Syntax
Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN
: 2548-1398
Vol. 4, No. 9 September 2019
DINAMIKA POLITIK DAERAH DALAM PELAKSANAAN SISTEM PEMILU UMUM
LEGISLATIF DAERAH
M. Fadhillah Harnawansyah
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Musi Rawas Sumatera Selatan
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam dinamika politik daerah dan sistem pemilihan umum
legislatif daerah (Pilegda) saat ini ditemukan permasalahan adanya kondisi yang
tidak harmoni antara format sistem Pilegda dengan format sistem pemerintahan
daerah (Pemda), sehingga menimbulkan rendahnya perwakilan politik masyarakat
daerah oleh legislatornya. Penelitian ini sebagai studi perbandingan pelaksanaan
Sistem Pemilu Daerah (Pilegda) di Kabupaten Musi Rawas, Kota
Lubuklinggau dan Kabupaten Musi Rawas Utara. Penelitian ini memberikan kontribusi secara luas untuk memperoleh
pengetahuan tentang dinamika politik
daerah dan sistem Pilegda yang ideal dan harmoni dengan sistem Pemda, yang
dapat digunakan di masa depan; dengan tingkat keterwakilan politik yang
tinggi, serta untuk mengetahui
faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan sistem Pilegda tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, dengan
menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara secara mendalam,
observasi partisipan langsung, dan dokumentasi; agar dapat memberikan data yang
lebih akurat dan mendalam. Dalam kajian ini, peneliti melakukan proses analisis
data dengan metode triangulasi, baik dari informan dan dokumentasi, maupun
observasi langsung untuk melakukan verifikasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pilegda yang ideal dengan sistem Pemda saat ini adalah sistem Pilegda
model semi-distrik. Kemudian, peneliti juga menyimpulkan bahwa secara politis, sistem Pilegda
dan sistem Pemda saat ini masih belum harmoni. Oleh karena itu, perbaikan
sistem ini harus didukung juga oleh penyelenggaraan Pilegda yang berkualitas,
berintegritas, profesional, jujur, dan adil; sehingga akan melahirkan
legislator daerah yang memiliki tingkat keterwakilan politik yang tinggi
terhadap konstituennya; dan sekaligus dapat efektif dalam penyelenggaraan Pemda.
Kata Kunci: Dinamika
Politik Daerah & Sistem Pilegda.
Pendahuluan
Pemerintahan yang
kuat adalah pemerintahan yang dapat dukungan penuh dari rakyatnya. Oleh karna
itu sebagai wujud terimakasih atas dukungan rakyat tersebut sudah sepantasnya
pemerintah melalui aparatur birokrasi memberikan pelayanan dengan
sebaik-baiknya kepada masyarakat
(Misbak, 2018).
Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Di sini Peran DPRD
dalam proses pemilihan keanggotaannya dipilih secara periodik setiap lima tahun
sekali. Dalam rangka pemilihan anggota DPRD tersebut, diselenggarakan melalui
pemilihan umum legislatif daerah (Pilegda), di mana Pilegda tersebut merupakan
bagian dari penyelenggaraan pemilihan umum legislatif secara keseluruhan karena
diselenggarakan secara bersamaan dan serentak di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kehidupan politik
saat ini, Undang-Undang Dasar 1945 telah menjadi konstitusi yang lebih
demokratis atau lebih dikenal sebagai demokrasi konstitusional. Oleh karena
itu, sistem pemilihan umum (Pemilu) yang kita anut dalam membangun bangsa,
merujuk pada konsep demokrasi konstitusional tersebut sehingga dalam proses
pergantian kepemimpinan nasional sudah diatur kebijakannya di dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pemilu setiap
lima tahun sekali dan diselenggarakan oleh penyelenggara Pemilu yaitu Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu), dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai komisi etik.
Dalam pelaksanaan
Pemilu legislatif di Indonesia terbagi ke dalam pemilu legislatif untuk memilih
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD-RI), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD
Provinsi) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD
Kabupaten/Kota). Pemilu legislatif ini yang menjadi pesertanya adalah partai
politik dengan mencalonkan para calon anggota legislatif (DPR/DPRD).
Kemudian dalam pelaksanaan Pemilu saat ini terjadi fenomena-fenomena,
contohnya: di mana sejak Pemilu dilaksanakan sejak tahun 1955 sampai dengan
tahun 2014, kelemahan-kelemahan
sistem proporsional dalam Pemilu legislatif juga disampaikan oleh Nizam (2015:
4) yang menyatakan bahwa:
Evaluasi yang dilakukan
terhadap penyelenggaraan pemilu yang telah dilaksanakan. Di mana pemilu pertama
kalinya yang di mulai tahun 1955 sampai dengan pemilu 9 April 2014 yang
pelaksanaannya masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan.
Selanjutnya dalam pelaksanaan Pemilu di daerah terjadi fenomena yang
berkaitan dengan �money politics� dan �high cost� dalam politik
seperti yang digambarkan oleh (Haris, 2005) dalam bukunya Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai,
bahwa:
Berbagai hasil survey,
Polling dan penelitian yang pernah dilakukan terhadap partai politik dan
lembaga legislatif memperlihatkan merosotnya tingkat kepercayaan publik,
terutama terhadap partai-partai besar yang berkuasa, baik di legislatif maupun
eksekutif. Merosotnya kepercayaan publik terhadap partai, melainkan juga karena
kecenderungan meningkatnya fenomena politik uang (money politics) dalam relasi
legislatif-eksekutif, terutama di tingkat lokal.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas terlihat perbedaan permasalahan yang
menjadi fokus penelitian ini, di mana peneliti menfokuskan penelitian ini untuk
mencari suatu format sistem Pemilu legislatif daerah yang harmonis dengan
format sistem pemerintahan daerah; dimana diharapkan dapat menimbulkan dampak
meningginya tingkat perwakilan politik masyarakat daerah oleh para
legislatornya.
Menurut peneliti, pengertian tentang dinamika politik
daerah adalah adanya peristiwa perubahan dan perkembangan fenomena-fenomena
politik yang terjadi di daerah dan/atau pemerintahan daerah. Dinamika kejadian
atau fenomena politik yang terjadi di daerah tersebut banyak ragamnya mulai
daerah pemilihan umum kepala daerah, pemilihan kepala desa, pemilihan umum
legislatif daerah, dan lain sebagainya.
Pada penelitian ini tentunya akan menfokuskan kajian
hanya pada dinamika pemilihan umum legislatif daerah khususnya pada studi
perbandingan mengenai pelaksanaan sistem pemilihan umum legislatif daerah pada
Kabupaten Musi Rawas, Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Musi Rawas Utara;
berkaitan dengan harmonisasi sistem pemilihan umum legislatif daerah dengan
sistem pemerintahan daerah, dan dengan tingkat perwakilan politik masyarakat
terhadap legislatornya.
Banyak konsep yang berkaitan dengan pemilihan umum,
namun pengertian umum dari sistem pemilihan umum menurut Budiardjo (2008: 461)
bahwa dalam kajian ilmu politik telah dikenal bermacam-macam sistem pemilihan
umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi pada umumnya ada dua prinsip
pokok, yaitu:
a.
Single-member Constituency (satu daerah pemilihan atau
wilayah distrik memilih satu wakil; biasanya disebut Sistem Distrik ).
b.
Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih
beberapa wakil; biasanya dinamakan Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem
Proporsional).
Kemudian konsep sistem pemilu juga
dikemukakan oleh Duverger (dalam Grofman dan Lijphart, 2003: 4) mengatakan
bahwa:
All three articles take as their
starting point the formulation in Duverger (1951a) that the plurality system
favors the two-party system, commonly referred to as �Duverger�s Law�, while PR
methode and the double-ballot system favor multipartyism, referred to as
�Duverger�s Hypothesis
Dalam perkembangannya pada tahun 1950 di Kongres
Internasional Ilmu Politik, (Duverger & Stevenson, 1955) mengemukakan tentang tiga rumus
atau tiga hukum dasar, yaitu:
(1) Propotional representation
tends to lead to the formation of many independent parties; (2) The two-ballot majority system tends to lead to
the formation of many parties that are allied with each other; (3) The plurality rule tends to produce a two-party
system.
Secara umum, konsep sistem pemilihan umum yang dikenal
ada 2 model utama adalah sistem distrik (single-member contituency) dan sistem
proporsional (multi-member constituency) (Duverger
& Stevenson, 1955). Namun sangat berbeda sistem pemilihan umum yang
digunakan di Indonesia dan beberapa negara di dunia, yaitu sistem campuran
antara sistem distrik dan sistem proporsional, yaitu sistem proporsional
terbuka.
Sistem distrik merupakan sistem pemilihan umum paling
tua dan didasarkan pada kesatuan geografis (wilayah), di mana setiap kesatuan
geografis atau wilayah dinamakan distrik, karena kecilnya daerah yang tercakup
maka memperoleh satu kursi dalam parlemen. Di mana distrik merupakan satu
wilayah kecil (distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single-member
contituency) dengan konsep dasar pluralitas (suara terbanyak).
Sedangkan di Indonesia, menggunakan sistem proporsional dengan daftar
calon terbuka atau sistem proporsional terbuka adalah suatu sistem untuk
memilih anggota DPR dan DPRD adalah sistem di mana penentuan pemenang Pemilu di
suatu daerah pemilihan didasarkan pada perolehan kursi partai politik yang
bersangkutan dan penghitungan hasil bagi suara sah partai politik yang bersangkutan
dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Sementara maksud daftar calon terbuka,
bahwa pada waktu pencalonan, kepada partai politik diberi kesempatan untuk
menetapkan nama-nama calon dengan kualifikasi terbaik sebanyak jumlah kursi
yang dialokasikan di daerah pemilihan.
Menurut peneliti pada saat ini pengertian tentang sistem
Pemilu legislatif daerah di sini memiliki pengertian yang sama dengan sistem
Pemilu legislatif di atas. Namun pemaknaan kata �Daerah� di sini memiliki makna
yang sama dengan �daerah� dalam pemerintahan daerah, yaitu sebagaimana
dijelaskan oleh (Wajong, 1975) dalam bukunya Azas dan Tujuan
Pemerintahan Daerah, menjelaskan bahwa Alam pikiran di masa Revolusi Perancis
yang merumuskan �gemeente� (Daerah-Kota Otonom) sebagai �Suatu persekutuan
penduduk yang disatukan oleh hubungan setempat/sedaerah� (Une societe de
citoyens, unis par des relations locales).
Sesungguhnya Pemilu, sesuai dengan Undang Undang nomor 8
tahun 2012 tentang pemilihan umum pada pasal 3 dan 5 memiliki maksud dan tujuan
penyelenggaraannya, yaitu:
a.
Memilih wakil rakyat yang duduk dalam lembaga perwakilan
rakyat baik tingkat pusat, wilayah maupun daerah (DPR-RI, DPRD Propinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota).
b.
Memilih wakil rakyat yang duduk dalam lembaga perwakilan
daerah (DPD RI);
c.
Membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat serta
memperoleh dukungan sebesar-besarnya dari rakyat (Legitimate); Menurut Aurel Croissant (dalam (Riwanto, 2016)).
Dalam perkembangannya, konsep tentang sistem
pemerintahan mengalami pergeseran di mana dikenal pula sistem pemerintahan
campuran. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh (Achmad & Rudianto, 2012) dalam bukunya yang berjudul Tata
Kelola Bernegara dalam Perspektif Politik menjelaskan bahwa sistem pemerintahan
campuran, merupakan upaya mencari jalan tengah untuk mengambil yang terbaik
dari sistem parlementer dan presidensial. Dalam praktiknya, ada dua model
sistem pemerintahan campuran yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Model
sistem pemerintahan campuran ini, contohnya ada dua. Pertama, model campuran
sentralisasi yaitu di negara Perancis; Kedua, model campuran desentralisasi
dengan konsep otonomi daeah yaitu di negara Indonesia.
Berdasarkan prinsip-prinsip itu, maka sistem pemilihan
umum legislatif daerah yang harmoni dengan sistem pemerintahan daerah, serta
sistem-sistem lainya (seperti sistem politik, sistem kepartaian, dan sistem
sosial budaya), merupakan suatu �keharusan� agar efektifitas pemilu dapat tercapai.
Kemudian dengan sistem yang harmoni juga diharapkan dapat meningkatkan tingkat
keterwakilan politik masyarakat yang tinggi antara legislator dengan
konstituennya.�
Gambar
1. Sistem Pemilihan Umum Legislatif Daerah
Sistem Pemilihan Umum Legislatif Daerah Teori Pamungkas (Fahmi, 2011: 80-91) Keterwakilan Politik Masyarakat Teori Hoogerwerf
(1985: 199-201) Sistem Pemerintahan Daerah Teori Achmad
(2012: 139-141) � Tingginya Perwakilan Politik Masyarakat oleh
Legislator
Metode Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara
kualitatif dengan metode deskriptif. Pemilihan pendekatan kualitatif dengan
pertimbangan penelitian ini diharuskan menggali dan mengumpulkan informasi dan
fakta dari informan, tentang dinamika politik daerah dan pemilihan umum
legislatif daerah, khususnya tentang perbandingan pelaksanaan sistem Pemilu
legislatif daerah (Pilegda) yang digunakannya saat ini di kabupaten Musi Rawas,
kota Lubuklinggau, dan kabupaten Musi Rawas Utara, mulai proses penerapannya
hingga output yang dihasilkan oleh sistem tersebut.
Oleh karena itu, peneliti diwajibkan untuk menyerap pandangan menurut
informan itu sendiri dengan cara mengumpulkan data berupa cerita rinci dari
informan yang diungkapkannya apa adanya, sesuai dengan bahasa dan pandangan
informan. Untuk mencapai tingkat validitas data yang tinggi, maka peneliti
harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada informan untuk
menjelaskan fenomena, proses, dan dampak dari dinamika politik daerah dan
penerapan sistem pemilihan umum legislatif daerah yang digunakan saat ini,
sehingga informasi dan aspirasi informan dapat terungkap secara lengkap dan
holistik.
Kemudian data hasil penelitian tersebut dilakukan uji validasi dengan
triangulasi data, dan selanjutnya diolah dan dianalisis secara sistematis dan
terstruktur dengan kajian teori politik, yang mampu memberikan hasil kajian
yang mendalam, kritis, obyektif, dan substantif.
Hasil Penelitian
dan Pembahasan
Peneliti melihat bahwa dinamika politik daerah di ketiga
daerah penelitian sudah berjalan cukup dinamis, walaupun masih jauh dari
harapan kita bersama dalam upaya membangun demokrasi yang berkualitas dan
bertanggungjawab. Namun, apabila kita tinjau dari sudut pandang stabilitas
politik daerah, sudah baik, di mana segala proses Pemilu legislatif dan Pemilu
kepala daerah telah berjalan dengan baik, lancar dan damai serta tetap
menjunjung tinggi asas Pemilu yaitu Luber Jurdil, termasuk juga harapan
terwujudnya penyelenggara Pemilu yang profesional dan berintegritas.
a.
Model Penyuaraan
Pada tiga wilayah penelitian diatas, terlihat bahwa model
penyuaraan dari setiap pemilih/konstituen tidak terjadi kendala serius dan
tidak terjadi perbedaan pelaksanaannya oleh KPU di ketiga wilayah penelitian.
Memang, model sekarang ini cukup membingungkan dan rumit bagi masyarakat yang
berpendidikan rendah. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode yang lebih
praktis dalam melakukan pilihan tersebut. Banyaknya kertas suara yang harus
dipilih oleh masyarakat cukup membuat kebingungan masyarakat dalam melakukan
pilihan, hal ini disebabkan mereka tidak/terlalu mengenal Caleg yang
mencalonkan diri, terlebih banyaknya calon dari masing-masing kertas suara.
Hal ini dapat disederhanakan dengan memperbaiki sistem dan
metode dalam Pemilu legislatif pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Secara
sistem, diperbaiki sistem dengan model pencalonan setiap Dapil yang lebih
sedikit calonnya, sehingga tidak membingungkan masyarakat. Kemudian secara
metode, harusnya metode pencoblosan sudah mulai melakukan modifikasi dan
pendidikan politik bagi masyarakat agar dapat memanfaatkan teknologi informasi,
seperti: penggunaan elektronic voting (E-voting).
b. Metode Pembagian Daerah
Pemilihan (Dapil)
Indikator besaran daerah pemilihan (Dapil) merupakan faktor utama dalam
sistem Pemilu. Di sini akan terlihat apakah suatu sistem Pemilu akan ke distrik
atau ke proporsional. Oleh karena itu, peneliti berkeyakinan bahwa bila Pilegda
untuk lima tahun nanti harus melakukan perbaikan Dapil ini, atau dengan kata lain
berpedoman konsep model semi-distrik yaitu wilayah Dapil adalah wilayah
kecamatan saja; karena model ini mampu melahirkan legislator yang memiliki
legitimasi lebih dari 66 persen suara sah pemilih, sehingga masih lebih tinggi
dari tingkat legitimasi dalam perwakilan pada Pilkada, sehingga pada akhirnya
berdampak pula pada peningkatan keterwakilan politik masyarakat terhadap
legislatornya.
c. Pembuatan Batas-batas Representasi
Pembatasan terhadap pemilih dan kandidat tetap diperlukan dalam memenuhi
kebutuhan/ketentuan dari pemerintahan, pembangunan dan demokrasi. Oleh karena
itu, penguatan Parpol dan kaderisasi Parpol sangat diperlukan untuk
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas para Caleg. Tantangan global dan
kebutuhan nasional dan lokal (daerah) selalu menjadi faktor utama dalam
mengambil pertimbangan terhadap sebuah kebijakan publik. Hal ini diharapkan
akan bermuara pada peningkatan kinerja DPRD dan efektifitas pemerintahan daerah
dan kesejahteraan rakyat daerah.
d. Metode Formula
Pemilihan
Pemberlakuan dan pelaksanaan model formula Pemilu yang
ditetapkan oleh pemerintah dan KPU berlaku umum dan sama di ketiga lokasi
penelitian, sehingga peneliti tidak menemukan perbedaan penerapanya di ketiga
lokasi. Namun peneliti menemukan kritik dari para pelaku politik dan masyarakat
bahwa model formula Pemilu saat ini perlu untuk dievaluasi, agar lebih
sederhana dan lebih efisien serta efektif. Di sini peneliti mengusulkan
perubahan dengan pola pluralistik untuk setiap Dapil dengan peringkat perolehan
suara Parpol sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia. Sesungguhnya, penggunaan
formula perhitungan dengan model SLM ini sudah menuju proses kearah model
perhitungan sistem semi-distrik. Hal ini menurut peneliti patut didukung kearah
model pluralistik.
e. Metode Ambang Batas
Model ambang batas tidak berlaku di Pilegda, dan hal ini tidak ada
perbedaan dalam pelaksanaannya di ketiga lokasi penelitian. Namun, model ambang
batas untuk daerah dengan model sistem semi-distrik patut untuk dijadikan
referensi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan dalam Undang-Undang Pemilu
di masa depan, sebab dalam model distrik tidak ada ambang batas parlemen,
karena dalam setiap Dapil atau distrik yang mendapatkan kursi hanya Parpol yang
mendapatkan suara terbanyak (pluralitas) sesuai jumlah kursi yang tersedia.
f. Metode Penetapan Jumlah
Kursi Legislatif Daerah
Model penetapan besaran jumlah kursi DPRD dan DPR-RI saat ini perlu
dilakukan penyesuaian kembali, di mana besaran jumlah penduduk dan luasan
wilayah yang diwakili seorang anggota legislatif dapat menjadi pedoman dalam
menentukan jumlah kursi perwakilan (DPRD) suatu daerah. Oleh karena itu,
tepatlah bila pedoman ini tetap dilanjutkan berdasarkan luas wilayah kecamatan
saja dan jumlah penduduk (distrik) agar nantinya anggota DPRD lebih fokus
kepada konstituennya.
Berdasarkan persepsi politik masyarakat di dalam Pilegda bahwa sistem
Pemilu legislatif daerah saat ini perlu dilakukan pembenahan terus-menerus
untuk menuju ke sistem Pemilu legislatif daerah yang lebih ideal, efisien, dan
efektif dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, yaitu dengan merubah sistem
Pemilu legislatif daerah dari sistem proporsional terbuka menuju sistem
semi-distrik. Hal ini tentunya diharapkan akan menghadirkan banyak keuntungan
dalam kinerja DPRD dan keterwakilan politik masyarakat, serta memperkuat sistem
pemerintahan daerah itu sendiri, dengan tidak melupakan prinsip-prinsip
demokrasi dan sistem pemerintahan daerah.
g.
Presfektif
Politik: Harmonisasi Sistem Pemilu Legislatif Daerah dengan Sistem Pemerintahan
Daerah
Relevansi keterwakilan
politik dengan efektivitas pemerintahan daerah saat ini akan sulit terwujud,
apabila model keterwakilan politik yang masih mendua saat ini dengan model
hubungan keterwakilan campuran (politico), antara keterwakilan politik terhadap
masyarakat dan terhadap partai politik yang sangat dominan. Terlebih
kapabilitas dan kapasitas para anggota DPRD masih di bawah harapan dan
kebutuhannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai anggota DPRD yang
masih banyak kendala.
Pemanfaatan teknologi informasi dalam politik sudah selayaknya dan
secepatnya harus diterapkan oleh pemerintah dan penyelenggara Pemilu, agar
pelaksanaan Pemilu di Indonesia dapat lebih efektif, efisien, akuntabel,
transparan, dan profesional dalam mewujudkan demokrasi yang lebih baik di masa
depan.
Secara umum, efektivitas pemerintahan daerah dapat tercapai dengan baik
bila sistem Pemilu legislatif daerahnya harus selaras dengan menggunakan model
perwakilan politik yang bersifat utusan atau delegate. Hal ini sangat mungkin
dikarenakan model ini sangat menjamin tingkat keterwakilan politik legislator
hanya kepada konstituennya sangat tinggi, namun memang terjadi pelemahan dalam
keterwakilan terhadap partai politik.
Sistem Pilegda saat ini secara sistem sudah cukup baik, namun
belum bisa memberikan kualitas dan loyalitas para legislator terhadap
konstituennya dan atau Parpolnya masing-masing. Oleh karena itu, peneliti
berkeyakinan bahwa dengan mengubah sistem Pilegda yang baik dan ideal akan
lebih meningkatkan representasi politik masyarakat oleh legislator daerah,
termasuk perbaikan regulasi dalam mengatasi kelemahan-kelemahan dalam SDM dan
integritas para Caleg di masa yang akan datang.
Sesungguhnya otonomi
daerah bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah,
yang nantinya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah
tersebut. Sebenarnya, itulah inti dari otonomi daerah yang bersumber dari asas
desentralisasi, misalnya daerah Kabupaten Musi Rawas diserahkanlah pengelolaan
sumber daya alam, yang diharapkan sumber daya alam tersebut secara optimal
dapat mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi daerah tersebut. Di mana
nantinya pembagian keuntungannya dapat dibagi lebih banyak ke daerah, provinsi,
dan juga pemerintah pusat, termasuk efek domino dari perkembangan daerah
sekitar yang dijadikan pusat pemanfaatan sumber daya alam tersebut.
Berdasarkan hal
tersebut, menurut pendapat peneliti bahwa bukan berarti adanya otonomi daerah
tersebut membuat daerah tidak ada lagi hubungan dengan pemerintah pusat. Hal
inilah yang menjadikan pendapat yang salah, seperti dikatakan orang bahwa
otonomi daerah itu melahirkan �raja-raja kecil� di daerah; hal ini merupakan
pandangan yang sangat keliru. Kita dalam konteks NKRI, mulai dari bupati/walikota,
gubernur, dan presiden merupakan rantai komando pemerintahan secara umum.
Oleh karena itu,
hubungan antara daerah dengan provinsi, daerah dengan pemerintah pusat harus
tetap berjalan sesuai dengan mekanisme dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian anggaran-anggaran di pemerintah pusat juga dipersiapakan untuk
mempercepat pembangunan di daerah, yang berbentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) dan
Dana Alokasi Umum (DAU), serta sumber-sumber lain dari pendapatan yang sah.
Maka dari itu, kepala
daerah kabupaten/kota dituntut oleh pemerintah pusat untuk melakukan inovasi di
daerah untuk menggali sebanyak mungkin PAD mereka masing-masing. Dalam rangka
untuk meningkatkan APBD mereka, tentunya hal ini dalam rangka untuk kemakmuran
bagi seluruh masyarakat daerahnya. Akan tetapi, bukan berarti mereka
meninggalkan hubungan baik dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, di
dalam koridor NKRI.
Untuk itu, DPRD harus
mampu bersinergi dengan pemerintah daerah, di mana sebaik apapun tekad kepala
daerah/Pemda mau membangun daerah, kalau dukungan dari DPRD tidak optimal maka
hasilnya tidak akan baik, contohnya: dalam pembuatan peraturan daerah (Perda)
untuk melakukan penggalian/ ekspolarasi sumber daya alam daerah, tentunya
diperlukan regulasi yang dibuat oleh Pemda yang disahkan oleh DPRD.
Kemudian dalam hal
menyusun anggaran belanja, tentunya diperlukan persetujuan/pengesahan dari
DPRD; jadi sinergi yang baik antara kepala daerah, DPRD, dan OPD merupakan hal
yang paling menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut.
Bukan berarti kepala daerah itu berjalan sendiri, tanpa memperhatikan DPRD; di
mana berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
dinyatakan bahwa pemerintahan daerah adalah Kepala daerah dan DPRD.
Berdasarkan fakta yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa hubungan
harmoni antara DPRD dan Kepala Daerah/OPD merupakan hubungan harmoni yang masih
dipaksakan, dikarenakan akan menjadi penghambat bagi kinerja masing-masing.
Sebenarnya, inilah yang dimaksudkan oleh teori sistem, bahwa apabila salah satu
bagian dari sistem tidak berfungsi maka akan menghambat bagian lainnya dari
sistem tersebut untuk bekerja secara baik.
Di sini menunjukkan bahwa kinerja dan hubungan yang harmoni antara DPRD
dan kepala daerah saat ini adalah merupakan hasil kompromi dalam memperjuangkan
kepentingan mereka masing-masing. Hal ini akan berdampak positif apabila tujuan
mereka tetap sama untuk kepentingan rakyat daerah; namun sebaliknya bila mereka
hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan ambisi politik masing-masing, maka
akan menghasilkan pemerintahan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat
daerahnya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti melihat suatu simpulan sementara
bahwa sistem Pemilu yang digunakan saat ini masih perlu dilakukan perubahan
yang cukup mendasar agar bisa memenuhi keseimbangan sistem antara sistem Pemilu
legislatif daerah dengan sistem pemerintahan daerah, yang berpedoman pada
tingkat perwakilan politik di DPRD yang sangat tinggi hubungannya dengan konstituennya,
yaitu dengan sistem Pilegda yang semi-distrik.
Kondisi ideal pada sistem Pilegda hanya bisa dicapai apabila sistem Pemilu
legislatif daerah saat ini diganti dengan sistem Pemilu legislatif daerah yang
semi-distrik, yaitu satu Dapil hanya satu kecamatan dan model formula pemilihan
berdasarkan asas pluralitas; dan juga sistem ini harus didukung dengan
penguatan kelembagaan dan program kerja Parpol dalam kaderisasi, serta
penggunaan dan pemafaatan teknologi informasi pada setiap tahapan Pilegda, sehingga
pelaksanaan sistem Pilegda dapat berdampak pada meningkatkan hubungan
keterwakilan politik masyarakat terhadap legislatornya, dan kinerja legislator
itu sendiri sebagai wakil rakyat daerah di DPRD Kabupaten/kota.
Secara politik, dengan tingginya tingkat perwakilan politik dengan model
hubungan utusan (delegate) maka dapat kita usulkan untuk Pilkada dapat
dilakukan dengan pemilihan oleh DPRD saja, walaupun hal ini masih perlu kajian
yang lebih mendalam. Sistem Pemilu legislatif daerah saat ini belum harmoni
dengan sistem pemerintahan daerah, sebab sistem Pilegda seharusnya menggunakan
model semi-distrik. Oleh karena itu, perubahan sistem Pilegda dari proporsional
terbuka ke sistem semi-distrik harus dilakukan dengan melakukan perubahan tiga
hal, yaitu: pertama, melakukan pengurangan wilayah Dapil hanya sebatas wilayah
satu kecamatan saja; kedua, melakukan formula perhitungan suara dengan
menggunakan asas pluralitas; dan ketiga, melakukan penguatan fungsi organisasi
dan pengkaderan Parpol.
Kemudian, dengan adanya perubahan diatas, maka harus didukung pula dengan
penyelenggaraan Pilegda yang berkualitas (profesional, jujur, dan adil) dan
berintegritas, sehingga mampu melahirkan para legislator daerah yang memiliki
tingkat keterwakilan politik yang baik terhadap konstituennya, serta sekaligus
mampu memberikan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Selanjutnya, penyatuan regulasi yang terintegrasi antara sistem Pemda dan
Sistem Pilegda serta Sistem Pemilu kepala daerah merupakan suatu keharusan agar
tercipta harmonisasi sistem yang berakibat pada kinerja Pemda yang lebih
efektif lagi. Hal ini juga harus di dukung oleh regulasi atau peraturan
kementerian dalam negeri (Permendagri), yang saling menunjang dan mendukung
terciptanya keselarasan aturan untuk peningkatan kinerja, baik oleh Pemerintah
daerah maupun oleh DPRD, sehingga efektifitas Pemda dapat tercapai dengan baik.
Kesimpulan
Sistem Pemilu yang digunakan saat
ini perlu dilakukan perubahan yang cukup mendasar untuk memenuhi keseimbangan sistem Pemilu
legislatif daerah dengan sistem pemerintahan daerah yang berpedoman pada
tingkat perwakilan politik di DPRD. Di mana sistem pemilihan umum legislatif daerah memiliki tingkat
perwakilan politik masyarakat yang tinggi dengan konstituennya semi-distrik. Dengan kata lain,
kondisi ideal pada sistem Pilegda hanya bisa dicapai apabila sistem Pemilu
legislatif daerah diganti dengan sistem Pemilu legislatif daerah yang
semi-distrik, yaitu: pertama, satu Dapil hanya satu kecamatan; kedua, model
formula pemilihan berdasarkan asas pluralitas; dan ketiga, sistem ini harus
didukung dengan penguatan kelembagaan dan program kerja Parpol dalam
kaderisasi, termasuk penggunaan dan pemafaatan teknologi informasi pada setiap
tahapan Pilegda, sehingga pelaksanaan sistem Pilegda dapat berdampak pada
meningkatkan hubungan keterwakilan politik masyarakat terhadap legislatornya,
dan kinerja legislator itu sendiri sebagai wakil rakyat daerah di DPRD
Kabupaten/kota.
Kemudian, peneliti juga mendapatkan simpulan tentang konsep sistem pemilihan umum legislatif daerah yang memiliki
harmonisasi dengan sistem pemerintahan daerah dalam perspektif politik, bahwa dalam tinjauan politis, sistem Pemilu
legislatif daerah saat ini belum harmoni dengan sistem pemerintahan daerah,
sebab sistem Pilegda belum menggunakan model semi-distrik. Oleh karena itu, perubahan sistem
Pilegda dari proporsional terbuka ke sistem semi-distrik harus dilaksanakan
untuk mencapai harmoni secara sistem. Korelasi hubungan yang harmoni antara
sistem Pilegda dan sistem pemerintahan daerah, ditinjau dari efektivitas
pemerintahan daerah dalam kerangka model otonomi daerah dapat tercapai dengan
baik; apabila sistem Pemilu legislatif daerah dapat meningkatkan model
perwakilan politik yang bersifat utusan atau �delegate�. Model ini,
dapat terwujud apabila sistem Pilegda yang digunakan adalah sistem
semi-distrik; di mana sistem ini sangat menjamin tingkat keterwakilan politik
legislator hanya kepada konstituennya sangat tinggi; namun memang terjadi
pelemahan terhadap perwakilan/kepentingan partai politik.
Pada akhirnya, peneliti berkeyakinan bahwa sistem Pemilu
legislatif daerah yang menggunakan model semi-distrik, dengan didukung
penyelenggaraan yang berkualitas, berintegritas dan profesional, serta jujur
dan adil; akan mampu melahirkan para legislator daerah yang memiliki tingkat
keterwakilan politik yang baik terhadap konstituennya dan Parpolnya; dan
sekaligus mampu memberikan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
BLIBIOGRAFI
Achmad, A. F., & Rudianto, D. (2012). Tata kelola
bernegara dalam perspektif politik. Golden Terayon Press.
Duverger, M., & Stevenson, J. (1955). Droit
constitutionnel et institutions politiques. Presses universitaires de France.
Haris, S. (2005). Pemilu langsung di tengah oligarki
partai: proses nominasi dan seleksi calon legislatif Pemilu 2004. Gramedia
Pustaka Utama.
Misbak, M. (2018). Implementasi Kebijakan Program Prioritas Legalisasi Aset Sertifikat Tanah
Bagi Nelayan di Kota Cirebon. Syntax Literate;
Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(1), 60�74.
Riwanto, A. (2016). Hukum partai politik dan hukum pemilu di
Indonesia. Pengaruh Terhadap Penyelenggaraan Pemilu Berkualitas Dan Sistem
Pemerintahan Presidensial Efektif, Thafa Media, Yogyakarta.
Wajong, J. (1975). Azas dan tujuan pemerintahan daerah.
Djambatan.