Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�����
e-ISSN : 2548-1398
�����
Vol. 4, No. 10 Oktober 2019
BUDAYA HUKUM APOTEKER DALAM PEMBERIAN INFORMASI, EDUKASI, DAN PENYERAHAN
OBAT KERAS (DAFTAR G)
Rizki Rahmah Fauzia
Sekolah Tinggi Farmasi (STF) Cirebon
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian yaitu untuk
memahami dan mengkaji bagaimanakah budaya hukum apoteker yang terbentuk
berkaitan dengan pemberian informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras dalam
meningkatkan kualitas hidup pasien dan untuk mengkaji serta menelaah
upaya-upaya yang dilakukan oleh IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) sebagai
organisasi profesi apoteker dalam menangani kasus tidak adanya pemberian
informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras oleh apoteker.Adapun metode
penelitian yang digunakan yaitu dengan pendekatan non doktrinal yaitu
socio-legal. Hasil penelitian menunjukkan masih adanya pembelian obat keras
tanpa resep dokter dan ketidakhadiran apoteker di tempat praktik saat jam buka
apotek sehingga pelayanan informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras tidak
dilakukan oleh apoteker. Hal tersebut disebabkan karena kesadaran dan kepatuhan
apoteker terhadap Peraturan Pemerintah No.51 tentang Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 21 ayat (2) masih rendah sehingga terbentuklah budaya hukum yang apatis
dikarenakan tidak adanya pembinaan dan pengawasan yang ketat dari Dinas
Kesehatan beserta IAI sebagai organisasi profesi. Adapun upaya yang dilakukan
oleh IAI terhadap apoteker yang tidak hadir di apotek sehingga tidak memberikan
pelayanan informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras dengan terus melakukan
sosialisasi kepada apoteker tentang tugas dan kewajibannya, walaupun tidak
adanya sanksi yang dibuat oleh organisasi profesi apabila apoteker tidak
melakukan pemberian informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras kepada
pasien. Tidak adanya sanksi yang dibuat oleh organisasi profesi menandakan
bahwa kesadaran dan kepatuhan pengurus organisasi IAI terhadap hukum masih
kurang. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu bahwa budaya hukum
apoteker dalam pemberian informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras adalah
budaya hukum yang apatis.Untuk merubah budaya hukum apoteker yang apatis
tersebut maka perlu dilakukan sosialisasi ulang kepada apoteker dan pemilik
fasilitas pelayanan kefarmasian. IAI sebagai organisasi profesi harus lebih
mengetahui dan memahami peraturan yuridis yang berlaku serta membuat panduan
tertulis (buku saku) kepada anggota profesinya.
Kata Kunci : Budaya Hukum, Apoteker, Pemberian Informasi
�
Pendahuluan
Pelayanan
kesehatan merupakan kebutuhan untuk setiap kalangan. Tidak hanya kalangan� menengah�
atas, kalangan� bawah� pun�
membutuhkan pelayanan� ini� guna�
menunjang� kesehatannya (Purabaya, 2017).
Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang
ditujukan pada perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan terkait dengan
penggunaan obat-obatan sehingga dapat meningkatkan mutu kehidupan manusia (Midian Sirait, 2001).
Di dalam pelayanan kefarmasian di apotek, peranan apoteker menjadi perhatian
utama karena apoteker merupakan penanggung jawab dalam praktik pelayanan
kefarmasian di apotek (Siregar & Kumolosari, 2005).
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia yang dapat dilihat
di Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.
Pekerjaan
kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional seperti yang tercantum
dalam Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Ada
beberapa jenis obat, salah satu jenis obat-obatan yang dijual di apotik dan
menjadi tanggung jawab apoteker adalah obat daftar G (obat keras).
Menurut
Kepmenkes No. 633/Ph/62/b Tahun 1962 tentang Daftar Obat Keras, obat-obatan
yang termasuk ke dalam obat keras seperti antibiotika, antidiabetes, hormon dan
antihipertensi menurut aturan perundang-undangan tidak dapat diberikan tanpa
resep dokter. Namun saat ini obat keras dapat dibeli dengan mudah di apotek
walau tanpa resep dokter, salah satu alasannya adalah persaingan bisnis antar
apotek yang bertujuan untuk meningkatkan omset apotek seperti yang terjadi di Kota
Cirebon ini. Ada beberapa apotek di Kota Cirebon yang� ramai sekali dan penjualan obat keras dapat
dibeli dengan mudah dan lebih murah tanpa resep dokter oleh masyarakat tanpa
diberikan informasi obat yang baik, benar, dan jelas.
Hal
lain yang menyebabkan obat keras dapat dibeli bebas adalah kurangnya kesadaran
dan pengetahuan masyarakat akan bahaya dari obat keras tersebut. Acap kali
masyarakat datang ke dokter untuk berobat, dan apabila penyakitnya kambuh maka
tanpa ragu datang ke apotek untuk membeli obat keras yang sama dengan resep
sebelumnya. Seperti yang terjadi pada beberapa apotek di Denpasar/Bali ini yang
dengan leluasanya menjual obat keras tanpa resep dokter walaupun permintaan
dari pasien / konsumen tanpa pemberian informasi obat yang baik, benar dan
jelas. Hal ini disebabkan karena tidak adanya apoteker di apotek atau yang
memberikan obat tersebut bukan apoteker melainkan asisten apoteker.
Berdasarkan
hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) lebih dari 50% apotek
tidak dihadiri oleh apotekernya, sedangkan di papan nama apotek jelas tertera
apotek buka 24 jam lengkap dengan nama apotekernya (Hukor Kemenkes, 2007).
Hasil survei lainnya dari apotek-apotek di wilayah Denpasar Utara, Denpasar
Selatan, Denpasar Barat, Denpasar Timur, Kuta Selatan dan Kuta Utara
menunjukkan rata-rata lebih dari 97% apotek membolehkan pembelian obat keras tanpa
resep dokter dan survei tingkat kehadiran apoteker di apotek pada saat
pembelian obat keras yaitu Denpasar Utara, Denpasar Selatan, Denpasar Barat,
Denpasar Timur, Kuta Selatan dan Kuta Utara menunjukkan rata-rata 79,5% (Rai Gunawan, 2011)
Hasil
survei di atas menunjukkan bahwa seharusnya masyarakat sebagai konsumen berhak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4 ayat (c). Maksud dari Pasal tersebut
yaitu masyarakat sebagai konsumen berhak atas pemberian informasi tentang
obat-obatan yang dibelinya.
Hak
masyarakat dalam pemberian informasi obat merupakan kewajiban seorang apoteker (Priyatno & Aridhayandi, 2018).
Peran apoteker bukanlah sekedar meracik obat, tetapi juga memberikan informasi
obat yang aman dan benar sehingga masyarakat mendapatkan edukasi tentang
kesehatan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan Pasal 7 yang berbunyi �Setiap orang berhak untuk mendapatkan
informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab�.
Oleh karena itu seorang apoteker harus berada di apotek sebagai tempat
praktiknya dan memberikan pelayanan informasi obat� khususnya obat keras kepada masyarakat
sebagai konsumen, seperti yang tercantum pada Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun
2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi� �penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan
resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker�.
Pelayanan
kefarmasian yang komprehensif guna meningkatkan kualitas hidup pasien dilakukan
oleh seorang apoteker dengan cara melakukan pelayanan farmasi klinik seperti
pelayanan informasi obat yang terdapat dalam Permenkes No.35 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek pada Pasal 3 ayat (3). Dalam hal ini
seorang apoteker harus memberikan informasi obat yang benar, jelas, mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini yang meliputi cara
pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta
makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
Seorang
apoteker tidak hadir di apotek secara tidak langsung dapat mempengaruhi
kualitas hidup dari pasien karena dalam pelayanan atas informasi obat keras
tidak dilakukan dengan semaksimal mungkin. Begitu pula apotek-apotek yang ada
di Kota Cirebon yang tidak memberikan informasi obat khususnya obat daftar G
(obat keras) karena ketidakhadiran apoteker di tempat ataupun yang menyerahkan
obat tersebut hanyalah asisten apoteker, yang akan berdampak buruk pada
kualitas hidup pasien. Karena jika dilihat dari sudut pandang keilmuan, asisten
apoteker tidak dapat menggantikan apoteker di dalam pekerjaan kefarmasian
karena dasar keilmuan yang berbeda. Namun di sisi lain berdasarkan praktik yang
terjadi secara berulang dan terus-menerus, asisten apoteker dinilai telah
memiliki pengetahuan yang sama di bidang obat berdasarkan ilmu yang
diperolehnya selama dalam proses pendidikan ditambah dengan pengetahuan yang
diperoleh secara praktis.
Berdasarkan
uraian di atas, terjadi suatu perbedaan dalam memberikan makna khususnya
tentang nilai-nilai kesadaran dan atau ketidaksadaran serta nilai-nilai
kepatuhan dan atau ketidakpatuhan yang merupakan masalah budaya hukum yang pada
pokoknya dilakukan pengamatan terhadap sikap-sikap apoteker, penilaian dan anggapannya
tentang hukum yang formal yang berlaku bagi apoteker tersebut.Sehingga harus
dibangun kondisi budaya hukum apoteker untuk memberikan pelayanan informasi
obat keras guna meningkatkan kualitas hidup pasien.
Metode
Penelitian
Paradigma
yang digunakan pada penelitian ini yaitu Paradigma Critical Theory yaitu yang menjelaskan realitas yang teramati (virtual reality) merupakan realitas
�semu� yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial,
budaya, ekonomi, politik, gender, etnis, dan sebagainya (Warassih, 2001).
Adapun jenis penelitiannya yaitu penelitian kualitatif. Jenis penelitian
kualitatif pada hakikatnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya
berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka
tentang dunia sekitarnya. Penelitian ini dilaksanakan di dua apotek di Kota
Cirebon.
Hasil
dan Pembahasan
Pergeseran
orientasi dari profit oriented
menjadi patient oriented menyebabkan
terjadinya suatu perubahan sosial, yaitu segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan didalam
suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial termasuk nilai-nilai sosial, sikap, dan perilaku
antara individu ataupun kelompok dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini,
perubahan fungsi apotek didalam suatu masyarakat dapat mempengaruhi nilai-nilai
sosial, sikap, dan perilaku apoteker terhadap pasien dengan kehadiran apoteker
tersebut di apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian.
Temuan
dari penelitian ini menyangkut tentang tingkat kehadiran apoteker di tempat
praktik di kedua
lokasi penelitian adalah :
1.
Pada Apotek KFS,
apoteker selalu hadir di apotek pada jam praktik shiftnya yaitu kurang lebih delapan
jam kerja setiap hari dari hari Senin sampai Sabtu, terkadang hari Minggu pun
hadir di apotek untuk mengontrol keadaan di apotek serta menyelesaikan tugas
administrasi apotek yang belum terselesaikan. Tetapi apoteker ini sibuk dengan
tugas administrasi apotek, sehingga dapat dikatakan apoteker tidak dapat
memberikan pelayanan kefarmasian termasuk memberikan informasi, edukasi, dan
penyerahan obat keras kepada pasien secara optimal.
2.
Pada Klinik AM,
apoteker hanya datang dua kali dalam seminggu yaitu hari Senin dan Kamis atau
hari Senin dan Rabu dengan jam datang antara pagi hari pukul 10.00 WIB atau
siang hari pukul 13.00 WIB dengan frekuensi jam kerja 5-7 jam kerja. Ketika
apoteker tidak hadir di apotek
tersebut maka yang melakukan tugas pelayanan kefarmasian adalah asisten
apoteker.
Jika
dikaji dari hasil penelitian tersebut, ada peningkatan kehadiran apoteker di
fasilitas pelayanan kesehatan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya yang
menyebutkan bahwa apoteker tidak berada di tempat praktiknya walaupun eperti di Klinik AM, apoteker hanya
datang dua
kali dalam seminggu.
Hal
tersebut bukan berarti tidak ada sebabnya, berdasarkan hasil wawancara dengan
Apoteker Penanggung jawab Klinik AM bahwa ia terpaksa untuk datang dua kali dalam seminggu ke tempat praktiknya karena
ketiadaannya toleransi dari pimpinan Klinik tentang masalah pendapatan gaji
apoteker tersebut, walaupun hati nuraninya ingin selalu hadir di tempat
praktiknya sehingga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang baik kepada
pasien.
Jika
diperhatikan dari alasan apoteker Klinik AM yang pada akhirnya tidak hadir
setiap hari di tempat praktiknya disebabkan faktor lain di luar dirinya yaitu
sistem di Klinik yang membuat ia tidak melakukan tugasnya sebagai seorang
apoteker. Walaupun sebenarnya ia sadar dan�
patuh dari hati sanubarinya untuk melakukan pelayanan kefarmasian kepada
pasien dengan optimal, tetapi jika memang kesadaran dan kepatuhannya tidak
didukung oleh faktor lain dalam hal ini adalah mendapatkan haknya (faktor
ekonomi) maka kesadaran dan kepatuhan akanterkait hukum tersebut akan
mengalami penurunan dan timbul reaksi-reaksi yang negatif dari apoteker
sehingga semakin besar pertentangan antara peraturan dengan kesadaran tersebut
maka akan semakin sulit untuk menerapkannya.
Berkaitan
dengan hak apoteker dalam hal gaji, organisasi profesi IAI sebenarnya telah membuat ketentuan
gaji tersebut guna melindungi hak apoteker dari kesewenang-wenangan pemilik
fasilitas pelayanan kesehatan tempat apoteker berpraktik, yaitu apoteker berhak
mendapatkan gaji pokok dua
kali
UMR dengan tambahan uang transport, uang makan, dan tunjangan kesehatan dengan
total nominal tiap bulannya kurang lebih Rp 3.000.000,- hingga Rp 3.500.000,-.
Untuk ketentuan tersebut sebenarnya sudah disosialisasikan kepada fasilitas
pelayanan kesehatan ketika membuat perjanjian kerjasama antara apoteker dengan
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut. Namun pada akhirnya pihak fasilitas
pelayanan kesehatan yang tidak peduli akan hal tersebut dan tidak memberikan
hak apoteker setelah menjalankan kewajibannya. Sebaiknya pihak fasilitas
pelayanan kesehatan pun sadar dan patuh akan ketentuan yang dibuat oleh
organisasi profesi serta saling menghargai dan menghormati akan hak dan
kewajiban antar profesi karena pada dasarnya yang menjadi pimpinan atau pemilik
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut adalah tenaga kesehatan juga.
Pihak
organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia juga seharusnya melindungi hak-hak
anggota profesinya dengan lebih maksimal lagi, tentunya dengan melihat dan
mempertimbangkan kewajiban yang telah dilakukan oleh anggota profesinya dengan
cara memberikan sosialisasi berkelanjutan dan penindakan terhadap pemilik
fasilitas pelayanan kefarmasian yang tidak peduli akan hak dan kewajiban kedua
belah pihak yang saling membutuhkan dan bekerjasama untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Sehingga hak dan kewajiban antara apoteker dengan pemilik
fasilitas pelayanan kefarmasian saling terpenuhi satu sama lain.
Obat
merupakan semua zat kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis yang layak
dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit berikut gejalanya (Tjay & Rahardja, 2007). Selain dapat
menyembuhkan obat juga dapat bersifat meracuni jika tidak diberikan pada
indikasi dan dosis yang tepat sesuai dengan kondisi pasien, oleh karena itu
diperlukan pelayanan atas informasi, edukasi, dan penyerahan obat khususnya
obat keras yang hanya dapat diberikan dengan adanya resep dari dokter. Hal
tersebut sesuai dengan Kepmenkes No. 633/Ph/62/b Tahun 1962 tentang Daftar Obat
Keras bahwa obat-obatan tersebut tidak dapat diberikan tanpa resep dokter.� Pelayanan atas informasi, edukasi, dan
penyerahan obat keras harus dilakukan oleh seorang apoteker seperti yang
tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian Pasal 21 ayat (2) yang berbunyi�
�Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan
oleh Apoteker�.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009 Pasal 21 ayat (2), secara tidak langsung
seorang apoteker harus berada di tempat praktiknya untuk memberikan pelayanan
kefarmasian khususnya pelayanan informasi, edukasi, dan penyerahan obat
keras.� Peraturan tersebut merupakan
salah satu bentuk dari hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu
proses perubahan dalam masyarakat yang menyangkut perubahan sikap dan/atau pola
perilaku warga masyarakat. Dalam hal ini perubahan sikap dan atau pola perilaku apoteker dan
masyarakat. Seorang apoteker dituntut untuk merubah sikap dan perilakunya untuk
melakukan kefarmasian dengan optimal kepada pasien untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien, sedangkan untuk pasien sendiri dituntut untuk merubah sikap dan
perilakunya untuk lebih mengenal peran profesi apoteker dan juga untuk lebih
peduli terhadap kesehatan dirinya khususnya patuh akan informasi dan edukasi
yang diberikan oleh apoteker dan tidak sembarangan untuk mengkonsumsi obat-obatan.
Tujuan
yang telah disebutkan di atas, temuan penelitian yang didapatkan yaitu �:
1.
Apotek
KFS masih menerima pembelian obat keras tanpa resep dokter dengan pemberian
informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras yang belum optimal yaitu informasi
yang diberikan hanya sebatas informasi yang tertera dalam etiket obat, hal ini
dikarenakan yang menyerahkan adalah asisten apoteker. Tetapi ketika apoteker
yang menyerahkan obat keras tersebut diberikan informasi, edukasi, dan
penyerahan obat keras yang baik dan benar. Pasien yang berkunjung di Apotek ini
termasuk ke dalam konsumen menengah ke atas dengan rata-rata pendidikan
yang� cukup tinggi sehingga pasien datang
ke apotek sudah mencari apoteker dan juga apabila informasi obat yang diberikan
tidak jelas maka pasien akan langsung bertanya untuk mendapatkan informasi obat
yang lebih jelas.
2.
linik
AM menerima pembelian obat keras tanpa resep dokter� dengan pemberian informasi, edukasi, dan
penyerahan obat keras yang belum optimal yaitu informasi yang diberikan hanya
sebatas informasi yang tertera dalam etiket obat, hal ini dikarenakan yang
menyerahkan adalah asisten apoteker walaupun apoteker telah memberikan ilmu
pengetahuan dan sosialisasi kepada asisten bagaimana memberikan informasi,
edukasi, dan penyerahan obat-obatan yang baik dan benar kepada pasien tetapi
tetap tidak dilakukan dengan baik. Namun ketika apoteker yang menyerahkan obat
keras tersebut diberikan informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras yang
baik dan benar. Apoteker pun mampu menggalang komunikasi dengan tenaga
kesehatan lain, termasuk kepada dokter dalam memberikan pelayanan informasi
obat termasuk tentang obat baru atau produk obat yang sudah ditarik dari
pasaran. Hubungan yang baik antara apoteker dengan dokter di klinik tersebut tentunya
sangat bagus guna kesembuhan pasien. Pasien yang berkunjung ke Klinik ini
termasuk ke dalam pasien menengah ke bawah dengan rata-rata pendidikan
yang� rendah hingga sedang, sehingga pada
umumnya mereka memiliki persepsi pemberian informasi dan edukasi dalam
penyerahan obat keras ini tidak penting bahkan menganggap bahwa proses tersebut
membuat lelah mereka.
Jika
kita kaji dari hasil penelitian di atas, apoteker telah melanggar peraturan
yang ada karena menerima pembelian obat keras tanpa resep dokter.� Menurut Apoteker Penanggung jawab Apotek KFS,
ia terpaksa menerima pembelian obat keras tanpa resep dokter karena dikejar
target omset oleh pimpinan Apotek KFS. Karena menurutnya jika hanya
mengandalkan pembelian obat-obatan dengan resep dokter tidak akan menghasilkan
keuntungan yang besar bagi apotek .
Pada
dasarnya apoteker mengetahui akan peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi
persepsi yang ada di dalam dirinya adalah dia terikat dengan sistem yang
mengharuskan dia untuk melakukan hal tersebut. Selama apoteker tersebut dapat
mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukan, yakni etika dia berada di
apotek memberikan informasi, edukasi, dan penyerahan yang baik kepada pasien. Dan
menurutnya tidak sedikit pula pasien yang meminta nomor teleponnya untuk
mendapatkan informasi obat melalui telepon. Dalam kasus ini masih terdapatnya pembelian obat
keras� tanpa resep dokter, seorang
apoteker masih belum sadar dan taat akan hukum yang sudah berlaku. Sehingga
dapat dikatakan tingkat kesadaran dan kepatuhan apoteker terhadap peraturan Kepmenkes
No. 633/Ph/62/b Tahun 1962 tentang Daftar Obat Keras, bahwa obat-obatan yang
termasuk ke dalam obat keras seperti antibiotika, antidiabetes, hormon dan
tidak dapat diberikan tanpa resep dokter masih rendah.
Sikap
pasien yang memberikan sinyal positif akan kehadiran apoteker bahwa pemberian
informasi dan edukasi dalam penyerahan obat keras sangat dibutuhkan dan penting
menandakan adanya hubungan yang positif antara tingkat pengetahuan dan
pendidikan dengan rasa ingin tahu serta peduli terhadap kesehatan diri sendiri.
Hal tersebut yang seharusnya menjadi pacuan bagi apoteker untuk memberikan
pelayanan kefarmasian yang lebih baik lagi dengan meningkatkan tatap muka
langsung dengan pasien untuk memberikan informasi dan edukasi tentang
obat-obatan kepada pasien, kemampuan, dan ketrampilan yang dimiliki serta
memberikan pembinaan kepada aisten apoteker di apotek untuk meningkatkan
pengetahuan yang dimiliki. Salah satunya dengan mengikutsertakan asisten apoteker
dalam semina kefarmasian atau menyediakan buku-buku yang bermanfaat di bidang
kesehatan khususnya kefarmasian untuk dipelajari oleh apoteker maupun asisten
apoteker.
Sehingga
Menurut Apoteker Penanggung jawab Klinik AM, ia masih menerima pembelian obat
keras tanpa resep dokter disebabkan rasa sosial untuk menolong pasien pada
pertolongan pertama, tetapi itu pun sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya,
indikasi yang diderita pasien, dan juga keyakinan dari diri apoteker bahwa
sakit yang diderita pasien merupakan penyakit tertentu yang pernah diketahuinya
sebelumnya sehingga ia pun berani untuk memberikan obat keras tersebut.
Menurutnya masih banyak apotek-apotek lain yang tidak melakukan pemberian
informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras kepada pasien dengan baik dan
benar tetapi tidak ada sanksi apapun yang diterima karena tidak ada pemeriksaan
dari Dinas Kesehatan ataupun IAI sebagai organisasi profesi yang merupakan
salah satu lembaga penegakan hukum, yang pada akhirnya menganggap bahwa hukum
dibuat untuk dilanggar. Persepsi demikian yang membentuk budaya hukum yang
apatis dari diri apoteker.
Hasil
temuan yang didapatkan di Klinik AM�
bahwa asisten apoteker yang tetap tidak sadar dan patuh akan pentingnya
pemberian informasi dan edukasi obat keras kepada pasien guna meningkatkan
kualitas hidup pasien ini walaupun telah diberikan sosialisasi dan pengetahuan
oleh apoteker kepada asisten apoteker bagaimana memberikan informasi, edukasi,
dan penyerahan obat-obatan yang baik dan benar kepada pasien, menandakan bahwa
interaksi sosial yang terjadi dan berlangsung antara asisten apoteker dengan
apoteker melalui penafsiran dan pemahaman tindakan masing-masing atau dapat
disebut terdapat fenomena didalamnya. Adapun fenomena yang dimaksud yaitu
asisten apoteker menafsirkan bahwa memberikan informasi dan edukasi obat keras
bukan merupakan kewajiban dari asisten apoteker sehingga tidak ada keinginan
untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan dalam memberikan informasi dan
edukasi kepada pasien.Tetapi sebaliknya penafsiran dari apoteker adalah bahwa
seorang pasien harus mendapatkan informasi dan edukasi dalam menyerahkan obat
keras untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, walaupun bukan dirinya yang
menyerahkan obat keras tersebut.Jika kita kaji persepsi dari apoteker tersebut
didalamnya terdapat kepentingan yaitu walaupun apoteker tidak hadir di klinik,
pelayanan kefarmasian tetap berjalan dengan optimal.
Ditemukannya
persepsi pasien yang datang ke Klinik AM tentang pemberian informasi dan
edukasi dalam penyerahan obat keras tidak penting bahkan menganggap bahwa
proses tersebut membuat lelah mereka, menandakan bahwa terdapat kendala dalam
melakukan pelayanan kefarmasian sehingga informasi dan edukasi obat keras yang
dilakukan oleh tenaga kefarmasian tidak dibutuhkan atau tidak tersampaikan
dengan baik kepada pasien. Salah satunya adalah tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang rendah sehingga pemahaman dan persepsi yang timbul dari aksi
yang diberikan oleh tenaga kefarmasian kurang mendapat respon yang positif.
Hambatan
lain yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dalam memberikan informasi dan
edukasi obat keras yaitu ada kesenjangan antara pemberi dan penerima informasi,
baik dalam penggunaan bahasa, cara penuturan, ataupun cara pendekatan; waktu
untuk memberikan informasi terbatas; pemberi informasi tidak berhasil menarik
perhatian atau keterbukaan pasien/keluarganya; informasi yang diberikan tidak
diartikan secara benar atau tidak dimengerti; petunjuk yang diberikan tidak
dipahami; petunjuk yang diberikan tidak disepakati; petunjuk yang diberikan
tidak dapat dilaksanakan; petunjuk yang diberikan tidak lengkap; hal-hal yang
harus dilakukan terlupa untuk dilakukan; pasien tidak suka diajak berdiskusi;
pasien/keluarga sudah merasa mengetahui tanpa perlu diberikannya informasi
obat; dan keyakinan pasien/keluarganya sulit untuk diubah (Kurniapuri & Supadmi, 2015)
Ada
empat jurang pemisah yang menjadi kendala dalam pelayanan publik, yaitu tidak
tahu apa yang sebenarnya diharapkan oleh masyarakat, pemberian ukuran yang
salah dalam pelayanan masyarakat, keliru penampilan diri dalam pelayanan publik
itu sendiri, dan ketika membuat perjanjian terlalu berlebihan (Zeithaml, Parasuraman, Berry, & Berry, 1990).
Oleh karena itu dalam pelayanan publik harus mengandung unsur-unsur dasar
sebagai berikut (Hardiyansyah, 2018)
:
1.
Hak
dan kewajiban bagi pemberi dan penerima pelayanan umum harus jelas dan
diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.
2.
Pengaturan
setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan
kemampuan masyarakat dengan tetap berpegang teguh pada efisiensi dan efektivitas.
3.
Kualitas,
proses, dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar dapat memberi keamaan,
kenyamanan, dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Terciptanya
kepuasan pasien dapat memberikan berbagai manfaat, diantaranya hubungan antara
pelanggan dan pemberi layanan menjadi harmonis, sehingga memberikan dasar yang
baik bagi terciptanya loyalitas pasien, membentuk suatu rekomendasi dari mulut
ke mulut (word of mouth) yang
menguntungkan bagi pemberi layanan, reputasi yang semakin baik di mata pasien,
dan laba yang diperoleh akan semakin meningkat (Patmonodewo, 2000).
Membangun
budaya hukum yang peduli dan komunikatif terhadap pasien, dengan meningkatkan
kesadaran dan kepatuhan dari diri apoteker itu sendiri merupakan salah
satu cara untuk mengatasi dampak yang timbul dari ketidakhadiran apoteker di
tempat praktik untuk memberikan pelayanan informasi, edukasi, dan penyerahan
obat keras. Agar terbangun kesadaran hukum apoteker maka harus dilakukan upaya
penanaman kesadaran hukum yaitu salah satunya adalah dengan komunikasi hukum.
Komunikasi
hukum ini bertujuan untuk membangkitkan suatu compliance, melalui sosialisasi, edukasi atau inkulturasi hukum
(pembudayaan hukum) yang menyentuh ke lubuk sanubari seorang apoteker sehingga
lahirlah perilaku yang taat akan hukum sesuai dengan hukum positif yang berlaku
dan terjadi titik temu antara keyakinan moral pribadinya dengan nilai dasar
yang menjiwai isi hukum yang berlaku (Wignjosoebroto & Hukum, 2002).
Begitu pula yang dilakukan oleh IAI sebagai organisasi profesi dengan terus
memberikan sosialisasi dalam bentuk pertemuan-pertemuan dan seminar kefarmasian
sebagai bentuk dari komunikasi hukum kepada para anggota profesinya.
Menurut
ketua IAI cabang Kota Cirebon, IAI terus memantau anggotanya yaitu
apoteker-apoteker yang nakal, yang tidak hadir di tempat praktiknya
(disimpulkan apoteker yang tidak ada di tempat praktik adalah apoteker yang
mempunyai pekerjaan juga sebagai PNS) sehingga tidak memberikan pelayanan
kefarmasian kepada pasien.Salah satu caranya dengan melihat alamat tinggalnya
dengan alamat praktiknya.Jika alamat tinggalnya tidak berada di Kota Cirebon
maka IAI terus melakukan pemantauan kepada apoteker tersebut.
Menurut
ketua IAI cabang Kota Cirebon, memang tidak ada sanksi yang tegas dan tertulis
mengenai kehadiran apoteker di tempat praktik untuk memberikan pelayanan
informasi, edukasi, dan penyerahan obat keras oleh apoteker, baik dalam
Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian ataupun Permenkes
No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. Walaupun
dengan demikian, IAI sebagai organisasi profesi tetap melakukan sosialisasi dan
pemantauan kepada anggota-anggota profesinya.
Berdasarkan
realitas kelembagaan, maka lembaga harus membuat kebijakan sanksi yang tertulis
dalam kaitannya dengan apoteker. Sebab berdasarkan hasil penelitian di wilayah
studi tidak ditemukan hal yang spesifik tentang peraturan sanksi tersebut, oleh
karena itu sering terjadi budaya hukum yang apatis pada apoteker tidak dapat
diselesaikan sebagaimana proses hukum itu bekerja. Hal ini membuktikan
administrasi, birokrasi, dan hukum yang berkenaan dengan kinerja apoteker tidak
dapat berjalan sesuai dengan yang diamanatkan oleh ketentuan hukum yang berlaku.
Disisi lain terjadi pula disfungsi kelembagaan dalam hal-hal yang berkaitan
dengan profesi apoteker. Hal ini dibuktikan melalui lemahnya monitoring dan
evaluasi yang seharusnya tersebut harus diemban oleh lembaga yang bersangkutan IAI
dan Dinas Kesehatan setempat.
Kesimpulan
Berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian
ini yaitu bahwa budaya hukum apoteker dalam pemberian informasi, edukasi, dan
penyerahan obat keras adalah budaya hukum yang apatis. Untuk merubah budaya
hukum apoteker yang apatis tersebut maka perlu dilakukan sosialisasi ulang
kepada apoteker dan pemilik fasilitas pelayanan kefarmasian. IAI sebagai
organisasi profesi harus lebih mengetahui dan memahami peraturan yuridis yang
berlaku serta membuat panduan tertulis (buku saku) kepada anggota profesinya.
BIBLIOGRAFI
Hardiyansyah, H. (2018). Kualitas Pelayanan Publik:
Konsep, Dimensi, Indikator dan Implementasinya. Gava Media.
Hukor Kemenkes. (2007). Tinjauan Sosiologis Terhadap Pengaturan
Mengenai Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, 2008. Koran Sindo.
Kurniapuri, A., & Supadmi, W. (2015). Pengaruh Pemberian
Informasi Obat Antihipertensi Terhadap Kepatuhan Pasien Hipertensi di Puskesmas
Umbulharjo I Yogyakarta Periode November 2014. Majalah Farmaseutik, 11(1),
268�274.
Midian Sirait. (2001). Tiga Dimensi Farmasi, Ilmu
Teknologi, Pelayanan Kesehatan, dan Potensi Ekonomi. Jakarta.
Patmonodewo, S. (2000). Pendidikan anak prasekolah.
Rineka Cipta bekerjasama dengan Departemen Pendidikan & Kebudayaan.
Priyatno, D., & Aridhayandi, M. R. (2018). Resensi Buku
(Book Review) Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya, 2014. Jurnal
Hukum Mimbar Justitia, 2(2), 881�889.
Purabaya, T. B. (2017). Sistem Informasi Rekam Medis (Studi
Kasus: Klinik Medika Prima Indramayu). Syntax Literate; Jurnal Ilmiah
Indonesia, 2(9), 151�169.
Rai Gunawan. (2011). Tingkat Kehadiran Apoteker Serta
Pembelian Obat Keras Tanpa Resep Di Apotek, Bali : Jurusan Farmasi
Fakultas MIPA.
Siregar, C., & Kumolosari, E. (2005). Farmasi Klinik:
Teori dan Penerapan, hal. 321-333. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Tjay, T. H., & Rahardja, K. (2007). Obat-obat penting:
khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingnya. Elex Media Komputindo.
Warassih, E. (2001). Pemberdayaan masyarakat dalam
mewujudkan tujuan hukum (Proses penegakan hukum dan persoalan keadilan).
Wignjosoebroto, S., & Hukum, P. (2002). Metode dan
Dinamika Masalahnya. Elsam Dan Huma, Jakarta.
Zeithaml, V. A., Parasuraman, A., Berry, L. L., & Berry,
L. L. (1990). Delivering quality service: Balancing customer perceptions and
expectations. Simon and Schuster.