Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849

e-ISSN : 2548-1398

Vol. 2, No 3 Maret 2017

 

 


ANALISIS TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA DAN SANKSI BAGI PELAKU PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

 

Andi Lala

Akamigas Balongan Indramayu

Email : [email protected]

 

Abstrak

Di dalam Pancasila khususnya pada sila pertama, Indonesia memberikan jaminan kepada seluruh warganya untuk menganut dan/atau menjalankan agama sesuai aturan yang telah ditentukan. Selain di dalam Pancasila, kebebasan dalam hal beragama juga dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) amandemen kedua pasal 28E ayat 1 dan 2 yang menjelaskan bahwa tiap warga negara mempunyai kebebasan dalam hal memeluk dan/atau menjalankan agama yang diyakininya. Meskipun kebebasan tentang beragama telah terjamin dalam Pancasila dan UUD 1945, namun kenyataannya permasalahan-permasalahan di masyarakat yang bertalian dengan agama masih terjadi, seperti halnya penghinaan, merendahkan kepercayaan suatu kelompok hingga masalah yang bertalian dengan tempat ibadah suatu agama. Sebagai upaya guna mencegah serta menanggulangi hal tersebut, pemerintah memberikan payung hukum terhadap permasalahan-permasalahan yang bertalian dengan agama yang termaktub dalam pasal 156, 156a dan 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang mengenai pidana penistaan agama.

 

Kata Kunci: Penistaan Agama

 

Pendahuluan

Agama ialah satu dari sekian unsur terpenting dalam masyarakat karena agama merupakan pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupan di masyarakat. Sehingga kebebasan bagi masyarakat untuk beragama harus dihargai, dijamin dan dilindungi. Kebebasan dalam hal beragama harus dipahami dengan pengertian yang luas seperti kebebasan untuk membangun tempat ibadah dan berkumpul, melakukan ibadah sesuai ajaran agamanya, melakukan dakwah (publikasi) hingga komunikasi dalam umat beragama dalam mencari solusi ketika terjadi suatu permasalahan. Kebebasan dalam bergama sejatinya sudah diatur dalam UUD 1945 amandemen kedua pasal 28E ayat 1 dan 2, yang menjelaskan bahwa tiapwarga negara diberikan kebebasan untuk: memeluk, meyakini, dan/atau menjalankan agamanya, memilih kewarganegaraan dan tempat tinggal, memilih pendidikan serta pengajaran.

Sehingga dapat kita pahami bahwa memeluk agama atau mayakini suatu kepercayaan di Indonesia serta menjalankan aktivitas keagamannya merupakan hak bagi seluruh warga negara. Hak yang dimiliki tersebut tidak dapat diintervensi dan diintimidasi oleh siapapun karena tindakan melakukan intervensi atau intimidasi dapat tergolong dalam jenis pelanggaran hukum. Kebebasan beragama yang diatur dalam undang-undang bertujuan untuk menumbuhkan sikap toleransi, meniadakan tindakan diskriminasi atas nama agama, dan menciptakan rasa nyaman dan aman dalam menjalankan setiap kegiatan keagamaan.

Akan tetapi hal tersebut dapat terwujud apabila setiap individu dapat menunjukan rasa saling pengertian, bersahabat dengan semua orang, menjaga perdamaian dan persaudaraan yang universal serta menghargai tiapperbedaan. Sehingga setiap warga negara benar-benar memahami bahwa segala macam bentuk perbedaan termasuk dalam aspek keagamaan yang sebenarnya dapat diterapkan sebagai media guna menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa.

Pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap kebebasan beragama dengan menerapkan aturan-aturan tertentu (payung hukum) mengingat bahwa Indonesia merupakan bangsa plural yang mempunyai keberagaman dalam banyak aspek, termasuk salah satunya dalam aspek agama. Tanpa adanya aturan yang jelas, keberagaman ini tentunya akan berpeluang menimbulkan banyak permasalahan dalam kehidupan bernegara.

Sehingga selain memberikan kebebasan, pemerintah juga memberikan aturan-aturan terhadap kebebasan tersebut sebagaimana yang termaktudpada Pasal 28J ayat 1 dan 2 UUD 1945 amandemen kedua. Dalam Pasal 28J ayat 1 dan 2 UUD 1945 disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai kewajiban untuk saling menghormati dan/atau menghargai HAM satu sama lain serta wajib untuk mentaati tata aturan yang telah disahkan oleh undang-undang mengenai pembatasan terhadap hak asasi tersebut.

Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk pengakuan atas hak yang dimilikiorang lain. Segala macam bentuk ketidakpatuhan yang diperbuat akan dikenakan sanksi (pidana) sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Meskipun kebebasan beragama dan batasan-batasannya sudah diatur, akan tetapi dalan praktiknya masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran baik secara individu ataupun kelompok terhadap individu ataupun kelompok lainnya, seperti melakukan intervensi, intimidasi ataupun menghina kepercayan suatu kelompok yang biasa disebut dengan penistaan agama.

Perdebatan mengenai penistaan agama senantiasa terjadi terlebih saat menentukan perbuatan dan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke jenis penistaan agama serta vonis yang akan dikenakan bagi pelaku penistaan agama tersebut. Hal seperti ini bisa dilihat dari beberapa kasus di nusatara yang masuk dalam kategori penistaan agama, seperti: Kasus Arswendo Atmowiloto yang terjadi pada tahun 1990an.

Arswendo divonis 4 (empat) tahun penjara karena dianggap melakukan penistaan tehadap agama Islam. Hal tersebut terjadi ketika Arswendo melakukan polling tentang tokoh idola yang dimuat dalam Tabloid Monitor dengan hasil pollingnya menempatkan Presiden Soeharto yang pada masa itu menjadi Presiden RI berada di urutan pertama sedangkan Nabi Muhammad SAWyang merupakan panutan seluruh orang islam berada di urutan ke-11. Hal tersebut tentunya menimbulkan gejolak dalam masyarakat, padahal apa yang diperbuat oleh Arswendo sekedar menyampaikan hasil polling, bukan secara sengaja melakukan sebuah penistaan. Daripada itu, Pasal 156 KUHP dijadikan dasar dalam Penetapan vonis tersebut.

Syamsuriati atau yang dikenal Lia Eden divonis 2,5 tahun penjara setelah menyatakan dirinya sebagai nabi. Lia Eden kemudian dikenakan Pasal 156a, subsider pasal 156 KUHP. (Kompas, 2 Juni 2009) . kemudian pada tanggal 25 Mei 2016, Ahmad Musadeq ditahan oleh polisi karena dianggap telah melakukan penistaan agama. Ahmad Musadeq ialah pendiri Gafatar,salah satu organisasi yang dianggap memiliki ajaran yang menyesatkan. Selain itu Gafatar merupakan metamofosis dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Al-Qiyadah Al-Islamiyah merupakan konsep ideologi yang sempat dilarang kejaksanaan agung di tahun 2007 lalu. Pasal 156a kemudian dijadikan dasar dalam penangkapan sekaligus penahanan terhadap Imam Musadeq yang pada ahirnya imam Musadeq divonis 4 tahun penjara.

Selanjutnya pada tanggal 15 November 2016, Basuki Tjahaja Purnama (Gubernur DKI Jakarta) dijadikan sebagai tersangka oleh kepolisian atas dugaan penistaan agama. Hal ini berkaitan dengan pernyataanya ketika melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu. Basuki Tjahaja Purnama dianggap menistakan agama Islam setelah mengeluarkan pernyataan yang memiliki kaitan dengan isi salah satu ayat di dalam Al Quran (kitab suci agama Islam). Atas ungkapannya tersebut, Basuki Tjahaja Purnama kemudian dijadikan tersangka dengan merujuk pasal 156a KUHP dan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (Kompas, 16 Februari 2017).

Penerapan pasal 156a KUHP ini memang perlu penafsiran. Oleh karena hal ini, hakim harus bijak apabila akan menerapkan pasal ini. Hakim harus mempunyai pengetahuan khusus tentang ajaran suatu agama, sehingga keputusan-keputusan yang ditetapkan dapat mewakili kepentingan bersama bukan keputusan yang dapat menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat.

 

Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang diterapkan disini ialah metode penelitian hukum normative. Yaitu dengan cara mengkaji dan/atau menganalisis berbagai macam sumber hukum (library research). Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji mengungkapkan bahwa hukum normatif mencakup: (1) penelitian tentangasas-asas hukum; (2) penelitian atas sistematik hukum; (3) penelitian akantaraf sinkronisasi vertikal dan horizontal; (4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. Data yang peneliti gunakan ialah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari UUD 1945, KUHP pasal 156, pasal 156a dan pasal 157 serta Undang-Undang Nomor 1/Pnps/1965. Sedangkan untuk sumber data sekunder, diperoleh dari berbagai buku tentang hukum pidana, kamus hukum, jurnal tentang hukum dan dokumen-dokumen resmi lain yang berkaitan. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.

 

 

Pembahasan

Hakekat Penistaan Agama

Penistaan agama merupakan gabungan dari kata penistaan dan agama. Agama menurut Koentjaraningrat diartikan sebagai sebuah sistem yang tersusun atas empat unsur, yaitu: emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan umat atau kesatuan sosial (Koentjaraningrat. 1985). Semua unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan terintegrasi secara utuh. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa agama ialah suatu sistem dan prinsip kepercayaan atas adanya Tuhan atau Dewa (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002). Sedangkan kata penistaan menurut KBBI mempunyai kata dasar nista yang bermakna hina, cela atau rendah sehingga penistaan dapat diartikan penghinaan, pelecehan dan merendahkan. Dari rangkaian penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa penistaan agama merupakan suatu upaya untuk merendahkan, melecehkan, atau merendahkan sesuatu yang diyakini sebagai prinsip kepercayaan seseorang baik dalam wujud ucapan atau perbuatan.

Pengertian penistaan agama dalam KUHP tidak dipaparkan dengan jelas, namun dalam buku yang lain dijelaskan bahwa makna dari penistaan agama adalah penyerangan dengan sengaja atas nama baik serta kehormatan orang lain atau suatu golongan baik lisan ataupun tulisan dengan tujuan agar diketahui oleh masyarakat luas (J.C.T. Simorangkir, 1995). Barda Nawawi Arief (dalam Barda Nawawi Arief, 2010)menjelaskan bahwa kegiatan pidana yang berkaitan dengan agama dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kriteria yaitu:

1. Tindak pidana menurut agama, yaitu mencakup semua yang dilarang menurut agama, kendati hukum negara tidak menggolongkan tindakan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Dalam hal ini pada umumya dijelaskan dalam kitab suci agamanya. Seperti membunuh, berzinah, atau mencuri.

2. Tindak pidana terhadap agama, yaitu mencakup perbuatan dan/atauucapan yang bersinggungan atau bertujuan untuk merendahkan Keagungan dan kemuliaan Tuhan, Sabda dan Sifatnya, Nabi/Rasul, aktivitas keagamaan, Institusi Agama, Kitab Suci, tempat ibadah dan sebagainya.

3. Tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama, yaitu mencakup seluruh ucapan atau perbuatan yang dapat mengganggu ketenangan dan rasa nyaman terhadap individu atau kelompok dalam melakukan aktivitas keagamaannya.

Sebagaimana yang dijabarkan dalam uraian sebelumnya bahwa untuk terciptanya rasa nyaman dan ketertiban dalam masyarakat, maka diperlukan payung hukum guna menjamin dan/atau melindungi setiap individu atau kelompok atas hak asasinya. Termasuk hak memperoleh rasa nyaman dalam menjalankan kegiatan keagamaan (ibadah) sebagaimana yang termaktubdalam pasal 28E ayat 1 dan 2. Hal ini tentunya selain dapat menciptakan ketertiban dalam masyarakat juga dapat menciptakan ketenangan dan sikap khusyuk dalam beribadah.

Dalam KUHP, tindak pidana agama pada awalnya hanyalah mencakup pada poin tindak pidana yang memiliki kaitan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama (kriteria poin 3). Namun ditambahkan Pasal 156a ke dalam KUHP berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/Pnps/1965, barulah pengertian tentang tindak pidana atas agama (poin ke-2) juga tercantum dalam KUHP.

Selain pasal 156a KUHP di atas, pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/Pnps/1965 juga mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana yang berhubungan agama, tetapi tidak diintegrasikan dalam KUHP. Inti dari pasal 1 sendiri ialah tiap individu dilarang dengan sengaja di muka umum membeberkan, menganjurkan dan/atau mengusahakan dukungan umum guna melakukan penafsiran akan sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang punya kemiripan dengan kegiatan-kegiatan ada pada agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itudijelaskan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang.

Jika dipahami secara mendalam, pasal 1 di atas secara jelas melarang individu atau kelompok untuk melakukan penafsiran-penafsiran tambahan ajaran dari suatu agama termasuk di dalamnya melakukan kegiatan-kegiatan yang menyerupai dari kegiatan dari sebuah agama yang sudah ada. Namun aturan ini baru dapat dipidana, apabila telah mendapat perintah atau peringatan untuk menghentikan perbuatan tersebut yang berdasar pada SKB 3 Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri).

Hal tersebut mengacu pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/Pnps/1965. Adapun inti dari pasal 3 sendiri ialah; apabila, setelah dilakukan perbuatan oleh Menteri Agama beserta Menteri/Jaksa Agung serta Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut aturan yang terkandung dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka tetaP melanggar aturan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau pengurus organisasi yang bersangkutan akan dipidana dalam waktuselama-lamanya lima tahun.

Wirjono Prodjodikoro (dalam Wirjono Prodjodikoro 1982: 149) menerangkan bahwa pelanggaran pidana tentang agama dibagi menjadi dua, yaitu: pelanggaran dan/atau tindak pidana yang diarahkan pada suatu agama (againts) dan pelanggaran dan/atau tindak pidana yang bersangkutan/berhubungan dengan suatu agama (relating, concerning). Pada umumnya sebagian besar orang menyebutkan tindak pidana agama adalah pada konotasi yang disebutkan pada poin 1 di atas, yaitu perbuatan atau pernyataan yang dengan jelas dilakukan untuk menyerang suatu agama. Ini ialah pelanggaran dan/atau tindak pidana yang diartikan dalam pengertian sempit. Sedangkan tindak pidana dalam pengertian luas mencakup tindak pidana pada kedua poin tersebut. Tindak pidana dan/atau pelanggaran yang diarahkan pada suatu agama (againts) dijelaskan dalam Pasal 156, dan 156a dan 157 KUHP.

Adapun inti dari pasal 156 KUHP ialah barang siapa di muka umum menyatakan dan/atau mengungkapkan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa kelompok dan/atau golongan rakyat Indonesia, diancam dengan hukuman pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau pidana denda sebanyak-banyaknyaempat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan atau kelompok pada pasal ini diartikan sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki perbedaan baik dari segi agama, tempat dan/atau negeri asal, ras, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara�.

Dalam pasal tersebut dijelaskkan bahwa pelanggaran dan/atau tindak pidana yang dimaksud semata-mata ditunjukan kepada individu ataupun kelompok yang mempunyai keinginan untuk memusuhi atau menghina golongan tertentu, salah satunya adalah agama.Sehingga pasal ini dapat dijadikan rujukan untuk menjerat pelaku tindak pidana penistaan agama dalam pengertian umum tetapi tidak spesifik karena dalam pasal tersebut agama disejajarkan dengan golongan-golongan lainnya seperti ras, negeri asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan.

Sehingga pasal tersebut belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang berkaitan dengan agama karena dalam pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai unsur-unsur penistaan agama secara spesifik. Baru setelah disahkannya UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, maka KUHP ditambahkan dengan Pasal 156a.

Adapun inti dari 165a ialah; dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengungkapkan perasaan atau melakukan tindakan: Yang pada intinya mengandung sifatpermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap sebuah agama yang ada di Indonesia; Dengan tujuan agar orang tidak menganut agama apapun memiliki dasar atau sendi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam pasal di atas dijelaskan unsur-unsur yang secara khusus mengatur tentang penistaan agama, sehingga sampai saat ini pasal 156a selalu dijadikan rujukan dalam menyelesaikan serta memutuskan perkara yang menyangkut tentang penistaan agama. Ada 2 (dua) unsur penting dalam Pasal 156a KUHP di atas, yaitu unsur barang siapa dan unsur dengan sengaja. Unsur barang siapa merupakan penjelasan mengenai subjek hukum yang dianggap cakap dan sanggup bertanggung jawab terhadap segala perbuatanya sedangkan unsur dengan sengaja merupakan penjelasan bahwa semua tindakan dan ucapan yang dimaksud tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran dan kesengajaan.

Jika dilihat dari materi yang termaktub pada pasal 156a di atas, maka pasal ini memang menghendaki adanya bentuk penistaan agama secara langsung yaitu menodai ajaran suatu agama dan sarana yang menunjang kegiatan keagamaan. Akan tetapi, masih terdapat hal yang kurang jelas sehinggga berpotensi menimbulkan perdebatan dalam menetapkan apakah suatu perbuatan atau pernyataan tersebut termasuk ke dalam bentuk penistaan agama atau tidak. Ketidak jelasan yang dimaksud dapat dilihat dari penggunaan kalimat �di muka umum� dalam pasal 156a. Penggunaan kalimat di muka umum sebenarnya dapat mengurangi esensi tersebut, karena suatu penistaan agama tidak dapat dipidanankan selama tidak dilakukan di muka umum dan jika perbuatan tersebut tidak ditujukan guna melakukan sebuah penistaan.

Sehingga apa yang dimaksudkan dalam pasal ini kurang jelas, apakah yang hendak dilindungi itu adalah ajaran agama atau orang yang beragama. Oemar Seno Adji (dalam Oemar Seno Adji, 1981) menjelaskan bahwa dalam pasal 165a masih terdapat beberapa kelemahan diantaranya adalah dalam pasal 165a masih sekedar memberikan secara parsial oleh karena perbuatan pidana tersebut hanya ditunjukan terhadap agama (untuk tidak beragama) dan belum mencakup pernyataan perasaan yang ditunjukan kepada nabi, kitab suci agama atau para pemuka agama.

Selain pasal 156 dan pasal 156a, pasal 157 juga dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjerat pelaku penistaan agama. Adapun inti dari pasal 157 ialah:

1.      Barang siapa menyampaikan, menunjukan, atau menempelkan suatu tulisan atau lukisan di muka umum, yang pada isinya mengandung pernyataan mengenai perasaan permusuhan, kebencian dan/atau penghinaan atas golongan-golongan rakyat Indonesia tertentu, dengan tujuan agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh khalayak luas, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun enam bulan atau pidana denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.

2.      jika yang pihak bersalah melakukan tindak kejahatan tersebut pada saatmenjalankan pencariannya dan pada saat itu belum melewati lima tahun terhitung sejak pemidanaannya menjadi tetap karena tindak kejahatan demikian beserta yang bersangkutan dapat dicekal dan/atau dilarang.

Dalam kehidupan sosial, sering kali seseorang terjebak pada suatu perbuatan dan pernyataan yang dapat dikelompokkan sebagai suatu wujud penistaan agama, meskipun orang yang bersangkutan tersebut sebenarnya tidak bertujuan untuk melakukan sebuah penistaan atau pernyataan permusuhan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal di atas.Hal ini tentunya harus menjadi perhatian khusus bagi seluruh masyarakat Indonesia, terlebih, terlebih bagi yang berada pada lingkungan yang berbeda agama dan kepercayaan. Untuk itu agar dapat terhindar dari semua bentuk tindak pidana penistaan agama, tentunya kita harus mempunyai pengetahuan yang baik mengenai bentuk atau ruang lingkup tindak pidana terhadap agama tersebut.

Berikut adalah inti bentuk serta ruang lingkup perbuatan pidana atas penodaan agama yang dipaparkan pada konsep RUU KUHP Tahun 2005 yang diatur secara tersendiri dalam Bab VII mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama: Penghinaan terhadap suatu agama, yang dirinci menjadi: mengungkapkan perasaan dan/atau melakukan tindakan yang mengandung unsur penghinaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (Ps. 341); menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya (Ps. 342); menodai, mengejek, dan/atau merendahkan suatu agama, rasul, nabi, kitab-kitab suci, ajaran agama, dan/atau ibadah keagamaan (Ps. 343); delik penyiaran atas Pasal 341 atau 342 (Ps. 344). Gangguan atas penyelenggaraan suatu ibadah dan/atau kegiatan keagamaan, terdiri dari: merintangi, mengganggu, dan/atau dengan melawan hukum dalam bentuk pembubaran via kekerasan dan/atau ancaman kekerasan atas jamaah yang sedang menjalankan suatu ibadah, upacara keagamaan, dan/atau pertemuan keagamaan (Ps. 346 (1)); membuat keributan dekat bangunan ibadah pada saat proses ibadah sedang berlangsung (Ps. 346 (2)); di muka umum melakukan ejekan terhadap orang yang sedang melakukan ibadah atau melakukan ejekan terhadap petugas agama yang sedang melakukan tugasnya (Ps. 347). Perusakan tempat ibadah, yakni menodai dan/atau secara melawan hukum melakukan pengrusakan atau pembakaran bangunan tempat beribadah atau benda-benda yang ada dan dipakai untuk keperluan ibadah (Ps. 348).

 

Kesimpulan

1.      Keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia hendaknya dapat dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa, meski demikian keberagaman tersebut mempunyai potensi menimbulkan berbagai macam permasalahan sehingga pemerintah memberikan payung hukumuntuk melindungi dan menjamin hak setiap warga untuk beragama dan menjalankan aktivitas keagamaanya.

2.      Secara umum tindak pidana penistaan agama di Indonesia merujuk pada KUHP pasal 165, 165a dan 157. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku atau seseorang yang melakukan pelanggaran pidana agama akan diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun .

3.      Penetapan tindak pidana penistaan agama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimasukkan dalam kelompok kejahatan penghinaan, karena penodaan disini mengandung sifat penghinaan, melecehkan, meremehkan dari suatu agama dan hal ini dapat mengganggu ketertiban umum. Perumusan ketentuan delik penodaan terhadap agama. Karena itu menyakitkan perasaan bagi umat pemeluk agama yang bersangkutan, sehingga unsur hal ini memenuhi unsur yang ada dalam ketentuan Pasal 156a KUHPidana yang terdiri dari: (1) Melakukan perbuatan mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan, dan (2) di muka umum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alwi, Hasan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga: Jakarta Balai Pustaka

 

Arief, Barda Nawawi. 2010. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Yogyakarta : Genta Publishing.

 

J.C.T. Simorangkir, Rudy T.Erwin dan J.T. Prasetyo. 1995. Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

 

Koentjaraningrat. 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat.Jakarta: Gramedia

 

Oemar Seno Adji. 1981. Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi. Jakarta : Erlangga,

 

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1990.Penelitian Hukum Normatif . Jakarta: RajawaliPers

 

Wirjono Prodjodikoro, 1982. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama.