Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

����� e-ISSN : 2548-1398

����� Vol. 4, No. 11 November 2019

 


KONSEP IJTIHAD WAHBAH AZ-ZUHAILI DAN RELEVANSINYA BAGI PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

 

Muhammadun

Institut Agama Islam Bunga Bangsa Cirebon (IAI BBC)

Email: [email protected]

 

Abstrak

Wahbah az-Zuhaili adalah seorang intelektual muslim di bidang hukum Islam yang lahir pada tahun 1351 H bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1932 M di Dir Atiyah Damaskus Syria. Wahbah az-Zuhaili hidup pada era kebangkitan pemikiran fikih Islam. Menurut Wahbah az-Zuhaili pintu ijtihad terbuka lebar bagi setiap orang yang memiliki keahlian yang didukung dengan kecerdasan intelektual, penguasaan bahasa dan memiliki wawasan yang luas dalam menetapkan suatu produk hukum dengan dasar yang argumentatif dan penggalian sumber hukum yang otentik. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui konsep Ijtihad yang digunakan oleh Wahbah az-Zuhaili dan relevansi yang mendasar untuk diterapkan dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan oleh Penulis yaitu menggunakan Penelitian Kepustakaan atau Library Research. Hasil penelitian yang didapat yakni Konsep-konsep Ijtihad yang digunakan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah qiyas, istislah dan sad az-zari�ah. Pemikiran yang demikian ini merupakan inti terpenting dari ajaran agama Islam yang mempunyai cita-cita untuk merealisasikan keadilan bagi masyarakat secara menyeluruh. Adapun konsep ijtihad yang telah dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili memiliki relevansi yang mendasar untuk diterapkan dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia. Karena selaras dengan Pancasila, berpijak pada landasan kemaslahatan umum dan bersifat egalitarian.

 

Kata Kunci: Ijtihad, Qiyas, Istislah dan Sad Az-zari�ah

 

Pendahuluan

Wahbah az-Zuhaili adalah seorang intelektual muslim di bidang hukum Islam yang berkebangsaan Syria. Dia lahir pada tahun 1351 H bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1932 M di Dir Atiyah Damaskus Syria. Ayahnya bernama Syaikh Mustafa az-Zuhaili, seorang ulama penghafal al-Qur�an dan ahli ibadah. Dalam kesehariannya selalu memegang teguh al-Qur�an dan sunnah Nabi, serta hidup sebagai seorang petani dan pedagang . Sedangkan Ibunya bernama Fatimah binti Mustafa Sa�adah seorang perempuan yang sangat wara� dan berpegang teguh dengan ajaran agama Islam.

Wahbah az-Zuhaili dalam kehidupan sehari-hari banyak disibukkan dengan kegiatan mengajar, menulis, memberikan fatwa, memberikan seminar serta dialog-dialog di dalam ataupun di luar Syria. Dikenal jua sebagai ulama yang memiliki pemahaman luas dalam bidang fiqh dan usul fiqh, juga mengajarkan dua bidang tersebut sebagai mata kuliah di fakultas hukum dan pasca sarjana Universitas Damaskus. Di bidang akademik, dia pernah menjabat sebagai ketua program studi fiqih Islam fakultas syari�ah Universitas Damaskus. Pada tahun 1967-1970 di tempat yang sama dan juga menempati jabatan sebagai dekan. Berpengalaman juga sebagi ketua lembaga penasehat hukum pada Mu�assasah al-Arabiyah al-Masyrafiyah al-Islamiyah, serta masih banyak lagi jabatan-jabatan yang pernah dipegangnya. Wahbah az-Zuhaili tidak saja memiliki peranan di bidang akademik melainkan juga memiliki peran penting di masyarakat secara langsung baik di dalam ataupun di luar tanah airnya. Di antaranya, sebagai anggota Majma� Malaki untuk membahas kebudayaan Islam di Yordan. Selain itu sebagai kepala Lembaga Pemeriksa Hukum pada Syarikat Mudarabah wa Muqasah al-Islamiyyah di Bahrain dan sebagai anggota majelis fatwa tertinggi di Syria.

Wahbah az-Zuhaili hidup pada era kebangkitan pemikiran fikih Islam. Ia hidup segenerasi dengan Subhi Mahmasani (Lebanon), Muhammad Muslihudin (Pakistan), Faruq Abu Zaid dan Muhamad Yusuf Musa (Mesir). Pola pemikiran Wahbah az-Zuhaili cenderung survivalisme.� Sebagai salah satu ulama kontemporer yang sangat membenci fanatisme (ta�assub) mazhab. Menurutnya segala urusan kehidupan dan hubungan sosial diantara manusia tidak akan berlangsung dengan baik menurut perspektif keadilan Tuhan dan logika manusia jika dalam pelaksanaannya tidak ditopang oleh akidah yang kuat, akhlak yang mulia dan juga sistem-sistem hukum yang komprehensif (Zuhayli, 1989).

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Penelitian Kepustakaan atau Library Research. yakni penelitian yang mengumpulkan data dan keterangan melalui bahan-bahan kepustakaan (Surawardi, 2011). Untuk mendapatkan data, penelitian ini menggunakan teknik kepustakaan dengan mengumpulkan teori tentang konsep ijtihad wahbah az-zuhaili melalui buku, jurnal, ataupun hasil penelitian lainya. Dengan teori teori tersebutlah yang kemudian diuraikan dan di komparasikan sehingga dapat menjawab masalah yang ada. Metode pengumpulan data yang digunakan yakni teknik Dokumentasi (Arikunto, 2002). Yakni dengan menggunakan karya dokumentasi yang berhubungan dengan permasalahan. Dengan kata lain, penelitian ini akan menguraikan data dan teori yang berhubungan sehingga dapat menjawab permasalahan.

 

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A.  Konsep Ijtihad Wahbah az-Zuhaili

Pembaruan dan ijtihad menurut Wahbah az-Zuhaili yang� dimaksud bukan berarti menjustifikasi adanya Islam kuno dan Islam baru. Menurutnya ketika berbicara tentang Islam dan syariat maka yang ada hanyalah Islam yang satu baik dimasa dahulu, kini dan akan datang. Islam menurutnya tidak menerima pembaruan dalam arti menghilangkan sebagian hukum syara� yang ada dan menggantinya dengan hukum baru dengan alasan harus serasi, selaras dan sesuai dengan perkembangan akal pikiran manusia serta modernisasi. Wahbah az-Zuhaili menegaskan bahwa pembaruan dalam Islam berkaitan erat dengan cara berkomunikasi, metode dakwah untuk penyebaran agama Islam, sistem pembenahan dan pemberantasan tindak kejahatan, berkaitan dengan gejolak kejiwaan manusia sesuai dengan tuntutan peradaban dan kemajuan zaman, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih serta beraneka ragam kebudayaan.�

Wahbah az-Zuhaili menyadari bahwa modernisasi dalam segala bidang tidak menutup kemungkinan akan memunculkan inovasi baru dan industrialisasi. Namun Ia menekankan bahwa pembaharuan yang dilakukan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah Islam. Menurutnya pintu ijtihad terbuka lebar bagi setiap orang yang memiliki keahlian yang didukung dengan kecerdasan intelektual, penguasaan bahasa dan memiliki wawasan yang luas dalam menetapkan suatu produk hukum dengan dasar yang argumentatif dan penggalian sumber hukum yang otentik. Namun demikian Wahbah az-Zuhaili berpandangan bahwa ruang lingkup ijthad terbatas pada hal-hal tertentu; pertama, tidak berkaitan dengan pembahasan bidang aqidah, ibadah, akhlak dan syariat yang qat�i, karena hukumnya terdapat dalam nass yang jelas dan bersifat �ubudiyah semata. Kedua, sesuatu yang tidak terdapat dalam nass yang qat�i atau dalilnya yang menjadi pijakan bersifat zanni.�

Menurut Wahbah az-Zuhaili tidak boleh melakukan ijtihad pada dasar dan prinsip syariat yang hukumnya telah pasti, seperti haramnya barang yang haram, meniadakan sanksi-sanksi terhadap kesalahan yang dilakukan dengan pandangan lain, bertentangan dengan aqidah, mengesahkan kerusakan dan kemudaratan, membolehkan jual beli untuk barang riba, berikrar untuk diri sendiri bukan untuk orang lain, melenyapkan barang yang tidak membahayakan, meluruskan berbagai jalan yang mengarah pada kerusakan, menggugurkan had dengan lisan syubhat, memperbolehkan hak milik,� tidak mengharamkan tindak kedzaliman, khianat, dengki,curang dan menghalalkan sembelihan hewan haram dan memperbolehkan memakannya, seperti haramnya bangkai, daging babi, dan sesuatu yang disembelih karena selain� Allah.

Selanjutnya menurut Wahbah az-Zuhaili seseorang boleh berijitihad dalam bidang mu�amalat, perjanjian, syarat-syarat yang mengacu pada kemaslahatan, selama tidak bertentangan dengan nas dan prinsip-prinsip syariat. Menurutnya ijtihad dalam menetapkan suatu produk hukum harus dibangun diatas fondasi syariat dan mempertimbangkan �urf, �adat dan maslahat.

Wahbah az-Zuhaili beranggapan kompleksitas masyarakat di abad 21 ini menuntut adanya ijitihad bersama. Karena ijtihad bersama pembahasannya lebih komprehensif dan representatif. Alasan inilah yang membuatnya menyuarakan adanya tajdid (pembaharuan) dalam hukum. Tujuan dari adanya pembaharuan hukum Islam untuk membuktikan sifat fleksibilitas syari�at Islam dalam bidang mu�amalah yang tidak bertentangan dengan an-nusus asy-syar�iyyah.

Sebagai ulama kontemporer yang ikut lantang menyuarakan perlu adanya gerakan pembaharuan dalam ijtihad, Wahbah az-Zuhaili menempatkan al-Quran dan as-Sunnah pada posisi puncak dalam hirarki sumber penggalian hukum. Dia juga mengakomodasi sumber hukum lain yang meliputi ijma�, qiyas, istihsan, maslahah mursalah (istislah), �urf, sad az-zarai', syar'u man qablana, mazhab sahabi dan istishab.

Kemudian Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan dua kategori sumber hukum. Pertama, sumber hukum yang tidak dapat diperdebatkan, meliputi: al-Qur�an, as-Sunnah, ijma� dan qiyas. Kedua, sumber hukum yang debatable (memungkinkan terjadinya perdebatan) dikalangan ulama.� Pada kategori sumber hukum yang debatable, Wahbah az-Zuhaili menyebutkan dua istilah dalam penggalian hukum yakni istidla dan ma yattasilu ila al-istidlal (sesuatu yang dapat sampai pada istidlal). Yang termasuk kategori istidla antara lain; al-talazum baina al-hukmaini min gairi ta�yini �illah, istishab al-hal, syaru man qablana, al-istihsan, al-masalih al-mursalah. Sedangkan yang termasuk ma yattasilu ila al-istidlal adalah qaul as-sahabi, al-�urf dan sad azzarai'.

Wahbah az-Zuhaili juga mengklasifikasikan dalil menjadi dalil naqliyyah (dalil yang bersumber pada wahyu) dan �aqliyah (berdasarkan atas rasionalisasi). Yang termasuk dalil naqliyyah menurutnya adalah al-kitab, as-sunnah, al-ijma�, al-�urf, syar�u man qablana dan mazhab sahabi. Sedangkan yang termasuk dalil �aqliyah adalah qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab, sad az-zara'i�. Masing-masing dalil tersebut menurutnya saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Baginya ijitihad tidak akan bisa diterima tanpa bersandar pada asas-asas dalil �aqliyyah dan dalil naqliyyah.

Dalam pembentukan hukum, dalil-dalil tersebut ada yang berdiri sendiri seperti al-Qur�an, al-Hadis, ijma� dan sumber hukum lain yang berhubungan dengannya meliputi istihsan, �urf, dan mazhab sahabi. Begitu pula ada yang tidak berdiri sendiri yakni al-Qiyas.

B.  Pembaruan Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Dalam hal ini ditemui perdebatan panjang antara para ahli sejarah dalam menentukan: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Salah satu pendapat menyebutkan, bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui anak benua India pada sekitar abad ke-12 M dan berkembang pertama kali di kawasan pantai Nusantara. Sementara pendapat lain mengasumsikan bahwa Islam sudah berkembang di Nusantara pada sekitar abad-abad awal Hijriyah (sekitar abad ke-7 dan ke-8 M), yang datang melalui Malabar dan tidak tertutup pula kemungkinan bahwa Islam dibawa langsung dari semenanjung Arabia. Kendati demikian, dalam seminar masuknya Islam ke Indonesia, yang diselenggarakan tahun 1969 dan 1978 disimpulkan, bahwa Islam datang langsung dari Arabia pada abad pertama Hijri atau abad ke-7 Masehi (Azra, 1994).

Islam sudah menyebar secara luas di nusantara pada sekitar abad ke-13 M pada waktu itulah tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam pertama, seperti Samudra Pasai, Gresik, yang disusul dengan sejumlah kerajaan Islam yang lain, seperti Demak, Mataram, Cirebon, Banten, Ternate, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta, Palembang dan sebagainya. Sebagai wilayah pemerintahan Islam, hukum yang diberlakukan di kerajaan-kerajaan Islam awal itu adalah hukum Islam, khususnya fikih mazhab Syafi�i, dan jika terdapat hukum adat, maka hukum adat yang masih dilestarikan adalah hukum adat yang menempatkan syariat Islam terlihat dari sejumlah pepatah dan petitih adat yang menempatkan syariat Islam sebagai dasar bagi adat yang berkembang dalam masyarakat, seperti terlihat pada petitih adat minangkabau: �Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah� (Adat bersendi syara�, bersendi kitabullah). Ini berarti adat dan hukum Islam saling menguatkan.Adat yang demikianlah yang disebut �Adat Sebenar Adat� (Agama, 1985).

C.  Beberapa Ijtihad Wahbah az-Zuhaili Dalam Hukum Keluarga

1.      Makna kufu hanya menyangkut agama dan kesiapan untuk menikah

2.      Calon istri boleh mengajukan syarat tertulis ke pengadilan agar calon suami setelah menikah tidak melakukan poligami

3.      Suami� Rujuk Harus disertai Ucapan, Perbuatan dan Niat

D.  Konsep Ijtihad Wahbah az-Zuhaili dan Relevansinya Dengan Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia

Dari kajian di atas terlihat bahwa dalam bidang muamalah Wahbah az-Zuhaili lebih banyak berpegang kepada tiga metode ijtihad, yakni qiyas, istislah, dan sad az-zari�ah yang dipegang. Bertolak dari prinsip demikian, Wahbah az-Zuhaili memandang bahwa segala bentuk tindakan dalam hukum keluarga bisa dibenarkan. Hal demikian ini dapat diberikan selama tidak terdapat unsur kerugian, penganiyaan dan bahaya. Sebab, ketiga hal tersebut secara langsung akan berdampak pada terancamnya kemaslahatan umum al-maslahah al-�ammah yang harus dipelihara kelestariannya. Lalu, untuk mengantisipasi munculnya tiga bentuk gangguan di atas, Wahbah az-Zuhaili menempatkan sad az-zari�ah sebagai dasar untuk menetapkan berbagai ketentuan yang bersifat preventif.

Dari ketiga konsep ijtihad yang dipakai oleh Wahbah az-Zuhaili di atas terlihat bahwa secara umum mengacu kepada terwujudnya kemaslahatan dalam masyarakat. Dari itu, penulis cenderung melihat bahwa landasan yang paling mendasar dari pemikiran Wahbah az-Zuhaili di bidang hukum keluarga ialah ke arah realisasi kemaslahatan umum dan menghindarkan dari segala kerusakan. Landasan pemikiran demikian, menurut penulis, merupakan inti terdalam dari ajaran Islam sebagai agama yang berkeinginan untuk merealisasikan keadilan bagi segenap umat manusia, karena agama merupakan pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupan di masyarakat (Lala, 2017). Demikian pula sesuai dengan tabiat manusia itu sendiri secara universal. Oleh sebab itu, konsep demikian senantiasa selalu relevan untuk diterapkan kapan dan di mana saja.

Bertolak dari konsep demikian, segala bentuk aktifitas yang menyangkut pola hubungan dalam hukum keluarga senantiasa mengacu kepada terwujudnya kemaslahatan umum di masyarakat. Dalam penerapan konsep tersebut Wahbah az-Zuhaili menggunakannya secara cerdas, sehingga hukum yang dihasilkan di samping memiliki landasan yang kokoh, juga bersifat egalitarian, dinamis dan universal dapat dirasakan masyarakat secara menyeluruh.

Dari kajian tentang pembaruan hukum Islam di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pembaruan tersebut menampakkan dua bidang yang saling terintegrasi dan terinterkoneksi, yaitu adanya pembaruan di bidang pemikiran hukum dengan pembaruan dalam bidang kodifikasi hukum Islam sebagai perundangan negara yang mampu mengikat setiap warganya. Dalam bidang pertama terlihat kemajuan-kemajuan yang senantiasa berkembang, terutama karena dipicu oleh dua faktor: Pertama,sisi internal karena dipengaruhi oleh adanya perubahan-perubahan sosial yang sangat dinamis, sehingga mendorong para ulama dan cendekiawan berpikir untuk memberikan jawaban atas problematika yang senantiasa ada. Kedua, sisi eksternal karena komunikasi umat Islam Indonesia dengan negara lain, sehingga terjadi interaksi dalam bidang pemikiran di kalangan ulama dan cendekiawan, yang berakibatkan pada munculnya pemikiran untuk meninjau kembali rumusan para mujtahid klasik untuk disesuaikan dengan suasana dan kondisi dewasa ini.

Dalam ranah pemikiran hukum, selama ini telah muncul berbagai bentuk pemikiran yang mengarah pada upaya untuk mampu menempatkan hukum Islam sebagai hukum yang aplikatif dan senantiasa berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dari itu, lahirlah pemikiran-pemikiran dalam bentuk musyawarah, tarjih, fikih Indonesia, reformulasi fikih, reinterpretasi hukum Islam serta reaktualisasi ajaran Islam. Upaya-upaya tersebut sebenarnya telah diusung oleh Wahbah az-Zuhaili dengan bentuk seruan agar para ulama melakukan ijtihad hukum, tidak hanya mengandalkan hasil ijtihad para mujtahid terdahulu yang telah ribuan tahun mereka rumuskan. Dewasa ini, dalam kondisi perubahan sosial yang semakin cepat karena dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimikian pesat, seruan demikian masih tetap relevan dikarenakan keterbatasan teks-teks hukum agama dan ketidakterbatasan problematika manusia.

Prinsip ijtihad Wahbah az-Zuhaili dalam bidang hukum Islam yang berlandaskan pemikiran mewujudkan kemaslahatan umum bagi masyarakat merupakan prinsip yang paling relevan untuk diterapkan dalam rangka pembaruan hukum keluarga. Penulis katakan relevan didasarkan atas tiga pemikiran hukum, yaitu:

1.    Konsep ijtihad yang dikemukakan Wahbah az-Zuhaili selaras dengan nilai-nilai luhur pancasila dan telah disepakati sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

2.    Konsep ijtihad yang dipaparkan oleh Wahbah az-Zuhaili berpijak pada landasan kemaslahatan umum. Prinsip demikian sesuai dengan sendi-sendi hukum yang berlaku di Indonesia, yang memprioritaskan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3.    Konsep ijtihad yang ditawarkan Wahbah az-Zuhaili bersifat egalitarian, dinamis dan universal. Prinsip demikian sesuai dengan dinamika masyarakat Indonesia sekarang� ini yang sedang mengalami perkembangan yang demikian pesat. Dengan konsep hukum yang demikian niscaya segenap permasalahan masyarakat dapat dipecahkan secara posedural dan profesional.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh penulis tentang konsep-konsep yang digunakan untuk ijtihad oleh Wahbah az-Zuhaili dalam kajian hukum keluarga, serta tentang adanya relevansi yang mendasar dari konsep ijtihad tersebut bagi pembaruan hukum keluarga di Indonesia. Maka penulis menyimpulkan kajian sebagai berikut ini:

1.    Konsep-konsep Ijtihad yang digunakan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah qiyas. Dia berpendapat bahwa qiyas adalah sebagai upaya pemahaman nass yang eksplisit. Karena itulah tidak semua bentuk qiyas dapat dipakai dalam menetapkan suatu hukum. Di samping itu pula dia juga memakai konsep istislah yang sesuai maksud syara�, tidak bertentangan dengan dalil qat�i serta dapat diterima oleh akal sehat. Konsep berikutnya yang dijalankan adalah sad az-zari�ah, karena merupakan upaya menghindarkan pada sesuatu perbuatan yang diharamkan. Upaya preventif ini penting untuk menjaga orang atau sekelompok orang supaya tidak terjerumus pada tindakan yang dilarang oleh agama Islam. Ketiga konsep ijtihad ini diterapkan oleh Wahbah az-Zuhaili atas dasar pemikiran untuk mewujudkan kemaslahatan umum dan menghindarkan segala kerusakan. Pemikiran yang demikian ini merupakan inti terpenting dari ajaran agama Islam yang mempunyai cita-cita untuk merealisasikan keadilan bagi masyarakat secara menyeluruh.

2.    Konsep ijtihad yang telah dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili memiliki relevansi yang mendasar untuk diterapkan dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia. Hal ini dikarenakan: Pertama, semua konsep ijtihad yang digunakan selaras dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber yang disepakati berlakunya di negara kesatuan republik Indonesia. Kedua, konsep ijtihad yang dijalankan berpijak pada landasan kemaslahatan umum, yang diakui sebagai prinsip dan landasan hukum yang berlaku di Indonesia dengan mengutamakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Ketiga, konsep ijtihad yang terapkan bersifat egalitarian, dinamis dan universal sehingga dinilai sebagai prinsip hukum yang dapat dijadikan pedoman untuk semua waktu dan tempat baik sekarang maupun yang akan datang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Agama, D. (1985). Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat ï¿½.

 

Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta.

 

Azra, A. (1994). Jaringan ulama: Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII: melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Mizan.

 

Lala, A. (2017). Analisis Tindak Pidana Penistaan Agama Dan Sanksi Bagi Pelaku Perspektif Hukum Positif Di Indonesia. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(3), 28�39.

 

Surawardi, S. (2011). Konsep Pendidikan Islam Menurut Abudin Nata. AL FALAH, 11(20), 265�308.

 

Zuhayli, W. (1989). Al-fiqhu al-Islami wa adillatuh. Dar al-fikr.