan rencana penyelesaian masalah yang diambil berdasarkan hasil
assesment yang nantinya akan �tergali apa saja yang dibutuhkan oleh
klien. Peksosakan merencanakan penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi oleh
klien.
5. INTERVENSI.
Merupakan pelaksanaan dari rencana intervensi.
6. TREATMENT.
Merupakan penghentian bantuan atau penghentian pertolongan jika pendampingan
dianggap sudah selesai. Pendampingan dianggap sudah selesai apabila tidak ada
permasalahan dalam diri korban anak baik psikologis, sosial maupun
pendidikannya.
7. BINJUT
(Bimbingan Lanjut). Dilakukan ketika klien membutuhkan hal lain
setelah treatment.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh penulis, media yang digunakan pada saat assesment untuk membantu menggali informasi dari korban terutama
anak sangatlah efektif, karena dengan menggunakan media tersebut baik body map, boneka ataupun gambar, anak
cenderung akan lebih mudah bercerita karena mereka
dibuat seperti sedang bermain. Sehingga memudahkan para
pekerja sosial dalam menggali informasi yang tentunya disertai dengan dukungan
dari keluarga korban. Peran pekerja sosial itu sendiri memposisikan
dirinya sebagai teman korban, agar korban dapat secara gamblang memaparkan apa yang telah dia alami dan butuhkan.
Untuk assesment itu sendiri dilakukan dengan mendatangi langsung tempat
kediaman klien (Home Visit),
terkadang juga dilakukan di TK Bhayangkari Polres Kuningan. Biasanya rata-rata
dilakukan hanya dalam 1-3 kali pertemuan saja.
Setelah pekerja sosial selesai
melakukan assesment terhadap korban kejahatan seksual, mereka akan membuat Laporan Sosial (Lapsos) dari hasil assesment
tersebut. Lapsos tersebut nantinya akan diserahkan
kepada penyidik, yang oleh penyidik tersebut digunakan untuk melengkapi Berkas
Perkara.
Peran Pekerja Sosial dalam melakukan
pendampingan tidak hanya sebatas pada tingkat penyidikan saja, tetapi pada
setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan di tingkat kepolisian, sampai
dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. Bahkan setelah pemeriksaan sidang pengadilan sudah
selesaipun Pekerja Sosial akan melakukan pendampingan
psikososial untuk memulihkan kembali kondisi psikologis korban agar mereka bisa
menjalankan kembali fusngsi sosialnya secara wajar sehingga dapat kembali
kedalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat sesuai dengan
perkembangan kondisi psikologis korban.
Pendampingan tersebut dilakukan
hingga korban dapat kembali menjalankan fungsi sosialnya secara wajar. Hal ini ditandai
dengan meningkatnya kembali kepercayaan diri anak, sudah kembali berinteraksi
dengan lingkungan sekitar, bermain dengan teman-teman sebayanya dan kembali
bersekolah seperti sedia kala.
Selanjutnya Pendampingan setelah
persidangan dilakukan sesuai dengan kebutuhan klien itu sendiri rata-rata
dilakukan 3-6 kali dalam kurun waktu 3-4 bulan.
Dalam melakukan pendampingan tersebut
tidak hanya dalam bentuk pemberian motivasi terhadap korban, tetapi juga
berkoordinasi dengan dinas atau instansi lain sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi korban.
Hasil dari dilakukannya pendampingan
oleh pekerja sosial terhadap anak korban kejahatan seksual sangat terlihat
secara signifikan.
Dimana pada awalnya korban anak tidak bisa berinteraksi selama proses
pemeriksaan baik di kepolisian maupun persidangan, setelah didampingi oleh
pekerja sosial, proses pemeriksaan berjalan dengan lancar. Kemudian ketika
korban anak menarik diri dari lingkungan, tidak mau berinteraksi dengan
lingkungan sekitar baik dengan keluarga, teman sepermainan dan bahkan ketika
mereka tidak mau lagi melanjutkan sekolahnya, setelah dilakukan pendampingan
dan diberikan penguatan oleh pekerja sosial, korban anak dapat mulai
berinteraksi dengan lingkungan sekitar, kepercayaan dirinya meningkat, serta
dapat lagi melanjutkan sekolahnya dan bergaul bersama teman-temannya seperti
sedia kala.
Selanjutnya,
berdasakan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan ibu Rini selaku
Pekerja Sosial di Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Kab. Kuningan, untuk memberikan pemahaman yang luas mengenai
kekerasan terhadap anak, bidang rehabilitasi sosial menyelenggarakan kegiatan
yang bernama �Peksos Goes To School�. Peksos
Goes To School merupakan penyuluhan tentang �Anti Kekerasan Terhadap Anak�
yang dilaksanakan berdasarkan Surat Kementrian Sosial Republik Indonesia dan
ditindaklanjuti oleh surat tugas dari Dinas Sosial.
Kegiatan �Peksos Goes To
School� dilaksanakan dalam mensosialisasikan stop kekerasan pada anak
dengan menjelaskan bentuk-bentuk, tanda-tanda, tipe-tipe dan dampak dari
macam-macam kekerasan agar anak lebih mengetahui bahwa dirinya beresiko mengalami
tindak kekerasan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat tempat dia
tinggal. Kegiatan ini diharapkan dapat bermanfaat kepada anak dan bertujuan
agar anak dapat melakukan pencegahan dan dapat menolong serta melakukan
tindakan ketika dia, temannya atau orang lain mengalami tindak kekerasan. Serta menghubungi pihak-pihak terkait agar hak-haknya dapat
terpenuhi. Hingga saat ini kegiatan tersebut baru
menyentuh 5 sekolah di wilayah Kab. Kuningan.
Untuk kedepannya sendiri saat ini
Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan
mengadakan tim penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) berbasis
masyarakat. Dengan tujuan untuk menjangkau penanganan kasus
ABH tersebut.
Pelaksanaan pendampingan tidak hanya
menjadi tanggung jawab pekerja sosial, melainkan peran orang tua sangat penting
dalam membantu pekerja sosial mengembalikan kondisi fisik maupun psikis korban,
mengingat para pekerja sosial tidak akan mungkin
mendampingi anak selamanya. Jadi orang tua harus tetap menjaga kondisi baik
fisik ataupun psikis anak, mengontrol pergaulannya, memberikan perhatian yang penuh� kepada anak
agar anak tidak merasa sendirian dan anak dapat termotivasi untuk dapat bangkit
kembali menjalankan fungsi sosialnya secara wajar.
B.
KENDALA YANG DIHADAPI OLEH DINAS
SOSIAL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DALAM MELAKUKAN
PENDAMPINGAN PSIKOSOSIAL TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL
Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan oleh penulis dengan Ibu Rini selaku Pekerja Sosial di Bidang Rehabilitasi
Sosial Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab. Kuningan, ada beberapa kendala yang
dihadapi oleh pekerja sosial dalam melakukan pendampingan psikososial terhadap
anak korban kejahatan seksual, diantaranya:
Pertama, sarana dan prasarananya
belum memadai, terlihat belum adanya mobil operasional, belum adanya ruang
ramah anak ataupun ruang khusus assesment,
sehingga dalam pelaksanaan assesment
itu sendiri dilakukan dengan mendatangi langsung tempat kediaman korban (Home Visit) dan belum terdapat LPKS
(Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial).
Kedua, kurangnya anggaran dalam
melakukan pendampingan. Sehingga jika ada kebutuhan tertentu dalam menangani klien harus
berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan terkadang menggunakan dana pribadi pekerja sosial dahulu.
Menurut Ibu Rini selaku pekerja
sosial di Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan
bahwa ongkos untuk melakukan pendampingan seperti transport, membeli bingkisan
untuk korban dan membeli intrumen media seperti boneka, gambar, dsb,
menggunakan uang pribadi :
�Memang
untuk beberapa tahun kita bisa Reimburst Dana Respon Kasus biasanya si itu
memang dari Kemensos tapi dititipkan di Yayasan yang menangani ABH. Kalau kita kuningan, Cirebon kota/kabupaten sama Indramayu dan Majalengka kita ke YCPAB, awalnya tetap
kita mengeluarkan uang sendiri dulu nanti di rekap untuk apa saja terus
dijumlah nanti diganti uangnya dari situ. Itupun kalau dananya masih ada, kalau
tidak ada ya itu pakai uang sendiri�
Yang kemudian di perjelas oleh Ibu
Tita Rianti sebagai Pekerja Sosial Madya di Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas
Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab. kuningan :
�Untuk
penanganan ABH setiap Kabupaten/kota itu harus mempunyai LPKS (Lembaga Penyelenggara
Kesejahteraan Sosial) dimana fungsinya itu selain sebagai tempat penitipan juga
tempat rujukan. Maksud rujukan disitu untuk misalnya putusan pengadilannya itu
rehabilitasi, kita itu tidak mempunyai itu, padahal LPKS itu sangat dibutuhkan.
Apakah bentuknya mau LPKS, rumah aman, atau rumah singgah, selain itu juga
belum adanya ruang konseling, dan kurangnya biaya-biaya penaganagan lainnya
seperti biaya untuk visum, pelaksanaan pendampingan, dsb. Kalau untuk
program-program ada seperti �Peksos Goes
To School� namun dana yang diberikan oleh Kemensos terbatas hanya mengcover
beberapa sekolah, Jadi pendanaan itu ada tetapi tidak maksimal, untuk anggaran
pelaksanaan pendampingan itu sendiri belum ada secara khusus jadi selama ini
kita mengcover saja sebisa kita mengambil dari anggaran untuk kepentingan yg
lain. Kita suka dapat bantuan dari YCPAB namun itu juga setahun sekali dan
dibatasi hanya untuk beberapa penanganan kasus saja sedangkan kenyataan
dilapangan kan kasus banyak, banyak yang harus ditangani, kadang pakai uang
sendiri dulu nanti di jumlah nanti akan diganti oleh YCPAB tersebut atau juga
kembali lagi kita mengatur pendanaan itu sendiri. Itu permasalahan yang kita
hadapi selama ini yang dimaksud dengan kurangnya anggaran itu dalam hal sarana
dan prasarana�.
Ketiga, dari korbannya yang tidak
terbuka kepada Pekerja Sosial. Mengingat korbannya merupakan seorang anak,
terkadang korban juga tidak mengerti apa yang sedang dialaminya sehingga sulit
untuk menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya dan menjawab pertanyaan pada
saat assesment.
Keempat, adanya campur tangan pihak lain
yang membuat berkurangnya kepercayaan keluarga korban terhadap Pekerja Sosial,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibu Rini pada saat wawancara:
�jadi
sebelum kita melakukan pendampingan sudah ada pihak lain yang masuk, jadi
keluarga itu sudah bloking sudah tidak mau didampingin oleh peksos misalkan �ah
akumah udah didampingin sama ini, udah ditanya-tanya�, pas kita dateng jadi
keluarganya bilang �ibu ngapain lah anak saya ditanya-tanya lagi, udah ada ko
yang nanya, udah ada ko yang dampingin�. Itu biasanya dari organisasi non
pemerintah seperti LSM. Kalau banyak tangan kan kepercayaan keluarga korban
kepada kami hilang ya. Mungkin mereka itu ingin sama-sama berperan tapi kan
kalau untuk kasus kaya gini ada jalannya ga bisa langsung masuk aja�.
Untuk mengatasi beberapa kendala
tersebut diatas diantaranya mengenai sarana dan prasarana yang tidak memadai
dan kurangnya anggaran untuk pelaksanaan pendampingan psikososial, pekerja sosial� akan
berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya sesuai dengan kebutuhan klien.
Misalnya pihak klien harus direhabilitasi maka peksos akan
meminta kepada lembaga rehabilitasi untuk melakukan penjemputan terhadap klien
tersebut. Pihak Dinas Sosial sebetulnya sudah meminta kepada Pemerintah Daerah� setempat untuk
diberikan sarana dan prasarana dalam menunjang pelaksanaan pendampingan
terhadap ABH, namun sampai sekarang hal tersebut belum terealisasikan.
Selain itu mengenai kurangnya
anggaran dalam pelaksanaan pendampingan psikososial. Pekerja sosial terkadang menggunakan
anggaran lain agar pelaksanaan pendampingan terhadap
klien tetap berjalan.
Kemudian mengenai tidak terbukanya
korban pada saat assesment dilakukan,
pihak peksos akan terus berusaha menggali informasi
dengan menggunakan serangkaian instrumen yang digunakan dengan menggunakan
media seperti bodymap, ecomap, life road map, genogram,
dan lain sebagainya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Selanjutnya, mengenai adanya pihak
lain yang ikut masuk melakukan pendampingan yang mengakibatkan keluarga klien
menutup diri pada saat peksos datang, peksos akan memberikan pemahaman� kepada keluarga klien agar lebih
selektif dalam menerima pihak lain dalam memberikan perhatian terhadap kondisi
yang dialami klien.
Dari hasil penelitian diatas, menurut
hemat penulis, kelancaran dan keberhasilan dalam melakukan sebuah pendampingan
tentunya harus didukung oleh beberapa faktor diantaranya fasilitas yang
memadai, tenaga kerja yang kompeten, motivasi yang tinggi baik dari pihak klien
maupun keluarganya. Dibutuhkan sinergitas yang baik dari klien, keluarga
maupun pemerintah dalam hal ini peksos agar anak yang mengalami kejahatan
seksual mendapatkan haknya dan mendapat jaminan agar masa depannya tertata
dengan baik.
Kesimpulan
1. Pelaksanaan pendampingan psikososial
dimulai dari adanya permohonan Assesment
dari pihak kepolisian pada tingkat penyidikan kepada Pekerja Sosial bidang
Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
terhadap anak korban kejahatan seksual. setelah
pekerja sosial melakukan assesment
terhadap anak korban kejahatan seksual, mereka akan membuat laporan sosial
berdasarkan assesment yang telah
dilakukan. Kemudian laporan sosial tersebut diserahkan kepada pihak kepolisian
untuk kemudian dicocokkan dan untuk melengkapi berkas perkara penyidikan. Assesment itu sendiri dilakukan secara Home Visit dengan mendatangi langsung
tempat kediaman korban dan terkadang di TK Bhayangkari Polres Kuningan.
Pendampingan psikososial tersebut dilakukan disetiap tingkat pemeriksaan baik
di kepolisian maupun persidangan, bahkan pendampingan tersebut akan terus berlanjut meskipun tahap persidangan sudah
selesai jika dibutuhkan.
2. Kendala yang dihadapi oleh Pekerja
Sosial dalam melakukan pendampingan terhadap anak korban kejahatan seksual
diantaranya sarananya dan prasarananya belum memadai, kurangnya anggaran dalam
melakukan pendampingan, tidak terbukanya korban pada saat melakukan assesment dan adanya campur tangan pihak
lain yang membuat berkurangnya kepercayaan keluarga korban terhadap Pekerja
Sosial.
BIBLIOGRAFI
Alim, A. (2017). KONTRIBUSI POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP
PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN AKIDAH AKHLAK KELAS VIII MTS
MIFTAHUL ULUM CIREBON. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(7),
15�25.
Gosita, A. (2009). Masalah korban kejahatan: kumpulan
karangan. Penerbit Universitas Trisakti.
Gultom, M. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Refika Aditama.
Makarao, M. T., Bukamo, W., & Azri, S. (2013). Hukum
perlindungan anak dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Rineka
Cipta.
Waluyadi. (2009). Hukum Perlindungan Anak. Bandung:
Mandar Maju.
Wijaya, A., & Ananta, W. P. (2016). Darurat kejahatan
seksual. Sinar Grafika.