Syntax
Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN
: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol.
2, No 2 Februari 2017
HUKUM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DAN HAK
INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 5 TAHUN 1983
Parihutantua
Simarmata
Akademi
Maritim Cirebon
Email
: [email protected]
Abstrak
Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak
negara maritim yang ada di dunia. Sebagai negara maritim, Indonesia juga
memiliki ZEE, atau yang biasa disebut dengan Zona Ekonomi Eksklusif. ZEE atau
Zona Ekonomi Eksklusif di Indonesia sendiri terbilang luas, bahkan sangat luas.
Luas ZEE Indonesia yang� tak sempit tentu
jadi sebuah tantangan tersendiri. Sebab, dengan luas yang dimilikinya,
Indonesia bisa saja menjadi tempat terbaik untuk melakukan kegiatan yang
condong ke kejahatan laut seperti pencurian ikan, perusakan ekosistem perairan
dan sebagainya. Oleh karena hal itu, untuk melindungan keamanan, keseltarian,
dan kelangsungan ekosistem di ZEE, Indonesia juga membuat Undang-Undang RI
Nomor 5 Tahun 1983 tentang tata kelola dan penegakan hukum di wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif atau ZEE. Undang-undang tersebut merupakan aturan yang
membahas tentang berbagai hal seputar aturan umum, penetapan batas, hak
berdaulat, yurisdiksi dan kewenangan, kegiatan yang boleh dilakukan, ganti
rugi, penegakan hukum, ketetapan pidana, ketentuan nominal denda, pengajuan
permohonan pelepasan tersangka yang ditahan, perizinan, pengawasan, dan
berbagai hal yang bersinggungan dengan pemanfaatan, pengelolaan dan pelestarian
di Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia. Dengan adanya perundang-undangan
ini, Indonesia sebagai salah satu negara pantai berhak dan berkewajiban
melakukan hal-hal yang disebutkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1983 seputar tata kelola dan penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif.
Di luar daripada itu, perundang-undangan ini juga bertujuan untuk melaksanakan
hak Indonesia sebagai salah satu negara yang berdaulat.
Keyword: Hukum zona ekonomi eksklusif, zona
ekonomi
eksklusif
Pendahuluan
Republik Indonesia
adalah salah satu dari sekian negara yang memiliki wilayah lautan yang lebih
luas dari daratan. Secara teritoris, wilayah lautan Indonesia mencakup 2/3 dari
total luas wilayahnya. Di sisi lain, letak Indonesia yang ada di antara dua samudra
dan benua juga memungkinanya memiliki sumber daya yang melimpah, iklim yang
baik, serta pertumbuhan ekonomi yang terbilang baik sejak beberapa dekade
terakhir. Di sisi lain, keberadaan rangkaian pulau-pulau cantik yang menjadikan
Indonesia sebagai republik dengan wisata maritim terbesar di dunia. Tak hanya
itu, keberadaan pulau-pulau tersebut juga menjadi magnet tersendiri dan tempat
wisata bagi turis lokal atau pun mancanegara.
Jika dirunut dari
sejarah, Indonesia memang tergolong dalam negara dengan kesatuan maritim yang
baik. Kejayaan Majapahit dalam menyatukan Nusantara jadi bukti bahwa dulu
Indonesia pernah jadi bagian dari jajaran negara dengan potensi maritim terbaik
di dunia. Hingga beberapa tahun berikutnya, Indonesia masih melestarikan kejayaan
itu, hal itu sendiri terbukti dari banyaknya suku yang besar di lautan. Sebut
saja Suku Makassar. Suku tersebut adalah salah satu dari sekian banyak suku
Indonesia yang besar di lautan. Tak hanya Suku Makassar, Indonesia juga
mempunyai suku dengan kemampuan maritim yang baik, yaitu Suku Bugis. Alasan
kenapa Suku Bugis jadi suku yang besar di lautan adalah karena mereka mampu
membuat kapal pinisi, yang saat itu, kapal tersebut adalah kapal terbaik yang
bisa berlayar beribu-ribu mil, bahkan mengelilingi dunia. Baik Suku Makassar,
ataupun Suku Bugis, keduanya adalah suku Indonesia yang terkenal matang di
maritim, membuat kapal, berlayar, dan melaut. Kemampuan keduanya di bidang
maritim sudah bukan isapan jempol lagi. Sebab, hingga kini, penerus dari
keduanya masih melestarikan kemampuan nenek moyang walaupun dengan menggunakan
kualitas yang berbeda.
Kemampuan dan kebisaan
kedua penerus suku tersebut tentu bukan tanpa alasan. Sebab, sebagai warga atau
masyarakat yang terletak di wilayah maritim, keduanya harus mempunyai kemampuan
dan kebisaan yang menonjol di bidang maritim. Kemampuan dan kebisaan tersebut
tentu sangat dibutuhkan, khususnya dalam mencari makan, sumber daya alam, dan
pertahanan.
Tak hanya memiliki
kemampuan, warga atau masyarakat yang hidup di wilayah maritim juga harus
memiliki ketahanan maritim yang baik. Ketahanan tersebut berguna untuk
melindungi wilayah dan potensi sumber daya yang dimiliki dari tangan-tangan
yang salah seperti pencuri ikan, pencuri sumber daya alam dan lainnya.� Di samping melindungi wilayah dan potensi
alam yang dimiliki, ketahanan ini juga berperan dalam menjaga kedaulatan.
Dimana, sebagai masyarakat maritim, orang yang hidup dengan mengandalkan
potensi laut harus memiliki kedaulatan dan pengakuan sosial atas keberadaannya di
tempat tersebut.
Indonesia sebagai
negara maritim, Indonesia juga harus memiliki kedaulatan di depan negara lain
sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan dan kepemilikan sumber daya yang
dimiliki. Kedaulatan Indonesia di ranah maritim sendiri dinilai penting. Sebab,
bagaimana pun juga, Republik Indonesia adalah negara dengan wilayah laut yang
luas dan potensi atau sumber daya laut�
yang melimpah. Tanpa adanya kedaulatan, baik bentang laut ataupun sumber
daya tentu akan terancam, dan mengakibatkan�
kerugian yang tak terelakkan.
Luas laut Indonesia
sendiri mencapai 3,5 juta kilometer persegi (UNCLOS: 1982) Luas tersebut tentu
sangat jauh dengan luas daratan yang hanya 1,9 juta kilometer persegi
(Kemendagri: 2010). Walau demikian,beberapa dekade ke belakang luas perairan
tersebut selalu berkurang seiring pergantian rezim dan pemerintahan. Di masa
kolonial Belanda, perairan Indonesia menyesuaikan teritorialnya dengan Territoriale Zee en Marritiem Kringen
Ordonantie (TZMKO) pada tahun 1939. Setelah merdeka, tepatnya di 13
Desember 1953, Indonesia membuat Deklarasi Djuanda dan menetapkan kawasan
perairan yang� ada di bagian dalam
kepulauan Indonesia menjadi bagian dari teritori Indonesia itu sendiri. Selain
itu, di waktu yang tak jauh beda, Indonesia juga mengubah pengukuran garis
pantai dari yang tadinya 3 mil per pulau jadi 12 mil per pulau. Di samping itu,
di tahun 1989, Indonesia telah mengajukan ketentuan tadi dan diterima sebagai
ketentuan hukum laut internasional hasil konferensi PBB tentang hukum laut
ketiga (UNCLOS). Di luar penetapan dan pengajuan hasil ketetapannya ke PBB,
Indonesia juga telah menetapkan kawasan ZEE dengan total wilayah hingga 200 mil
diukur dari garis pantai terdekat.
Seperti yang disampaikan
di atas, ZEE sendiri adalah zona perairan yang memiliki batas hingga 200 mil
diukur dari garis pantai terdekat. Pada zona tersebut, sebuah negara pantai
punya wewenang untuk mengeksplorasi sumber daya, melakukan kebijakan hukum,
navigasi, hingga melakukan aktivitas di atas zona tersebut. Di luar daripada
itu, ZEE juga berperan sebagai batas terluar dari teritorial sebuah negara.
Karenanya, sebagaimana batas teritorial, ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif hanya
berlaku hingga 200 mil, tidak lebih.
Sama halnya dengan
negara maritim lain, Indonesia juga mempunyai batas ZEE atau Zona Ekonomi
Eksklusif yang sama, yaitu 200 mil.�
Batas itu menjadi batas terotori yang hingga kini jadi perdebatan.
Sebab, hingga kini batas tersebut masih saja ditembuh oleh kapal dan nelayan
asing. Hasilnya, sumber daya atau potensi laut di ZEE pun berkurang, bahkan
hilang. Untuk menghentikan hal tersebut, Indonesia sebagai negara pantai juga
harus memiliki perundang-undangan yang mengatur berbagai pelanggaran di ZEE,
baik itu pencurian ikan, perompakan atau yang lain.�
Metode
Penelitian
Penelitian ini berdasar
pada kajian yuridis normatif yang dilakukan pada UU RI Nomor 5 Tahun 1983
seputar ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif. Model kajian normatif sendiri lebih
fokus pada pembahasan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983. Sedang untuk metode
pendekatan, penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan menempatkan
Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1983 sebagai sebuah hukum, aturan, normal dan
undang-undang yang harus dipatuhi. Untuk kerangka teori penulis lebih fokus
pada aturan perundang-undangan dengan fokus undang-undang yang digunakan adalah
UU RI No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE. Data yang digunakan di sini merujuk pada
data perundang-undangan RI dengan fokus undang-undangnya adalah UU RI No. 5
Tahun 1993 tentang ZEE. Objek kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
hak Indonesia menurut UU RI No. 5 Tahun 1983 tentang ZEE. Sedang untuk teknik
pengumpulan data, penulis menggunakan studi kepustakaan dengan fokus data yang
digunakan adalah UU RI No. 5 Tahun 1983 tentang kepustakaan.
Pembahasan
Hukum
dan Perundang-undangan di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
ZEE atau Zona Ekonomi
Eksklusif adalah wilayah perairan yang luasnya sekitar 200 mil diukur dari
garis pantai terdekat. Setiap negara pantai atau yang memiliki zona tersebut
disebut dengan negara pantai. Karena menjadi pemilik atas zona tersebut, negara
pantai kemudian berhak atas pemanfaatan sumber daya, melakukan penelitian,
pemeriksaan, bahkan penegakan hukum jika ditemui pelanggaran dalam tata kelola
ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif tersebut. Sejauh ini, di beberapa negara,
banyak ditemui pelanggaran yang merugikan negara pantai. Adapun kerugian yang
dialami negara pantai antara lain; kekurangan sumber daya laut, kerusakan alam,
bahkan tercurinya informasi yang diakibatkan oleh pihak-pihak yang tak
bertanggung jawab.
Republik Indonesia
selaku negara pantai juga tak luput dari kerugian. Sebagai contoh, untuk kasus
pencurian ikan, Indonesia sedikitnya telah kehilangan 11-26 juta ton ikan per
tahunnya. Jumlah tersebut tentu sangatlah merugikan negara dan nelayan
setempat. Untuk menekan kerugian tersebut, Republik Indonesia selaku pemilik
ZEE dan negara pantai tentu harus memiliki perundang-undangan yang mengatur
kemaritiman, khususnya di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif.
Di tahun 1983,
Indonesia telah membuat perundang-undang yang konsen mengatur tentang kemaritiman,
khususnya di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif. Undang-undang yang dimaksud
mengatur beberapa hal, seperti; eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam
laut, kegiatan di ZEE, penegakan hukum, ketetapan pidana, dan hak Indonesia
sebagai pemilik ZEE. Undang-undangan itu ialah Undang-undang RI nomor 5 tahun
1983 seputar ZEE atau Zona Ekonomi EKsklusif. Adapun isi undang-undang tersebut
adalah:
1. Pasal
1 di Bab 1 Ketentuan Umum berisi tentang;
a. Sumber
daya alam hayati
Dalam
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 1 point (a), sumber daya alam hayati
adalah semua jenis organisme, entah itu tumbuhan atau pun hewan, asal dia
berada di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif, dia dianggap sebagai bagian dari ZEE
atau Zona Ekonomi Eksklusif. Artinya, setiap hewan dan tumbuhan di Zona Ekonomi
Eksklusif harus diatur dan dikelola pemanfaatannya dengan baik oleh
undang-undang.
b.� Sumber daya alam non hayati
Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 1 poin (b), segala aspek alam non
hayati adalah semua jenis aspek alam selain sumber daya alam hayati yang ada di
ZEE. Tak jauh beda dengan sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati
pun harus dikelola dan diatur oleh perundang-undangan sebagai bentuk
perlindungan yang dilakukan oleh Indonesia selaku negara pantai.
c. Penelitian
Ilmiah
Menurut� UU RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 1 poin (c),
penelitian ilmiah adalah segala kegiatan yang melibatkan penelitian tentang
kelautan, meliputi penelitian permukaan air, ruang air, dasar laut, serta
tanahnya yang ada di Zona Ekonomi Eksklusif. Dalam hal ini, penelitian harus
diatur agar tidak ada unsur pencurian informasi kelautan atau sebagainya. Di
samping itu, pengaturan juga berguna untuk melindungi hak-hak negara pantai
sebagai pemilik Zona Ekonomi Eksklusif tersebut.
d. Konservasi
sumber daya alam
Dalam
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 1 poin (d), konservasi sumber daya
alam adalah segala kegiatan yang bertalian dengan pelestarian dan perlindungan
sumber daya yang ada di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif. Sebagai negara pantai,
Indonesia memang butuh pelestarian untuk menjaga kondisi sumber daya alam laut,
khususnya yang ada di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif.
e. Pelestarian
dan perlingungan lingkungan laut
Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 1 poin (e), pelestarian dan
perlindungan lingkungan laut dimaksudkan sebagai usaha untuk menjaga ekosistem
laut di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif. Sama halnya dengan konservasi SDA,
pelestarian dan perlindungan lingkungan laut juga bertujuan untuk melindungi
dan menjaga kelestarian sumber daya yang ada di ZEE atau Zona Ekonomi
Eksklusif.
2. Pasal
2 Di Bab 2 Zona Ekonomi Eksklusif berisi tentang pengertian ZEE atau Zona
Ekonomi Eksklusif seutuhnya. Dalam Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 2,
ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif diartikan sebagai jalur di luar Indonesia,
serta berbatasan langsung dengan laut Indonesia sebagaimana yang ditetapkan
undang-undang tentang perairan Indonesia. Dalam pasal tersebut juga dijelaskan
bahwa ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif melingkupi dasar laut, tanah di bawahnya,
dan air di atasnya dengan bentang wilayah hingga 200 mil.
3. �Pasal 3 Bab 2 Zona Ekonomi Eksklusif tentang
batas ZEE. Pasal ini sendiri terbagi menjadi 2 poin, yakni:
3.1.Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 3 ayat 1, Jika batas ZEE atau Zona
Ekonomi Eksklusif milik Indonesia mengalami tumpang tindih dengan batas negara
lain, maka batas ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif yang berlaku adalah batas yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini, Indonesia sebagai pemilik
Zona Ekonomi Eksklusif harus melakukan perundingan dengan negara terkait.
Hingga saat ini Indonesia sendiri telah melakukan perundingan seputar batas ZEE
dan teritori dengan beberapa negara tetangga seperti; Malaysia, Singapura,
Timor Leste, serta Papua Nugini.
3.2.Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 3 ayat 2, Adapun jika belum ada
kesepakatan khusus antara Indonesia dengan\negara terkait, maka batas yang
digunakan adalah garis tengah, atau garis sama jauh yang diukur dari pangkal
laut masing-masing negara. Tapi kembali lagi pada poin di atas, jika sudah ada
kesepakatan antara kedua belah pihak, maka hasil kesepakatan itulah yang
menjadi batas ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif.
4. Pasal
4 Bab 3 kewajiban dan yuridiksi di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif terbagi ke
dalam beberapa ayat, seperti:
4.1.Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 4 ayat 1, dalam ZEE atau Zona Ekonomi
Eksklusif, Republik Indonesia selaku pemilik ZEE dan negara pantai wajib
melaksanakan dan memiliki:
4.1.1. Yurusdiksi
yang berkaitan dengan hal-hal seperti; penelitian ilmiah seputar keluatan,
pembangunan dan pengembangan pulau-pulau, serta pelestarian sumber daya sebagai
bentuk penjagaan sumber daya alam.
4.1.2. Hak
bedaulat, khususnya dalam pengembangan, pengelolaan, eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan penelitian ilmiah yang berkaitan dengan kelautan di ZEE atau
Zona Ekonomi Eksklusif. Hak ini sendiri adalah hak paten yang diperoleh
Indonesia selaku negara pantai.
4.1.3. Di
samping kedua hak di atas, Indonesia selaku pemilik ZEE dan negara pantai juga
memiliki hak dan kewajiban yang diatur dan disesuaikan oleh undang-undang
kelautan.
4.2.Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 4 ayat 2, semua hal yang
bersinggungan dengan laut dan tanah di bawahnya, yurisdiksi, serta hak dan
kewajiban Indonesia sebagaimana yang dimaksud ayat 1 dan paparan di atas akan
diatur lebih lanjut oleh undang-undang seputar Landas Kontinen Indonesia,
persetujuan antara Indonesia dan negara lain yang terlibat dalam urusan batas
ZEE dan Zona Ekonomi Eksklusif, serta ketetapan hukum internasional yang
berlaku pada saat itu.
4.3.Menurut
UU RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 4 ayat 3, semua kasus yang melibatkan kebebasan
pelayaran, penerbangan dan pemasangan pipa bawah laut dianggap sah dan diakui
oleh prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku pada saat itu.
5. Pasal
5 Bab 4 yang isinya seputar kegiatan di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif terbagi
menjadi 3 ayat, yakni:
5.1.Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 5 ayat 1, tanpa mengurangi ketentuan
pasal 4 ayat 2, setiap yang melakukan tindakan eksplorasi dan/atau eksploitasi
SDA seperti pembangkitan tenaga dari air, angin dan arus di ZEE harus mendapat
persetujuan Indonesia selaku negara pantai. Dalam kasus lain, pelaku juga harus
mengantongi persetujuan internasional dengan Indonesia dan melakukan
kegiatannya dengan baik tanpa melanggar isi persetujuan.
5.2.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 5 ayat 2, tanpa mengurangi
fungsi dari ayat 1, setiap kegiatan yang bersinggungan dengan eksplorasi
dan/atau eksploitasi SDA hayati harus sesuai dengan ketentuan konservasi yang
dibuat oleh Republik Indonesia.
5.3.Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 5 ayat 3, tanpa mengurangi fungsi
dari ayat 2, setiap kegiatan yang bersinggungan dengan eksplorasi dan/atau eksploitasi
yang berhubungan dengan sumber daya alam hayati harus dilakukan dengan jumlah
yang sesuai dengan ketentuan. Aturan ini sendiri merujuk pada ayat 2. Sebab,
sebagaimana ayat 2, setiap kegiatan yang bersinggungan dengan eksplorasi
dan/atau eksploitasi harus sesuai dengan aturan konservasi yang dibuat oleh
Republik Indonesia. Itu artinya, setiap pihak atau instansi asing yang
melakukan kegiatan eksploitasi dan/atau eksplorasi sumber daya alam hayati
hanya boleh menangkap sumber daya tersebut dengan jumlah yang telah ditentukan
oleh Indonesia selaku negara pantai.
6. Pasal
6 Bab 4 ini berisi tentang penggunaan bangunan, instalasi dan pulau buatan
sebagai bentuk kegiatan di Zona Ekonomi Eksklusif. Menurut Undang-Undang RI
Nomor 5 Tahun 1983 pasal 6, setiap agenda atau kegiatan yang melibatkan
bangunan, instalasi, dan pulau buatan yang terletak di Zona Ekonomi Eksklusif
harus melalu izin Republik Indonesia selaku negara pantai. Dalam penerapannya,
kegiatan yang meliputi penggunaan bangunan, instalasi dan pulau buatan di ZEE
harus sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh negara pantai, yakni Republik
Indonesia.
7. Pasal
7 Bab 4 ini berisi tentang kegiatan penelitian yang dilakukan di ZEE. Sesuai
dengan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 6, setiap kegiatan penelitian
ilmiah harus mendapat izin dari negara pantai, yakni Republik Indonesia. Dalam
penerapannya, pasal kegiatan itu sendiri harus dilakukan dengan menaati aturan,
syarat dan ketentuan yang dibuat oleh Republik Indonesia. Di samping itu, tiap
kegiatan penelitian juga harus mempertimbangkan ketentuan konservasi SDA yang
dianut Indonesia, tidak boleh merusak atau melakukan kegiatan yang mengurangi
fungsi SDA, baik itu hayati atau non hayati.
8. Pasal
8 Bab 4 ini berisi tentang kegiatan antisipasi dan pengurangan resiko kerusakan
terhadap sumber daya di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif. Tak berbeda dengan
beberapa pasal lain, pasal 8 ini juga terbagi ke dalam 2 ayat, yakni;
8.1.Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 8 ayat 1, siapa pun yang melakukan kegiatan,
baik itu penelitian, eksplorasi, dan/atau eksploitasi, wajib untuk mencegah,
membatasi, mengendalikan dan mananggulangi pencemaran laut yang dilakukan oleh
kegiatan tersebut. Pasal ini sendiri berkaitan dengan pasal 5 ayat 2 tentang
keikutsertaan peserta kegiatan dalam upaya menataati aturan pengelolaan dan
konservasi SDA yang dilakukan di ZEE milik Indonesia.
8.2.Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 8 ayat 2, segala macam pembuangan,
baik itu yang dilakukan oleh kegiatan di ZEE ataupun tidak, harus melalui izin
dari negara pantai, yakni Republik Indonesia.
9. Pasal
9 Bab 5 berisi tentang persoalan ganti rugi yang dilakukan pihak yang melakukan
kegiatan di ZEE. Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 9, setiap
pelaksana kegiatan di ZEE yang bertentangan dan/atau melanggar undang-undang
kelautan RI dan hukum laut internasional wajib menanggung pembayaran uang ganti
rugi sebesar nominal yang diatur dalam undang-undang lanjutan.
10. Pasal
10 Bab 5 berisi tentang ganti rugi yang dilakukan pihak peneliti di ZEE atau
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983
pasal 10, setiap pihak peneliti yang melanggar perjanjian dan/atau merusak
ekosistem dan SDA di ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif, wajib membayar uang denda
atau ganti rugi.
11. Pasal
11 Bab 5 berisi tentang ketentuan ganti rugi akibat kegiatan di Zona Ekonomi
Eksklusif. Tak jauh beda dengan pasal-pasal di atas, pasal 11 pun dibagi ke
dalam 3 ayat, yakni;
11.1 Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 11 ayat 1,� setiap pihak yang memikul�� tanggung jawab dan berkewajiban membayar
ganti rugi harus segera membayar dengan batas waktu yang telah ditentukan.
11.2 Menurut
UU RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 11 ayat 2, pasal 1 dikecualikan jika pihak
terkait dapat membuktikan jika kerusakan, pencemaran dan ganti rugi diakibatkan
oleh kejadikan alam yang di luar kemampuannya dan/atau pihak ketiga yang
memanfaatkan momentum ini sebagai lahan untuk memperkaya diri.
11.3 Bentuk,
jenis dan besarnya denda atau ganti rugi sesuai dengan hasil penelitian ekologi
terhadap kerusakan dan pencemaran di ZEE.
12. Pasal
12 Bab 5 berisi tentang gambaran umum ganti rugi dan penelitian sebagai tindak
lanjut dari pencemaran dan pengrusakan SDA di ZEE. Menurut Undang-Undang RI
Nomor 5 Tahun 1983 pasal 12, segala sesuatu yang berkaitan tentang batas akhir
ganti rugi, penelitian ekologi dan/atau penuntutan ganti rugi yang sebagaimana
disampaikan pasal 11 akan diatur dalam undang-undang lanjutan.
13. Pasal
13 bab 6 berisi tentang penegakan hukum yang melibatkan terdakwa yang melanggar
aturan di ZEE. Sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 13,
setiap penegak hukum di Republik Indonesia berhak melakukan tindak penangkapan
terdakwa sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 yang membahas Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penangkapan itu sendiri merupakan bagian dari
pelaksanaan hak yurisdiksi, berdaulat, dan hak-hak lain yang sebagaimana
disampaikan pasal nomor 4 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 seputar
ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif. Namun penangkapan sebagaimana UU RI Nomor 8
Tahun 1981 akan dikecualikan, jika:
-
Penangkapan dan penanganan terdakwa
pelanggaran di ZEE milik Indonesia harus diproses paling lambat 7 hari, kecuali
jika ada keadaan force majeure.
-
Dalam hal penahanan, tindak pidana� yang disebutkan dalam pasal 16 dan 17
tergolong ke dalam perilaku pidana yang tercantum dalam pasal 21 ayat 4 huruf
(b) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Acara Hukum
Pidana.
-
Penangkapan terhadap pihak-pihak pelanggar,
kapal pelanggar dan pihak yang bersangkutan dengan pelanggaran, mulai dari
penghentian sampai penangkapan dan penyerahan kapal tersebut dipelabuhan dan
dapat diteruskan ke pemrosesan lanjutan.
14. Pasal
14 bab 6 sendiri membahas seputar gambaran umum seputar penangkapan, penanganan
dan pengadilan terdakwa pelangar aturan ZEE atau Zona Ekonmi Eksklusif.
Sebagaimana pasal sebelumnya, pasal ini pun terbagi menjadi beberapa ayat,
seperti;
14.1 Menurut
UU RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 14 ayat 1, setiap pihak berwenang yang bertugas
menangkap pelanggar adalah bagian dari pihak yang diutus oleh instansi terkait
dalam mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif nasional.
14.2 Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 14 ayat 2, setiap penuntut umum
merupakan jaksa yang berasal dari pengadilan negeri yang dimaksud dalam pasal
14 ayat 3 UU RI Nomor 5 Tahun 1983.
14.3 Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 14 ayat 3Pengadilan negeri yang
bertugas mengadili terdakwa adalah pengadilian negeri yang wilayah hukumnya
mencakup pelabuhan dimana penangkapan dilakukan.
15. Pasal
15 Bab 6 membahas tentang pembebasan kapal dan orang-orang yang ditahan karena
didakwa melanggar aturan dan perundang-undangan tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
Pasal 15 sendiri terbagi menjadi beberapa ayat, di antaranya:
15.1 Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 15 ayat 1, setiap pihak bisa
mengajukan permohonan pembebasan kapal dan orang-orang yang didakwa melanggar
undang-undang kemaritiman dan Zona Ekonomi Eksklusif selama belum ada putusan
dari pengadilan negeri yang berwanang.
15.2 Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 15 ayat 2, permohonan yang
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 15 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun
1983 akan dikabulkan apabila pihak pemohon menyerahkan uang jaminan yang sesuai
dengan keputusan pengadilan negeri terkait.
16. Pasal
16 Bab 7 membahas seputar ketentuan pidana terdakwa yang terbukti merusak,
mencemari dan melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan ekosistem di ZEE.
Pasal 16 ini sendiri terbagi menjadi�
beberapa ayat dengan pokok bahasan seperti:
16.1 Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 16 ayat 1, pihak-pihak yang
aktivitasnya menentang pasal 5 ayat 1, pasal 6 dan pasal 7 akan dikenakan denda
sebesar-besarnya Rp 225.000.000,- (dua ratus dua puluh lima juta rupiah).
16.2 Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 16 ayat 2, hakim selaku penegak hukum
berhak untuk menentukan menyita segala sesuatu yang berkaitan dengan
pelanggaran sebagai bentuk keputusan atas pelanggaran yang dilakukan oleh
terdakwa.
16.3 Menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 16 ayat 3, setiap pihak yang terbukti
melakukan pencemaran, pengurasakan dan pemusnahan ekosistem di ZEE atau Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia akan diadili sesesuai perundang-undangan yang
berlaku di bidang lingkungan hidup.
17. Pasal
17 Bab 7 ini fokus membahas sanki yang diterima penghilang barang bukti.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 17, setiap pihak yang
menghilangkan barang bukti yang digunakan dalam tindak pidana yang sebagaimana
dimaksud pasal 16 ayat 1 akan dikenakan pidana denda sebesar-besarnya Rp
75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah).
18. Pasal
18 Bab 7 sendiri fokus pada pengelompokan tindak pidana di pasal 16 dan 17
sebagai tindak kejahatan. Menurut UU RI Nomor 5 Tahun 1983 pasal 18, tindak
pidana yang digambarkan di pasal 16 dan 17 adalah bentuk kejahatan.
19. Pasal
19 Bab 8 lebih fokus pada status peraturan eksplorasi dan/atau eksploitasi
sebelum disahkannya undang-undang ini. Sebagaimana UU RI Nomor 5 Tahun 1983
pasal 19, setiap peraturan eksplorasi dan eksploitasi SDA yang besifat hayati
sebelum undang-undang ini disahkan dianggap berlaku hingga ada perubahan dari
perundang-undangan lanjutan.
20. Pasal
20 Bab 9 condong membahas tentang pihak pelaksana ketentuan di UU ini dan
nominal denda untuk yang melanggar. Pasal 20 Bab 9 sendiri terbagi jadi 2 ayat,
yaitu:
20.1. Setiap
pihak yang melaksanakan ketentuan atas undang-undang ini akan diatur kembali
oleh perundang-undangan setelahnya.
20.2. Setiap� peraturan pemerintah yang memiliki
keterkaitan dengan pelaksanaan perundang-undangan ini bisa mencantumkan nominal
denda hingga Rp 75.000.000,- (tujuh lima puluh juta rupiah) terhadap tiap
pelanggarnya.
Hak
dan Kewenangan Indonesia selaku negara pantai
Jika ditilik dari
perundang-undangan yang tercantum di atas, bisa dibilang bahwa Republik
Indonesia merupakan pihak yang memiliki kuasa penuh atas ZEE yang dimilikinya.
Sebab, sesuai dengan undang-undang yang tertera di atas, Republik Indonesia
selaku negara pantai berhak dan memiliki wewenang sebagaimana berikut:
1. Melakukan
kegiatan yang bersinggungan pewujudan hak berdaulat, yurisdiksi dan hak-hak
lain sebagaimana negara pantai terhadap Zona Ekonomi Eksklusif yang
dimilikinya. Hak dan kewenangan ini merupakan bentuk kedaulatan Republik
Indonesia selaku pemilik ZEE dan negara pantai sebagaimana yang tercantum di
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 Pasal 4 ayat 1 dan 2.
2. Memberikan
perizinan pada pihak yang ingin mengeksplorasi dan/atau mengeksploitasi
SDA� di ZEE sebagaimana pasal 5 ayat 1
dan 3, pasal 6, dan pasal 7 di Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 seputar Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.
3. Membuat
ketentuan, aturan, dan perundang-undangan yang membahas tentang konservasi,
pelestarian serta pengelolaan SDA hayati di Zona Ekonomi Eksklusif. Hak dan
wewenang ini sendiri tertuang dalam pasal�
5 ayat 3 di Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 seputar ZEE di� Indonesia
4. Mengawasi
pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian, eksplorasi dan eksploitasi di
ZEE� sebagaimana yang tertuang dalam
pasal 5 ayat 1 dan 3, pasal 6, dan� pasal
7 di Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 seputar ZEE di Indonesia.
5. Sebagai
pihak yang mengajukan denda sebagai yang tertuang dalam pasal 16 ayat 1, pasal
17 dan pasal 20 ayat 2 di Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 seputar Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.
6. Menangkap
pihak-pihak yang melanggar sebagaimana yang tertuang di pasal 13 dan pasal 14
ayat 1-3 di Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 seputar Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.
7. Menjadi
tempat persidangan dan pengelapasan pihak-pihak yang diduga melanggar� sebagaimana yang terdapat dalam pasal 15
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 seputar�
Zona Ekonomi Eksklusif.
8. Menentukan
ketentukan dan jenis pidana sebagaimana yang tercantum dalam pasal 16 ayat 1-3,
pasal 17 dan pasal 18 di Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983.
9. Melakukan
persidangan terhadap tersangka perusakan dan pelangaran Undang-Undang RI Nomor
5 Tahun 1983 seputar Zona Ekonomi Eksklusif.
Melihat semua
kewenangan dan hak di atas, diketahui jelas bahwa Indonesia selaku negara
maritim, sekaligus negara pantai, berhak atas setiap kegiatan, aktivitas,
pembuatan aturan, dan penerapan aturan yang bersentuhan dengan Zona Ekonomi
Eksklusif. Adapun jika terdapat pihak atau instansi asing yang mencuri,
merusak, dan/atau melanggar aturan yang dibuat oleh Indonesia, maka Indonesia
selaku sebuah negara pantai berhak atas penegakan hukum terhadap pihak-pihak
tersebut.
Kesimpulan
Indonesia sebagai salah
satu dari sekian negara maritim dan negara pantai berhak mengawasi,
mengizinkan, dan melaksanakan pengawasan terhadap semua kegiatan yang
melibatkan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagai objek. Di samping untuk
melindungi kedaulatan Indonesia selaku salah satu dari sekian banyak negara
pantai, hal ini juga bertujuan untuk menjaga kelestarian dan kegiatan
konservasi SDA di ZEE. Sedang untuk mewujudkan semua hal di atas, Indonesia
selaku negara pantai telah membuat Undnag-Undang RI Nomor 5 Tahun 1983 seputar
Zona Ekonomi Eksklusif sebagai perundang-undangan yang mengatur segala hal
tentang ZEE. Adapun pokok pembahasan dalam UU RI Nomor 5 Tahun 1983 adalah:
1. Bab
I yang membahas tentang ketentuan umum dalam perundang-undangan, meliputi
pengertian sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, konservasi,
perlingungan dan pelestarian lingkungan hidup di ZEE.
2. Bab
II yang membahas seputar ZEE Indonesia, meliputi batas, perubahan batas, serta
kesepakatan yang membahas tentang batas ZEE di Indonesia.
3. Bab
III yang membahas tentang hak, kewenangan dan yurisdiksi Indonesia selaku
negara pantai.
4. Bab
IV yang membahas tentang berbagai kegiatan yang boleh dilakukan di ZEE.
5. Bab
V yang membahas tentang ganti rugi akibat pelanggaran di ZEE atau Zona Ekonomi
EKsklusif.
6. Bab
VI yang membahas tentang penegakan hukum terhadap pihak yang melanggar� di ZEE Indonesia.
7. Bab
VII yang membahas seputar ketentuan pidana yang melibatkan pelangar di ZEE
Indonesia.
8. Bab
VIII yang membahas tentang peralihan ketentuan dari perundang-undangan sebelum
UU RI Nomor 5 Tahun 1983 ini disahkan.
9. Bab
IX yang membahas tentang ketentuan penutup.
BIBLIOGRAFI
Anwar
Chairul. 1995. Zona
ekonomi eksklusif di dalam hukum international: dilengkapi dengan analisis zona
ekonomi eksklusif Indonesia dan ZEE di Asia-Pasifik. Jakarta:
Sinar Grafika.
Diantha
Pasek I Made. 2002. Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia: Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1983. Bandung:
Mandar Maju.
K.
S. Wahyono. 2009. Indonesia Negara
Maritim. Jakarta: Teraju
Purdijatno
E. Tedjo. 2010. Mengawal Perbatasan
Negara Maritim: Laksamana Edhy Purdijatno, SH. Jakarta: Grasindo.
Perundang-undangan:
Undang-Undang
RI Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Undang-Undang
RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana