Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
����� e-ISSN :
2548-1398
����� Vol. 4,
No. 11 November 2019
KONSEP IJTIHAD WAHBAH AZ-ZUHAILI DAN RELEVANSINYA BAGI PEMBARUAN HUKUM
KELUARGA DI INDONESIA
Muhammadun
Institut Agama
Islam Bunga Bangsa Cirebon (IAI BBC)
Email:
[email protected]
Abstrak
Wahbah az-Zuhaili adalah seorang
intelektual muslim di bidang hukum Islam yang lahir
pada tahun 1351 H bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1932 M di Dir Atiyah
Damaskus Syria. Wahbah az-Zuhaili
hidup pada era kebangkitan pemikiran fikih Islam. Menurut Wahbah az-Zuhaili
pintu ijtihad terbuka lebar bagi setiap orang yang memiliki keahlian yang
didukung dengan kecerdasan intelektual, penguasaan bahasa dan memiliki wawasan
yang luas dalam menetapkan suatu produk hukum dengan dasar yang argumentatif
dan penggalian sumber hukum yang otentik. Tujuan dari penelitian ini yaitu
untuk mengetahui konsep Ijtihad yang digunakan oleh Wahbah az-Zuhaili dan
relevansi yang mendasar untuk diterapkan dalam pembaruan hukum keluarga di
Indonesia. Metode
penelitian yang digunakan oleh Penulis
yaitu menggunakan Penelitian Kepustakaan atau
Library Research. Hasil penelitian yang didapat yakni Konsep-konsep Ijtihad yang
digunakan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah qiyas, istislah dan sad az-zari�ah.
Pemikiran yang demikian ini merupakan inti terpenting dari
ajaran agama Islam yang mempunyai cita-cita untuk merealisasikan keadilan bagi
masyarakat secara menyeluruh. Adapun konsep ijtihad
yang telah dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili memiliki relevansi yang mendasar
untuk diterapkan dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia. Karena selaras dengan Pancasila, berpijak pada landasan
kemaslahatan umum dan bersifat egalitarian.
Kata Kunci: Ijtihad, Qiyas, Istislah dan Sad Az-zari�ah
Pendahuluan
Wahbah az-Zuhaili
adalah seorang intelektual muslim di bidang hukum Islam yang berkebangsaan
Syria. Dia lahir pada tahun 1351 H bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1932 M di
Dir Atiyah Damaskus Syria. Ayahnya bernama Syaikh Mustafa az-Zuhaili, seorang
ulama penghafal al-Qur�an dan ahli ibadah. Dalam kesehariannya selalu memegang
teguh al-Qur�an dan sunnah Nabi, serta hidup sebagai seorang petani dan
pedagang . Sedangkan Ibunya bernama Fatimah
binti Mustafa Sa�adah seorang perempuan yang sangat wara� dan berpegang teguh
dengan ajaran agama Islam.
Wahbah az-Zuhaili dalam kehidupan sehari-hari
banyak disibukkan dengan kegiatan mengajar, menulis, memberikan fatwa,
memberikan seminar serta dialog-dialog di dalam ataupun di luar Syria. Dikenal
jua sebagai ulama yang memiliki pemahaman luas dalam bidang fiqh dan usul fiqh,
juga mengajarkan dua bidang tersebut sebagai mata kuliah di fakultas hukum dan
pasca sarjana Universitas Damaskus. Di bidang akademik, dia pernah menjabat
sebagai ketua program studi fiqih Islam fakultas syari�ah Universitas Damaskus.
Pada tahun 1967-1970 di tempat yang sama dan juga menempati jabatan sebagai
dekan. Berpengalaman juga sebagi ketua lembaga penasehat hukum pada Mu�assasah
al-Arabiyah al-Masyrafiyah al-Islamiyah, serta masih banyak lagi
jabatan-jabatan yang pernah dipegangnya. Wahbah az-Zuhaili tidak saja memiliki
peranan di bidang akademik melainkan juga memiliki peran penting di masyarakat
secara langsung baik di dalam ataupun di luar tanah airnya. Di antaranya, sebagai
anggota Majma� Malaki untuk membahas kebudayaan Islam di Yordan. Selain itu
sebagai kepala Lembaga Pemeriksa Hukum pada Syarikat Mudarabah wa Muqasah
al-Islamiyyah di Bahrain dan sebagai anggota majelis fatwa tertinggi di Syria.
Wahbah az-Zuhaili hidup
pada era kebangkitan pemikiran fikih Islam. Ia hidup segenerasi dengan Subhi
Mahmasani (Lebanon), Muhammad Muslihudin (Pakistan), Faruq Abu Zaid dan Muhamad
Yusuf Musa (Mesir). Pola pemikiran Wahbah az-Zuhaili cenderung
survivalisme.� Sebagai salah satu ulama
kontemporer yang sangat membenci fanatisme (ta�assub) mazhab. Menurutnya segala
urusan kehidupan dan hubungan sosial diantara manusia tidak akan berlangsung
dengan baik menurut perspektif keadilan Tuhan dan logika manusia jika dalam
pelaksanaannya tidak ditopang oleh akidah yang kuat, akhlak yang mulia dan juga
sistem-sistem hukum yang komprehensif (Zuhayli, 1989).
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan Penelitian Kepustakaan atau Library Research. yakni
penelitian yang mengumpulkan data dan keterangan melalui bahan-bahan
kepustakaan (Surawardi, 2011). Untuk mendapatkan data, penelitian
ini menggunakan teknik kepustakaan dengan mengumpulkan teori tentang konsep ijtihad wahbah az-zuhaili melalui buku, jurnal, ataupun hasil
penelitian lainya. Dengan
teori teori tersebutlah yang kemudian diuraikan dan di komparasikan sehingga
dapat menjawab masalah yang ada.
Metode
pengumpulan data yang digunakan yakni teknik Dokumentasi (Arikunto, 2002).
Yakni dengan menggunakan karya
dokumentasi yang berhubungan dengan permasalahan. Dengan kata lain, penelitian
ini akan menguraikan data dan teori yang berhubungan sehingga dapat menjawab
permasalahan.
Hasil
Penelitian
dan Pembahasan
A. Konsep Ijtihad Wahbah az-Zuhaili
Pembaruan dan
ijtihad menurut Wahbah az-Zuhaili yang� dimaksud bukan berarti menjustifikasi
adanya Islam kuno dan Islam baru. Menurutnya ketika berbicara tentang Islam dan
syariat maka yang ada hanyalah Islam yang satu baik dimasa dahulu, kini dan akan datang. Islam menurutnya tidak
menerima pembaruan dalam arti menghilangkan sebagian hukum syara� yang ada dan
menggantinya dengan hukum baru dengan alasan harus serasi, selaras dan sesuai
dengan perkembangan akal pikiran manusia serta modernisasi. Wahbah
az-Zuhaili menegaskan bahwa pembaruan dalam Islam berkaitan erat dengan cara berkomunikasi, metode dakwah untuk penyebaran agama
Islam, sistem pembenahan dan pemberantasan tindak kejahatan, berkaitan dengan
gejolak kejiwaan manusia sesuai dengan tuntutan peradaban dan kemajuan zaman,
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih serta beraneka ragam
kebudayaan.�
Wahbah
az-Zuhaili menyadari bahwa modernisasi dalam segala bidang tidak menutup
kemungkinan akan memunculkan inovasi baru dan
industrialisasi. Namun Ia menekankan bahwa pembaharuan
yang dilakukan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah Islam. Menurutnya pintu ijtihad terbuka lebar bagi setiap orang yang
memiliki keahlian yang didukung dengan kecerdasan intelektual, penguasaan
bahasa dan memiliki wawasan yang luas dalam menetapkan suatu produk hukum
dengan dasar yang argumentatif dan penggalian sumber hukum yang otentik.
Namun demikian Wahbah az-Zuhaili berpandangan bahwa ruang
lingkup ijthad terbatas pada hal-hal tertentu; pertama, tidak berkaitan dengan
pembahasan bidang aqidah, ibadah, akhlak dan syariat yang qat�i, karena
hukumnya terdapat dalam nass yang jelas dan bersifat �ubudiyah semata. Kedua, sesuatu yang tidak terdapat dalam nass yang qat�i atau
dalilnya yang menjadi pijakan bersifat zanni.�
Menurut Wahbah
az-Zuhaili tidak boleh melakukan ijtihad pada dasar dan prinsip syariat yang
hukumnya telah pasti, seperti haramnya barang yang haram, meniadakan
sanksi-sanksi terhadap kesalahan yang dilakukan dengan pandangan lain,
bertentangan dengan aqidah, mengesahkan kerusakan dan kemudaratan, membolehkan
jual beli untuk barang riba, berikrar untuk diri sendiri bukan untuk orang
lain, melenyapkan barang yang tidak membahayakan, meluruskan berbagai jalan
yang mengarah pada kerusakan, menggugurkan had dengan lisan syubhat,
memperbolehkan hak milik,� tidak
mengharamkan tindak kedzaliman, khianat, dengki,curang dan menghalalkan
sembelihan hewan haram dan memperbolehkan memakannya, seperti haramnya bangkai,
daging babi, dan sesuatu yang disembelih karena selain� Allah.
Selanjutnya
menurut Wahbah az-Zuhaili seseorang boleh berijitihad dalam bidang mu�amalat,
perjanjian, syarat-syarat yang mengacu pada kemaslahatan, selama tidak
bertentangan dengan nas dan prinsip-prinsip syariat. Menurutnya ijtihad dalam menetapkan
suatu produk hukum harus dibangun diatas fondasi syariat dan mempertimbangkan
�urf, �adat dan maslahat.
Wahbah
az-Zuhaili beranggapan kompleksitas masyarakat di abad 21 ini menuntut adanya
ijitihad bersama.
Karena ijtihad bersama pembahasannya lebih komprehensif dan
representatif. Alasan inilah yang membuatnya
menyuarakan adanya tajdid (pembaharuan) dalam hukum. Tujuan
dari adanya pembaharuan hukum Islam untuk membuktikan sifat fleksibilitas
syari�at Islam dalam bidang mu�amalah yang tidak bertentangan dengan an-nusus
asy-syar�iyyah.
Sebagai
ulama kontemporer yang ikut lantang menyuarakan perlu adanya gerakan pembaharuan
dalam ijtihad, Wahbah az-Zuhaili menempatkan al-Quran dan as-Sunnah pada posisi
puncak dalam hirarki sumber penggalian hukum. Dia juga mengakomodasi sumber hukum lain yang
meliputi ijma�, qiyas, istihsan, maslahah mursalah (istislah), �urf, sad
az-zarai', syar'u man qablana, mazhab sahabi dan istishab.
Kemudian
Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan dua kategori sumber hukum. Pertama, sumber hukum yang tidak
dapat diperdebatkan, meliputi: al-Qur�an, as-Sunnah, ijma� dan qiyas. Kedua, sumber hukum yang debatable (memungkinkan terjadinya
perdebatan) dikalangan ulama.�
Pada kategori sumber hukum yang debatable, Wahbah az-Zuhaili menyebutkan
dua istilah dalam penggalian hukum yakni istidla dan ma yattasilu ila al-istidlal (sesuatu yang dapat sampai pada istidlal). Yang
termasuk kategori istidla antara lain; al-talazum baina al-hukmaini min gairi
ta�yini �illah, istishab al-hal, syaru man qablana, al-istihsan, al-masalih
al-mursalah. Sedangkan yang termasuk ma yattasilu ila
al-istidlal adalah qaul as-sahabi, al-�urf dan sad azzarai'.
Wahbah
az-Zuhaili juga mengklasifikasikan dalil menjadi dalil naqliyyah (dalil yang
bersumber pada wahyu) dan �aqliyah (berdasarkan atas rasionalisasi). Yang termasuk dalil naqliyyah
menurutnya adalah al-kitab, as-sunnah, al-ijma�, al-�urf, syar�u man qablana
dan mazhab sahabi. Sedangkan yang termasuk dalil
�aqliyah adalah qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab, sad az-zara'i�.
Masing-masing dalil tersebut menurutnya saling melengkapi antara satu dengan
yang lain. Baginya ijitihad tidak akan bisa diterima
tanpa bersandar pada asas-asas dalil �aqliyyah dan dalil naqliyyah.
Dalam
pembentukan hukum, dalil-dalil tersebut ada yang berdiri sendiri seperti
al-Qur�an, al-Hadis, ijma� dan sumber hukum lain yang berhubungan dengannya
meliputi istihsan, �urf, dan mazhab sahabi. Begitu pula ada
yang tidak berdiri sendiri yakni al-Qiyas.
B. Pembaruan Hukum
Islam di Indonesia
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan
masuknya Islam ke Indonesia. Dalam hal ini ditemui perdebatan panjang antara
para ahli sejarah dalam menentukan: tempat asal kedatangan Islam, para
pembawanya, dan waktu kedatangannya. Salah satu pendapat menyebutkan, bahwa
Islam masuk ke Nusantara melalui anak benua India pada sekitar abad ke-12 M dan
berkembang pertama kali di kawasan pantai Nusantara. Sementara pendapat lain
mengasumsikan bahwa Islam sudah berkembang di Nusantara pada sekitar abad-abad
awal Hijriyah (sekitar abad ke-7 dan ke-8 M), yang datang melalui Malabar dan
tidak tertutup pula kemungkinan bahwa Islam dibawa langsung dari semenanjung
Arabia. Kendati demikian, dalam seminar masuknya Islam ke Indonesia, yang
diselenggarakan tahun 1969 dan 1978 disimpulkan, bahwa Islam datang langsung
dari Arabia pada abad pertama Hijri atau abad ke-7 Masehi (Azra, 1994).
Islam sudah menyebar secara luas di nusantara pada
sekitar abad ke-13 M pada waktu itulah tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam
pertama, seperti Samudra Pasai, Gresik, yang disusul dengan sejumlah kerajaan
Islam yang lain, seperti Demak, Mataram, Cirebon, Banten, Ternate, Sumbawa,
Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta, Palembang dan sebagainya.
Sebagai wilayah pemerintahan Islam, hukum yang diberlakukan di
kerajaan-kerajaan Islam awal itu adalah hukum Islam, khususnya fikih mazhab
Syafi�i, dan jika terdapat hukum adat, maka hukum adat yang masih dilestarikan adalah
hukum adat yang menempatkan syariat Islam terlihat dari sejumlah pepatah dan
petitih adat yang menempatkan syariat Islam sebagai dasar bagi adat yang
berkembang dalam masyarakat, seperti terlihat pada petitih adat minangkabau: �Adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah� (Adat bersendi syara�, bersendi kitabullah). Ini berarti adat
dan hukum Islam saling menguatkan.Adat yang demikianlah yang disebut �Adat Sebenar Adat� (Agama, 1985).
C. Beberapa Ijtihad Wahbah az-Zuhaili Dalam Hukum Keluarga
1.
Makna kufu hanya menyangkut agama dan kesiapan untuk menikah
2.
Calon istri boleh mengajukan syarat tertulis ke pengadilan agar calon
suami setelah menikah tidak melakukan poligami
3.
Suami� Rujuk Harus disertai Ucapan,
Perbuatan dan Niat
D. Konsep Ijtihad Wahbah az-Zuhaili dan
Relevansinya Dengan Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia
Dari kajian di atas terlihat bahwa dalam bidang
muamalah Wahbah az-Zuhaili lebih banyak berpegang kepada tiga metode ijtihad,
yakni qiyas, istislah, dan sad az-zari�ah yang dipegang. Bertolak dari prinsip demikian,
Wahbah az-Zuhaili memandang bahwa segala bentuk tindakan dalam hukum keluarga
bisa dibenarkan. Hal demikian ini dapat diberikan selama tidak terdapat unsur
kerugian, penganiyaan dan bahaya. Sebab, ketiga hal tersebut secara langsung
akan berdampak pada terancamnya kemaslahatan umum al-maslahah al-�ammah yang harus dipelihara kelestariannya. Lalu,
untuk mengantisipasi munculnya tiga bentuk gangguan di atas, Wahbah az-Zuhaili
menempatkan sad az-zari�ah sebagai
dasar untuk menetapkan berbagai ketentuan yang bersifat preventif.
Dari ketiga konsep ijtihad yang dipakai oleh Wahbah
az-Zuhaili di atas terlihat bahwa secara umum mengacu kepada terwujudnya
kemaslahatan dalam masyarakat. Dari itu, penulis cenderung melihat bahwa
landasan yang paling mendasar dari pemikiran Wahbah az-Zuhaili di bidang hukum
keluarga ialah ke arah realisasi kemaslahatan umum dan menghindarkan dari
segala kerusakan. Landasan pemikiran demikian, menurut penulis, merupakan inti
terdalam dari ajaran Islam sebagai agama yang berkeinginan untuk merealisasikan
keadilan bagi segenap umat manusia,
karena
agama merupakan pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupan di masyarakat (Lala, 2017). Demikian pula sesuai dengan tabiat
manusia itu sendiri secara universal. Oleh sebab itu, konsep demikian
senantiasa selalu relevan untuk diterapkan kapan dan di mana saja.
Bertolak dari konsep demikian, segala bentuk
aktifitas yang
menyangkut pola hubungan dalam hukum keluarga senantiasa
mengacu kepada terwujudnya kemaslahatan umum di masyarakat. Dalam penerapan konsep tersebut
Wahbah az-Zuhaili menggunakannya secara cerdas, sehingga hukum yang dihasilkan
di samping memiliki landasan yang kokoh, juga bersifat egalitarian, dinamis dan
universal dapat dirasakan masyarakat secara menyeluruh.
Dari kajian tentang pembaruan hukum Islam di
Indonesia dapat disimpulkan bahwa pembaruan tersebut menampakkan dua bidang
yang saling terintegrasi dan terinterkoneksi, yaitu adanya pembaruan di bidang
pemikiran hukum dengan pembaruan dalam bidang kodifikasi hukum Islam sebagai
perundangan negara yang mampu mengikat setiap warganya. Dalam bidang pertama
terlihat kemajuan-kemajuan yang senantiasa berkembang, terutama karena dipicu
oleh dua faktor: Pertama,sisi internal karena dipengaruhi oleh adanya
perubahan-perubahan sosial yang sangat dinamis, sehingga mendorong para ulama
dan cendekiawan berpikir untuk memberikan jawaban atas problematika yang
senantiasa ada. Kedua, sisi eksternal karena komunikasi umat Islam
Indonesia dengan negara lain, sehingga terjadi interaksi dalam bidang pemikiran
di kalangan ulama dan cendekiawan, yang berakibatkan pada munculnya pemikiran
untuk meninjau kembali rumusan para mujtahid klasik untuk disesuaikan dengan
suasana dan kondisi dewasa ini.
Dalam ranah pemikiran hukum, selama ini telah muncul
berbagai bentuk pemikiran yang mengarah pada upaya untuk mampu menempatkan
hukum Islam sebagai hukum yang aplikatif dan senantiasa berkembang di
tengah-tengah masyarakat. Dari itu, lahirlah pemikiran-pemikiran dalam bentuk
musyawarah, tarjih, fikih Indonesia,
reformulasi fikih, reinterpretasi hukum Islam serta reaktualisasi ajaran Islam.
Upaya-upaya tersebut sebenarnya telah diusung oleh Wahbah az-Zuhaili dengan
bentuk seruan agar para ulama melakukan ijtihad hukum, tidak hanya mengandalkan
hasil ijtihad para mujtahid terdahulu yang telah ribuan tahun mereka rumuskan.
Dewasa ini, dalam kondisi perubahan sosial yang semakin cepat karena dipicu
oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimikian pesat, seruan
demikian masih tetap relevan dikarenakan keterbatasan teks-teks hukum agama dan
ketidakterbatasan problematika manusia.
Prinsip ijtihad Wahbah az-Zuhaili dalam bidang hukum
Islam yang berlandaskan pemikiran mewujudkan kemaslahatan umum bagi masyarakat
merupakan prinsip yang paling relevan untuk diterapkan dalam rangka pembaruan
hukum keluarga. Penulis katakan relevan didasarkan atas tiga pemikiran hukum,
yaitu:
1. Konsep
ijtihad yang dikemukakan Wahbah az-Zuhaili selaras dengan nilai-nilai luhur
pancasila dan telah disepakati sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia.
2. Konsep
ijtihad yang dipaparkan oleh Wahbah az-Zuhaili berpijak pada landasan
kemaslahatan umum. Prinsip demikian sesuai dengan sendi-sendi hukum yang
berlaku di Indonesia, yang memprioritaskan kesejahteraan umum dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Konsep
ijtihad yang ditawarkan Wahbah az-Zuhaili bersifat egalitarian, dinamis dan
universal. Prinsip demikian sesuai dengan dinamika masyarakat Indonesia
sekarang� ini yang sedang mengalami
perkembangan yang demikian pesat. Dengan konsep hukum yang demikian niscaya
segenap permasalahan masyarakat dapat dipecahkan secara posedural dan
profesional.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh penulis
tentang konsep-konsep yang digunakan untuk ijtihad oleh Wahbah az-Zuhaili dalam
kajian hukum keluarga, serta tentang adanya relevansi yang mendasar dari konsep
ijtihad tersebut bagi pembaruan hukum keluarga di Indonesia. Maka penulis menyimpulkan kajian sebagai berikut ini:
1.
Konsep-konsep Ijtihad yang digunakan oleh Wahbah
az-Zuhaili adalah qiyas. Dia berpendapat bahwa qiyas adalah sebagai upaya
pemahaman nass yang eksplisit. Karena itulah tidak semua bentuk qiyas dapat
dipakai dalam menetapkan suatu hukum. Di samping itu pula dia juga memakai
konsep istislah yang sesuai maksud syara�, tidak bertentangan dengan dalil
qat�i serta dapat diterima oleh akal sehat. Konsep berikutnya yang dijalankan
adalah sad az-zari�ah, karena merupakan upaya menghindarkan pada sesuatu
perbuatan yang diharamkan. Upaya preventif ini penting untuk menjaga orang atau
sekelompok orang supaya tidak terjerumus pada tindakan yang dilarang oleh agama
Islam. Ketiga konsep ijtihad ini diterapkan oleh Wahbah az-Zuhaili atas dasar
pemikiran untuk mewujudkan kemaslahatan umum dan menghindarkan segala
kerusakan. Pemikiran yang demikian ini merupakan inti terpenting dari ajaran
agama Islam yang mempunyai cita-cita untuk merealisasikan keadilan bagi
masyarakat secara menyeluruh.
2.
Konsep ijtihad yang telah dikemukakan oleh Wahbah
az-Zuhaili memiliki relevansi yang mendasar untuk diterapkan dalam pembaruan
hukum keluarga di Indonesia. Hal ini dikarenakan: Pertama, semua konsep ijtihad
yang digunakan selaras dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber yang
disepakati berlakunya di negara kesatuan republik Indonesia. Kedua, konsep
ijtihad yang dijalankan berpijak pada landasan kemaslahatan umum, yang diakui
sebagai prinsip dan landasan hukum yang berlaku di Indonesia dengan
mengutamakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Ketiga, konsep ijtihad yang terapkan bersifat egalitarian, dinamis dan
universal sehingga dinilai sebagai prinsip hukum yang dapat dijadikan pedoman
untuk semua waktu dan tempat baik sekarang maupun yang akan
datang.
BIBLIOGRAFI
Agama, D. (1985). Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat �.
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian (edisi revisi). Jakarta:
Rineka Cipta.
Azra, A. (1994). Jaringan ulama: Timur Tengah dan
kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII: melacak akar-akar pembaruan pemikiran
Islam di Indonesia. Mizan.
Lala, A. (2017). Analisis Tindak Pidana Penistaan Agama Dan
Sanksi Bagi Pelaku Perspektif Hukum Positif Di Indonesia. Syntax Literate;
Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(3), 28�39.
Surawardi, S. (2011). Konsep Pendidikan Islam Menurut Abudin
Nata. AL FALAH, 11(20), 265�308.
Zuhayli, W. (1989). Al-fiqhu al-Islami wa adillatuh.
Dar al-fikr.